• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyusunan fungsi produksi menurut umur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyusunan fungsi produksi menurut umur"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyusunan fungsi produksi menurut umur

Tanaman kelapa sawit akan menghasilkan tandan buah segar (TBS) yang dapat dipanen pada saat tanaman berumur 3 atau 4 tahun. Produksi TBS yang dihasilkan akan terus bertambah seiring bertambahnya umur dan akan mencapai produksi yang optimal dan maksimal pada saat tanaman berumur 9 – 14 tahun, dan setelah itu produksi TBS yang dihasilkan akan mulai menurun. Umumnya, tanaman kelapa sawit akan optimal menghasilkan TBS hingga berumur 25 – 26 tahun. Sehingga dapat dikatakan bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi fluktuasi TBS yang dihasilkan tanaman kelapa sawit adalah umur tanaman.

Dalam pendugaan produktivitas tanaman kelapa sawit dengan menggunakan data anomali sea surface temperature di Nino-3,4, terlebih dahulu harus dihilangkan pengaruh dari faktor umur. Hal ini dapat dilakukan dengan merumuskan fungsi produksi (f(p)) menurut fungsi umur tanaman (f(u)) yang menggunakan model non-linier famili eksponen (Siregar, 1998 dan Manurung, 1986), yaitu:

f(p) = f(u) + sisaan

Yt = f(u) = a + b ln (t) exp (ct) + ε1 ; t = 4, 5, 6, …, 25 tahun Hasil pendugaan model produksi tanaman kelapa sawit berdasar umur tanaman untuk setiap kebun kelapa sawit yang diamati disajikan pada Tabel 1. Masing-masing kebun mempunyai model pendugaan produksi sendiri dengan nilai parameter yang berbeda-beda untuk tiap kebun. Nilai dari parameter akan menentukan seberapa besar kenaikan dan/atau penurunan produksi hasil pendugaan model untuk masing-masing. Pendugaan nilai parameter a, b, dan c dilakukan dengan memanfaatkan software MS EXCEL dengan tools SOLVER. Prinsip kerja Solver yaitu menyelesaikan dengan cara mencari kuadrat terkecil atau meminimumkan galat.

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa model pendugaan produksi berdasar fungsi umur tanaman dapat menjelaskan keragaman produksi tahunan yang terjadi pada perkebunan kelapa sawit yang diamati di Sumatera sebesar 0,6-0,9 (Lampiran 1). Nilai koefisien determinasi yang diperoleh dari model persamaan

(2)

umur di setiap kebun yang tersebar di Sumatera menunjukkan pola sebaran nilai koefisien determinasi tertentu pada kebun yang diamati di Sumatera. Pola sebarannya yaitu pada Sumatera Utara bagian Utara nilai koefisien determinasi akan berkisar di atas 0,90 sedangkan di Sumatera Utara bagian Selatan hingga mendekati katulistiwa (provinsi Riau), nilai koefisien determinasi akan menurun pada kisaran 0,70–0,80. Selanjutnya, pada bagian tengah Sumatera di sekitar katulistiwa hingga ke Sumatera bagian Selatan, nilai koefisien determinasi kembali meningkat pada kisaran di atas 0,90. Dan kemudian akan menurun pada Sumatera bagian Selatan yaitu pada nilai kisaran di bawah 0,80 (Gambar 6). Tabel 3. Model pendugaan produksi TBS menurut fungsi umur tanaman

No Nama Kebun Model R2

Provinsi Sumatera Utara

1 Tanah Raja Y = -42,8906 + 39,1688 ln (t) exp (-0,03062 t) 0,967 2 Rambutan Y = -21,2330 + 25,1974 ln (t) exp (-0,03022 t) 0,835 3 Dusun Ulu Y = -35,1469 + 32,5709 ln (t) exp (-0.0268 t) 0,958 4 Tinjowan Y = -19,0312 +23,7951 ln (t) exp (-0,034546 t) 0,943 5 Sei Dadap Y = -29,6814 + 32,1864 ln (t) exp (-0,03561 t) 0,847 6 Huta Padang Y = -12,1253 + 15,4030 ln (t) exp (-0,01913 t) 0,885 7 Balimbingan Y = -1,9058 + 9,8711 ln (t) exp (-0.0154 t) 0,982 8 Labuhan Haji Y = 1,2821 + 5,4226 ln (t) exp (0,02535 t) 0,899 9 Aek Nabara Selatan Y = -10,6238 + 19,0017 ln (t) exp (-0,02926 t) 0,873 10 Bukit Tujuh Y = -20,8916 + 22,7288 ln (t) exp (-0,02821 t) 0,602 11 Sei Meranti Y = -10,8276 + 19,9256 ln (t) exp (-0,03351 t) 0,610 Provinsi Riau

