• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUJIAN SITOTOKSISITAS BIPHASIC CALCIUM PHOSPHATE DAN AMORPHOUS CALCIUM PHOSPHATE DI DALAM CELL LINE FIBROBLAS RINA SRI RAHAYU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGUJIAN SITOTOKSISITAS BIPHASIC CALCIUM PHOSPHATE DAN AMORPHOUS CALCIUM PHOSPHATE DI DALAM CELL LINE FIBROBLAS RINA SRI RAHAYU"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

PHOSPHATE

PHOSPHATE

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PHOSPHATE DAN AMORPHOUS CALCIUM

PHOSPHATE DI DALAM CELL LINE FIBROBLAS

RINA SRI RAHAYU

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

AMORPHOUS CALCIUM

FIBROBLAS

(2)

PENGUJIAN SITOTOKSISITAS

PHOSPHATE

PHOSPHATE

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PENGUJIAN SITOTOKSISITAS BIPHASIC CALCIUM

PHOSPHATE DAN AMORPHOUS CALCIUM

PHOSPHATE DI DALAM CELL LINE FIBROBLAS

RINA SRI RAHAYU

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

BIPHASIC CALCIUM

AMORPHOUS CALCIUM

FIBROBLAS

(3)

Amorphous Calcium Phosphate Di dalam Cell Line Fibroblas

.

Dibimbing oleh

KIAGUS DAHLAN dan BOY M. BACHTIAR.

Biphasic calcium phosphate (BCP) dan amorphous calcium phosphate

(ACP) digunakan sebagai bahan implan karena sifat biokompatibilitasnya. BCP

banyak digunakan sebagai implan tulang sedangkan ACP banyak digunakan

sebagai implan pada gigi. Biokompatibilitas juga dapat diamati melalui pelekatan

antara sel dan bahan implan menggunakan mikroskop elektron. Pengujian

toksisitas dilakukan dengan perlakuan perendaman BCP dan ACP di dalam cell

line fibroblas (NHDF) selama 1, 2, dan 3 hari. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa BCP dan ACP bersifat tidak toksik dan menginduksi sel-sel untuk tumbuh.

Hasil pengujian sitotoksisitas ini sesuai dengan hasil karakterisasi scanning

electron microscope (SEM) yang menunjukkan terjadinya pelekatan antara BCP

atau ACP dengan sel fibroblas setelah 1 hari perendaman. Foto SEM sampel

setelah inkubasi selama 3 hari menunjukkan bahwa sel mulai mengalami polifersi

dan mensekresikan protein kolagen. Sekresi protein kolagen semakin nyata

setelah perendaman selama 14 hari. Jadi, BCP dan ACP yang diperoleh dari

cangkang telur ayam bersifat tidak toksik dan memiliki biokompatibilitas yang

baik dengan sel secara in vitro.

Kata kunci: Biphasic calcium phosphate, amorphous calcium phosphate, in vitro,

sitotoksisitas.

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pengujian

Sitotoksisitas Biphasic Calcium Phosphate dan Amorphous Calcium

Phosphate Di dalam Cell Line Fibroblas adalah benar-benar hasil karya saya

sendiri di bawah bimbingan Dr. Kiagus Dahlan dan Prof. drg. Boy M Bachtiar,

MS, PhD. dan belum pernah dipublikasikan sebagai karya ilmiah pada perguruan

tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari

karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan

dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2011

(5)

Nama :

Rina Sri Rahayu

NIM :

G74070003

Disetujui,

Dr. Kiagus Dahlan

Pembimbing I

Prof. drg. Boy M Bachtiar, MS, PhD

Pembimbing II

Diketahui:

Dr.Ir. Irzaman, M.Si

Ketua Departemen Fisika

(6)

PHOSPHATE DI DALAM CELL LINE FIBROBLAS

RINA SRI RAHAYU

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Fisika

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(7)

Penulis dilahirkan di Sukabumi, 13 Agustus

1989 dari pasangan Asep Sulaeman dan Rustiyati.

Penulis merupakan anak ke dua dari empat bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar

hingga Sekolah Menengah Atas di Sukabumi yaitu SD

Negeri 1 Sukaraja, SMP Negeri 1 Sukaraja, dan SMA

Negeri 5 Sukabumi.

Penulis melanjutkan pendidikannya ke jenjang perkuliahan di Departemen

Fisika Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama kuliah, penulis aktif di

BEM FMIPA IPB tahun 2008-2009 dan pernah menjadi asisten praktikum Fisika

TPB tahun 2009, penulis juga aktif di berbagai kegiatan kepanitiaan antara lain

Bina Desa dan Pesta Sains. Tahun 2009-2011 penulis juga mendapatkan Beasiswa

Karya Salemba Empat.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, atas segala rahmat, nikmat

kesehatan, kekuatan, karunia, dan hidayah-Nya sehingga penelitian untuk tugas

akhir yang berjudul “Pengujian Sitotoksisitas Biphasic Calcium Phosphate dan

Amorphous Calcium Phosphate Di dalam Cell Line Fibroblas” dapat

diselesaikan. Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan program

sarjana di Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1.

Bapak Dr. Kiagus Dahlan dan Bapak Prof. drg. Boy M Bachtiar, MS, PhD.

selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, masukan, dan

koreksi yang sangat berarti dalam penulisan skripsi ini.

2.

Bapak Abd. Djamil Husin, M.Si dan Bapak Ardian Arif, M.Si selaku

penguji yang telah banyak memberikan masukan dan saran demi perbaikan

skripsi ini.

3.

Ibu Setia Utami Dewi, M.Si dan Mba Nur Aisyah Nuzulia, S.Si yang telah

membantu dalam pengolahan data serta atas waktu yang diluangkan untuk

berdiskusi.

4.

Mba May dan Mba Desi yang bersedia meluangkan waktunya dan

membantu dalam proses penelitian di laboratorium Oral Biologi FKG UI.

5.

Orang tua, adik, dan kakak penulis yang selalu memberikan do’a, dukungan,

cinta dan kasih sayang yang tidak terhitung.

6.

Teman-teman seperjuangan Fisika 44 dan sahabat liqo tercinta yang saling

mendukung dan memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian tugas akhir ini jauh dari sempurna, oleh

karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan

demi kemajuan dari aplikasi material yang dikembangkan ini dan semoga tugas

akhir ini bermanfaat bagi semuanya.

Bogor, Mei 2011

(9)

DAFTAR ISI

halaman

DAFTAR TABEL ...

iv

DAFTAR GAMBAR ...

v

DAFTAR LAMPIRAN ...

vi

BAB 1 PENDAHULUAN ...

1

1.1 Latar Belakang ...

1

1.2 Tujuan Penelitian ...

1

1.3 Perumusan Masalah ...

1

1.4 Hipotesis ...

2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...

2

2.1 Biphasic Calcium Phosphate (BCP) ...

2

2.2 Amorphous Calcium Phosphate (ACP) ...

2

2.3 Fibroblas ...

3

2.4 In Vitro BCP ...

3

2.5 X-Ray Diffaction (XRD) ...

4

2.6 Scanning Electron Microscopy (SEM) ...

5

BAB 3 METODE PENELITIAN...

5

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ...

5

3.2 Bahan dan Alat ...

5

3.2.1 Bahan ...

5

3.2.1 Alat ...

6

3.3 Prosedur Penelitian ...

6

3.3.1 Sintesis BCP ...

6

3.3.2 Sintesis ACP...

6

3.3.3 Analisis Sitotoksisitas ...

6

3.3.3.1 Kultur Sel ...

6

3.3.3.2 Menghitung Konsentrasi Sel ...

7

3.3.3.3 Preparasi Sampel untuk Karakterisasi SEM` ...

8

3.3.4 Pengujian Sampel ...

8

3.3.4.1 Karakterisasi XRD ...

8

3.3.4.2 Analisis Sitotoksisitas dengan Metode MTT Assay ...

8

3.3.4.3 Karakterisisi SEM ...

8

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN...

9

4.1 Sintesis ACP dan BCP ...

9

4.2 Pengujian Sitotoksisitas ...

11

(10)

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ...

15

5.1 Kesimpulan ...

15

5.2 Saran ...

15

DAFTAR PUSTAKA ...

15

(11)

DAFTAR TABEL

halaman

Tabel 1 Nilai 2θ pada fase BCP………... 9

Tabel 2 Nilai 2θ pada fase ACP ... 9

Tabel 3 Konsentrasi dan volume kultur sel ... 11

Tabel 4 Absorbansi sel pada sel kontrol, sel dengan implan ACP, dan sel

dengan implan BCP ... 11

Tabel 5 Viabilitas sel pada sampel dengan waktu inkubasi yang berbeda ... 12

(12)

DAFTAR GAMBAR

halaman

Gambar 1 Pola difraksi XRD BCP pada suhu sintering 900

o

C ...

2

Gambar 2 Sel NHDF secara mikroskopik ...

3

Gambar 3 Morfologi sel osteoblas dilihat pada material implan BCP

(2 hari perendaman) in vitro dilihat dengan menggunakan SEM .

