• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Periode setelah kemerdekaan merupakan masa-masa berat yang harus dihadapi oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Periode setelah kemerdekaan merupakan masa-masa berat yang harus dihadapi oleh"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Periode setelah kemerdekaan merupakan masa-masa berat yang harus dihadapi oleh rakyat Myanmar. Kekacauan yang terjadi paska terjadinya perang baik dalam segi ekonomi, infrastruktur dan sosial menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh Pemerintahan sipil Parlementer yang dipimpin oleh Perdana Menteri U Nu. Permasalahan lain yang mengemuka adalah semakin meruncingnya konflik antar etnis dan agama. Myanmar merupakan negara multi etnis dengan etnis mayoritas Burman yang beragama Buddha. Etnis minoritas lain seperti Karen, Shan, Kachin dan Chin merasa termarjinalkan karena hak-hak dasarnya sebagai warga negara tidak dilindungi. Pembagian hak otonomi daerah tidak jelas dan semua kebijakan yang diambil Pemerintah hanya menguntungkan pusat yang kebanyakan dihuni oleh etnis Burman. Padahal meskipun komposisi etnis di Myanmar lebih didominasi etnis Burman, namun negara-negara bagian yang tersebar di daerah-daerah pedesaan ditempati oleh etnis-etnis minoritas tersebut.

Latar belakang sejarah ini berkaitan erat dengan keterlibatan militer dalam perpolitikan di Myanmar dari dulu hingga kini. Militer menggunakan cara-cara kekerasan yang tidak kompromis dalam mengendalikan negara. Pemerintahan dikuasi oleh segelintir elit militer yang menerapkan sistem kekuasaan bergilir, tidak ada inklusifitas rakyat biasa dan tidak terdapat transparansi dalam proses pengelolaan negara. Demokrasi tidak berjalan dan terjadi korupsi dikalangan militer yang menimbulkan kesenjangan kemakmuran antara elit militer dan rakyat

(2)

bawah. Hal ini kemudian memicu protes massa pada tahun 1980, situasi yang tidak demokratis ini kemudian melahirkan gerakan-gerakan pro demokrasi yang salah satunya dipimpin oleh Aung San Suu Kyi.

1. Rezim Otoriter Militer di Myanmar

Rezim militer di Myanmar ditandai dengan campur tangan militer dalam meredakan perang sipil. Pemerintah sudah tidak mampu menghentikan kekacauan yang terjadi sehingga satu-satunya cara yang dapat ditempuh adalah dengan tindakan kekerasan.Gerakan perlawanan Partai Komunis terhadap Pemerintahan Myanmar mengawali terjadinya perang sipil, kemudian disusul oleh kerusuhan-kerusuhan antar etnis hingga akhirnya muncul gerakan-gerakan etnis minoritas bersenjata. Gerakan pemberontakan ini diawali oleh Karen National Union (KNU) dari

negara bagian Karen.1

Pemberontakan etnis minoritas tersebut merupakan respon terhadap kebijakan politis Pemerintah Myanmar yang dianggap lebih condong terhadap etnis Burman, terutama setelah

ditetapkannya Buddha sebagai agama negara. 2 Selain itu beberapa perwakilan etnis minoritas

merasa sikap represi Pemerintah Myanmar ini mengkhianati Perjanjian Panglong (Panglong Agreement) yang ditanda tangani pada tahun 1947. Perjanjian Panglong merupakan perjanjian

1

Kramer, Tom.Ending 50 years of Military Rule? Prospects for Peace, Democracy and Development in Burma. Norwegian Peacebuilding Resource Center Report. November 2012.

Pemberontakan Partai Komunis Myanmar juga dipandang sebagai bentuk retaliasi dikeluarkannya mereka dari AFPFL.

(3)

antara etnis minoritas Shan., Kachin dan Chin dengan Pemerintah rezim militer Myanmar. 3 Konflik dan pemberontakan antar etnis menyebar ke semua negara pada tahun 1950-an tanpa bisa dicegah. Hampir di semua negara bagian Myanmar terjadi pemberontakan etnis bersenjata melawan Pemerintah. Kondisi ini kian diperparah dengan invansi Kuomintang ke negara bagian

Shan, menyusul kekalahannya terhadap Partai Komunis Mao Zhe Dong di China. 4

Di sisi lain, kondisi perekonomian Myanmar mengalami fluktuasi sejak kemerdekaannya tahun 1948, sumber daya yang ada tidak terkelola dengan baik karena perdagangan dikuasai oleh etnis China dan India. Meskipun begitu berdasarkan sebuah laporan, perekonomian Myanmar sempat mengalami peningkatan pendapatan negara sebanyak dua kali yaitu di tahun 1950 dan

1956 dari tahun-tahun sebelumnya. 5 Salah satu penyebab gagalnya Pemerintahan U Nu, karena

U Nu dipandang tidak memiliki kemampuan organisatoris seperti yang dimiliki oleh U Aung San, sehingga Pemerintahan yang dipimpinnya tidak dapat mengatasi masalah disintegrasi dan masalah ekonomi yang muncul.

Situasi internal yang tidak menentu ini akhirnya mendorong U Nu menunjuk Jenderal Ne Win yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala angkatan bersenjata Myanmar untuk mengambil alih Pemerintahan sementara (Caretaker Government) dari tahun 1958 hingga 1960. Ne Win

3Burma’s Lawyer Council.

http://www.blc-burma.org/?q=node/136. Diakses pada 14 Juni 2014. Didalam Panglong Agreement disebutkan bahwa etnis Shan, Kachin dan Chin bekerja sama dengan Pemerintah Burma untuk meraih kemerdekaan, kemudian ketiga etnis tersebut akan memiliki hak otonomi atas negara-negara bagiannya.

4

Kramer, Tom.Ending 50 years of Military Rule? Prospects for Peace, Democracy and Development in Burma. Norwegian Peacebuilding Resource Center Report. November 2012.

