• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI PERAN KEANDALAN MANUSIA DALAM TUBRUKAN KAPAL (STUDI KASUS PELABUHAN TANJUNG PERAK SURABAYA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI PERAN KEANDALAN MANUSIA DALAM TUBRUKAN KAPAL (STUDI KASUS PELABUHAN TANJUNG PERAK SURABAYA)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

STUDI PERAN KEANDALAN MANUSIA DALAM TUBRUKAN KAPAL (STUDI KASUS PELABUHAN TANJUNG PERAK SURABAYA)

Rima Gusriana Harahap * ) Daniel M. Rosyid** )

* ) Mahasiswa Jurusan Teknik Kelautan FTK – ITS ** )

Dosen Jurusan Teknik Kelautan FTK – ITS ABSTRAK

Tugas Akhir ini menyajikan tentang penentuan bobot human failure (kegagalan manusia) yang biasa terjadi dalam tubrukan kapal. Metode yang digunakan dalam tugas akhir ini adalah pertama, menyebarkan kuesioner kepada beberapa responden yang telah dipilih. Kedua, mengolah hasil kuesioner dan melakukan pembobotan dengan metode Analytic Hierarchy Process (AHP). Ketiga, membandingkan hasil pembobotan dengan frekuensi human failure berdasarkan beberapa laporan kecelakaan dan disajikan dalam Matriks Frekuensi-Kebermaknaan. Dan terakhir, merancang skenario kegagalan untuk faktor manusia, lingkungan berbahaya, dan faktor peralatan/kapal yang disajikan dalam bentuk Fault Tree. Dari Fault Tree ini dapat diketahui peluang kegagalan dan keandalan masing-masing faktor dalam peristiwa tubrukan kapal.

Kata kunci : human failure, AHP, Fault Tree, keandalan, tubrukan.

1. PENDAHULUAN

Sebagai salah satu pelabuhan terpenting dengan tingkat kepadatan lalu lintas yang tinggi, area Pelabuhan Tanjung Perak merupakan daerah rawan terjadi kecelakaan. Dari sekian jumlah kecelakaan yang terjadi, tubrukan kapal mewakili angka 37.15% total kejadian kecelakaan sejak tahun 1995 hingga 2010 (Adpel Tg. Perak, 2010).

Tabel 1. Persentase Kecelakaan di Pelabuhan Tanjung Perak Tahun 1995-2010

(Sumber : Adpel Tg. Perak, 2010)

Dalam industri maritim, tubrukan kapal memang telah lama menjadi sorotan karena kerugian yang ditimbulkan. Walaupun International Maritime Organization (IMO) telah melakukan segala upaya untuk menanggulanginya, angka kecelakaan akibat tubrukan tidak menunjukkan penurunan yang berarti (Manen and Frandsen, 1998).

Dari sekian banyak faktor, faktor manusia merupakan salah satu penyebab terjadinya

kecelakaan di laut, terutama kecelakaan akibat tubrukan. Pernyataan ini diperkuat dengan penelitian lainnya yang menunjukkan 43%-96% kecelakaan disebabkan kesalahan manusia (Manen and Frandsen 1998, Grabowski et al. 2000, Antao et al. 2006, Hetherington 2006, Rothblum 2006, Kujala et al. 2009). Kejadian tersebut disebabkan oleh human failure yang beragam, seperti kesalahan operasi, prosedur yang tidak tepat, kesalahan membaca instrumen, dan sebagainya. Dengan demikian, perlu dipertimbangkan tingkat keandalan manusia (human reliability) untuk memperhitungkan keandalan sistem secara keseluruhan (Bariyah, 2006).

2. METODOLOGI PENELITIAN

Gambar 1. Diagram Alir Pengerjaan Tugas Akhir

Jenis Kecelakaan

Tenggelam 16.85 %

Tubrukan/Senggolan 37.15 %

Kandas 7.34 %

Kebakaran 7.56 %

Muatan rusak/jatuh ke laut 4.97 %

Penumpang/ABK jatuh ke laut 6.05 %

Mesin rusak/hilang/bocor 12.74 % Kapal hilang/hanyut 0.86 % Jangkar tersangkut/putus 1.08 % Tidak terdata 2.59 % Lain-lain 2.81 % Total 100 % Persentase Studi Literatur

