• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II RITUS DAN INTEGRASI SOSIAL. Ritus dan integrasi sosial dalam perspektif antropologi merupakan bagian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II RITUS DAN INTEGRASI SOSIAL. Ritus dan integrasi sosial dalam perspektif antropologi merupakan bagian"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

RITUS DAN INTEGRASI SOSIAL

Ritus dan integrasi sosial dalam perspektif antropologi merupakan bagian esensial dari agama dan kebudayaan. Oleh karena itu pada bagian awal bab ini akan dipaparkan secara singkat konsepsi tentang agama dan kebudayaan. Hal ini dipandang penting untuk memahami esensi ritus dan integrasi sosial dalam jalilan kebudayaan dan agama. Bagian keduanya akan memaparkan konsep pengertian dan makna ritus. Bagian ketiga dari bab ini adalah pemaparan konsep integrasi sosial.

Guna membatasi referensi yang sangat banyak dan luas, pemikiran Clifford Geertz dan Viktor Turner akan dijadikan rujukan utama terkait dengan makna dan simbol religius dalam kehidupan keagamaan dan budaya.

2.1. Berawal Dari Interpretasi Kebudayaan dan Agama

Tradisi antropologi masa lalu dipandang sebagai disiplin ilmu yang memiliki kemampuan untuk generalisasi dan menjelaskan apa saja yang dilakukan oleh manusia dalam masyarakatnya. Tradisi itu dibangun atas dasar keinginan untuk menjadikan antropologi sebagai bagian yang sah dari seluruh bangunan ilmu pengetahuan dengan memahami budaya dengan model pendekatan

explanation of behavior (penjelasan perilaku).

Namun Clifford Geertz berpendapat bahwa paradigma tersebut tidak dapat menjelaskan manusia secara utuh. Gagasan tentang kebudayaan tidak bisa diperlakukan seperti hukum gravitasi untuk bidang humaniora dengan daya penjelas tentang apa saja yang hendak diusahakan manusia untuk dilakukan,

(2)

dibayangkan, dikatakan atau dipercayainya. Apabila menggunakan teori seperti yang digunakan oleh para ilmuwan sains, maka tidak akan bisa mendapatkan sesuatu dari manusia, karena manusia hidup dalam suatu sistem yang kompleks yang disebut budaya. Model pendekatan tersebut menurut Geertz lebih sesuai diterapkan untuk penelitian saintis semisal meneliti sekelompok ikan atau lebah.1 Pendekatan fungsional struktural yang menekankan segi-segi fungsional adat atau kebiasaan suatu masyarakat sebatas untuk menyelaraskan dan menciptakan harmonisasi, dapat mereduksi banyak aspek fungsinal yang secara nyata terjadi dalam konteks kebudayaan dan keagamaan manusia:

Tekanan pada keseimbangan sistem-sistem, pada homeostasis sosial, dan pada gambaran-gambaran struktural yang abadi, menghasilkan prasangka demi kepentingan masyarakat-masyarakat yang “terintegrasi baik” di dalam sebuah equilibrium yang stabil dan menghasilkan sebuah kecenderungan untuk lebih menekankan segi-segi fungsional dari adat dan kebiasaan suatu masyarakat daripada menekankan implikasi-implikasi disfungsional adat dan kebiasaan itu.2

Dalam analisis terhadap agama, pendekatan fungsional struktural diatas cenderung statis dan ahistoris serta menghasilkan pandangan-pandangan yang konservatif mengenai peranan ritus serta kepercayaan dalam kehidupan sosial. Kecenderungannya selalu menekankan keselarasan, mengintegrasikan, dan secara psikologis bersifat mendukung pola-pola religius daripada segi-segi yang memecah-belah, disintegratif, dan yang secara psikologis mengacaukan. Agama cenderung dilihat sebagai yang memelihara struktur sosial dan psikologis daripada sebagai sebuah kekuatan untuk mengubah.

234.

1 Daniels L.Pals, Seven Theories of Religion, (Oxford: Oxford University Press, 1996), 2 Geertz, Kebudayaan dan Agama, 72.

(3)

Geertz mengembangkan analisa-analisa sebagai bentuk revisi terhadap teori-teori fungsional dan menekankan perlunya suatu usaha untuk membedakan secara analitis antara segi-segi kultural dan sosial kehidupan manusia dan membahas hal-hal tersebut sebagai faktor-faktor yang berubah secara independen namun saling tergantung satu sama lain. Dalam konteks inilah pendekatan ”interpretasi budaya” diperlukan sebagai upaya memahami kebudayaan manusia.

