• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMACUAN PERGANTIAN KULIT KEPITING BAKAU (Scylla serrata) MELALUI MANIPULASI LINGKUNGAN UNTUK MENGHASILKAN KEPITING LUNAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMACUAN PERGANTIAN KULIT KEPITING BAKAU (Scylla serrata) MELALUI MANIPULASI LINGKUNGAN UNTUK MENGHASILKAN KEPITING LUNAK"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan komoditas air kepiting lunak merupakan produk dari budidaya kepiting bakau yang permintaan baik lokal maupun ekspornya belum dapat dipenuhi. Kontroversi terhadap penolakan produk kepiting lunak akibat pemotongan kaki kepiting sebagai upaya mempercepat ganti kulit sudah merebak hingga ke mancanegara sehingga perlu dicari jalan lain yang dapat mempercepat ganti kulit tanpa dilakukan pemotongan kaki. Penelitian akan dilakukan di laboratorium BRPBAP selama tiga bulan untuk mendapatkan informasi tentang pemacuan ganti kulit kepiting bakau melalui manipulasi salinitas media pemeliharaan. Cara ini dinilai lebih aman daripada rangsangan ganti kulit dengan manipulasi hormon yang akan mempengaruhi penerimaan konsumen.

KATA KUNCI: kepiting bakau, ‘soka”, moulting PENDAHULUAN

Kepiting bakau (Scylla serrata) yang mengalami perkembangan pesat dalam kegiatan penelitian pada dekade terakhir. Salah satu produk ekspor dari kepiting bakau yang telah dikembangkan adalah kepiting lunak. Keberhasilan perbenihan kepiting dalam beberapa tahun terakhir, diharapkan dapat lebih memacu perkembangan budidaya kepiting lunak atau biasa disebut dengan soft shelled crab atau disingkat dengan kepiting soka (kepiting lunak). Saat ini harga kepiting soka di tingkat produsen Rp 100.000,-/kg. dengan jumlah 10 ekor/kg (Fujaya, 2009), masakan restoran siap saji di Makassar, Sulawesi Selatan menjual Rp 125.000,-/porsi (sekitar 4–5 ekor), dibandingkan dengan harga kepiting bakau biasa (non lunak) dengan bobot 100–200 g/ekor harga Rp 30.000,-–Rp 45.000,-.

Semua golongan arthropoda, termasuk kepiting mengalami proses pergantian kulit atau ganti kulit secara periodik, sehingga ukuran badannya bertambah besar. Agar kepiting bisa tumbuh menjadi besar, secara periodik akan melepaskan jaringan penghubung antara epidermis dan kutikula ekstraseluler, segera melepaskan diri dari kutikula (cangkang), menyerap air untuk memperbesar badan dan eksoskeleleton yang baru dan selanjutnya terjadi proses pengerasan dengan mineral-mineral dan protein. Proses ganti kulit ini menghasilkan peningkatan ukuran badan (pertumbuhan) secara berkala. Ketika ganti kulit, badan kepiting menyerap air dan bertambah besar, kemudian terjadi pengerasan kulit. Setelah kulit luarnya keras, ukuran badan kepiting tetap sampai pada siklus ganti kulit berikutnya.

Pada saat ganti kulit, kulit krustase yang tadinya keras digantikan oleh kulit yang lunak sehingga dikenal dengan “soft shelling crab” yang di Indonesia kemudian disingkat menjadi ’soka’. Kepiting lunak dapat diidentifikasi dengan jalan memijit/menekan secara perlahan bagian badan kepiting. Karena kulitnya yang lunak, maka kepiting tidak dapat mencapit dan mudah penanganannya. Kondisi lunak tersebut hanya bertahan dalam waktu yang singkat kemudian berangsur-angsur mengeras kembali sebagaimana layaknya kepiting normal sehingga perlu pengontrolan yang ketat. Kepiting lunak yang dipasarkan khusus untuk konsumsi adalah kepiting yang baru saja ganti kulit atau paling tidak baru berumur 4 jam sejak ganti kulit. Pada kondisi demikian, bagian cangkang kepitingpun lunak apalagi bagian badan yang lainnya. Berbeda dengan kepiting lunak yang memang diproduksi untuk dikonsumsi, kepiting lunak yang biasanya tercampur dengan kepiting konsumsi yang dijual di pasaran biasanya kondisinya sudah lebih keras.