Buku, jurnal, dan berita acara pengadilan

Pengumpulan data Data lingkungan, kapal, dan

kecelakaan Perumusan human failure

Mulai

Desain Fault Tree

Perhitungan Probabilitas Kegagalan dan Keandalan

Tubrukan Kapal

Analisa dan Rekomendasi

Selesai

Perhitungan bobot human failure Metode AHP

Pembuatan Matriks Frekuensi-Kebermaknaan

(2)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Penentuan Human Failure

Penentuan human failure dalam penelitian ini diolah berdasarkan penelitian Liu Zhengjiang(2001) dari World Maritime University Swedia yang me

kecelakaan tertulis dari berbagai lembaga negara pada tahun 1980-2000. Selain itu juga ditambahkan dengan laporan kecelakaan untuk wilayah Tg. Perak berdasarkan laporan Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT) divisi maritim (tahun 2003 dan 2009) serta berita acara persidangan olah Mahkamah Pelayaran tahun 2009. Proses penentuan human failure ini telah melalui proses diskusi yang dilakukan penulis dengan beberapa ahli dari Administrator Pelabuhan (Adpel) Tg. Perak divisi kecelakaan dan staf pengajar di Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Surabaya. Adapun human failure berhasil dihimpun adalah sebagai berikut : a. Tidak melakukan pengamatan sekitar

dengan seksama b. Tidak berhati-hati

c. Kurang perencanaan sebelum keberangkatan

d. Gagal menilai situasi

e. Gagal mengambil tindakan awal

f. Gagal mengikuti alur pelayaran yang seharusnya

g. Tidak mematuhi aturan

h. Menjalankan kapal pada kecepatan tidak i. Gagal mengendalikan kapal

j. Gagal berkomunikasi

k. Tidak mengenali spesifikasi kapal dengan baik

l. Gagal mengirimkan/menerima sinyal 3.2. Metode Survey dan Latar Belakang

Responden

Survey dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada para pelaut yang sedang mengkuti pendidikan dan staf pengajar di Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Surabaya sejumlah 24 orang. Adapun latar belakang respon yang disurvey adalah sebagai berikut :

(a) Usia 31-40 tahun 50% Usia 41-50 tahun 21%

2

Penentuan human failure dalam penelitian ini diolah berdasarkan penelitian Liu Zhengjiang(2001) dari World Maritime University Swedia yang me-review laporan kecelakaan tertulis dari berbagai lembaga 2000. Selain itu juga ditambahkan dengan laporan kecelakaan untuk wilayah Tg. Perak berdasarkan laporan Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT) divisi maritim (tahun 2003 dan 2009) serta berita acara persidangan olah Mahkamah Proses penentuan human failure ini telah melalui proses diskusi yang dilakukan penulis dengan beberapa ahli dari Administrator Pelabuhan (Adpel) Tg. Perak divisi kecelakaan dan staf pengajar di Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran human failure yang berhasil dihimpun adalah sebagai berikut :

Tidak melakukan pengamatan sekitar

perencanaan sebelum

Gagal mengambil tindakan awal

Gagal mengikuti alur pelayaran yang

Menjalankan kapal pada kecepatan tidak Gagal mengendalikan kapal

Tidak mengenali spesifikasi kapal dengan Gagal mengirimkan/menerima sinyal

an Latar Belakang Survey dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada para pelaut yang sedang mengkuti pendidikan dan staf pengajar di Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Surabaya sejumlah 24 orang. Adapun latar belakang responden yang disurvey adalah sebagai berikut :

(b)

(c)

Gambar 2. (a) usia responden, (b)pengalaman berlayar, (c)

kecelakaan kapal

3.3. Langkah – Langkah Penentuan Bobot dengan AHP

• Tahap I (tahap awal)

Responden mengisi kuesioner menggunakan perbandingan berpasangan dengan skala Saaty (1sampai 9) yang menunjukkan tingkat kepentingan numerik masing-masing

Tabel 2. Skala Banding Berpasangan (Saaty, 19 Usia 20-30 tahun 29% 10-15 tahun 46% 16-20 tahun 8% Tidak 79% Intensitas Kepentingan

1 Kedua elemen sama pentingnya

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada yang lain. 5

kepentingan yang kuat terhadap yang lain, jelas lebih penting dari elemen yang lain

7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lainnya.

9 Satu elemen mutlak lebih dari elemen lainnya

2,4,6,8 Nilai-nilai tengah diantara dua pertimbangan yang berdampingan

(b)

(c)

Gambar 2. (a) usia responden, (b)pengalaman berlayar, (c)pernah

kecelakaan kapal

Langkah Penentuan Bobot

Responden mengisi kuesioner menggunakan perbandingan berpasangan dengan skala Saaty (1sampai 9) yang menunjukkan tingkat kepentingan

masing human failure. Tabel 2. Skala Banding Berpasangan

(Saaty, 1987) < 10 tahun 46% Ya 21% Definisi Verbal

Kedua elemen sama pentingnya

Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada yang lain. kepentingan yang kuat terhadap yang lain, jelas lebih penting dari elemen yang lain

Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lainnya.

Satu elemen mutlak lebih dari elemen lainnya

Nilai-nilai tengah diantara dua pertimbangan yang berdampingan

(3)

3

• Tahap II (rata-rata geometrik)

Merata-ratakan hasil perbandingan berpasangan dengan rata-rata geometrik karena penilaian melibatkan banyak orang (group decision). Untuk menghitung rata-rata geometrik, nilai harus dikalikan, dan dari hasil ini ditarik akar pangkat bilangan yang sama dengan jumlah orang yang memberi penilaian itu.