Dengan percaya pada Max Webber, bahwa manusia adalah seekor binatang yang bergantung pada jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri, saya mengganggap bahwa kebudayaan sebagai jaringan-jaringan itu, dan analisis atasnya lantas tidak merupakan sebuah ilmu eksperimental untuk mencari hukum, melainkan sebuah ilmu yang bersifat interpretatif untuk mencari makna.3

Dapat dikatakan bahwa Geertz memahami analisis budaya bukanlah sebuah sains eksperimental yang mencari suatu kaidah, tapi sebuah sains interpretative yang mencari makna. Sekalipun budaya cenderung memiliki berbagai arti dari para antropolog, namun kata kunci yang sebenarnya adalah “makna”. Ringkasan konsep Cliford Geertz dapat digambarkan sebagai berikut:

Skema 1: Skema Berpikir Cliford Gertz Dalam Interpretasi Budaya dan Agama.

(4)

Geertz menggambarkan kebudayaan sebagai sebuah pola makna-makna (pattern of meaning) atau ide-ide yang termuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat menjalani pengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan kesadaran mereka melalui simbol-simbol itu.4 Kebudayaan adalah seperangkat mekanisme-mekanisme kontrol, yaitu rencana-rencana, resep- resep, aturan-aturan, instruksi-instruksi dalam hal mana manusia tergantung pada mekanisme-mekanisme kontrol atau program-program kultural tersebut untuk mengatur tingkah lakunya.5 Berkaitan dengan agama, Geertz mendefinisikan kedalam lima kalimat, yang masing-masing saling mempunyai keterkaitan:

Agama sebagai sebuah sistem budaya berawal dari sebuah kalimat tunggal yang mendefinisikan sebagai: 1) Sebuah sistem simbol yang bertujuan; 2) Membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang dengan cara; 3) Merumuskan tatanan konsepsi kehidupan yang umum; 4) Melekatkan konsepsi tersebut pada pancaran yang factual; 5) Yang pada akhirnya konsepsi tersebut akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik.6

Definisi diatas cukup menjelaskan secara runtut keseluruhan keterlibatan antara agama dan budaya. Pertama, sistem simbol adalah segala sesuatu yang membawa dan menyampaikan ide kepada seseorang. Ide dan simbol tersebut bersifat publik, dalam arti bahwa pikiran pribadi individu yang memikirkan simbol tersebut, mengikuti kesepakatan dan kehendak kolektif. Kedua, dengan adanya simbol, agama dapat menyebabkan seseorang merasakan, melakukan atau termotivasi untuk tujuan- tujuan tertentu. Orang yang termotivasi tersebut akan dibimbing oleh seperangkat nilai yang penting, baik dan buruk maupun benar dan salah bagi dirinya. Ketiga, agama bisa membentuk konsep-konsep tentang tatanan

4 Clifford Geertz, Religion as a Cultural system, 89; Geertz, Kebudayaan & Agama, 89. 5 Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 55.

(5)

seluruh eksistensi. Dalam hal ini agama terpusat pada makna akhir (ultimate

meaning), atau suatu tujuan pasti bagi dunia. Keempat, konsepsi–konsepsi dan

motivasi tersebut membentuk pancaran faktual yang oleh Geertz diringkas menjadi dua, yaitu agama sebagai “etos” dan agam a seba gai “pandangan

hidu p ” . Kelima, pancaran faktual tersebut akan memunculkan ritual unik yang

memiliki posisi istimewa dalam tatanan tersebut, yang oleh manusia dianggap lebih penting dari apapun.7

Geertz memberi contoh upacara ritual di Bali sebagai pencampuran antara etos dan pandangan dunia. Pertempuran besar antara dukun sihir Rangda dan Monster Barong aneh. Penonton terhipnotis masuk dalam tontonan tersebut dan mengambil posisi mendukung salah satu karakter, yang pada akhirnya ada beberapa yang jatuh tidak sadarkan diri. Drama tersebut bukan sekedar tontonan, melainkan kegiatan ritual yang harus diperankan. Agama di Bali sangat khas dan spesifik hingga tatanan tersebut tidak bisa diubah menjadi suatu kaidah umum bagi semua agama. Dengan demikian Geertz menyimpulkan bahwa pertama, orang harus menganalisa serangkaian makna yang terdapat dalam simbol-simbol agama itu sendiri, dan ini adalah suatu pekerjaan yang tidak mudah. Tahap kedua adalah, karena simbol berhubungan dengan struktur masyarakat dan psikologi individu para anggotanya, maka jika dibuat tranfigurasi segitiga, yang satu memiliki arti simbol, yang satunya masyarakat dan satu lagi psikologi individual,

(6)

merupakan arus pengaruh dan efek terus menerus yang lewat dari dan diantara ketiganya di dalam sistem budaya agama.8

