BAB II
LANDASAN TEORI
A. Hegemoni dan Konstruksi Pola Pikir
Hegemoni berasal dari bahasa Yunani eugemonia yang berarti memimpin. Roger Simon menyatakan bahwa “hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis”. Menurut Roger Simon hegemoni adalah sebuah consensus.18
Hegemoni merupakan gagasan dari seorang filosof Italia yang bernama Antonio Gramsci (1891-1937). Sebagai seorang Marxis, Gramsci tidaklah berpendapat bahwa suatu revolusi sosial akan terjadi hanya karena suatu keniscayaan sejarah tetapi suatu revolusi hanya akan bisa tercapai melalui sebuah gerakan penyadaran masyarakat akan kondisi masyarakat yang tertindas. Teori hegemoni Gramsci menganalisis berbagai macam relasi antara kekuasaan dan penindasan di dalam masyarakat.Penindasan tidak selalu berarti penindasan fisik tetapi bisa jadi berupa penindasan pola pikir. Ketika melihat melalui perspektif hegemoni akan terlihat bahwa media massa merupakan suatu alat kontrol yang digunakan oleh pihak yang berkuasa untuk mengontrol dan menanamkan pola pikir kepada masyarakat.
18
Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan Insist, 1999, Hal 19-20
Teori hegemoni Gramsci menggaris bawahi bahwa di dalam struktur sosial selalu ada pertarungan untuk memperebutkan penerimaan publik. Dalam hal ini kelompok yang berkuasa akan selalu berusaha untuk membuat agar masyarakat (yang dikuasai) menerima nilai-nilai dan pola pikir penguasa tanpa perlawanan. Strategi kunci dalam keberhasilan hegemoni adalah nalar awam, di mana masyarakat awam akan menerima begitu saja apa yang diberikan oleh penguasa ke dalam pikiran mereka.
Menurut Gramsci ada 2 cara dari kelompok yang berkuasa untuk menjalankan kekuasaannya yaitu dengan cara represif dan persuasif. Cara kekerasan (Coersive) yang dilakukan oleh kelompok yang berkuasa disebut dengan dominasi, sedangkan cara persuasifnya dilakukan dengan cara yang halus melalui konsensus dengan tujuan untuk melanggengkan dominasinya tanpa mendapatkan perlawanan, inilah yang dimaksud dengan hegemoni.
Hegemoni adalah suatu kemenangan yang didapatkan melalui sebuah mekanisme konsensus ketimbang melalui suatu penindasan terhadap kelas sosial lainnya.Hegemoni juga merujuk pada kedudukan ideologi dari satu atau lebih kelompok di dalam masyarakat sipil yang lebih tinggi dari yang lainnya.19
Konsep hegemoni dirumuskan oleh Gramsci ketika melihat fenomena yang terjadi pada Gereja Katholik Roma.Gramsci melihat bahwa Gereja Katholik Roma mempunyai suatu kekuatan ideologis yang sangat besar terhadap umat
19
Nezar Patria dan Andi Arief, Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003, Hal 119-121
Katholik yang secara sukarela mematuhi segala hal yang dikeluarkan oleh Gereja Katholik Roma. Gramsci menyebut hubungan antara Gereja Katholik Roma dengan umat Katholik bersifat “mekanikal”, kemudian dia menyadari bahwa Gereja Katholik Roma telah sangat berhasil dalam perjuangan untuk merebut dan menguasai hati nurani dan pola pikir para pengikutnya.20
Masing-masing cara tersebut memiliki aparat dan agennya tersendiri. Polisi, tentara, aparat hukum adalah aparatur represif pihak penguasa. Sedangkan media massa, sekolah, lembaga keagamaan menjadi aparatur hegemoni untuk mengontrol supaya pola pikir masyarakat awam tetap sesuai dengan yang diinginkan pihak penguasa. Aparatur hegemoni terdiri dari sekumpulan orang yang dianggap sebagai “intelektual” sehingga mempunyai kapasitas dalam menentukan pola pikir masyarakat.Standar “kebenaran” di dalam masyarakat kemudian ditentukan oleh golongan “intelektual” tersebut yang pada akhirnya anggota masyarakat menjadi ketergantungan pada mereka secara pola pikir dan penerimaan terhadap suatu hal. Setiap sikap dan perilaku anggota masyarakat ditentukan oleh bagaimana sikap dan perilaku sang “intelektual” di dalam menyikapi suatu hal tertentu.
