• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci: Air lindi; lysimeter; resirkulasi; total dissolved solid (TDS); total suspended solid (TSS).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata kunci: Air lindi; lysimeter; resirkulasi; total dissolved solid (TDS); total suspended solid (TSS)."

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENGARUH RESIRKULASI AIR LINDI TERHADAP

KONSENTRASI

TOTAL SUSPENDED SOLID

(TSS) DAN

TOTAL

DISSOLVED SOLID

(TDS) PADA AIR LINDI DENGAN PERMODELAN

LYSIMETER

Fathia Anindita, Gabriel S. Boedi Andari Kristanto dan Djoko M.Hartono

Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh resirkulasi air lindi terhadap kualitas air lindi. Penelitian ini menggunakan 2 lysimeter dengan sistem pengoperasian yang berbeda,

lysimeter 1 dengan proses resirkulasi air lindi dan lysimeter 2 tanpa proses resirkulasi. Sampah

yang digunakan pada kedua lysimeter merupakan sampah organik (buah dan sayur) yang berasal dari Pasar Kemiri Muka, Depok. Berat sampah pada lysimeter 1 dan 2 secara berurutan adalah 205 kg dan 180 kg dengan kadar air sebesar 89,5% dan 86,8%. Penambahan air dilakukan pada kedua lysimeter untuk menstimulasi pembentukan air lindi dan sebagai simulasi infiltrasi air hujan dengan mengasumsikan adanya kebocoran sebesar 24% pada lapisan geotextile. Volume penambahan air pada kedua lysimeter yaitu 1,4 L yang disesuaikan dengan curah hujan kota depok, sedangkan volume air lindi yang diresirkulasikan pada lysimeter 1 yaitu 1,5 L. Pengukuran karakteristik air lindi yang meliputi pH air lindi, konsentrasi TSS dan TDS serta temperatur sampah pada kedua lysimeter dilakukan selama 100 hari. pH air lindi yang dihasilkan dari lysimeter 1 (dengan resirkulasi) cenderung lebih rendah hingga akhir pengoperasian

lysimeter karena penerapan resirkulasi air lindi, yaitu berada pada rentang 5,73-8,25 pada

lysimeter 1 dan 5,93-8,94 pada lysimeter 2. Konsentrasi TSS pada lysimeter 1dan lysimeter 2

secara berurutan berada pada rentang 660-2792,411 mg/L dan 200-1660 mg/L, sedangkan untuk konsentrasi TDS berada pada rentang 6004-17120 pada lysimeter 1dan 3340- 14860 mg/L pada

lysimeter 2. Konsentrasi TSS dan TDS pada lysimeter 1 lebih tinggi dibandingkan dengan

lysimeter 2 karena proses resirkulasi yang diterapkan pada lysimeter 1 menyebabkan akumulasi

material organik (volatile fatty acids) pada air lindi selama fase awal degradasi sampah (asidogenesis) serta akumulasi material anorganik (amonia dan klorida) pada air lindi hingga akhir pengoperasian lysimeter 1 karena material anorganik tersebut tidak digunakan lagi pada proses degradasi sampah.

Kata kunci:

Air lindi; lysimeter; resirkulasi; total dissolved solid (TDS); total suspended solid (TSS).

ABSTRACT

This study aims to determine the effect of leachate recirculation on leachate quality. It uses two

lysimeter with different operating systems, lysimeter 1 with leachate recirculation process and

lysimeter 2 without recirculation process. Waste which used in both lysimeter is organik waste

(fruit and vegetable) derived from Pasar Kemiri Muka, Depok. Respectively, the weight of waste

in lysimeter 1 and 2 were 205 kg and 180 kg and the water content were 89,5% and 86,8 %. The

addition of water carried in both lysimeter was to stimulate the formation of leachate and to simulate the infiltration of rain water by assuming the occurrence of the leakage (24%) in the

(2)

geotextile layer. The volume of water added in both lysimeter was 1,4 L adjusted with rain fall intensity in Depok, while the volume of leachate that resirculated in lysimeter 1 was 1,5 L.

The leachate samples from both of lysimeters were monitored for pH, TSS, TDS and waste temperatur during 100 days of study. Leachate pH generated from lysimeter 1 (with resirculation) tended to be lower by the end of the operation because the application of leachate resirculation, which is in the range 5,73 to 8,25 in lysimeter 1 and 5,93 to 8,94 in lysimeter 2. TSS concentrations in lysimeter 1 and 2 respectively in the range from 660 to 2792.411 mg /L and 200-1660 mg/L, while the concentration of TDS lies in the range 6004 to 17120 in lysimeter 1 and 3340 to 14860 mg/L in lysimeter 2. TSS and TDS concentrations in lysimeter 1 were higher than lysimeter 2 due to the recirculation process that was applied to the lysimeter 1 which causes accumulation of organik material (volatile fatty acids) in the leachate generated in the initial phase of waste degradation (asidogenesis) and accumulation of inorganik material (ammonia and chloride) in lysimeter 1 until the end of the operation as the inorganik material is no longer used in the process of waste degradation.

Keywords:

Leachate; lysimeter; resirculation; total dissolved solid (TDS); total suspended solid (TSS).

1. PENDAHULUAN

Kota-kota di Indonesia tumbuh dan berkembang dengan pesat, rata-rata pertumbuhan penduduk perkotaan berkisar antara 1,5 hingga 4% per tahun (BPS, 2010). Pertumbuhan penduduk menghasilkan pertambahan timbulan sampah, yang berasal dari perumahan, pertokoan, restoran, hotel, taman, dan saluran-saluran. Hampir semua kota di Indonesia mengalami kegagalan dalam pengelolaan sampah (Damanhuri, 2007). Adapun persoalan yang umum dihadapi adalah timbulan sampah yang jumlahnya semakin hari semakin besar, sedangkan lahan yang layak untuk dipergunakan sebagai tempat pembuangan dan pengolahan sampah, terutama untuk kota metropolitan semakin terbatas.

Bukan hanya permasalahan keterbatasan lahan TPA saja yang kerap terjadi di Indonesia, sistem pengelolaan sampah di TPA juga menjadi masalah yang kian mendesak karena jika tidak dilakukan penanganan yang baik akan mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan lingkungan yang merugikan atau sehingga dapat mencemari lingkungan, baik terhadap tanah, air dan udara. Tempat pembuangan akhir sampah (TPA) merupakan permasalahan besar yang dapat menjadi potensi bahaya bagi lingkungan sekitar jika tidak dikelola dengan tepat. Salah satu permasalahannya adalah air lindi yang dapat merugikan bila mencemari air tanah dan air permukaan.