2.2. Memahami Ritus

2.2.1. Pengertian, Fungsi dan Makna

Pada umumnya para penganut teori rasionalis menganggap ritus hanya sebagai suatu terjemahan lahiriah dari inti agama yaitu konsepsi dan keyakinan. Konsepsi dan keyakinan itulah yang terpenting dari suatu kehidupan keagamaan dalam masyarakat tradisional. Namun dalam banyak pandangan antropologi sosial, pendapat rasionalis diatas tidak dapat dibenarkan. Mengutip pendapat Durkheim, Evans Pritchard mengatakan bahwa untuk memahami agama primitif kita harus mencarinya dalam ritus.9 Dengan kata lain untuk memahami keberadaan dan kehidupan suatu masyarakat beragama, maka harus memahami ritus yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.

Secara global ritus-ritus yang terdapat dalam masyarakat dapat dikategorikan berdasarkan musim yang terdiri atas: Pertama, ritual musiman yaitu jenis-jenis ritual peralihan musim atau fase, yang dilaksanakan secara bulanan, masa tanam, buah pertama, panen maupun pasca panen. Kedua, ritual bukan musiman seperti ritus-ritus kelahiran, ritus inisiasi, ritus perkawinan, dan ritus kematian10.

Bagi Clifford Geertz sejalan dengan pemahamannya tentang kebudayaan dan agama, ritus merupakan pancaran faktual dari agama itu sendiri sebagai bagian dari sistim kebudayaan. Ritus merupakan perwujudan suasana hati dan

8 Geertz, Religion as a Cultural Sistem, 114-117 9 Pritchard, Teori-Teori Tentang Agama Primitif, 69. 10 Dhavamony, Fenomenologi Agama, 178.

(7)

motivasi, konsepsi kehidupan yang umum, dan menjadi suatu realitas yang unik serta penting. Ritus mengekspresikan etos dan pandangan hidup suatu masyarakat.11 Dapat dikatakan bahwa ritus merupakan pertunjukan makna (Etos, pandangan hidup, suasana hati, motivasi, nilai estetika) serta simbol religi yang merupakan perwujudan pengetahuan, pengakuan dan kesadarannya tentang kehidupan. Dengan demikian ritual disini bukan sekedar acara seremonial tanpa makna, namun menjadi sebuah jalinan dan tenunan makna yang terekspresikan melalui simbol-simbol religius dan perilaku sosial religiusnya.

Hal ini juga menjadi penekanan bagi Victor Turner yang memberikan pengertian ritual sebagai perilaku tertentu yang bersifat formal, dilakukan dalam waktu tertentu secara berkala, bukan sekedar rutinitas yang bersifat teknis, melainkan menunjuk pada tindakan yang didasari oleh keyakinan religius terhadap kekuasaan atau kekuatan-kekuatan mistis.12 Lebih jauh Turner menegaskan ritus merupakan penampakan dari keyakinan religius dan praktek- prakteknya. Ritus mendorong orang-orang untuk melakukan dan menaati tatanan sosial tertentu. Ritus-ritus memberikan motivasi dan nilai-nilai pada tingkat yang paling dalam. Dalam ritus, manusia mengungkapkan nilai-nilai yang dianutnya.13 Penekanan Turner menggambarkan bahwa ritus merupakan tindakan atau perilaku religius yang terus dilakukan berulang-ulang untuk mengungkapkan nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat secara kolektif. Ritus memiliki peranan dalam masyarakat antara lain menghilangkan konflik, mengatasi perpecahan, serta

11 Geertz, Kebudayaan & Agama, 5.

12 Victor Turner, The Forest of Symbol, Aspects of Ndembu Ritual (Ithaca and London: Cornel University Press, 1966), 19

(8)

membangun solidaritas. Oleh karena itu ritus haruslah dipandang sebagai bagian dari masyarakat dan merupakan suatu proses yang terus terjadi karena ritus mengiringi setiap perubahan yang terjadi dalam masyarakat baik secara sosial yang nampak, maupun aspek moral dan bathiniahnya. 14

2.2.2. Simbol Dalam Ritual

Pentingnya simbol dalam ritual bahkan kebudayaan manusia, telah menjadi perhatian para antropolog sosial. Emile Durkheim misalnya menekankan bahwa keyakinan religius suatu masyarakat diwujudkan dalam bentuk totem yang menjadi benda-benda suci yang disembah dan ritus merupakan aturan-aturan tingkah-laku yang menentukan bagaimana seorang hendaknya bersikap terhadap kehadiran benda-benda suci.15 Demikian pula bagi Clifford Geertz dan Victor Turner. Keduanya sama memiliki pandangan tentang simbol (benda maupun perilaku) sebagai bagian yang esensial dan substansial dalam kehidupan suatu masyarakat budaya dan agama. Secara umum berpandangan bahwa sistem simbol adalah segala sesuatu yang membawa dan menyampaikan ide kepada seseorang.