Menanggapi tentang adanya golongan intelektual di dalam suatu struktur sosial tersebut Gramsci menanggapinya sebagai berikut di dalam The Prison Notebooks:
20
Agus Affandi, Belenggu Budaya Santetan Di Desa Randu Alas Kecamatan Kare Kabupaten
Madiun (Analisis Teori Hegemoni Antonio Gramsci), Jurnal Transformasi LPM Lain Mataram
“The notion of the intellectuals as a distict social category independent of the class is a myth. All men are potentially intellectual in the sense of having an
intelect and using it, but not all are intellectuals by social functions.”21
(Anggapan bahwa intelektual adalah suatu kategori sosial yang terpisah bebas dari kelas-kelas lainnya adalah mitos. Semua manusia mempunyai potensi intelektual dalam artian mempunyai intelektualitas dan menggunakannya, akan tetapi tidak semuanya dianggap intelektual secara fungsi sosial.)
Dengan kalimat tersebut Gramsci menyoroti bahwa di dalam struktur sosial ada golongan tertentu yang dianggap sebagai “intelektual” yang berperan di dalam mengarahkan pola pikir masyarakat agar sesuai dengan yang diinginkan oleh pihak penguasa. Golongan ini disebut sebagai “intelektual organik” oleh Gramsci.Mereka yang termasuk ke dalam golongan tersebut diantaranya adalah mereka yang mempunyai pengaruh besar atau dianggap terpandang di dalam masyarakat, seperti para tokoh masyarakat, pemuka agama, kepala suku, selebritis, olahragawan terkenal, dan sejenisnya. Golongan inilah yang digunakan oleh para penguasa untuk memuluskan proses hegemoni dengan memanfaatkan pengaruh mereka terhadap pembentukan pola pikir dari masyarakat awam.
B. Tingkat kesadaran berpikir
Hegemoni nilai-nilai dari penguasa kepada masyarakat selalu mempunyai keterkaitan dengan tingkat kesadaran berpikir pada masyarakat tersebut. Sebelum kita mulai membahas mengenai tingkat kesadaran masyarakat Indonesia, mari kita tinjau kondisi pendidikan di Indonesia. Pendidikan adalah factor terpenting yang akan membentuk kesadaran berpikir di dalam suatu masyarakat. Dimana
21
Quintin Hoare dan Geoffrey Nowell Smith, Selections From The Prison Notebooks of Antonio
paradigma pendidikan formal yang akan secara dominan membentuk kesadaran berpikir masyarakat.
Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan dari Brazil yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Antonio Gramsci yang menekankan pentingnya kesadaran berpikir pada kaum tertindas, di dalam bukunya Pedagogy of The
Oppresed22 membagi paradigma pendidikan menjadi beberapa paradigma.
Paradigma yang pertama adalah paradigma pendidikan konservatif yang disebut oleh Freire sebagai “pendidikan gaya bank” dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Guru mengajar murid diajar
2. Guru berpikir murid dipikirkan
3. Guru dianggap sebagai maha tahu
4. Tidak ada proses dialogis Antara murid dan guru
5. Guru memilih bahan pelajaran, murid menyesuaikan
6. Guru memilih, murid menyetujui
7. Guru menggunakan jabatannya, untuk menghalangi murid bebas berpikir
Dalam pendidikan gaya bank tersebut daya kritis murid dibungkam dan budaya bisu tumbuh subur karena guru dianggap sebagai sumber ilmu
22
Publisher’s Forewod in Freire, Paulo (2000). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum, hal 9
pengetahuan tunggal. Transfer ilmu pengetahuan hanya terjadi satu arah, yaitu dari guru kepada murid.
Paolo Freire mengatakan:
“There neither is, or nor has ever been, and educational practice in zero space time neutral in the sense of being commited only to preponderantly
abstract, intangible ideas”23
Menurut Freire tidak pernah ada pendidikan yang benar-benar netral, pendidikan akan selalu membawa nilai-nilai yang diberikan oleh penguasa system di dalam masyarakat, persis seperti pemikiran Gramsci yang memasukkan lembaga pendidikan sebagai salah satu alat untuk menghegemoni masyarakat. Di dalam pendidikan gaya bank di atas telah terjadi proses dehumanisasi karena menindas hak berpikir kritis dan berbicara dari murid.