12 Sei Tapung Y = -9,08812 + 14,3124 ln (t) exp (-0,01977 t) 0,876 13 Tandun Y = -21,8408 + 26,9868 ln (t) exp (-0,036021 t) 0,832 14 Terantam Y = -16,1545 + 19,1527 ln (t) exp (-0,0261 t) 0,868 15 Sei Galuh Y = -10,6695 + 14,1013 ln (t) exp (-0,010265 t) 0,957 16 Sei Buatan Y = 1,2088 + 4,6751 ln (t) exp (-0,01188 t) 0,950 17 Sei Pagar Y = -8,3127 + 12,7916 ln (t) exp (-0,01053 t) 0,919 Provinsi Jambi dan Sumatera Barat

18 Ophir Y = -16.6738 + 23.07801 ln (t) exp(-0.0328t) 0,930 19 Solok Selaan Y = -31,4600 + 30,0137 ln (t) exp(-0,0307t) 0,978 20 Rimbo Bujang Y = -55.1273 + 52.27123 ln (t) exp(-0.0383t) 0,962 21 Bunut Y = -13.9789 + 14.153 ln (t) exp (-0.012 t) 0,934 22 Tanjung Lebar Y = -31,0031 + 26,3495 ln (t) exp (-0,0232t) 0,910 Provinsi Sumatera Selatan dan Lampung

23 Padang Ratu Y = -8,6921 + 18,1785 ln (t) exp (-0,03543 t) 0,780 24 Bekri Y = -32,5373 + 30,3226 ln (t) exp (-0,03105 t) 0,794 25 Rejosari Y = -22,9661 + 22,7424 ln (t) exp (-0,02595 t) 0,794 26 Betung Y = -22,6124 + 24,8558 ln (t) exp (-0,0337 t) 0,691

(3)

Gambar 6. Peta sebaran kebun pengamatan berdasarkan R2 hasil simulasi produksi berdasar umur dan batas wilayah Monsoonal Selatan.

Keterangan: 1.Tanah Raja; 2.Rambutan; 3.Dusun Ulu; 4.Tinjowan; 5.Sei Dadap; 6.Huta Padang; 7.Balimbingan; 8.Labuhan Haji; 9.Aek Nabara Selatan; 10.Bukit Tujuh; 11.Sei Meranti; 12.Sei Tapung; 13.Tandun; 14.Terantam; 15.Sei Galuh;16.Sei Buatan; 17.Sei Pagar; 18.Ophir; 19.Solok Selatan; 20.Rimbo Bujang; 21.Bunut; 22.Tanjung Lebar; 23.Betung; 24.Padang Ratu; 25.Bekri; dan 26.Rejosari.

(4)

Secara khusus jika dilihat pada daerah Provinsi Lampung (Kebun Padang Ratu, Bekri, dan Rejosari), model pendugaan produksi berdasar fungsi umur tanaman secara tahunan dapat menjelaskan keragaman produksi yang terjadi rata-rata sebesar 0,79. Keragaman yang dapat dijelaskan fungsi umur tahunan ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Siregar (1998) yang merumuskan model pendugaan produksi di daerah Provinsi Lampung berdasar fungsi umur tanaman per enam bulan (semester) yang hanya dapat menjelaskan keragaman produksi yang terjadi sebesar 0,1857. Sehingga untuk ditambahkan variabel deret hari kering maksimum, frekuensi deret hari kering, dan curah hujan untuk memperbesar nilai koefisien determinasi hingga menjadi 0,75.

Gambar 7. Perbandingan sebaran produksi TBS observasi dan simulasi menurut fungsi umur tanaman di provinsi Sumatera Utara.

Produksi aktual Trend produksi

(5)

Nilai koefisien determinasi dari hasil persamaan pendugaan produksi TBS berdasar umur (tahunan) yang cukup tinggi dibandingkan dengan pendugaan produksi TBS berdasar umur (semester) yang dihasilkan Siregar (1998) diduga karena produksi TBS tahunan merupakan rataan produksi selama satu tahun, sehingga tidak menunjukkan adanya pengaruh musim hujan dan kering yang menyebabkan fluktuasi produksi. Sementara simulasi pendugaan produksi TBS yang dilakukan Siregar adalah produksi TBS per semester yang masih sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim musiman (musim hujan dan kering), terlebih di lokasi yang diamati (Lampung) merupakan wilayah yang jelas musim hujan dan musim keringnya (terdapat bulan kering >2 bulan).

Gambar 8. Perbandingan sebaran produksi TBS observasi dan simulasi menurut fungsi umur tanaman di provinsi Riau.