ܩ = ඥܺ೙ ଵܺଶܺଷ… … ܺ௡...(1)

dengan :

G = rata – rata geometrik

X1X2….Xn = penilaian ke 1,2,….,n (skala Saaty)

n = banyaknya penilaian (jumlah responden)

• Tahap III (pengolahan data)

Berdasarkan data yang sudah diolah dengan rata-rata geometrik, nilai-nilai numerik antar elemen akan diproses dalam sebuah matrik perbandingan. Matriks ini kemudian diolah untuk menemukan relative weight dari masing-masing human failure. Rasio konsistensi matriks harus kurang dari 10%. Bila lebih dari 10% berarti pengambil keputusan (responden) tidak konsisten dalam memberikan penilaian dalam perbandingan berpasangan. Untuk itu perlu dilakukan lagi penilaian ulang dengan melakukan perbandingan berpasangan lagi.

Untuk menghitung rasio konsistensi (consistency ratio), terlebih dahulu kita harus mengetahui consistency vector (CV) dari matriks perbandingan. CV merupakan nilai rata-rata yang diperoleh dari penjumlahan perbandingkan nilai setiap elemen pada matriks perbandingan dengan relative weight (bobot). Adapun nilai relative weight dan CV untuk jawaban responden adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Relative Weight dan Consistency Vector (CV)

Setelah mendapatkan CV, kita akan menghitung consistency index (CI) dengan menggunakan persamaan :

CI = λ – n / n -1...(2) Dengan λ = rata-rata CV , dan n = jumlah elemen yang dibandingkan, sehingga :

CI = λ – n / n – 1

CI = (12.18 – 12) / (12 – 1) CI = 0.092

Untuk mendapatkan nilai consistency ratio(CR) digunakan persamaan :

CR = (CI / RI) x 100%...(3) dengan RI (random index) untuk matriks perbandingan di atas telah ditentukan sebesar 1.57, sehingga :

CR = (CI / RI) x 100% CR = (0.092 / 1.57) x 100%

CR = 5.88% (< 10% = memenuhi) 3.3 Peluang Kegagalan dan Fault Tree

a. Kegagalan Manusia

Jika kita membandingkan frekuensi munculnya kegagalan dengan tingkat kebermaknaan suatu kegagalan berdasarkan relative weight yang telah dihitung sebelumnya, kita dapat mengetahui kegagalan apa yang memiliki peran terbesar dalam suatu tubrukan. Dengan mengadopsi risk matrix, dapat disajikan data seperti berikut.

HUMAN FAILURE WEIGHT Consistency

Vector(CV)

Gagal pengamatan visual/elektrik(radar) 0.074 12.157

Tidak berhati-hati 0.068 12.168

Kurang perencanaan sebelum keberangkatan 0.076 12.168

Gagal menilai/menganalisa situasi 0.093 12.187

Gagal mengambil tindakan awal 0.099 12.190

Gagal mengikuti alur pelayaran yang seharusnya 0.078 12.157

Tidak mematuhi aturan 0.106 12.212

Menjalankan kapal pada kecepatan tidak aman 0.083 12.189

Gagal mengendalikan kapal 0.095 12.170

Gagal berkomunikasi (secara langsung/radio) 0.07248 12.173

Tidak mengenali spesifikasi kapal dengan baik 0.07246 12.166

(4)

4

Gambar 3.. Matriks Frekuensi-Kebermaknaan Human Failure

Untuk studi kasus di Tg. Perak, frekuensi

kegagalan manusia diambil berdasarkan tiga kasus tubrukan kapal berdasarkan hasil investigasi KNKT dan Mahkamah Pelayaran. Adapun tiga kasus tubrukan itu adalah : 1. Tubrukan antara MV. Uni Chart dan KM

Mandiri Nusantara, 26 September 2003. 2. Tubrukan KM Safira Nusantara dan

KLM Jaya Mulia I, 25 Februari 2009. 3. Tubrukan antara KM. Tanto Niaga dan

KM. Mitra Ocean, 22 Mei 2009.

Berdasarkan tiga kasus tubrukan di atas, diperoleh peluang masing-masing kegagalan seperti berikut

Tabel 4. Peluang Kegagalan Manusia

.

Untuk menghitung peluang kegagalan manusia, penelitian ini menggunakan analisis Fault Tree yang

disajikan dengan perangkat lunak Relex 2009. Adapun desain fault tree untuk peluang kegagalan manusia adalah seperti dibawah ini.