Bagi Geertz , agama merupakan sistim simbol yang menyampaikan ide atau pengetahuan pada seseorang dan menyebabkan seseorang merasakan, melakukan atau termotivasi untuk tujuan- tujuan tertentu. ide dan simbol bersifat publik, dalam arti meskipun masuk dalam pikiran pribadi individu, namun dapat dipegang terlepas dari otak individu yang memikirkan simbol tersebut. Simbol dalam agama memiliki makna yang harus dikaji dan dinalisa untuk memahami

14 Y.W. Wartaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor Turner, (Yogyakarta :Kanisius, 1990), 68; Dalam Penelitiannya terhadap masyarakat Ndembu, ritus krisis hidup menggambarkan bahwa proses ritus melewati tiga tahap yaitu pemihasan, transisi (liminalitas), dan pengintegrasian kembali.

(9)

kehidupan suatu masyarakat beragama. Simbol berhubungan dengan struktur masyarakat dan psikologi individu para anggotanya. Dalam transfigurasi hubungan antara makna simbol, masyarakat dan individu anggota masyarakat, terjadi arus pengaruh dan efek terus menerus yang lewat dari dan diantara ketiganya di dalam sistem budaya agama.16

Sedangkan Victor Turner melihat simbol sebagai kesatuan terkecil dari ritus yang masih mempertahankan sifat-sifat spesifik tingkah lakunya dalam ritual. Simbol merupakan kesatuan paling fundamental dari ritus. Simbol merupakan manifestasi yang tampak dari ritus. Melalui simbol-simbol orang dapat mengungkapkan dan mengalami sesuatu yang transenden. Simbol ritual bagi Turner adalah sesuatu yang hidup, terlibat dalam proses hidup sosial, kultural dan religius.17 Hakekat bentuk simbol yang mendasar dan kuat serta tersebar luas dalam kehidupan manusia adalah karena simbol-simbol tersebut bersumber pada hakekat awal mula manusia itu sendiri yang dinamakan sebagai dan berasal dari dalam “pengalaman biologi yang primordial”.18 Ciri khas simbol menurut Turner terbagi atas tiga yaitu multivokal (banyak arti), polarisasi simbol dalam dua kutub yaitu fisik dan ideologis atau normatif, serta unifikasi atau penyatuan dari arti-arti yang terpisah. Turner juga menekankan tiga dimensi arti simbol: Pertama, dimensi eksegetik yaitu mencakup penafsiran yang diberikan oleh informan asli kepada peneliti. Penafsiran ini mencakup apa yang dikatakan tentang simbol- simbol ritual mereka. Kedua, Dimensi operasional yang mencakup tidak hanya penafsiran yang diucapkan secara verbal, tetapi juga apa yang ditunjukkan kepada

16 Geertz, Religion as a Cultural Sistem, 114-117.

17 Turner, The Forest of Symbol, Aspects of Ndembu Ritual, 68. 18 Turner, The Forest of Symbol, Aspects of Ndembu Ritual, 90

(10)

peneliti terkait penggunaan simbol-simbol tersebut. Ketiga, dimensi posisional yang mencakup relasi dengan simbol-simbol lain. Dalam hal ini simbol-simbol bersifat multivokal, maka terdapat relasi antara simbol-simbol yang ada.19

Prinsip mendasar dari pemahaman ini adalah bahwa simbol, ritual, perilaku keagamaan, juga masyarakat harus dilihat sebagai suatu proses yang terus berulang.

2.2.3. Beberapa catatan kritis

Berdasarkan pandangan Geertz dan Turner diatas, terdapat beberapa catatan penting terkait pengertian dan makna ritus itu sendiri. Pertama, Ritus dalam suatu masyarakat religius, merupakan jalinan makna yang termanifestasi dalam bentuk simbol dan perilaku. Sebagai makna, ritus merupakan artikulasi dari konsepsi–konsepsi tentang tatanan umum semua eksistensi dan motivasi yang disebut “etos” serta “pandangan hidu p ” . Sebagai simbol, ritus merupakan sumber pengetahuan karena membawa dan menyampaikan ide kepada seseorang, dan ide-simbol tersebut bersifat kolektif, dalam arti bahwa meskipun masuk dalam pikiran pribadi individu, namun dapat dipegang terlepas dari otak individu yang memikirkan simbol tersebut. Pada tahap inilah simbol ritual dapat menyebabkan seseorang merasakan, melakukan atau termotivasi untuk tujuan- tujuan tertentu. Orang yang termotivasi tersebut akan dibimbing oleh seperangkat nilai yang penting, baik dan buruk maupun benar dan salah bagi dirinya (makna). Sebagai perilaku atau tindakan, ritus merupakan suatu aktivitas yang dilakukan secara terus menerus dalam alokasi waktu yang sudah ditetapkan, dilakukan

19 Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor Turner, 69.