4

Gambar 4 Pola difraksi pada bidang kristal memenuhi hukum Bragg ...

4

Gambar 5 Perangkat difraktometer ...

5

Gambar 6 Skema prinsip kerja SEM ...

5

Gambar 7 Skema pembagian pada papan hemocytometer glass ...

7

Gambar 8 Skema 96-well plates MTT assay ...

7

Gambar 9 Pola difraksi XRD sampel BCP ... 10

Gambar 10 Pola difraksi XRD sampel ACP ... 10

Gambar 11 Grafik viabilitas sel berdasarkan nilai absorbansi... 12

Gambar 12 Persentase viabilitas sel pada kontrol, sampel ACP, dan sampel

BCP setelah waktu inkubasi 1, 2, dan 3 hari ... 13

Gambar 13 Foto SEM sel NHDF setelah inkubasi (a) 1 hari, (b) 3 hari, dan

(c) 14 hari ... 14

Gambar 14 Foto SEM sel NHDF dengan implan BCP setelah inkubasi

(a) 1 hari, (b) 3 hari, dan (c) 14 hari ... 14

Gambar 15 Foto SEM sel NHDF dengan implan ACP setelah inkubasi

(a) 1 hari,(b) 3 hari, dan (c) 14 hari ... 14

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Diagram alir penelitian ...

19

Lampiran 2 Peralatan yang digunakan untuk sintesis ACP dan BCP ..

21

Lampiran 3 Peralatan yang digunakan untuk kultur sel dan uji

sitotoksisitas ...

22

Lampiran 4 Alat yang digunakan untuk sterilisasi ...

23

Lampiran 5 Database JCPDS fase (a) AKA, (b) HA, dan (c) TCP ...

24

Lampiran 6 Hasil pengolahan data ACP ...

25

Lampiran 7 Hasil pengolahan data BCP ...

26

Lampiran 8 Perhitungan parameter kisi untuk fase HA dari sampel

ACP ...

28

Lampiran 9 Perhitungan parameter kisi untuk fase HA dari sampel

BCP ...

29

Lampiran 10 Perhitungan parameter kisi untuk fase TCP dari sampel

BCP ...

30

Lampiran 11 Derajat kristalinitas BCP ...

32

Lampiran 12 Derajat kristalinitas ACP...

33

Lampiran 13 Foto SEM sel NHDF dengan beberapa variasi perbesaran

34

Lampiran 14 Foto SEM sel dengan implan BCP pada beberapa variasi

perbesaran ...

35

Lampiran 15 Foto SEM sel dengan implan ACP pada beberapa variasi

perbesaran ...

36

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kasus kerusakan gigi di Indonesia sering terjadi baik akibat kecelakaan maupun kerusakan akibat gigi berlubang. Kasus kerusakan gigi ini dapat diatasi dengan penggunaan gigi palsu atau penambalan gigi. Sejauh ini belum ditemukan material penambal gigi yang diproduksi dari dalam negeri sehingga material penambal gigi yang biasa digunakan oleh para dokter gigi merupakan produk impor. Peningkatan kasus kerusakan gigi meningkatkan riset pengembangan material penambal gigi di dunia. Riset ini berkembang sejak tahun 1920 dengan bahan penambal seperti emas, perak, titanium, kayu, dan berbagai material komposit gigi.1

Riset pengembangan material penambal ini terus diteliti untuk memperoleh karakteristik yang tepat dan nilai estetik yang tinggi. Emas dan perak merupakan material yang pada mulanya digunakan sebagai bahan pengganti atau penambal gigi, namun kini telah berkembang pesat material dalam bentuk komposit mineral apatit. Penggunaan mineral apatit dirasakan lebih baik karena berkesuaian dengan komponen utama gigi dan warna gigi.2

Tulang dan gigi termasuk jaringan keras yang merupakan organ biologi dinamik yang tersusun atas sel aktif metabiologi yang terintegrasi ke dalam.3 Gigi tersusun atas beberapa mineral antara lain adalah 36% kalsium, 17,7% fosfor, 0,5% natrium, 0,44% flour dan sejumlah kecil ion lainnya.4 Senyawa kalsium fosfat merupakan senyawa yang sesuai dengan komponen penyusun gigi sehingga dapat digunakan sebagai pengisi atau penambal gigi.

Senyawa kalsium fosfat diharapkan mampu menjadi material penambal gigi yang lebih biocompatible.5 Secara terminologi, biocompatibilities dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bahan untuk berkesesuaian dengan jaringan

tubuh, antara lain bersifat tahan terhadap korosi dan tidak menimbulkan reaksi penolakan terhadap jaringan tubuh. Pengujian biocompatibilities dapat dilakukan dengan uji sitotoksisitasnya. Uji sitotoksisitas ini merupakan salah satu syarat minimum sebagai material komposit (sintetik) yang dapat diimplan ke dalam tubuh makhluk hidup.6

Riset mengenai mineral apatit yang digunakan dalam bidang kedokteran gigi antara lain adalah amorphous calcium

phosphate (ACP) dan biphasic calcium phosphate (BCP). ACP mempunyai zat

yang digunakan untuk remineralisasi gigi,7 sedangkan BCP terdiri dari dua fase

yaitu hydroxyapatite (HA) dan β–tricalcium phosphate (β-TCP) yang

efektif dalam memperbaiki tulang dan regenerasi terbukti secara in vitro dan in

vivo.8

Penelitian ini menggunakan cangkang telur sebagai sumber kalsium dan (NH4)2HPO4 sebagai sumber natrium

dan fosfat. Cangkang telur digunakan sebagai prekursor kalsium karena memiliki kandungan kalsium karbonat (CaCO3) sebanyak 94-97%

9

dan dapat membentuk karbon monoksida (CaO) dengan proses kalsinasi.10 Pengujian toksisitas pada material BCP dan ACP ini dilakukan dengan perendaman dalam larutan cell line normal human dermal

fibroblast (NHDF).

1.2 Tujuan Penelitian

1. Menganalisis efek pemberian material BCP dan ACP dengan cara

in vitro terhadap viabilitas sel

fibroblas.

2. Menganalisis morfologi dari BCP dan ACP dalam sel fibroblas.

1.3 Perumusan Masalah

1. Apakah pemberian material BCP dan ACP dapat mengakibatkan toksik dan mempengaruhi viabilitas sel fibroblas?

2. Apakah terjadi interaksi antara sel fibroblas dengan material BCP dan ACP?

(15)

1.4 Hipotesis

1. Material BCP dan ACP tidak bersifat toksik dan dapat mempengaruhi viabilitas sel, ditunjukkan dengan persentase sel kontrol lebih rendah dari sel yang sudah ditambahkan dengan material sampel.

2. Terjadi interaksi berupa perlekatan antara sel fibroblas dengan material BCP maupun ACP.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biphasic Calcium Phosphate

(BCP)

Biphasic calcium phosphate (BCP),

merupakan senyawa apatit yang terdiri dari dua fase yaitu hydroxyapatite ((HA), Ca10(PO4)6(OH)2), dan β-tricalcium

phosohate (β-TCP, Ca3(PO4)2), walaupun

mempunyai komposisi kimia yang mirip, keduanya memiliki kemampuan penyerapan biologis yang berbeda. HA padat keramik dapat digunakan sebagai implan tulang karena hampir restorable dan bio-inert. Sedangkan β-TCP berpori yang mampu terdegradasi secara biologis dengan laju yang lebih tinggi,

bioresorbable dan bioaktif.11

Tingkat kelarutan TCP lebih tinggi dibanding HA dapat digambarkan bahwa HA < β-TCP < α-TCP.4 Oleh karena itu, keramik kalsium fosfat merupakan pilihan yang baik untuk rekonstruksi bedah, ortopedi, kedokteran gigi, dan pembedahan kraniofasial, tulang belakang, dan bedah saraf. Sifat kelarutan BCP tergantung pada rasio β-TCP/HA. Semakin tinggi nilai rasio dan porositasnya maka semakin mudah larut material tersebut.11 BCP dapat terbentuk dari HA yang dipanaskan (sintering) pada 1200°C selama 6 jam. Persamaan reaksi pembentukan TCP adalah sebagai berikut:

Ca10(PO4)6(OH)2 → 3β-Ca3(PO4)2+ CaO + H2O(1)

Kumar et al.12 berhasil mensintesis BCP dari proses sintering. Butiran BCP disintesis dari senyawa kalsium hidroksida dan diammonium hydrogen

ortho phosphate (DAP) dengan menggunakan microwave. Jumlah reaktan yang digunakan untuk reaksi dihitung berdasarkan perbandingan molar Ca/P sebesar 1,58. Larutan hasil reaksi tersebut kemudian dikeringkan pada suhu 900°C dalam microwave selama 20 menit. Gambar 1 memperlihatkan hasil pola XRD BCP berdasarkan penelitian Kumar

et al.12

Gambar 1 Pola Difraksi XRD BCP pada suhu

sintering 900oC.

2.2 Amorphous Calcium Phosphate

(ACP)

Senyawa kalsium fosfat hasil presipitasi dapat berada dalam fase kristalin maupun fase amorf. Fase kristal stabil senyawa kalsium fosfat dikenal sebagai hydroxyapatite (Ca10(PO4)6(OH)2).