5

Skidmore, Monique, Wilson, Trevor. 2008.Dictatorship, Disorder and Decline in Myanmar, tulisan U Myint dalam“Myanmar’s GDP Growth and Investment : Lesson from a Historical Perspective”.ANU E Press. Canberra. Australia. Hal. 53

(4)

dianggap sukses menstabilkan kondisi internal dalam negeri Myanmar, ia menggunakan pasukan bersenjata untuk menekan pemberontak etnis bersenjata di berbagai negara bagian. Pemerintahan sementara Ne Win juga sempat menyelenggarakan Pemilu di tahun 1960 dimana U Nu kembali menjadi Perdana Menteri. Akan tetapi pada tahun 1962 Jenderal Ne Win melakukan kudeta dan mengambil alih Pemerintahan. Setelah melakukan kudeta Ne Win tidak hanya mengambil alih Pemerintahan, namun juga mengontrol perekonomian dan menerapkan pola perekonomian Sosialisme ala Myanmar. Ne Win melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta dan militer yang menjalankan perusahaan-perusahaan tersebut. Anggota-anggota militer dan

keluarganya mendapatkan privilege dan menikmati posisi-posisi strategis di dalam perusahaan. 6

Pada tahun 1964 rezim militer Ne Win hanya membolehkan adanya satu partai politik yang berkuasa, yaitu Burmese Sosialist Program Party (BSPP), yang didirikan oleh Ne Win dan beranggotakan pejabat-pejabat militer. Dalam menjalankan Pemerintahan yang baru di Myanmar, Ne Win menggabungkan pola Pemerintahan diktator dan sosialis dan menerapkan kebijakan politik luar negeri isolatif yang memutus hubungan Myanmar dengan dunia luar. Pada tahun 1974 BSPP menyelenggarakan Pemilu yang secara mutlak memenangkan Ne Win sebagai Presiden, Ne Win kemudian membentuk Dewan Revolusi yang beranggotakan pejabat-pejabat militer dan memproklamirkan Socialist Republic of the Union of Burma.

Surpresi yang dilakukan oleh Pemerintahan Ne Win dan kebijakan ekonomi yang tidak menguntungkan membuat pelaku bisnis dari etnis China dan India serta kaum terpelajar Myanmar memilih untuk meninggalkan Myanmar. Pada tahun 1987 PBB menetapkan Myanmar sebagai “Least Developed Country” karena jumlah hutang luar negerinya yang meningkat

6

Lintner, Bertin.The Staying Power of The Burmese Military Regime. Paperwork yang dipresentasikan pada Public Forum on Burma di Aichi Gakuin University, Nagoya, Jepang tanggal 17 November 2009.

(5)

drastis. 7 Ne Win mengundurkan diri dari kepemimpinan BSPP pada tahun 1988 menyusul demonstrasi besar-besaran yang terjadi pada tanggal 8 Agustus 1988 oleh pelajar, biksu dan warga sipil yang menjatuhkan ribuan korban jiwa. Kendali Pemerintahan kemudian diserahkan kepada Jenderal Saw Maung.

2. Gerakan Pro Demokrasi di Myanmar

Setelah mengambil alih kendali Pemerintahan, Saw Maung kemudian mendirikan rezim militer baru yaitu State Law and Order Restoration Council (SLORC). Bersama SLORC Saw Maung menjanjikan kehidupan politik yang lebih baik daripada masa Ne Win, dengan menerapkan kebijakan baru yaitu memperbolehkan adanya sistem multipartai dalam Pemilu yang diadakan pada tahun 1990. Pada tahun 1988 tiga orang oposisi Pemerintah yaitu Aung Gyi, Tin U dan Aung San Suu Kyi mendirikan partai National League for Democracy (NLD) dan mengikuti Pemilu. Aung San Suu Kyi merupakan putri dari U Aung San, pejuang kemerdekaan yang sangat dihormati oleh rakyat Myanmar. Tujuan utama dari didirikannya partai NLD adalah

adanya keinginan untuk mencapai Pemerintahan yang lebih demokratis. 8

Walaupun di dalam struktur organisasi NLD Suu Kyi menjabat sebagai Sekretaris Jenderal, namun namanya lebih populer daripada Aung Gyi. Kemunculan pertama kali Suu Kyi dihadapan rakyat Myanmar yaitu pada 26 Agustus 1988 di Shwe Dagon Pagoda, ditengah-tengah gencarnya gelombang protes rakyat melawan Pemerintah. Kehadirannya pada waktu itu menarik keingintahuan rakyat Myanmar. Mewarisi kharisma heroik ayahnya yang merupakan pejuang

7

Oxford Burma Alliance.http://www.oxfordburmaalliance.org/1962-coup--ne-win-regime.html. Diakses pada 14 Juni 2014

8

Lintner, Bertil. 1989. Outrage Burma’s Struggle for Democracy. Review Publishing Company Ltd, Hongkong. Hal. 194

(6)

kemerdekaan, memiliki intelektualitas tinggi dan keberanian berada di sisi yang berseberangan dengan rezim militer membuatnya dengan cepat menarik simpati rakyat Myanmar yang menganggap kemunculannya sebagai sebuah harapan baru. Bentuk dukungan yangs secara terang-terangan dilakukan rakyat Myanmar salah satunya ketika ibu Suu Kyi yaitu Khin Kyi meninggal dunia. Sebanyak 100.000 rakyat Myanmar melakukan long march menuju pemakaman dengan membawa bendera dan spanduk NLD serta menyanyikan lagu-lagu bernada

anti Pemerintah. 9

Memiliki banyak pendukung baik dari mayoritas etnis Burman dan gerakan pro demokrasi memberi kemenangan mutlak bagi NLD pada Pemilu 1990. NLD memenangkan 80% suara atau sekitar 392 kursi dari total 489 kursi yang tersedia di Pemerintahan. Rezim militer

menolak hasil Pemilu ini dan menganggap Pemilu yang digelar tidak sah. 10 Hal ini

menimbulkan protes besar dari masyarakat Myanmar khususnya pendukung NLD dan semakin melegitimasi kediktatoran rezim militer Myanmar. SLORC memenjarakan lawan politiknya termasuk aktivis dan pewarta berita yang mengkritik Pemerintah, tak terkecuali Aung San Suu Kyi.

Demi menghilangkan aura sang ayah yang menurun pada Suu Kyi, Pemerintah membuang semua atribut penghormatan terhadap Aung San. Foto-foto Aung San tidak boleh lagi menghiasi dinding-dinding kantor Pemerintahan, mata uang Kyat yang bergambar Aung San ditarik dari peredaran. Rezim militer serta media setempat menyebut Suu Kyi dengan panggilan “The Lady”. Pada tahun 1997 karena sejumlah isu terkait kesehatan, Jenderal Saw Maung

9ibid. Hal. 225 10

(7)

mengundurkan diri dari Pemerintahan. SLORC kemudian berganti nama menjadi State Peace and Development Council (SPDC) dibawah kepemimpinan Jenderal Than Shwe.

