• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Dasar Teori II.1 Hukum Adat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab II Dasar Teori II.1 Hukum Adat"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Bab II

Dasar Teori

II.1 Hukum Adat

Hukum adat yaitu hukum tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif

(unstatutory law) yang meliputi peraturan-peraturan hidup dan walaupun tidak

ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum (Supomo, 1947). Hukum adat ini dipakai sebagai sinonim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif, hukum yang hidup sebagai konvensi pada badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan-dewan propinsi, dan sebagainya), hukum yang timbul karena putusan hakim (Judge made law), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup baik di kota-kota maupun di desa-desa (Customary law), semua inilah merupakan Adat atau hukum yang tidak tertulis yang disebut oleh pasal 32 UUDS Tahun 1950 (Supomo, 1947).

Walaupun hukum adat tidak tertulis, namun hukum adat mempunyai akibat hukum terhadap siapa saja yang melanggarnya. Norma-norma dan nilai-nilai yang ada di dalam hukum adat sangat dipatuhi dan dipegang teguh oleh masyarakat adat. Hukum adat bagi masyarakat berfungsi sebagai neraca yang dapat menimbang baik atau buruk, salah atau benar, patut atau tidak patut, pantas atau tidak pantas suatu perbuatan atau peristiwa dalam masyarakat. Sehingga hukum adat lebih sebagai pedoman untuk menegakkan dan menjamin terpeliharanya etika kesopanan, tata tertib, moral dan nilai adat dalam kehidupan masyarakat. Ini berarti bahwa walaupun hukum adat itu tidak tertulis tetapi di dalamnya sudah diatur dan disepakati bagaimana seseorang bertindak, berperilaku baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat secara luas (http://www.pemkab-tanjungjabungbarat.go.id)

(2)

Hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri (Supomo, 1947). Hukum adat pada waktu yang telah lampau agak beda isinya, hukum adat menunjukkan perkembangan (Vollenhoven, 1913). Hukum adat berkembang dan maju terus, keputusan-keputusan adat menimbulkan hukum adat (Vollenhoven, 1913). Jadi hukum adat merupakan hukum yang tidak statis dan terus berkembang mengikuti perkembangan hidup.

Hukum adat disebut hukum asli karena lahir dari bawah atau dari masyarakat adat sesuai dengan kepentingannya pula. Di dalam hukum adat apabila masyarakat akan memutuskan sesuatu, harus melalui musyawarah dan mufakat oleh sesepuh adat yang berhak untuk menolak atau menerima suatu putusan yang apakah bertentangan atau tidak dengan kepentingan rakyat, dan inilah yang disebut dalam istilah adat "Raja adil raja disembah, Raja zalim raja disanggah ( http://www.pemkab-tanjungjabungbarat.go.id)

Untuk menghindari hal demikian menurut hukum adat hendaklah setiap keputusan yang menyangkut kepentingan orang banyak dapat diuji kebenarannya dan bebas menurut hukuman adil dan patut atau pantas. Sehingga pemimpin tidak kehilangan kepercayaan dari masyarakat, maka seorang pemimpin/penguasa yang adil dan patut atau pantas dalam memutuskan disebutkan dalam adat "kalau bulat dapat digulingkan, pipih dapat dilayangkan, putih berkeadaan, merah dapat dilihat, panjang dapat diukur, berat dapat ditimbang. Untuk menentukan salah dan benar menurut hukum adat, sesuatu perbuatan harus diteliti (disimak) sebaik mungkin. Sehingga ungkapan tersebut apabila terjadi sulit bahkan sangat sulit untuk menolak kebenarannya, serta dipatuhi oleh masyarakat karena adil dan patut, adil menurut orang yang tahu pada hukum adat dan patut menurut orang yang tahu pada nilai sesuatu. Oleh karenanya proses peradilan yang demikian setiap keputusannya akan mudah dipahami dan diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa serta dapat dengan mudah menghabiskan segala dendam (http://www.pemkab-tanjungjabungbarat.go.id). Hukum adat tidak mengenal adanya rumah tahanan atau penjara sehingga bagi yang dinyatakan bersalah, hukum adat mempunyai sanksi moral dan material, sanksi material jika tidak

(3)

sanggup dibayarkan oleh yang bersalah, sanksi tersebut diambil alih oleh keluarga atau waris dari orang yang berbuat salah tersebut.

Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hukum adat merupakan: 1. Hukum yang tidak tertulis, namun walaupun tidak tertulis tetap harus

dipegang teguh oleh masyarakat adat

2. Tidak bersifat statis artinya dapat berkembang seiring berjalannya waktu 3. Bersifat asli, karena lahir dari bawah atau dari masyarakat adat sesuai

dengan kepentingannya pula.

II.2 Hukum Tanah Adat

Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun akan tetap dalam keadaan semula, malah kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan, dipandang dari segi ekonomis umpamanya jika terjadi banjir, ataupun terkena muntahan lahar dari letusan gunung berapi, tentu tanah tersebut tidak akan lenyap melainkan akan kembali seperti semula (Muhammad, 2000). Menjadi kenyataan bahwa tanah merupakan sebagai alas tempat tinggal keluarga dan masyarakat, memberikan penghidupan, dan merupakan tempat terakhir tubuh kita disemayamkan.

Di dalam hukum adat, maka antara masyarakat hukum sebagai kesatuan dengan tanah yang didudukinya terdapat hubungan yang erat sekali, hubungan yang bersumber pada pandangan yang bersifat religio-magis. Hubungan yang erat dan bersifat religio-magis ini, menyebabkan masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas tanah itu, juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup disana. Hak masyarakat hukum atas tanah ini disebut hak pertuanan atau hak ulayat, atau biasa disebut beschikkingsrecht (Muhammad, 2000). Selanjutnya hal mengenai hak ulayat akan dibahas pada subbab berikutnya.

(4)

II.2.1 Hak Ulayat

Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat) adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan (Republik Indonesia. 1999. Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Pasal 1.

Sekretariat Negara. Jakarta).

Seperti disebutkan pada bab sebelumnya, beschikkingsrecht menggambarkan tentang hubungan antara masyarakat hukum/persekutuan dan tanah itu sendiri. Kini lazimnya digunakan istilah hak ulayat sebagai terjemahan beschikkingsrecht (Muhammad, 2000). Istilah-istilah daerah yang berarti lingkungan kekuasaan, wilayah kekuasaan ataupun tanah yang merupakan wilayah yang dikuasai persekutuan antara lain patuanan (ambon), panyampeto (Kalimantan), wewengkon (Jawa), prabumian (Bali), pawatasan (Kalimantan), limpo (Sulawesi Selatan), ulayat (Minangkabau) (Muhammad, 2000).

Hak ulayat ini berlaku ke luar dan ke dalam. Berlaku ke luar karena warga yang bukan termasuk persekutuan pada prinsipnya tidak diperbolehkan turut mengenyam/menggarap tanah yang merupakan wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan, hanya seizin persekutuan adat serta setelah membayar pancang dan kemudian memberikan ganti rugi, barulah orang luar bukan warga persekutuan adat tersebut dapat memperoleh kesempatan untuk turut serta menggunakan tanah wilayah persekutuan yang bersangkutan. Berlaku ke dalam, karena persekutuan sebagai suatu keseluruhan yang berarti semua warga persekutuan adat bersama-bersama sebagai suatu kesatuan, melakukan hak ulayat yaitu dengan memetik hasil tanah beserta segala tumbuh-tumbuhan dan binatang

(5)

liar yang hidup di atasnya. Hak persekutuan ini pada hakikatnya membatasi kebebasan usaha atau kebebasan gerak para warga persekutuan sebagai perseorangan. Pembatasan ini dilakukan demi kepentingan persekutuan (Muhammad, 2000).

Yang menjadi objek hak ulayat ini adalah (Muhammad, 2000) : • Tanah (daratan)

• Air (perairan, misalnya: kali, danau, pantai beserta perairannya) • Tumbuh-tumbuhan

• Binatang liar yang hidup di hutan

II.2.2 Hak Perorangan Atas Tanah

Harus diperhatikan bahwa hak perorangan atas tanah adat dibatasi oleh hak ulayat; sebagai warga persekutuan adat maka tiap individu mempunyai hak untuk (Muhammad, 2000):

a. Mengumpulkan hasil-hasil hutan, seperti rotan, kayu, dan sebagainya b. Memburu binatang liar yang hidup di wilayah kekuasaan persekutuan c. Mengambil hasil dari pohon-pohon yang tumbuh liar

d. Membuka tanah dan kemudian menggarap tanah itu terus menerus e. Mengusahakan untuk diurus selanjutnya suatu kolam ikan

Terdapat suatu larangan yang bersifat religio-magis pada point c, d, dan e, sehingga hasil pohon, tanah ataupun kolam tersebut hanya dapat diambil oleh yang berkepentingan saja, orang lain tidak diperbolehkan mengambil hasilnya. Harus ada saling pengertian antara satu warga dengan warga persekutuan lainnya agar tidak mengganggu hasil garapan atau hasil hutan lainnya.

