• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstract. Keywords: Commitment, State of Law, democratic, constitutional, Pancasila, the 1945 Constitution.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Abstract. Keywords: Commitment, State of Law, democratic, constitutional, Pancasila, the 1945 Constitution."

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

KOMITMEN MEWUJUDKAN INDONESIA SEBAGAI

NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS KONSTITUSIONAL

BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG

DASAR 1945 (SEBUAH TELAAH FILOSOFIS)

Oleh : Damrah Mamang1 Abstract

The commitment, step, and efforts to realize the vision of Indonesia as a democratic constitutional state law based on Pancasila and the 1945 Constitution is a necessity and the duty of every constitutional state officials as well as citizens and even the whole nation, regardless of political and social strata bears. In the perspective of philosophical, sociological, and juridical, can be formulated in a dynamic perception that in a democratic constitutional state, a profile of the country remains the ideal state at once realistic that can be manifested. In the context of Indonesia, for example, a living reality, Indonesia as a unitary state republic Indonesia is a country of law (the rule of law) must always be built and lived in a discursive procedure. For the law to be created and applied in a manner yng properly, fairly and impartially, that's the ideal law namely that the law is built on and the value of ethics and high morality of a nation. In the perspective of philosophy of law ideal of a state of law is Bonum Commune, namely the creation of a political sisial system that guarantees the fulfillment of the basic needs of all citizens fairly. This is the mandate of the sacral fundamental in the history of the republic of Indonesia reached the age of 71 years of independence from the five precepts of Pancasila, seliruh social justice for the people of Indonesia,,

Keywords: Commitment, State of Law, democratic, constitutional, Pancasila, the 1945 Constitution.

A. Pendahuluan

Kajian atas tema tulisan (artikel) ini sudah banyak dilakukan oleh para pakar dengan sudut pandang atau perspektif yang beragam tergantung tujuan dan kepentingannya masing-masing. Walau begitu tema makalah ini selalu menarik perhatian untuk diteliti, dan diobervasi dengan pengkajian yang mendalam, komprehensif dan berkelanjutan agar dapat dicapai suatu hasil analisis akademis dan praktikal empiris baik untuk pengembangan ilmu maupun aspek terapan operasional dalam upaya mengejewantahkan nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa yang pada gilirannya mampu mewujudkan secara nyata prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai negara yang berdasarkan hukum( the rule of law) , guna mencapai cita hukum dan kepribadian bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945

                                                                                                                         

1  Penulis adalah Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam As-syafi’iyah Jakarta dan saat ini menjadi Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UIA Jakarta.  

(2)

yang populer disebut sebagai tujuan-tujuan kita bernegara yakni2: 1. melindungi segenap bangsa Indonesia, 2. Mewujudkan kesejahteraan umum, 3. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, 4. Melaksanakan ketertiban dunia berbasis kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Landasan konstitusional sesuai ketentuan Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 berbunyi negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, ayat 2 kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, dan ayat 3 negara Indonesia adalah negara hukum. Selanjutnya, permasalahannya adalah bagaimana kualitas komitmen dan upaya-upaya konsepsional maupun praktis yang efektif dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis konstitusional sesuai dengan nilai-nilai falsafah hidup bangsa Indonesia agar tercapai tujuan bernegara dalam konteks demokratisasi dan nomokrasi dalam perspektif UUD 1945 ?

B. Batasan dan Ruang Lingkup Filsafat, Filsafat Ilmu dan Filsafat Hukum

Penulis menyadari sudut tinjauan makalah ini lebih menekankan pada telaah filsafati atau filosofis. Maka, adalah sebuah keniscayaan jika diuraikan terlebih dahuku makna atau pengertian ruang lingkup serta maksud dan tujuan dari nilai-nilai filsafat atau filosofis. Sebuah pandangan dan uraian dari Prof. H Ahmad Azhar Basyir MA guru besar filsafat hukum Islam UGM dan mantan ketua PP Muhammadiyah menarik dicermati dan dijadikan referensi awal dalam tulisan ini. Selanjutnya dikatakannya3 kata filsafat atau falsafat berasal dari kata Arab falsafah yang diturunkan dari kata Yunani philosophia yang merupakan kata gabungan dari kata philein yang berarti mencintai atau philia yang berarti cinta dan kata Sophia yang berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, kata philosophia, falsafah, falsafat, dan berarti mencintai atau cinta kepada kebijaksanaan disebut philosophos yang dalam bahasa Arab disebut failasuf (jamaknya: filasifah) dan dalam bahasa Indonesia disebut filosuf. Demikian arti harfiah kata filsafat. Adapun arti teknisnya amat banyak batasan yang diberikan bergantung kepada kecenderungan (aliran) orang yang memberi batasan, yakni sebagai berikut:

1. Menurut Plato (427-348 SM), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli.

2. Menurut Aristoteles (383-322 SSM), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergantung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.

                                                                                                                         

2 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Nomor 24 Tahun 2003 Tentang MK, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Tahun 2007, Hal. 4.

3Ahmad Azhar Bashir, pokok-pokok persoalan filsafat hukum Islam, Yogyakarta: UII Press Yogyakarta (anggota IKAPI, 2006), hlm. 1-4

(3)

3. Menurut Al-Farabi (870-950), filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang alam maujud bagaimana hakikatnya yang sebenarnya.

4. Menurut Descartes (1590-1650), filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.

5. Menurut Immanuel Kant (1724-1804), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan, yang tercakup di dalam empat persoalan: - Apakah yang dapat kita ketahui? Jawabnya: Metafisika, - Apakah yang seharusnya kita ketahui? Jawabnya: Etika. - Sampai dimanakah harapan kita? Jawabnya: Agama. - Apakah yang dinamakan manusia? Jawabnya: Antropologi.

6. Menurut D. C Mulder, filsafat merupakan salah satu bentuk cara berpikir. Filsafat adalah cara berpikir secara ilmiah. Sifat cara berpikir ilmiah ialah: a. menentukan sasaran pemikiran (gegenstand) tertentu, b. Bertanya terus

sampai batas terakhir sedalam-dalamnya, c. selalu

mempertanggungjawabkan dengan bukti-bukti, d. Harus sistematik. Batasan terakhir yang diberikan oleh D.C. Mulder dapat dirumuskan secara lebih sederhana, yaitu filsafat merupakan pemikiran secara sistematik dan radikal tentang sesuatu objek.Objek yang menjadi sasaran pemikiran adalah segala hal yang ada, baik ada dalam alam dan kenyataan inderawi atau yang ada dalam konsep.

Dengan demikian, lanjut Prof. A. A. Basyir, filsafat dapat mencakup segala hal yang dapat menjadi objek pemikiran. Kita dapat menyebut adanya filsafat keTuhanan jika objek pemikiran adalah perihal Tuhan; filsafat alam kodrat jika yang menjadi obyek perihal alam kodrat (kosmos); filsafat pembangunan jika yang menjadi obyek adalah perihal pembangunan; filsafat keluarga berencana jika yang menjadi obyek adalah perihal keluarga berencana; filsafat administrasi jika yang menjadi objek adalah perihal administrasi; filsafat adat minangkabau jika yang menjadi obyek adalah perihal adat minangkabau dan sebagainya.

Bertitik tolak dari batasan filsafat yang diberikan D.C Mulder itu, filsafat hukum Islam dapat dibatasi sebagai berikut: filsafat hukum Islam adalah pemikiran secara ilmiah, sistemik, dapat dipertanggungjawabkan, dan radikal tentang hukum Islam. Adapun beberapa ciri-ciri utama ilmu menurut terminology, antara lain adalah:

v Ilmu adalah sebagian pengetahuan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur, dan dibuktikan. Berbeda dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas keyakinan kepada yang gaib dan penghayatan serta pengalaman pribadi.

v Berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu putusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh

(4)

kesatuan ide yang mengacu ke objek (atau alam objek) yang sama dan saling berkaitan secara logis. Karena itu, koherensi sistematik adalah hakikat ilmu. Prinsip-prinsip objek dan hubungan-hubungannya yang tercermin dalam kaitan-kaitan logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip-prinsip metafisis objek menyingkapkan dirinya sendiri kepada kita dalam prosedur ilmu secara lamban, didasarkan pada sifat khusus intelek kita yang tidak dapat dicirikan oleh visi ruhani terhadap realitas tetapi oleh berpikir.

v Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran perorangan, sebab ilmu dapat memuat di dalamnya dirinya sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang belum sepenuhnya dimantapkan.