Fase amorf kalsium fosfat disebut

amorphous calcium phosphate (ACP)

yang dapat terbentuk pada awal presipitasi. Penggunaan ACP pada email dapat membentuk kristal hydroxyapatite. Mineral yang digunakan ini tentu saja harus tahan terhadap larutan tubuh, tidak mudah terdegradasi, memiliki kekuatan mekanik yang tinggi dan tidak toksik.13

ACP merupakan bahan yang memiliki sifat preventif dan restoratif yang dapat digunakan sebagai semen gigi, komposit, dan yang terbaru yaitu digunakan sebagai perekat ortodontik. Komposit resin-ACP telah digunakan

(16)

untuk memulihkan 71% dari kerusakan gigi akibat kehilangan mineral. Pada pH rendah, ACP dapat menjadi rusak dan tingkat pelepasan Ca-2 dan PO4

supersaturating ion. Selain itu, ACP bersifat tidak stabil dan dalam lingkungan air ACP bertransformasi menjadi HA. Kondisi tersebut kondusif untuk remineralisasi gigi.14

Komposisi ACP tidak hanya terdiri atas ion kalsium dan fosfat terdapat ion-ion lain dalam senyawa ACP. Sebagai contoh ion karbonat (CO32-) dengan

konsentrasi tinggi ternyata sebagai penghambat proses transformasi dengan menggantikan posisi ion hidroksil dan ion fosfat sehingga membentuk kristal apatit karbonat tipe A dan tipe B, sehingga dapat menghambat proses transformasi dari kalsium fosfat amorf menjadi

hydroxyapatite.14 2.3 Fibroblas

Fibroblas adalah sel predominal

pulpa yang dapat berasal dari sel mesenkimal pulpa yang tidak berkembang. Fibroblas berbentuk stelat, dengan nuklei ovoid dan prosesus

sitoplasmik. Bila bertambah tua menjadi

lebih bulat, dengan nuklei bulat dan

prosesus sitoplasmik pendek. Perubahan

bentuk disebabkan oleh pengurangan aktivitas sel karena bertambah tua.15

Fungsi fibroblas adalah sebagai pembuatan substansi dasar dan serabut

kolagen, yang merupakan matriks pulpa.

Fibroblas juga berperan dalam degradasi

kolagen, deposisi jaringan yang mengapur, membentuk dentine, dan dapat berkembang untuk menggantikan

odontoblas yang mati karena memiliki

kemampuan untuk memperbaiki dentin. Fibroblas dapat dijumpai pada daerah yang kaya sel pulpa terutama pada daerah

coronal.15

Sel-sel fibroblas dermis memainkan peran penting dalam memperbaharui sistem dan untuk mempertahapnkan integritas kulit.16 Sel fibroblas yang akan digunakan dalam pengujian in vitro ini adalah sel fibroblas dermal normal pada manusia (Gambar 2). Para peneliti

mengatakan bahwa meningkatnya jumlah fibroblas akan dapat membantu merevitalisasi pulpa gigi dan mengurangi kemungkinan jaringan pulpa gigi tersebut untuk dibuang.17

Gambar 2 Sel NHDF mikroskopik.18

2.4 In Vitro BCP

Pengujian biocompatibilities secara

in vitro dilakukan dengan mendeteksi

kerusakan dan kematian sel yang disebut sitotoksitas.19 Uji toksisitas salah satunya dilakukan dengan metode MTT assay. Uji MTT assay merupakan metode kolorimetrik, dimana larutan pereaksi

[3-(4,5-dimetillthiazol-2-yl)-2,5-difeniltetrazolium bromide] ini yang disebut larutan MTT merupakan garam tetrazolium yang dapat dipecah menjadi kristal formazan oleh sistem suksinat tetrazolium reduktase yang terdapat dalam jalur respirasi sel pada mitokondria yang aktif pada sel yang masih hidup. Kristal formazan ini memberi warna ungu yang dapat dibaca absorbansinya dengan menggunakan mikroplate reader.20

Akhir dari uji sitotoksisitas dapat memberikan informasi persentase sel yang mampu bertahan hidup sedangkan pada organ target memberikan informasi secara langsung tentang perubahan yang terjadi pada fungsi sel secara spesifik.20 Material untuk pengisi gigi seperti ACP dan BCP juga dapat di uji sitotoksisitasnya dengan MTT assay. Riberio et al telah berhasil menunjukkan adanya poliferasi sel osteoblas pada bahan implan BCP dalam waktu 2 hari perendaman. Gambar 3 memperlihatkan foto SEM hasil perendaman BCP dalam sel osteoblas yang dilakukan

(17)

Riberio et al.21 Pada Gambar 3 dapat terlihat adanya ikatan antara sel dengan material implan.

Gambar 3 Morfologi sel

material implan BCP ( 2 hari perendaman) in vitro

dengan menggunakan SEM.

2.5 X-Ray Diffraction

Karakterisasi X

(XRD) merupakan teknik yang digunakan untuk mengetahui struktur kristal, perubahan fasa, dan derajat kristalinitas. XRD dapat digunakan untuk mengetahui kualitas kristal suatu bahan, mengetahui jenis-jenis unsur dan senyawa yang terkandung dalam material secara kualitatif. Informasi langsung yang diperoleh dari uji struktur kristal dengan menggunakan XRD

sudut hamburan (2θ) yang digambarkan sepanjang sumbu horizontal dan intensitas (I) sebagai sumbu vertikal. A

material tersebut tersusun

struktur yang teratur. Adanya intensitas maksimum dan minimum pada difraksi menunjukkan bahwa mate

struktur kristal.

Pada proses terjadinya difraksi (Gambar 4) yaitu saat berkas sinar

pada bidang P1 dan P

sejauh d, maka akan terbentuk sudut terhadap bidang yang menumbuk titik A dan B. Sementara itu kedua berkas ak mencapai maksimum apabila mempunyai fasa yang sama. Pada Gambar 4 dapat dilihat luas AOC sama dengan luas BOC karena AC sama dengan BC serta sudut pantul di 2’ dan 1’ mempunyai fasa yang Pada Gambar 3 dapat atan antara sel dengan

Gambar 3 Morfologi sel osteoblas pada material implan BCP ( 2 hari

in vitro dilihat

dengan menggunakan SEM.21

Ray Diffraction (XRD)

X-ray diffraction

(XRD) merupakan teknik yang digunakan untuk mengetahui struktur kristal, perubahan fasa, dan derajat kristalinitas. dapat digunakan untuk mengetahui kualitas kristal suatu bahan, mengetahui jenis unsur dan senyawa yang terkandung dalam material secara kualitatif. Informasi langsung yang diperoleh dari uji struktur kristal dengan

adalah spektrum θ) yang digambarkan

sepanjang sumbu horizontal dan intensitas (I) sebagai sumbu vertikal. Atom di dalam tersusun dalam suatu . Adanya intensitas maksimum dan minimum pada difraksi menunjukkan bahwa material memiliki Pada proses terjadinya difraksi (Gambar 4) yaitu saat berkas sinar-x jatuh dan P2 yang terpisah

sejauh d, maka akan terbentuk sudut θ terhadap bidang yang menumbuk titik A dan B. Sementara itu kedua berkas akan mencapai maksimum apabila mempunyai fasa yang sama. Pada Gambar 4 dapat dilihat luas AOC sama dengan luas BOC karena AC sama dengan BC serta sudut pantul di 2’ dan 1’ mempunyai fasa yang

sama jika AC ditambah BC sama dengan 2 AC dan merupakan kelipata

yang dinyatakan dengan 2 AC = n dengan n adalah bilangan bulat. Sin sama dengan AC/d sehingga diperoleh persamaan hukum Bragg sebagai berikut:

n λ = 2d sinθ

Gambar 4 Pola difraksi pada bidang kristal memenuhi hukum Bragg.

XRD paling banyak digunakan untuk mengidentifikasi mineral atau campuran mineral karena sangat mudah dilakukan dan hasilnya cepat dan akurat. Data hasil XRD dihasilkan dan dikumpulkan dari sebuah alat yang disebut

Data yang dikumpulkan oleh difraktometer yaitu berupa fragmen kristal tunggal.22 Pola XRD juga dapat memberikan informasi secara umum baik kuantitatif maupun kualitatif tentang komposisi fasa-fasa (misalnya campuran). Pada metode ini ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama posisi difrak maksimum, kedua intensitas puncak dan ketiga adalah distribusi intersitas sebagai fungsi dari sudut difraksi. Setiap bahan memilki pola difraksi yang khas seperti sidik jari manusia. Pola

sinar-X berbagai bahan telah dikumpulkan dalam data

Committee of Power Difraction Standard). Hasil analisis pola XRD

sampel yang akan dianalisis komposisi fasanya dapat dibandingkan dengan pola XRD terukur pada JCPDS.