Walaupun secara ekonomis budidaya soka kelihatan menguntungkan, namun sebagian besar pengusaha soka tidak bisa bertahan lama. Periode pemeliharaan yang lama dan waktu ganti kulit yang tidak serentak menjadi masalah utama dalam upaya produksi kepiting lunak. Periode

PEMACUAN PERGANTIAN KULIT KEPITING BAKAU (

Scylla serrata

) MELALUI

MANIPULASI LINGKUNGAN UNTUK MENGHASILKAN KEPITING LUNAK

Nur Ansari Rangka dan Sulaeman Balai Riset Perikanan dan Budidaya Air Payau

Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros, Sulawesi Selatan 90512 E-mail: litkanta@indosat.net.id

(2)

pemeliharaan yang lama menyebabkan biaya pakan dan operasional produksi semakin besar, sedangkan waktu ganti kulit yang tidak serentak mengharuskan pengawasan yang ketat selama pemeliharaan sehingga kurang efisien dari segi waktu dan tenaga.

Berbagai cara telah dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut seperti dengan rangsangan melalui manipulasi makanan, manipulasi lingkungan, dan teknik pemotongan kaki. Hingga saat ini teknik pemotongan kaki yakni dengan mematahkan capit dan kaki jalan kepiting masih merupakan cara yang paling praktis yang dapat dilakukan untuk mempercepat terjadinya pergantian kulit dan dapat diterapkan secara massal. Dengan mematahkan anggota badan kepiting, maka hormon pertumbuhannya akan memacu pembentukan kembali dari anggota badan yang hilang. Dengan cara ini, kepiting muda dapat berganti kulit dalam waktu 2-3 minggu tergantung pada kejelian di dalam memilih kepiting yang sudah mendekati fase ganti kulit. Teknik ini terbukti mampu mempercepat proses ganti kulit.

Namun permasalahan lain muncul yaitu mortalitas meningkat dan tidak terjadi peningkatan bobot badan secara nyata bahkan cenderung menurun. Permintaan pasar kepiting soka masih sangat besar terbukti pengusaha kepiting soka belum mampu memenuhi permintaan sekitar 100 ton/bulan dari Kota Semarang untuk pemasaran Jawa Tengah, Masalah utama usaha kepiting soka adalah penyediaan jumlah benih yang bermutu, tepat waktu, untuk itu diharapkan kebutuhan benih Scylla serrata dapat terpenuhi melalui hasil pembenihan di hatcheri (Hanafi, 1995).

Berdasarkan hal tersebut maka dilakukanlah serangkaian penelitian tentang manipulasi faktor lingkungan untuk mempecepat ganti kulit kepiting bakau. Salah satu faktor lingkungan yang diduga dapat mempengaruhi kecepatan pergantian kulit adalah manipulasi salinitas air yang digunakan. Penurunan dan peningkatan salinitas secara mendadak diharapkan dapat mempersingkat fase intermolt dan dapat memacu pergantian kulit secara bersamaan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang pemacuan pergantian kulit kepiting bakau melalui manipulasi lingkungan. BAHAN DAN METODE

Kegiatan penelitian dilaksanakan di Instalasi Perbenihan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau yang ada di Kabupaten Barru.

Penelitian ini merupakan pengamatan laboratorium yang didesain dengan rancangan acak lengkap pola faktorial. Dua faktor akan diuji yaitu perubahan salinitas (A) dan pemotongan kaki (B) masing-masing diulang 3 kali. Perlakuan yang diamati masing-masing-masing-masing adalah salinitas 10 ppt (A), 20 ppt (B), 30 ppt (C), 30-20 ppt (D), 30-10 ppt (E), dan 30-0 ppt (F).

Bahan-bahan yang akan digunakan meliputi benih kepiting, berbagai bahan kimia untuk analisis kualitas air, dan analisis kondisi fisiologis kepiting, pakan kepiting, dan disinfektan. Berbagai peralatan dibutuhkan seperti refraktometer, termometer, DO-meter, bak fiber glass, aerator, keranjang, selang, pompa dab, terpal dan lain-lain.