Setiap warga persekutuan bebas untuk menggarap lahan atau membuka tanah untuk jangka waktu yang lama dan terus menerus, sehingga suatu saat warga tersebut dapat memperoleh hak milik dari tanah tersebut, meskipun yang menggarap tanah tersebut tidak boleh lebih dari satu atau dua tahun panenan. Apabila hak mengerjakan tanah itu tidak dapat lebih lama daripada satu kali panen

(6)

saja, maka warga persekutuan yang bersangkutan sesungguhnya hanya memperoleh hak mempergunakan tanah itu saja (ter Haar menamakan ini genots

recht) dan bukan hak milik, hak untuk mempergunakan atau memungut hasil

untuk satu panen saja. Apabila kemudian tanah itu ditinggalkan dan tidak diurus lagi oleh yang berkepentingan, maka tanah itu dikuasai lagi oleh hak ulayat. Seorang warga yang membuka lahan atau menggarap tanahnya mempunyai hak yang penuh atas garapannya, tetapi dengan ketentuan wajib menghormati (Muhammad, 2000):

• Hak ulayat desanya

• Kepentingan-kepentingan orang lain yang memiliki tanah

• Peraturan-peraturan adat seperti kewajiban memberi ijin ternak milik orang lain masuk dalam tanah garapannya, selama tanah tersebut tidak dipagari

Hak menggunakan tanah atau hak memungut hasil tanah hanya untuk satu panen saja, pada umumnya berlaku bagi orang luar bukan warga persekutuan adat yang sudah mendapat izin untuk mengerjakan sebidang tanah, serta telah memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti membayar mesi (Jawa) atau uang pemasukan (Aceh). Dalam kenyataannya hak memungut hasil ini dimiliki lebih lama daripada satu panen saja tetapi secara adat masa itu harus dilihat sebagai suatu masa satu panen yang bersambung dengan masa atau panen berikutnya dan seterusnya.

Terdapat hak usaha di atas sebidang tanah (Supomo, 1947). Dan yang dimaksudkan dengan hak usaha ini adalah suatu hak yang dimiliki oleh seorang untuk menggarap sebidang tanah tertentu sebagai tanah miliknya, asal saja ia memenuhi kewajiban-kewajiban serta menghormati pembatasan-pembatasan yang melekat pada hak itu. Hak usaha seperti ini dinamakan hak menggarap (bouwen

bewerkingsrecht) (Vollenhoven, 1913).

Kewajiban-kewajiban apakah yang harus dipenuhi oleh si pemilik hak usaha terhadap tuan rumah yang mempunyai hak eigendom atas tanah itu? Adapun kewajiban-kewajiban si pemilik usaha adalah antara lain (Muhammad, 2000) :

(7)

a. Membayar semacam pajak yang dinamakan cukai.

b. Melakukan macam-macam pekerjaan untuk keperluan tuan tanah, seperti penjagaan desa di waktu malam, memelihara jalan.

Cukai yang dimaksud di atas lazimnya berupa sebagian hasil penen sawah yang tidak boleh melebihi seperlima dari jumlah hasil tersebut.

Dari hak yang dimiliki tiap individu diatas, maka bisa dikatakan hak perseorangan atas tanah mulai berkembang. Beberapa hak perseorangan atas tanah yang ada yaitu (Artawilaga, 1960) :

a) Hak Milik

Seorang warga persekutuan berhak untuk membuka tanah dan mengerjakan tanah itu terus menerus dan menanam pohon diatas tanah itu, sehingga ia mempunyai hak milik atas tanah itu. Warga yang memiliki hak milik atas tanah ini wajib menghormati hak ulayat desanya, kepentingan-kepentingan orang lain yang memiliki tanah, dan peraturan-peraturan adat serta kewajiban memberi ijin ternak orang lain masuk dalam tanahnya selama tanah itu tidak dipergunakan dan tidak dipagari.