(11)

secara kolektif, dengan kesadaran atas ikatan kesepakatan bersama. Kedua, Ritus haruslah dipandang sebagai suatu proses karena ritus selalu menjadi bagian dari perubahan yang terjadi ditengah suatu masyarakat baik secara sosial maupun moral atau bathiniah. Ketiga, eksistensi ritus-ritus dalam masyarakat beragama dapat berfungsi sebagai wadah ekspresif, refleksif dan formatif. Dikatakan

ekspresif karena ritus merupakan penampakan keyakinan religius dan praktek-

prakteknya. Dalam ritus, tatanan nilai suatu kelompok diungkapkan.20 Ritus merupakan pancaran faktualitas konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi. 21 Dengan demikian maka seluruh elemen pembentuk ritus seperti simbol-simbol ritual, doa-doa, tari-tarian ataupun bentuk-bentuk pemujaan haruslah dipahami sebagai ekspresi suatu keyakinan religius atau tatanan nilai dari suatu masyarakat yang terbentuk melalui pengalaman hidup individu maupun kelompok dalam masyarakat tersebut. Perilaku pemujaan dalam suatu masyarakat atau kelompok misalnya merupakan upaya masyarakat tersebut untuk menghadirkan kembali keyakinan dan pengalaman-pengalaman religius yang pernah dialami. Fungsi reflektif terkait fungsi ritus yang dapat menghilangkan konflik dan mengatasi perpecahan serta dapat membangun solidaritas kelompok yang tinggi dikalangan masyarakat tersebut22. Dalam ritus, orang-orang yang mengikuti ritus merasakan adanya kesamaan dan relasi antar pribadi yang baik. Ritus dapat menjadi penyalur rasa cemburu, iri hati, kemarahan, dan ketakutan. Jelaslah bahwa bahwa ritus berfungsi melakukan kontrol sosial terhadap individu

20 Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor Turner, 67.

21 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, 5.

22 Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor Turner, 24.

(12)

maupun kelompok. Evans Pritchard menegaskan bahwa ritual merupakan upaya masyarakat untuk menyadari dirinya sendiri dan memelihara rasa solidaritas bersama, oleh karena dengan adanya ritual, masyarakat akan dapat saling mengontrol antar individu maupun kelompok, sehingga memungkinkan terbentuknya solidaritas dan kohesi kelompok yang baik.

Dapat disimpulkan bahwa ritus merupakan sarana untuk menghilangkan segala konflik dan perpecahan, baik antar individu maupun individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Ritus dapat pula berfungsi menjadi sarana pengungkapan perasaan emosi, iri hati, ketakutan, kemarahan, dan segala bentuk tekanan-tekanan psikologis yang dialami suatu masyarakat. Lebih dari itu ritus juga membangun solidaritas bersama kelompok tersebut demi kelangsungan eksistensi suatu kelompok atau masyarakat. Sedangkan fungsi formatif adalah fungsi ritus yang dapat menawarkan nilai-nilai baru dalam kehidupan masyarakat, yang mana nilai-nilai tersebut mampu menggugah solidaritas bersama. Ritus juga memperkuat kembali nilai-nilai utama dan prinsip-prinsip organisasi dalam suatu masyarakat. Dengan ritus orang mendapatkan kekuatan dan motivasi baru untuk hidup dalam masyarakat sehari-hari.

Beberapa catatan kritis ini menampilkan sejumlah unsur penting sebagai bagian dari pembahasan tentang kebudayaan, agama, dan ritual, antara lain makna, simbol, perilaku, proses, kohesi dan solidaritas sosial, multivokal, polarisasi, serta penyatuan atau integrasi. Kajian terhadap unsur-unsur tersebut senantiasa pula disertai kajian tentang konflik atau keutuhan, tentang ketegangan- ketegangan atau integrasi, tentang mekanisme maupun proses, tentang perilaku

(13)

maupun makna dan konsensus. Keseluruhan hal tersebut akan semakin menjadi penting ketika berbicara tentang integrasi.