Gambar 4. Fault Tree Kegagalan Manusia dengan : K = 1- Pgagal K = 1 – 0.000171223 K = 0.99982878 1 Tidak mematuhi aturan 2 Tidak berhati-hati 3 Gagal menilai situasi 4 Gagal pengamatan visual/elektrik 5 Gagal komunikasi 6 Gagal sinyal 7 Gagal mengendalikan kapal 8 Gagal mengambil tindakan 9 Kecepatan tidak aman 10 Gagal memposisikan kapal 11 Kurang perencanaan 12 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 KET CRITICAL HIGH MEDIUM LOW F r e k u e n s i

Kebermaknaan Human Failure

Kegagalan Basic Event P = Na/Ns

Tidak mematuhi aturan 4.56621E-05 Gagal mengendalikan kapal 4.56621E-05 Gagal menilai situasi 3.42466E-05 Gagal berkomunikasi (radio) 5.70776E-05 Gagal mengambil tindakan awal 2.28311E-05 Gagal mengirim/menerima sinyal 2.28311E-05 Gagal pengamatan visual/elektrik(radar) 2.28311E-05 Manusia

(5)

5

b. Lingkungan Berbahaya

Prakiraan cuaca digunakan sebagai dasar pembuatan informasi keselamatan dan keamanan pelayaran ataupun pekerjaan lainnya di laut. Dalam penelitian ini, data cuaca yang diolah adalah berdasarkan informasi cuaca ekstrem yang dikeluarkan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Maritim Tg. Perak Surabaya. Cuaca ekstrem adalah keadaan cuaca yang melebihi keadaan rata-rata atau kondisi biasanya. Hal-hal yang biasanya dijadikan rujukan cuaca ekstrem dan dilakukan early warning system oleh BMKG adalah jika :

1. Suhu udara permukaan ≥ 35⁰ Celcius 2. Curah hujan dalam satu hari ≥ 50 mm 3. Kecepatan angin ≥ 25 knot

Grafik 1. Perbandingan Pola Cuaca Ekstrem dan Tubrukan per bulan di Tg. Perak

Dengan melihat grafik perbandingan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa faktor cuaca yang paling berpengaruh terhadap terjadinya tubrukan adalah curah hujan dan kecepatan angin. Curah hujan yang tinggi dapat berakibat fatal terhadap jarak pandang (visibility) saat berolah gerak di laut. Pada beberapa kasus, hujan juga dapat mempengaruhi stabilitas kapal akibat berat kapal yang bertambah karena banjir atau muatan basah. Kecepatan angin yang tinggi terkadang juga meyebabkan kapal kehilangan kendali hingga larat dan menubruk obyek lain.

Dalam pelayaran, kondisi alur juga merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan. Dalam penelitian ini, kondisi alur yang dianggap paling mempengaruhi adalah kondisi arus dan juga pendangkalan yang terjadi di sekitar Tg. Perak. Untuk kecepatan arus, BMKG Maritim Perak menyatakan bahwa arus yang mempengaruhi kondisi pelayaran di Tg. Perak adalah arus yang terjadi karena pasang surut, sesuai dengan karakteristik Pelabuhan Tg. Perak yang berada di daerah selat. Arus pasut ini dikatakan kencang dan membahayakan pelayaran jika kecepatannya ≥

1 m/s. Angka ini diperoleh dari pengamatan kondisi lingkungan ketika terjadi beberapa kecelakaan kapal di area Tg. Perak oleh BMKG Maritim Perak.

Untuk lebih jelasnya, peluang kegagalan karena kondisi lingkungan yang sekaligus menjadi basic event dari fault tree dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 5. Peluang Lingkungan Berbahaya

Berdasarkan perhitungan di atas, dapat dirancang suatu fault tree untuk peluang lingkungan berbahaya seperti di bawah ini.

Gambar 5. Fault Tree untuk Lingkungan Berbahaya

Maka, peluang lingkungan berbahaya adalah sebesar 0.008671 dengan Keandalan Lingkungan sebesar 0.991329.

c. Kegagalan Peralatan/Kapal

Dalam beberapa kejadian tubrukan, tercatat beberapa kegagalan yang bersumber dari peralatan atau aspek kapal lain seperti material atau stabilitas. Dalam penelitian ini diklasifikasikan beberapa macam kegagalan dari aspek peralatan atau kapal lainnya sebagaimana berikut :

a. Kegagalan Peralatan ; meliputi sistem permesinan, propulsi, kemudi, dan jangkar b. Kegagalan Elektrik ; gagal sistem kelistrikan,

korsleting, atau tersambar petir

0 10 20 30 40 50 60 70 JAN U AR I MAR E T ME I JU LI S E P T E MB E R N O V E MB E R Jumlah tubrukan (%) Kec.angin ≥ 25 knot (%) Curah hujan ≥ 50 mm (%) Suhu udara ≥ 35⁰ C (%)

Kegagalan Basic Event P = Na/Ns

Pendangkalan 4.98E-05

Arus kencang (≥ 1 m/s) 6.16E-03

Curah hujan ≥ 50 mm 1.92E-02

Kecepatan angin ≥ 25 knot 1.29E-01 Kondisi

(6)

6

c. Kegagalan Material ; kerusakan bagian kapal

karena terbakar, korosi, las-lasan retak, kebocoran, tali/rantai putus, dll.

d. Kegagalan Stabilitas ; kapal miring, terbalik, banjir, muatan jatuh, dll.