b) Hak Milik Terkekang atau Terbatas

Selain hak milik atas tanah, dikenal pula hak milik terkekang atau terbatas atas tanah yaitu bila kekuasaan atas tanah tersebut dibatasi oleh kuat atau tidaknya hak pertuanan desa. Kalau hak pertuanan desa masih kuat, ada daerah yang hak milik itu hanya dimiliki untuk waktu tertentu dan pada akhir waktu tanahnya harus diserahkan kepada anggota lain persekutuan desa. Dan apabila hak pertuanannya lemah, maka hak milik atas tanah setelah pemilik meninggal dunia dengan sendirinya jatuh ke tangan ahli warisnya. Penunjukan tanah-tanah ini dilakukan melalui Rapat Desa.

c) Hak menggunakan tanah atau memungut hasil tanah

Hak menggunakan tanah atau memungut hasil tanah selama waktu tertentu, biasanya satu kali panen, pada umumnya berlaku bagi orang luar bukan warga persekutuan yang sudah mendapat ijin untuk mengerjakannya serta telah memenuhi syarat-syarat tertentu seperti membayar mesi (Jawa) atau uang pemasukan (Aceh).

(8)

d) Hak Wenang Pilih

Hukum adat juga mengenal hak wenang pilih bagi perseorangan warga persekutuan yang membuka tanah ataupun yang menempatkan tanda-tanda pelarangan (pagar dan lain sebagainya) pada tanah yang bersangkutan. Hak ini memberikan kesempatan bagi warga yang pertama-tama membuka/menggarap tanah lebih dulu dari warga yang lain

e) Hak Wenang Beli

Hak membeli tanah pertanian atau kolam-kolam ikan ini sering kali dijumpai dalam tiga bentuk yaitu hak anggota keluarga untuk membeli tanah dengan mengesampingkan pembeli-pembeli bukan anggota keluarga, hak warga persekutuan untuk membeli tanah dengan mengesampingkan orang bukan warga persekutuan, dan hak pemilik tanah yang berbatasan untuk mebeli tanah tersebut dengan mengesampingkan pemilik tanah lain yang tidak berbatasan. f) Hak Pejabat Adat

Kepala persekutuan atau pembesar desa lainnya mempunyai hak atas tanah pertanian yang diberikan oleh persekutuan untuk menghidupi keluarganya (tanah bengkok). Hak ini dimiliki semasa memangku jabatannya maupun semasa hidupnya (setelah pensiun). Tanah-tanah jabatan ini banyak dijumpai dengan sebutan berbeda seperti sabana bolak (Batak), galung arajang (Sulawesi Selatan), dusun dati raja (Ambon) dan bukti (Bali).

Jika sebidang tanah di wilayah persekutuan itu telah dikerjakan oleh seseorang warganya secara terus menerus maka hubungannya dengan tanah itu semakin kuat, sebaliknya hubungan tanah itu dengan persekutuannya semakin renggang dan lama-kelamaan tanah itu akan di akui sebagai hak milik dari orang yang mengerjakannya. Namun apabila suatu waktu tanah itu ditinggalkannya dimana hubungannya semakin renggang dengan tanah itu, maka hubungan antara tanah itu dengan persekutuan semakin erat kembali. Jika tanah tersebut ditinggalkan menjadi semak belukar, maka tanah itu dianggap telah diterlantarkan, maka putuslah hubungan seseorang itu dengan tanah tersebut (Muhammad, 2000).

(9)

II.2.3 Transaksi-transaksi Dalam Tanah Adat

Transaksi-transaksi dalam tanah adat merupakan golongan hukum tanah yang bergerak. Karena adanya suatu pemindahan hak atas suatu tanah, baik itu penjualan, penggadaian, ataupun sewa. Dikenal dua macam transaksi tanah, yang pertama yaitu perbuatan hukum sepihak, dan yang kedua yaitu yang merupakan hukum dua pihak (Muhammad, 2000).

Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum sepihak • Pendirian suatu desa

Proses dalam pendirian suatu desa melibatkan sekumpulan orang tertentu yang telah mendiami dan membuat suatu perkampungan di atas tanah itu, menggarap tanahnya untuk pertanian, tempat tinggal, ladang ataupun untuk mengubur orang-orang yang telah meninggal dunia dan sebagainya. Dari kegiatan-kegiatan tersebut di atas setelah dilakukan dalam waktu yang lama dan terus-menerus maka daerah tersebut lambat laun akan menjadi suatu desa, akan tumbuh juga suatu hubungan religio-magis antara desa dengan tanah tersebut, tumbuh suatu hak atas tanah itu bagi persekutuan yang dimaksud yang biasa disebut sebagai hak ulayat.