Pada Gambar 7 – 10 diperlihatkan fluktuasi dan penyebaran produksi TBS kelapa sawit serta fitting trend yang diperoleh dari fungsi produksi menurut umur tanaman. Kondisi umur tanaman kelapa sawit di masing-masing kebun berbeda satu sama lain sehingga pola yang diperoleh pada setiap kebun akan berbeda pula. Akan tetapi secara umum, dapat dilihat bahwa pada awalnya produksi TBS akan meningkat dengan cepat hingga mencapai produksi TBS yang optimal pada umur 9–13 tahun, dan kemudian produksi TBS akan menurun secara perlahan hingga tanaman berumur 25-26 tahun. Siklus tanaman kelapa sawit pada umumnya berumur 25–26 tahun. Setelah melewati umur tersebut tanaman masih akan tetap menghasilkan, tetapi tidak bernilai ekonomis lagi sehingga umumnya akan disarankan untuk ditanam ulang.

Produksi aktual Trend produksi

(6)

Gambar 9. Perbandingan sebaran produksi TBS observasi dan simulasi menurut fungsi umur tanaman di provinsi Jambi dan Sumatera Barat.

Gambar 10. Perbandingan sebaran produksi TBS observasi dan simulasi menurut fungsi umur tanaman di provinsi Sumatera Selatan dan Lampung. Secara khusus pola penyebaran produksi berdasarkan umur (tahunan) di provinsi Sumatera Utara (Gambar 7) menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi pada dua kebun di bagian selatan provinsi Sumatera Utara lebih rendah dibandingkan di lokasi lainnya di provinsi Sumatera Utara (±0,6) yaitu pada kebun Bukit Tujuh dan Sei Meranti. Hal ini cukup menarik mengingat kondisi iklim di lokasi tersebut masih tergolong sesuai bagi kelapa sawit (jumlah curah hujan cukup dan merata sepanjang tahun). Diduga keragaman produksi yang tidak dapat dijelaskan oleh persamaan berdasar umur adalah karena kondisi

Produksi aktual Trend produksi

Produksi aktual Trend produksi

(7)

topografi di kedua wilayah yang berbukit sehingga cukup berbeda dengan kondisi topografi di kebun-kebun lainnya yang diamati di provinsi Sumatera Utara.

Gambar 11. Kondisi topografi areal kelapa sawit di kebun Sei Meranti.

Selain itu, pada provinsi Sumatera Selatan juga terdapat nilai koefisien determinasi yang lebih rendah dibandingkan di lokasi lainnya yaitu di kebun Betung (R2 = 0,69). Keragaman produksi yang tidak dapat dijelaskan oleh persamaan fungsi umur diduga dapat dijelaskan oleh jenis lahan di kebun Betung yang tergolong lahan pasang surut, serta konservasi air yang kurang baik di lokasi tersebut. Jika terjadi hujan dengan intensitas yang cukup tinggi, maka areal akan tergenang dalam waktu yang cukup lama sehingga akan mengganggu pertumbuhan tanaman kelapa sawit.

Hasil sisaan dari simulasi model pendugaan produksi berdasarkan umur tanaman selanjutnya akan digunakan dalam pendugaan rataan produksi TBS yang dihasilkan masing-masing kebun per tahun yang disesuaikan dengan umur tanaman yang terdapat di kebun. Berdasarkan perhitungan tersebut akan diperoleh data sisaan model simulasi per kebun per tahun. Sisaan pada model simulasi yang dipengaruhi data iklim seringkali masih mempunyai pola atau tidak acak, maka komponen sisaan dapat dihubungkan dengan peubah lainnya yang diduga dapat menjelaskan keragaman sisaan dengan baik. Dalam penelitian ini, peubah yang dimaksud yaitu anomali suhu muka laut di Nino-3,4.

(8)

Identifikasi hubungan produksi kelapa sawit dengan suhu muka laut

Karakteristik curah hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh wilayah, bulan, dan musim, serta distribusi dataran dan laut. Menurut Aldrian (2003), negara Indonesia terbagi menjadi tiga wilayah klimatologi berdasar karakteristik curah hujan yang dipengaruhi oleh kejadian ENSO (El Nino Southern Oscillation), yaitu wilayah monsoonal selatan, wilayah semi-monsoonal barat daya, dan wilayah anti-monsoonal Maluku. Wilayah monsoonal selatan meliputi bagian selatan Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, seluruh Pulau Jawa, dan sebagian besar Pulau Irian. Wilayah monsoonal barat daya meliputi bagian utara Pulau Sumatera dan Kalimantan, sementara wilayah anti-monsoonal Maluku meliputi sebagian pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku.

Fluktuasi curah hujan di bagian Selatan Indonesia (wilayah monsoonal selatan) pada bulan Juli – November dipengaruhi oleh ENSO, sedangkan wilayah anti-monsoonal Maluku dipengaruhi oleh ENSO pada bulan Juni-November. Kedua kejadian tersebut lebih sensitif terhadap kejadian El Nino daripada La Nina. Sementara wilayah monsoonal barat daya kurang dipengaruhi oleh ENSO.