Sejak kurun waktu 1989 hingga 2010, Aung San Suu Kyi mengalami beberapa periode masa menjadi tahanan rumah. Di tengah-tengah menjalani masa tahanan rumahnya tersebut pada tahun 1991 Suu Kyi menerima penghargaan Nobel Perdamaian. SPDC mengisolasi Suu Kyi dari dunia luar terutama dari para pendukungnya dan gerakan pro demokrasi. Semua akses komunikasi diputus dan Pemerintah menempatkan personel militer di sekitar rumah Suu Kyi untuk mencegahnya agar tidak meninggalkan tempat atau dikunjungi oleh pihak lain tanpa sepengetahuan rezim militer. Akses Suu Kyi untuk bertemu dengan keluarganya pun terputus, pada tahun 1999 Pemerintah Myanmar menolak permohonan visa berkunjung Michael Aris sang suami yang ketika itu menderita penyakit kanker. Suu Kyi tidak pernah lagi bertemu dengan suami dan anak-anaknya hingga suaminya meninggal. Pemerintah berdalih bahwa mereka sebenarnya membolehkan Suu Kyi pergi untuk bertemu dengan keluarganya, akan tetapi dia tidak boleh lagi kembali ke Myanmar.

Sikap Pemerintah ini sebagai upaya untuk meredam dukungan-dukungan terhadap Aung San Suu Kyi dan gerakan-gerakan pro demokrasi. Akan tetapi, meskipun berada dibawah cengkeraman rezim militer dan menjadi tahanan rumah tidak menyurutkan langkah Suu Kyi untuk tetap memperjuangkan demokrasi bagi negaranya. Pendukung-pendukung NLD tetap mendatangi rumah Suu Kyi dan mendengarkan pidato-pidatonya, meskipun selalu berakhir dengan bentrok melawan pasukan militer. Sebagai penganut Theravada Buddha dan pengagum Mahatma Gandhi, Suu Kyi mengadaptasi metode Satyagraha dalam menghadapi rezim militer, yaitu pembangkangan tanpa kekerasan. Selain itu dengan latar belakang keilmuan di bidang filsafat dan ilmu politik, Suu Kyi memiliki kecerdasan serta kemampuan dalam mengedukasi

(8)

pendukungnya mengenai hak-hak asasi dan hak politik warga negara yang harus dipenuhi oleh Pemerintah. Hal ini menyulut semangat rakyat untuk berani bangkit melawan kesewenangan rezim militer.

Tidak kunjung meredanya gelombang protes masyarakat dan semakin banyak dan solidnya pendukung NLD membuat Pemerintah Myanmar semakin brutal dalam melakukan represi. Pada tahun 2000 Pemerintah menyerang kantor pusat NLD, menyita semua dokumen dan menahan beberapa anggota aktif NLD. Pemerintah Myanmar semakin mendapat sorotan tajam dari komunitas internasional atas tindakan kesewenangannya yang membuat Myanmar akhirnyadikucilkan dari pergaulan internasional. Melihat situasi ini, pada tahun 2003 ketika Jenderal Khin Nyunt menjadi Perdana Menteri, arah kebijakan-kebijakan yang diambilnya lebih berkaitan dengan isu-isu luar negeri untuk memperbaiki citra Myanmar. Khin Nyunt yang juga merupakan salah satu anggota rezim militer dianggap lebih lunak daripada pendahulu-pendahulunya.

Khin Nyunt juga dianggap secara tidak langsung memberikan dukungan pada gerakan pro demokrasi. Khin Nyunt menggagas “Roadmap to Discipline-Flourishing Democracy”, yang kemudian menjadi fondasidalam penyusunan Konstitusi 2008 termasuk rencana penyelenggaraan Pemilu pada tahun 2010. Khin Nyunt juga berperan dalam menegosiasikan gencatan senjata dengan etnis pemberontak dan merupakan pemrakarsa pertemuan informal antara Aung San Suu Kyi dan rezim militer dengan utusan khusus Sekjen PBB, Razali Ismail. Akan tetapi Karir Khin Nyunt sebagai Perdana Menteri hanya bertahan satu tahun dan terhenti di tahun 2004 karena

(9)

adanya isu korupsi yang dituduhkan militer. Militer khawatir sepak terjang Khin Nyunt pada

akhirnya menjadi bumerang yang akan berbalik menyerang militer.11

Gelombang protes masyarakat yang lebih besar terjadi pada bulan September tahun 2007 melalui Revolusi Saffron yang dipimpin oleh ribuan Biksu yang berpakaian oranye serupa saffron bersama anggota NLD dan para aktifis mahasiswa di kota Yangoon. Revolusi Saffron merupakan klimaks dari rentetan protes panjang rakyat Myanmar sejak Pemerintah memangkas kebijakan subsidi danmenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebanyak 500% pada 15

Agustus 2007. 12 Kebijakan Pemerintah dalam menaikkan harga BBM tanpa adanya sosialisasi

sebelumnya ini menciptakan gelombang panik rakyat Myanmar.

Banyak rakyat miskin yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya karena harga-harga kebutuhan pokok melambung, rakyat miskin mendatangi biara untuk meminta makanan kepada para Biksu. Hal ini yang mendorong para Biksu melakukan gerakan turun ke jalan sebagai bentuk protes terhadap Pemerintah agar mau menurunkan harga BBM dan sekaligus membebaskan Aung San Suu Kyi. Revolusi Saffron berakhir dengan tindakan kekerasan dari pihak pasukan militer Pemerintah terhadap para pendemo, termasuk para biksu. Kejadian ini menarik perhatian dunia internasional, termasuk organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Association of South East Asian Nations (ASEAN), hingga Amerika Serikat dan Inggris menjatuhkan sanksi berupa embargo ekonomi terhadap Myanmar.