Paradigma konservatif akan menghasilkan masyarakat yang mempunyai tingkat kesadaran magis (magical consciousness)24 yang menganggap bahwa adanya kasta dan ketidaksederajatan kelas di dalam masyarakat adalah suatu keharusan yang alami, mustahil untuk dirubah karena sudah merupakan takdir dan ketentuan Tuhan. Perubahan social bagi mereka bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan, hanya Tuhan yang bisa merubahnya.Kesadaran ini menimbulkan sikap fatalis, pasrah menerima kondisi apapun tanpa usaha untuk merubah kondisi menjadi lebih baik.
23
Freire, Paolo (2014) Pedagogy of Hope: Reliving Pedagogy of The Oppressed, New York: Bloomsbury, hal 67
24
Paradigma pendidikan selanjutnya adalah paradigma liberal yang akan melahirkan tingkat kesadaran naif (naival consciousness). Kaum liberal, mengetahui dan mengakui bahwa memang ada permasalahan social di masyarakat. Namun bagi mereka pendidikan harus sama sekali steril dari persoalan ekonomi dan politik di masyarakat. Tugas dari pendidikan hanyalah menyiapkan murid untuk memasuki system yang sudah ada. Sistem diibaratkan sebagai sebuah tubuh manusia yang senantiasa harmonis dan teratur, kalaupun terjadi suatu kesalahan maka yang diperbaiki adalah individu yang menjadi bagian dari system tersebut dan bukan sistemnya sendiri. Pendidikan dalam perspektif liberal menjadi sarana untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai yang dianut oleh system yang berkuasa agar stabil dan berfungsi baik di masyarakat.
Paradigma pendidikan yang terakhir adalah paradigma kritis yang akan melahirkan tingkat kesadaran kritis (critical consciousness). Pendidikan bagi paradigma kritis adalah sarana untuk pejuangan politik dan perubahan social.Jika paradigma konservatif bertujuan melestarikan status quo, paradigma liberal juga pro status quo, maka paradigma kritis menghendaki adanya perubahan struktur secara fundamental dalam tatanan social masyarakat. Dalam perspektif ini, pendidikan harus mampu membuka wawasan dan cakrawala berpikir baik pendidik maupun peserta didik, menciptakan ruang bagi peserta didik untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis tentang struktur sosialnya dalam rangka transformasi ke arah yang lebih baik
C. Konstruksi Sosial Patriarki
Menurut Charles E Bressler25, patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral di dalam organisasi sosial. Secara implisit sistem sosial patriarki melembagakan hak istimewa laki-laki dan menuntut subordinasi perempuan. Di dalam sistem sosial patriarki laki-laki memiliki otoritas dan kedudukan lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Distribusi kekuasaan dalam sistem sosial patriarki memberikan laki-laki keistimewaan dalam satu atau lebih aspek dibandingkan dengan perempuan, seperti didalam partisipasi sosial, kedudukan status sosial di masyarakat, politik, agama, maupun pemberian tanggung jawab dalam masalah pekerjaan. Dalam konteks pekerjaan misalnya, laki-laki dianggap lebih produktif dibandingkan perempuan sehingga muncul suatu diskriminasi dalam pengkategorian “pekerjaan laki-laki” dan “pekerjaan perempuan”. Di mana “pekerjaan perempuan” hampir selalu ditafsirkan sebagai ranah domestik dalam rumah tangga seperti memasak, mencuci baju, menyapu rumah, menjaga anak dan sebagainya.
Masyarakat dalam sistem sosial patriarki selaku melakukan distribusi peran dan tanggung jawab sosial berdasarkan dari jenis kelamin seseorang, ada hal-hal yang wajar dilakukan oleh laki-laki tetapi tabu (dianggap tidak pantas) ketika dilakukan perempuan, misalnya dalam konteks menjadi seorang pemimpin.