v Di pihak lain, yang seringkali berkaitan dengan konsep ilmu (pengetahuan ilmiah) adalah ide bahwa metode-metode yang berhasil dan hasil-hasil yang terbukti pada dasarnya harus terbuka kepada semua pencari ilmu. Kendati demikian, rupanya baik untuk tidak memasukkan persyaratan ini dalam definisi ilmu, karena objektifitas ilmu dan kesamaan hakiki daya persyaratan ini pada umumnya terjamin.

v Ciri hakiki lainnya dari ilmu ialah metodelogi, sebab kaitan logis yang dicari ilmu tidak dicapai dengan penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dari banyak pengamatan dan ide yang terpisah-pisah. Sebaliknya, ilmu menuntut pengamatan dan berpikir metodis, tertata rapi. Alat bantu metodelogis yang penting adalah terminology ilmiah. Yang disebut belakangan ini mencoba konsep-konsep ilmu.

v Kesatuan setiap ilmu bersumber di dalam kesatuan obyeknya. Teori skolastik mengenai ilmu membuat pembedaan antara objek material dan objek formal. Yang terdahulu adalah objek konkret yang disimak ilmu. Sedangkan yang belakangan adalah aspek khusus atau sudut pandang terhadap objek material. Yang mencirikan setiap ilmu adalah objek formalnya. Sementara objek material yang sama dapat dikaji oleh banyak ilmu lain. pembagian objek studi mengantar ke spesialisasi ilmu yang terus bertambah. Gerakan ini diiringi bahaya pandangan sempit atas bidang penelitian yang terbatas. Sementara, penangkapan yang luas terhadap saling keterkaitan seluruh realitas lenyap dari pandangan.

Adapun beberapa definisi ilmu menurut para ahli, diantaranya adalah:

Ø Mohammad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.

(5)

Ø Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistemik, keempatnya serentak.

Ø Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.

Ø Ashley Montagu, Guru Besar Antroplog di Rutgers University menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.

Ø Harsojo, Guru Besar antropolog di Universitas Pajajaran menerangkan bahwa ilmu adalah:

- Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan.

- Suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia.

- Suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan sesuatu proposisi dalam bentuk: “Jika…, maka…/”

Ø Afanasyef, seorang pemikir Marxist bangsa Rusia mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, kategori-kategori dan hukum-hukum, yang ketetapan dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.

Dari keterangan para ahli tentang ilmu di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ilmu adalah sebagian pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu, yaitu sistematik, rasional, empiris, universal, objektif, dapat diukur, terbuka, dan kumulatif (bersusun timbul). Mulyadhi Kartanegara berpendapat bahwa objek ilmu tidak mesti selalu empiris karena realitas itu tidak hanya yang empiris bahkan yang tidak empiris lebih luas dan dalam dibandingkan dengan yang empiris. Karena itu, dia memasukkan teologi adalah ilmu, yang sama dengan ilmu-ilmu lainnya. Adapun perbedaan antara ilmu dan pengetahuan ilmu adalah bagian dari pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem dan terukur serta dibuktikan kebenarannya secara empiris.

Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan, pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, sedangkan ilmu sudah merupakan bagian yang lebih tinggi dari itu karena memiliki metode dan mekanisme tertentu. Ilmu bagaikan sapu lidi, yakni sebagian lidi yang sudah diraut dan dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat, sehingga menjadi sapu lidi, sedangkan pengetahuan

(6)

adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan ditempat lain yang belum tersusun dengan baik.4

Setelah dipahami pengertian filsafat, ilmu dan pengetahuan, maka dapat disimpulkan bahwa filsafat ilmu merupakan kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu, sehingga filsafat ilmu perlu menjawab tentang dasar-dasar ilmu, sehingga filsafat ilmu perlu menjawab tentang dasar-dasar ilmu, sehingga filsafat ilmu perlu menjawab beberapa persoalan berikut:

1. Pertanyaan landasan ontologis:

Objek apa yang ditelaah? Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana korelasi antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang menghasilkan ilmu? Dari landasan ontologis ini adalah dasar untuk mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus bidang-bidang ilmu.

2. Pertanyaan landasan epistemologis:

Bagaimana proses pengetahuan yang masih berserakan dan tidak teratur itu menjadi ilmu? Bagaimana prosedur dan mekanismenya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/ tekhnik sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?

3. Pertanyaan landasan aksiologis

Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek dan metode yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana korelasi antara tekhnnik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?

Persamaan dan perbedaan filsafat dan ilmu. Persamaan filsafat dan ilmu adalah sebagai berikut:

Ø Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki objek selengkap-lengkapnya sampai ke akar-akarnya.

Ø Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-sebabnya.

Ø Keduanya hendak memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.

Ø Keduanya mempunyai metode dan sistem.

Ø Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dati hasrat manusia (objektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar.

Adapun perbedaan filsafat dan ilmu adalah sebagai berikut:

                                                                                                                         

(7)

Ø Objek material (lapangan) filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu yang ada (realita) sedangkan objek material ilmu (pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. Artinya ilmu hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing secara kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu.

Ø Objek formal (sudut pandangan) filsafat itu bersifat nonfragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar.

Ø Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik dan intensif.

Ø Di samping itu objek formal ilmu itu bersifat tekhnik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita.

Ø Filsafat dilaksanakan dalam suatu suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial and error. Oleh karena itu, nilain ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedang kegunaan filsafat timbul dari nilainya. Ø Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan

pada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu. Ø Filsafat memberikan penjelasan yang terakhir, yang mutlak, dan

mendalam sampai mendasar (primary cause) sedangkanilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder (secondary cause).

Tujuan filsafat ilmu, Tujuan filsafat ilmu adalah

Ø Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber, hakikat dan tujuan ilmu.

Ø Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmu di berbagai bidang, sehingga kita mendapat gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara historis.

Ø Menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi di perguruan tinggi, terutama untuk membedakan persoalan yang ilmiah dan nonilmiah.

Ø Mendorong pada calon ilmuwan dan iluman untuk konsisten dalam mendalami ilmu dan mengembangkannya.

Ø Mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.

C. Negara Demokratis Konstitusional

Dalam menyampaikan Orasi Ilmiah pada acara Wisuda Pasca Sarjana, sarja, dan Diploma Universitas Islam As- Syafi’iyah pada tanggal 26 Maret 2014 dengan judul membangun Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional

(8)

yang bermartabat yang disampaikan oleh Ketua MKRI Prof. Dr. Hamdan Zoelva S.H.,M.H karena saya beranggapan bahwa tema orasi ilmiah mengandungdung pemikiran-pemikran yang bernas dan relevan dengan makalah ini, maka penulis berkepentingan untuk mengutip tema orasi ilmiah ini secara lengkap. Pada kesempatan yang berharga itu, Prof. Dr. Hamdan Zoelva antara lain menegaskan bahwa demokrasi dapat dikatakan sebagai pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Sebagaimana ungkapan Abraham Lincoln, democracy is the

government by the people, from the people and for the people. Bahkan sekarang

ini bermakna lebih luas lagi yaitu juga, bersama rakyat (with the people) yaitu partisipasi rakyat.

Ajaran demokrasi berkembang dari ajaran liberalisme di Eropa yang menempatkan individualism dan otonomi individu sebagai dasar yang melahirkan demokrasi.Oleh karena itu demokrasi tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia dan dignity of man (yaitu harkat dan martabat manusia). Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kekuasaan raja-raja absolut di Eropa yang semula tidak memberikan hak-hak kepada individu, sehingga lahirlah revolusi untuk mengubah keadaan itu, yaitu membatasi kekuasaan absolute raja-raja dengan meberikan hak-hak dasar dan kebebasan manusia. Dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, pilihan mayoritas individu menjadi dasar penentuan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan, sehingga pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan mayoritarian (majority rule) atau pemerintahan berdasarkan pilihan rakyat banyak.5

Konstitusi adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) diantara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Kesepakatan dalam konstitusi pada umumnya mengandung tiga elemen pokok yaitu: i). Kesepakatan tentang tujuan negara atau cita-cita bersama, ii). Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara, dan iii). Organ-organ negara dan prosedur-prosedur ketatanegaraan. Sebagai kesepakatan tertinggi mayoritas rakyat, konstitusi merupakan “the supreme law of the land”, yaitu hukum tertinggi yang menjadi sumber hukum penyelenggaraan negara. Oleh karena konstitusi merupakan hukum tertinggi, maka prosedur pembentukan dan perubahan konstitusi jauh lebih sulit dan lebih rumit dibanding pembentukan dan perubahan undang-undang biasa yang juga merupakan kesepakatan dari rakyat.6

Konstitusi, pada umumnya memiliki tiga fungsi, yaitu: i). Pada satu sisi berfungsi sebagai sumber kekuasaan dan legitimasi pemerintahan dan pada sisi

                                                                                                                         

5Hamdan Zoelva, “membangun Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional yang bermartabat” Orasi Ilmiah pada acara Wisuda Pascasarjana, Sarjana, dan Diploma Universitas Islam As- Syafi’iyah pada tanggal 26 Maret 2014.

