• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Partisipasi

Menurut Rahim (Schramm dan Lerner, 1976) dalam Mardikanto (2012:22), dalam setiap proses pembangunan melibatkan subsistem pelaku pembangunan, yaitu subsistem pemerintah dan penggerak dan subsistem masyarakat atau pengikut. Subsistem pemerintah dan penggerak merumuskan perencanaan dan berkewajiban untuk mengorganisasi dan menggerakkan warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Rahim (Schramm dan Lerner, 1976) dalam Mardikanto dkk (2012:22) menyatakan bahwa dalam kenyataannya, pelaksana utama kegiatan pembangunan justru terdiri dari kelompok masyarakat luas yang disebutnya sebagai subsitem masyarakat atau pengikut. Mereka berpartisipasi dalam proses pembangunan, baik dalam bentuk pemberian ide, pelaksanaan kegiatan, pemantauan, pengawasan, serta pemanfaatan hasil-hasil pembangunan.

Adi (2012:202) mengungkapkan, dalam upaya mengembangkan masyarakat di tingkat lokal, baik organisasi pemerintah maupun nonpemerintah, selain dibantu oleh tenaga pendamping (fieldworker atau fasilitator lapangan) biasanya dibantu oleh tenaga kader (indiegenous worker). Sebagai penggerak organisasi/lembaga, kader mempunyai tugas sebagai berikut.

1. Sebagai pelopor dalam melaksanakan kegiatan.

2. Pelaksana dan pemelihara program pembangunan desa. 3. Menjaga terjadinya kelangsungan kegiatan.

(2)

4. Membantu dan menghubungkan antara warga masyarakat dengan lembaga-lembaga yang bekerja dalam bidang pembangunan desa.

Dalam pemberdayaan masyarakat diperlukan partisipasi masyarakat. Tideman et all (1989) dan DSU (1986-1992) dalam Mikkelsen (2011:57) menyatakan, konsep partisipasi sendiri telah lama menjadi bahan kajian, misalnya latar belakang sejarahnya, konotasi teoritisnya, dan penerapan praktisnya. FAO (1989 b) dalam Mikkelsen (2011:58) membuat beberapa definisi tentang partisipasi sebagai berikut.

1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan.

2. Partisipasi adalah pemekaan (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan.

3. Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu.

4. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, supaya memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial.

5. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri.

6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka.

Mikkelsen (2011:57-58) menjelaskan, dua alternatif utama dalam penggunaan partisipasi berkisar pada partisipasi sebagai tujuan pada dirinya sendiri, atau sebagai alat untuk mengembangkan diri. Kedua interpretasi itu mewakili partisipasi yang bersifat transformasional dan instrumental dalam suatu proyek tertentu, serta dapat kelihatan dalam kombinasi yang berbeda. Sebagai sebuah tujuan, partisipasi menghasilkan pemberdayaan, yakni setiap orang berhak

(3)

menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya. Dengan demikian, partisipasi adalah alat dalam memajukan ideologi atau tujuan-tujuan pembangunan yang normatif seperti keadilan sosial, persamaan, dan demokrasi. Dalam bentuk alternatif, partisipasi ditafsirkan sebagai alat untuk mencapai efisiensi dalam manajemen proyek—sebagai alat dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan.

Kruks (1983) dalam Mikkelsen (2011:59) menjelaskan perbedaan definisi partisipasi instrumental dan transformasional sebagai berikut.

Partisipasi instrumental terjadi ketika partisipasi dilihat sebagai suatu cara untuk mencapai sasaran tertentu— partisipasi masyarakat setempat dalam proyek-proyek yang dilakukan oleh orang luar. Pada partisipasi ini, keinginan untuk mencapai target-target fisik yang ditetapkan oleh proyek menjadi sedemikian penting, karena target-targetnya dapat dihitung atau diukur, sehingga keberhasilan proyek dapat dijamin. Partisipasi transformasional terjadi ketika partisipasi itu sendiri dipandang sebagai tujuan dan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi lagi, misalnya menjadi swadaya dan dapat berkelanjutan.

Pemberdayaan Masyarakat

Carlzon dan Mc. Cauley dalam Riza Roesmidi (2006) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pemberdayaan adalah membebaskan seseorang dari kendali yang kaku, dan memberi orang tersebut kebebasan untuk bertanggung jawab terhadap ide-idenya, keputusannya.

Sementara itu menurut Pranarka dkk (1996:56) proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan yaitu:

“Pertama yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya, yang merupakan makna kecenderungan primer. Sedangkan kecenderungan kedua atau sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk

(4)

menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.”

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Hulme dan Turner dalam Roesmidi (2006:3) yang menyatakan bahwa pemberdayaan mendorong terjadinya suatu proses perubahan sosial yang memungkinkan orang-orang pinggiran yang tidak berdaya untuk memberikan pengaruh yang lebih besar pada arena politik secara lokal maupun nasional. Pemberdayaan juga diidentikkan sebagai suatu upaya memberdayakan mengembangkan kelompok sasaran dari keadaan tidak atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya guna mencapai kebutuhan yang lebih baik.

Menurut Payne sebagaimana dikutip oleh Adi (2002:162) pemberdayaan ditujukan guna:

“membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang mereka miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.”

Sedangkan Shardlow sebagaimana dikutip oleh Adi (2002:162) melihat bahwa pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Pemberdayaan perempuan juga dimaksudkan sebagai penguatan perempuan dalam berbagai bentuk kehidupan sosial, ekonomi, dan politik berdasarkan pada keterkaitan antara kebebasan pribadi dan aturan masyarakat yang berlaku.

Tidak sedikit masyarakat yang sudah berdaya, yang diyakini dapat memelihara kesehatannya secara mandiri. Namun dibanding yang berdaya, persentase yang tidak berdaya jelas jauh lebih besar, yang tentunya memerlukan “bantuan” untuk memfasilitasi mereka agar berdaya. Agar berdaya, sarana kesehatan mutlak dibutuhkan. Namun yang paling penting untuk kepentingan jangka panjang adalah melakukan pemberdayaan yang bersifat edukatif secara berkelanjutan. Sarana kesehatan menjadi kurang artinya ketika masyarakat tidak

(5)

berpartisipasi dalam wujud pemanfaatan dan pemeliharaannya secara optimal (Adi, 2002:60).

Pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu subsistem dalam Sistem Kesehatan Nasional, merupakan salah satu strategi yang ditetapkan Kementerian Kesehatan untuk mendorong kemandirian masyarakat agar hidup sehat. Disadari bahwa pendekatan kuratif dan rehabilitatif saja tidak mungkin dapat menciptakan Indonesia Sehat, sehingga paradigma pembangunan kesehatan diubah menjadi upaya kesehatan terintegrasi menuju kawasan sehat dengan menekankan peran aktif masyarakat.

Dalam paradigma baru ini, penekanan terletak pada upaya promotif dan preventif, tanpa mengabaikan pendekatan kuratif dan rehabilitatif. Meski demikian, bentuk nyata dari visi, misi, dan strategi tersebut belum optimal dilaksanakan di lapangan. Orientasi pelayanan kesehatan masyarakat di tingkat puskesmas misalnya, masih cenderung pada kegiatan yang bersifat pengobatan (kuratif).

Kegiatan-kegiatan memberdayakan masyarakat dengan tujuan meningkatkan partisipasi masyarakat secara mandiri untuk memelihara kesehatannya masih belum optimal dilakukan. Jikapun ada, penerapan konsep pemberdayaan untuk menghasilkan perubahan perilaku yang berkelanjutan di masyarakat, tidak atau masih belum diterapkan secara konsisten oleh pihak-pihak yang bertindak sebagai agent of change.

Lingkup pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan masih dalam bentuk mobilisasi masyarakat. Bentuk pemberdayaan seperti advokasi, pengawasan sosial, belum banyak dilakukan. Sesuai Sistem Kesehatan Nasional 2004, pemberdayaan masyarakat dinyatakan sebagai sub-sistem yang bertujuan untuk terselenggaranya upaya pelayanan, advokasi, dan pengawasan sosial oleh perorangan, kelompok dan masyarakat di bidang kesehatan.