25
Bressler, Charles E. Literary Criticism:An Introduction to Theory and Practice 4th-ed. Pearson Education, Inc. 2007
Patriarki menegaskan bahwa laki-lakilah yang berkuasa sedangkan wanita hanya dianggap sebagai second gender yang lemah yang membutuhkan perlindungan laki-laki dalam kehidupan sosialnya, perempuan hanyalah komoditas semata yang dikendalikan untuk kepentingan laki-laki.
D. Konstruksi Pola Pikir Patriarki Melalui Media Massa
Kemajuan teknologi membawa manusia kepada mekanisasi di dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangan teknologi juga menyebabkan perubahan pada proses manusia berkomunikasi, saat ini komunikasi hampir tak pernah bisa dilepaskan dari media. Manusia saat ini bukanlah dikontrol oleh manusia itu sendiri, teknologi telah mengambil alih peran itu.Manusia secara sadar menggunakan teknologi sebagai alat, namun tanpa sadar manusia telah diperalat oleh produk mereka sendiri.Saat ini teknologi menjadi penguasa yang mengendalikan sistem sosial masyarakat termasuk di dalam bentuk pengendalian pola pikir masyarakat.
Banyak fenomena sosial tentang perubahan masyarakat yang terjadi dengan cepat sebagai akibat dari pemanfaatan teknologi pada hampir semua sendi kehidupan.Dampak dari penggunaan teknologi ini terutama pada konsep hubungan antar manusia dan kehidupan kelembagaan yang kemudian mempunyai implikasi yang sangat luas di dalam kehidupan manusia.Termasuk di dalamnya adalah hubungannya dengan kekuasaan satu golongan terhadap golongan lainnya.
Teknologi sebenarnya adalah sesuatu yang value free atau bebas nilai. Artinya teknologi dapat digunakan untuk apa saja, teknologi bergantung kepada siapa yang mempergunakannya, apakah akan digunakan untuk manfaat atau merugikan masyarakat. Idealnya ideologi suatu masyarakatlah yang mempengaruhi teknologi, ideologilah yang memberikan interpretasi akan teknologi dan pemanfaatannya. Tetapi yang jamak terjadi saat ini adalah teknologilah yang mempengaruhi ideologi suatu masyarakat, pola pikir masyarakat dikendalikan oleh teknologi, terutama yang berhubungan dengan media massa. Ideologi adalah suatu kerangka pemikiran yang digunakan untuk mengarahkan kehidupan masyarakat. Tanpa ideologi kehidupan masyarakat menjadi tak terarah.Yang lebih berbahaya adalah jika teknologi mempengaruhi ideologi, itu berarti manusia diperalat oleh teknologi.26
Saat ini pengontrolan pola pikir dilakukan dengan menggunakan media massa beserta perkembangan teknologinya. Melalui televisi, koran, radio, maupun sosial media yang memanfaatkan internet. Manusia saat ini mempunyai suatu “beauty standart” bagi wanita yang mendeskripsikan wanita cantik adalah yang berkulit putih, berbadan tinggi, berambut panjang, sebagai hasil dari terpaan iklan secara terus-menerus dari produk-produk kecantikan wanita. Tanpa mereka sadari bahwa “beauty standart” tersebut diciptakan supaya masyarakat membeli produk-produk kecantikan seperti yang diiklankankan. Beauty standart adalah suatu
26
Soedjito, Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Industri, Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya, 1986, Hal 73-76
bentuk hegemoni dari media massa terhadap pola pikir masyarakat akan kecantikan perempuan.
Media massa juga mempunyai andil yang sangat besar di dalam menghegemonikan nilai-nilai patriarki di dalam masyarakat, adanya suatu standar kecantikan perempuan membuktikan bahwa secara implisit perempuan dianggap sebagai komoditas yang harus “dipercantik” sehingga mempunyai suatu nilai jual yang tinggi.
E. Media sebagai Ideological State Apparatus (ISA)
Seperti lumrahnya setiap metode penguasaan oleh penguasa dimana cara coersive mempunyai aparatusnya di dalam lembaga kepolisian, militer, lembaga hukum, maka hegemoni pun mempunyai aparatusnya sendiri yang disebut sebagai Ideological State Apparatus (ISA) yang bertugas untuk melaksanakan dan memastikan hegemoni pola pikir pihak penguasa tetap berjalan dengan lancar dan menggalang partisipasi masyarakat untuk melanggengkan ideologi penguasa tersebut.