11Steinberg, David. I . 2009. Burma/Myanmar : What Everyone Needs To Know. Oxford University Press. New York. Hal. 130

12Skidmore, Monique, Wilson, Trevor. 2008. Dictatorship, Disorder and Decline in Myanmar. ANU E Press. Canberra. Australia. Hal. 13

(10)

Pada tahun 2010 Pemerintah Myanmar mengadakan Pemilu yang menghasilkan Thein Sein sebagai Presiden. Thein Sein berasal dari partai Union Solidarity and Development Party (USDP), merupakan pensiunan Jenderal yang sebelumnya menjabat sebagai Perdana Menteri. Meskipun di bawah kepemimpinan Thein Sein, hegemoni militer didalam Pemerintahan Myanmar tidak dapat hilang, karena Thein Sein bukan sepenuhnya berasal dari kalangan sipil. Akan tetapi prospek reformasi situasi politik di Myanmar mengalami kemajuan. Thein Sein memiliki empat tujuan utama dalam memperbaiki situasi di negaranya, yaitu: memperbaiki hubungan dengan NLD dan Aung San Suu Kyi, mengatasi konflik antar etnis, mengatasi krisis ekonomi dan memperbaiki hubungan Myanmar dengan dunia internasional.13 Hal ini ditunjukkan dengan bukti dibebaskannya tahanan-tahanan politik rezim militer termasuk Aung San Suu Kyi, Thein Sein juga mengadakan dialog dengan Suu Kyi dan memberinya kursi di parlemen, walaupun kehadiran NLD di parlemen masih dianggap simbolis karena USDP masih tetap mendominasi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan dari latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis merumuskan fokus permasalahan dari penelitian ini melalui pertanyaan berikut : “Bagaimana peranan Aung San Suu Kyi dalam proses transisi politik di Myanmar?”

C. Tinjauan Pustaka

Penulis menggunakan beberapa bahan bacaan sebagai acuan dalam membantu menjawab pertanyaan penelitian ini. Dari semua tulisan yang semuanya membahas mengenai perjuangan

13 Kramer, Tom. Ending 50 years of Military Rule? Prospects for Peace, Democracy and Development in Burma.

(11)

Aung San Suu Kyi dan kontribusinya terhadap kebangkitan demokrasi di Myanmar, masing-masing menggunakan pendekatan yang berbeda namun memiliki persepsi yang sama; bahwa Aung San Suu Kyi memiliki andil besar dalam berjalannya proses demokratisasi di Myanmar. Seperti ditunjukkan dalam tulisan Alan Clements dalam bukunya “The Voice of Hope: Aung San Suu Kyi Conversations with Alan Clements”, tulisan dalam buku tersebut menyajikan interview langsung si penulis dengan Aung San Suu Kyi dan beberapa orang terdekat Suu Kyi yang mengenalnya dengan baik. Menurut Suu Kyi perjuangannya belum akan berakhir sebelum terjadi reformasi secara menyeluruh didalam tubuh Pemerintahan Myanmar maupun semua aspek kehidupan sosial dan ekonomi. Alan Clements juga melakukan wawancara dengan U Gambira ketua All Burma Monks Alliance, U Tin U dan U Kyi Maung yang merupakan kolega Suu Kyi di NLD. Mereka menggambarkan Suu Kyi sebagai sosok yang berani, terbuka, pintar, pantang menyerah, dan mampu menyentuh dan menggerakkan hati masyarakat Myanmar. Hal ini mengingatkan mereka pada sosok Aung San sang ayah. Tulisan ini fokus kepada situasi sosial politik yang terjadi di Myanmar setelah dikuasi oleh rezim militer melalui kacamata pelaku.

Hampir serupa dengan tulisan Alan Clements, tulisan Judy L. Hasday dalam “Aung San Suu Kyi: Activist for Democracy in Myanmar” juga membahas peran Aung San Suu Kyi sebagai aktivis pro demokrasi. Hasday juga mengupas secara menyeluruh kejadian-kejadian historis yang terjadi di Myanmar di masa lalu. Hasday membagi tulisannya ke dalam tiga bagian; bagian pertama membahas mengenai asal muasal beragam etnis dan penduduk yang mendiami wilayah-wilayah Myanmar dan bagaimana kemudian keberagaman ini menjadi akar konflik, potensi sumber daya alam yang dimiliki Myanmar dan ajaran Buddha yang mempengaruhi kehidupan sosial, budaya dan beragama masyarakat Myanmar. Sementara itu, bagian kedua tulisan Hasday membahas mengenai masa pendudukan Inggris dan Jepang serta perjuangan tokoh-tokoh

(12)

Myanmar dalam mencapai kemerdekaan, dan bagian terakhir menceritakan mengenai kekejaman rezim militer, kehidupan pribadi Aung San Suu Kyi hingga akhirnya terlibat dalam gerakan pro demokrasi dan menjadi tokoh yang penting dan menginspirasi.

Sementara itu, David I. Steinberg didalam tulisannya yang berjudul “Aung San Suu Kyi and U.S Policy Towards Burma/Myanmar” mengambil sisi lain dari pengaruh Aung San Suu Kyi sebagai avatar demokrasi terhadap dunia internasional. Tulisan Steinberg membahas mengenai perhatian dan dukungan Amerika Serikat yang begitu besar terhadap Aung San Suu Kyi dan Myanmar sejak tahun 1988 hingga sekarang yang mempengaruhi arah kebijakan politis luar negeri AS terhadap negara tersebut. Dimulai dari tidak bersedianya AS menggunakan nama Myanmar dan tetap menyebut Burma untuk merujuk kepada negara tersebut. AS beranggapan bahwa menyetujui perubahan nama Myanmar sama artinya dengan mengakui kekuasaan rezim militer. Disamping itu disebutkan bahwa personalitas Suu Kyi yang karismatik dan magnetis tidak hanya menggerakkan hati rakyat Myanmar tapi juga tokoh-tokoh dunia internasional lain untuk mendukung perjuangan Suu Kyi, seperti Desmond Tutu, Vaclav Havel dan Kim Dae Jung. Bahkan Kim berpendapat bahwa pembebasan Aung San Suu Kyi akan membuat Asia menjadi lebih demokratis. Dukungan AS ini ditunjukkan dengan beberapa kunjungan anggota Senat AS ke Myanmar untuk melihat perkembangan situasi internal Myanmar. AS memastikan bahwa sanksi terhadap Myanmar tidak akan dicabut sampai Pemerintah Myanmar memperbaiki hal-hal yang menjadi perhatian utama AS yaitu masalah hak asasi manusia dan hak politik warga Myanmar. Sanksi ini tidak hanya akan ditujukan pada Myanmar namun juga kepada Cina jika negara tersebut tidak menghentikan bantuan militernya ke Myanmar dan kepada Thailand jika Thailand tidak melindungi dengan baik para pengungsi yang berasal dari Myanmar.