Berdasarkan pembagian wilayah klimatologi beradasarkan pengaruh ENSO, maka terdapat 7 (tujuh) kebun dari total kebun yang diamati di Sumatera yang termasuk ke dalam wilayah monsoonal selatan, yaitu kebun Rimbo Bujang, Bunut, Tanjung Lebar, Betung, Padang Ratu, Bekri, dan Rejosari (Gambar 12). Data sisaan hasil simulasi produksi menurut umur tanaman setiap kebun tersebut akan dirata-ratakan untuk selanjutnya dikorelasikan dengan anomali SST di Nino-3,4.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara rataan sisaan hasil simulasi produksi berdasar umur dengan anomali SST pada Juni-Juli-Agustus (JJA) di Nino-3,4 satu tahun sebelumnya (lag-1 tahun) sebesar -0,406 dengan P-value = 0,043, yang berarti berkorelasi nyata dengan tingkat kepercayaan 95% (Gambar 13). Hal ini menunjukkan bahwa anomali SST di Nino-3,4 memberikan pengaruh terhadap fluktuasi produksi tanaman kelapa sawit yang tidak dapat dijelaskan oleh pengaruh umur.

(9)

Gambar 12. Peta sebaran kebun yang diamati di Sumatera yang termasuk ke dalam wilayah monsoonal selatan

Gambar 13. Hubungan antara sisaan model berdasar umur dengan anomali SST lag-1 tahun

Nilai korelasi yang negatif berarti nilai anomali SST akan berlawanan dengan produksi TBS. Jika anomali SST bernilai positif, maka produksi TBS akan cenderung turun. Begitu juga sebaliknya, jika anomali SST bernilai negatif, maka

A n o m ali S ST C ) 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4

(10)

produksi TBS akan cenderung meningkat. Hal ini dapat dijelaskan dengan jika nilai anomali SST positif (>0,8°C) maka akan terjadi fenomena El Nino yang akan menyebabkan situasi lingkungan yang kering di sebagian Indonesia, sehingga tanaman kelapa sawit akan mengalami cekaman kekeringan. Sedangkan jika nilai anomali negatif (<0,8°C) maka akan terjadi fenomena La Nina yang menyebabkan situasi yang basah di sebagian Indonesia, sehingga kebutuhan air tanaman kelapa sawit akan tercukupi.

Nilai korelasi yang tinggi dan nyata antara sisaan persamaan dengan anomali SST di Nino-3,4 pada lag ke-1 tahun (12 bulan) dapat disebabkan karena pada tahun sebelumnya merupakan proses penentuan seks rasio dan anthesis pada perkembangan bunga dan tandan kelapa sawit. Proses penentuan seks rasio merupakan proses yang penting dalam perkembangan bunga kelapa sawit. Semakin tinggi seks rasio berarti semakin banyak bunga betina yang terdapat di lapang, sehingga peluang untuk mendapatkan produksi tandan yang tinggi akan semakin besar (Corley, 2003). Dengan curah hujan yang cukup, maka akan semakin banyak bunga betina yang terbentuk yang nantinya akan menjadi tandan sawit. Sedangkan apabila terjadi cekaman kekeringan, maka akan lebih banyak bunga jantan yang muncul. Selain itu, proses anthesis juga sangat penting karena pada saat terjadi pemekaran bunga (anthesis) dapat terjadi aborsi bunga yang disebabkan oleh kekurangan karbohidrat, kurangnya ketersediaan air, sehingga tanaman akan mengalami cekaman. Jumlah bunga yang mengalami aborsi dapat mencapai lebih 25% dari produksi bunga yang dihasilkan (Bealing, 1989).

Pendugaan produksi kelapa sawit berdasarkan anomali SST

Informasi yang lebih jelas mengenai hubungan produksi kelapa sawit dengan anomali SST dilakukan melalui analisis menggunakan data produksi TBS dan anomali SST bulanan. Data tersebut digunakan dalam merumuskan persamaan untuk menduga produksi kelapa sawit berdasarkan anomali SST. Pendugaan produksi TBS tersebut menggunakan data produksi bulanan di salah satu kebun yang diamati yang terdapat di wilayah yang menurut Aldrian (2003) termasuk ke dalam wilayah yang karakteristik curah hujannya dipengaruhi kuat oleh fenomena ENSO (monsoonal selatan).

(11)

Kebun yang akan diduga produksinya yaitu kebun Rejosari yang terletak di provinsi Lampung. Data produksi bulanan yang tersedia di kebun Rejosari yaitu mulai bulan Januari 2003 – Mei 2011. Data Januari 2003 – Desember 2009 digunakan untuk merumuskan persamaan penduga produksi TBS, sementara data Januari 2010 – Mei 2011 digunakan untuk validasi model. Kebun Rejosari terdiri dari tanaman kelapa sawit dengan tahun tanam yang beragam, yaitu tahun tanam 1984, 1987, 1989, 1992–1996, 1998–2002.