Pemberdayaan adalah suatu aktifitas refleksif, suatu proses yang mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subyek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri

(6)

iklim, hubungan, sumber-sumber dan alat-alat prosedural yang melaluinya masyarakat dapat meningkatkan kehidupannya. Pemberdayaan merupakan sistem yang berinteraksi dengan lingkungan sosial dan fisik bukan merupakan upaya pemaksaan kehendak, proses yang dipaksakan, kegiatan untuk kepentingan pemrakarsa dari luar, keterlibatan dalam kegiatan tertentu saja, dan makna-makna lain yang tidak sesuai dengan pendelegasian kekuasaan atau kekuatan sesuai potensi yang dimiliki masyarakat.

Sementara itu McArdle (1989) dalam Hikmat (2010:3) mengartikan pemberdayaan sebagai berikut.

“sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekuen melaksanakan keputusan tersebut. Orang-orang yang telah mencapai tujuan diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri, dan akumulasi pengetahuan, keterampilan, serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka tanpa bergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal.”

Kondisi tersebut dapat dilakukan apabila pemberdayaan yang dilaksanakan didukung kebijakan yang memperhatikan, (1) enabling, yaitu iklim yang mendukung berkembangnya potensi sehingga mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan sumber daya yang dimiliki, (2) empowering, yaitu meningkatkan kapasitas dengan potensi yang dimiliki dan diarahkan pada pembukaan akses dan peluang, (3) protecting, yaitu melindungi kepentingan dengan mengembangkan sistem perlindungan bagi masyarakat yang menjadi subyek pembangunan (Hikmat, 2010:140).

Dalam pengertian umum, sumber daya didefinisikan sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi (Luthfi, 2013).1 Dapat

juga dikatakan bahwa sumber daya adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Grima dan Berkes (1989) dalam Luthfi (2013) mendefinisikan

1 Dikutip dari http://luthfifatah.wordpress.com, blog Luthfi Fatah, Guru Besar Ekonomi

(7)

sumber daya sebagai aset untuk pemenuhan kepuasan dan utilitas manusia.

Persoalan ketidakberdayaan masyarakat biasanya bertalian erat dengan persoalan kemiskinan, keterbelakangan, kekurangan kapasitas pendidikan. Intinya, persoalan ekonomi-politik-sosial bercampur menjadi satu memperlemah komunitas lokal untuk bisa berperan dan berdiri tegak sejajar dengan komunitas lainnya. Salah satu prinsip pembangunan yang bisa menjembatani proses pemberdayaan komunitas adalah Grass-root development yang memiliki akar ideologi pendekatan Marx dengan nuansa konflik dan perseteruan kekuasaan yang kental. Keberadaan masyarakat adalah unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan, yang dalam pengertian dinamis mengembangkan diri dan mencapai tujuan (Hikmat, 2010:2).

Mosse (1996) mengemukakan bahwa pemberdayaan lebih terkait dengan pendekatan dari bawah ke atas (bottom-ap) daripada pendekatan dari atas ke bawah (top down). Lembaga-lembaga terkait dengan gerakan pemberdayaan mengambil tindakan berdasarkan kesadaran masyarakat. Hal inilah yang diterjemahkan menjadi partisipasi dan konsekuensi yang disebut dengan pendekatan dari bawah ke atas (bottom up).

Meski tidak ada satu definisi tunggal tentang pemberdayaan, namun umumnya pemberdayaan berbicara tentang transformasi hubungan kekuasaan (power); yang meliputi penguasaan sumber-sumber daya, perubahan persepsi dan keyakinan akan diri sendiri; yang dapat dilihat sebagai dampak maupun proses. Secara konseptual, pemberdayaan pada intinya membahas cara individu, kelompok, ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka.

Konsep ini mulai tampak ke permukaan sekitar dekade 1970-an, terus berkembang sepanjang dekade 1980-an hingga 1990-an (akhir abad 20). Menurut Pranarka dan Vidhyandika dalam Pranarka dkk (1996:56), munculnya konsep pemberdayaan merupakan akibat dari

(8)

dan reaksi terhadap alam pikiran, tata masyarakat, dan tata budaya sebelumnya yang berkembang di suatu negara.

Pada awal gerakannya, konsep pemberdayaan bertujuan untuk menemukan alternatif-alternatif baru dalam pembangunan masyarakat. Proses pemberdayaan hakikatnya dapat dipandang sebagai

depowerment dari sistem kekuasaan yang mutlak absolut (intelektual,

religius, politik, ekonomi, dan militer). Konsep ini digantikan oleh sistem baru yang berlandaskan idiil manusia dan kemanusiaan (humanisme). Doktrin konsep ini sama dengan aliran fenomenologi, eksistensialisme dan personalisme yang menolak segala bentuk power yang bermuara hanya pada proses dehumanisasi eksistensi manusia (Hikmat, 2010:2).

Menurut Ife (1995:3), pemberdayaan berarti:

“providing people with the resources, opportunities, knowledge, and skills to increase their capacity to determine their own future, and to participate in and affect the life of their community.

Kartasasmita (1996:15) dan Sumodiningrat (1999:5) mengatakan bahwa inti memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Selanjutnya Sumodiningrat (1999:5) mengartikan keberdayaan masyarakat sebagai kemampuan individu yang bersenyawa dengan masyarakat dalam membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat dengan keberdayaan yang tinggi adalah masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, dan memiliki nilai-nilai intrinsik yang juga menjadi sumber keberdayaan, seperti sifat-sifat kekeluargaan, kegotong-royongan, dan (khusus bagi bangsa Indonesia) keragaman atau kebhinekaan (Sumodiningrat, 1999:5).

Menurut Hikmat (2010:2), tujuan pemberdayaan adalah meningkatkan kekuasaan (power) orang-orang yang tidak beruntung

(9)

(disadvantage).2 Pemberdayaan mengamanatkan penting dan perlunya

power dan juga menekankan keberpihakan kepada the powerless. Ife menggolongkan mereka yang disebut sebagai disadvantage atas tiga kelompok: (1) primary structural disadvantage (kelas, gender, ras); (2)

other disadvantage group (umur, cacat fisik/mental, masyarakat yang

terisolasi, homoseks/lesbian); dan (3) personal disadvantage (orang yang berduka cita, mengalami masalah dalam hubungan keluarga, krisis identitas, masalah seks, kesepian, malu, dan masalah pribadi lainnya yang dapat membuat orang tidak berdaya).

Dalam kaitan upaya memberdayakan masyarakat, Kartasasmita (1996) berpendapat bahwa pendekatannya harus dimulai dengan menciptakan iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi masyarakat. Hal ini didasarkan pemikiran bahwa setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Dengan kata lain, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya tersebut, dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

Penciptaan iklim yang kondusif tersebut selanjutnya harus diikuti dengan upaya memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat dengan menyusun langkah-langkah yang lebih positif dan nyata, menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) dan membuka akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Langkah selanjutnya memberi perlindungan melalui pemihakan kepada yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang, dan menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan. Dalam kaitan ini Ife (1995:4) mengusulkan tiga strategi yang dapat dilakukan untuk mengalirkan power terhadap disadvantage yakni melalui: (1) Kebijakan dan Perencanaan (Policy and Planning); (2) Aksi politik dan sosial (Sosial

and Political Action); dan (3) Pendidikan dan peningkatan kesadaran

(Education and Consciousness Raising).

2 Lihat juga pada Jim Ife, 1995. Community Development: Creating Community

(10)

Dalam praktiknya, meski sebagai suatu strategi dan program konsep pemberdayaan telah banyak diterima, namun dalam pelaksanaannya masih banyak pemikir dan praktisi yang belum memahami konsep pemberdayaan secara benar. Pemberdayaan justru menjadi retorika yang menyelimuti jasa-jasa pelayanan sosial, sebab seluruh pelaksanaannya berada di bawah pengawasan profesional yang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan masyarakat dalam memanfaatkan sumber (Hikmat, 2010:2).