(13)

Tulisan lain yang menceritakan kontribusi Aung San Suu Kyi dalam demokratisasi di Myanmar ditunjukkan oleh tulisan Peter Popham dalam bukunya “The Lady and The Peacock, The Life of Aung San Suu Kyi”. Popham menggambarkan bahwa kehidupan Aung San Suu Kyi bukan sekedar kehidupan seorang wanita pejuang yang menjadi simbol perubahan dan dikagumi karena keberaniannya berseberangan dengan rezim militer, namun kehidupan Suu Kyi digambarkan penuh dengan kompleksitas terutama dalam kehidupan personalnya. Diceritakan bagaimana ketika dia berada dalam dilema yang mengharuskannya memilih antara keluarga dan idealismenya untuk melayani negara. Digambarkan pula bagaimana Suu Kyi membela pendukungnya, para pelajar yang ditahan oleh rezim militer dengan melakukan aksi mogok makan dan baru menghentikan aksinya ketika Pemerintah menjamin keselamatan mereka.

Hal yang berbeda diungkapkan oleh Kyaw Yin Hlaing dalam tulisannya berjudul “The State of The Pro-Democracy Movement in Authoritarian Myanmar/Burma” yang terdapat di dalam buku Xiaolin Guo “Myanmar/Burma: Challenges and Perspectives”. Kyaw Yin memaparkan bahwa gerakan pro demokrasi tidak semata-mata milik NLD dan Aung San Suu Kyi, ada banyak gerakan pro demokrasi selain NLD seperti 88 Generations (gerakan mahasiswa pada demonstrasi 8-8-88), All Burma’s Student Democratic Front (ABSDF), National Council of the Union of Burma (NCUB), dan Democratic Alliance ofBurma (DAB). Kyaw Yin menyoroti perubahan strategi gerakan pro demokrasi sebagai oposisi Pemerintah rezim militer dari waktu ke waktu. Kyaw Yin berpendapat bahwa gerakan-gerakan tersebut terbukti berhasil memobilisasi massa akan tetapi mereka gagal membuka dialog dengan Pemerintah dan ikut serta dalam proses pengambilan kebijakan. Tulisan Kyaw Yin juga berpendapat bahwa sanksi Amerika Serikat dan sekutunya tidak memberi dampak negatif pada rezim militer Myanmar. Hal ini dikarenakan Cina memberikan bantuan militer dan finansial yang begitu besar dan mendorong para pebisnisnya

(14)

untuk berinvestasi di Myanmar, begitu juga dengan India, Rusia dan negara-negara ASEAN yang menerapkan politik non-intervensi terhadap negara-negara anggotanya. Myanmar baru akan merasakan dampak negatif ketika semua negara didunia tidak berada di pihaknya. Disisi lain Myanmar juga lambat laun akan kehabisan sumber daya alamnya sehingga bukan tidak mungkin pada akhirnya negara-negara yang berada di pihaknya akan mengambil sikap sebaliknya. Tulisan ini juga menyoroti gerakan-gerakan pro demokrasi di Myanmar pada masa sekarang yang dinilai cenderung melemah, mahasiswa dan aktivis pro demokrasi sudah tidak tertarik untuk melakukan protes terhadap Pemerintah karena kondisi finansial yang sulit. NLD pun dianggap sudah tidak memiliki semangat yang sama seperti pada tahun 1990-an, setelah NLD menjadi partai yang legal mereka justru cenderung tunduk terhadap Pemerintah.

Berbeda dari tulisan-tulisan tersebut, penelitian ini akan mencoba menunjukkan bahwa Aung San Suu Kyi memiliki dua peranan yang berbeda selama proses transisi politik yang terjadi di Myanmar; yaitu yang pertama periode ketika ia menjadi seorang aktivis pro demokrasi tepatnya di tahun 1990-an, dimana pada masa itu ia berperan dalam membangkitkan gerakan rakyat dan memobilisasi massa untuk melawan rezim militer. Kedua adalah periode tahun 2000-an ketika ia menjelma sebagai seor2000-ang politisi moderat, suatu posisi y2000-ang mengharusk2000-an ia untuk melakukan negosiasi dengan Pemerintah. Penelitian ini juga akan membahas strategi-strategi apa saja yang digunakan Aung San Suu Kyi masing-masing diantara dua periode tersebut secara terperinci.

D. Kerangka Teori

Demokrasi merupakan bentuk Pemerintahan yang melibatkan rakyat didalam sistem pengelolaannya dan setiap individu dalam negara tersebut memiliki hak yang setara dalam setiap pengambilan kebijakan oleh penyelenggara negara. Suatu negara yang menganut paham

(15)

demokrasi harus memiliki prinsip-prinsip demokrasi, yaitu diantaranya: adanya kesetaraan hak bagi setiap individu sebagai warganegara tanpa terkecuali, adanya keikutsertaan setiap warganegara dalam setiap proses pengambilan keputusan, serta adanya kebebasan bagi setiap individu yang dilindungi oleh negara.

Luasnya pemahaman mengenai demokrasi melahirkan beragam jenis demokrasi dilihat dari beberapa sudut pandang, antara lain: jenis demokrasi berdasarkan caranya dalam penyaluran aspirasi rakyat, prinsip ideologi dan hubungannya dengan sistem penyelenggaraan negara. Berdasarkan cara dalam penyaluran aspirasi rakyat, demokrasi dibagi menjadi dua, yaitu: demokrasi langsung dan tidak langsung. Demokrasi langsung melibatkan seluruh warga negara dalam setiap pengambilan keputusan secara langsung, sementara itu dalam demokrasi tidak langsung, suara rakyat diwakili oleh wakil-wakil yang dipilihnya dalam kelembagaan negara. Sedangkan jenis demokrasi berdasarkan prinsip ideologi biasanya perkembangannya dipengaruhi oleh ideologi yang dianut oleh suatu negara, seperti contohnya demokrasi liberal yang menekankan pada hak-hak individu serta demokrasi kerakyatan yang memberi penekanan makna pada kepentingan kolektif. Sementara itu jenis demokrasi apabila dilihat dari hubungannya dengan sistem penyelenggaraan negara dibagi menjadi demokrasi perwakilan dengan sistem referendum, demokrasi perwakilan dengan sistem parlementer, demokrasi perwakilan dengan sistem pemisahan kekuasaan, dan demokrasi perwakilan dengan sistem referendum dan inisiatif rakyat.