Sanitary landfill didesain untuk mengurangi masuknya air hujan ke dalam landfill yang

(3)

landfill dapat memperlambat proses degradasi sampah yang sangat bergantung kepada ketersediaan kadar air (moisture). Sebaliknya, konsep bioreaktor bertujuan untuk mendukung degradasi sampah dengan memberikan kadar air yang dibutuhkan. Salah satu teknik utama yang digunakan adalah resirkulasi air lindi ke dalam timbunan sampah. Dengan meresirkulasi air lindi, komponen organik yang terkandung di dalam air lindi tersebut akan tereduksi oleh aktivitas mikroorganisme dekomposer dalam sampah (Sponza et al, 2004). Tidak hanya meningkatkan kualitas air lindi, resirkulasi air lindi juga dapat mempercepat degradasi sampah karena air lindi ini dianggap masih mengandung nutrisi yang dibutuhkan sebagai sumber makanan bagi mikroorganisme dalam sampah.

Tujuan di lakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penerapan resirkulasi air lindi dalam meningkatkan kualitas air lindi dengan membuat permodelan lysimeter.

Lysimeter akan dibuat sebanyak 2 (dua) buah yang merupakan simulasi dari sistem sanitary

landfill dalam kondisi anaerob. Variabel yang membedakan antara 2 lysimeter ini adalah pada

sistem resirkulasi lindi. Lysimeter 1 dirancang dengan sistem resirkulasi lindi sedangkan

lysimeter 2 dirancang tanpa menerapkan sistem resirkulasi lindi. Tujuannya adalah untuk

membandingkan kualitas/ karakteristik fisika air lindi yang dihasilkan dari limbah padat antara

lysimeter dengan proses resirkulasi lindi dan lysimeter tanpa resirkulasi lindi. Parameter fisika

yang akan ditinjau dari produksi air lindi adalah total suspended solid (TSS) dan total dissolved solid (TDS). Pemilihan parameter ini disebabkan karena material pembentuk TSS dan TDS ini dapat menyebabkan penyumbatan (clogging) pada leachate collection system (LCS). Oleh karena itu, penting untuk dilakukan peninjauan apakah penerapan resirkulasi air lindi ini dapat berdampak positif atau malah berdampak negatif terhadap konsentrasi TSS dan TDS.

2. TINJAUAN TEORITIS

2.1 Dekomposisi Sampah pada Landfill

Secara umum, proses degradasi sampah yang terjadi pada TPA dengan sistem sanitary

landfill terdiri dari 2 tahapan yaitu degradasi secara aerobik dan anaerobik.

a. Degradasi Aerobik

Degradasi aerobik secara umum terjadi dalam durasi yang singkat karena kehadiran oksigen yang terkandung dalam sampah relatif terbatas di dalam landfill. Lapisan pada landfill yang mengalami degradasi secara aerob merupakan lapisan yang paling atas dimana oksigen terperangkap pada sampah segar. Menurut Barber (1979), pada fase ini protein didegradsi

(4)

menjadi asam amino, sehingga menjadi karbondioksida, air, nitrat dan sulfat, yang merupakan komponen umum yang dihasilkan dari proses katabolisme pada proses aerobik (Christensen et al., 1992). Selulosa, yang merupakan mayoritas fraksi organik pada sampah, didegradasi oleh enzim ekstraseluler menjadi glukosa yang kemudian digunakan oleh bakteri dan diubah menjadi karbondioksida dan air (Bevan,1967 dalam Christensen et al, 1992).

b. Degradasi Anaerobik

• Tahap Hidrolisis

Tahap hidrolisis merupakan tahap penguraian molekul kompleks seperti selulosa dengan menggunakan enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri (selulotik, proteolitik, lipolitik) untuk menjadi molekul/ komponen yang lebih sederhana (Yulistiawati, 2008). Pada tahap ini akan terjadi pelarutan molekul/ komponen yang sudah disederhanakan.

• Tahap Pembentukan Asam (Asidogenesis)

Tahap asidogenesis merupakan tahap pendegradasian bahan organik yang meliputi protein, karbohidrat dan lemak dan menghasilkan produk seperti asam asetat, dan karbondioksida (CO2). Pada tahap ini, bakteri mengubah bahan organik terlarut hasil hidrolisis menjadi volatile fatty

acids (VFA) yang mengandung asam asetat, asam butirat, asam formiat, asam propionat serta

asam laktat. Selain itu, dihasilkan juga sedikit alkohol, karbondioksida (CO2), hidrogen dan amoniak (Yulistiawati, 2008). Pembentukan asam asetat dan hidrogen pada tahap ini mengakibatkan penurunan pH dan dapat menghambat pertumbuhan mikroba (Sathianathan, 1975).

• Tahap Pembentukan Asetat (Asetogenesis)

Pada tahap asetogenesis ini, produk yang dihasilkan dari tahap asidogenesis akan mengalami proses oksidasi untuk menghasilkan produk yang nantinya akan digunakan dalam tahap pembentukan gas metan. Produk yang dihasilkan pada tahap ini adalah asam asetat, hidrogen dan karbondioksida (CO2) (Yulistiawati, 2008).

• Tahap Pembentukan Gas Metan (Metanogenesis)

Tahap ini ditandai dengan fermentasi metanogenesis oleh bakteri metanogen. Rentang pH yang dapat ditolerir oleh bakteri metanogen sangat terbatas yaitu berkisar antara 6 hingga 8. Pada tahap ini, komposisi dari air lindi memiliki nilai pH yang hampir netral, konsentrasi FVA dan TDS yang rendah, dan gas metan yang secara umum lebih besar dari 50%. Hal ini menandakan

(5)

bahwa proses stabilisisasi sebagian besar komponen organik menurun pada tahap ini, meskipun proses stabilisasi sampah masih akan berlanjut hingga beberapa tahun selanjutnya.