Pemberdayaan Perempuan

 Konsep Pemberdayaan Perempuan

Pemberdayaan perempuan adalah upaya untuk memberdayakan diri dengan memiliki kemampuan atau keterampilan sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki oleh perempuan. Permasalahan perempuan seringkali dikaitkan dengan isu gender. Secara umum, gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dari aspek sosial budaya. Gender adalah konsep yang mengacu kepada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang muncul sebagai akibat keadaan sosial dan budaya masyarakat.

Menurut Hubeis (2010:125), pemberdayaan perempuan adalah:

“upaya memperbaiki status dan peran perempuan dalam pembangunan bangsa, sama halnya dengan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan.”

Sedangkan Ulfah (2010:16) menyatakan bahwa pemberdayaan perempuan adalah:

“Upaya penguatan perempuan dalam berbagai bentuk kehidupan sosial, ekonomi, dan politik berdasarkan keterkaitan antara kebebasan pribadi dan aturan masyarakat yang berlaku. Pemberdayaan perempuan dipahami sebagai proses penumbuhan kesadaran kritis agar perempuan mampu berkembang secara optimal dan mampu membuat rencana, mengambil inisiatif, mengorganisir diri, dan bertanggung

(11)

jawab terhadap diri dan lingkungannya. Kesadaran kritis tersebut hanya dapat dicapai apabila perempuan mampu melihat ke dalam diri mereka sendiri serta menggunakan apa yang di dengar, dilihat, dan dialami untuk memahami apa yang sedang terjadi dalam kehidupan.”

Pemberdayaan perempuan meliputi kegiatan yang mencakup bimbingan sosial, bimbingan keterampilan, fasilitas atau bantuan sosial, termasuk di dalamnya pengembangan usaha ekonomi produktif, yang ditujukan untuk peningkatan kemampuan dan kebutuhan perempuan serta peningkatan pendapatannya.

Menurut Hubeis (2010:150), pemberdayaan perempuan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi aspek pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik) dan mental (afektif) merupakan komponen yang mewujudkan perilaku sosok perempuan. Sedangkan faktor eksternal, menjadi faktor penentu keberhasilan dalam memberdayakan faktor-faktor internal. Sehubungan dengan hal tersebut, sangatlah penting bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan dan mengasah keterampilan yang dapat mendukungnya untuk memberdayakan diri sendiri.

Pemberdayaan perempuan merupakan salah satu pendekatan dalam pembangunan, yaitu pendekatan partisipatif. Dalam pembangunan partisipatif dimungkinkan untuk menumbuhkan kreatifitas masyarakat dalam pembangunan di suatu kawasan atau lingkungannya. Hal tersebut sesuai dengan uraian yang dikemukakan oleh Friedmann dalam Pranarka dkk (1996:58) sebagai berikut.

“…involves a process of social and political empowerment whose long term objectives is to re-balance the structure of power in society by making state action more accountable, strenghthening, and making corporate bussines more socially responsible.”

Pemberdayaan perempuan pada hakikatnya merupakan jiwa dari gerakan masyarakat yang menjadi program nasional. Program Desa Siaga/Kelurahan Siaga dalam pelaksanaannya diatur melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 564/Menkes/SK/VIII/2006

(12)

tentang Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Desa Siaga, yang kemudian diperbarui dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1529/Menkes/SK/X/2010 tentang Pedoman Umum Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif pada hakikatnya juga bertujuan memberdayakan segenap potensi yang ada dalam masyarakat (termasuk perempuan) dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

Memberdayakan perempuan menurut Kartasasmita sebagaimana dikutip oleh Hikmat dkk (2006:1) adalah upaya memperkuat unsur-unsur kebudayaan untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat (dalam hal ini perempuan) yang berada dalam kondisi tidak mampu dengan mengandalkan kekuatannya sendiri sehingga dapat keluar dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan atau proses memampukan dan memandirikan masyarakat.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh karenanya harus tepat sasaran dan tujuannya. Sumodiningrat (1999:6) menjelaskan bahwa sasaran dan tujuan pemberdayaan adalah sebagai berikut.

1. Meningkatnya pendapatan perempuan di tingkat bawah dan menurunnya jumlah penduduk yang terdapat di bawah garis kemiskinan.

2. Berkembangnya kapasitas perempuan untuk meningkatkan kegiatan sosial ekonomi produktif keluarga.

3. Berkembangnya kemampuan perempuan dan meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat, baik aparatur maupun warga.

Secara mendasar, terdapat dua hal yang menjadi esensi pemberdayaan perempuan, yaitu pertama, refleksi kepemimpinan emansipatori untuk mendorong perempuan agar mampu berpartisipasi secara kolektif dalam pembangunan; dan kedua, proses pelibatan individu atau masyarakat ke dalam proses pencerahan, penyadaran dan pengorganisasian kolektif serta dapat mengatur atau menguasai

(13)

keterampilan agar mampu menjadi partisipan yang kritis dan efektif dalam masyarakat (Anwar, 2007:148).

Pada tataran praktek istilah pemberdayaan perempuan seringkali digunakan dalam konteks peningkatan ekonomi dan taraf hidup. Pemberdayaan identik dengan penumbuhan dan penguatan kesadaran diri untuk mampu melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dan mampu berpartisipasi dalam aktifitas sosial, budaya, ekonomi, dan politik baik individu maupun kelompok. Oleh karena itu, tingkat keberdayaan perempuan dalam suatu masyarakat dapat dilihat pada: (1) tingkat partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan; (2) akses perempuan terhadap kesempatan professional; dan (3) keberdayaan perempuan memperoleh penghasilan atau akses terhadap sumber daya. Berkaitan dengan upaya pemberdayaan perempuan, Sumodiningrat dalam Nugroho (2011:xxi-xxii) menyatakan bahwa untuk melakukan pemberdayaan perlu tiga langkah yang berkesinambungan berikut ini.

a. Pemihakan, artinya perempuan sebagai pihak yang diberdayakan harus dipihaki daripada laki-laki.

b. Penyiapan, artinya pemberdayaan menuntut kemampuan perempuan untuk dapat mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan mengambil manfaat.

c. Perlindungan, artinya memberikan proteksi sampai dapat dilepaskan.

Dalam upaya pemberdayaan perempuan, ketiga tahapan tersebut harus dapat dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan karena ketiga hal tersebut saling berkaitan.

Upaya pemberdayaan perempuan ternyata tidak selalu sungguh-sungguh memberdayakan perempuan. Dalam konteks peran dan pemberdayaan perempuan dalam kelembagaan pemberdayaan masyarakat, Avillia (2006) dalam pemelitiannya yang berjudul Analisis

Gender terhadap Kelembagaan Koperasi Bina Usaha Wanita (KBUW)

(14)

menyatakan bahwa Program Peningkatan Peranan Wanita Menuju Keluarga Sehat Sejahtera (P2WKSS) merupakan salah satu program pemerintah dalam pemberdayaan wanita untuk menanggulangi masalah kemiskinan. Salah satu bentuk kegiatan Program P2WKSS adalah Koperasi Bina Usaha Wanita (KBUW). Tujuan program ini memberikan pinjaman modal usaha untuk keluarga miskin khususnya wanita yang mempunyai kemampuan berusaha dalam rangka meningkatkan pendapatan keluarga. Ternyata, menurut Avillia, dewasa ini, KBUW menghadapi masalah yaitu wanita tidak berdaya dalam mengikuti kegiatan KBUW.

Gita Puspita Sari dalam penelitiannya pada tahun 2006 yang berjudul Hubungan Pelaksanaan Bina Ekonomi dengan Proses Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK) dari Perspektif Gender: Studi terhadap Pemanfaatan Bina Ekonomi Tahun Guliran 2005 di Kotamadya Jakarta Selatan, menggunakan perspektif gender untuk menganalisis pemanfaatan kegiatan ekonomi dalam Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK). Hasilnya cukup mengejutkan, yaitu bahwa pelaksanaan program Bina Ekonomi – sebagai salah satu aspek Tribina dalam pelaksanaan PPMK- tidak sama hasilnya antara pemanfaat laki-laki dan perempuan. Temuan lapangan yang menonjol berkaitan dengan perbedaan tersebut adalah preferensi pengelola bina ekonomi, yang mayoritas berjenis kelamin laki-laki, ternyata memberikan pengaruh yang cenderung merugikan perempuan. Terkait dengan hal tersebut rekomendasinya perlu adanya perbaikan menyangkut prosedur tata cara penyaluran dana bergulir dengan memperhatikan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat antara laki-laki dan perempuan.