Perangkat difraktometer (Gambar 5) terdiri atas beberapa bagian antara lain sama jika AC ditambah BC sama dengan 2 AC dan merupakan kelipatan dari λ yang dinyatakan dengan 2 AC = n λ dengan n adalah bilangan bulat. Sin θ sama dengan AC/d sehingga diperoleh persamaan hukum Bragg sebagai berikut:

(2)

Pola difraksi pada bidang kristal memenuhi hukum Bragg.

banyak digunakan untuk mengidentifikasi mineral atau campuran mineral karena sangat mudah dilakukan dan hasilnya cepat dan akurat. Data hasil dihasilkan dan dikumpulkan dari disebut difraktometer. Data yang dikumpulkan oleh ter yaitu berupa fragmen kristal Pola XRD juga dapat memberikan informasi secara umum baik kuantitatif maupun kualitatif tentang fasa (misalnya campuran). Pada metode ini ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama posisi difraksi maksimum, kedua intensitas puncak dan ketiga adalah distribusi intersitas sebagai fungsi dari sudut difraksi. Setiap bahan memilki pola difraksi yang khas seperti sidik jari manusia. Pola-pola difraksi X berbagai bahan telah dikumpulkan dalam data JCPDS (Joint

Committee of Power Difraction

). Hasil analisis pola XRD sampel yang akan dianalisis komposisi fasanya dapat dibandingkan dengan pola XRD terukur pada JCPDS.

Perangkat difraktometer (Gambar 5) beberapa bagian antara lain

(18)

adalah tabung x-ray sebagai sumber biasanya menggunakan sumber CuK atau CoK , direct beam slit, wadah sampel, dan detektor.

Gambar 5 Perangkat difraktrometer.23

2.6 Scanning Electron Microscopy

(SEM)

Scanning electron microscopy

(SEM) adalah salah satu jenis mikroskop elektron yang menggunakan berkas elektron untuk menggambar profil permukaan benda. Prinsip kerja SEM adalah menembakkan permukaan benda dengan berkas elektron berenergi tinggi. Elektron ini dihasikan oleh sebuah sumber yang disebut electron gun, disejajarkan oleh anoda dan magnetic lens dan difokuskan scanning coil dan detektor. Perangkat mikroskop dapat dilihat pada Gambar 6. Permukaan benda yang dikenai berkas akan memantulkan kembali berkas tersebut atau menghasilkan elektron sekunder ke segala arah. Dari hasil pantulan tersebut ada satu arah dengan intensitas paling tinggi. Pada saat dilakukan pengamatan, lokasi permukaan benda yang ditembak dengan berkas elektron di-scan ke seluruh area daerah pengamatan.24

Elektron sekunder atau elektron pantul yang terdeteksi selanjutnya akan diperkuat sinyalnya. Besarnya amplitudo akan ditampilkan dalam gradasi gelap-terang pada layar monitor cathode ray

tube (CRT). Layar CRT ini juga berperan

dalam menampilkan gambar struktur

sampel yang sudah diperbesar sehingga bisa dilihat. Hasil karakterisasi SEM menunjukkan morfologi dari sampel uji seperti pada Gambar 3.

Gambar 6 Skema Prinsip Kerja SEM.25

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Biofisika Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Indonesia sejak bulan Juli 2010 sampai dengan bulan Mei 2011.

3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan

Bahan yang digunakan

dikelompokan menjadi dua. Pertama bahan untuk sintesis BCP dan ACP yaitu kalsium oksida (CaO) dari cangkang telur ayam, pro-analis diamonium hidrofosfat ((NH4)2HPO4), dan aquabides. Kedua

bahan yang digunakan dalam uji sitotoksisitas dan preparasi SEM adalah cell line NHDF fibroblas, medium kultur:

(19)

dulbecco’s modified eagle’s medium (DMEM), fetal bovine serum (FBS),

penicillin streptomycin, fungizone, trypsin

EDTA, trypan blue, phosphate buffered

saline (PBS), MTT [3-(4,5-dimethyl

thiazol-2-yl)-2-5-diphenyltetrazolium bromide], acidified isopropanol, larutan NaCl, 8% glutaraldehyde, dan ethanol.

3.2.2 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik,

furnace, heating plate, reaktor hidrotermal, buret, vacum, pH meter digital, beaker glass, crucible, mortar, kertas saring, magnetic stirrer, aluminium

foil, gelas ukur, erlenmeyer, gamma radiation sterilization dengan sumber

radiasi cobalt-60 (Lampiran 6), 0.2

µm-sterile syiringe filter (Corning, Germany),

50 mL-syringe (Terumo, Japan), tube 15 mL and 50 mL (Falcon, USA), scrapper, mikropipet (Eppendorf, Germany), tips

micropipette, tube eppendorf (Axygen,

USA), hemocytometer, inkubator (Memert), cell culture dish (35 mm×10 mm), 96-well plates (NUNC, Denmark ), mikroskop (Nikon Elipse 80i), biohazard safety cabinet (ESCO Micro PTE Ltd.),

water bath, centrifugasi (Sorvall),

vortexer (Bio-rad BR 2000), shaker

(Certomat), scanning electron microscope (SEM), dan bio-rad microplate reader

benchmark visible spectrophotometer.

3.3 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang dilakukan terdiri atas 4 tahap yaitu sintesis BCP, sintesis ACP, uji sitotoksisitas, dan karakterisasi. Penelitian ini diawali dengan kalsinasi cangkang telur selama 5 jam pada suhu 1000oC untuk menghasikan CaO yang akan digunakan pada sintesis BCP dan ACP.

3.3.1 Sintesis BCP

Sintesis BCP dilakukan dengan metode hidrotermal. Larutan (NH4)2HPO4

0,67 M sebanyak 100 ml ditambahkan setetes demi setetes kedalam 100 ml larutan CaO 1 M. Reaksi ini dilakukan

pada suhu 300oC selama 8 jam dan diaduk dengan magnetic stirrer dengan kecepatan putaran 300 rpm. Selanjutnya, hasil hidrotermal diendapkan selama 12 jam pada suhu kamar dan disaring di dalam vakum. Sampel basah yang telah disaring kemudian dikeringkan dalam furnace pada suhu 110°C selama 5 jam. Bubuk kering yang diperoleh dihaluskan dengan mortar dan sintering pada 1000°C selama 6 jam.

3.3.2 Sintesis ACP

Sintesis ACP akan dilakukan dengan metode presipitasi suhu rendah. Seratus mililiter (NH4)2HPO4 0,06 M akan

ditambahkan setetes demi setetes ke dalam 100 ml larutan CaO 0,1 M. Reaksi ini akan dilakukan selama 8 jam sambil diaduk dengan magnetic stirrer pada kecepatan 300 rpm. Hasil presipitasi akan disaring menggunakan vakum dan dikeringkan menggunakan freeze dryer selama 2 x 24 jam.

3.3.3 Analisis Sitotoksisitas

Persiapan in vitro diawali dengan sterilisasi BCP dan ACP. Material disimpan dalam botol kaca dan setiap botol terisi 2 mg lalu disterilisasi menggunakan radiasi sinar gamma pada dosis 25 kGy. Sebelum melakukan analisis in vitro seluruh alat dan bahan yang akan digunakan diseterilisasi dengan menggunakan sinar ultraviolet (UV) selama 15 menit, dan seluruh prosedur kerja dilakukan dalam biohazard cabinet.

3.3.3.1 Kultur Sel

Medium dasar untuk kultur sel adalah DMEM yang disuplemen dengan 10% FBS, penicillin streptomycin dan

fungizone. Semua komponen medium

dasar tersebut dalam keadaan beku, untuk itu perlu dicairkan terlebih dahulu menggunakan waterbath pada suhu 37°C selama 15 menit. Sel fibroblas diambil dari tempat penyimpanan nitrogen cair (-198°C) dan langsung diinkubasi di dalam medium dasar selama 24 jam pada suhu 37°C. Selanjutnya, sel dicuci dengan

(20)

PBS dan ditambah dengan 1 m

EDTA agar pelekatan sel pada dasar cawan lepas. Trypsin membutuhkan waktu agar dapat bekerja maka sel diinkubasi kembali selama

sebelum dilakukan proses dipindahkan ke tube ditambahkan medium dasar.

kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit (24°C) agar sel terkonsentrasi menjadi pellet. Cairan

supernatant hasil sentrifug

ditambahkan 5 ml medium dasar untuk proses homogenisasi dengan

beberapa kali agar terbentuk larutan sel. Hasil homogenisasi sel dipindahkan kedalam cawan petri dan ditambahkan medium kultur lengkap hingga volum di cawan petri mencapai 7 ml. Cawan perti tersebut dimasukan dalam

suhu 37oC selama 48 jam. Setelah sel bertambah banyak, maka sel fibroblas tersebut siap dipanen (harvesting

3.3.3.2 Menghitung Konsentrasi Sel

Larutan sel sebanyak 80 10 µl, dan 10 µl trypan blue dalam 1,5 ml tabung eppendorf

PBS dan ditambah dengan 1 ml trypsin EDTA agar pelekatan sel pada dasar cawan lepas. Trypsin membutuhkan waktu agar dapat bekerja maka sel diinkubasi kembali selama 10 menit sebelum dilakukan proses scrapping,

tube 15 ml, dan

ditambahkan medium dasar. Tube tersebut kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit (24°C) agar sel terkonsentrasi menjadi pellet. Cairan entrifugasi dibuang dan medium dasar untuk proses homogenisasi dengan pippeting beberapa kali agar terbentuk larutan sel.