(9)

lain dimaksudkan untuk menentukan batas-batas kekuasaan negara, ii). Fungsi mengatur hubungan antar lembaga negara yang satu dengan lembaga negara lainnya, serta iii). Fungsi mengatur hubungan antara penyelenggara kekuasaan negara dengan warga negara. Dalam kaitan dengan ketiga fungsi itulah, konstitusi biasa disebut sebagai the charter of government (charter pemerintahan) atau pedoman bagi penyelenggaraan pemerintahan negara. Terdapat dua pandangan atas fungsi konstitusi, yaitu: Pertama, pandangan negatif yang melihat konstitusi sebagai pembatasan kekuasaan pemerintah. Kedua, pandangan positif yang melihat konstitusi sebagai umumnya dari sisi pandang kepentingan rakyat terhadap negara dan pandangan kedua berasal dari pandangan penguasa terhadap rakyat. Kedua cara pandang ini, harus diintegrasikan dalam satu kesatuan fungsi konstitusi yang penerapannya sangat bergantung pada saat, tempat dan kondisi dimana konstitusi itu dilaksanakan.7

Demokrasi dengan kebebasan dan otonomi individu yang luas tanpa pembatasan dapat melahirkan tirani mayoritas, yaitu kekuasaan mayoritas yang dapat melanggar hak-hak minoritas. Hal demikian, tentu tidak dikehendaki karena akan bertentangan dengan harkat dan martabat manusia yang memiliki hak-hak dasar yang harus dilindungi. Kekuasaan mayoritas tidak dapat dibiarkan tanpa batas dan tanpa aturan.Kebebasan tanpa batas dapat melahirkan kedzaliman yang baru.Dalam kondisi yang demikianlah pembatasan atas kebebasan berdasarkan konstitusi menjadi mutlak diperlukan. Dari sinilah lahir ajaran demokrasi konstitusional, yaitu demokrasi yang dibatasi oleh norma hukum dan konstitusi. Dalam pandangan negara-negara modern, jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia haruslah termuat dalam konstitusi, dan pembatasan hak asasi manusia hanya dapat dilakukan dengan undang-undang semata untuk melindungi dan menghormati hak kebebasan manusia yang lain berdasarkan prinsip-prinsip pembatasan yang juga dimuat dalam konstitusi. Jika dalam demokrasi berlaku prinisp rule by majority according to the constitution atau kekuasaan oleh mayoritas menurut konstitusi. Dari sinilah pemerintahan berdasarkan paham negara demokrasi berdasarkan hukum atau biasa dikenal dengan istilah negara nomokrasi, yaitu negara yang dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan norma hukum dan konstitusi mulai berkembang.8

Terkait dengan pandangan tentang paham negara demokrasi maka menurut Prof. Franz Magnis Suseno SJ terdapat lima gugus ciri hakiki negara demokratis yakni pertama, negara hukum, kedua, pemerintah yang di bawah kontrol nyata masyarakat, ketiga, pemilihan umum yang bebas, keempat, prinsip mayoritas, dan kelima adanya jaminan hak-hak demokratis. Selanjutnya, dikatakan seperti dicacat

                                                                                                                          7Ibid. hlm. 4.

(10)

oleh Lobkowich bahwa demokrasi merupakan cara paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum.9

Konstitusi kita yaitu UUD 1945, menganut prinsip negara demokrasi konstitusi atau negara demokrasi berdasarkan konstitusi. Hal itu dapat dibaca pada alinea keempat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 bahwa maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu “Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yang terbentuk dalam “susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”. Kemudian dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 menentukan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar. Frasa “kedaulatan berada di tangan rakyat” menunjukkan anutan terhadap prinsip demokrasi, sedangkan frasa “dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar” jelas menunjukkan bahwa kita juga juga menganut prinsip negara hukum dan konstitusi. Lebih tegas lagi, dalam Pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa konstitusi mengamanatkan negara harus dijalankan atas prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat berdasarkan ketentuan atau norma konstitusi atau norma hukum.10

Bagi negara yang meng-klaim diri sebagai negara hukum, maka konstitusi atau undang-undang dasar senantiasa diposisikan sebagai hukum yang tertinggi. Berdasarkan doktrin nomokrasi, hukum harus dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma yang berpuncak pada konstitusi sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, negara demokrasi konstitusional menghendaki dan meniscayakan supremasi konstitusi.11

Hal ini sejalan dengan semangat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Ketenrtuan Pasal 7 ayat 1 berbunyi jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan terdiri atas : a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b, Ketetapan MPR; c, Undang-Undang/Perpu; d, Peraturan Pemerintah; e, Peraturan Presiden; f, Perda Provinsi; dan Perda Prov Kabupaten/Kota. Dan ayat 2 berbunyi kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat 1.12 Pandangan di atas sejalan dengan tujuan dan cita-cita revormasi bangsa Indonesia yang ditandai dengan runtuhnya rezim orde baru dimana dalam bidang revormasi hukum telah dilakukan suatu terobosan politik hukum yang diawali dengan reformasi konstitusi untuk secara konsisten bangsa ini dalam perjalanan selanjutnya benar-benar menegakan supremasi

                                                                                                                         

9Franz Magnis Suseno SJ, mencari sosok demokrasi:sebuah telaah filosofis, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995, hlm. 58.

10Hamdan Zoelva, Op.,cit. hlm. 6. 11Ibid.

12Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82.

(11)

hukum. Dan meninggalkan supremasi MPR. Sebagaimana terjadi pada masa yang lalu.

Selanjutnya Prof. Hamdan Zoelva melalui orasi ilmiah itu kembali memaparkan bahwa Kedudukan konstitusi sebagai hukum tertinggi diperoleh karena sifat demokratis dari konstitusi itu sendiri, yaitu konstitusi merupakan perjanjian atau kesepakatan dasar seluruh rakyat suatu bangsa. Di dalam konstitusi itulah nilai-nilai demokrasi dijamin dan dilindungi.Oleh karenanya terdapat hubungan resiprokal yang nyata antara demokrasi dengan konstitusi.Jika demokrasi merupakan gagasan paling utama yang mendasari konstitusi sebagai sebuah kesepakatan tertinggi dari rakyat suatu negara, maka konstitusi itu sendiri merupakan instrument untuk menjamin dan melindungi nilai demokrasi termasuk legitimasi bagi demokrasi. Pertautan antara konstitusi dan demokrasi akan melahirkan demokrasi konstitusional, sistem demokrasi yang berdasarkan konstitusi. Lebih jauh dikatakannya bahwa perkembangan dan konvergensi gagasan demokrasi dan nomokrasi yang memunculkan konsep negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi berdasarkan hukum. Demokrasi dipilih karena pada dasarnya idenya berlandaskan pada martabat dan kesederajatan manusia. Nilai-nilai inilah yang juga menjadi aspek penting dari tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan karena tujuan akhir kehidupan bernegara adalah untuk kesejahteraan lahir maupun bathin.13 Prinsip ini sesuai pula dengan adegium hukum yang sangat terkenal yang diungkapkan oleh seorang pakar hukum kenamaan Cicero Solus Populi Suprema Lex yang berarti kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi. Adegium dimaksud telah pula dirumuskan oleh para pendiri bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. Yang merupakan visi dan cita-cita tujuan kita bernegara. Yang antara lain adalah mewujudkan kesejahteraan umum. Dalam konteks ini ide dan gagasan Prof. Hamdan Zoelva tetap relevan untuk dikedepankan, lebih lanjut dikatakannya bahwa negara yang menganut prinsip negara demokrasi konstitusional, sekurang-kurangnya melahirkan dua pesan konstitusional yang harus diperhatikan.

Pertama, keberadaan prinsip-prinsip dasar demokrasi dalam Undang-undang Dasar 1945, baik pada pembukaan maupun pasal-pasal, memberikan keyakinan bahwa demokrasi yang dianut bangsa ini bukanlah demokrasi sebagai mekanisme semata, melainkan sebagai suatu sistem yang utuh. Karenanya, di dalam Undang-Undang Dasar 1945 terdapat pula jaminan perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara, hak asasi manusia, hak masyarakat adat, serta arah demokrasi ekonomi nasional. Hal demikian dimaksudkan agar praktik demokrasi tidak salah arah menjadi sekedar pemerintahan mayoritas (majority

rule) yang jelas-jelas akan mengesampingkan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan

tujuan bernegara.