Soetjipto dkk (2013:41) menyatakan bahwa negara telah mengontrol perempuan melalui PKK untuk hanya mengutamakan dan memfokuskan peran motherhood sebatas peran reproduksi dan peran istri pendamping suami, serta ibu dari anak-anak yang dilahirkan. Lebih lanjut, dijelaskan pula bahwa konsep motherhood sering justru menjadi basis untuk meminggirkan perempuan dalam mendapatkan hak yang setara dan penuh sebagai warga negara.

(15)

 Kilas balik Kebijakan Pemberdayaan Perempuan

Dalam memahami pemberdayaan perempuan, sudah tentu tidak dapat lepas dari proses timbulnya kebijakan dalam pemberdayaan perempuan. Gerakan sosial berkaitan dengan upaya pemberdayaan perempuan dan peningkatan peran perempuan dalam proses perumusan kebijakan pembangunan. Komitmen dunia internasional terhadap pengakuan dan perlindungan hak perempuan diawali pada tahun 1975, di mana pada tahun tersebut PBB untuk pertama kalinya menyelenggarakan Konferensi Perempuan di Mexico City.

Konferensi Perempuan Sedunia I yang diselenggarakan pada Tahun 1975 di Mexico City tersebut pada dasarnya merupakan tindak lanjut dari dibentuknya Komisi Status Perempuan pada tahun 1945 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Komisi tersebut bertugas untuk memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan perempuan di tingkat dunia.

Sebagaimana diulas oleh Murniati (2004:4), Konferensi Perempuan Sedunia ke I di Mexico City tersebut melahirkan sebuah deklarasi sebagai berikut. Persamaan Hak bagi Perempuan dalam

Pengambilan Keputusan di Bidang Politik. Selanjutnya sejak tahun

1975 permasalahan gender dimasukkan dalam agenda pertemuan PBB, dan sejak saat itu pula negara-negara anggota PBB makin menyadari betapa pentingnya peran lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO) dalam mewujudkan keputusan politik tersebut. Hal ini pula yang menjadikan tahun 1975 tersebut sebagai Tahun Perempuan Internasional yang ditandai dengan kebangkitan kesadaran perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan, pembangunan, dan perdamaian (equality, development, and peace).

Pada tahun 1980, PBB kembali menyelenggarakan Konferensi Perempuan Sedunia II di Kopenhagen Denmark. Dalam konferensi tersebut disusun Plan Action dalam memperjuangkan kesetaraan dan hak perempuan. Keputusan penting dalam konferensi ini adalah kesepakatan bersama untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan atau CEDAW (Convention on the Elimination All

(16)

of Forms Against Women). Melalui konferensi ini, semua negara penandatangan bersepakat menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di negara masing-masing (Murniati, 2004:5).

Pada tahun 1985, diselenggarakan Konferensi Perempuan Sedunia III di Nairobi Kenya. Pada konferensi tersebut upaya perjuangan peningkatan persamaan hak perempuan semakin dikonkretkan. Selain itu, konferensi tersebut memutuskan tentang

Forward Against Women, dan sejak saat itu Komisi Status Perempuan

di PBB mulai menyusun strategi dalam mewujudkan persamaan hak perempuan guna menghadapi tahun 2000 (Murniati, 2004:7).

Selain Konferensi Perempuan Sedunia, PBB juga menyelenggarakan beberapa konferensi internasional yang substansinya berkaitan dengan upaya pemenuhan hak dan kesetaraan perempuan dalam pembangunan. Konferensi tersebut antara lain Konferensi tentang Lingkungan dan Pembangunan pada tahun 1992 di Rio De Janeiro – Brazil. Pada konferensi ini partisipasi perempuan dalam pembangunan dan penataan lingkungan hidup merupakan hal yang sangat penting, sehingga diperlukan dalam setiap perumusan kebijakan pembangunan dan lingkungan hidup. Berdasarkan konferensi ini, strategi yang diambil adalah partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan untuk pembangunan (Murniati, 2004:7).

Pada tahun 1993, di Wina diadakan Konferensi Internasional tentang Hak Asasi Manusia. Pada konferensi tersebut disepakati bahwa pengakuan dan perlindungan terhadap hak perempuan sama dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Selain itu, pada tahun 1994, dilaksanakan Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan di Kairo-Mesir. Pada konferensi tersebut hal penting yang disepakati adalah pengakuan terhadap hak kesehatan dan fungsi reproduksi bagi perempuan. Melalui konferensi ini perempuan memperjuangkan persamaan hak, keadilan, dan pemberdayaan perempuan khususnya dalam bidang kependudukan dan kesehatan reproduksi (Murniati, 2004:8).

(17)

Berdasarkan beberapa konferensi internasional tersebut, isu tentang persamaan dan perlindungan hak perempuan menjadi sangat menarik dan menjadi perhatian negara-negara di dunia. Selanjutnya pada tahun 1995, diselenggarakan Konferensi Perempuan Sedunia IV di Beijing China.3 Sehubungan dengan hal tersebut, Konferensi

Perempuan Sedunia IV di Beijing tersebut bertujuan melanjutkan perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan, pembangunan dan perdamaian dalam persamaan dan perlindungan hak perempuan sebagaimana diamanatkan dalam Konferensi Perempuan Sedunia I di Mexico City tahun 1975.

Secara garis besar, tujuan utama Konferensi Perempuan Sedunia IV di Beijing tersebut adalah sebagai berikut (Murniati, 2004:9).

1. Membagi tema pokok menjadi beberapa bidang yang penting yaitu: pemberdayaan perempuan, hubungan partner yang penuh dan adil antara perempuan dan laki-laki, melibatkan perempuan dalam proses pembangunan sebagai subyek sesuai dengan kemampuan, dan pengakuan atas keanekaragaman hak perempuan.

2. Melanjutkan konferensi-konferensi sebelumnya, memikirkan perubahan struktur dunia, menciptakan abad baru yang lebih memperhatikan situasi perempuan.

3. Mendorong pelaksanaan strategi yang telah ditentukan untuk pemberdayaan perempuan, melibatkan secara penuh perempuan dalam pengambilan keputusan pembangunan, memberikan pengharapan dan kepercayaan pada generasi penerus.

4. Memperkuat komitmen bahwa keputusan yang diambil di tingkat pemerintah sungguh-sungguh dilaksanakan, baik di tingkat internasional maupun nasional.

3 Pada Konferensi Perempuan Sedunia ke III di Beijing China tahun 1995 tersebut

diselenggarakan hampir bersamaan yaitu “NGO Forum on Women” pada tanggal 30 Agustus 1995

(18)

Konferensi Perempuan Sedunia IV di Beijing tersebut telah menghasilkan Declaration and Platform of Action (Deklarasi Beijing dan Rencana Tindak) yang memuat masalah penting perihal 12 bidang penghambat kesamaan kedudukan, hak dan peran perempuan dalam pembangunan (Hubeis, 2010:92). Dua belas bidang kritis prioritas tersebut yang selanjutnya segera ditindaklanjuti di seluruh negara peserta konferensi, adalah sebagai berikut. (1) wanita dan kemiskinan; (2) pendidikan dan pelatihan wanita; (3) wanita dan kesehatan; (4) tindak kekerasan terhadap wanita; (5) wanita dan konflik bersenjata; (6) wanita dan ekonomi; (7) kemampuan wanita dalam pengambilan keputusan; (8) mekanisme kemajuan bagi wanita; (9) hak asasi manusia bagi wanita; (10) wanita dan media massa; (11) wanita dan lingkungan; dan (12) anak perempuan (girl child).

Dua belas isu krusial yang menjadi keprihatinan di semua negara ini selanjutnya dilengkapi dengan langkah-langkah strategis yang diusulkan untuk selanjutnya dilakukan secara konkret oleh semua negara peserta konferensi. Pelaksanaan selanjutnya menjadi tanggung jawab setiap pemerintah negara peserta dengan mekanismenya mencakup unsur koordinasi, pemantauan, dan evaluasi kemajuan program dan kegiatan yang telah dicapai dalam upaya pemberdayaan perempuan.