Pemahaman mengenai demokrasi dan derajat ukuran berhasil tidaknya suatu negara dalam menerapkan demokrasi lebih kompleks dari sekedar inklusifitas rakyat didalamnya. Demokrasi politik menurut Joseph Schumpeter dapat tercapai dengan adanya kesempatan bagi rakyat untuk memilih sendiri pemimpinnya, sehingga 'metode demokratis’ diartikan sebagai

(16)

penataan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik dimana individu meraih kekuasaan

untuk mengambil keputusan melalui perjuangan kompetitif untuk meraih suara. 14 Sementara itu

pengertian lain mengenai demokrasi yang lebih kompleks diutarakan oleh David Held yang menggabungkan tradisi pemikiran liberalis dan marxis. Held berpendapat bahwa demokrasi politik baru bisa tercapai ketika hak-hak individu termasuk hak asasi manusia seperti hak ekonomi dan hak sosial terpenuhi, yang disebut olehnya sebagai otonomi demokrasi. Tanpa hak-hak ekonomi dan sosial yang kuat, hak-hak-hak-hak yang berhubungan dengan negara tidak dapat diperoleh sepenuhnya, dan tanpa hak-hak negara (state rights), wujud baru ketimpangan kekuasaan, kesejahteraan, dan status secara sistematis akan mengacaukan implementasi

kebebasan sosial dan ekonomi.15

Konsep demokrasi politik menurut Dietrich Rueschemeyer ditunjukan dengan diselenggarakannya Pemilu yang bebas, adil dengan hak pilih yang sama, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berekspresi dan berserikat, adanya perlindungan hak-hak individu terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh negara dan adanya pertanggung jawaban

penyelenggara negara terhadap anggota parlemen terpilih.16 Sementara Robert Dahl berpendapat

bahwa demokrasi politik merupakan respon Pemerintah terhadap preferensi yang dipilih oleh warga negaranya, Dahl menekankan demokrasi politik pada tiga hal yaitu: kompetisi, partisipasi dan kebebasan politik.

14

Sorensen, George. 2003.Demokrasi dan Demokratisasi (Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang

Berubah). Diterjemahkan oleh I. Made Krisna. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal. 14.

15ibid. Hal. 15. 16

Rueschemeyer, Dietrich, Evelyne Huber Stephens, dan John D. Stephens. 1992. Capitalist Development and

(17)

1. Teori Transisi Politik

Keikutsertaan elit Pemerintah dalam demokrasi bisa disebabkan oleh alasan sosial dan ekonomi yang tidak kondusif di negaranya, dan karena demokrasi mendapat pengakuan dari masyarakat internasional, maka dengan membuka jalan bagi demokrasi, sama halnya dengan membuka aliran dana investasi dan bantuan asing yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan dan mengatasi persoalan tersebut. Kondisi dimana elit Pemerintah otoritarian mulai terbuka terhadap ide mengenai demokrasi ini disebut sebagai masa transisi. Masa transisi menuju demokrasi merupakan waktu vakum pada masa peralihan dari Pemerintahan otoriter ke demokrasi, dalam masa ini keadaan politik tidak stabil dan diwarnai konflik kepentingan diantara Pemerintah.

Salah satu ciri dimulainya masa transisi adalah ketika para penguasa otoriter mulai bersikap terbuka dan sedikit liberal, mulai memperhatikan hak-hak individu dan kelompok serta

memodifikasi peraturan demi menjamin kepentingan individu dan kelompok.17 Menurut

Dankwart Rustow, proses transisi menuju demokrasi dipengaruhi oleh latar belakang dan beberapa tahapan, latar belakang yang mempengaruhi terjadinya transisi demokrasi adalah adanya persatuan nasional, yaitu munculnya kesadaran kolektif warga negara akan kualitas politik didalam komunitasnya. Sementara itu tahapan yang terjadi setelah adanya persatuan

nasional yaitu: 18

1. Tahapan persiapan, yaitu pecahnya rezim non-demokratis/otoriter 2. Tahapan keputusan, yaitu mulai dibangunnya tata tertib demokrasi

17O’Donnell, Guillermo, dan Philipe C. Schmitter. 1993.Transisi Menuju Demokrasi : Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian. Diterjemahkan oleh Nurul Agustina. PT. Pustaka LP3ES. Jakarta. Hal.7

18Sorensen, George. 2003.Demokrasi dan Demokratisasi (Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang

(18)

3. Tahapan konsolidasi, yaitu pengembangan demokrasi lebih lanjut dan menjadikan demokrasi mendarah daging dalam budaya politik

Sementara Guillermo O'Donnell berpendapat transisi demokrasi dipengaruhi oleh dua kubu dalam tubuh rezim otoriter yaitu; kubu garis keras dan kubu garis lunak. Garis keras merupakan para elit otoriter yang ingin memperkuat dan mempertahankan rezim otoriter (pro status quo), sedangkan garis lunak masih bisa berkompromi dan bersikap terbuka terhadap demokrasi. Pertentangan antara kelompok garis keras dan garis lunak ini menjadi jalan bagi oposisi dari kalangan masyarakat sipil untuk bergabung dengan kelompok garis lunak dan memulai pergerakan atau revolusi, wujudnya bisa berupa mobilisasi masyarakat sipil dan kudeta terhadap Pemerintahan otoriter.

Sementara didalam buku Samuel Huntington disebutkan masa transisi selalu diwarnai dengan konflik kepentingan antar kelompok Pemerintahan, dilihat dari cara menyikapi demokratisasi kelompok tersebut dibagi menjadi kelompok konservatif, liberal, demokratis dalam koalisi Pemerintah dan kelompok ekstrimis revolusioner di pihak oposisi. Di dalam kelompok-kelompok antara koalisi Pemerintah dan oposisi itu sendiri terbagi lagi antara kelompok yang pro demokrasi, menentang dan pro liberalisasi, akan tetapi kelompok-kelompok

ini tujuannya masih dapat berubah-ubah. 19 Unsur utama yang mempengaruhi masa transisi

menuju demokrasi adalah interaksi antar kelompok, yaitu interaksi antara Pemerintah dan kelompok oposisi, interaksi kelompok reformasi dan konservatif, dan interaksi kelompok moderat dan ekstrimis didalam oposisi. Interaksi antar kelompok ini memainkan peranan penting dalam proses demokratisasi dan mempengaruhi keberhasilannya.

19

Huntington, Samuel P. 1995.Gelombang Demokrasi Ketiga. Diterjemahkan oleh Asril Marjohan. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta. Hal. 156.