                                                                                                                         

(12)

Kedua, prinsip melahirkan kewajiban bagi kita untuk membangun dan menegakkan demokrasi dan konstitusi (hukum) secara bersamaan dan seimbang. Artinya sekali lagi demokrasi yang diperjuangkan untuk diwujudkan dan untuk ditegakkan adalah demokrasi konstitusional, yakni demokrasi yang dilandasi oleh kesepakatan-kesepakatan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Selanjutnya ditegaskan oleh Prof. Hamdan Zoelva bahwa pelaksanaan demokrasi dan nomokrasi di dalam konsep negara demokrasi konstitusional setidaknya akan tercermin pada tiga aspek utama, yaitu:

1. Pengisian jabatan-jabatan pada organ penyelenggara negara;

2. Pembentukan kebijakan baik legislasi maupun kebijakan administrative lain; 3. Judicial review dan peradilan tata usaha negara.

Sejalan dengan pandangan di atas, terutama terkait dengan judicial review oleh MK sesuai dengan kewenangan konstitusional MK telah mendapatkan tempat dan kedudukan yang pasti dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945. Menurut Dr. Janedjri M Gaffar dalam artikelnya berjudul menegakan konstitusionalisme antara lain mengatakan MK merupakan lembaga negara yang lahir dari peradaban-peradaban negara moderen. Peradaban yang menyelaraskan prinsip demokrasi yang berpanghkal pada kekuatan politik kuantitatif dengan prinsip negara hukum yang berpangkal pada kepatuhan terhadap hukum yang dibuat dan disepakati bersama secara rasional. Penyelesaian konflik dan perbedaan tidak lagi di dasarkan pada kekuasaan dan kekuatan politik, melainkan diselesaikan secara hukum yang putusannya dihormati dan patuhi bersama. Peradaban inilah yang melahirkan dianutnya prinsip demokrasi dan nomokrasi dan konstitusi. Kita tentu berharap waktu demi waktu, tahun-demi tahun peradaban Indonesia semakin matang yang mendukung praktik berdemokrasi dan bernegara hukum. Selanjutnya yang dikatakan Janedjri bahwa berkat dukungan masyarakat dan kerja keras bersama MK telah berhasil menyelesaikan tugas konstitusional memeriksa, mengadili, dan memutus Perselisihan Hasil Pemilu Umum (PHPU) 2014 sebanyak 903 perkara PHPU Legislatif dan satu perkara PHPU Pilpres. Tecatat sebagai jumlah perselisihan hasil pemilu terbanyak sepanjang berdirinya MK. Putusan MK telah mengakhiri konflik konstektasi politik dan sosial hal ini menunjukan adanya penghormatan dan kepatuhan segebap warga masyarakat untuk menerima dan melaksanakan putusan MK yang sekaligus menunjukan adanya penghormatan dan kepatuhan terhadap konstitusi. Lebih jauh ditegaskan kepatuhan terhadap hukum dan putusan lembaga hukum inilah yang perlu dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara guna menegakan konstitusionalisme Indonesia. Sebab menurut mantan Sekjen MK itu prinsip negara hukum atau nomokrasi tidak akan bermakna jika tidak ada penghormatan terhadap hukum dan putusan hukum tanpa adanya penghormatan dan kepatuhan dengan jalan melaksanakan putusan hukum dengan penuh kesadaran

(13)

penyelenggaraan negara akan didominasi oleh pertimbangan kekuasaan dan kekuatan politik semata. Di sisi lain, terdapat masalah bagi MK yakni MK tidak memiliki kekuatan untuk mengeksekusi putusan yang telah dijatuhkan. Semuanya bergantung dan sekaligus merefleksikan kesadaran konstitusional masyarakat dan setiap penyelenggara negara.14

Prof. Yusril Ihza Mahendra pernah mengungkapkan, meskipun Indonesia telah merdeka lima puluh tahun lamanya masih ada hal-hal mendasar dalam kehidupan bernegara kita yang menjadi persoalan secara akademis. Dikatakan demikian, oleh karena secara politik hal-hal demikian mungkin dianggap telah selesai, setidak-tidaknya selesai untuk suatu periode tertentu dalam sejarah politik Indonesia.Diantara hal-hal mendasar itu yang dalam dua dasawarsa belakangan ini menjadi bahan diskusi akademis yang hangat ialah mengenai cita negara yang terkandung di dalam Undang-Undang Dasar 1945.Apakah cita negara itu, bagaimanakah kedudukannya dalam sebuah UUD, dan apakah implikasinya dalam kehidupan bernegara. Di sisi lain, terkait dengan cita negara dalam UUD 1945, pandangan filosofis Prof. Yusril Ihza Mahendra sangat kompatibel memperkaya wawasan dalam makalah ini.

Selanjutnya Prof. Yusril memaparkan dalam menjelaskan makna cita negara para ahli hukum Indonesia pada umumnya merujuk pada pikiran-pikiran seorang sarjana Belanda Bierens de Haans yang dianggap sebagai sarjana yang paling penting dalam memberikan konstribusi akademis dalam masalah ini. Bierens de Haans menggunakan istilah staatsidea yang oleh Prof. Soepomo diterjemahkan dalam istilah dasar pengertian negara atau aliran pikiran negara, Prof. Hamid Attamimi kemudian mempopulerkan istilah cita negara sebagai terjemahan staatsidea untuk mengganti terjemahan Prof. Seopomo yang dinilainya kurang tepat.15

Dalam kutipannya Prof. Yusril menulis, bahwa Bierens de Haans mengemukakan suatu pandangan bahwa negara pada hakikatnya adalah sebuah organisasi yang terdiri atas satuan-kesatuan masyarakat yang lahir karena suatu kehendak tertentu. Adanya masyarakat sebagai sebuah kesatuan terjadi secara alami karena watak manusia sebagai makhluk sosial. Adanya negara tidaklah terjadi secara alamiah, tetapi karena adanya suatu kehendak yang didasari oleh pemikiran-pemikiran tertentu. Kehendak dan pemikiran itu diwujudkan dalam suatu cita (een idee) yang dapat menjembatani kepentingan-kepentingan bersama kesatuan-kesatuan masyarakat tadi. Dengan demikian cita yang ada pada setiap masyarakat yaitu volksgmenschapsidee berubah menjadi cita negara atau

staatside. Menurut Bierens de Haans negara adalah peningkatan lebih tinggi dari                                                                                                                          

14Janedjri M Gaffar, Koran Sindo edisi 6 Januari 2015.

15 Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara Indonesia, Jakarta, Gema Insani Pers, hal. 3-14.

(14)

ide yang berkembang dalam kesatuan-kesatuan masyarakat yang telah ada lebih dahulu sebelum mereka membentuk negara.16

Menurut Prof. Yusril Ihza Mahendra, dengan memahami pengertian cita negara seperti dikemukakan oleh Bierens de Haans tersebut dapat dimengerti mengapa kemudian posisi Prof. Soepomo dianggap demikian penting dalam merumuskan cita negara Indonesia, karena diantara anggota badan penyelidik pada masa pendudukan Jepang yaitu dialah pakar yang paling mengenal cita di dalam masyarakat-masyarakat Nusantara. Demikian pentingnya posisi Prof. Soepomo, sehingga terdapat kecendrungan-kecendrungan dikalangan beberapa akademis hukum dan tokoh politik pada masa sekarang untuk mengecilkan peranan tokoh-tokoh lain yang juga menjadi anggota badan penyelidik. (di masa lalu, justeru pikiran-pikran Soekarno lebih ditonjolkan. Prof. Notonegoro, misalnya, pernah menyebut Soekarno sebagai pencipta Pancasila sebutan yang ditolak oleh Soekarno sendiri). Sehubungan dengan itu, pikiran-pikiran Soepomo yang diucapkan pada tanggal 31 Mei 1945 ketika ia memperkenalkan cita negara integralistik sebagai cita negara yang paling sesuai dengan cita yang terdapat dalam masyarakat asli Indonesia kemudian dijadikan acuan utama memahami maksud pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam pembukaan UUD 1945. Pro dan kontra terhadap cara seperti itu dengan jelas dapat dibaca, misalnya dalam tulisan-tulisan Abdul Qadir Besar, Prof. Fadmo Wahjono, dan Prof. Hamid Attamimi disatu pihak, dan Prof Ismail Sunni, Marsilam Simanjuntak, dan Dr. Adnan Buyung Nasution di pihak lain.17