• Pembukaan tanah oleh seorang warga persekutuan

Seorang warga persekutuan dengan izin Kepala Desa membuka tanah persekutuan (ulayat), maka dengan ia menggarap tanah tersebut maka terjadi suatu hubungan hukum dan sekaligus juga hubungan religio-magis antara warga yang bersangkutan dengan tanah yang dimaksud. Jika warga tersebut sudah menggarap tanah itu, maka ia berhak untuk mendapatkan tanda-tanda pelarangan (batas) pada tanah garapannya tersebut, dan hal ini juga berakibat timbulnya hak milik atas tanah tersebut. Hal itu termasuk perbuatan hukum sepihak.

(10)

Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua pihak

Inti dari transaksi ini adalah pengoperan atau pemindahkuasaan disertai pembayaran kontan dari pihak lain pada saat itu juga. Dalam hukum adat hal itu disebut transaksi jual.

Transaksi jual tanah ini menurut isinya dapat dibedakan menjadi tiga macam, sebagai berikut di bawah ini (Muhammad, 2000):

• Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai ketentuan, bahwa yang menyerahkan tanah dapat memiliki kembali tanah tersebut, dengan pembayaran sejumlah uang (sesuai perjanjian)

• Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan tanpa syarat, jadi kepemilikan tanahnya untuk selamanya.

• Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai perjanjian, bahwa apabila kemudian tidak ada perbuatan hukum lain, sesudah satu sampai dua tahun atau beberapa kali panen, tanah itu kembali kepada pemilik tanah semula.

Transaksi-transaksi tersebut di atas wajib diketahui oleh kepala persekutuan agar transaksi tersebut menjadi jelas, tidak ada yang disembunyikan. Apabila transaksi tersebut tidak diketahui oleh kepala persekutuan, maka transaksi tersebut menjadi gelap, sehingga tidak diakui oleh hukum adat. Dan itu artinya kepemilikan tanah atas si pembeli tersebut tidak diakui oleh umum.

Pada umumnya untuk transaksi-transaksi ini dibuatkan suatu akta yang ditandatangani (cap jempol) oleh yang menyerahkan serta dibubuhi pula tanda tangan kepala persekutuan dan saksi-saksi. Akta ini adalah merupakan suatu bukti dari transaksi penjualan tanah tersebut. Yang menjadi objek dalam transaksi tersebut yaitu tanah, atau dapat pula berupa kolam ikan, rumah, serta pohon buah-buahan beserta kebunnya. Alasan utama seseorang melakukan transaksi jual tanah yaitu kebutuhan akan uang. Transaksi tersebut benar terjadi ketika si penjual di hadapan kepala persekutuan menerangkan bahwa ia mengakui menyerahkan

(11)

tanahnya serta telah menerima uangnya, maka transaksi sudah ditutup dan mulai saat itu si pembeli mendapat hak tanah yang bersangkutan.

Untuk memperdalam masalah transkasi mengenai tanah seperti yang telah disebutkan di atas, maka akan diuraikan transaksi-transaksi tersebut yaitu (Muhammad, 2000):

• Menjual gadai

Yang menerima tanah berhak untuk mengerjakan tanah itu serta untuk memungut hasil dari tanah itu. Ia hanya terikat oleh oleh janjinya bahwa tanah itu hanya dapat ditebus oleh yang menjual gadai. Tanah tersebut dapat dijualgadaikan kembali kepada orang lain, tetapi tidak boleh menjual lepas tanah tersebut. Biasanya dalam transaksi jual gadai ini disertai dengan perjanjian-perjanjian seperti contoh berikut :

1. Kalau tidak ditebus dalam masa yang dijanjikan, maka tanah tersebut menjadi milik yang membeli gadai.

2. Tanah tidak boleh ditebus selama satu, dua atau beberapa tahun oleh si pembeli gadai.

• Menjual lepas

Yang membeli-lepas memperoleh hak milik atas tanah yang dibelinya. Pembayaran dilakukan di hadapan kepala persekutuan. Di Aceh terdapat kebiasaan bahwa dalam akta dicantumkan ijab-kabul, sedangkan di Minangkabau dalam transaksi ini pembeli lazimnya dalam pembayaran tidak hanya menyerahkan uang saja, akan tetapi juga disertai pisau atau sepotong kain (magis).

