• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGENAL KEHIDUPAN KARANG PERUSAK KAYU (BIVALVIA : TEREDINIDAE) Oleh MUDJIONO 1) ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENGENAL KEHIDUPAN KARANG PERUSAK KAYU (BIVALVIA : TEREDINIDAE) Oleh MUDJIONO 1) ABSTRACT"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Oseana, Volume XVIII, Nomor 4 : 153 - 159 ISSN 0216-1877

MENGENAL KEHIDUPAN KARANG PERUSAK KAYU (BIVALVIA : TEREDINIDAE)

Oleh MUDJIONO 1)

ABSTRACT

TO KNOW THE LIFE HISTORY OF WOOD BORING CLAM (BIVALVIA : TEREDINIDAE). The family Teredinidae or shipworm is the most wooden destructive mollusc which attack the wooden structures, namely ships and wharf pilling. The destruction made by this animal is uncountable. The boring habit is used for protection rather than consuming the wood particles. The shells or valves can not be used as reliable characteristic for identification. Two calcareus structures found at the end of the body (pallet) are usualy used to determine the genere or species. Systematic, morphology, habitat, life history and their distributions are discussed in this article.

PENDAHULUAN

Suku Teredinidae merupakan kelompok moluska dari kelas Bivalvia yang mempunyai kebiasaan merusak kayu yang ada di laut, baik yang mengapung ataupun yang tenggelam. Prilaku yang demikian ini akan mengancam semua jenis bangunan dilaut, seperti kapal-kapal maupun tiang-tiang dari dermaga yang masih terbuat atau menggunakan kayu, sehingga sejak awal abad ke 19 ini diperkirakan teredo tercatat sebagai penyebab paling besar kerusakan konstruksi kayu di laut.

Penelitian tentang berbagai aspek dari suku Teredinidae sudah banyak dilakukan. Beberapa pakar yang telah meneliti hewan ini antara lain DOOCHIN & SMITH (1951), GREENFIELD (1952) dan HILL & KOFOID (1927). Di Indonesia penelitian tentang Teredo ini masih sedikit sekali, sehingga pengenalan masyarakat tentang binatang ini masih terbatas. Mengingat kerugian yang di akibatkan serangan hewan ini cukup besar, terutama dalam bidang konstruksi perkayuan yang dibangun di laut. Untuk itu perlu dikaji usaha penanggula-ngan hewan ini secara mendalam.

(2)

Artikel ini mencoba memperkenalkan jenis-jenis moluska yang mempunyai kebiasaan merusak kayu. Untuk kali ini diperkenalkan beberapa jenis dari suku Teredinidae, yaitu marga Teredo dan Bankia.

BEBERAPA CATATAN BIOLOGI Sistematika

Hewan moluska umumnya mempu-nyai kulit keras yang disebut cnagkang atau shell yang terbuat dari struktur berkapur. Cangkang ini biasanya mempunyai bentuk dan warna yang berbeda sehingga dapat dijadikan pedoman dalam menentukan urutan taxa. Seorang ahli moluska (malacologist) dapat segera menentukan taxa dari moluska berdasarkan informasi bentuk dan warna cangkang. Untuk mempelajari keahlian ini tentunya diperlukan pengalaman dalam waktu yang lama. Lain halnya dengan Teredo dan Bankia, binatang ini bentuk cangkangnya jarang sekali dipakai sebagai pedoman untuk menentukan taxa, melainkan suatu bentuk (struktur) berkapur yang terdapat di bagian posterior dan disebut "pallet".

Dalam sistematika Teredo dan Bankia diklasifikasikan secara baik sebagai berikut (ABBOTT & DANCE 1982) :

Morfologi

Hewan dari suku Teredinidae terdiri dari bagian yang keras atau dikenal sebagai cangkang dan bagian tubuh yang lunak. Cangkang hewan ini umumnya kecil hanya mencapai beberapa milimeter dan terletak di bagian ujung (anterior). Pada sisi yang lain (posterior) dimana terdapat siphon dan pallet merupakan bagian ekor dan biasanya bagian ini terlihat menjulur keluar saat hewan ini melakukan aktivitas hidupnya. Ukuran tubuh dapat mencapai panjang 20 -30 cm, dan bagian tubuh yang lunak biasanya dilindungi oleh lapisan tipis berkapur sebagai pembatas antara tubuh yang lunak dan dinding lubang (Gambar 1).