Hasil homogenisasi sel dipindahkan kedalam cawan petri dan ditambahkan medium kultur lengkap hingga volum di etri mencapai 7 ml. Cawan perti tersebut dimasukan dalam incubator pada C selama 48 jam. Setelah sel bertambah banyak, maka sel fibroblas

harvesting).

Menghitung Konsentrasi Sel

Larutan sel sebanyak 80 µl, FBS

trypan blue dicampur eppendorf. 10 µl dari

larutan dalam tabung dipindahkan pada papan

glass (Gambar 7). Perhitungan sel akan

dilakukan dalam papan

glass dibawah mikroskop optik den

perbesaran 40x. Hemocytometer glass mempunyai

bagian-menghitung sel seperti pada Gambar 7. A, B, C, D, dan E adalah letak sel yang dihitung secara di bawah mikroskop optik. Perhitungan konsentrasi sel yang digunakan memenuhi persamaan 3 da Konsentrasi sel

V1 C1 = V2 C2

Gambar 7 Skema pembagian pada papan

hemocytometer glass.

Gambar 8 Skema 96-well plates MTT assay.

D

C A

larutan dalam tabung eppendorf

dipindahkan pada papan hemocytometer (Gambar 7). Perhitungan sel akan dilakukan dalam papan hemocytometer dibawah mikroskop optik dengan

Hemocytometer glass

-bagian untuk menghitung sel seperti pada Gambar 7. A, B, C, D, dan E adalah letak sel yang dihitung secara di bawah mikroskop optik. Perhitungan konsentrasi sel yang digunakan memenuhi persamaan 3 dan 4:

10 10 5 (3) (4)

Gambar 7 Skema pembagian pada papan

hemocytometer glass. E B

(21)

Suspensi sel disiapkan dengan konsentrasi 2×105 sel/ml dan dipindahkan pada 96 well plates sebanyak 1 ml setiap

well plate. Gambar 8 menunjukkan skema

percobaan sampel pengujian toksisitas. Serbuk BCP danACP dibubuhkan pada

well plates dan diinkubasi selama

1, 2, dan 3 hari pada setiap sampel sebagaimana skema yang ditunjukkan pada Gambar 8. Tahap inkubasi dilanjutkan dengan pemberian larutan MTT pada setiap well plate sebanyak 1 µl yang langsung diinkubasi kembali selama 3 jam. Serbuk MTT dilarutkan dengan menggunakan larutan NaCl. Tahap selanjutnya adalah pemberian larutan isopropanol dan pengocokan dengan menggunakan alat shaker selama 1 jam. Kode sampel A adalah sampel blank yang hanya mengandung medium dasar, kode sampel B adalah sel dalam medium (kontrol), kode sampel C adalah sampel BCP yang dibubuhkan pada sel, kode sampel D adalah sampel ACP yang dibubuhkan pada sel. Volum larutan sel yang dipersiapkan, yaitu 5 ml. Konsentrasi sel yang diperoleh dari Persamaan 3 (C1) disetarakan dengan

konsentrasi dan volum yang diinginkan (V2, C2) menggunakan Persamaan 4 untuk

memperoleh volume V1 yang harus

diambil dari 5 ml larutan sel.

Uji MTT assay menunjukkan nilai presentase perbandingan nilai absorbansi dari sampel (BCP dan ACP) terhadap kontrol sebagai viabilitas fibroblas cell

line dengan menggunakan persamaan In vitro Technologies sebagai berikut:

!"

# $ "% 100% (5)

Jika presentase viabilitas sel jauh lebih kecil dari viabilitas sel kontrol, maka material yang dipaparkan pada sel tersebut dinyatakan bersifat toksik.24

3.3.3.3 Preparasi Sampel untuk Karakterisasi SEM

Prepapasi sampel ini diawali dengan kultur sel seperti pada analisis sitotoksisitas. Untuk karakterisasi ini sampel dipanen dari media kultur kemudian sampel dicuci dalam PBS, lalu sampel difiksasi dengan menambahkan 2,5% glutaraldehid, setelah itu dibilas dua kali dengan PBS dan dehidrasi etanol secara berurutan (seri). Sampel kemudian dikeringkan pada suhu kamar (27oC) dan dilapisi dengan logam emas sebelum analisis SEM.

3.3.4 Pengujian Sampel 3.3.4.1 Karakterisasi XRD

Karakterisasi XRD menggunakan

Shimadzu XRD610 diffractrometer

dengan sumber Co-60. Pola XRD ditunjukkan oleh grafik intensitas terhadap sudut 2θ, dengan kisaran 10o- 80° dengan laju 0,02o/sekon.

3.3.4.2 Analisis Sitotoksisitas dengan Metode MTT Assay

Absorbansi sel dianalisis mengunakan visible spectrophotometer (Bio-Rad Microplate Reader Benchmark) pada panjang gelombang 655 nm. Hasil akhir yang diperoleh dari nilai absorbansi dapat menggambarkan kemampuan viabilitas sel terhadap sampel.

3.3.4.3 Karakterisasi SEM

Karakterisasi SEM dilakukan untuk mengamati interaksi sel dengan sempel pada setiap periode kultur. Hasil dari preparasi sampel dengan perendaman in

vitro 1, 3, dan 14 hari. Morfologi sampel

yang diamati terlebih dahulu dilapisi oleh emas-paladium (80% Au dan 20% Pd). Proses pelapisan menggunakan ion 1100

sputter JFC - mesin. Setelah itu sampel

dapat dilihat morfologinya dengan menggunakan mikroskop elektron (SEM-EDS, JEOL JCM-35C) dengan perbesaran 5.000x, 10.000x, 20.000x, dan 40.000x

(22)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sintesis BCP dan ACP

Sintesis BCP dan ACP dilakukan dengan metode yang berbeda, dengan bahan dasar yang sama yaitu CaO dan (NH4)2HPO4. CaO bersumber dari

cangkang telur ayam yang telah dikalsinasi 1000o C selama 5 jam berdasarkan penelitian Nurleila et al.10 Proses kalsinasi bertujuan untuk menghilangkan fase karbonat (CO3)

dalam cangkang telur yang memiliki kandungan CaCO3 sebesar 94-97%

sehingga menjadi CaO.

Penentuan fase pada pola XRD yang diperoleh dibandingkan dengan data JCPDS (Joint Committee on Powder

Diffraction Standards) dengan nomor

09-0432 untuk HA, nomor 09-0169 untuk TCP, dan nomor 35-0180 untuk apatit karbonat tipe A (AKA) (Lampiran 7). Pendekatan HA dan TCP digunakan untuk penentuan fase sampel BCP karena BCP mempunyai dua fase yaitu HA dan TCP sedangkan AKA untuk penentuan pola XRD hasil dari sampel ACP.

Sintesis BCP menggunakan metode hidrotermal mengacu pada penelitian Fajriyah27 dengan perbandingan molaritas Ca/P 1,67, 1 M CaO dan 0,6 M (NH4)2HPO4. Hasil karakterisasi XRD

pada sampel BCP menunjukkan kedua fase dari HA dan TCP sudah terbentuk dengan derajat kristalinitas yang dimiliki sampel BCP ini sebesar 77,90% (Lampiran 13). Tabel 1 dan Tabel 2 merupakan nilai sudut 2θ yang dimiliki oleh fase BCP dan ACP berturut-turut dengan pola XRD ditunjukkan pada Gambar 9 dan Gambar 10.

Tabel 1 Nilai 2θ pada fase BCP

Puncak fase TCP terletak pada 2θ Puncak fase HA terletak pada 2θ 13,70 31,78 17,09 32,24 25,85 32,90 27,91 39,83 31,11 48,13 32,57 53,04 47,12

Tabel 2 Nilai 2θ pada fase ACP

Puncak fase AKA terletak pada 2θ Puncak fase HA terletak pada 2θ 25,93 28,24 32,19 28,88 39,65 34,15 46,67 49,55

ACP merupakan fase amorf dari kristal apatit HA. Sintesis ACP menggunakan metode presipitasi suhu rendah mengacu pada penelitian Laeny28 dengan perbandingan Ca/P sebesar 1,67. Laeny menggunakan beberapa perbandingan molaritas yaitu 1:0,6, 0,5:0,3, dan 0,1:0,06. Perbandingan molaritas yang digunakan pada penelitian ini adalah 0,1 M CaO dan 0,06 M (NH4)2HPO4. Perbandingan molaritas ini

digunakan karena pada penelitian Laeny menghasilkan derajat kristalinitas yang paling rendah yaitu sebesar 14,39%.

Hasil sintesis ACP yang diperoleh pada penelitian ini memiliki derajat kristalinitas yang cukup tinggi yaitu sebesar 62,57% (Lampiran 8). Pada proses pengeringan sampel dengan metode freeze drying, Laeny menggunakan freeze drying dalam proses pengeringan selama 1x24 jam sedangkan dalam penelitian ini freeze drying selama 2x24 jam.