2.3. Integrasi Sosial

Integrasi berasal dari bahasa Inggris “integration” yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara sistem-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, integrasi diartikan pembauran sesuatu yang tertentu hingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat. Model pendekatan fungsional struktural (structural-functionalism) banyak dipakai untuk menganalisis aspek integrasi dalam suatu masyarakat. Teori itu telah dikembangkan oleh pakar antropologi. A.R Radlliffe-Brown23 dan Bronislaw Malinowski.24 Pendekatan itu dikembangkan berdasarkan cara pandang yang menyamakan masyarakat dengan organisme biologis. Pola yang sama juga dipakai oleh Herbert Spencer dan Emile Durkheim. Durkheim sebagai peletak dasar metode sosiologis memiliki perhatian yang sangat mendalam tentang integrasi sosial sesuai definisinya tentang agama yaitu:

A Religion is a unfied system of beliefs and practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and forbidden-beliefs and practice which unite into one singel moral community called a church, all those who adhere to them ( agama adalah kesatuan sistim kepercayaan dan praktek- praktek yang berkaitan dengan yang sakral, yaitu hal-hal yang disisihkan

23 W.E.H, Stanner, Radliffe-Brown, A.R” International Encyclopedia Of The Social Sciences. David L Sills (ed), Vol. 3 (New York: MacMillan Company & The Free Press. 1972), 13-14, 285-289.

24 Bohannan dan Mark Glazer. High Points in Antropology (New York: Alfred A Knof. 1973), 272-275.

(14)

dan terlarang. Kepercayaan dan praktek-praktek yang menyatukan semua orang yang menganut dan meyakini hal-hal tersebut kedalam satu komunitas moral yang disebut Gereja). 25

Selanjutnya pendekatan itu mencapai perkembangan yang sangat berpengaruh dalam dunia sosiologi yang dimotori oleh Talcold Parsons.26 Radliffe-Brown menyatakan bahwa “the life of a society can be conceived of as a

dynamic fiduicary sytem of interdependent element, functionally consistent with

one another”.27 Hubungan di antara anggota dari satu group masyarakat selalu

disebutkan dalam pernyataan : “unity”, “harmony”, “consisteney”, atau “solidarity”. Ia menegaskan pula bahwa “we may define it as a conditional in

which all parts of the social system work together with a sufficient degree

harmonyor internal consistency”.28 Dalam berbagai tulisannya, Malinowski juga

menyatakan bahwa menurut pandangan fungsional tentang element kebudayaan di dalam suatu masyarakat: “ denotes a relationship or interdependence between

the parts of a large whole, in that if one the elements is changed or removed the

others will be affected”.29

Pola pandang kedua pakar antropologi tersebut mendasari cara pandang aliran-aliran fungsional struktural lainnya dengan prinsip dasar bahwa masyarakat harus dilihat sebagai satu sistem yang komponennya berhubungan, bergantung, dalam saling mengait yang secara fungsional terintegrasi dalam bentuk

25 Durkheim, The Elementary Forms Of The Religious Life, Ed Trans.Inyiak Ridwan Muzir, Bentuk-bentuk Agama Yang Paling Dasar, 80.

26 Alex Inkeles, What is Sociology: An Introduction to The Disciplinary and Profession Foundation of Modern Sociology Series (New Jersey: Frentice Hall, Inc Englewood Cliffs, 1964), 34.

27 Stanner, Brown,”International Encyclopedia Of The Social Sciences, 13-14, 287. 28 Radeliffe, Brown A.R, Structure and Function in Primitive Society (London: Routledge & Kegan Paul. 1952), 181

29 Elvin Hatch, Theories of Man and Culture (New York & London: Colombia University Press. 1973), 315.

(15)

equilibrium yang bersifat dinamis. Apabila ada pertentangan, akan muncul nilai budaya yang akan mengintegrasikannya.

Perkembangan fungsionalisme struktural yang lebih dinamis memiliki anggapan bahwa berbicara tentang integrasi sosial, tidak hanya berbicara tentang penyatuan, unity, harmonisasi sejumlah unsur yang berbeda dan beragam dalam masyarakat, namun juga berbicara tentang dasar pijak pembedaan yang tegas tentang disatu sisi kebudayaan sebagai sistim makna dan simbol terorganisasi yang menjadi dasar interaksi sosial, dan dipihak lain sistem sosial sebagai pola- pola interaksi sosial itu sendiri. 30

Pandangan-pandangan Clifford Geertz serta Victor Turner cukup relevan dengan cara pandang fungsionalisme dinamis. Clifford Geertz banyak memperhatikan sisi interdependensi antara agama dan masyarakat. Baginya terdapat korelasi yang erat antara agama dan masyarakat yang saling mempengaruhi. Hal ini senada dengan Joacheim Wach, yang menunjukkan adanya pengaruh timbal balik antara kedua faktor tesebut; pertama, pengaruh agama terhadap masyarakat dan yang kedua, pengaruh masyarakat terhadap agama.31 Agama Jawa dalam pandangan Clifford Geertz merupakan dampak sosiologis dari adanya hubungan interdepedensi dimaksud. Clifford Geertz membuat kerangka analisis dengan mengklasifikasikan masyarakat Islam-Jawa ke dalam tiga varian yaitu; abangan, santri, dan priyayi. Geertz berasumsi bahwa pandangan dunia Jawa adalah agama Jawa yang dihadapkan pada sistem

30 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, 73-74; Lihat juga Amri Marzali (kata pengantar) dalam Clifford Geertz, Mojokuto: Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa, ed.1 (Jakarta: PT Pustaka Grafiti Pers, 1986), XIII.