Perumusan model pendugaan produksi TBS dilakukan dengan beberapa tahap. Tahap yang pertama yaitu menghilangkan pengaruh umur dan musiman dengan menggunakan persamaan non-linier famili eksponen dan persamaan regresi Fourier, tahap kedua yaitu membangun hubungan antara sisaan dari persamaan sebelumnya dengan anomali SST di Nino-3,4, dan tahap ketiga yaitu membangun model untuk menduga produksi kelapa sawit menggunakan stochastic spreadsheet dengan memanfaatkan persamaan sebelumnya

Fungsi atau model pendugaan produksi menurut fungsi umur dirumuskan dengan menggunakan model non-linier famili eksponen. Perumusan fungsi umur dilakukan dengan merumuskan fungsi berdasarkan umur sesuai dengan tahun tanam yang terdapat di kebun Rejosari. Setiap data produksi diinventaris berdasarkan umur, sehingga diperoleh data rataan produksi berdasar umur. Berdasarkan hal tersebut, model pendugaan produksi berdasarkan umur menjadi:

f(u) = Yt = -9007,81 + 2546,24 ln(t) exp (-0,00123 t) + ε1; keterangan t = umur tanaman (bulan)

Pola produksi TBS di kebun Rejosari menunjukkan peningkatan yang cepat di awal menghasilkan TBS hingga mencapai produksi TBS yang optimal dan maksimal pada umur 100 – 168 bulan (9–13 tahun), dan kemudian produksi TBS akan menurun secara perlahan hingga tanaman berumur 300 – 312 bulan (25-26 tahun) seperti yang ditampilkan pada Gambar 13. Setelah melewati umur tersebut tanaman masih akan tetap menghasilkan, tetapi tidak bernilai ekonomis lagi sehingga umumnya akan disarankan untuk ditanam ulang.

Perumusan fungsi pendugaan produksi tanaman berdasar tahun tanam menghasilkan nilai koefisien determinasi sebesar 22%, yang artinya model berdasarkan fungsi umur dapat menjelaskan produksi bulanan pada kebun

(12)

Rejosari sebesar 22%. Sisaan pada model berdasarkan fungsi umur menunjukkan pola tertentu yang akan diduga dengan persamaan regresi Fourier (Gambar 14). Persamaan Fourier digunakan untuk menangkap pola musiman dari sisaan tersebut karena persamaan Fourier bersifat smooth sehingga masih terdapat sisaan anomali produksi yang bisa ditangkap yang terjadi akibat anomali SST.

Gambar 14. Perbandingan produksi TBS hasil simulasi dan observasi.

Selanjutnya, sisaan dari hasil persamaan ini akan dihilangkan pengaruh bulan atau musimannya dengan menggunakan persamaan fourier untuk masing-masing tahun tanam (Tabel 4), yaitu:

ε1 = d(i) + e(i) sin (t*) + f(i) cos (t*) + g(i) sin 2(t*) + h(i) cos 2(t*) + ε2;

keterangan: t* = 2π t/12; (t = 1, 2, ..., 12); dan i = tahun tanam

(13)

Tabel 4. Persamaan Fourier yang digunakan dalam model per tahun tanam Tahun Tanam Model persamaan Fourier

a. 1984 ε1 = 195 – 428 sin (t*) + 530 cos (t*) – 263 sin 2(t*) + 289 cos 2(t*) + ε2; b. 1987 ε1 = 125 – 136 sin (t*) + 385 cos (t*) – 217 sin 2(t*) + 293 cos 2(t*) + ε2; c. 1989 ε1 = – 119 - 241 sin (t*) + 309 cos (t*) – 188 sin 2(t*) + 220 cos 2(t*) + ε2; d. 1992 ε1 = – 164 – 456 sin (t*) + 326 cos (t*) – 262 sin 2(t*) + 146 cos 2(t*) + ε2; e. 1993 ε1 = – 117 – 388 sin (t*) + 251 cos (t*) – 280 sin 2(t*) + 165 cos 2(t*) + ε2; f. 1994 ε1 = – 92,3 – 286 sin (t*) + 196 cos (t*) – 247 sin 2(t*) + 197 cos 2(t*) + ε2; g. 1995 ε1 = –19,1 – 139 sin (t*) + 207 cos (t*) – 256 sin 2(t*) + 228 cos 2(t*) + ε2; h. 1996 ε1 = 136 – 82 sin (t*) + 119 cos (t*) – 211 sin 2(t*) + 239 cos 2(t*) + ε2; i. 1998 ε1 = 138 + 90 sin (t*) – 135 cos (t*) – 162 sin 2(t*) + 197 cos 2(t*) + ε2; j. 1999 ε1 = –60,8 + 99,6 sin (t*) – 91,8 cos (t*) – 148 sin 2(t*) + 135 cos 2(t*) + ε2; k. 2000 ε1 = 46,1 + 219 sin (t*) – 217 cos (t*) – 200 sin 2(t*) + 118 cos 2(t*) + ε2; l. 2001 ε1 = 114 + 101 sin (t*) – 193 cos (t*) – 218 sin 2(t*) + 148 cos 2(t*) + ε2; m.2002 ε1 = –54,8+ 26,5 sin (t*) – 150 cos (t*) – 98,6 sin 2(t*) + 140 cos 2(t*) + ε2; Keterangan: t* = 2π t/12; (t = 1, 2, ..., 12);