Dalam pandangan Prof. Yusril, apa yang dilontarkan oleh Prof. Soepomo pada tanggal 31 Mei 1945 barulah suatu usalan untuk menjawab permintaan Dr. Rajiman Widyoningrat tentang apakah yang akan menjadi Philosophische

grondslag Indonesia merdeka nanti. Sayangnya hingga kini yang dipublikasikan

hanyalah pidato Soekarno, Yamin, dan Soepomo, sedangkan naskah pidato tokoh-tokoh lain menurut Soepomo, ada tiga delapan orang yang berbicara pada sidang pertama badan penyelidik dan semuanya dapat dikatagorikan ke dalam dua golongan, yaitu golongan kebangsaan dan golongan agama. Tidak diketahui lagi rimbanya. Namun demikian, dua aliran ini masih dapat dibaca dengan jelas di dalam notulen persidangan badan penyelidik yang ada sekarang. Mengingat hal ini, maka, menurut Prof Yusril Ihza Mahendra berpendapat untuk memahami secara lebih mendalam maksud-maksud yang terkandung di dalam pembukaan UUD 1945 yang mengandung cita negara Indonesia itu, ia harus dilihat dari hasil kompromi pihak-pihak anggota badan penyelidik yang mewakili dua golongan yang disebut oleh Soepomo tadi. Jika uraian Soepomo di dalam sidang-sidang badan penyelidik di simak dengan hati-hati, maka acuan yang lebih tepat adalah

                                                                                                                          16 Ibid, Hal. 4

(15)

bukan pidatonya pada tanggal 31 Mei 1945 seperti dilakukan oleh Abdul Qadir Besar dan dalam beberapa hal juga oleh Hamid Attamimi tetapi pidato terakhirnya pada tanggal 16 Juli 1945 dalam pidato yang terakhir ini, Soepomo menunjukan suatu kompromi yang sangat longgar dengan cara menampung berbagai pikiran yang dilontarkan oleh para tokoh dalam sidang-sidang badan penyelidik sebelumnya. Simak apa yang dikatakan oleh Soepomo mengenai pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam pembukaan18 :

1. “Negara jang begitoe boenjinja—“ negara jang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seloeroeh toempah darah Indonesia bagi seloeroeh rakjat Indonesia” ini terkandung dalam pembukaan tadi saja soedah katakan, oleh karena itoe, kita menolak bentoekan negara jang berdasar individualisme dan djoega kita menolak bentoekan negara sebagai klasse-staat, sebagai negara jang hanya mengoetamakan satoe golongan, oempamalah mengoetamakan klassa pekerdja, proletariat, klassa pekerdja dengan menerimanja pemboekaan ini, sebab dalam pemboekaan ini, kita menerima aliran, pengertian negara persatoen, negara jang melindungi dan melipoeti segenap bangsa seloeroehnja. Djadi negara mengatasi segala golongan, mengatasi segala paham golongan, mengatasi paham perseorangan. Akan tetapi negara, menurut pengertian di sini menghendaki persatoean-persatoean meliputi seloeroehnja, segenap bangsa seloerohnja, seluruh rakyat. Itu satu hal harus tidak boleh kita lupakan.

2. Tadi soedah diuraikan oleh ketua panitia penyelnggara Undang-Undang Dasar, negara kekeluargaan yang mendasar atas hidup kekeluargaan dan bukan saja hidup kekeluargaan kedalam, akan tetapi juga keluar. Di sini telah termaksoed dalam pemboekaan negara yang menimbulkan hidup kekeluargaan Asia Timur Raja, jadi dengan ini, dengan menerima ini kita dijaga menerima aliran pikiran yang akan membentoek negara kekeluargaan, tidak sadja terhadap kepada negaranya, akan tetapi keluar yaitu kita sebagai anggauta dari persoalan bangsa-bangsa asia timur radja dalam linggungan asia timur radja. Dengan inipun kita insaf pada kedudukan Indonesia sebagai lingkungan Asia Timur Radja.

3. Pokok yang ketiga yang terkandung didalam pemboekaan, ialah negara yang berkedaultan rakjat, berdasarkan kerakjatan dan permusyawaratan perwakilan. Itu pokok yang terkandung dalam pembukaan. Oleh karena itu, sistem negara yang nanti akan terbentuk dalam UUD juga harus demikian berdasar atas kedaulatan rakjat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan, memang aliran-aliran ini juga sesuai dengan masyarakat-masyaraakat Indonesia yang pada waktu persidangan Dokuritzu Syunbi Tjoosakai pertama juga sudah diuraikan juga di sini.

                                                                                                                          18 Yusril Iza Mahendra, hal. 5-7.

(16)

4. Pokok pikiran jang keempat jang terkandung dalam pembukaan ialah negara Indonesia memperhatikan keistimewaan pendoedoek yang terbesar dalam lingkungan daerahnya ialah pendoedoek jang beragama Islam oleh karena di sini dengan begitu terang dikatakan negara berdasar Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya. Dengan itu negara memperhatikan keistimewaan pendoedoek jang terbesar, ialah jang beragama Islam sebagai kemarin dengan panjang lebar juga telah diuraikan dan sesudahnya Tuan Abi Kusno berpidato sidang dewan bulat mufakat, tentang pasal ini.

5. Perkataan-perkataan ini hasil agreement, dari dua golongan yang dinamakan goelongan kebangsaan dan goelongan agama. Oleh karena itu, pasal ini harus terpegang teguh. Artinya sudah kita kompromi soepaya kita dapat mempersatukan keduanya. Kemarin juga gentlemeen agreement itu berarti memberi dan menerima, tetapi atas dasar kompromi itu,

gentlemeen agreement itu kedua-kedua pihak tidak boleh menghendaki

lebih dari pada jang dikompromikan. Sebab kalau bigitu, melanggar kepada dasar kemanusiaan yang telah kita terima dan dasar keutamaan yang telah kita terima dalam pembukaan dalam panitia sebetulnya panitia malah bertindak lebih dari tidak hanya kata-kata dan dalam pembukaan ini. Panitia, Toean-toean Kjiai Wahid Hasyim dan Agus Salim dan juga wakil-wakil dari golongan yang tidak golongan Islam, misalnya toean Latuhari, Maramis djuga ada di sitoe.

Lebih jauh Prof. Yusril menguraikan19, dalam uraian poin kesatu dan kedua di atas, jiwa pidato Soepomo tanggal 31 Mei 1945 tetap terasa dengan jelas walau ia tidak lagi menggunakan istilah integralistik. Dalam poin ketiga, Soepomo sudah bersikap akomodatif dengan ide kedaulatan rakyat yang tidak disinggungnya dalam pidato tanggal 31 Mei 1945 sedangkan dalam poin keempat dan kelima jelas sekali ia bersikap akomodatif dan kompromistis terhadap aspirasi golongan Islam sebab dalam pidato tanggal 31 Mei dengan tegas ia menolak negara berdasar Islam dan menghendaki negara persatuan nasional yang memisahkan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan, ucapan Soepomo dalam poin keempat yaitu pokok pikiran yang keempat yang terkandung dalam pembukaan, ialah negara Indonesia ialah memperhatikan keistimewaannya penduduk yang terbesar dalam lingkungan daerahnya, ialah penduduk yang beragama Islam.20

Jelas sekali tidak sejalan dengan konstruksi cita negara integralistik yang dikemukakan sebelumnya. Sebab, cita negara integralistik menghendaki negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi golongan dalam lapangan

                                                                                                                         

19 Yusril Ihza Mahendra, Hal. 7-14. 20 Ibid.

(17)

apapun dengan sendirinya akan menolak keistimewaan kepada golongan manapun termasuk golongan penganut agama terbesar di Indonesia. Ini sekali menunjukan bahwa Soepomo telah bersikap kompromoistis dan meninggalkan gagasan integralistiknya yang terdahulu. Penegasan bahwa Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat seperti dikemukakan dalam badan penyelidik tanggal 16 Juli 1945 di atas, dikemukakan kembali oleh Soepomo dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945.