2.2 Pengaruh pH Air Lindi terhadap Konsentrasi TSS dan TDS

pH air lindi dianggap sebagai parameter yang paling signifikan dalam mempengaruhi konsentrasi air lindi pada landfill. Perubahan pada pH air lindi sangat dipengaruhi oleh fase-fase degradasi yang terjadi pada sampah dan secara tidak langsung mempengaruhi kelarutan konsentrasi zat organik dan anorganik penyusun TSS dan TDS pada air lindi. Pada fase asidogenesis, pH air lindi akan menjadi asam karena pada fase ini terjadi pembentukan asam asetat dan hidrogen yang mengakibatkan penurunan pH. pH air lindi pada fase ini berkisar antara 5-6 (Robinson, 1989 dalam Christensen et al., 1992). pH yang asam ini menyebabkan kelarutan zat organik dan anorganik yang merupakan komponen penyusun TSS dan TDS pada air lindi menjadi tinggi (Rafizul dan Alamgir, 2012). pH air lindi mulai mengalami peningkatan ketika proses degradasi sampah memasuki fase pembentukan metan (metanogenesis). Peningkatan nilai pH disebabkan oleh penurunan konsentrasi VFA. Menurut Kim (2005), peningkatan pH air lindi disebabkan karena aktifitas bakteri metanogen sudah dimulai sehingga menyebabkan peningkatan produksi gas metan dan menurunkan konsentrasi hidrogen, CO2 dan VFA. Peningkatan pH air lindi menyebabkan kelarutan zat organik dan anorganik serta logam berat menjadi berkurang sehingga secara tidak langsung menyebabkan konsentrasi TSS dan TDS pada air lindi mengalami penurunan.

2.3 Pengaruh antara Temperatur Sampah terhadap Konsentrasi TSS dan TDS

Indikator yang menunjukkan bahwa proses dekomposisi senyawa organik berjalan lancar adalah adanya perubahan pada temperatur sampah. Panas yang dihasilkan dari tumpukan sampah disebabkan oleh proses dekomposisi fraksi organik dari massa sampah. Panas yang dihasilkan dipengaruhi oleh sistem operasional yang diterapkan pada landfill dan kondisi iklim (Yesiller et al, 2005). Selain itu, panas yang dihasilkan pada sampah berbanding lurus dengan curah hujan, suhu udara harian, dan laju penempatan limbah dan berbanding terbalik dengan densitas sampah (Yesiller et al. 2005). Panas yang dihasilkan serta kenaikan temperatur pada sampah disertai dengan pembentukan gas dan air lindi pada sampah melalui proses yang kompleks. Kenaikan temperatur sampah pada reaktor yang mendapatkan perlakuan resirkulasi lindi lebih cepat karena kandungan yang terdapat dalam lindi dapat meningkatkan laju stabilitas degradasi sampah

(6)

sampah (Priyambada et al., 2009). Kylefors et al. (2002) yang menyatakan bahwa secara umum, kelarutan zat organik dan anorganik meningkat sejalan dengan peningkatan temperatur.

2.4 Pengaruh Resirkulasi Air Lindi terhadap Konsentrasi TSS dan TDS

Terdapat sejumlah penelitian terdahulu yang berkaitan dengan studi lysimeter untuk mengetahui pengaruh resirkulasi air lindi terhadap kualitas air lindi yang dihasilan. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Rafizul dan Alamgir (2012). Tiga alat lysimeter yang masing-masing memiliki sistem pengoperasian yang berbeda digunakan dalam penelitian ini.

Lysimeter A mensimulasikan landfill dengan sistem open dumping, sedangkan lysimeter B dan C

mensimulasikan sanitary landfill dengan menggunakan lapisan penutup (cover soil) berupa tanah liat dan menerapkan sistem resirkulasi air lindi. Parameter yang diuji pada penelitian ini adalah pH air lindi, alkalinitas, kesadahan, TS, TDS, TSS, COD, sulfat, dan nitrat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi TSS dan TDS pada lysimeter A (open dumping) lebih rendah dibandingkan dengan lysimeter B dan C (sanitary landfill).

Penelitian lain dilakukan oleh Swati et al., (2005) yang berjudul “Bioreactor Landfill

Lysimeter Studies in Indian Urban Refuse”. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kandungan TS

dan TDS pada lysimeter 2 (dengan resirkulasi air lindi) secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan lysimeter 1 (open dumping). Hal ini dikarenakan air lindi yang diresirkulasikan sangat banyak mengandung material organik dan anorganik serta padatan dan jasad renik yang apabila dimasukkan kembali ke dalam sampah, akan terakumulasi di dalam sampah. Meskipun zat organik yang terkandung di dalam air lindi akan digunakan kembali untuk proses degradasi, masih banyak material anorganik seperti amonia dan klorida (Cl-) yang tidak digunakan pada proses degradasi sampah dan akan terakumulasi di dalam system, dan apabila air hujan terperkolasi ke dalam landfill, akan menyebabkan material baik organik maupun anorganik yang menumpuk di dalam sampah terbilas oleh air (wash out) dan keluar dari dalam system dalam bentuk air lindi yang memiliki konsentrasi organik maupun anorganik yang sangat tinggi.

Hasil penelitian ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Francois et al. (2007) yang membuktikan bahwa resirkulasi air lindi ke dalam tumpukan sampah dapat menyebabkan akumulasi ion klorida dan amonia karena tidak digunakan kembali selama proses degradasi sampah. Karena ion klorida dan amonia ini merupakan salah satu komponen penyusun TDS, menyebabkan konsentrasi TDS pada lysimeter 2 yang menerapkan system resirkulasi air lindi menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan lysimeter 1.

(7)

2.5 Clogging pada Leachate Collection System (LCS)

Tempat pembuangan akhir sampah (TPA) merupakan permasalahan besar yang dapat menjadi potensi bahaya bagi lingkungan sekitar jika tidak diolah dengan tepat. Salah satu permasalahan yang sering terjadi pada TPA adalah terjadinya penyumbatan atau clogging pada

leachate collection system (LCS) atau sistem pengumpul air lindi. Observasi yang dilakukan

Bouchez (2003) menunjukkan bahwa clogging pada sistem pengumpul air lindi disebabkan oleh kombinasi fisik, biologi dan kimia berupa penumpukan total suspended solid (TSS), senyawa organik dan anorganik terlarut, total dissolved solid (TDS), pertumbuhan biomassa, dan presipitasi mineral (Rowe dan Yu, 2010). Menurut Rowe (1992), kandungan pencemar yang tinggi di dalam air lindi (volatile fatty acid, TSS, TDS) serta penumpukan partikulat separti pasir menyebabkan pertumbuhan biofilm dan dapat menyebabkan berkurangnya konduktifitas hidraulik pada lapisan geotextile dan drainage layer (Rowe dan Yu, 2010). Clogging sering terjadi pada fase acidogenic ketika zat organik dan pengendapan logam seperti kalsium, magnesium, besi, dan mangan berada di air lindi dengan konsentrasi yang tinggi.

3. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian berskala laboratorium dengan menggunakan metode kuantitatif sebagai pendekatan penelitian. Pada penelitian ini dibuat 2 alat

lysimeter dengan sistem pengoperasian yang berbeda, lysimeter 1 dengan sistem resirkulasi air

lindi dan lysimeter 2 tanpa resirkulasi. Material yang digunakan untuk membuat kedua lysimeter adalah tangki air silinder tipe AL-1100TG dengan kapasitas 1.050 setinggi 2,03 m dengan diameter sebesar 0,83 m. Material pengisi lysimeter disesuaikan dengan lapisan-lapisan yang terdapat pada sanitary landfill yang sesungguhnya. Berikut ini merupakan detail komponen penyusun lysimeter:

Tabel 3. Komponen Penyusun Lysimeter

Komponen Penyusun

Lysimeter

Total Ketinggian (mm) Keterangan

Lysimeter 1 Lysimeter 2 Lysimeter 1 Lysimeter 2

Sampah 900 580 Densitas : 421 kg/m 3 Kadar air : 89,5% Densitas : 573 kg/m3 Kadar air : 86,8% Kerikil 430 460 Diameter 5-20 mm Tanah Humus 400 430 - Geotextile - - 600 gram

(8)

Untuk lebih jelasnya, berikut ini merupakan detail desain kedua lysimeter beserta sistem pengoparasiannya :

a. Lysimeter 1

Lysimeter 1 didesain dengan menggunakan sistem resirkulasi lindi dan penambahan air.

Penambahan air ini dilakukan untuk mensimulasikan air hujan serta menstimulasi pembentukan air lindi dengan mengasumsikan terjadinya kebocoran pada lapisan geotextile. Asumsi kebocoran ini dikaitkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nosko et al. (1996) yang menyimpulkan bahwa adanya kerusakan sekitar 24% pada lapisan geotextile selama proses instalasi dan pada proses penutupan landfill dengan tanah pelindung (protective soil). Perhitungan volume penambahan air yaitu sebagai berikut:

• Curah hujan Kota Depok (CH) : 3828 mm/tahun = 0,1048 dm/hari • Luas permukaan bioreactor (A) : !!π!! = !!  !  3,14  !  8,3  dm = 54,08 dm2

• Debit air hujan yang berinfiltrasi ke dalam sampah (Q) : CH x A = 5,67 dm3/hari • Asumsi persentase kerusakan geotextile (%) : 24%

• Volume air yang ditambahkan : Q x % = 1,4 L/hari

Sehingga volume air yang ditambahkan untuk masing-masing lysimeter adalah 1,4 L. Sedangkan volume air lindi yang digunakan untuk diresirkulasikan yaitu 1,5 L yang disesuaikan dengan volume air lindi yang dihasilkan dan volume air lindi yang akan digunakan untuk pengujian sampel. Proses resirkulasi air lindi serta penambahan air dilakukan secara manual yaitu dengan cara menuangkan air lindi serta air yang sudah diukur sesuai dengan volume yang sudah ditetapkan, melalui keempat pipa PVC yang berukuran ¾ inch.

b. Lysimeter 2

Lysimeter 2 didesain tanpa resirkulasi air lindi, tetapi tetap dilakukan penambahan air

sebanya 1,4 L seperti lysimeter 1 untuk mensimulasikan infiltrasi air hujan akibat kebocoran pada lapisan geotextile serta untuk memicu pembentukan air lindi. Selain itu, terdapat beberapa perbedaan ketebalan setiap lapisan pengisi lysimeter 2 jika dibandingkan dengan lysimeter 1 seperti yang terlihat pada gambar detail desain lysimeter 1 dan 2 berikut ini..

(9)

Gambar 3.1. Detail Desain Lysimeter 1 (kiri) dan Lysimeter 2 (kanan) Sumber : Hasil Olahan Penulis, 2013

4. HASIL PENELITIAN

Di Laboratorium Teknik Penyehatan dan Lingkungan, Universitas Indonesia, kandungan TSS, TDS, dan pH dari air lindi serta temperatur sampah pada lysimeter 1 dan 2 diamati dan diukur selama + 100 hari seperti yang dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 4. Hasil Pengukuran Parameter yang Diuji.

Parameter Lysimeter 1 Lysimeter 2

Rentang Rata-rata Rentang Rata-rata

pH Air Lindi 5.73-8.25 6.62 5.93-8.94 7.06 Temperatur Sampah 28-34.25 29.92 28-33 29.40 TSS* 660-2792.411 1254.51 200-1660 761.55 TDS** 6004-17120 11200.53 3340-14860 9513.53 Ket :

* total suspended solid, ** total dissolved solid.

Semua nilai dalam satuan mg/L kecuali pH air lindi dan temperatur sampah (oC). Sumber : Hasil Olahan Penulis, 2013

5. PEMBAHASAN

5.1 Analisis Pengaruh Resirkulasi Air Lindi terhadap Temperatur Sampah

Temperatur sampah merupakan parameter yang sangat penting dalam proses degradasi sampah. Aktifitas mikroorganisme akan mempengaruhi temperatur sehingga dalam proses

(10)

degradasi sampah akan terjadi beberapa fase yang ditandai dengan perubahan temperatur. Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkanlah data temperatur sampah dari kedua lysimeter yang dapat dilihat pada Gambar 5.1. berikut :

Gambar 5.1. Temperatur Sampah pada Lysimeter 1 dan 2 Sumber : Hasil Olahan Penulis, 2013

Temperatur pada awal pengoperasian lysimeter 1 dan 2 cukup tinggi, yaitu 34,25oC dan 33oC. Hal ini berkaitan dengan fase degradasi sampah secara aerob yang sedang berlangsung pada kedua lysimeter. Pada fase degradasi sampah secara aerob ini, oksigen yang terperangkap di dalam sampah dikonsumsi dengan sangat cepat oleh bakteri aerobik untuk mendegradasi material organik yang terkandung di dalam sampah menjadi karbondioksida, air, residu organik yang sebagian terdagradasi dan juga panas. Hal ini diperkuat oleh Kjeldsen et al. (2002) yang menyatakan bahwa selama fase degradasi aerob berlangsung, oksigen yang terkandung di dalam sampah yang baru ditimbun dikonsumsi secara cepat oleh bakteri untuk menghasilkan CO2 dan menyebabkan peningkatan pada temperatur sampah

Panas yang dihasilkan dari proses degradasi secara aerob inilah yang menyebabkan temperatur awal pada sampah menjadi tinggi. Temperatur sampah pada kedua lysimeter pada hari ke-4 hingga akhir penelitian cukup fluktuatif. Rentang temperatur sampah kedua lysimeter berkisar antara 28oC-31oC, Sedangkan menurut Sahidu (1983), temperatur yang optimum untuk pertumbuhan bakteri anaerob berkisar antara 30-35oC. Hal ini mengindikasikan bahwa proses degradasi sampah pada kedua lysimeter setelah memasuki fase degradasi secara anaerob, tidak berlangsung secara optimum.