(23)

Gambar 9 Pola difraksi XRD sampel BCP.

Gambar 10 Pola difraksi XRD sampel ACP

Hal ini menyebabkan fase amorf dari ACP bertransformasi menjadi fase kristal. Kristal yang terbentuk di antaranya adalah fase kristal HA dan fase apatit karbonat tipe A (AKA). AKA dapat terbentuk karena ion hidroksil (OH) digantikan oleh CO3. Hal ini dapat terjadi karena ACP

masih memiliki pengotor seperti CO3

yang dapat mengganggu struktur dari ACP.14

Analisis sitotoksisitas bahan penambal gigi dilakukan melalui pengujian terhadap viabilitas sel fibroblas dengan metode MTT assay. BCP dan

ACP serbuk diuji dalam cell line NHDF yang merupakan prototype dari sel fibroblas pada pulpa gigi manusia.15 Sel yang telah dikultur kemudian dihitung konsentrasinya untuk membuktikan bahwa sel siap untuk dipanen. Konsentrasi sel hasil pengkulturan sel setelah 2 hari adalah 20,8×105 sel/ml diperoleh dari persamaan 3 dengan nilai A, B, C, D, dan E sebesar 11, 12, 11, 7, dan 11. Konsentrasi tersebut mencukupi untuk tahap inkubasi analisis MTT karena melebihi konsentrasi yang diinginkan yaitu 2×105 sel/mL (Tabel 1). Volume sel

(24)

yang diambil dari larutan sel adalah 1,73 ml dan penambahan medium sebesar 16,27 ml (Tabel 1). Medium dasar berfungsi sebagai media hidup dan nutrisi untuk sel.29

4.2 Pengujian Sitotoksisitas

Analisis sitotoksisitas bahan penambal gigi dilakukan melalui pengujian terhadap viabilitas sel fibroblas dengan metode MTT assay. BCP dan ACP serbuk diuji dalam cell line NHDF yang merupakan prototype dari sel fibroblas pada pulpa gigi manusia.15 Sel yang telah dikultur kemudian dihitung konsentrasinya untuk membuktikan bahwa sel siap untuk dipanen. Konsentrasi sel hasil pengkulturan sel setelah 2 hari adalah 20,8×105 sel/ml diperoleh dari persamaan 3 dengan nilai A, B, C, D, dan E sebesar 11, 12, 11, 7, dan 11. Konsentrasi tersebut mencukupi untuk tahap inkubasi analisis MTT karena melebihi konsentrasi yang diinginkan yaitu 2×105 sel/ml (Tabel 1). Volume sel yang diambil dari larutan sel adalah 1,73 mL dan penambahan medium adalah 16,27 ml (Tabel 1). Medium dasar berfungsi sebagai media hidup dan nutrisi untuk sel.27

Tabel 3 Konsentrasi dan volume kultur sel.

C2 (sel/ml) C1 (sel/ml) V2 (ml) V1 (ml) medium (ml) 2×105 20,8×105 18 1,73 16,27

Analisis sitotoksisitas menggunakan larutan MTT yang bersifat toksik dan berwarna kuning. Reaksi larutan MTT terhadap sel diindikasikan dengan perubahan warna yang menjadi hitam pekat, sedangkan pemberian larutan MTT pada blank tidak menyebabkan perubahan warna (tetap berwarna kuning seperti larutan MTT). Perubahan warna menjadi hitam merupakan terjadinya reduksi MTT menjadi formazan.20 Derajat kepekatan warna hitam sampel setelah pemberian MTT diukur dengan memanfaatkan prinsip absorbansi. Cahaya yang digunakan adalah warna merah 655 nm agar cahaya diteruskan pada sampel berwarna kuning (sampel blank) dan diserap pada sampel yang berwarna hitam (sampel yang mengandung sel). Tabel 2 menunjukkan data hasil pengukuran absorbansi dari spektrofotometer yang merupakan rata-rata dari 3 kali pengulangan untuk tiap hari waktu inkubasi.

Tabel 4 Absorbansi sel pada sel kontrol, sel dengan implan ACP, dan sel dengan implan BCP.

Waktu inkubasi (hari) Absorbansi (OD) Sel ACP BCP 1 2,61 2,221 2,376 2 0,837 0,718 1,807 3 0,714 1,282 1,103

(25)

Gambar 11 Viabilitas sel bedasarkan nilai absorbansi

Tabel 5 Viabilitas sel

Waktu inkubasi ( 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 N il ai A b so rb an si

Gambar 11 Viabilitas sel bedasarkan nilai absorbansi.

Viabilitas sel pada sampel dengan perlakuan waktu inkubasi yang berbeda

aktu inkubasi (hari) Sampel Viabilitas sel (%)

1 Sel (kontrol) 100,00 Sel+ACP 85,11 Sel+BCP 91,06 2 Sel (kontrol) 100,00 Sel+ACP 85,76 Sel+BCP 215,76 3 Sel (kontrol) 100,00 Sel+ACP 179,61 Sel+BCP 154,53 1 2 3

Waktu inkubasi (Hari)

sel (kontrol) ACP BCP yang berbeda. (%) sel (kontrol)

(26)

0 50 100 150 200 250 P e rs e n tas e ( % )

Gambar 12 Persentase viabilitas sel pada inkubasi 1, 2, dan 3

Hasil pengamatan viabilitas sel memperlihatkan adanya penurunan berdasarkan hasil absorbansi MTT dari kontrol dan sel yang telah diberi implan (persamaan 5). Hal ini disebabkan medium yang tersedia semakin berkurang sehingga nutrisi untuk sel bertahan hidup juga berkurang. Pada inkubasi hari pertama penambahan sampel ACP dan BCP tidak mempengar

Pada hari kedua inkubasi, BCP mampu mempertahankan viabilitas sel dua kali lipat dibandingkan dengan sel kontrol, sedangkan ACP masih belum mempengaruhi viabilitas sel. Pada hari ketiga kedua sampel dapat mempertahankan viabilitas sel d baik karena lebih dari 50% sel mampu bertahan dibandingkan dengan sel kontrol. Hal ini membuktikan bahwa sampel ACP dan BCP bersifat tidak toksik dan mampu mempertahankan viabilitas sel.

4.3 Karakterisasi SEM

Karakterisasi SEM digunakan untuk mengetahui morfologi sampel. Gambar 13a, 13b, dan 13c merupakan foto SEM pada sel NHDF tanpa penambahan bahan implan dengan waktu inkubasi 1, 3 dan 14 hari. Sel NHDF mempunyai struktur seperti bulatan kecil yang teratur da saling merekat satu dengan yang lainnya sehingga membentuk seperti tumpukan butiran yang saling melekat. Hari ke 3 dan 14 inkubasi tampak sel mulai berpolifersi

1 2 3

Waktu Inkubasi (Hari)

sel (kontrol) ACP BCP

Persentase viabilitas sel pada kontrol, sampel ACP, dan sampel BCP setelah waktu inkubasi 1, 2, dan 3 hari.

engamatan viabilitas sel ini memperlihatkan adanya penurunan berdasarkan hasil absorbansi MTT dari sel kontrol dan sel yang telah diberi implan ini disebabkan karena medium yang tersedia semakin berkurang sehingga nutrisi untuk sel bertahan hidup juga berkurang. Pada inkubasi hari pertama penambahan sampel ACP dan BCP tidak mempengaruhi viabilitas sel. Pada hari kedua inkubasi, BCP mampu mempertahankan viabilitas sel dua kali lipat dibandingkan dengan sel kontrol, sedangkan ACP masih belum mempengaruhi viabilitas sel. Pada hari ketiga kedua sampel dapat mempertahankan viabilitas sel dengan baik karena lebih dari 50% sel mampu bertahan dibandingkan dengan sel kontrol. Hal ini membuktikan bahwa sampel ACP dan BCP bersifat tidak toksik dan mampu mempertahankan viabilitas sel.

terisasi SEM

Karakterisasi SEM digunakan untuk mengetahui morfologi sampel. Gambar 13a, 13b, dan 13c merupakan foto SEM pada sel NHDF tanpa penambahan bahan implan dengan waktu inkubasi 1, 3 dan 14 hari. Sel NHDF mempunyai struktur seperti bulatan kecil yang teratur dan saling merekat satu dengan yang lainnya sehingga membentuk seperti tumpukan butiran yang saling melekat. Hari ke 3 dan tampak sel mulai berpolifersi

dan memproduksi matriks ekstra seluler sehingga bentuk sel sudah tidak jelas terlihat. Sel fibroblas merupakan sel pada jaringan ikat sehingga mampu membentuk kolagen.15

terbentuk dalam penelitian ini sudah memiliki derajat kristalinitas sebesar 62.57% sehingga sudah memiliki struktur kristal yang teratur seperti HA sedangkan BCP memiliki kristalinitas yang lebih tinggi sehingga memiliki struktur yang lebih teratur.