Dalam konteks Indonesia, kebijakan pemberdayaan perempuan dan peningkatan peran dan kedudukan perempuan dalam pembangunan mulai mendapat perhatian serius dari pemerintah dengan dimasukkannya isu perempuan dalam GBHN 1978. Selanjutnya, dibentuklah lembaga Menteri Peranan Wanita pada 1978 yang kemudian berubah menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan pada akhir tahun 1999 dan pada tahun 2004 berubah nomenklaturnya menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Kesepakatan internasional mengenai MDGs juga menjadi acuan dalam pembangunan di Indonesia. Pelaksanaan dari program aksi khususnya dalam upaya mencapai kesetaraan dan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan, mendapat perhatian dari pemerintah

(19)

Indonesia yang dituangkan dalam GBHN 1999, Propenas 2000-2004, RPJMN 2004-2009, dan RPJMN 2010-2014.

Melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, diinstruksikan kepada Menteri, Kepala LPND, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, Gubernur, dan Bupati/Walikota agar melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya Perencanaan, Penyusunan, Pelaksanaan, Pemantauan dan Evaluasi atas Kebijakan dan Program Pembangunan Nasional yang berperspektif

gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi serta kewenangan

masing-masing.

Dalam rangka mengintegrasikan pengarusutamaan gender dalam proses perencanaan dan penganggaran, pada tahun 2003 diterbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah. Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut di antaranya mengamanatkan penyediaan dana untuk implementasi PUG di daerah minimal 5%. Keputusan tersebut juga mengamanatkan terbentuknya lembaga yang menjamin berjalannya PUG di daerah.

Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah tersebut pada tahun 2008 dicabut dan diganti dengan Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah, di mana pada Tahun 2011 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 2008 diperbarui/direvisi dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 67 Tahun 2011.

Peraturan ini menginstruksikan pada semua unit pemerintah di bawah koordinasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), untuk mengintegrasikan PUG dalam perencanaan dan penganggaran. Menurut Permendagri tersebut, penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan berperspektif gender dituangkan

(20)

dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Strategis SKPD, dan Rencana Kerja SKPD.

 Pendekatan Pembangunan dan Pemberdayaan Perempuan Pemberdayaan perempuan dalam pembangunan telah dilakukan melalui berbagai pendekatan pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan. Menurut Moser dalam Rusmidi (2006:122), terdapat lima pendekatan kebijakan yang berkaitan dengan kedudukan perempuan dalam pembangunan (Women In Development) yaitu sebagai berikut.4

a. Pendekatan Kesejahteraan (The Welfare Approach)

Pendekatan kesejahteraan merupakan pendekatan pembangunan yang bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat. Pendekatan ini dimulai pada tahun 1950 dan populer sampai tahun 1970-an. Pada saat ini, pendekatan kesejahteraan masih dipergunakan meskipun tidak terlalu popular. Pendekatan ini masih tetap dipergunakan di dalam pelaksanaan pembangunan di berbagai Negara, khususnya pada lokasi dan untuk program atau kegiatan yang bertujuan untuk menyejahterakan kelompok masyarakat yang relatif masih tertinggal.

Pada konteks peran perempuan dalam pembangunan, pendekatan kesejahteraan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan dan keluarganya. Selain itu, melalui pendekatan ini dapat diharapkan bahwa peningkatan peran perempuan dalam pembangunan dapat mengimbangi percepatan pertumbuhan ekonomi, sehingga perempuan tidak menjadi korban pembangunan (victim of development). Karena itu, tujuan peningkatan peran perempuan dalam pembangunan yang ingin dicapai melalui pendekatan kesejahteraan diarahkan pada pengembangan peran perempuan sebagai ibu rumah tangga atau

4Lihat juga pada Aida Vitayala S. Hubeis, 2010. Pendekatan Gender….. dalam Aida

Vitayala S. Hubeis, 2010. Pemberdayaan Perempuan Dari Masa ke Masa, Bogor: IPB Press, hlm. 94-100.

(21)

pemenuhan kebutuhan praktis gender perempuan yang terkait dengan peran domestik perempuan.

b. Pendekatan Keadilan atau Pendekatan Penyamaan Hak (The

Equity Approach/The Equal Right Approach)

Pendekatan penyamaan hak atau pendekatan keadilan adalah pendekatan pertama dari pendekatan Wanita dalam Pembangunan (Women in Development/WID) yang ditujukan untuk meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan. Pendekatan ini dimulai sejak tahun 1975 sampai dengan 1985 atau sejak Dekade Tahun Perempuan. Fokus pendekatan ini adalah pada kegiatan mengatasi kegagalan modernisasi yang mengakibatkan perempuan semakin tersisih dari pembangunan. Selain itu, pendekatan ini juga diklaim sebagai refleksi pengaruh gerakan feminisme internasional yang pada saat bersamaan juga menginginkan adanya penyamaan hak antara lelaki dan perempuan.

Pendekatan penyamaan hak diarahkan pada upaya pencapaian kesamaan pengembangan peran perempuan agar dapat berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan seperti halnya laki-laki. Program-program dalam pendekatan ini diarahkan pada upaya pemenuhan keperluan strategis gender dengan memperhatikan tiga peran perempuan yaitu reproduksi, produktif, dan peran sosial. Pelaksanaan program dilakukan melalui campur tangan pemerintah, dari atas ke bawah (top down), serta memberikan wewenang politik dan ekonomi untuk mengurangi ketidaksejajaran partisipasi perempuan dan laki-laki dalam pembangunan.

c. Pendekatan Pengentasan Kemiskinan (The Anti-Poverty Approach)

Pendekatan anti kemiskinan merupakan pendekatan kedua dalam Women in Developmen (WID) yang ditujukan untuk meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan.

(22)

Pendekatan ini dimulai pada tahun 1970 dan masih tetap terbatas popularitasnya sampai tahun 1990-an.

Pendekatan pengentasan kemiskinan memusatkan perhatian pada upaya pendistribusian kebutuhan dasar masyarakat dengan cara yang lebih adil, dan terutama, untuk mengatasi kemiskinan yang diderita kaum perempuan. Tujuan yang ingin dicapai dalam pendekatan ini dalam upaya meningkatkan peran perempuan diarahkan pada perempuan yang berpendapatan rendah agar dapat meningkatkan produktifitasnya.

Selain itu, pendekatan ini juga menfokuskan pada peran produktif mereka, biasanya melalaui proyek-proyek peningkatan pendapatan skala kecil. Pendekatan anti kemiskinan untuk perempuan menitikberatkan pada peranan produktif perempuan. Bahwa penghapusan kemiskinan dan peningkatan keseimbangan pertumbuhan ekonomi membutuhkan peningkatan produktivitas perempuan pada rumah tangga berpenghasilan rendah.

d. Pendekatan efisiensi (The efficiency approach)

Pendekatan ini didasarkan pada sejumlah temuan penelitian yang menunjukkan bahwa proyek-proyek mempunyai kemungkinan sukses dan berkelanjutan jika proyek tersebut dirancang dengan memperhitungkan pembagian gender dari pekerja serta tanggung jawab sosial, dan jika wanita dimobilisasi secara efektif serta dianggap sumber daya agar turut serta pada kegiatan proyek. Dengan kata lain, melakukan investasi pada wanita dan mengikutsertakan wanita dipandang sebagai biaya yang efisien dan efektif.

e. Pendekatan Pemberdayaan (The empowerment approach)

Pendekatan ini muncul dari komitmen kuat terhadap hak-hak wanita dan kapasitas mereka untuk membuat keputusan sendiri mengenai stretegi pembangunan. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa untuk memperbaiki posisi wanita, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kekuasaan wanita

(23)

untuk melakukan negosiasi, tawar menawar, dan mengubah sendiri situasinya.

Pendekatan pemberdayaan menjelaskan bahwa perkembangan organisasi perempuan yang mengarah pada mobilisasi politik, peningkatan kesadaran dan pendidikan rakyat, merupakan syarat penting bagi perubahan sosial yang berkelanjutan. Kelompok perempuan yang paling berhasil adalah kelompok yang bergerak di bidang khusus, misalnya bidang kesehatan masyarakat.