Tabel 6. Peluang Kegagalan Peralatan/Kapal

Gambar 6. Fault Tree untuk Kegagalan Peralatan/Kapal

Dari fault tree di atas dapat dihitung Peluang Kegagalan Peralatan/Kapal di Tg. Perak adalah sebesar 1.36893E-4 dengan Keandalan sebesar 0.99986.

Berdasarkan penjabaran di atas, dapat didesain sebuah Fault Tree dengan Top Event Tubrukan Kapal seperti pada Gambar 7.

Dengan demikian, kita dapat menemukan Peluang Tubrukan Kapal di Pelabuhan Tg. Perak Surabaya sebesar 0.008976 dengan Keandalan sebesar 0.991024.

3.4. Peran Keandalan Manusia dalam Tubrukan Kapal

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, didapatkan Peluang Kegagalan Manusia sebesar 0.000114151 dengan keandalan sebesar : K = 1- Pgagal

K = 1 – 0.008976 K = 0.991024

Peluang kegagalan di atas secara faktual di lapangan dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain :

1. Pemanduan

Pemanduan di Alur Pelayaran Barat Surabaya dilaksanakan selama 24 jam, dengan jumlah pandu sebanyak 41 orang yang dibagi menjadi 2 shift, yaitu shift pertama 22 orang dan shift kedua 19 orang. Kapal yang masuk ke alur pelayaran Surabaya adalah ± 120 kapal/hari dengan jumlah kapal yang wajib pandu ( ≥ GT 500) berjumlah ± 60 kapal/hari. Alur pelayaran dengan panjang 25 mil laut harus di tempuh paling sedikit 2 – 3 jam pelayaran. Melihat pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa jumlah pandu yang tersedia tidak mencukupi untuk memandu semua kapal wajib pandu yang keluar masuk pelabuhan.

Dengan jumlah pandu yang tidak mencukupi serta operasional kapal di pelabuhan tidak boleh terhambat, maka banyak kapal yang keluar masuk Pelabuhan Tg. Perak tanpa menggunakan jasa pandu laut. Pemberian ijin dispensasi tanpa pandu ini dikenal dengan istilah ”Pandu Charlie”.

Sesuai ketentuan Keputusan Menteri Perhubungan No.24 Tahun 2002, tentang Penyelenggaraan Pemanduan diatur tentang sistem Pemanduan dan Dispensasi Pandu seperti tertera di bawah ini.

Pasal 9 Ayat (3)

”Pemanduan harus dilakukan dengan memberikan pelayanan secara wajar dalam arti pemanduan dilaksanakan secara fisik dan nyata yaitu pandu melaksanakan tugas di kapal dan bagi kapal konvoi, pemanduan dapat dilakukan dari kapal yang di pandu yang terdepan dengan menggunakan sarana bantu pemanduan”.

Pasal 12

(1) Kapal yang melayari perairan wajib pandu secara tetap dan teratur kurang dari 24 jam (dua puluh empat) jam serta di nakhodai oleh seorang Nakhoda yang memiliki kemampuan dan memenuhi persyaratan, dapat tidak menggunakan petugas pandu

Kegagalan Basic Event P = Na/Ns

Peralatan

3.42466E-05

Elektrik

1.14155E-05

Material

3.42466E-05

Stabilitas

5.70776E-05

Peralatan/ Kapal

(7)

7

Gambar 7. Fault Tree untuk Tubrukan Kapal di Tg. Perak (dispensasi tanpa menggunakan

Petugas pandu).

(2) Pemberian dispensasi tanpa menggunakan Petugas pandu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan apabila Nakhoda memiliki kemampuan dan memenuhi persyaratan meliputi:

a. Mengenal dengan baik situasi dan kondisi perairan wajib pandu yang di layari;

b. Dinyatakan telah memahami peraturan bandar setempat oleh pengawas pemanduan;

c. Lalu-lintas kapal tidak padat pada waktu kapal berlayar tanpa pandu. (3) Pemberian dispensasi tanpa

menggunakan Petugas pandu terhadap kapal yang berlayar di perairan wajib

pandu di berikan oleh Pengawas Pemanduan setempat.

Berdasarkan hasil investigasi KNKT untuk kasus tubrukan antara KM. Tanto Niaga dan KM. Mitra Ocean tanggal 22 Mei 2009 di Perairan Tg. Perak Surabaya disebutkan bahwa pada saat kejadian KM. Tanto Niaga berlayar sendirian tanpa beriringan, tanpa menggunakan pandu serta tidak mengikuti kapal yang dipandu. Kapal memperoleh izin masuk alur tanpa pandu hanya melalui izin dari petugas operator radio pandu Karang Jamuang yang sebenarnya tidak mempunyai kewenangan secara teknis operasional pemanduan. Hal yang sama juga terjadi kasus tubrukan antara MV. Uni Chart dan KM Mandiri Nusantara tanggal 26 September

(8)

8

2003, dimana KM Mandiri Nusantara memperoleh dispensasi memasuki alur pelayaran tanpa pandu dari operator Stasiun Pandu Karang Jamuang dengan syarat mengikuti (konvoi) dengan kapal di depannya yang menggunakan pandu. Namun pada pelaksanaannya, KM Mandiri Nusantara gagal melakukan konvoi dan berubah jalur dari yang seharusnya. Karena terlambat menilai situasi, akhirnya tubrukan dengan MV. Uni Chart tidak dapat terhindarkan.