Gambar 14 dan 15 merupakan foto SEM sel dengan penambahan implan yaitu BCP (Gambar 14) dan ACP (Gambar 15). Pada hari pertama inkubasi bentuk butiran kristal BCP dan ACP masih jelas terlihat dan interaksi dengan sel juga sudah dapat terlihat, ditunjukkan dengan perlekatan yang hampir menutupi seluruh struktur ACP dan BCP. Morfologi sel dengan penambahan implan ACP dan BCP pada hari ke

menunjukkan hasil yang berbe

hari ke-3 inkubasi belum terlihat adanya perubahan morfologi seperti pada sel dengan implan BCP. Hal ini menunjukkan bahwa BCP lebih mudah berinteraksi dengan sel dibandingkan dengan ACP ditunjukkan pula dengan hasil absorbansi pada analisis sitotoksisitas, BCP pada hari ke-2 inkubasi dapat mempertahankan viabilitas sel dua kali lipat lebih besar dari pada sel kontrol dan sel dengan implan ACP. Selain itu, ACP dan BCP memiliki tingkat kelarutan yang berbeda. BCP

sel (kontrol)

BCP setelah waktu

matriks ekstra seluler29 sehingga bentuk sel sudah tidak jelas

fibroblas merupakan sel pada jaringan ikat sehingga mampu

15

ACP yang terbentuk dalam penelitian ini sudah memiliki derajat kristalinitas sebesar 62.57% sehingga sudah memiliki struktur kristal yang teratur seperti HA sedangkan ki kristalinitas yang lebih tinggi sehingga memiliki struktur yang Gambar 14 dan 15 merupakan foto SEM sel dengan penambahan implan yaitu BCP (Gambar 14) dan ACP (Gambar 15). Pada hari pertama inkubasi bentuk butiran kristal BCP dan ACP sih jelas terlihat dan interaksi dengan sel juga sudah dapat terlihat, ditunjukkan dengan perlekatan yang hampir menutupi seluruh struktur ACP dan BCP. Morfologi sel dengan penambahan implan ACP dan BCP pada hari ke-3 inkubasi menunjukkan hasil yang berbeda. ACP di 3 inkubasi belum terlihat adanya perubahan morfologi seperti pada sel dengan implan BCP. Hal ini menunjukkan bahwa BCP lebih mudah berinteraksi dengan sel dibandingkan dengan ACP ditunjukkan pula dengan hasil absorbansi otoksisitas, BCP pada hari 2 inkubasi dapat mempertahankan viabilitas sel dua kali lipat lebih besar dari pada sel kontrol dan sel dengan implan ACP. Selain itu, ACP dan BCP memiliki tingkat kelarutan yang berbeda. BCP

(27)

(a)

(a)

memiliki fase TCP yang tingkat kelarutannya lebih tinggi dari HA sehingga lebih cepat

berpolifersi dan mensekresi

kolagen atau membentuk makriks ekstraseluler.30 Sedangkan

membutuhkan waktu yang lebih lama

Gambar 13 Foto SEM dengan 20.000

Gambar 14 Foto SEM hari, dan (c

Gambar 15 Foto SEM (b) 3 hari

(a)

(b)

(b)

memiliki fase TCP yang tingkat arutannya lebih tinggi dari HA4 sehingga lebih cepat berinteraksi dan

sekresikan protein atau membentuk makriks Sedangkan ACP membutuhkan waktu yang lebih lama

dibandingkan BCP untuk ber dan memproduksi matriks kolagen

Foto SEM setelah baik pada BCP maupun memperlihatkan terjadinya kolagen dan interaksinya implan (Gambar 14c dan

Foto SEM sel NHDF setelah inkubasi (a) 1 hari, (b) 3 hari 20.000 kali perbesaran.

Foto SEM sel NHDF dengan implan BCP setelah inkubasi c) 14 hari dengan 20.000 kali perbesaran.

Foto SEM sel NHDF dengan implan ACP setelah inkubasi (a) ri, dan (c) 14 hari dengan 20.000 kali perbesaran.

(b)

(c)

(c)

andingkan BCP untuk berpoliferasi sel duksi matriks kolagen.

inkubasi 14 hari maupun ACP semakin terjadinya matriks interaksinya dengan bahan

dan 15c).

ri, dan (c) 14 hari

BCP setelah inkubasi (a) 1 hari, (b) 3

setelah inkubasi (a) 1 hari,

(28)

BAB V

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Sintesis BCP dan ACP pada penelitian ini menggunakan sumber kalsium dari cangkang telur ayam. Fase BCP yang dihasilkan terdiri dari dua fase, TCP dan HA dengan 3 puncak tertinggi dimiliki oleh fase TCP. Sedangkan sintesis ACP menghasilkan fase AKA dan HA dengan derajat kristalinitas sebesar 62,57% hal ini dapat disebabkan oleh faktor pengeringan menggunakan frezee

drying lebih dari 1x24 jam.

Berdasarkan analisis secara in vitro dibuktikan bahwa bahan implan BCP dan ACP bersifat tidak toksik terbukti dengan pengujian toksisitas yang dilakukan dengan perlakuan perendaman BCP dan ACP di dalam cell line fibroblas (NHDF) selama 1, 2, dan 3 hari. Viabilitas sel yang direndam dengan BCP dan ACP hari ke-1 perendaman, tidak mempengaruhi viabilitas sel, sedangkan hari ke-2 dan hari ke-3 perendaman viabilitas selnya lebih dari sel kontrol. BCP menginduksi sel lebih cepat dari pada ACP. Hari kedua

perendaman BCP mampu

mempertahankan sel 2 kali lipat lebih banyak dibandingkan sel kontrol sedangkan ACP di hari ketiga perendaman mampu mempertahankan sel 57% lebih besar dari sel kontrol. Hasil ini menunjukkan bahwa BCP dan ACP bersifat tidak toksik dan menginduksi sel-sel untuk tumbuh.

Hasil pengujian MTT ini sesuai dengan hasil karakterisasi scanning electron microscope (SEM) yang menunjukkan terjadinya pelekatan antara BCP atau ACP dengan sel fibroblas setelah 1 hari perendaman. Foto SEM sampel setelah inkubasi selama 3 hari menunjukkan bahwa sel mulai mengalami poliferasi dan mensekresikan protein kolagen. Sekresi protein kolagen semakin terlihat setelah perendaman selama 14 hari. Jadi, BCP dan ACP yang diperoleh dari cangkang telur bersifat tidak toksik dan memiliki biokompatibilitas yang baik

dengan sel secara in vitro dan memungkinkan untuk selanjutnya bahan implan dianalisis secara in vivo.

5.2 Saran

Sintesis ACP pada suhu rendah sebaiknya dilakukan frezee drying selama 1 x 24 jam karena proses frezee drying yang lebih lama akan timbul pembentukan fase kristal yang lebih banyak. Prosedur analisis in vitro

memerlukan keahlian dan ketelitian agar tidak terjadi kontaminasi terhadap sel dan selanjutnya dapat dilakukan pula analisis MTT dengan sel odontoblas atau stem

cell karena untuk menjadi bahan penambal yang baik sampel juga harus dapat berinteraksi dengan sel odontoblas, karena sel odontoblas merupakan sel pembentuk dentin30 dan stem cell

merupakan sel induk atau sel yang belum matang yang belum berdiferensiasi menjadi sel atau jaringan tertentu.31

Berdasarkan hasil in vitro dapat dilakukan pula penelitian lanjutan secara

in vivo untuk menguji sitotoksisitas dalam

kondisi tubuh makhluk hidup yang sesungguhnya. Pengujian poliferasi sel dan sekresi protein perlu dibuktikan dengan dilakukan tes kuantifikasi sehingga banyaknya kolagen yang terbentuk oleh sel fibroblas dapat dihitung.

DAFTAR PUSTAKA

1. Oliveira M, Mansur HS. Synthetic tooth enamel: SEM characterization of a fluoride hydroxyapatite coating for dentistry applications. Mat. Res 2007; 2:10.

2. LeGeros RZ. Calcium phosphate in oral biology and medicine.

Monograph in Oral Sciences 1991;

Vol 15.

3. Kalfas, Ian H, MD, FACS. Principles of bone healing. Neurosurg. Focus 2001; Vol 10.

(29)

4. Shi D. Biomaterials and Tissue

Engineering. New York: Springer;

2003.

5. Betts F, Blumenthal NC, Posner AS. Bone mineralization. J. Crys. Growth 1981; 53:63-73.

6. Zhang, M. Biomaterials and tissue engineering. Springer-Verlag Berlin

Heidelberg 2004; 83-143.

7. Fostera JA, Berzinsb DW, Bradleyc TG. Bond strength of an amorphous calcium phosphate-containing orthodontic adhesive. Angel Orthodontist 2008; 78:2.

8. Ramay HRR, Zhang M. Biphasic calcium phosphate nanocomposite porous scaffolds for load-bearing bine tissue engineering. Biomaterials 2004; 25: 5171-5180.

9. Prabakaran K, Balamurugan A, Rajeswari S. Development of calcium phosphate based apatite from hen’s eggshell. Bull. Mater. Sci 2005; 28: 115-119.

10. Nurlaela A, Dewi SU, Dahlan K, Soejoko DS. The use of eggshells as calcium sources for synthesis of bone mineral. Proceeding of the 1st

International Seminar on Science and Technology; 24-25 Jan 2009.