Pertama-tama semua bahan dan alat yang diperlukan disiapkan dan diset sesuai dengan desain penelitian yang telah ditentukan. Kepiting berukuran rata-rata 45 g/ekor, ditebar secara kelompok sebanyak 10 ekor/bak fiber glass volume 0,01 m3, ukuran 40 cm x 40 cm x 60 cm bak diisi air sampai ketinggian 20 cm dengan salinitas bervariasi. Jumlah bak yang digunakan 18 buah. Kepiting diberi pakan sekali sehari dengan pakan segar. Pergantian air dilakukan setiap dua hari yang sekaligus mengakomodasi peningkatan atau penurunan salinitas sesuai dengan kombinasi yang telah ditentukan. Adapun perlakuan yang akan diuji yaitu:

Faktor salinitas meliputi tiga kombinasi yaitu 30-20, 30-10, dan 30-0 ppt. Artinya media kepiting secara bergantian setiap dua hari berada pada 30 dan 20 ppt, 30 dan 10 ppt, dan 30 dan 0 ppt sampai dengan dua bulan pemeliharaan. Penurunan atau peningkatan salinitas dilakukan secara mendadak. Setiap kombinasi salinitas diperlakukan untuk faktor yang lain yakni pemotongan kaki yang terdiri atas dua level yaitu pemotongan kaki dan tanpa pemotongan kaki. yaitu antara keperluan persiapan bak dapat dilakukan sebagaimana persiapan tambak untuk budidaya bandeng untuk menghasilkan lingkungan tambak yang baik. Oleh karena itu, terdapat enam kombinasi perlakuan yang akan diuji melalui peubah periode ganti kulit, frekuensi ganti kulit, dan perkembangan kandungan

(3)

ekdisteroid darah. Data salinitas yang diperoleh dianalisis secara sidik ragam sedangkan data lainnya dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN BAHASAN

Hubungan faktor salinitas dengan sintasan kepiting bakau yang dipelihara pasca ganti kulit disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kombinasi salinitas media pemeliharaan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap rata-rata sintasan kepiting bakau pasca moulting kepiting bakau. Sintasan tertinggi diperoleh pada perlakuan C dan D masing-masing sebesar 83,3%, disusul berturut-turut perlakuan E: 76,7%; B: 73,3%; A: 50% dan terendah pada perlakuan F: 0% yang disebabkan kematian semua kepiting.

Tabel 1. Rata-rata sintasan pasca ganti kulit kepiting bakau terhadap perlakuan kombinasi salinitas pada akhir penelitian

*) Angka dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak beda

nyata (P>0,05)

Perlakuan Salinitas (ppt)

Sintasan pasca ganti kulit (%) A 10 50,0±20,0a B 20 73,3±5,7a C 30 83,3±15,2a D 30-20 83,3±15,2a E 30-10 76,7±23,0a F 30-0 0,0±0,00b

Semua golongan arthropoda, termasuk kepiting bakau mengalami proses pergantian kulit atau ganti kulit secara periodik, sehingga ukuran badannya bertambah besar. Agar kepiting bisa tumbuh menjadi besar, secara periodik akan melepaskan jaringan penghubung antara epidermis dan kutikula ekstraseluler, segera melepaskan diri dari kutikula (cangkang), menyerap air untuk memperbesar badan dan eksoskeleleton yang baru dan selanjutnya terjadi proses pengerasan dengan mineral-mineral dan protein. Proses ganti kulit ini menghasilkan peningkatan ukuran badan (pertumbuhan) secara diskontinu dan secara berkala. Ketika ganti kulit, badan kepiting menyerap air dan bertambah besar, kemudian terjadi pengerasan kulit. Setelah kulit luarnya keras, ukuran badan udang tetap sampai pada siklus ganti kulit berikutnya.

Menurut Wiyanto & Hartono (2003), moulting berfungsi untuk merangsang dan mempercepat pertumbuhan. Selain itu, moulting juga berperan dalam proses pematangan gonad, sehingga betina dapat memproduksi telur dan jantan dapat meproduksi sperma. Selanjutnya, keduanya menyatakan bahwa moulting juga berperan dalam menumbuhkan kembali organ yang cacat. Selain pertumbuhan, pemicu moulting bisa juga akibat perubahan air. Perubahan air yang mendadak bisa menyebabkan kepiting stres. Kondisi ini menjadikan terjadinya perubahan pada struktur daging dan cangkang, yang akhirnya dapat menyebabkan terpisahnya bagian cangkang dengan daging tersebut. Salah satu faktor yang dapat memicu stres lingkungan adalah perubahan salinitas. Salinitas merupakan salah satu faktor abiotik penting yang mempengaruhi sintasan organisme akuatik. Salinitas dapat memodifikasi peubah fisika dan kimia air menjadi satu kesatuan pengaruh yang menjadi satu kesatuan pengaruh yang berdampak osmotik pada osmoregulasi dan bioenergetik (Karim, 2007). Ketika terjadi perubahan salinitas lingkungan, energi digunakan untuk mengubah konsentrasi cairan badan sesuai dengan lingkungan. Hal inilah yang memicu terjadinya ganti kulit pada kepiting bakau. Pada penelitian ini, manipulasi lingkungan dengan faktor salinitas menghasilkan persentase yang tidak berbeda nyata antar perlakuan namun yang berbeda adalah kecepatan ganti kulitnya.