Sisaan yang diperoleh dari persamaan fourier tersebut selanjutnya akan dikorelasikan dengan anomali suhu muka laut di Nino-3,4 pada bulan yang sama atau beberapa bulan sebelumnya (lag). Hasil perhitungan sebelumnya dengan menggunakan data produksi tahunan telah menunjukkan bahwa produksi tanaman kelapa sawit mempunyai korelasi yang nyata dengan anomali SST pada JJA di lag satu tahun. Walaupun begitu, untuk lebih memperjelas hubungan korelasi antara produksi TBS dengan anomali SST, dilakukan analisa dengan menggunakan data bulanan. Analisa korelasi dilakukan terhadap 1-24 bulan sebelumnya (lag 1-24) sehingga diperoleh data waktu tunda yang mempunyai korelasi tertinggi terhadap produksi TBS (Gambar 15).

Berdasarkan hasil analisa korelasi produksi TBS terhadap waktu tunda selama 1-24 bulan, maka diperoleh nilai korelasi tertinggi dan nyata pada lag 12 bulan, dengan nilai korelasi -0,402 (P-value = 0,000). Sehingga persamaan yang diperoleh untuk masing-masing tahun tanam adalah:

ε2 = sisaan 2 = j(i) + k(i) x + ε3

keterangan: x= anomali SST di Nino-3,4 lag-12 bulan; dan i = tahun tanam Persamaan yang lengkap dengan nilai koefisien untuk masing-masing tahun tanam disajikan pada Tabel 5.

(14)

Gambar 16. Hasil korelasi antara produksi TBS dengan waktu tunda (lag) anomali SST di Nino-3,4.

Nilai korelasi yang tinggi dan nyata antara sisaan persamaan dengan anomali SST di Nino-3,4 pada lag ke-11 hingga 14 bulan dapat disebabkan karena pada saat 11-14 bulan sebelum buah dapat dipanen merupakan proses penentuan seks rasio dan anthesis pada perkembangan bunga dan tandan kelapa sawit. Proses penentuan seks rasio merupakan proses yang penting dalam perkembangan bunga kelapa sawit (Corley, 2003). Dengan curah hujan yang cukup, maka akan semakin banyak bunga betina yang terbentuk yang nantinya akan menjadi tandan sawit. Sedangkan apabila terjadi cekaman kekeringan, maka akan lebih banyak bunga jantan yang muncul. Selain itu, jika terjadi cekaman kekeringan pada saat itu, maka bunga betina yang sudah terbentuk sebelumnya dapat mengalami aborsi atau gagal tandan.

Berdasarkan hasil perhitungan dari persamaan sebelumnya, ternyata galat yang diperoleh dari persamaan terdahulu memiliki auto regresi terhadap galat

pada waktu sebelumnya (ε3-1), sehingga dibutuhkan satu persamaan ke dalam fungsi pendugaan produksi tanaman kelapa sawit yang mencakup galat tersebut (Tabel 5). Persamaannya yaitu:

ε3 = sisaan 3 = m (ε3-1) + ω(i)

keterangan : ω(i) = white noise error

Sementara itu, nilai dari ε3-1 yang akan digunakan dalam model pendugaan produksi TBS diperoleh dari perhitungan galat (ε3-1) selama tujuh tahun pengamatan yang direratakan per bulan (Januari – Desember).

(15)

Tabel 5. Persamaan penduga ASST dan galat (ε3-1) yang digunakan dalam model per tahun tanam