Dalam penelitian ini, peran Pandu belum melalui proses penelusuran yang mendalam. Namun yang perlu ditekankan, Pandu memegang peranan penting terhadap berbagai kasus tubrukan di Tanjung Perak. Dari tiga kasus yang diteliti, dua kasus tubrukan terjadi dengan Pandu berada di atas kapal, dan satu kasus terjadi tanpa Pandu di atas kapal (telah diberi dispensasi pandu). Ketidakdisiplinan dalam proses pemberian dispensasi pandu, kegagalan komunikasi antara Pandu dan nakhoda, serta fakta bahwa masih ada Pandu yang belum memenuhi kualifikasi memandu menjadi pekerjaan rumah besar bagi dunia pelayaran kita. Dalam beberapa sidang perkara kasus kecelakaan di Mahkamah Pelayaran, Pandu lebih sering dijadikan saksi, walaupun fakta secara jelas menerangkan bahwa ketika kecelakaan terjadi, Pandu tengah dalam kondisi memberikan panduan kepada awak kapal. Nakhoda sebagai mata rantai terakhir dari suatu sistem manajemen perjalanan kapal adalah orang yang paling dianggap bertanggungjawab terhadap kecelakaan. Namun pada kenyataannya, masih banyak pihak yang secara implisit juga turut berkontribusi menyebabkan kecelakaan, seperti perusahaan pelayaran, administrator pelabuhan, dan Pandu itu sendiri.

2. Kualifikasi Pengawakan Awak Kapal Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perhubungan No. 70 Tahun 1999, tentang Pengawakan Kapal Niaga pada Bab V Pasal 13 huruf b, menerangkan bahwa :

“Untuk kapal tonase kotor GT 3.000 s/d kurang dari GT 10.000 yang berlayar di daerah pelayaran kawasan Indonesia,

jumlah Perwira bagian dek 4 (empat) orang dengan jabatan dan sertifikat sebagai berikut:

1) 1 (satu) orang Nakhoda yang memiliki sertifikat Ahli Nautika Tingkat I (ANT I), yang telah memperoleh pengukuhan sebagai nakhoda dan memiliki sertifikat sebagaimana di maksud dalam pasal 9 huruf a.2 s/d 8;

2) 1 (satu) orang Mualim I yang memiliki sertifikat ahli nautika tingkat I (ANT I) dan memiliki sertifikat sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf a.2 s/d 8;

3) 2 (orang) orang Mualim yang memiliki sertifikat Ahli Nautika Tingkat III (ANT III) dan memiliki sertifikat sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf d.2 s/d 7.

Dan pada Bab V Pasal 13 huruf d, juga diterangkan bahwa :

“Untuk kapal tonase kotor GT 500 s/d kurang dari GT 1.500 yang berlayar di daerah pelayaran kawasan Indonesia, jumlah Perwira bagian dek 3 (tiga) orang dengan jabatan dan sertifikat sebagai berikut:

1) 1 (satu) orang Nakhoda yang memiliki sertifikat Ahli Nautika Tingkat II (ANT II), yang telah memperoleh pengukuhan sebagai nakhoda dan memiliki sertifikat sebagaimana di maksud dalam pasal 9 huruf b.2 s/d 8; 2) 1 (satu) orang Mualim I yang memiliki

sertifikat ahli nautika tingkat II (ANT II) dan memiliki sertifikat sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf b.2 s/d 8;

3) 1 (satu) orang Mualim yang memiliki sertifikat Ahli Nautika Tingkat III (ANT III) dan memiliki sertifikat sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf b.2 s/d 8.”

Kurangnya jumlah awak kapal yang memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang disyaratkan menyebabkan banyaknya kejadian tubrukan yang terjadi terutama di alur pelayaran yang sempit dan padat seperti di Tg. Perak. Data tubrukan kapal di Tg. Perak menggambarkan bahwa sebanyak 81,4% kapal yang mengalami tubrukan merupakan kapal dengan bobot lebih dari GT 500 yang merupakan kapal

(9)

9

wajib pandu dengan sertifikat keahlian Nakhoda minimal Ahli Nautika Tingkat II (ANT II). Hal ini tentu sangat ironis mengingat sudah sekian lama peraturan ini belum bisa ditegakkan baik oleh operator pelabuhan maupun pihak perusahaan pelayaran yang seharusnya menyediakan awak kapal dengan kompetensi memadai dan mampu mengoperasikan serta menjaga keselamatan selama pelayaran.