II.3 Konsep Batas

Batas yaitu tempat kedudukan titik-titik yang membentuk suatu garis khayal yang memisahkan suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Batas digunakan untuk membatasi kekuasaan atau kepemilikan akan suatu wilayah tertentu. Batas dapat berupa batas negara, propinsi, kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan dan sampai pada bagian terkecil yaitu batas kepemilikan suatu bidang tanah. Batas memiliki sifat ganda, artinya bahwa batas itu mengikat dua belah pihak yang bersebelahan

(12)

pada garis batas tersebut. Jadi perubahan satu pihak dapat menyebabkan perubahan pada pihak lain, demikian pula hak-haknya (Sehabudin, 2001).

Bila ditinjau dari pengertian batas sebagai tempat kedudukan titik-titik yang membentuk garis, batas dapat berupa garis atau berupa titik perpotongan garis batas. Batas yang berupa garis akan selalu membatasi dua wilayah, sedangkan batas yang berupa titik perpotongan garis batas akan selalu membatasi lebih dari dua wilayah, seperti diilustrasikan pada gambar 2.1 berikut (Sehabudin, 2001) :

Gambar 2.1 Garis batas dan titik perpotongan garis batas

Keterangan :

: Titik potong antar garis batas : Garis batas

Dengan adanya batas maka kewenangan suatu wilayah dalam hal kepemilikan dan pengelolaan akan menjadi terbatas juga. Suatu wilayah tidak boleh mencampuri wilayah lainnya melewati batas kewenangannya (Sehabudin, 2001). Hal ini berlaku juga untuk kepemilikan suatu bidang tanah. Seseorang yang memilki sebidang tanah harus memiliki batas yang jelas untuk mengetahui sejauh mana kepemilikan dan pengelolaan atas sebidang tanah tersebut. Terlebih lagi jika sebidang tanah tersebut berbatasan langsung dengan sebidang tanah lainnya. Batas tersebut harus diketahui oleh kedua belah pihak pemilik tanah yang bersebelahan

Wilayah A Wilayah B Wilayah C Wilayah D

(13)

tersebut. Banyak sekali kasus sengketa batas yang terjadi diakibatkan batas tersebut tidak diketahui dengan jelas dan pasti oleh kedua pihak yang bersangkutan. Seorang kakak dan adik saja bisa saling membunuh dalam mempertahankan batas yang sebelumnya tidak ada kesepakatan diantara keduanya. Bahkan dua negara pun bisa saja mempeributkan masalah batas, hal ini pernah terjadi antara negara Indonesia dan Malaysia dalam hal kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan. Jadi dalam hal ini, batas merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan kewenangan atau kepemilikan suatu wilayah atau sebidang tanah.

Batas teridentifikasi dalam dua bentuk, yaitu fixed boundary dan general

boundary (Dale dan McLaughlin, 1999). Dilihat dari segi bahasa, fix berarti tetap,

jelas atau kuat, sedangkan general merupakan kebalikan dari fix yang berarti umum, tidak tetap, dan tidak spesifik. Fix boundary hanya dapat terjadi apabila garis batas presisi sudah dapat ditentukan. Sedangkan pemanfaatan prinsip

general boundary dapat terjadi apabila batas dari suatu wilayah tidak dapat

ditentukan secara presisi.

Batas dapat dilihat dari segi hukum dan dari segi fisik. Dari segi hukum karena garis batas tersebut merupakan garis khayal yang tak kasat oleh mata, namun di dalamnya terkandung suatu hukum yang tidak membolehkan seseorang untuk menggunakan hak dari suatu bidang tanah atau wilayah yang masih di dalam batasnya. Biasanya ketetapan atau hukum yang terkandung dari batas tersebut disimpan dalam dokumen yang sah, bisa berupa sertifikat atau dokumen-dokumen penting lainnya. Batas fisik juga merupakan bagian yang penting dalam proses penentuan batas wilayah atau sebidang tanah. Dengan adanya objek fisik suatu batas, misalnya pilar batas daerah atau patok, maka akan diperoleh kejelasan dan ketegasan batas antar wilayah atau sebidang tanah di darat sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan sebelumnya.