Tahun Tanam Persamaan penduga ASST Persamaan penduga galat

a. 1984 ε2 = –45,60 + 210 x + ε3 ε3= 0,666 (ε3-1) + ω(i) b. 1987 ε2 = –83,80 + 386 x + ε3 ε3 = 0,734 (ε3-1) + ω(i) c. 1989 ε2 = –60,90 + 292 x + ε3 ε3= 0,644 (ε3-1) + ω(i) d. 1992 ε2 = –36,8 + 213 x + ε3 ε3 = 0,752 (ε3-1) + ω(i) e. 1993 ε2 = –43,90 + 255 x + ε3 ε3= 0,696 (ε3-1) + ω(i) f. 1994 ε2 = –43,2 + 251 x + ε3 ε3 = 0,734 (ε3-1) + ω(i) g. 1995 ε2 = –73,02 + 423 x + ε3 ε3 = 0,676 (ε3-1) + ω(i) h. 1996 ε2 = –66,0 + 382 x + ε3 ε3= 0,656 (ε3-1) + ω(i) i. 1998 ε2 = –52,0 + 301 x + ε3 ε3 = 0,726 (ε3-1) + ω(i) j. 1999 ε2 = –51,80 + 301 x + ε3 ε3= 0,756 (ε3-1) + ω(i) k. 2000 ε2 = –34,9 + 452 x + ε3 ε3 = 0,722 (ε3-1) + ω(i) l. 2001 ε2 = –1,8 + 268 x + ε3 ε3 = 0,819 (ε3-1) + ω(i) m.2002 ε2 = 15,60 + 134 x + ε3 ε3 = 0,777 (ε3-1) + ω(i) Keterangan: x = ASST di Nino-3,4 lag-12 bulan; ω(i) = white noise error

Seluruh tahap persamaan tersebut di atas (Lampiran 2) akan digunakan dalam menduga produktivitas tanaman kelapa sawit per bulan per tahun tanam (planting year) dimana masing-masing tahun tanam yang terdapat di kebun Rejosari akan memiliki persamaan tersendiri. Sehingga produksi tanaman kelapa sawit di kebun Rejosari merupakan hasil penjumlahan produksi masing-masing tahun tanam pada waktu tertentu, dengan persamaan:

Y(t) = Σ Y(i) + ω(i) ;

keterangan : i = tahun tanam

Keseluruhan model penduga produksi kelapa sawit yang telah dibangun sebelumnya disusun dalam sebuah lembar spreadsheet sehingga menjadi suatu kesatuan yang mencakup input, asumsi (proses), dan output. Sehingga bagi pengguna yang ingin memanfaatkan rumusan ini dapat melakukannya dengan mudah. Tahap pertama yaitu memasukkan input data berupa bulan dan tahun serta anomali SST di Nino-3,4 saat melakukan prediksi, dan kemudian tekan “mulai” simulasi pada aplikasi crystall ball, maka akan keluar output berupa produktivitas tanaman kelapa sawit pada 12 bulan berikutnya (Lampiran 3).

(16)

Perangkat lunak Crystal Ball akan melakukan simulasi peluang galat (white noise) yang mungkin terjadi di lapang sebanyak 1000 kali simulasi per kejadian/bulan. Dengan membangkitkan data sebanyak 1000 kali, maka nilai yang dihasilkan crystal ball memiliki tingkat ketelitian sebesar 0,1. Angka yang keluar di output merupakan rataan dari seluruh peluang yang diduga terjadi dengan asumsi data tersebar secara normal. Sehingga diharapkan hasil simulasi dapat mewakili kejadian sesungguhnya yang terjadi di lapang.

Kelebihan dari simulasi yang dilakukan yaitu pendugaan dilakukan pada setiap tahun tanam yang terdapat di kebun yang diamati (kebun Rejosari). Sehingga jika terjadi penambahan ataupun pengurangan areal untuk masing-masing tahun tanam ataupun terdapat penanaman pada waktu yang akan datang, model penduga ini tetap dapat dimanfaatkan tanpa harus disusun ulang.

Model pendugaan produktivitas kelapa sawit ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengusaha kelapa sawit, khususnya yang terletak pada wilayah Monsoonal Selatan yang sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Target atau ekspektasi produksi yang telah diduga oleh kebun berdasarkan penghitungan jumlah bunga dan tandan yang ada di lapang bisa tidak tepat sasaran karena kondisi iklim yang bersifat ekstrim akibat fenomena ENSO. Dengan memanfaatkan model ini, maka bisa diketahui pada waktu 12 bulan sebelumnya sehingga dapat dilakukan langkah-langkah berupa antisipasi untuk meredam pengaruh kejadian El Nino berupa cekaman kekeringan yaitu dengan perlakuan konservasi tanah dan air, misalnya pembangunan guludan, rorak (silt pit), biophore, dan aplikasi bahan organik.

Selain itu, model ini tergolong mudah dan praktis digunakan produsen mengingat input data yang dibutuhkan hanya besaran nilai anomali SST di Nino-3,4. Jika dibandingkan dengan model-model sebelumnya yang telah dilakukan oleh Manurung (1986) yang menggunakan 16 peubah unsur iklim dan ketertinggalan waktu (lag), atau Siregar (1998) yang menggunakan tiga parameter (deret hari kering maksimum pada lag 4-9 bulan sebelumnya, frekuensi deret hari kering >5 hari pada lag 22-27 bulan sebelumnya dan peubah kekeringan curah hujan pada lag 3-8 bulan sebelumnya). Dan juga terdapat Henson (2005) yang menggunakan empat parameter (interval munculnya pelepah baru, tingkat

(17)

pembentukan dan perkembangan tandan, fungsi seks rasio dan kejadian buah aborsi, dan berat tandan). Serta Khamis et.al (2006) yang melakukan pendugaan dengan pendekatan neural network, dengan parameter kandungan hara Nitrogen, Fosfor, Potasium, Kalsium, dan Magnesium di daun.