Pallet merupakan organ yang berfungsi sebagai penutup lubang pada saat ada gangguan dari luar. Pallet mempunyai bemtuk yang berbeda-beda dan oleh karena itu organ ini dijadikan pedoman dalam menentukan taxa (marga atau jenis). Marga Teredo mempunyai bentuk pallet seperti bentuk dayung (paddle-shape) sedangkan marga Bankia bentuk pallet umumya beruas-ruas (segmen) (Gambar 2).

Siphon atau corong terletak dibagian ujung posterior dan berfungsi sebagai jalan keluar masuknya air dari luar lubang ke dalam tubuhnya. Dalam keadaan tenang dan tidak ada gangguan lubang terbuka dan siphon menjulus keluar melakukan tugasnya menyaring zat-zat yang terlarut dalam air untuk keperluan hidupnya (Gambar 1). Tempat dan cara hidup

Suku Teredinidae mempunyai kebiasaan merusak kayu dengan cara membuat lubang pada jaringan kayu yang ada di dalam air laut. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa hewan ini bentuk

(3)

dewasanya menetap di dalam jaringan kayu. Dalam kondisi yang menguntungkan hewan ini berkembang dengan cepat hanya dalam beberapa bulan. Cangkang yang pada bagian pinggirnya bergerigi berfungsi sebagai alat untuk mengebor membuat liang berliku-liku di dalam jaringan kayu. Aktivitas ini dilakukan bukan untuk mengkonsumsi jaringan kayu, melainkan sekedar untuk berlindung dari predator. Beberapa kepustakaan menyebutkan adanya hidup bersama (simbiose) dengan mikroorganisme yang hidup di dalam pencernaannya. DORE & MILLER (1923) menyebutkan bahwa sebagian besar unsur sellulosa dan hemi-sellulosa tidak terdeteksi di dalam jaringan tubuhnya. Hal ini diduga bahwa unsur-unsur tersebut dikonsumsi oleh mikroorganisme yang hidup di dalam pencernaannya.

Seperti hewan moluska pada umumnya, suku Teredinidae mengalami beberapa tingkat atau fase dalam daur hidupnya. Pada tingkat burayak (stadium trokopor dan veliger) hewan ini bersifat planktonik yang bebas berenang dan mengikuti arus laut untuk beberapa hari dan selanjutnya mereka akan melekatkan diri pada permukaan kayu yang terendam dalam air laut, merayap mencari tempat yang cocok untuk membuat lubang. Kesempatan untuk mendapatkan tempat yang cocok harus melalui perjuangan yang berat, terutama upaya menghindarkan diri dari predatornya, seperti ikan-ikan kecil dan juga faktor lingkungan, seperti suhu, salinitas dan kecepatan arus. Beberapa pakar seperti M'GONIGLE & M'GONIGLE (1925) dan M'GONIGLE (1926) mendapatkan data

bahwa suhu minimum untuk kehidupan burayak suhu Teredinidae adalah 13 derajat Celcius. Juga terhadap salinitas hewan ini mempunyai toleransi minimal 16 %c. Kecepatan arus merupakan rintangan yang paling berat bagi larva hewan ini dalam mendapatkan tempat yang cocok untuk menempel. Dari informasi tersebut di atas dapatlah dipelajari dasar-dasar atau cara yang tepat dalam menanggulangi bahaya yang ditimbulkan oleh serangan hewan ini, khususnya bahan bangunan dari kayu yang ditempatkan di laut.

Sebaran

Suku Teredinidae mempunyai sebaran yang sangat luas di seluruh dunia. Mereka menyebar dari daerah tropis sampai ke laut utara. Di daerah perairan ugahari, seperti di laut utara hewan ini aktif pada musim panas dan musim gugur (GREENFIELD, 1952). Pada musim dingin hewan ini biasanya tidak aktif, artinya tidak melakukan perkembang biakan dan aktifitas mengebor. Hewan ini hidup di daerah perairan dangkal sampai mencapai kedalaman 4000 meter. Hal ini terjadi apabila di kedalaman tersebut didapatkan kayu sebagai tempat hidupnya.