11. Lobo SE, Arinzeh TL. Biphasic calcium phosphate ceramics for bone regeneration and tissue engineering applications. Materials 2010; 3:815-826.

12. Kumar, K L. Kumar T.S.S., Sunder M., Babu N. R., Victor S. P. Biphasic calcium phosphates for antibiotic release. Trends biomater.

Artif. Organ 2005; 18: 2.

13. Uysal T, Amasyali M, Koyuturk AE, Sagdic D. Efficiency of amorphous calcium phosphate– containing orthodontic composite and resin modified glass ionomer on

demineralization evaluated by a new laser fluorescence device. Eur J Dent 2009; 3(2): 127–134.

14. Sinyaev VA, Le Geros R, Levchenko LV, Shustikova ES, Karzhaubaeva RA. State of water in amorphous calcium and calcium– magnesium phosphates. Russian Journal of General Chemistry 2008;

78(5): 864–867.

15. Grossman L I, Seymour Oliet, Carlos E Del Rio. Ilmu Endodontik

dalam Praktek. Abyon R, Penerjemah; Suryo S, editor. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC. Terjemahan dari: Endodoctic Practice Eleventh edition; 1995. 16. Patlolla A, Knighten B, Tchounwou

P. Multi-walled carbon nanotubes induce cytotoxicity, genotoxicity and apoptosis in normal human dermal fibroblast cells. Ethn Dis 2010; 20(1): 65-72.

17. Hamsafir E. Pusat kesehatan gigi dan mulut. [Terhubung Berkala] www.Infogigi.com [30 Juni 2010]. 18. [Anonim1]. Normal human dermal

fibroblast. [Terhubung Berkala] http://www.invitrogen.com [ 4 Juni 2010].

19. Coelho MJ, Cabral AT, Fernandes MH. Human bone cell cultures in biocompatibility testing. Part I: Osteoblastic differentialtion of serially passaged human bone marrow cell cultured in a-MEM adan in DMEM. Biomaterials 2000; 21: 1087-1094.

20. Pamilih H. Uji sitotoksik ekstrak etil asetat herba bandotan (Ageratum

conyzoides L.) terhadap sel kanker

payudara (T47D) dan profil kromatografi lapis tipis [skripsi]. Surakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2009.

(30)

21. Ribeiro C, Rojas-Cabrera WI, Marques M, Bressiani JC, Bressiani AHA. In vitro characterization of porous ceramic based calcium phosphate processing with albumin.

Key Engineering Materials 2009;

396-398: 27-30.

22. Rakovan J. X-ray diffraction (XRD).

Rocks & Minerals 2004; 79:

351-353.

23. Connolly J. Introduction to X-ray powder diffraction. Spring 2007; 1-9.

24. Abdullah M, Khairurrijal. Review: Karakterisasi nanomaterial. J Nano

Saintek 2009; 2 (1):1-9.

25. Harsas NA. Efek pemberian graf tulang berbentuk pasta dengan berbagai komposisi dan kosentrasi terhadap viabilitas sel osteoblas, In

Vitro. [skripsi] Jakarta: Fakultas

Kedokteran Gigi, Unifersitas Indonesia; 2008.

26. [Anonim2]. Perangkat scaning

elektron microscopy. [terhubung berkala]

http://mse.iastate.edu/microscopy/col lege.html. [20 Juli 2010].

27. Fajriyah HI. Hydrothermal synthesis of biphasic calcium phosphate [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor; 2010.

28. Laeny AN. Synthesis of amorphous calcium phosephate by low temperature-precipitation methode from eggshell [Skripsi]. Bogor: Department of Physics Mathematics and Natural Sciences Faculty Bogor Agricultural University; 2008. 29. Lin FH, Liao CJ, Liu HC, Chen KS,

Sun JS. Behavior of fetal rat osteoblasts cultured in vitro on the DP-bioactive glass substratum.

Materials Chemist and Physics

1997; 49: 270-276.

30. Mozartha M. A-Z gigi dan mulut.

[Terhubung Berkala]

http://www.klikdokter.com/gigimulu t/read/2010/07/05/49/pulpa. 2010; [2 April 2011]

31. Mozartha M. Terapi stem cell harapan masa depan. [Terhubung Berkala]

http://www.stemactive.com/terapi-stem-cell-harapan-masa-depan/. 2011; [2 April 2011].

(31)
(32)

Lampiran 1 Diagram alir penelitian

Tahap Pertama: Sintesis BCP dan ACP

Sintesis BCP

Serbuk BCP

Mulai

Kalsinasi CangkangTelur

Sintesis ACP

Serbuk ACP

Karakterisasi XRD

Analisis

Sterilisasi Sinar Gamma

(33)

Lanjutan

Tahap kedua: Pengujian sitotoksisitas dan interaksi sel dengan implan

Serbuk BCP dan ACP

Steril

Kultur Sel

Penanaman Sel dengan Implan

BCP dan ACP

Pengujian Sitotoksisitas

Karakterisasi SEM

Analisis

Laporan

(34)

Lampiran 2 Peralatan yang digunakan untuk sintesis ACP dan BCP

(a)

Neraca anaitik

(g)

Vakum

(b)

Furnace

(h)

Digital pHmeter

(c)

Heating plate

(i)

Beaker glass

(d)

Reaktor hidrotermal

(j)

Crucible

(e)

Burette

(k)

Mortar

(f)

Penyaring

(k) (j) (i) (h) (g) (f) (e) (d) (c) (b) (a)

(35)

Lampiran 3 Peralatan yang digunakan untuk kultur sel dan uji sitotoksisitas

(a)

Freezer

(b)

Water bath

(c)

Biohazard cabinet

(d)

Tabung nitrogen cair

(e)

Incubator

(f)

Mikroskop

(g)

Tabung 15 mL (m) (i) (h) (g) (b) (a)

Peralatan yang digunakan untuk kultur sel dan uji sitotoksisitas

(h)

Mikropipet

Water bath

(i)

Eppendorf tube

Biohazard cabinet

(j)

Shaker

Tabung nitrogen cair

(k)

Centrifugasi

(l)

Vortexer

Mikroskop

(m)

96-well plate

Tabung 15 mL (k) (j) (e) (d) (c)

Peralatan yang digunakan untuk kultur sel dan uji sitotoksisitas

Eppendorf tube (l) (f)

(36)

Lampiran 4 Alat yang digunakan untuk sterilisasi

(a)

Gamma radiation room

(b)

Gamma radiation room

(c)

Cobalt 60 radiation source

(d)

JEOL JCM-35C scanning electron microscope

(e)

Ion Sputter JFC-1100 machine

(f)

Bio-rad microplate reader

(f) (e) (d) (c) (b) (a)

(37)

Lampiran 5 Database JCPDS fase (a) AKA, (b) HA, dan (c) TCP

(a)

(b)

(c)

(38)

Lampiran 6 Hasil pengolahan data ACP

Sampel HA AKA

Fase 2 Theta I 2θ int %∆2θ 2θ Int %∆2θ

25,9294 42 25,879 40 99,80525 25,951 35 99,91677 AKA 28,2411 13 28,126 12 99,59077 28,511 17 99,05335 HA 28,8803 11 28,966 18 99,70414 HA 32,1867 100 32,196 60 99,97111 32,187 70 99,99907 AKA 34,1549 17 34,048 25 99,68603 34,937 4 97,7614 HA 39,6508 16 39,818 20 99,58009 39,76 13 99,72535 AKA 46,677 20 46,711 30 99,92721 HA 49,5558 23 49,468 40 99,82251 HA

Gambar

Gambar  1  memperlihatkan  hasil  pola  XRD  BCP  berdasarkan  penelitian  Kumar  et al
Gambar 2  Sel NHDF  mikroskopik. 18 2.4  In Vitro BCP
Gambar 3  Morfologi sel
Gambar 6  Skema Prinsip Kerja SEM. 25
+7

Referensi

Dokumen terkait

1 TEKNOLOGI REPRODUKSI DALAM UPAYA. MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS

Akreditasi sekolah/madrasah pada hakikatnya merupakan kegiatan penilaian tentang kelayakan penyelenggaraan pendidikan yang ditunjukkan oleh suatu sekolah/madrasah. Dalam

[r]

[r]

Dan dari hasil perhitungan diketahui untuk rata – rata trotoar di sisi kiri dan kanan jalan Urip Sumoharjo dan Panglima Sudirman mempunyai tingkat pelayanan

1) peneliti penetapkan bahwa peneliti melakukan wawancara kepada Kepala Desa Jlamprang, ketua KesenianDolalakSekar Arum, penari dan pemusik DolalakSekar.. Arum, serta kelompok

Untuk dapat bertahan dalam persaingan yang semakin ketat pada saat ini, para pemilik studio musik dituntut untuk lebih memperhatikan kebutuhan dan keinginan pelanggan saat ini,

EVALUASI DAYA SIMPAN DAGING DARI SAPI BALI YANG DIGEMBALAKAN DI AREA TPA.. DESA PEDUNGAN,