Verifikasi dan Validasi Model

Gambar 17. Perbandingan sebaran produksi TBS hasil simulasi dan observasi Verifikasi dan validasi dilakukan terhadap model yang telah disusun. Verifikasi dilakukan dengan perbandingan secara grafis dan pembanding statistik uji t berpasangan. Hasil perbandingan secara grafis menunjukkan bahwa produksi hasil simulasi cenderung mengikuti pola produksi hasil observasi, walaupun terdapat beberapa puncak produksi hasil observasi yang tidak dapat ditangkap atau diduga oleh model simulasi yang telah disusun (Gambar 17). Dari 84 data yang diamati, terdapat 61 data yang berada pada selang hasil simulasi (72,6%). Hasil simulasi menghasilkan nilai rataan standar deviasi sebesar 417. Hasil pengujian dengan t berpasangan antara produksi aktual dan simulasi diperoleh thitung = 0,17; sedangkan ttabel0,01 = 2,645. Dengan demikian berarti bahwa hasil simulasi tidak berbeda nyata dengan produksi aktual pada tingkat kepercayaan 99% karena thitung lebih kecil dari ttabel. Selain itu, fitting model juga dapat dilihat pada sebaran data yang berkumpul di sekitar garis 1:1 (Gambar 18), menunjukkan bahwa produksi hasil simulasi cukup fit dengan aktual .

(18)

Gambar 18. Diagram pencar produktivitas hasil simulasi dan aktual di grafik 1:1 pada verifikasi model

Selanjutnya, model divalidasi dengan menggunakan data produksi tanaman kelapa sawit yang belum digunakan untuk perumusan model, yaitu data produksi bulan Januari 2010 – Mei 2011. Hasil validasi juga menunjukkan bahwa titik-titik produksi tersebar di sepanjang garis 1:1. Hal ini juga dapat dilihat dari nilai uji t berpasangan antara produksi aktual dan simulasi yang bernilai thitung = 0,28; sedangkan ttabel0,01 = 2,92. Selain itu, nilai korelasinya adalah sebesar 0,722 (p-value = 0,001). Dengan demikian berarti bahwa hasil simulasi tidak berbeda nyata dengan produksi aktual pada tingkat kepercayaan 99% karena thitung lebih kecil dari ttabel. Berdasarkan plotting data hasil observasi pada selang hasil simulasi, data yang tersebar di dalam selang adalah sebesar 70,6%.

Gambar 19. Grafik sebaran produktivitas TBS hasil validasi (kiri); diagram pencar produktivitas hasil simulasi dan aktual di grafik 1:1 pada validasi model.

Gambar

Gambar 6.  Peta  sebaran  kebun  pengamatan  berdasarkan  R 2   hasil  simulasi  produksi berdasar umur dan batas wilayah Monsoonal Selatan
Gambar 7.  Perbandingan  sebaran  produksi  TBS  observasi  dan  simulasi  menurut  fungsi umur tanaman di provinsi Sumatera Utara
Gambar 8.  Perbandingan  sebaran  produksi  TBS  observasi  dan  simulasi  menurut  fungsi umur tanaman di provinsi Riau
Gambar 9.  Perbandingan  sebaran  produksi  TBS  observasi  dan  simulasi  menurut  fungsi umur tanaman di provinsi Jambi dan Sumatera Barat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil evaluasi kebijakan HPP gabah periode 2004 – 2006 (dalam rentang sepuluh tahun awal pelaksanaannya) memberikan beberapa informasi menarik untuk perspektif ke

Pada kerbau sering ditemukan kasus yang akut atau per akut dan kematian terjadi dalam waktu 24 jam, tanpa menujukkan gejala awal, kecuali pada infeksi buatan pada hewan

MEDIASI PASCA PERMA NO.1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN (Studi Kasus di Pengadilan Agama Semarang) ” dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian tarif berdasarkan Biaya Operasional Kendaraan dengan tarif yang berlaku saat ini, untuk mengetahui kesesuaian tarif

Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengetengahkan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua kelompok : (1) prinsip – prinsip umum : relevansi, fleksibilitas,

Fraksi diklorometana dipilih untuk dilanjutkan pada tahap pemisahan dan pemurnian, hal ini dilakukan karena massa hasil dari partisi fraksi diklorometana lebih

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu (1) jamur hasil dari isolasi benih tusam, diperoleh jamur yang dominan adalah jamur A.niger, (2) asap cair

Amanah Peraturan Daerah Kota Kendari Nomor 20 tahun 2013 Tentang Penyelenggaran Perlindungan Anak Kota Kendari, bahwa Kota Kendari sebagai daerah yang berkembang pesat