4. REKOMENDASI 4.1. Regulator / Pemerintah

a. Meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian dispensasi terhadap Nakhoda yang memasuki Alur Wajib Pandu (APBS) tanpa menggunakan Pandu yang seharusnya diberikan oleh Pejabat Penanggung Jawab Keselamatan Pelayaran (Administrator Pelabuhan) setempat.

b. Pelaksanaan terhadap ketentuan pemanduan diluar prosedur harus ditindak tegas dan diberikan sanksi yang sesuai.

c. Pemberian peringatan kepada petugas/pejabat pengawas kapal di pelabuhan pemberangkatan dan/atau pelabuhan pengeluaran sertifikat kapal yang menyalahi aturan keselamatan. d. Peningkatan Pengawasan terhadap penerapan

ISM-Code untuk semua perusahaan pelayaran. e. Memberikan teguran terbuka terhadap pihak

perusahaan pelayaran yang tidak memenuhi standar yang diharuskan.

f. Meningkatkan kualitas dan jumlah tenaga pengajar yang memenuhi persyaratan (terutama di Diklat Kepelautan Swasta). g. Meningkatkan penyediaan alat peraga/

simulator/kapal-kapal praktek yang memenuhi persyaratan.

h. Melakukan supervisi terhadap program pendidikan dan pelatihan pelaut (terutama pada Diklat Kepelautan Swasta).

4.2. Kepelabuhanan/ fasilitator terminal dan dermaga

a. Manajemen traffic di alur agar dilaksanakan dengan menggunakan fasilitas VTIS (Vessel Traffic Information System) yang kondisinya diinformasikan ke kapal-kapal yang akan menggunakan alur tersebut.

b. Kondisi kapasitas tempat berlabuh di kolam pelabuhan dan tempat berlabuh lainnya harus

terinformasikan setiap saat ke kapal-kapal yang akan berlabuh

c. Fasilitator harus menyediakan alat pendeteksi kecepatan arus dan angin yang diinformasikan ke kapal - kapal yang akan berlabuh

d. Kondisi kedalaman alur diharapkan layak untuk dilayari kapal – kapal yang akan berlabuh

e. Fasilitas kepanduan harus ditingkatkan dari sisi kemampuan, jumlah SDM dan ketersediaan kapal–kapal pengangkut kepanduan untuk bertugas.

f. Mengadakan pelatihan penyegaran kepanduan secara berkala kepada para pandu. 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Setelah melaksanakan seluruh proses pengerjaan Tugas akhir ini, dan dari hasil pengolahan data yang diperoleh, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

a. Dari berbagai macam kegagalan manusia, “Tidak Mematuhi Aturan” merupakan kegagalan yang paling sering terjadi dan paling besar bobotnya, yaitu sebesar 10.6% dari total bobot kegagalan.

b. Dari tiga kasus tubrukan yang dianalisis, diketahui bahwa manusia bukan penyebab utama terjadinya tubrukan di Tanjung Perak. Hal ini diperkuat dengan diperolehnya nilai Keandalan Manusia sebesar 99%.

c. Peluang Tubrukan Kapal di Tanjung Perak adalah sebesar 8.976.10-3 dengan rincian kontribusi Peluang Kegagalan Manusia = 1.71223.10-4, Peluang Lingkungan Berbahaya = 8,671.10-3, dan Peluang Kegagalan Peralatan/Kapal = 1.36893.10-4.

d. Peluang Kegagalan Manusia secara umum dipengaruhi oleh faktor pemanduan dan kualifikasi awak kapal.

5.2. Saran

a. Apabila terdapat penelitian dengan topik dan metode yang sama hendaknya pengambilan sampel dilakukan lebih banyak untuk lebih mendukung hasil penelitian.

b. Kasus kecelakaan sebaiknya lebih banyak untuk lebih mendekatkan hasil penelitian pada kondisi sesungguhnya.

c. Jika lokasi penelitian adalah di area wajib pandu, maka perlu ada pembahasan lebih mendalam menyangkut faktor Pemanduan.

(10)

10

6. DAFTAR PUSTAKA

1. Administrator Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, 2010, Data Kunjungan dan Kecelakaan Kapal Tahun 1995-2010, Surabaya.

2. Antao, Pedro.,Soares, C. Guedes., 2006, “Fault Tree Models of Accident Scenarios of RoPax Vessels”, International Journal of Automation Computing 2. 107-116, Portugal.

3. Bariyah, Choirul, 2006, Aplikasi Human Reliability Assessment Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Benang pada PT. Industri Sandang Nusantara Unit Patal Secang Magelang, Tesis, Jurusan Teknik Indutri FTI-ITS, Surabaya.

4. Grabowski, M., Merrick, J. R. W., Harrald, J. R., Mazzuchi, T. A., van Dorp, J. R., 2000, “Risk Modelling in Distributed, Large-Scale Systems”, IEEE Transactions on System, Man, and Cybernetics – Part A : Systems and Human, 30(6) : 651-660. 5. Hanninen, M., Kujala, P., 2009, “The Effect

of Causation Probability on the Ship Collision Statistics in the Gulf if Finland”, Helsinki University of Technology, Finland. 6. Hetherington, C., Flin, R., and Mearns, K.,

2006, “Safety in shipping : The human element”, Journal of Safety Research 37(4): 401-411.