Gambar 1 memperlihatkan perbedaan kecepatan ganti kulit kepiting bakau. Semua kepiting bakau pada perlakuan F mengalami kematian sejak pergantian air pertama. Kepiting pada perlakuan A, C, dan D mengalami ganti kulit sejak ganti air yang pertama. Setelah ganti air yang kedua disusul oleh

(4)

perlakuan B. Pada ganti air ketiga hanya perlakuan E yang mengalami ganti kulit. Ganti kulit tidak terjadi sejak ganti air ke-4 sampai ganti air ke-9. Ganti kulit kembali terjadi hampir pada setiap perlakuan pada pergantian air 10 kecuali pada perlakuan D. Pada pergantian air 11 sampai 15 terjadi ganti kulit pada semua perlakuan kecuali perlakuan A pada pergantian air 12 dan ke-13. Pada pergantian air ke-16 hanya kepiting pada perlakuan A dan B saja yang mengalami moulting sedangkan pada pergantian air ke-17, ganti kulit terjadi pada perlakuan A, D, dan E. Ganti kulit hanya terjadi pada perlakuan D dan E pada pergantian air ke-18.

Kematian semua kepiting pada perlakuan F (salinitas 30–0 ppt) kemungkinan besar disebabkan karena lingkungan hidup yang hipoosmotik. Pada kondisi hipoosmotik, kepiting melakukan kerja osmotik yang tinggi sebagai respons fisiologis untuk mempertahankan lingkungan internalnya. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen, penurunan aktivitas makan dan aktivitas rutinitas (Kumlu et al., 2001). Proses adaptasi terhadap kondisi salinitas dilakukan melalui proses osmoregulasi. Osmoregulasi merupakan upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan air dan ion antara di dalam badan dan lingkungannya melalui mekanisme pengaturan tekanan osmosis. Untuk organisme akuatik, proses tersebut digunakan sebagai langkah untuk menyeimbangkan tekanan osmosis antara substansi dalam badannya dengan lingkungan melalui sel yang permeabel. Dengan demikian, semakin jauh perbedaan tekanan osmotik antara badan dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, hingga batas toleransi yang dimilikinya (Setyadi et al., 1997; Supriyatna, 1999). Pada perlakuan ini, osmoregulasi kepiting bakau telah melampaui batas toleransinya, sehingga semua kepiting mati ketika salinitas air diturunkan menjadi 0 ppt.

Kemungkinan lain penyebab kepiting bakau yang mati setelah ganti kulit karena disebabkan karena kadar CaCO3 di dalam badan kepiting bakau tersebut belum cukup. Syarat utama terjadinya ganti kulit adalah cukupnya kadar CaCO3 di dalam badan kepiting tersebut. CaCO3 digunakan untuk membentuk karapas baru bagi kepiting. Karena jika dilakukan pergantian air secara mendadak dan kepiting mengalami moulting tetapi kepiting belum ada CaCO3-nya maka kepiting akan mati. Ada beberapa kemungkingan lain penyebab kegagalan dalam melakukan moulting, di antaranya adalah kondisi kepiting yang lemah karena berkurangnya aktivitas makan atau karena stres akibat kondisi salinitas yang kurang sesuai. Karim (2007) mengemukakan bahwa salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh penting pada konsumsi pakan, metabolisme, sintasan, dan pertumbuhan organisme akuatik.