31 Dadang Kahma, Sosiologi Agama, cet.2 (Bandung: Penerbit PT Remajarosdakarya, 2002), 54.

(16)

stratifikasi sosial di Jawa.32 Dalam hal ini ketiga varian keberagamaan masyarakat Jawa dipengaruhi oleh tiga inti struktur sosial yaitu (desa, pasar dan birokrasi pemerintah). Dalam pengamatannya, tiga lingkungan yang berbeda (pedesaan, pasar dan kantor pemerintah) yang disertai latar belakang sejarah kebudayaan yang berbeda (yang berkaitan dengan masuknya agama serta peradaban Hindu dan Islam di Jawa) telah mewujudkan adanya; Abangan (yang menekankan aspek-aspek animistik), Santri (yang menekankan aspek-aspek Islam) dan Priyayi (yang menekankan aspek-aspek Hindu).33

Menurut Clifford Geertz bahwa pada masyarakat majemuk, agama dapat menjadi faktor pemersatu (integrasi), serta juga dapat dengan mudah disalahgunakan sebagai alat pemecah belah (konflik). Agama pada satu sisi menciptakan ikatan bersama, baik antara anggota masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka.34 Tetapi di sisi lain, perasaan seagama saja tidak cukup untuk menciptakan perasaan memiliki kelompok atau kesatuan sosial. Oleh karena itu perlu ada faktor-faktor lain yang lebih memperkuat dan mempertahankan kohesi sosial. Dengan demikian agama mempunyai dua efek sekaligus, yaitu efek pemersatu atau integrasi, dan sekaligus pemecah belah atau konflik.35 Di Jawa, dalam

32 Clifford Gerrtz, The Religión of Java: Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin (Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1981), 6.

33 Pasudi Suparlan (pengantar) Clifford Geertz, The Religión of Java,: Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin (Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1981), vii

34 Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), 42

35 Thomas F O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), 139

(17)

pengamatan Clifford Geertz, antara ketiga varian; abangan, santri dan priyayi, di samping terjadi ketegangan juga sering terjadi kohesi sosial yang cukup intens.

Integrasi sosial bagi masyarakat Mojokuto terbentuk oleh karena sejumlah faktor seperti: Pertama, tuntutan-tuntutan kerja sawah yang intensif dan proses pertanian pada musim kering memerlukan ketetapan-ketetapan khusus untuk kerja sama teknis dan memperkuat rasa kebersamaan. Kedua, acara slametan bagi masyarakat Mojokuto juga menjadi wadah memperkuat rasa kebersamaan sosial. Ketiga, reinterpretasi dan penyelarasan unsur konseptual dan behavioral dari Hindu-Budha, Islam, dan animisme, untuk membentuk gaya religius yang jelas dan hampir homogen, serta penyesuaian fungsional yang erat antara pola perayaan bersama dan kondisi-kondisi kehidupan pedesaan Jawa. Namun dalam kenyataan, teritorial sederhana basis integrasi desa maupun basis sinkretis homogenitas kultural, perlahan terkikis dan memperlemah ikatan tradisional struktural masyarakat petani karena berbagai faktor seperti pertumbuhan penduduk, urbanisasi, penyebaran mata uang, dan diferensiasi kerja. Penetrasi ideologi seperti masionalisme, Marxisme, dan pembaharuan Islam sebagai ideologi-ideologi, juga mengiringi perubahan struktural masyarakat Mojokuto dan berpengaruh terhadap keseragaman kepercayaan dan praktek religius yang mencirikan masa yang lebih awal.36

Berdasarkan analisa dan pandangan Clifford Geertz diatas, nampak bahwa secara konsisten Geertz menempatkan jenis-jenis integrasi sosial dalam

(18)

kerangka makna (kebudayaan) dan simbol dan pola perilaku dalam struktur sosial. Pola berpikir Geertz dapat dilihat pada skema berikut ini:

Skema 2:Integrasi Sosial Dalam Perspektif Clifford Geertz.