7. Kristiansen, Svein, 2005, Maritime Transportation : Safety Management and Risk Analysis, Elsevier, Oxford.

8. Komite Nasional Kecelakaan Transportasi, 2003, Final Report-Tubrukan MV Uni Chart dan KM Mandiri Nusantara, Surabaya 9. Komite Nasional Kecelakaan Transportasi,

2009, Final Report-Tubrukan KM Tanto Niaga dan KM Mitra Ocean, Surabaya 10. Lin, Bin., 2006, “Behaviour of Ship Officers

in Maneuvering to Prevent a Collision”, Journal of Marine Science and Technology, Vol. 14, No. 4, pp. 225-230, Taiwan. 11. Lutzen, M., 2001, Ship Collision Damage,

PhD Tesis, Maritime Engineering. Departement of Mechanical Engineering-DTU, Denmark.

12. Mahkamah Pelayaran Indonesia, 2010, Himpunan Putusan Mahkamah Pelayaran Tahun 2009, Kementrian Perhubungan, Jakarta.

13. Manen, S.E. and Frandsen, A.G., 1998, “Ship Collision with Bridges, Review of

Accidents”, Proceedings of the International Symposium on Advances in Ship Collision Analysis, Denmark, pp. 3-11. 14. Mathes, S.,Nielsen, K., Engen, J., Haaland,

E., 1997, ATOMOSR II-Final Report, European Commision, Brussels.

15. Otterland, Anders et.al., 1960. “The Human Factor in Shipwrecks and Other Accident to Ships-Analysis of An Official Swedish Series”, Brit. J. prev. soc. Med. 14, 49-56, Swedia.

16. Rosyid, Daniel M., 2007, Pengantar Rekayasa Keandalan, Airlangga University Press, Surabaya.

17. Rothblum, A. M., 2006. Human error and Marine Safety. Vol. 4 in U.S. Coast Guard Risk-Based Decision-Making Guidelines, US Coast Guard Research and Development Center.

18. Saaty T.L., 1987. “Risk- Its Priority and Probability: the Analytic Hierarchy Process", Risk Analysis, Vol. 7, No. 2, pp. 159-172.

19. Sarifudin, Amir, 2009, Kajian Penentuan Danger Score Kapal saat Berlayar dengan Memanfaatkan Data AIS (Studi Kasus di Selat Madura), Tugas Akhir, Jurusan Teknik Sistem Perkapalan FTK-ITS, Surabaya.

20. Transportation Board of Canada (TSB), 1998, Safety study of operational relationship between ship master/watchkeeping officers and marine pilots, http://www.bst.gc.ca. (diakses : 04 Agustus 2010).

21. UU Republik Indonesia No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

22. Yudistira, Sangkya Yuda, 2009, Studi Penetapan Daerah Bahaya (Dangerous Area) di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya berdasarkan AIS Data, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Sistem Perkapalan FTK-ITS, Surabaya.

23. Zhengjiang, Liu, 2001, Identifying and Reducing The Involvement of Human Element in Collision at Sea, Dissertation, Maritime Safety and Environmental Protection. World Maritime University, Sweden.

Gambar

Tabel 1. Persentase Kecelakaan di Pelabuhan  Tanjung Perak Tahun 1995-2010
Tabel 3. Relative Weight dan Consistency Vector (CV)
Gambar 3.. Matriks Frekuensi-Kebermaknaan Human Failure  Untuk  studi  kasus  di  Tg.  Perak,  frekuensi
Grafik 1. Perbandingan Pola Cuaca Ekstrem dan  Tubrukan per bulan di Tg. Perak
+3

Referensi

Dokumen terkait

Peran tuturan direktif permintaan “ pindah” disesuaikan dengan konteks sebagai simbol komuikasi yang dilakukan guru (terapis) untuk melakuakn sesuatu, dan dampak

Pengering baki (tray dryer) disebut juga pengering rak atau pengering kabinet, dapat digunakan untuk mengeringkan padatan bergumpal atau pasta, yang ditebarkan pada baki logam

Dari beberapa definisi diatas, maka flashcard ( ةيضمولا ةقاطب ) dapat diartikan sebagai salah satu jenis media visual dalam bentuk gambar dari benda asli, yang

a) Melaksanakan segala keinginan dan segala tujuan gagasan atau pesan, misalnya komunikasi yang sifatnya serius, pesan-pesan atau gagasan yang akan disampaikan

Tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang dimaksudkan untuk tujuan perawatan atau penyembuhan pasien, bila dilakukan tidak sesuai dengan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan suatu kondisi optimum adsorpsi seng(II) oleh biomassa Azolla microphylla yang telah diesterifikasi dengan asam sitrat

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi sukrosa dan arang aktif yang optimum sehingga dapat memacu pertumbuhan eksplan bawang putih ( Allium sativum

Itu bisa disebutkan sebagai komunikasi sastra karena puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya sesuai