ISA merupakan suatu konstruksi terperinci terhadap konsep Civil Society yang digagas oleh Gramsci. Menurut Gramsci, “…. Civil Society merupakan ruang dan tempat bagi kelas dominan melalui instrumen negara menjalankan hegemoninya secara halus melalui organisasi keagamaan, sistem pendidikan, budaya, dan institusi-institusi lainnya.” (Haryono, 2005: 145)
Gramsci mengatakan bahwa dalam membentuk konsensus seperti apa yang diinginkan, kelas tertentu biasanya menggunakan media kelembagaan sebagai transmisi. Media adalah salah satu mekanisme kelembagaan itu, yang menurut Gramsci berperan sebagai “tangan-tangan” kelompok yang berkuasa untuk menentukan ideologi yang mendominasi yang berujung pada hegemoni terhadap golongan-golongan lainnya di masyarakat (Patria, 2003: 127). Setiap individu yang terhubung dengan ISA akan dengan sukarela untuk menyerahkan semua nasib hidupnya ke tangan aparatus ideologis tersebut sebagai bukti loyalitas mereka terhadap ideologi penguasa, sebuah sikap yang tak berlebihan ketika mengingat proses hegemoni di dalam struktur sosial berlangsung melalui penggunaan bahasa-bahasa dan jargon-jargon yang teramat persuasif dan ideologi penguasa tersebut telah menyusup ke dalam wilayah kognitif masyarakat. Lebih jauh lagi setiap individu yang telah menghamba kepada ISA, akan berperan sebagai agen yang turut serta di dalam penyebaran ideologi penguasa tanpa perlu untuk dikomando melalui struktur-struktur dan peranannya masing-masing di dalam masyarakat, baik sebagai anggota keluarga, guru, pemuka agama, dan sebagainya. Mereka berusaha untuk menjaga supaya ideologi penguasa tetap dapat diterima oleh semua anggota masyarakat.
Konstruksi sosial patriarki mempunyai aparatus ideologi yang sangat kuat dan bermacam-macam, setiap aspek kehidupan seolah menjustifikasi kebenaran dari sistem sosial patriarki tersebut.Dimulai dari keluarga, budaya, adat-istiadat, agama, ekonomi, politik semuanya adalah suatu aparatus yang membenarkan tindakan patriarki yang menyingkirkan perempuan ke ranah domestik yang
bahkan menggunakan berbagai macam argumen termasuk ayat-ayat dari kitab suci. Dalam konteks ini, tidaklah berlebihan jika kita katakan nahwa proses kerja media dalam menghegemoni masyarakat adalah proses kerja alam bawah sadar. Sesuatu yang tidak kita sadari secara eksplisit. Hall menjelaskan bahwa hegemoni media bukan merupakan alur cerita yang sadar, tiak terlalu menekan, koersif dan pengaruh-pengaruhnya tidak total. Media menurut Hall menyajikan beragam gagasan kemudiann mereka cenderung untuk mendukung status quo (Em Griffin, 2003: 369). Media menjadi salah satu ISA dari kelas yang berkuasa untuk menyuarakan ideologinya dan menghegemonikannya kepada masyarakat.
F. Program Acara Game Show Sebagai Representasi Ideologi Patriarki
Pada paradigma kritis, asumsi yang berlaku kepada media adalah wacana kecurigaan. Segala bentuk wacana dan program acara di dalam media harus dicurigai pemaknaannya dalam konteks fenomena yang terjadi di masyarakat. Paradigma kritis beranggapan bahwa tidak ada sesuatu yang benar-benar netral di dunia ini, termasuk media. Segala sesuatu yang terjadi tak pernah lepas dari kepentingan, nilai-nilai, ideologi yang diyakini di masyarakat. Di dalam konteks media tentu saja ideologi yang di bawa adalah ideologi sang pemilik media tersebut. Program acara yang setiap hari kita lihat melalui televisi selalu memuat nilai-nilai yang berlaku di dalam media itu sendiri.