Jika dibandingkan dengan lysimeter 2, temperatur pada lysimeter 1 secara umum lebih tinggi. Hal ini dikarenakan proses resirkulasi yang diterapkan pada lysimeter 1. Kenaikan

(11)

temperatur sampah pada reaktor yang mendapatkan perlakuan resirkulasi air lindi lebih cepat karena kandungan yang terdapat dalam lindi dapat meningkatkan laju stabilitas degradasi sampah (Priyambada et al., 2009).

5.2 Analisis Pengaruh Resirkulasi Air Lindi terhadap pH Air Lindi

pH air lindi dianggap sebagai parameter yang paling signifikan dalam mempengaruhi konsentrasi air lindi pada landfill. Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkanlah data pH air lindi dari kedua lysimeter yang dapat dilihat pada Gambar 5.2. berikut :

Gambar 5.2. pH Air Lindi pada Lysimeter 1 dan 2 Sumber : Hasil Olahan Penulis, 2013

Pada grafik dapat dilihat bahwa pH air lindi yang dihasilkan dari lysimeter 1 memiliki rentang pH 5,73 hingga 8,25, sedangkan pH pada lysimeter 2 berkisar antara 5,93 hingga 8,94.   Secara umum pH air lindi yang dihasilkan pada lysimeter 2 lebih tinggi daripada lysimeter 1. Hal ini berkaitan dengan resirkulasi air lindi yang diterapkan pada lysimeter 1. Resirkulasi pada umumnya menggunakan air lindi yang mengandung unsur organik tinggi dengan cara memasukkannya kembali ke dalam sel sampah dimana air lindi tersebut dihasilkan. Hal ini mengindikasikan bahwa sampah masih belum mencapai fase metanogenesis karena air lindi yang dihasilkan masih mengandung unsur organik yang tinggi. Kelarutan yang tinggi dari zat organik ini disebabkan oleh pH air lindi yang rendah (asam).

Resirkulasi air lindi pertama kali dilakukan pada hari ke-8 pengoperasian lysimeter. Air lindi yang diresirkulasikan memiliki nilai pH yang rendah yaitu 5,91. pH yang rendah ini mengindikasikan bahwa proses degradasi yang berlangsung pada sampah sudah memasuki fase asam (acid phase) atau yang biasa disebut fase asidogenesis. Pada awal penguraian proses asidogenesis inilah terjadi penurunan pH sebagai akibat dari terbentuknya asam asetat dan

(12)

hidrogen. Rentang pH air lindi yang menjadi karakteristik dari air lindi pada fase asidogenesis berkisar antara 5 hingga 6,5 (McBean et al., 1995). Apabila air lindi yang memiliki pH asam ini diresirkulasikan kembali pada sampah tanpa dilakukan pH adjustment dan buffering terlebih dahulu, maka akan menyebabkan peningkatan kelarutan asam organik pada air lindi didalam sistem, sehingga pH air lindi yang dihasilkan berikutnya cenderung akan turun karena akumulasi asam organik yang terlarut di dalam air lindi.

Dibandingkan dengan lysimeter 1, lysimeter 2 lebih cepat mencapai pH yang netral dan stabil dikarenakan tidak dilakukannya resirkulasi air lindi pada lysimeter ini. Selain itu, penambahan air yang diterapkan pada lysimeter 2 menyebabkan proses degradasi pada sampah menjadi lebih cepat karena suplai kadar air yang mencukupi pada sampah yang menjadi salah satu persyaratan utama dalam optimalisasi proses degradasi sampah.

5.3 Analisis Pengaruh Resirkulasi Air Lindi terhadap Konsentrasi Total Suspended Solid (TSS) pada Air Lindi

Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkan data konsentrasi TSS pada air lindi dari kedua

lysimeter yang dapat dilihat pada Gambar 5.3. berikut :

Gambar 5.3. Konsentrasi TSS pada Lysimeter 1 dan 2 Sumber : Hasil Olahan Penulis, 2013

Berdasarkan Gambar 5.3., dapat dilihat bahwa pada lysimeter 1 dan 2, konsentrasi TSS berada secara berurutan berada pada rentang 680 mg/L-2792,411 mg/L dan 248 mg/L-1660 mg/L. Air lindi yang diresirkulasikan kembali ke dalam lysimeter 1 mengandung banyak material rapuh (loose material) hasil degradasi sampah serta jasad renik (mikroorganisme). Air lindi ini jika dimasukkan kembali ke dalam sampah, maka akan menyebabkan akumulasi loose material pada sampah sehingga pada saat dilakukan penambahan air pada lysimeter 1, loose material tersebut akan terbilas (wash out) dan larut bersama air yang melewatinya menjadi air lindi

(13)

dengan konsentrasi TSS yang lebih tinggi dibandingkan dengan lysimeter 2.  Seiring dengan peningkatan usia penimbunan sampah pada landfill, ketersediaan loose matrial akan berkurang secara signifikan akibat dari pemadatan sampah. Hal inilah yang menyebabkan kandungan TSS pada lysimeter 1 dan 2 mulai mengalami penurunan pada hari ke-62 hingga akhir pengoperasian

lysimeter.

5.4 Analisis Pengaruh Resirkulasi Air Lindi terhadap Konsentrasi Total Suspended Solid (TDS) pada Air Lindi

Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkanlah data konsentrasi TDS pada air lindi dari kedua

lysimeter yang dapat dilihat pada Gambar 5.4. berikut :

Gambar 5.4. Konsentrasi TDS pada Lysimeter 1 dan 2 Sumber : Hasil Olahan Penulis, 2013

Beberapa parameter yang menjadi komponen penyusun TDS adalah adalah zat organik (TOC, COD, dan BOD), anorganik (magnesium, ammonia, mangan, khlorida, sulfat, dll) serta logam berat. Menurut Sartaj et al. (2010), Kenaikan awal dan penurunan dari konsentrasi TDS mengikuti tren yang sama seperti konsentrasi COD. Berikut ini merupakan perbandingan antara grafik konsentrasi TDS dan COD pada lysimeter 1 dan 2.