Mengingat sebarannya yang luas dan toleransi yang cukup tinggi terhadap perubahan lingkungan, maka hewan ini merupakan hama perusak kayu yang perlu mendapatkan perhatian serius. Negara-negara tropis penghasil kayu, seperti Indonesia harus senantiasa waspada terhadap serangan hewan ini. Penelitian secara mendalam terhadap hewan ini perlu digalakkan dan di itensif-kan.

(4)
(5)

Gambar 3. Akibat serangan Teredo (suku Teredinidae) pada sebatang kayu yang tenggelam di laut.

(6)

DAFTAR PUSTAKA

ABBOTT, R.T. 1974. America Seashells. Van Nostrand Rainhold Company, New York (USA) : 548-554

ABBOTT, R.T. and P. DANCE. 1982. Compedium of Seashells. A full color guide to more than 4200 of the world marine shells. E.P. Dutton, New York: 410 pp

DOOCHIN, H. and F.G.W. SMITH, 1951. Marine boring and fouling in relation to velocity of sea water currents. Bull. Mar. Sci. 1 (3) : 196-208

DORE, W.H. and R. C. MILLER 1923. The digestion of wood by Teredo navalis. Univ. Calif. Publ. Zool. 22 (7) : 383-400

GREENFIELD, L. J. 1952. The distribution of marine borers in the Miami area in relation to ecological conditions. Bull. Mar. Sci. 2 (2) : 448-464

HILL, C. L. and C. A. KOFOID, 1927. Marine borers and their relation to marine construction on the Pacific Coast. Final report of the San Fransisco Bay. Marine Pilling Commitee. San Fransisco, California: 188-344.

M'GONIGLE, R. H. and B. A. M'GONIGLE 1925. Marine borers on the Atlantic Coast of Canada. The Honorary Advisory Council for Scientific and Industrial Research, Report 15 : 87 pp

M'GGONIGLE, R. H. 1926. A further consideration of the relations between the distribution of Teredo navalis (L.) and the temperature and salinity of its environment. Dominion of Canada, National Research Council Report 20 : 31 pp

Gambar

Gambar 1.    Sketsa tubuh dan cangkang suku Teredinidae (ABBOTT, 1974)
Gambar 3.   Akibat serangan Teredo (suku Teredinidae) pada sebatang kayu yang  tenggelam di laut.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui informasi mengenai Pemanfaatan New Media (Whatsapp) Antara Guru Dengan Siswa Berkebutuhan Khusus Dalam

Orang tuli tidak dapat menangkap suara dari luar termasuk perkataan orang lain dengan baik karena ada kerusakan atau kelainan pada sistem pendengaran yang mereka miliki.. Ia hidup

24 YAYASAN BPK PENABUR 653/23/BPPT/III/2011 30-Mar-11 TK,SD,SMP,SMA BPK PENABUR Medan Satria-Medan Satria 25 YAYASAN HARAPAN INDAH MEDIKA 653/24/BPPT/IV/2011 5-Apr-11 R.S.U

Dalam penetapan biaya pendidikan yang dibebankan ke mahasiswa, Politeknik Indonusa Surakarta belum dapat menetapkan Uang Kuliah Tunggal (UKT), sehingga mahasiswa

Bimbingan dan konseling relijius dan etis serta semua bidang konseling secara umum membutuhkan konselor yang memiliki ketajaman matahati dan kemampuan

Latasir adalah lapis penutup permukaan jalan yang terdiri atas agregat halus atau pasir atau campuran keduanya dan aspal keras yang dicampur, dihamparkan dan dipadatkan dalam

Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing Saham pada saat Initial Public Offering (ipo) di Bursa Efek Indonesia Periode 2005–2009. Skripsi, Program

Sewajarnya, berdasarkan pembuktian terbalik pada Pasal 12B ayat (1) huruf a Undang-Undang No 31 Tahun 1999, apabila penuntut umum tidak dapat membuktikan bahwa