Dengan uraian ini jelas kiranya bahwa kecenderungan ahli hukum Indonesia seperti Prof. Hamid Attamimi untuk memahami pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 dengan semata-mata merujuk pada pandangan Soepomo dalam pidato tanggal 31 Mei 1945 adalah pandangan yang tidak adil dan berat sebelah. Lebih keliriru jika dianggap bahwa negara integralistik yang dikemukakana oleh soepomo pada tanggal 31 Mei 1945 itu adalah cita negara yang terkandung di dalam UUD 1945, seperti anggapan Abdul Qadir Besar juga, suka menerima pandangan Prof. Fatmo Wadjono bahwa yang berlaku dalam cita negara integralistik Soepomo plus koreksi Hatta mengenai dimasukannya pasal-pasal mengenai hak asasi yang semula dianggap Soepomo dianggap tidak sesuai dengan konstruksi cita negara yang di kandung oleh pembukaan UUD 1945 itu adalah cita negara Pancasila yang rumusan awalnya termaksud dalam Piagam Jakarta sebagai hasil kompromi antara golongan kebangsaan dan golongan Islam meskipun disadari bahwa hal-hal yang berhubungan dengan Islam di dalm piagam itu telah dihilangkan dalm persidangan PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, semangat piagam jakarta (khususnya hal-hal yang berhubungan dengan Islam), seperti yang dikatakan oleh Mohammad Hatta dan Kasman Singdimedjo tidaklah lenyap. Pandangan Hatta dan Kasman ini sejalan dengan konsideran Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menegaskan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian dengan konstitusi tersebut. Dekrit presiden itu seperti dikatakan oleh Prof. Lukman, adalah suatu revolusi hukum yang berlaku secara eenmalig artinya sekali berlaku tidak dapat dicabut lagi, penerimaan terhadap dekrit telah dilakukan secara aklamasi oleh DPR hasil pemilu 1955. Kedudukan Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden 5 Juli kemudian dikukuhkan oleh DPR-GR tentang sumber tertib hukum yang kemudian dikukuhkan oleh MRS.

Pengembangan cita negara integralistik yang didsarkan pada pidato Soepomo tanggal 31 Mei 1945 dewasa ini berjalan cukup jauh. Dalam pidatonya yang pertama itu, Soepomo menyebutkan bahwa susunan ketatanegaraan asli Indonesia terdapat di desa-desa. Apa yang dibayangkan Soepomo dengan ketatanegaraan asli di desa itu terdapat pada konsep bersatunya pemimpin (kepala desa) dengan rakyatnya. Dalam konteks negara, Soepomo berpendirian bahwa

(18)

para pejabat negara ialah pemimpin yang bersatu jiwa dengan rakyat, antara pejabat negara senantiasa berwajib memegang teguh persatuan dan keimbangan dalam masyarakatnya, konsep persatuan dan pemimpin oleh Soepomo sebagai persatuan antara kaula dan gusti yaitu persatuan anatara dunia luar dan dunia batin, antara mikro kosmos dan makro kosmos dengan konsep demikian, Soepomo berpendapat bahwa tidaklah menjadi soal, apakah negara Indonesia merdeka itu akan menjadi republik ataukah akan menjadi monarki. Yang penting ialah kepala negara menyatu dengan rakyatnya sesuai dengan paham mistik tradisional di atas.

Namun, sebagaimana ternyata di dalam persidangan badan penyelidik, mayoritas anggota menghendaki bentuk republik dengan prinsip kepala negara di pilih oleh rakyat bukan warisan turun-menurun. Soekiman Wirdosanjojo, misalnya, salah satu seseorang dari golongan Islam, berpendapat bahwa konsep Islam menurut tradisinya yang awal seorang khalifah bukanlah seorang raja. Khlaifah pertama menurutnya, mendeteksi sistem republik yang dikenal di dunia modern, Soepomo akhirnya juga setuju dengan sistem republik. Dalam rancangannya dalam pasal undang-undang ia adalah ketua panitia penyusunnya tanpak bahwa konsepnya tentang kepala negara sebagai peningkatan konsep kepala desa, konsep kepala desa dalam struktur ketatanegaraan negar Indonesia yang asli telah mengalami banyak perubahan. Dalam hal ini, Prof Yusril Ihza Mahendra sependapat dengan Dr. Setyapati Javeri dalam disertasinya di Universitas Bombay tentang lembaga kepresidenan republik Indonesia, menurut Javeri konsep lembaga kepresidenan republik Indonesia di dalam UUD 1945 dipengaruhi oleh tiga aliran pemikiran, yaitu aliran politik demokrasi modern dari barat (antara lain dikemukakan oleh Yamin), aliran pemikiran tradisional Indonesia seperti dikemukakan Soepomo, dan aliran pemikiran morenisme islam (seperti dikemukakan oleh Soekiman).

Dengan demikian, mencoba menafsirkan konsep kepemimpinan negara di dalm UUD 1945 dengan semata-mata melihat konsep-konsep mistik jawa dengan merujuk kepada pandangan-pandangan sultan agung dari mataram dan pandangan dari mistikus jawa Mangun Wijaya tentang union mistik seperti dilakukan oleh Abdul Qadir Besar, pada hemat saya adalah kurang jujur dan bersifat sepihak pandangan ini justeru mencerminkan pandangan satu golongan yang tidak sejalan dengan konsep integralistik itu sendiri, yang menekankan negara mengatasi paham golongan, apalagi paham perseorangan.

Konstitusi Indonesia, UUD 1945 adalah konstitusi negara modern yang disusun dengan mempertemukan dengan alirean-aliran para penyusunnya konsep presiden dalam UUD 1945 tidak semata-mata menggambarkan konsep manunggaling kaula gusti tetapi merupakan konsep rasional dengan batas-batas kekuasaan serta tugas dan wewenang yang jelas, juga pengawasan dari

(19)

lembaga-lembaga kenegaraan modern, serta bertanggungjawab pada satu lembaga-lembaga pula. Mekanisme demikian sama sekali tidak dikenal konsep kepemimpinan tradisional masyarakat pewdesaan Indonesia. Karena itu, idealisasi yang agak berlebihan tentang masyarakat desa denga struktur pemerintahan yang dianggap sebagai susunan ketatanegaraan yang asli dan memandang negara moderen republik Indonesia merupakan peningkatan sebuah republik desa, agaknya patut direnungkan kembali. Sebab, dalam paham negara integralistik, seperti dikatakan oleh Prof. Hamid Attamimi, kepala negara dipersamakan dengan kepala desa yang bukan hanya pemimpin masyarakat melainkan juga sesupuhnya. Kepala desa mewujudkan rasa keadilan rakyat dan cita-citanya. Seperti halnya dengan kepala desa yang senantiasa bermusyawarah dengan warga desa atau dengan kepala keluarga dalam desa, kepala negara dan kepala lembaga-lembaganya juga merupakan pemimpin yang sejati pemimpin yang di idam-idamkan oleh rakyat.

Konsep integralistik Soepomo membayangkan suatu desa sebagai sesuatu yang ideal adalah hasil reduksi yang abstrak. Idealisasi desa yang seperti itu cenderung mengabaikan kelemahan-kelemahan yang mungkin dimiliki oleh kepala desa. Juga mengabaikan faktor kekuasaan yang lebih tinggi, yang justru cenderung eksploitatis terhadap desa melalalui kepala desa. Juga mengabaikan kemungkinan timbuknya kekuatan-kekuatan oposisi tehadap kepala desa yang juga mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi tertentu. Di zaman modern sekarang ini pun, desa yang diakui oleh undang-undang pemerintahan desa sebagai otonom, dengan kepala desa dipilih langsung oleh rakyat, dalam realitasnya jauh dari idealisasi Soepomo. Benarkah kepala desa sekarang ini hasil dari penjelmaan konsep manunggaling kaula gusti, dengan mengesampingkan segala macam kepentingan baik dari atas maupun dari bawah, misalnya ketika pemilihan langsung kepala desa?

Mengingat adanya perbedaan pemahaman cita negara di dalam pembukaan UUD 1945, maka cara paling adil untuk memahaminya adalah dengan menyimak secara mendalam proses penyusunan UUD 1945. Penjelasan UUD 1945 menegaskan, UUD manapun tidak dapatkan dipahamkan, kalau dibaca teksnya saja untuk dapat mengerti sungguh-sungguh maksud UUD suatu negara, kita juga harus mempelajari bagaimana terjadinya teks itu, mengetahui keterangan-keterangannya, dan juga harus mengetahui dalm suasana apa teks itu dibuat. Dengan demikian, kita dapat mengerti apa maksudnya undang-undang yang kita pelajari, aliran pikiran apa yang mendasari undang-undang itu. Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penjelsan UUD 1945 menyuratkan penafsiran historis dalam sebuah UUD terutama UUD 1945 sendiri. Dewasa ini, ada kecenderungan untuk meninggalkan metode penafsiran historis dan menonjolkan penafsiran semantik. Jika penafsiran historis dilakukan kita akan lebih lapang dada membaca UUD 1945 itu dan tidak perlu melihatnya sebagai

(20)

barang keramat dan anggapan-anggapan yang lebih kurang sejenis dengan itu. Simak maksud yang terkandung dalam aturan tambahan UUD 1945 : (1) Dalam enam bulan sesudah akhirnaya peperangan Asia Timur Raya, presiden republik Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam UUD ini. (2) dalam enam bulan setelah majelis permusyawaratan dibentuk majelis itu bersidang untuk menegakkan UUD.