Menurut Piliang (2004:133) ada dua kepentingan besar yang bekerja di balik media, yaitu kepentingan ekonomi (economic interest) dan kepentingan
kekuasaan (power interest). Relasi antara kedua hal tersebut yang kemudian membentuk isi media (media content). Tradisi kritis menelisik lebih jauh, mengamati keseluruhan proses yang terjadi di media baik tekstual, kotekstual serta nilai-nilai dan ideologi yang bermain di belakang media. Teori kritis selalu mengkaji kondisi-kondisi sosial dalam usahanya untuk mengungkap struktur-struktur yang tersembunyi dalam media (Bungin, 2008: 259).
Di dalam banyak kajian sosial budaya, ekonomi dan politik, kehadiran media tidak dapat dinafikan begitu saja. Media selalu ditempatkan sebagai variabel determinan dalam mempengaruhi persepsi dan opini publik. Deutch mengatakan bahwa media adalah “the Nerves of Goverment” yang mana hanya mereka yang memiliki pemahaman dan akses informasi yang akan menguasai percaturan politik kekuasaan (Effendy 2000: 325). Pernyataan di atas sesuai dengan apa yang terjadi saat ini dimana pengetahuan atas informasi adalah kekuatan yang sangat besar dan mampu menghegemoni masyarakat yang berpengetahuan minim. Fakta tersebut menjadikan media sebagai entitas yang sangat strategis bagi kelas tertentu dalam rangka transformasi nilai-nilai dan ideoologi kepada khalayak umum. Pihak-pihak yang berkepentingan berebut pengaruh dalam menyuarakan ideologinya melalui media.
Game Show adalah suatu jenis program acara televisi di mana tokoh masyarakat atau selebriti menjadi bagian dari tim yang memainkan permainan untuk menjawab pertanyaan atau memecahkan teka-teki untuk meraih sejumlah uang dan hadiah. Pada sejumlah acara kontestan bersaing dengan pemain atau tim lain, sementara ada pula acara game show yang melibatkan kontestan untuk
bermain sendiri untuk mendapatkan nilai tertinggi. Acara game show memberikan hadiah uang tunai, barang, maupun tiket perjalanan kepada pemenang yang telah disediakan oleh sponsor dari acara tersebut yang mana sponsor melakukannya dengan tujuan untuk mempromosikan brand mereka.
Menurut Effendy (2000: 175) media televisi mempunyai daya tarik yang lebih tinggi sebagai media elektronik, dibandingkan dengan radio yang sifatnya auditif (hanya dapat didengar) sedangkan televisi memiliki unsur visual atau gambar bergerak sehingga segalanya terlihat lebih hidup dan audiens merasa seperti ikut terlibat langsung di dalamnya. Pada perkembangannya televisi selain memberikan informasi juga menayangkan acara-acara hiburan yang dapat mempengaruhi pola pikir, sikap, pandangan, persepsi dan perasaan bagi yang menontonnya.
Termasuk nilai-nilai yang diinginkan oleh penguasa supaya masyarakat menerima nilai-nilai mereka dan menganggapnya sebagai kebenaran. Salah satu nilai yang dipromosikan melalui televisi adalah patriarki. Dari bentuk acara Super Deal 2 Milyar yang menggunakan wanita-wanita cantik sebagai pemanis dan tidak mempunyai peran yang signifikan di dalam acara tersebut, menunjukkan bahwa secara tidak langsung wanita dianggap sebagai komoditas yang berfungsi untuk menaikkan rating acara tersebut.
Anggapan bahwa wanita hanya sebagai komoditas pemanis dan menjadi konsumsi audiens sejalan dengan pandangan patriarki yang menganggap wanita sebagai subordinat laki-laki. Peran wanita tak lebih dari sekedar pelengkap
dengan menggunakan “beauty standart” yang diciptakan juga melalui hegemoni media massa. Dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa media massa terutama televisi mengambil peran penting dalam pembentukan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat saat ini seperti “beauty standart” yang merupakan bukti adanya eksploitasi wanita dengan standar kecantikan yang digunakan demi kepentingan komersial (economic interest) dari suatu produk atau program acara tertentu dalam hal ini adalah program acara game show Super Deal 2 Milyar. Ketika pandangan yang berlaku di masyarakat adalah patriarkis, maka media juga akan menggunakan resep yang sama demi memenuhi selera pasar tersebut yang pada gilirannya hal tersebut juga akan semakin memperkuat pola pikir patriarki di dalam masyarakat. Hal tersebut seolah menjadi seperti lingkaran setan yang tak berkesudahan.