Perempuan dalam proses pembangunan bukanlah berarti hanya sebagai suatu tindakan perikemanusiaan yang adil belaka, tindakan mengajar, mendorong perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan merupakan suatu tindakan yang efisien. Ikut sertanya perempuan pada umumnya dalam pembangunan berarti pula memanfaatkan sumber daya manusia dengan potensi yang tinggi.

Berkaitan dengan hal tersebut, pendekatan pemberdayaan ditekankan pada fakta bahwa perempuan mengalami penekanan yang berbeda menurut bangsa, kelas sosial, sejarah penjajahan kolonial, dan kedudukannya dalam orde ekonomi internasional pada masa kini. Dengan demikian perempuan tetap menantang struktur dan situasi yang menekannya secara bersama pada tingkatan yang berbeda.

Pendekatan ini juga menekankan pentingnya bagi perempuan untuk meningkatkan keberdayaannya dan mengartikan pemberdayaan bukan dalam konteks mendominasi orang lain dengan makna apa yang diperoleh perempuan akan merupakan kehilangan bagi laki-laki, melainkan menempatkan pemberdayaan dalam arti kecakapan atau kemampuan perempuan untuk meningkatkan kemandirian (self reliance) dan kekuatan dalam dirinya (internal strength). Perempuan adalah mahluk sosial yang memerlukan kemandirian dan kecakapan dan dengan kemandirian dan kecakapan tersebut perempuan diharapkan

(24)

memiliki kemampuan dan kekuatan untuk memanfaatkan akses yang semakin terbuka terhadap berbagai sumber-sumber sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

Pada pendekatan pemberdayaan ini sebenarnya diasumsikan bahwa kalau ingin memperbaiki posisi perempuan, maka dibutuhkan suatu upaya untuk meningkatkan kekuasaannya untuk tawar-menawar dan untuk mengubah sendiri nasibnya. Dengan kata lain pendekatan ini menghendaki pelibatan kaum perempuan tidak saja sebagai objek tetapi juga sebagai pelaku aktif, sebagai orang yang ikut merumuskan sendiri apa yang menjadi kebutuhan-kebutuhan mereka. Sementara pada pendekatan-pendekatan yang lalu selalu tidak pernah dipertanyakan apa yang menjadi kebutuhan kaum perempuan, tetapi diberikan sesuatu yang bersifat given. Sehingga sering kali muncul program-program yang bertujuan memapankan, justru memapankan peran-peran domestik perempuan yang sering kali terjebak dalam mitos-mitos dari feminitas yang dilawankan pada konsep-konsep maskulinitas dari kaum laki-laki.

Pendekatan ini juga meletakkan upaya penghapusan subordinasi perempuan sebagai pusat perhatian. Hal ini menunjukan bahwa terdapat tuntutan untuk kesamaan hak ekonomi, hak-hak resmi yang tidak diskriminatif, dan hak-hak reproduksi dimasukkan di dalam agenda-agenda pembicaraan. Dalam rangka inilah sebetulnya pembangunan perempuan itu diharapkan merupakan suatu upaya untuk mengatasi hambatan guna mencapai hubungan gender laki-perempuan yang lebih selaras. Dalam konteks inilah sebenarnya pembangunan mempunyai makna sebagai pemberdayaan.

Makna pemberdayaan sendiri tentunya harus memberdayakan kaum perempuan, memberdayakan bukan memperdayai. Pendekatan pemberdayaan itu sendiri sebetulnya sangat positif, lahir dari ketidakpuasan terhadap semua pendekatan yang ada, yang didasarkan pada asumsi bahwa memperbaiki posisi perempuan harus berpusat pada upaya-upaya penghapusan subordinasi perempuan.

(25)

Terkait dengan hal tersebut, dalam kerangka pemberdayaan perempuan, menurut Sara H. Longwe (1988) terdapat lima tingkatan pemerataan dalam kerangka pemberdayaan perempuan sebagai berikut.

a. Pemerataan Kesejahteraan

Tingkat ini adalah tingkat pemerataan kesejahteraan wanita dibanding pria, misalnya dalam status gizi, tingkat kematian, tingkat kecukupan pangan, pendapatan, pendidikan, dan lain lain. Dalam hal ini kita melihat situasi perempuan dari angka-angka statistik daripada sebagai pelaku pembangunan yang mampu memperbaiki nasibnya sendiri, seakan-akan mereka adalah penerima pasif dari manfaat pembangunan.

Dengan demikian kesenjangan tingkat kesejahteraan antara laki-laki dan wanita merupakan wujud kesenjangan gender. Oleh karena itu untuk mengatasi diskriminasi itu mengharuskan adanya proses pemberdayaan menuju tingkat pemerataan yang lebih tinggi.

b. Pemerataan Akses

Tingkat produktivitas perempuan yang rendah disebabkan keterbatasan akses mereka terhadap faktor produksi seperti tanah, pekerjaan, dan modal. Akses perempuan terhadap pendidikan, informasi dan terhadap pekerjaan dengan upah tinggi relatif lebih kecil dibandingkan laki-laki. Akses perempuan yang kurang terhadap pelatihan keterampilan menyebabkan mereka kurang dapat melakukan kegiatan ekonomi produktif. Oleh karena itu pemberdayaan perempuan berarti perubahan dari ketimpangan akses menuju sumber dan manfaat.

c. Pemerataan Penyadaran

Tingkat pemerataan penyadaran menyangkut konseptualisasi dari pelaku pembangunan tentang ketimpangan struktural, atau dengan kata lain hambatan yang dihadapi perempuan bukan terutama disebabkan oleh kekurangan pada diri

(26)

mereka melainkan karena sistem sosial yang mendiskriminasikan mereka. Pada tingkat ini pemerataan direalisasikan sebagai penerimaan terhadap pemerataan dalam kesadaran bahwa pembagian kerja gender haruslah selaras dan serasi.

d. Pemerataan Partisipasi Aktif

Pada tingkatan ini pemerataan diarahkan ke pemerataan partisipasi aktif perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Ini berarti bahwa partisipasi wanita dalam semua tahap proyek/program dari pengkajian kebutuhan, identifikasi permasalahan, perencanaan, implementasi hingga monitoring/evaluasi proyek/program. Pemerataan partisipasi aktif berarti keterlibatan wanita sasaran proyek dalam pengambilan keputusan.

e. Pemerataan Penguasaan

Tujuan dari pemberdayaan perempuan bukan untuk mengganti masyarakat patriarkhi dengan masyarakat matriarkhi melainkan untuk mencapai pemerataan gender atau keselarasan

gender dalam proses pembangunan. Pemerataan penguasaan

dibutuhkan untuk mendatangkan manfaat materiil yang sama bagi perempuan sehingga pemerataan penguasaan akan lebih meningkatkan pemerataan kesejahteraan

 Modal Sosial dalam Pemberdayaan Perempuan

Istilah modal identik dengan segala sumber daya yang apabila dimanfaatkan akan memberikan keuntungan ekonomi. Modal sosial berbeda dengan modal yang lain. Modal sosial bukan hanya dapat mendatangkan keuntungan ekonomi, melainkan juga keuntungan nonekonomi.

Dalam istilah Adam Smith dan kawan-kawan dalam Agus (2009:47), modal sosial dikenal sebagai sosial contract yang berperan besar dalam kemajuan pembangunan ekonomi suatu bangsa. Unsur-unsur penting yang terkandung dalam sosial contract ini meliputi

(27)

karakteristik jaringan sosial, pola-pola timbal balik, dan kewajiban-kewajiban bersama. Unsur-unsur sosial contract itulah yang kemudian menjadi dasar teoritis yang cukup kuat bagi para ahli sosial untuk merumuskan lebih lanjut mengenai konsep modal sosial.

Putnam dalam Field (2003:49) merumuskan definisi modal sosial sebagai berikut.

Dalam hal ini modal sosial merujuk pada bagian organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan, yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan terkoordinasi.