(19)

Tiga proses demokratisasi berdasarkan peranan kelompok tersebut menurut Samuel Huntington dibedakan menjadi: transformasi, replacement dan transplacement. Transformasi adalah terjadinya demokrasi yang dipelopori oleh para elit yang sedang berkuasa;replacement adalah ketika yang mempelopori adalah kelompok oposisi Pemerintah yang dapat menumbangkan rezim otoriter yang berkuasa dan transplacement terjadi ketika kelompok Pemerintah dan oposisi sama-sama mempelopori terjadinya demokrasi. Ciri-ciri mendasar demokrasi di masa ini adalah adanya kompromi diantara elit politik, perjanjian dan penyelesaian perselisihan dengan damai serta diselenggarakannya Pemilu. Di dalam kompromi di masa transisi tersebut akan terjadi tarik menarik kepentingan mengenai kekuasaan dan tujuan

mengenai seperti apa dan bagaimana demokrasi itu akan dijalankan. 20

2. Teori Struktural

Proses masa transisi dari Pemerintahan otoriter akan berjalan dengan baik apabila ada pakta antara elit moderat dalam oposisi dengan Pemerintah. Agar dapat terbentuk sebuah pakta politik, peran para elit dan aktor politik sangat signifikan. Peran utamanya adalah membangun aliansi antar tokoh, menegosiasikan Undang-Undang dan seterusnya, disinilah kita dapat melihat peran Aung San Suu Kyi. Namun disisi lain negosiasi-negosiasi dengan kekuatan turunan dari Pemerintahan otoriter ini sangat mungkin menghambat terjadinya reformasi secara menyeluruh.

Akan tetapi demokratisasi juga dapat dipahami dengan adanya perubahan perimbangan kekuatan antara pemerintah dengan masyarakat. Demokratisasi apabila dilihat dari sudut pandang ini adalah soal bagaimana meningkatkan kekuatan masyarakat vis á vis Pemerintah. Dalam hal ini peran Aung San Suu Kyi juga bisa kita lihat dari sisi perannya dalam memperkuat masyarakat. Dalam proses demokratisasi akan muncul working class dan elit Pemerintah.

20

(20)

Demokratisasi akan berjalan dengan baik apabila ada keseimbangan antara rakyat kelas bawah dan elit Pemerintah. Menurut Ruth Collier, motivasi keterlibatan rakyat kelas bawah dalam gerakan pro demokrasi sebenarnya dipengaruhi oleh motivasi yang bersifat non-demokratis, yaitu motivasi ekonomi. Rakyat kelas bawah baru benar-benar dikatakan berkontribusi dalam gerakan pro demokrasi ketika agenda demokrasi di berbagai aspek benar-benar dijalankan.

Peran working class dalam gerakan pro demokrasi masih menimbulkan perdebatan; apakah kelompok working class turut serta dalam gerakan pro demokrasi hanya terbatas pada perubahan peraturan yang dibuat oleh rezim otoriter yang akan menguntungkan kelompok ini secara sosial dan ekonomi. Apabila keikutsertaan kelompok bawah dalam gerakan pro demokrasi terbatas pada motif ekonomi, maka proses demokratisasi pun hanya terbatas pada kompromi-kompromi pada bidang-bidang tersebut yang akan menghasilkan win-win solution bagi kedua belah pihak, belum tentu berdampak pada jatuhnya rezim otoriter. Inklusifitas elektoral kelas bawah belum menyentuh agenda demokrasi secara menyeluruh.

Konsep elit menurut Collier dipengaruhi oleh faktor sosial dan politik, setidaknya terdapat tiga konsep yang dapat membantu kita dalam memahami konsep dan posisi elit dalam proses demokratisasi, yakni; pertama pendekatan elit dilihat melalui strata sosial yang terdiri dari kaum burgoise dan kaum kelas menengah termasuk kaum intelektual dan white collar workers; yang kedua kelompok elit yang memiliki kekuasaan politik seperti para pemangku jabatan di Pemerintahan termasuk kelompok oposisi; yang terakhir konsep elit yang merujuk pada political leaders dengan pendekatan yang lebih individual, dimana elit ini memiliki posisi strategis dalam

suatu wadah organisasi yang kuat.21

21

Collier, Ruth Berrins. Paths Toward Democracy: The Working Class and Elites in Western Europe and South

(21)

Sementara itu menurut Rueschemeyer dengan teori strukturalnya, menegaskan bahwa kelompok bawah memainkan peranan vital dalam merubah rezim otoriter berubah menjadi rezim demokratis. Rueschemeyer membandingkan konsistensi antara kaum kelompok bawah dengan kelompok burgeoise dalam membawa perubahan demokratis. Menurutnya sikap kelompok kelas bawah lebih konsisten dalam proses demokratisasi, sementara kelompok burgeoise sikapnya tidak tegas. Sehingga yang terjadi adalah demokrasi kemudian dimaknai sebagai produk dari perebutan kekuasaan atau perimbangan kekuasaan antara kelas atas dan kelas bawah.

Apabila kita melihat pendekatan transisi politik dan struktural, kedua teori tersebut mengembangkan peran aktor politik secara berbeda. Teori struktural memahami aktor politik sebagai aktivis yang melakukan gerakan pada level grassroot untuk mengubah perimbangan kekuatan antar kelas, sementara itu di sisi lain teori transisi lebih melihat aktor politik sebagai politisi yang tidak terlibat pada level grassroot namun aktivitasnya terlibat pada level elit. Pada level ini tugas utama aktor politik tersebut adalah bernegosiasi dengan elit politik lainnya, membangun koalisi antar elit politik dan menciptakan posisi tawar.

Kedua teori ini menjadi menarik karena keduanya dapat menjelaskan secara baik kedua jenis peran Aung San Suu Kyi selama proses demokratisasi sejak kemunculannya dalam peta perpolitikan di Myanmar. Ada suatu masa dimana Suu Kyi berperan sebagai aktivis yang bergerak pada level grassroot dan berusaha merubah perimbangan kekuatan antar kelompok. Kemudian ada saat ketika ia berperan sebagai politisi yang aktivitasnya pada level elit adalah bernegosiasi dengan Pemerintah dan membangun koalisi.