Geertz membagi integrasi sosial dalam dua jenis: Pertama, Integrasi Sosial bermakna-logis (logico-meaningful integration) yang khas kebudayaan, yaitu jenis integrasi yang merupakan kesatuan gaya, kesatuan implikasi logis, kesatuan makna dan nilai. Kedua, Jenis integrasi fungsional-kausal (causal-

function integration) yang khas bagi sistim sosial, yaitu jenis integrasi yang

ditemukan dalam suatu organisme, dimana seluruh bagiannya terpadu dalam suatu jaringan kausal. 37

Sementara Victor Turner melihat integrasi sosial terbentuk karena dilatarbelakangi konflik dan ketegangan serta konsensus bersama bagi masyarakat Ndembu. Sesungguhnya struktur sosial masyarakat Ndembu tidak stabil dan penuh dengan perselisihan akibat prinsip-prinsip dominan organisasi sosial dan kehidupan sekuler (non agama) yang mendominasi. Dalam hal ini terjadi perselisihan akibat diferensiasi kerja berburu oleh kaum pria, dan bertani oleh kaum perempuan. Studi Turner lebih terfokus pada konflik sosial dan mekanisme menyelesaikan konflik tersebut. Sekalipun banyak perselisihan atau konflik,

(19)

namun struktur sosial masyarakat Ndembu tetap utuh. Keutuhan ini terjadi oleh karena ritual-ritual yang dilaksanakan masyarakat Ndembu telah berperan mengintegrasikan masyarakat tersebut. Brian Morris mengatakan bahwa dalam pandangan Turner, ritual tidak saja mengekspresikan kohesi dan menanamkan nilai-nilai serta sentimen-sentimen sosial kepada penduduknya, namun juga menempatkan konflik dalam aturan-aturan sosial. Konflik dalam struktur sosial merupakan peristiwa endemik, tetapi terdapat mekanisme yang menekan konflik tersebut agar berfungsi mengukuhkan kesatuan kelompok. Pola-pola ritual Ndembu merupakan mekanisme primer untuk mencapai solidaritas.38 Sejumlah ritual yang dilaksanakan masyarakat Ndembu, memberikan gambaran fungsi sosial ritual yaitu: Pertama, Ritual mengurangi kebencian (perempuan kusta yang diobati dalam ritual); Kedua, Ritual menuntut kerjasama semua pihak termasuk anggota-anggota terkemuka dari faksi-faksi yang berbeda dalam desa; Ketiga, Ritual memberikan prestise bagi desa penyelenggara dan meningkatkan persahabatan dengan desa tetangga; Keempat, melalui ritual identitas masyarakat Ndembu ditegaskan kembali.

Menjadi jelas bahwa secara politik ritual memiliki peran integratif dan menjadi bagian dari mekanisme sosial yang memulihkan keseimbangan serta solidaritas kelompok.

Kesimpulan singkat yang dapat dibuat dari uraian tentang integrasi sosial adalah: Pertama, Secara leksikal integrasi sosial merupakan penyatuan unsur- unsur yang beragam dalam kehidupan intra mapun antar masyarakat; Kedua,

38 Brian Morris, Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer (Jogyakarta: AK Group, 2003), 295.

(20)

Guna memahami integrasi sosial secara komprehensif, perlu dianalisa pada dua dimensi integrasi yaitu makna-logis dan fungsional kausal; Ketiga, Integrasi sosial terbentuk melalui mekanisme konflik dan konsensus. Keempat, dalam perspektif dialektika atau proses, integrasi sosial adalah suatu proses yang akan terus terbentuk. Artinya bahwa disamping mengukuhkan dan menegaskan identitas suatu masyarakat, integrasi sosial juga menjadi modal bagi proses perubahan suatu masyarakat yang terus berproses.

Referensi

Dokumen terkait

Pada parameter berat polong dengan perlakuan 8 kg pupuk kandang sapi per bedengan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan tanpa pupuk kandang sapi

Gambar 4.42 Arus inrush hasil demagnetisasi fasa T pada inti cara potong B Berdasarkan uraian di atas, hubungan pengaruh durasi demagnetisasi dengan shunt capacitor

Dalam studi kasus ini akan dilakukan analisis terhadap jumlah mahasiswa yang melakukan undur diri, drop out (DO) dilihat dari beberapa atribut atau variabel yang terkait, yaitu

It also extends the research by examining the association between corporate governance score and environmental management disclosure and also identifying the cause of

Modul ini berisi implementasi guru BK atau Konselor secara konseptual memahami tentang pengertian, tujuan, tahapan pelaksanaan, metode/teknik, materi/topik, dan

Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia.Hal ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural, agama maupun geografis yang begitu beragam

Dalam konteks tersebut Kusnadi (2006) menyatakan bahwa, masyarakat nelayan merupakan pelaku utama yang menentukan dinamika ekonomi lokal dan kondisi ini merupakan merupakan

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disarankan agar pada proses pembelajaran harus dilakukan dengan menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS). Penggunaan Lembar