Pertumbuhan

Pertumbuhan merupakan perubahan/pertambahan bobot atau ukuran badan yang dipelihara dalam satuan waktu (Effendie, 2004). Pertumbuhan menjadi hal yang krusial bagi kepiting bakau karena

Gambar 1. Kecepatan ganti kulit kepiting bakau pada perbedaan ganti air 0 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Ganti kulit

ke-Fr ek ue ns i mo ul tin g A (10 ppt) B (20 ppt) C (30 ppt) D (30-20 ppt) E (30-10 ppt) F (30-0 ppt)

(5)

untuk tumbuh menjadi besar harus melepaskan kulit yang lama kemudian kulit yang baru yang lebih besar akan menggantikan tempatnya. Pertumbuhan kepiting dapat terjadi apabila energi yang diretensi positif atau energi yang disimpan lebih besar dibandingkan dengan energi yang digunakan untuk aktivitas tubuh. Megalopa memperoleh energi melalui pakan yang dikonsumsi dan pembelanjaannya digunakan untuk berbagai aktivitas hariannya (Karim, 2007). Terdapat beberapa cara untuk melihat pertumbuhan di antaranya dengan menghitung pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan harian krablet. Pertumbuhan bobot mutlak dinyatakan sebagai perubahan ukuran bobot dalam kurun waktu tertentu, sedangkan laju pertumbuhan harian dinyatakan sebagai persentase pertumbuhan bobot/hari (Effendie, 2004). Rata-rata pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan harian krablet S. serrata selama penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 memperlihatkan pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan harian kepiting soka pada akhir penelitian. Hasil analisis ragam menujukkan bahwa manipulasi salinitas media memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan harian kepiting soka. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan harian yang terbaik diperoleh pada perlakuan D, disusul berturut-turut oleh perlakuan C, E, B, dan A. Tingginya pertumbuhan bobot mulak dan laju pertumbuhan harian yang dihasilkan perlakuan kombinasi salinitas 30-20 ppt diduga karena kombinasi salinitas tersebut ideal bagi kepiting soka sehingga energi untuk pertumbuhan lebih besar karena penggunaan energi untuk osmoregulasi lebih rendah. Begitu juga dengan perlakuan salinitas 30 ppt. Media bersalinitas 10-20 ppt bersifat hipoosmotik. Kondisi ini sebenarnya kurang nyaman bagi kepiting soka, karena kepiting memiliki cairan sel yang besifat isotonik dengan lingkungannya. Sel yang terletak pada lingkungan isotonik akan memiliki volume cairan sel yang konstan karena volume air yang masuk dan keluar dari sel sama banyaknya. Namun kisaran salinitas tersebut masih berada dalam kisaran toleransi hidup kepiting bakau.

Pada kondisi hipoosmotik atau hiperosmotik, kepiting melakukan kerja osmotik yang tinggi sebagai respons fisiologis untuk mempertahankan lingkungan internalnya. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen, penurunan aktivitas makan dan aktivitas rutinitas (Kumlu et al., 2001). Proses adaptasi terhadap kondisi salinitas dilakukan melalui proses osmoregulasi. Osmoregulasi merupakan upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan air dan ion antara di dalam badan dan lingkungannya melalui mekanisme pengaturan tekanan osmosis. Untuk organisme akuatik, proses tersebut digunakan sebagai langkah untuk menyeimbangkan tekanan osmosis antara substansi dalam badannya dengan lingkungan melalui sel yang permeabel. Dengan demikian, semakin jauh perbedaan tekanan osmotik antara badan dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, hingga batas toleransi yang dimilikinya (Setyadi et al., 1997; Supriyatna, 1999). Akibatnya, energi yang diperoleh dari hasil metabolisme dalam badan yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan akan berkurang atau habis yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan kepiting soka.

Tabel 2. Rata-rata pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan harian megalopa (Scylla serrata) terhadap perlakuan perbedaan salinitas pada akhir penelitian

*) Angka dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05)

Salinitas (ppt) Pertumbuhan bobot mutlak (g) Laju pertumbuhan bobot harian (%) 10 26,64±0,07a 74,16±0,01a 20 27,45±0,03b 76,60±0,43b 30 28,23±0,05c 78,30±0,10c 30?20 29,49±0,01d 81,90±0,01d 30?10 27,56±0,01b 76,30±0,10b 30?0 0,000±0,00e 0,000±0,00e

(6)