Gambar 5.5. Perbandingan Konsentrasi TDS dan COD pada Lysimeter 1 dan 2 Sumber : *Hasil Olahan Penulis, 2013; **Sidauruk, 2013

(14)

Kandungan COD pada lysimeter 1 dan 2 memiliki tren atau kecendrungan naik dari awal pengoperasian lysimeter dan mencapai nilai maksimum pada hari ke-34 untuk lysimeter 1 dan hari ke-41 untuk lysimeter 2. Jika dibandingkan dengan nilai COD, konsentrasi TDS pada

lysimeter 1 dan 2 juga mengalami tren kenaikan dari awal pengoperasian lysimeter yaitu 9000

mg/L dan 9020 mg/L dan mencapai nilai maksimum pada hari ke-48 yaitu sebesar 17120 mg/L dan 14860 mg/L. Tren kenaikan serta tingginya konsentrasi TDS pada air lindi disebabkan karena proses degradasi sampah yang terjadi pada lysimeter sedang memasuki fase asidogenesis. Pembentukan VFA dan CO2 pada fase ini mengakibatkan pH di dalam sampah menjadi asam dan membentuk pH air lindi yang asam pula. pH yang asam ini akan menyebabkan kelarutan zat organik (BOD dan COD), anorganik (magnesium, ammonia, mangan, khlorida, sulfat, dll) serta logam berat menjadi tinggi.

Memasuki hari ke-55 pengoperasian lysimeter, konsentrasi TDS dan COD pada lysimeter 1 dan 2 secara umum mengalami penurunan hingga akhir pengoperasian lysimeter. Hal ini disebabkan karena proses degradasi sampah sudah memasuki fase metanogenesis dimana pH sudah mulai mendekati basa. Menurut Qasim dan Chiang (1994), peningkatan nilai pH disebabkan oleh penurunan konsentrasi VFA (Rafizul dan Alamgir, 2012). Menurut Kim (2005), peningkatan pH air lindi disebabkan karena aktifitas bakteri metanogen sudah dimulai sehingga menyebabkan peningkatan produksi gas metan dan menurunkan konsentrasi hidrogen, CO2 dan VFA. Peningkatan pH air lindi menyebabkan kelarutan zat organik dan anorganik serta logam berat menjadi berkurang sehingga konsentrasi TDS pada air lindi mengalami penurunan.

Walaupun konsentrasi TDS dan COD mengalami tren kenaikan dann penurunan yang sama, terdapat perbedaan yang sangat signifikan jika dilihat dari variasi konsentrasinya. Pada

lysimeter 1, konsentrasi TDS dari awal hingga akhir pengoperasian lysimeter selalu lebih tinggi

dibandingkan dengan konsentrasi pada lysimeter 2. Berbeda dengan variasi konsentrasi TDS, konsentrasi COD pada lysimeter 1 lebih tinggi dibandingkan dengan lysimeter 2 hanya hingga hari ke-20, dan selanjutnya konsentrasi COD pada lysimeter 2 lebih tinggi dibandingkan dengan

lysimeter 1 hingga akhir pengoperasian lysimeter. Hal ini dikarenakan masih banyak komponen

organik penyusun TDS lainnya seperti BOD dan TOC, serta anorganik macrocomponents dan logam berat yang menyebabkan nilai TDS pada lysimeter 1 masih terus meningkat hingga hari ke-48 dan kandungannya lebih tinggi dibandingkan dengan lysimeter 2.

(15)

Mengacu pada Gambar 5.5, konsentrasi TDS pada lysimeter 1 cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan lysimeter 2. Hal ini dapat disebabkan oleh akumulasi beberapa zat anorganik seperti amonia dan klorida pada sampah akibat penerapan resirkulasi air lindi pada

lysimeter 1. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Francois et al. (2007) yang

membuktikan bahwa resirkulasi air lindi ke dalam tumpukan sampah dapat menyebabkan akumulasi ion klorida dan amonia karena tidak digunakan kembali selama proses degradasi sampah.

5.5 Analisis Pengaruh pH air Lindi serta temperatur sampah terhadap Konsentrasi Total Suspended Solid (TSS)

Gambar 5.6. Grafik Perbandingan pH serta temperatur terhadap Konsentrasi TSS pada lysimeter 1 dan 2 Sumber : Hasil Olahan Penulis, 2013

Pada awal pengoperasian lysimeter hingga hari ke-55 pengoperasian lysimeter 1, walaupun sedikit fluktuatif, konsentrasi TSS pada lysimeter 1 dan 2 memiliki tren yang cenderung mengalami kenaikan. Hal ini dikarenakan pH air lindi yang rendah (asam). pH yang rendah ini merupakan salah satu karakteristik dari air lindi yang dihasilkan dari proses degradasi sampah pada fase asidogenesis. Selain itu, temperatur sampah yang cukup tinggi pada kedua lysimeter pada awal pengoperasian lysimeter menyebabkan kelarutan zat organik maupun anorganik menjadi tinggi sehingga menyebabkan konsentrasi TSS air lindi pada kedua lysimeter menjadi ikut tinggi pula. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian dari Kylefors et al. (2002) yang menyatakan bahwa secara umum, kelarutan meningkat sejalan dengan peningkatan temperatur sampah.

Jika dibandingkan dengan lysimeter 2, secara umum air lindi yang dihasilkan dari lysimeter 1 cenderung memiliki kandungan TSS yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan pH air lindi yang

(16)

lebih rendah serta temperatur sampah yang lebih tinggi pada lysimeter 1 menyebabkan peningkatan kelarutan zat organik maupun anorganik penyusun TSS pada air lindi.

5.6 Analisis Pengaruh pH air Lindi serta temperatur sampah terhadap Konsentrasi Total Dissolved Solid (TDS)

Gambar 5.7. Grafik Perbandingan pH serta temperatur terhadap Konsentrasi TDS pada lysimeter 1 dan 2 Sumber : Hasil Olahan Penulis, 2013

Sama halnya dengan konsentrasi TSS, konsentrasi TDS pada awal pengoperasian lysimeter cukup tinggi, dimana pada lysimeter 1 dan 2 konsentrasinya secara berurutan yaitu 9000 mg/L dan 9020 mg/L. Konsentrasi TDS baik pada air lindi yang dihasilkan dari lysimeter 1 maupun

lysimeter 2, memiliki tren atau kecendrungan naik dari hari pertama pengoperasian lysimeter

hingga hari ke-48 walaupun sedikit fluktuatif. Hal ini terkait dengan pH air lindi yang rendah pada kedua lysimeter. pH yang rendah ini dapat mengindikasikan fase degradasi yang berlangsung di dalam sampah sedang memasuki fase asidogenesis dimana air lindi yang dihasilkan dicirikan memiliki pH yang asam (5,5-6,5) serta kelarutan yang tinggi dari zat organik (Robinson, 1989 dalam Christensen et al., 1992).