Menurut Field (2003:64), di antara berbagai teori modal sosial, gagasan Putnam menjadi suara dominan. Konsep Putnam yang sangat dikenal adalah bahwa modal sosial terdiri atas tiga komponen penting, yaitu jaringan sosial, kewajiban moral dan norma, serta nilai-nilai sosial (Schultheis, 2009:3).

Selanjutnya, Putnam memperkenalkan perbedaan antara dua bentuk dasar modal sosial, yaitu: menjembatani (atau inklusif) dan mengikat (eksklusif) (Field, 2003:52). Modal sosial yang mengikat (bounding) cenderung mendorong identitas eksklusif dan mempertahankan homogenitas; modal sosial yang menjembatani (bridging) cenderung menyatukan orang dari beragam ranah sosial. Masing-masing bentuk tersebut menyatukan berbagai kebutuhan yang berbeda.

Dalam penelitian berjudul Upaya Pemberdayaan Ekonomi Perempuan melalui Pengembangan Modal Sosial (Studi Deskriptif pada Kegiatan Simpan Pinjam yang Dilakukan oleh Suara Ibu Peduli di Wilayah Dampingan Cilandak Barat), Agus (2009:169) menyatakan bahwa unsur-unsur jaringan dan kepercayaan ternyata memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi perkembangan Suara Ibu Peduli (SIP) dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Selanjutnya, Agus menjelaskan bahwa unsur-unsur modal sosial seperti jaringan, kepercayaan, solidaritas, dan norma berperan penting dalam kegiatan simpan pinjam yang dilakukan di wilayah Cilandak Barat.

(28)

Gender

 Pengertian Gender

Persoalan gender bukanlah persoalan baru dalam kajian-kajian sosial, hukum, keagamaan, maupun yang lainnya. Namun demikian, kajian tentang gender masih tetap aktual dan menarik, mengingat masih banyaknya masyarakat khususnya di Indonesia yang belum memahami persoalan ini dan masih banyak terjadi berbagai ketimpangan dalam penerapan gender sehingga memunculkan terjadinya ketidakadilan gender.

Memahami persoalan gender bukanlah hal yang mudah, tetapi diperlukan berbagai kajian yang bisa mengantarkan pada pemahaman yang benar tentang gender. Kajian-kajian yang sering digunakan untuk memahami persoalan gender adalah kajian-kajian dalam ilmu-ilmu sosial, terutama sosiologi. Dari berbagai kajian sosial inilah muncul berbagai teori sosial yang kemudian dijadikan sebagai teori-teori

gender atau sering juga disebut teori-teori feminisme. Sebenarnya

masih banyak lagi kajian yang bisa digunakan untuk mendekati persoalan gender di samping kajian kajian sosial, misalnya kajian antropologis dan kajian psikologis, kajian ekonomis, meskipun tidak sedominan kajian-kajian sosial.

Fakih (1999:8) menyatakan bahwa gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Untuk memahami konsep gender, maka harus dapat dibedakan antara kata

gender dengan seks (jenis kelamin). Pengertian seks (jenis kelamin)

merupakan pembagian dua jenis kelamin (penyifatan) manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, dan tidak dapat berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai kodrat (kehendak Tuhan).

Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoler (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang

(29)

berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Selain Stoller, Oakley (1972) mengartikan gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia.5

Selain itu, Oakley (1972) dalam bukunya yang berjudul Sex,

Gender and Society dalam Fakih (1999:71) menyatakan bahwa gender

berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis merupakan perbedaan jenis kelamin (seks) adalah kodrat Tuhan maka secara permanen berbeda dengan pengertian

gender. Gender merupakan behavioral differences (perbedaan

perilaku) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (bukan kodrat) melalui proses sosial dan kultural yang panjang (Nugroho, 2011:3). Dengan demikian gender dapat berubah dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis (seks) bersifat tetap dan tidak berubah.

Nugroho (2011:8) mendefinisikan gender sebagai suatu konstruksi atau bentuk sosial yang sebenarnya dan bukan bawaan lahir, sehingga dapat dibentuk atau diubah tergantung dari tempat, waktu/zaman, suku/ras/bangsa, budaya, status sosial, pemahaman agama, negara, ideologi, politik, hukum dan ekonomi. Oleh karena itu, Nugroho (2011:8) berpendapat bahwa gender bukanlah kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia yang dapat dipertukarkan dan memiliki sifat relatif. Selanjutnya, Nugroho (2011:29) menyatakan bahwa kesetaraan gender dapat juga berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Dengan kata lain, gender memiliki kedudukan penting dalam

5 Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI dan Women Support Project

II/CIDA, 2001. Gender dan Pembangunan, Jakarta: Kementerian Negera Pemberdayaan Perempuan, hlm. 15.

(30)

kehidupan seseorang dan dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya.

Lips (1993:4) menyatakan secara terminologis, gender bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Definisi lain tentang gender dikemukakan oleh Showalter (1989:3). Menurutnya, gender adalah pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya.

Gender bisa juga dijadikan sebagai konsep analisis yang dapat

digunakan untuk menjelaskan sesuatu (Umar, 1999:34). Lebih tegas lagi disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Mulia, 2004:4).

Sementara itu, Suzanne Williams, Janet Seed, dan Adelina Mwau dalam The OXFAM Gender Training Manual mendefinisikan

gender sebagai berikut (Nugroho, 2011:5):

“…..manusia dilahirkan dan dididik sebagai bayi perempuan dan laki supaya kelak menjadi anak perempuan dan laki-laki serta berlanjut sebagai perempuan dewasa dan laki-laki-laki-laki dewasa. Mereka dididik tentang bagaimana cara bersikap, berperilaku, berperan, dan melakukan pekerjaan yang sepantasnya sebagai perempuan dan laki-laki dewasa. Mereka dididik bagaimana berelasi di antara mereka, sikap-sikap yang dipelajari inilah yang pada akhirnya membentuk identitas diri dan peranan gender mereka dalam masyarakat.”

Selanjutnya Judith Butler dalam bukunya Gender Trouble dalam Nugroho (2011:5) memberikan argumentasinya bahwa gender merupakan bentuk simbolik dari aksi masyakat yang mengikuti kebiasaan yang dilakukan. Butler menyebutkan bahwa:

“Gender is an identity constituted in time, instituted in an exterior space through a stylized repetition of act. The effect of gender is produced through the stylization of body and hence, must be understood as the mundane way in which bodily gestures, movements, and styles of various kinds constitue the illusion of an abiding gendered self.”

(31)

Gender merupakan konstruksi sosio-kultural yang pada

prinsipnya merupakan interpretasi kultural atas perbedaan jenis kelamin (Ridjal dkk, 1993:30). Sedangkan menurut Fakih (1999:8),

gender diartikan sebagai:

“..suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural.”

Selain itu, Nugroho (2011:8) menguraikan pengertian gender sebagai:

“suatu konstruksi atau bentuk sosial yang sebenarnya dan bukan bawaan lahir, sehingga dapat dibentuk atau diubah tergantung dari tempat, waktu/zaman, suku/ras/bangsa, budaya, status sosial, pemahaman agama, negara, ideologi, politik, hukum, dan ekonomi. Oleh karenanya, gender bukanlah kodrat Tuhan melainkan buatan manusia yang dapat dipertukarkan dan memiliki sifat relatif.”

“Sedangkan jenis kelamin (seks) merupakan kodrat Tuhan (ciptan Tuhan) yang berlaku di mana saja dan sepanjang masa yang tidak dapat berubah dan dipertukarkan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan.”

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya.

Secara umum sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan aspek-aspek nonbiologis lainnya. Kalau studi sex lebih menekankan kepada perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih menekankan kepada perkembangan aspek maskulinitas dan femininitas seseorang.

(32)

Sejarah perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita terjadi melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh berbagai faktor, antara lain kondisi sosial budaya, keagamaan, ekonomi, dan kebijakan politik negara. Dengan proses yang panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Hal inilah yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan gender di tengah-tengah masyarakat.

Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan

seseorang dan dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya. Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang. Dengan kata lain gender akan menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom. Akhirnya, genderlah yang banyak menentukan seseorang akan menjadi apa nantinya.