Kualitas Air

Sintasan dan pertumbuhan megalopa juga dipengaruhi oleh peubah kualitas air dan pakan yang mencukupi. Selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran peubah kualitas air meliputi: suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut, dan amonia disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai peubah kualitas air media penelitian pada perlakuan berbeda

A B C D E F Suhu (°C) 24,4-26,3 24,0-26,5 25,0-27,2 24,1-26,6 24,0-27,1 24,7-25,9 Salinitas (ppt) 10 20 30 30-20 30-10 30-0 Oksigen terlarut (mg/L) 5,8-6,66 5,8-6,54 5,8-6,61 5,8-6,48 5,8-6,88 5,8-6,26 pH 8,2-8,5 8,0-8,5 8,2-8,3 8,0-8,3 8,0-8,5 8,0-8,2 NH3 (mg/L) 0,04-0,05 0,02-0,04 0,03-0,05 0,04-0,06 0,02-0,05 0,04-0,05 Parameter Perlakuan

Zacharia & Kakati (2004) menyatakan, suhu merupakan salah satu faktor abiotik penting yang mempengaruhi aktivitas, nafsu makan, konsumsi oksigen, dan laju metabolisme krustase. Suhu yang optimun untuk kepiting bakau adalah 26°C sampai 32°C (Kuntiyo, 1994). Nilai pH penting karena dapat mempengaruhi proses dan kecepatan reaksi kimia di dalam air serta reaksi biokimia di dalam badan kepiting bakau. Menurut Christensen et al. (2005), pH optimum untuk kepiting bakau berkisar antara 7,5 dan 8,5. Amonia merupakan senyawa produk utama dari limbah nitrogen dalam perairan yang berasal dari organisme akuatik (Cavalli et al., 2000; Neil et al., 2005). Amonia bersifat toksik sehingga dalam konsentrasi yang tinggi dapat meracuni organisme (Lee & Chen, 2003). Oleh sebab itu, dalam media pemeliharaan kepiting bakau maka konsentrasi amonia dalam media tidak lebih dari 0,1 mg/L (Kuntiyo, 1994). Hasil penelitian Yunus et al. (1996) menunjukkan bahwa suhu 25°C-33°C; salinitas 33-34 ppt; pH 8,24-8,32; dan oksigen terlarut 5,60-5,68 mg/L mendukung sintasan kepiting bakau 18,55%-74,08%. Berdasarkan hal tersebut maka kualitas air di seluruh wadah penelitian cukup baik dan layak dalam mendukung kehidupan kepiting soka selama penelitian.

KESIMPULAN

1. Kombinasi salinitas media pemeliharaan berpengaruh tidak nyata terhadap sintasan kepiting bakau pasca ganti kulit tetapi berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kecepatan ganti kulit kepiting bakau.

2. Sintasan tertinggi diperoleh pada perlakuan C dan D sebesar 83,3%, disusul berturut-turut perlakuan E: 76,7%; B: 73,3%; A: 50% dan terendah pada perlakuan F: 0% yang disebabkan kematian semua kepiting.

3. Ganti kulit tercepat diperoleh pada perlakuan A (10 ppt).

4. Pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan harian yang terbaik diperoleh pada perlakuan D (30-20 ppt)

5. Perlu penelitian lanjutan untuk mengetahui efek pengaruh ganti kulit (pada salinitas optimum/ terbaik) pada pertumbuhan kepiting selanjutnya.

6. Usaha kepiting soka lebih menguntungkan dibandingkan dengan usaha pembesara kepiting lainnya. DAFTAR ACUAN

Cavalli, R.O., Berghe, E.V., Lavens, P., Thuy, N.T.T., Wille, M, & Sorgeloos, P. 2000. Ammonia toxicity as a criterion for the evaluation of larval quality in the prawn Macrobrachium rosenbergii. Comp. Biochem. Physiol., 125C: 333-343.

Christensen, S.M., Macintosh, D.J., & Phuong, N.T. 2005. Pond production of the mud crab Scylla paramamosain (Estampador) and S. olivacea (Herbst) in the Mekong Delta, Vietnam, using two different supplementary diets. Aqua. Res., 35: 1013-1024.

(7)

Effendie, I. 2004. Pengantar Akuakultur. Penerbit Penebar Swadaya. Bogor Indonesia, 187 hlm. Fujaya, Y. 2009. Budidaya Kepiting Soka, suatu terobosan usaha perikanan. Harian Fajar Makassar

Tanggal, 20 Agustus 2009.