Kelarutan zat anorganik pada air lindi seperti Cl-, SO

42-, Ca2+, Mg2+ dan Na+ serta logam berat juga sangat tinggi pada pH asam. Seiring dengan tingginya kelarutan zat organik, anorganik, dan logam berat, maka akan mempengaruhi tingginya konsentrasi TDS pada air lindi karena zat organik, anorganik, dan logam berat merupakan komponen penyusun TDS. Pada saat air lindi sudah menunjukkan pH yang hampir mendekati 8, konsentrasi TDS pada lysimeter 1 dan 2 mulai mengalami penurunan dan hampir stabil pada hari ke-90 perngoperasian lysimeter. Hal ini disebabkan karena material organik seperti FVA, BOD dan COD mengalami penurunan pada

(17)

fase metanogensis yang ditandai dengan kenaikan pH hingga mendekati 8. Kenaikan pH ini juga menyababkan kelarutan dari komponen penyusun TDS seperti zat organik, anorganik dan logam berat mengalami penurunan sehingga berpengaruh terhadap konsentrasi TDS baik pada lysimeter 1 maupun lysimeter 2.

Secara umum kelarutan TDS pada lysimeter 1 pada air lindi cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan lysimeter 2. Selain dipengaruhi oleh pH air lindi yang lebih rendah pada

lysimeter 1, kelarutan yang tinggi juga disebabkan oleh temperatur sampah pada lysimeter 1 yang

lebih tinggi jika dibandingkan dengan lysimeter 1. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian dari Kylefors et al. (2002) yang menyatakan bahwa secara umum, kelarutan meningkat sejalan dengan peningkatan temperatur sampah.

5.7 Regresi Linear antara pH Air Lindi dan Temperatur sampah terhadap Konsentrasi TSS dan TDS.

Pada sub bab ini akan dipaparkan mengenai pengaruh/ regresi pH air lindi dan temperatur sampah terhadap konsentrasi TSS dan TDS pada kedua lysimeter dengan menggunakan software eviews dan metode analisis regresi linear sederhana. Berikut ini merupakan hubungan antara tiap parameter serta regresi linear pada kedua lysimeter.

5.7.1 Pengaruh pH air lindi terhadap konsentrasi TSS

Tabel 5.1. Regresi Linear pH air lindi terhadap konsentrasi TSS pada lysimeter 1 (kiri) dan 2 (kanan)

a. Lysimeter 1

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan persamaan linear y= 2216,140 – 141,7353x. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila pH air lindi pada lysimeter 1 naik 1 angka, maka konsentrasi TSS akan turun sebesar 141,7353 mg/L.

(18)

b. Lysimeter 2

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan persamaan linear y= 2054,328 – 178,1548x. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila pH air lindi pada lysimeter 2 naik 1 angka, maka konsentrasi TSS akan turun sebesar 178,1548 mg/L.

5.7.2 Pengaruh pH air lindi terhadap konsentrasi TDS

Tabel 5.2. Regresi Linear pH air lindi terhadap konsentrasi TDS pada lysimeter 1 (kiri) dan 2 (kanan)

a. Lysimeter 1

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan persamaan linear y= 30853,07 – 2896,595x. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila pH air lindi pada lysimeter 1 naik 1 angka, maka konsentrasi TDS akan turun sebesar 2896,595 mg/L.

b. Lysimeter 2

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan persamaan linear y= 34412,39 – 3431,263x. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila pH air lindi pada lysimeter 2 naik 1 angka, maka konsentrasi TDS akan turun sebesar 3431,263 mg/L.

5.7.3 Pengaruh Temperatur Sampah terhadap Konsentrasi TSS

(19)

a. Lysimeter 1

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan persamaan linear y= -372,0001 + 53,71557x. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila temperatur sampah pada lysimeter 1 naik 1oC, maka konsentrasi TSS akan naik sebesar 53,71557 mg/L.

b. Lysimeter 2

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan persamaan linear y= -6593,820 + 246,5083x. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila temperatur sampah pada lysimeter 2 naik 1oC, maka konsentrasi TSS akan naik sebesar 246,5083 mg/L.

5.7.4 Pengaruh Temperatur Sampah terhadap Konsentrasi TDS

Tabel 5.4. Regresi Linear Temperatur Sampah terhadap konsentrasi TDS pada lysimeter 1 (kiri) dan 2 (kanan)

a. Lysimeter 1

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan persamaan linear y= -17263,80 + 200,2402x. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila temperatur sampah pada lysimeter 1 naik 1oC, maka konsentrasi TDS akan naik sebesar 200,2402 mg/L.

b. Lysimeter 2

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan persamaan linear y= -95556,160 + 639,1025x. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila temperatur sampah pada lysimeter 2 naik 1oC, maka konsentrasi TDS akan naik sebesar 639,1025 mg/L.

6. KESIMPULAN

Berdasarkan pengolahan data serta analisa yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kandungan TSS dan TDS pada lysimeter 1 lebih tinggi dibandingkan lysimeter 2, karena proses resirkulasi yang diterapkan pada lysimeter 1 menyebabkan akumulasi volatile fatty acid

(20)

(VFA) pada air lindi yang dihasilkan pada fase awal degradasi sampah (asidogenesis) serta akumulasi material amonia dan klorida pada air lindi hingga akhir pengoperasian lysimeter 1. 2. Perlakuan resirkulasi air lindi pada lysimeter 1 menyebabkan pH air lindi lebih rendah

dibandingkan dengan lysimeter 2 karena akumulasi VFA dan menghambat pembentukan fase metanogenesis.

3. Resirkulasi air lindi menyebabkan temperatur sampah pada lysimeter 1 lebih tinggi dibandingkan dengan lysimeter 2 karena karena kandungan yang terdapat dalam lindi dapat meningkatkan laju stabilitas degradasi sampah.