(14)

Adapun batas fisik dapat dibedakan menjadi : 1. Batas Alam

Batas alam merupakan batas yang ditentukan berdasarkan unsur-unsur alam tertentu yang bersifat umum, mudah diketahui masyarakat umum, dan keberadaannya tidak mudah hilang atau musnah karena faktor alam atau aktivitas manusia (Sehabudin, 2001). Adapun beberapa contoh batas alam yaitu sungai, danau, pohon, dan sebagainya. Dengan menggunakan unsur alam tersebut akan memudahkan dalam penegasan batas di lapangan karena batas alam bersifat umum dan dapat mewakili dari suatu garis batas.

2. Batas Buatan

Batas buatan merupakan bangunan atau objek tertentu yang dibuat manusia untuk dijadikan sebagai batas (Sehabudin, 2001). Batas buatan ini dapat dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu:

• Objek atau bangunan yang sengaja dibuat untuk batas

Adapun objek atau bangunan yang dimaksud yaitu pilar batas. Pilar batas merupakan bangunan yang dibuat khusus untuk menandai batas suatu wilayah. Biasanya pilar batas tersebut memiliki koordinat yang dapat menentukan posisinya.

• Objek atau bangunan yang tidak sengaja dibuat untuk batas

Objek atau bangunan yang dapat digunakan sebagai tanda batas wilayah adalah unsur-unsur buatan yang bersifat umum dan bersifat permanen sehingga dapat digunakan sebagai tanda batas suatu wilayah. Beberapa objek atau bangunan yang dapat digunakan sebagai tanda batas antara lain jalan, rel kereta api, saluran irigasi dan sebagainya. Adapun pembuatan objek tersebut di atas tidak digunakan khusus untuk batas, namun dengan keberadaannya maka objek tersebut dapat digunakan sebagai batas.

(15)

II.3.1 Pengukuran Suatu Batas Bidang Tanah

Suatu bidang persil tanah jika sudah mempunyai batas, pasti dapat dihitung luasnya. Satuan ukuran yang digunakan dapat bermacam-macam, begitu juga dengan alat ukur yang digunakannya. Ada yang menggunakan alat bantu ukur mulai dari pita ukur, theodolit, ETS (Electronic Total Station), sampai yang paling mutakhir yaitu GPS (Global Positioning System). Kesemuanya itu merupakan suatu pengukuran batas menggunakan suatu perhitungan geometrik.

Ada juga yang menggunakan salah satu anggota tubuh misalkan kaki, jari, ataupun lengan untuk mengukur luas atau ukuran suatu bidang persil tanah yang disebut antromorfi. Salah satu contohnya yaitu depa. Depa yaitu ukuran yang ditentukan dengan merentangkan kedua tangan, jadi ukuran yang diambil yaitu panjang dari ujung tangan kiri ke ujung tangan kanan. Masalahnya disini yaitu setiap orang memiliki ukuran tangan yang berebeda-beda, jadi tidak ada standar ukuran depa yang pasti. Adapun satuan luas yang biasa digunakan yaitu tumbak. Satu tumbak jika dikonversikan ke dalam ukuran metrik yaitu sama dengan 14 m2 (empat belas meter persegi).

Gambar

Gambar 2.1 Garis batas dan titik perpotongan garis batas

Referensi

Dokumen terkait

Totalindo merupakan salah satu dari sedikit kontraktor swasta nasional yang telah memperoleh Sertifikat Badan Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi dengan kualifikasi Besar 2

Tripodal extraction reagent with three phosphoric acid groups, together with the corresponding monopodal molecule has been prepared to investigate some metals extraction behavior,

Program ini merupakan penerus dari Program Karya Alternatif Mahasiswa yang dibentuk pada tahun 1997, yang lalu berganti menjadi Program Kreativitas Mahasiswa tahun 2001

Dari data yang di dapat pada Bagian Kemahasiswaan Fakultas Hukum Universitas Lampung diperoleh data yang mendapatkan SK Dekan tentang sanksi akademik pada sebelum

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024) 8508081, Fax. Prodi Asal : Pendidikan

Pendekatan pembelajaran berbasis masalah dirancang untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan penalaran, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan

Pada kegiatan pembelajaran anak usia dini, penggunaan media pembelajaran menjadi sesuatu hal yang penting terhadap pencapaian tujuan dari pembelajaran untuk

rendah (ketinggian bangunan sampai dengan 12 meter) di lokasi sesuai dengan fungsi jalan lokal/lingkungan, Pelaku pembangunan wajib menyediakan lahan pada lahan