E. Argumen Utama

Pada masa transisi politik saat terjadinya peralihan rezim muncul kelompok-kelompok baik dipihak Pemerintahan maupun oposisi yang menyatakan diri menentang maupun

(22)

mendukung demokrasi. Perbedaan tujuan dan kepentingan dalam melawan sisa-sisa rezim otoriter mewarnai dinamika politik yang terjadi pada masa ini.Kelompok oposisi moderat demokratis harus memperkuat posisinya agar dapat tampil sebagai pemenang dengan cara berkompromi dengan kelompok lain dan menggalang dukungan yang besar dari rakyat. Dibutuhkan aktor politik di kubu oposisi yang memiliki popularitas, kharisma dan memihak pada rakyat yang tugasnya membawa atau menyampaikan aspirasi rakyat.

Salah satu aktor politik yaitu Aung San Suu Kyi memainkan peranan penting pada proses transisi politik yang terjadi di Myanmar selama rentang waktu 1990-an hingga 2000-an. Dalam hal ini peran Aung San Suu Kyi dapat dilihat melalui dua cara: Pertama, perannya sebagai aktifis politik dalam memperkuat dan memberdayakan masyarakat agar memiliki kekuatan yang dapat mengimbangi kekuatan negara. Kedua perannya sebagai elit politik yang bernegosiasi dengan pemerintah yang berkuasa dan membentuk aliansi dengan elit politik lainnya dalam memastikan kelancaran proses transisi menuju demokrasi.

F. Jangkauan Penelitian

Penulis membatasi jangkauan penelitian berdasarkan periode perubahan peran Aung San Suu Kyi dari aktivis pro demokrasi menjadi elit politik. Peran Aung San Suu Kyi sebagai aktivis pro demokrasi dimulai pada tahun 1990-an ketika Aung San Suu Kyi memperjuangkan perubahan terhadap sistem Pemerintahan rezim militer dan mengedukasi serta memimpin pergerakan rakyat Myanmar dalam melawan kediktatoran rezim militer. Sementara periode tahun 2000-an adalah ketika Aung San Suu Kyi telah berubah peran menjadi elit politik moderat dalam oposisi Pemerintah Myanmar.

(23)

Penelitian ini bersifat kualitatif dan untuk memahami permasalahan yang akanditeliti, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif. Melalui metode penelitian deskriptif memudahkan penulis untuk menganalisis permasalahan. Adapun penelitian ini didukung oleh metode pengumpulan, penyusunan dan analisis data guna menghasilkan interpretasi terhadap objek yang diteliti. Tehnik pengumpulan data untuk penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan dan terjun langsung ke lapangan. Peneliti mengumpulkan segala sumber informasi berupa buku, jurnal, laporan penelitian, media online dan cetak dan segala bentuk dokumen tertulis mengenai proses transisi yang berlangsung di Myanmar kaitannya dengan Aung San Suu Kyi untuk mendukung penelitian ini. Penulis juga menambah sumber materi untuk penelitian ini dengan cara melakukan wawancara langsung dengan beberapa narasumber yaitu antara lain akademisi dan pengamat politik di Myanmar, anggota NLD dan juru bicara non-partai, mantan biksu dalam gerakan Revolusi Shaffron dan beberapa masyarakat yang mengalami masa opresi rezim militer.

Pendekatan kualitatif penulis rasa tepat untuk digunakan dalam penelitian ini karena penelitian kualitatif didesain untuk memahami kompleksitas dalam interaksi sosial antar

manusia.22Dengan metode penelitian deskriptif, penulis berharap dapat menggambarkan,

menjelaskan serta memberi informasi mengenai peran dan kontribusi Aung San Suu Kyi dalam proses demokratisasi di Myanmar dan strategi-strategi yang digunakannya dalam mewujudkan demokratisasi di Myanmar.

H. Tujuan Penelitian

(24)

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran Aung San Suu Kyi dalam proses demokratisasi di Myanmar khususnya dalam masa transisi politik yang terjadi di Myanmar pada tahun 1990-an sampai dengan 2000-an.

I. Sistematika Penulisan

Penulis akan membagi penelitian ini menjadi 5 bab. Bab pertama berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, rumusan masalah, kajian literatur, kerangka teoritis, argumentasi utama, metode penelitian, jangkauan penelitian, dan sistematika penulisan. Adapun Bab kedua akan membahas mengenai proses demokratisasi yang terjadi di Myanmar, ulasan peranan militer dalam Pemerintahan di Myanmar, tekanan dunia internasional dan transisi politik yang terjadi Myanmar serta munculnya Aung San Suu Kyi sebagai tokoh pro demokrasi.

Bab ketiga akan memfokuskan pembahasan pada peranan Aung San Suu Kyi sebagai

aktivis pada periode 1990-an dalam memperkuat masyarakat Myanmar beserta strategi-strateginya dalam membentuk aksi massa melawan rezim militer. Sementara itu Bab keempatakan menjelaskan mengenai peranan Aung San Suu Kyi sebagai elit politik pada

periode 2000-an yang berisi tentang strategi-strategi politiknya dalam bernegosiasi sebagai usaha membentuk aliansi dengan elit politik lain. Kesimpulan terhadap hasil riset ini akan dipaparkan pada Bab kelimayang merupakan bab penutup dan berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan dari penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Bahan tambahan PEG 400 dan mentol pada formulasi patch ekstrak daun sirih (Piper betle L.) memberikan pengaruh yaitu dapat meningkatkan disolusi efisiensi dan

Penelitian dengan topik pengawasan terhadap efisiensi dan efektivitas kerja Pegawai Negeri Sipil di Kantor Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman ini masih belum dikaji secara

Kini, surat menyurat melalui E-mail tidak hanya dapat dilakukan melalui kompoter meja atau desktop dan komputer junjing (laptop) melainkan juga telepon genggam (seluler)

Di Sumatera Barat, angka kejadian kanker payudara adalah 5,6% angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan angka kejadian rata-rata Nasional yang hanya sekitar 4,3%

Mengamati kembali keberadaan asas ini dalam masalah perubahan perjanjian kemitraan di PT.Go-Jek sebagaimana yang telah penulis bahas sebelumnya, menurut penulis, setelah adanya

 Penalaran moral dalam tahap empat; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini : (1) Perencanaan proses rekrutmen dan seleksi CPNS yang dilaksanakan Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Sleman telah

Muhammadiyah mendasarkan segala gerak dan amal usahanya atas prinsip-prinsip yang tersimpul dalam Muqaddimah Anggaran Dasar yang dapat dipahami bahwa hidup manusia