4. Resirkulasi air lindi menyebabkan potensi terjadinya clogging pada drainage layer lysimeter 1 lebih besar dibandingkan dengan lysimeter 2 karena kandungan TSS dan TDS pada lysimeter 1 lebih besar akibat perlakuan resirkulasi. Semakin besar ukuran partikel kerikil dan semakin homogen ukuran kerikil yang digunakan pada drainage layer, maka potensi terjadinya

clogging akan semakinkecil.

7. SARAN

Adapun saran-saran yang dapat diberikan pada penelitian yang lebih lanjut adalah sebagai berikut :

1. Penelitian berikutnya dapat menerapkan penyesuaian pH (pH adjustment) dengan menambahkan larutan penyangga (buffer liquid) pada air lindi sebelum diresirkulasikan ke dalam sampah agar pembentukan fase metanogenesis tidak terhambat.

2. Untuk penelitian mendatang, perlu diperhatikan mengenai metode pengambilan dan penyimpanan/ penanganan sampel agar parameter kualitas air lindi yang akan diuji lebih akurat.

3. Untuk penelitian mendatang, disarankan agar tebal serta berat tiap lapisan penyusun lysimeter (tanah, kerikil) serta densitas sampah sama atau tidak terpaut terlalu jauh.

4. Untuk mengetahui pembentukan clog pada leachate collection system (LCS), khususnya pada drainage layer, perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan permodelan mesocosm.

(21)

8. KEPUSTAKAAN

Badan Pusat Statistik Kota Depok. 2010. Kota Depok Dalam Angka 2010. Depok: BPS Kota Depok.

Damanhuri, E. (2007, November). Trend global dalam pengelolaan sampah. Makalah seminar pada Symposium Pengembangan Surabaya Metropolitan Area di Masa Depan – Sub Topik Manajemen Sampah Kota, 50 tahun Jurusan Teknik Sipil ITS, Surabaya.

Christensen, T. H., Cossu R., Stegmann R. (1992). Landfilling of waste: leachate. Madison Ave, New York.

Sponza, D. T. dan Agdad, O. N. (2004). Impact of leachate recirculation and recirculation

volume on stabilization of municipal solid wastes in simulated anaerobic bioreactors.

Turki.

Yulistiawati, E. (2008). Pengaruh suhu dan C/N rasio terhadap produksi biogas berbahan baku

sampah organik sayuran. Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi

Pertanian IPB, Bogor.

Rafizul, I.M., Alamgir, M. (2012). Characterization and tropical seasonal variation of leachate:

Results from landfill lysimeter studied.

Kim H. (2005). Comparative studies of aerobic and anaerobic landfills using simulated landfill

lysimeters. Ph.D. Thesis, University of Florida, USA.

Yesiller, N., Hanson, J. L., Yoshida, H. (2005). Landfill temperature under variable decompotition conditions.

Priyambada, I. B., Budiharjo, M. A., Aprianti, J. (2009). Pengaruh resirkulasi lindi terhadap

potensi produksi gas metan. (Ch4).

Kylefors, K., Andreas, L., Lagerkvist, A. (2002). A comparison of small-scale, pilot-scale and

large-scale test for predicting leaching behavior of landfilled wastes. Journal of Waste

Management, vol.:23, n:1.

Swati, M., Kurian, J., dan Nagendran, R. (2005). Bioreactor landfill lysimeter studies on indian

urban refuse. Centre for Environmental Studies, Anna University, Chennai 600 025,

India.

Francois, V. G., Feuillade, M. G., Lagier, T. dan Skhiri, N. (2007). Leachate recirculation effects

on waste degradation: study on columns. Waste Management Journal 27:1259–1272.

Rowe, R.K. and Yu, Y. (2010). Factors affecting the clogging of leachate collection systems in

MSW landfills, Keynote lecture, 6th International Conference on Environmental

Geotechnics, New Delhi, November 2010, 3-23.

Kjeldsen, P., Barlaz, M. A., Rooker, A. P., Baun, A., Ledin, A. & Christensen, T. H. (2002). Present and long-term composition of MSW landfill leachate: A Review, Critical Reviews

in environmental Science and Technology, 32:4, 297-336.

McBean, E. A., Rovers F.A., & Farquhar G.J. (1995). Solid waste landfill Engineering and

design. Prentice Hall PTR.

Sahidu, S., 1983. Kotoran Sebagai Sumber Energi. Dewaruci Press, Jakarta.

Sartaj, M., Ahmadifar, M., & Jashni, A. K. (2010). Assessment of in-situ aerobic treatment of

municipal landfill leachate at laboratory scale. Iranian Journal of Science & Technology,

Transaction B, Engineering Vol. 34, No. B1, pp 107-116 Printed in The Islamic Republic of Iran

Gambar

Tabel 3. Komponen Penyusun Lysimeter
Gambar 3.1. Detail Desain Lysimeter 1 (kiri) dan Lysimeter 2 (kanan)
Gambar 5.1. Temperatur Sampah pada Lysimeter 1 dan 2  Sumber : Hasil Olahan Penulis, 2013
Gambar 5.2. pH Air Lindi pada Lysimeter 1 dan 2  Sumber : Hasil Olahan Penulis, 2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam proyek kali ini kami membatasi masalah hanya di dalam ruang lingkup panitia penerimaan siswa baru dan calon siswa baru yang mendaftar di SMA Negeri 2 SLEMAN.Jadi didalam

Tidak terdapat perbedaan garis regresi ukuran otolit - panjang total antar seks, tetapi terdapat perbedaan yang sangat nyata garis regresi tersebut antar waktu

Hasil dari pembahasannya yaitu pertama, faktor penyebab penyalahguna ecstasy di kota Jambi adalah faktor intern atau faktor yang berasal dari dalam diri sipenyalahguna itu

15 Dalam rangka penataan pola tata ruang lingkungan rumah tinggal (pekarangan) dapat dilakukan dengan prinsip yang dapat membangun identitas prinsip-prinsip

Just as discounted cash flow valuation models, such as the dividend discount model, can be used to value financial assets, they can also be used to value cash flow producing real

(2) Implementasi integrasi kurikulum berdasarkan regulasi sekolah dan pesantren dengan mengintegrasikan semua aspek kompetensi (3) Adanya kurikulum pendukung

Dalam menerapkan model pembelajarn IPS terpadu dengan menggunakan pendekatan masalah Anda dapat memilih model yang dikemukakan oleh para ahli di atas. Karena pada prinsipnya

buku, teori, dan lain – lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan teknik wawancara dengan pihaka. terkait.