Jika kita baca dengan seksama notulen rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945, jelaslah maka dalam masa enam bulan presiden sudah harus membentuk lembaga-lembaga ttinggi dan tertinggi negara (MPR) yang disebutkan di dalam UUD 1945. Dalam enam bulan sesudah MPR terbentu, maka majelis itu bersidang untuk mentapkan UUD. Jadi, adawaktu yang limitatif, yaitu setahun sesudah berakhirnya perang Asia Timur Raya (Agustus 1945), MPR sudah harus bersidang untuk menetapkan UUD. Ratulangi waktu itu mengusulkan agar tenggang waktu itu diperpendek, jangan satu tahun, tetapi enam atau tujuh bulan saja, ia juga mengusulkan agara presiden membentuk panitia yang terdiri dari atas dua atau tiga orang, yang diwajibankan memeriksa anggaran hukum dasar dengan tenang. Ratulangi mulanya tidak setuju dengan istilah menetapkan UUD, ia mengusulkan agar dalam masa enam bulan itu MPR bersidang untuk membarui UUD tetapi Soepomo menjawab bahwa menetapkan itu dengan sendirinya akan membarui. Ratulangi bertanya lagi, tetapi saya mau bertanya lagi, paduka tuan ketua, siapa yang akan mengikhtiarkan pekerjaan menetapkan UUD? Soekarno menjawab bahwa draft pembaharuan UUD itu akan dikerjakan oleh pemerintah. Dengan membaca notulen tentang usulan perumusan tambahan dalam UUD 1945, pikiran-pikiran berbau mistik dalam memandang UUD 1945 sebenarnya tidak perlu. Para penyusun UUD itu sendiri menyadari ada limitasi waktu yang menjadi pegangan untuk memperbarui UUD. Jadi, ia bukan barang keramat malainkan merupakan revoluti Groondwet seperti dikatakan Soekarno. Karena demikian, maka UUD harus dipandang rasional dengan pikiran jernih. Poin kedua penjelasan di atas menyuratkan pentingnya aliran pikiran yang menjadi dasar UUD tesebut. Poin kedua ini berkaitan erat dengan cita negara di dalam pembukaan UUD 1945, yang pada hemat saya tidak dapat dilihat secara sepihak denga hanya menghubungkannya dengan cita negara integralistik Ssoepomo. Ia harus dihubungkan dengan pokok-pokok pembukaan sebagai hasil kompromi sebagai aliran-aliran pemikiran dalam badan penyelidik. Kompromi tersebut tidak lain adalah lima dasar Pancasila.

Jadi, pemahaman harus diletakakan pada prinsip kompromistis ini. Bukan dikembalikan secara sepihak kepada gagasan Soepomo atau gagasan tokoh-tokoh lain, atau juga dikembalikan kepada pikiran-pikiran golongan kebangsaan atau golongan Islam saja. Perspektif kompromistis itulah yang justeru dapat mempersatukan aspirasi masyarakat Indonesia pemaksaan terhadap salah satunya

(21)

akan berakibat penolakan oleh yang lain, baik terang-terangan atau pun dengan hanya menggerutu.

Menurut prof. Hamdan Zoelva dalam ringkasan desrtasinya21 mengatakan menurut Walter F Murphy, dalam tulisannya Constitutions, Constitutionalisme and Democracy menegaskan bahwa teori demokrasi konstitusional lahir dari penyatuan dua teori, yaitu teori demokrasi dan teori konstitusionalisme. Prinsip demokrasi dan prinsip konstitusional yang dijalankan secara terpisah menimbulkan ketidakpuasan, karena pada satu sisi, demokrasi yang prinsip kebebasan yang berpegang pada prinsip mayority rules dapat mengancam hak-hak dan kebebasan dasar minoritas dalam suatu masyarakat negara serta dapat menimbulkan tirani mayoritas atas minoritas. Pada saat yang sama demokrasi juga dapat melahirkan negara tanpa negara. Artinya, fungsi negara sangat pasif tanpa kontrol. Pada sisi lain, penerapan prinsip konstitusionalisme yang terlaku kaku akan melahirkan kebijkan negara yang kaku, terdapat kebijakan yang tidak dikehendaki oleh rakyat. Hal itu karena hakikat konstitusionalisme adalah penghormatan atas aturan-aturan yang termuat dalam teks konstitusi. Karena itulah lahir konsep baru yang disebut konsep demokrasi konstitusional.

Menurut Walter F Murphy, konsep demokrasi dan konstitusionalisme sebenarnya sama-sama mengakui sentralitas harkat kemanusiaan (human dignity) yaitu penghormatan pada harkat kemanusiaan sebagai yang mendasri pada konsep tersebut perbedaan keduanya adalah bagaimana cara terbaik untuk melindungi nilai-nilai tersebut melaui pembatasan tindakan pemerintah, konstitusionalme mencoba menurunkan ketegangan politik, untuk membatasi resiko akibat kebebasan dan martabat (dignity) yang timbul dari masyarakat politik. Di sini konstitusionalisme bertujuan untuk menjamin dihiormatinya harkat kemanusiaan, sedangkan teori demokrasi didasarkan pada anggapan bahwa harkat kemanusiaan harus dihormati karena terlahir demikian. Orang dewasa menikmati tingkat otonomi yang luas, suatu status yang pada prinsipnya dapat dicapai dalam dunia moderen dengan partisipasinya dalam pemerintahan pada komunitasnya. Teori konstitusionalisme berusaha untuk membatasi resiko-resiko kesewenang-wenangan sekelompok orang melalui perlindungan hak-hak setiap orang untuk terlibat dalam proses pemerintahan.

Kajian ini kian atraktif jika diperkaya dengan pandangan Prof. Saldi Isra – Guru Besar HTN dan Direktur Pusat Studi Konstitusi pada FH Universitas Andalas Padang, dalam artikelnya: Konstitusi, Konstitusionalisme, dan Demokrasi Konstiyusional,( Harian Media Indonesia, 22 Agustus 2016). Dikatakannya, secara sederhana, konstitusionalisme ialah paham penyelenggaraan negara, yaitu adanya pembatasan kekuasaan di antara cabang- cabang kekuasaan

                                                                                                                         

21Hamdan Zoelva dalam ringkasan desrtasi: Pemakzulan Presiden di Indonesia. hlm.17.

(22)

negara. Pembatasan itu kemudian melahirkan konsep checks and balances di antara lembaga negara. Pembatasan itu juga dibangun dalam desain adanya jaminan terhadap hak dasar warga negara sekaligus menimbulkan kewajiban melindungi hak- hak dasar tersebut. Selanjutnya dikatakannya Demokrasi Konstitusional ialah pemerintahan yang kekuasaan politik dan kekuasaan pemerintah dibatasi konstitusi atau UUD. Mengutip pendapat Prof. Miriam Budiardjo, lanjut Prof. Saldi menulis, demokrasi konstitusional merupakan gagasan bahwa pemerintaahan demokratis adalah pemerintahan yang terbatas kekuasaannya. Pandangan demikian sejalan dengan tujuan dibentuknya konstitusi sebagai langkah konkrit melakukan pembatasan kekuasaan22.