Kesetaraan gender seperti sebuah “frase” atau istilah “suci” yang sering diucapkan oleh para aktivis sosial, kaum feminis, politikus, bahkan hampir oleh para pejabat negara. Istilah kesetaraan gender dalam tataran praksis, hampir selalu diartikan sebagai kondisi “ketidaksetaraan” yang dialami oleh perempuan. Maka istilah kesetaraan gender sering dikaitkan dengan istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan, seperti: subordinasi, penindasan, kekerasan, dan semacamnya (Megawangi, 1999:19).

Persoalan perempuan berkaitan dengan masalah kesetaraan

gender ini memang dapat mengundang rasa simpati yang cukup besar

dari masyarakat. Hal tersebut terjadi karena permasalahan kesetaraan

gender sering dianggap berkaitan erat dengan keadilan sosial dalam arti

yang lebih luas, yaitu isu-isu yang berkisar pada masalah kesenjangan orang kaya dan miskin hingga ketimpangan antara negara kaya dan miskin. Namun, kesetaraan gender ini juga dapat mengundang rasa ambivalensi bahkan antipati baik dari aktivis perempuan maupun masyarakat umum. Bagi mereka yang mempunyai rasa ambivalensi

(33)

terhadap konsep kesetaraan gender biasanya disebabkan karena terbatasnya pengertian mereka akan konsep kesetaraan tersebut (Nugorho, 2011:28).

Menurut Nugroho (2011:28), konsep kesetaraan gender memang merupakan suatu konsep yang sangat rumit dan mengundang kontroversial. Hingga saat ini belum terdapat konsensus mengenai pengertian dari kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ada yang mengatakan bahwa kesetaraan adalah kesamaan hak dan kewajiban, yang tentunya juga masih belum jelas sejauh mana batasan hak dan kewajiban tersebut. Kemudian ada pula yang mengartikannya dengan konsep kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan, yang juga belum jelas batasannya (Nugroho, 2011:29). Kesetaraan gender sering juga dimaknai sebagai kesetaraan hak bagi laki-laki dan perempuan untuk mengaktualisasikan diri, namun harus sesuai dengan kodratnya masing-masing. Kesetaraan gender dapat juga berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.

 Analisis Gender

Analisis gender adalah suatu alat untuk menyusun kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam rangka strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender. PUG dilakukan melalui penyusunan kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.

Dalam menerapkan strategi tersebut diperlukan suatu alat

(tools) yang menjadi dasar dari setiap proses pengarusutamaan gender

baik dalam aspek kebijakan, program dan kegiatan yang akan dikembangkan/dilaksanakan. Alat tersebut adalah analisis gender yang

(34)

variatif namun kesemuanya dimulai dengan penyediaan data dan fakta serta informasi tentang gender yaitu data yang terpilah antara laki-Iaki dan perempuan serta dapat menggambarkan adanya kesenjangan

gender misalnya dalam aspek akses, peran, control, dan manfaat.

Secara terinci analisis gender sangat penting manfaatnya, yaitu sebagai berikut.

a. Membuka wawasan dalam memahami suatu kesenjangan gender di daerah pada berbagai bidang, dengan menggunakan analisis baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

b. Melalui analisis gender yang tepat, diharapkan dapat memberikan gambaran secara garis besar atau bahkan secara detil keadaan secara obyektif dan sesuai dengan kebenaran yang ada serta dapat dimengerti secara universal oleh berbagai pihak.

Dalam melakukan analisis gender, terdapat beberapa model teknik analisis gender yang pernah dikembangkan oleh para ahli antara lain Model Harvard, Model Moser, Model Proba, Model GAP, dan Model Longwe. Dalam penelitian ini, teknik analisis gender yang akan digunakan adalah Model Harvard yang dilanjutkan dengan Model Longwe.

a. Model Harvard (Harvard Analisys Framework).

Overholt et all (1985) dalam Handayani T dkk (2002:170) menyampaikan bahwa Analisis Model Harvard atau Kerangka Analisis Harvard, dikembangkan oleh Harvard institute for

International Development, bekerja sama dengan Kantor Women in Development (WID)-USAID. Model Harvard ini didasarkan

pada pendekatan efisiensi WID yang merupakan kerangka analisis

gender dan perencanaan gender yang paling awal. Kerangka

Harvard merupakan suatu analisis yang digunakan untuk melihat suatu profil gender dari suatu kelompok sosial dan peran gender dalam proyek pembangunan.

Kerangka Analisis Harvard digunakan untuk menggali data (umum dan rinci) yang berguna pada tahap analisis situasi, mudah

(35)

adaptasi untuk beragam situasi, merupakan alat bantu untuk meningkatkan kesadaran gender dan alat latihan yang efektif untuk menganalisis hubungan gender dalam masyarakat atau suatu organisasi pembangunan. Kerangka Analisis Harvard digunakan untuk melihat bagaimana peran antara perempuan dan laki-laki dalam suatu proyek pembangunan. Apakah perempuan dapat mengakses dan mempunyai kontrol terhadap kegiatan pembangunan tersebut berkaitan dalam pengambilan keputusan, artinya perempuan dilibatkan dalam mengambil keputusan atau mengontrol penggunaan sumber daya.

Menurut March et all (2005:32), Analisis Harvard didesain untuk menunjukkan adanya permasalahan dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi untuk perempuan dan laki-laki. Analisis ini bertujuan untuk membantu perencana merancang proyek yang efisien untuk meningkatkan produktivitas secara menyeluruh. Tetapi dalam konteks penelitian ini, Analisis Harvard digunakan untuk menganalisis kelembagaan masyarakat yang bergerak di bidang sosial. Oleh karena itu, peran dalam analisis ini meliputi peran produktif, reproduktif, dan sosial. Selain itu, penggunaan Analisis Harvard pada penelitian ini bukan untuk merancang proyek yang belum ada, melainkan untuk merancang strategi lebih lanjut atas program yang sudah berjalan. Analisis Harvard dapat digunakan untuk menganalisis kelembagaan masyarakat yang bergerak di bidang sosial karena Analisis Harvard tidak secara khusus menggunakan variabel ekonomi. Selain itu, meskipun merupakan lembaga sosial, Kelurahan Siaga secara tidak langsung juga berhubungan dengan kegiatan ekonomi.

Menurut March et all (2005:18-19), peran produktif mengacu pada produksi sedangkan peran reproduktif mengacu pada reproduksi. Produksi mencakup menghasilkan barang dan jasa untuk pendapatan. Sesungguhnya, baik perempuan maupun laki-laki melakukan pekerjaan produktif, namun tidak semuanya dihargai secara sama. Reproduksi meliputi pekerjaan memelihara rumah tangga dan seluruh anggotanya, seperti memasak, mencuci,

Gambar

Gambar 2.2  Kerangka Alur Pikir

Referensi

Dokumen terkait

Analisis value chain merupakan alat analisis stratejik yang digunakan untuk memahami secara lebih baik terhadap keunggulan kompetitif, untuk mengidentifikasi di

Mengacu pada penelitian sebelumnya maka penelitian ini akan mengidentifikasi tidak hanya pada pola pikir dan kesadaran tetapi bagaimana peran serta masyarakat dalam hal

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa grafik proses merupakan sebuah alat yang dapat mengidentifikasi proses produksi dalam beberapa aspek, seperti

Menurut Gordon dalam Silalahi (2011:189) menjelaskan pengertian pembagian kerja, sebagai berikut : “Pembagian kerja adalah kegiatan mengurai pekerjaan dalam

Untuk merupakan langkah awal dalam proses operasional program peningkatan kualitas six sigma, define bertujuan untuk mengidentifikasi produk atau proses yang yang

Kesimpulan dari teori di atas adalah analisis sistem merupakan proses atau kegiatan yang dilakukan untuk mengidentifikasi suatu permasalahan dengan memahami serta mengevaluasi

1) Meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan melalui jaminan kualitas yang terorganisasi dan sistematik. Proses dokumentasi dalam ISO 9001:2000 menujukan bahwa kebijakan,

Gender pada penelitian ini mengacu pada konsep gender menurut Puspitawati (2013) yaitu perbedaan peran, fungsi, status dan tanggung jawab pada laki-laki dan perempuan