Hanafi, A. 1995. Budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata). Makalah disampaikan pada acara Desiminasi di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Ungaran. Balai Penelitian Perikanan Pantai – Maros)

Karim, M.Y. 2007. Pengaruh salinitas dan bobot terhadap konsumsi kepiting bakau (Scylla serrata Forsskal). J. Sains & Teknologi, 7(2): 85–92.

Kumlu, M., Eroldogan, O.T., & Saglamtimur, B. 2001. The effect of salinity and added substrates on growth and survival of Metapenaeus monoceros (Decapoda: Penaeidae) post-larvae. Aquaculture, 196: 177-188.

Kuntiyo, Arifin, Z., & Supratomo, T. 1994. Pedoman Budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Tambak. Direktorat Jenderal Perikanan, Balai Budidaya Air Payau, Jepara, 29 hlm.

Kurniawan, T. & Hartono, R. 2007. Pembesaran lobster air tawar secara tepat. Penebar Swadaya. Jakarta, 72 hlm.

Lee, W.C. & Chen, J.C. 2003. Hemolymph ammonia, urea and uric acid levels and nitrogenous excre-tion of Marsupenaeus japonicus at different salinity levels. J. Exp. Mar. Biol. Ecol., 288: 39-49. Neil, L.L.,. Fotedar, R., & Shelley C.C. 2005. Effects of acute and chronic toxicity of unionized ammonia

on mud crab, Scylla serrata (Forsskal, 1755) larvae. Aqua. Res., 36: 927-932.

Setyadi, I., Azwar, Z.I., Yunus, & Kasprijo. 1997. Penggunaan jenis pakan alami dan pakan buatan dalam pemeliharaan larva kepiting bakau Scylla serrata. J. Pen. Perik. Indonesia, hlm. 73-77. Supriyatna, A. 1999. Pemeliharaan larva rajungan Portunus pelagicus dengan waktu pemberian pakan

yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Puslitbangkan bekerja sama dengan JICA ATA, 379: 168-172.

Yunus, Rusdi, I., Haryanti, & Sugama K. 2001. Pemeliharaan larva kepiting bakau (Scylla paramamosain) skala massal. Laporan Balai Besar Perikanan Budidaya Laut, 4 hlm.

Zacharia, S. & Kakati, V.S. 2004. Optimal salinity and temperature of early developmental stages of Penaeus merguensis de Man. Aquaculture, 232: 378-382.

Gambar

Tabel 1. Rata-rata sintasan pasca ganti kulit kepiting bakau terhadap perlakuan kombinasi salinitas pada akhir penelitian
Gambar 1. Kecepatan ganti kulit kepiting bakau pada perbedaan ganti air01234567812345678 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18Ganti kulit
Tabel 2 memperlihatkan pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan harian kepiting soka pada akhir penelitian
Tabel 3. Nilai peubah kualitas air media penelitian pada perlakuan berbeda

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pembelajaran kooperatif (cooperative learning) manajemen mempunyai empat fungsi pokok, yaitu: a) fungsi perencanaan menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif

Oleh karena itu, hasil pengukuran kecepatan arus pada perairan Sei Carang yang memiliki kisaran sebesar 0,1 m/s sampai 0,26 m/s dapat disimpulkan juga terdapat

pengendalian internal pada penggajian yang diterapkan oleh PT Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan dalam melaksanakan setiap proses transaksi pembayaran gaji

Dengan menggunakan empat nilai inti (core values) multikultural sebagai indikatornya, analisis menunjukkan bahwa buku teks PAK Kurikulum 2013 memiliki 39,7% Kompetensi Dasar

Haluskan tempe, masukkan bawang merah dan bawang putih yang telah dihaluskan, tambahkan penyedap rasa, setelah itu masukan kocokan telur dan beri sedikit kuah kalio ke dalam

Data terkait dengan variabel-variabel yang terdapat pada penelitian ini, yaitu kinerja jangka panjang, underwriter reputation, earnings management dan size atau ukuran

One of the essential qualifications for a person to be eligible for appointment as a teacher in any of the schools referred to in clause (n) of section 2 of the RTE Act is that

Nilai Kegunaan Waktu ( time utility) , dengan adanya pengangkutan berarti bahwa dapat dimungkinkan terjadinya suatu perpindahan barang dari suatu tempat ke tempat lainnya