Lebih jauh, kedua teori ini saling membutuhkan satu sama lain. Secara teori, demokrasi dapat menimbulkan tindakan mayoritas yang dapat membatasi dan mengurangi hak-hak substantif minoritas dalam status sosialnya, dan hal ini adalah suatu bahaya. Pada sisi lain, bahaya kepercayaan pada konstitusionalisme yang ketat cenderung melumpuhkan pemerintahan dengan menciptakan sebagai tekanan dengan pembatasan. Pemerintahan dalam tindakannya tidak lebih hanya sebuah tindakan yang memperhitungkan biaya dan keuntungan. Demokrasi pada sisi lain cenderung untuk merespon kepada apakah pejabat yang terpilih merasakan perasaan konstituen mereka akan menjadi masalah sosial yang harus diselesaikan.23

Dalam rangka mencapai suatu pemerintahan yang efektif tetapi masih dibatasi, negara modern telah mengadopsi suatu campuran antara konstitusionalisme dan teori demokrasi. Tiap negara tersebut menyiapkan aturan bagi partisipasi politik rakyat dan secara simultan membatasi orang-orang pemerintahan dengan macam-macam alat kelembagaan. Setiap negara tersebut mencoba untuk membeda-bedakan atau kekuasaan legislatif, eksekutif dan ajudikasi serta berbagai sistem dan kelembagaan lainnya yang diciptakan untuk itu, termasuk juga memberikan kewenanhgan kepada pengadilan Tata Usaha Negara yang dapat membatalkan tindakan eksekutif maupun legislatif yang bertentangan dengan konstitusi. Kemudian dengan pembagian kewenangan yang sama dokumen konstitusi dapat membuatnya seperti tidak ada lembaga yang dapat melakukan banyak hal yang secara politik sangat penting keluar dari kewenangan imperatif dari lembaga yang lainnya. Walter F Murphy menyimpulkan bahwqa “a

constitutional teks can disperse power againts power and protect liberty by pitting ambition againts ambition and power againts power”.24

Dengan demikian, kebebasan yang diberikan berdasar teori demokrasi dibatasi oleh teori konstitusi sehingga prinsip-prinsip kebebasan yang tidak

                                                                                                                         

22  Harian  Media  Indonesia,  edisi,  22  Agustus  2016  

23Hamdan Z, op. cit hlm. 18. 24Ibid.

(23)

menggangu kebebasan serta martabat dari yang lainnya. Pada sisi lain, pendekatan konstitusionalisme tidak kaku, tidak rigit dan tidak mengekang kebebasan dasar manusia maka prinsip demokrasi menjadi alat ukur suatu prinsip konstitusionalisme yang baik. Dari sinilah lahir prinsip legitimasi konstitusioanal (legitimacy of constitutionlity) yang dianggap sebagai prinsip yang sangat ideal dari sebuah negara modern yang dalam prinsip umum lebih dikenal dengan legitimacy legalitas (legitimacy of legality).25

Selanjutnya menurut Dr. Janedjri M Gaffar dalam bukunya Demokrasi dan Pemilu di Indonesidengan mengutip Franz Magnis Suseno SJ mengemukakan bahwa ciri-ciri negara hukum adalah : 1) kekuasaannya dijalankan dengan hukum positif yang berlaku, 2) kegiatan negara berada di bawah kontrol kekuasaan kehakiman yang efektif, 3) berdasarkan sebuah UUD yang menjamin hak asasi manusia, dan 4) menurut pembagian kekuasaan.26

Selanjutnya dalam pandangan A. V. Dicey, the rule of law meliputi tiga konsepsi. Pertama, tidak seorangpun yang dapat dihukum atau dibuat menderitas secara hukum kecuali atas dasar pelanggaran terhadap hukum yang telah dibuat sebelumnya. dalam pengertian ini the rule of law berlawanan dengan pemerintahan yang hanya didasarkan pada kewenangan yang luas atau kekuasaan yang sewenang-wenang. Kedua, the rule of law berarti tidak ada orang yang berada di atas hukum dan setiap orang, apapun derajat dan kondisinya, tunduk di bawah hukum. Ketiga, adanya jaminan hak dan kebebasan personal dalam konstitusi.27

Lebih lanjut Janedjri mengutip pendapat Friedrich Julius Stahl yang mengemukakan empat unsur rechstaat, yaitu : 1) perlindungan hak asasi manusia; 2) pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negara-negara Eropa Kontinental biasanya disebut Trias Politica); 3) pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur); 4) peradilan administrasi dalam perselisihan. Selanjutnya Janedjri mengutip pendapat Von Munch yang berpendapat bahwa unsur negara berdasarkan atas hukum ialah adanya : 1) hak-hak asasi manusia; 2) pembagian kekuasaan; 3) keterikatan organ-organ negara pada UUD dan keterikatan peradilan pada undang-undang dan hukum; 4) aturan dasar tentang proporsionalitas (Verhalnishmassingkeith); dan 5) pengawasan peradilan tyerhadap keputusan-keputusan (penetapan-penetapan) kekuasaan umum.28

                                                                                                                          25Ibid. hlm. 19.

26Janedjri M Gaffar, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2013.h. 50- 51.

27Ibid.

(24)

Sedangkan menurut Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya konstitusi dan konstitusionalisme di Indonesia mengutip prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting negara hukum menurut the International Commition of Jurist : 1) Negara harus tunduk pada hukum; 2) pemerintah menghormati hak-hak individu; dan 3) peradilan yang bebas dan tidak memihak.29

Lebih jauh Prof. Jimly merumuskan sebanyak dua belas prinsip pokok negara hukum yang berlaku di zaman sekarang antara lain : 1) supremasi hukum (Supremacy of Law); 2) persamaan dalam hukum (Equality Before the Law); 3) asas legalitas (Due Proses of Law); 4) pembatasan kekuasaan; 5) organ-organ eksekutif independen; 6) peradilan bebas dan tidak memihak; 7) peradilan tata usaha negara; 8) peradilan tata negara (Constitutional Court); 9) perlindungan hak asasi manusia; 10) bersifat demokratis (Domocratische Rechtstaat); 11) berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare Rechtstaat); 12) transparansi dan kontrol sosial.30

Perkembangan selanjutnya terkait prinsip-prinsip negara hukum (nomokrasi) pada umumnya maupun nomokrasi Islam maka pandangan Prof. M Taher Azhary S.H dalam bukunya negara hukum suatu studi tentang prinsip-prinsipnya dilihat dari segi hukum Islam, implementasinya pada periode negara Madinah dan mas kini, menjadi menarik dan kompatibel untuk dikutip dalam memperkaya kajian ini. Dikatakan Prof Tager Azhary bahwa nomokrasi Islam adalah suatu negara hukum yang memiliki prinsip-prinsio umum sebagai berikut : 1) prinsip kekuasaan sebagai amanah; 2) prinsip musyawarah (musyawarat); 3) prinsip keadilan; 4) persamaan persamaan; 5) prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. 6) prinsip keadilan bebas; 7) prinsip kedamaian; 8) prinsip kesejahteraan; 9) prinsip ketaatan rakyat.31

Kontribusi pemikiran yang senada tentang negara hukum yang demokrasi dan konstitusional juga diberikan oleh Dr. Zainal Arifin dalam artikelnya berjudul negara hukum yang demokratis. Dikatakannya bahwa gagasan negara hukum yang didasarkan oleh prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial dalam masyarakat Indonesia yang bersatu merupakan satu gagasan yang nampaknya didasarkan atas persepsi dari para pendiri negara republik Indonesia terhadap kenyataan sejarah yang pernah di alami bangsa Indonesia. Oleh karena itu, perubhan UUD 1945 yang cukup mendasar dan mengubah paradigma ketatanegaraan adalah Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa : Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

                                                                                                                         

29Jimly Asshiddiqie, konstitusi dan konstitusionalisme di Indonesia, Jakarta: setjen dan Kepanitraan MKRI, 2006. hlm 152.

30Ibid. hlm. 154-161.

31 M Taher Azhary, negara hukum suatu studi tentang prinsip-prinsipnya dilihat dari segi hukum Islam, implementasinya pada periode negara Madinah dan mas kini, Jakarta: PT bulan Bintang, 1992. hlm. 64.

Referensi

Dokumen terkait

f. Mewujudkan sistem mekanisasi pertanian di Indonesia melalui kebijakan pengembangan, pemanfatan, pengawasan dan kelembagaan alat dan mesin pertanian yang sesuai dengan

“Analisis Pengaruh Bauran Pemasaran Terhadap Keputusan Wisatawan Berkunjung ke Taman Hutan Raya Bukit Barisan Tongkoh” dengan membuat perumusan masalah, yaitu:

Dengan hasil penelitian yang diuraikan diatas maka penulis dapat mencapai tujuan yang daharapkan yaitu dapat mengetahui dan bisa menerapkan tentang tugas dan

Penggunaan small sided games dapat dilaksanakan dalam sekolah dengan kondisi lahan yang sempit, dapat diterapkan dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji fisher’s exact test menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara asupan zat besi dengan kejadian anemia

Dalam membahas judul “ Persepsi Pemustaka terhadap Kualitas Pelayanan Referensi di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Provinsi Sulawesi Selatan ” ada beberapa buku

Pemanfaatan (pengambilan) koral/karang dari alam untuk bahan bangunan/kapur/kalsium, akuarium, dan souvenir/perhiasan, serta koral hidup atau koral mati dari alam.

Hasil dari wawancara dengan 4 guru yang terdiri dari wakil kesiswaan, guru PKN, guru BK dan wakil kurikulum dan dianggap tepat untuk mewakili para guru di SMP