• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecemasan

1. Definisi cemas

Cemas atau ansietas antara lain adalah reaksi emosional yang ditimbulkan oleh penyebab yang tidak pasti atau spesifik yang dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman dan merasa terancam. Cemas dapat berupa perasaan khawatir, perasaan tidak enak, tidak pasti atau merasa sangat takut akibat dari suatu ancaman atau perasaan yang mengancam dimana sumber nyata, dari kecemasan tersebut tidak dapat diketahui secara pasti (Stuart & Sundeen, 1995). Cemas adalah suatu keadaan kekhawatiran pikiran, ketakutan atau perasaan tidak berdaya yang berhubungan terhadap ancaman atau kemampuan mengantisipasi bahaya yang tidak teridentifikasi bagi individu (Kozier, B, 2004).

Menurut Molly, M. (2000), cemas merupakan bagian integral dari pengalaman individu yang umum. Untuk sebagian masyarakat, terkadang cemas tidak jelas, subyektif, perasa7an khawatir yang tidak spesifik dengan obyek yang tidak dapat diidentifikasi dan hasil dari ancaman eksternal terhadap integritas individu.

Ketiga pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa cemas adalah suatu keadaan tegang, takut atau keadaan yang terjadi akibat ancaman yang berlebihan dimana sumber dari kecemasan tidak dapat diketahui secara pasti. 2. Faktor pendukung terjadinya cemas menurut Stuart & Sundeen (1995)

antara lain:

a. Teori psikoanalitik

Menurut pandangan psikoanalitik, kecamasan terjadi karena adanya konflik yang terjadi antara emosional eleman kepribadian yaitu id dan super ego. Id mewakili insting, super ego mewakili hati nurani sedangkan ego menengahi konflik yang terjadi antara kedua elemen yang

(2)

bertentangan. Timbulnya kecemasan merupakan upaya dalam memberikan tanda adanya bahaya pada elemen ego.

b. Teori interpersonal

Menurut pandangan interpersonal kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal.

c. Teori behavioral

Berdasarkan teori perilaku, kecemasan merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

d. Teori perspektif keluarga

Kajian keluarga menunjukkan pola interaksi yang terjadi dalam keluarga. Kecemasan menunjukkan adanya pola interaksi yang tidak adaptif dalam sistem keluarga.

e. Teori perspektif biologis

Kesehatan umum seseorang, menurut pandangan biologis merupakan faktor predisposisi timbulnya kecemasan. Perubahan yang dapat diukur pada pasien dengan gangguan kecemasan mencerminkan akibat konflik psikologis. Stimulasi sistem saraf otonom menyebabkan gejala tertentu bisa kardiovaskuler, muskuler, gastrointestinal dam persyarafan.

3. Faktor presipitasi (pencetus) terjadinya kecemasan

Suliswati dkk (2005) mengemukakan bahwa stressor presipitasi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat mencetuskan timbulnya kecemasan. Stressor presipitasi dikelompokkan menjadi dua bagian:

a. Ancaman terhadap integritas fisik, ketegangan yang mengancam integritas fisik meliputi:

1) Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologis system imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal (mis: hamil). 2) Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan bakteri,

polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya tempat tinggal.

(3)

1) Sumber internal: kesulitan dalam berhubungan interpersonal dirumah dan ditempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru. Berbagai ancaman terhadap integritas fisik juga dapat mengancam harga diri. 2) Sumber eksternal: kehilangan orang yang dicintai, perceraian,

perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok, sosial budaya. 4. Respon terhadap kecemasan

Stuart & Sundeen (1995) membagi respon terhadap kecemasan menjadi dua yaitu :

a. Respon fisiologis, meliputi :

1) Kardiovaskuler : jantung berdebar, tekanan darah meninggi, rasa mau pingsan, tekanan darah menurun, denyut nadi meningkat.

2) Pernafasan : nafas cepat, nafas pendek, nafas dangkal, terengah-engah.

3) Neuromuscular : reflek meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip, insomnia, tremor, gelisah, wajah tegang, kaki goyah.

4) Gastrointestinal : kehilangan nafsu makan, rasa tidak nyaman pada abdomen, mual, diare.

5) Traktus urinarius : tidak dapat menahan kencing, ingin berkemih. Kulit wajah kemerahan, berkeringat setempat, rasa panas dan dingin pada kulit, wajah pucat, berkeringat diseluruh tubuh.

b. Respon Psikologis, meliputi :

1) Perilaku gelisah, ketegangan fisik, gugup, bicara cepat, kurang koordinasi, melarikan diri dari masalah dan menghindar.

2) Kognitif : perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah dalam memberikan penilaian, hambatan berfikir, kreatifiatas menurun, produktifitas menurun, bingung, sangat waspada, kehilangan obyektivitas, takut cedera atau kematian.

(4)

Menurut hal-hal yang dapat menimbulkan kecemasan dan ketakutan pada pasien pre operasi antara lain takut terhadap hal-hal yang belum diketahui yaitu belum jelas diagnosa, kemungkinan tidur terus tidak bangun lagi karena pengaruh anastesi, nyeri, perubahan bentuk, kurang pengetahuan tentang operasi (Long, 1996).

5. Klasifikasi tingkat kecemasan

Menurut (Long, 1996) tingkat kecemasan pada pasien dapat diklasifikasikan :

Tingkatan Pola Perilaku

Kecemasan

Ringan Waspada, gerakan mata, ketajaman bertambah, dan kesadaran meningkat. Kecemasan

Sedang Berfokus pada dirinya (penyakitnya) menurunnya perhatian pada lingkungan secara terperinci. Kecemasan

Berat

Perubahan pola pikir, ketidakselarasan pikiran, tindakan dan perasaan lapang, persepsi menyempit.

Panik Persepsi terhadap lingkungan mengalami distorsi ketidakmampuan memahami situasi, respon tidak dapat diduga, aktifitas motorik yang tidak menentu.

Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan (Long, 1996)

Menurut (Peperawati, 2005) tingkat kecemasan terdiri dari respon: a. Cemas

Perasaan tak menentu serta gugup sehingga tak dapat berbuat apa-apa lagi. b. Tegang

Perasaan tegang dengan tanda-tanda, jantung berdebar-debar, sesak nafas dan pendek, dasa terasa sesak, perut perih dan melilit, jari-jari gemetar suara agak berubah.

c. Takut

Perasaan takut yang luar biasa, takut ini dapat berupa, takut menghadapi orang banyak, takut pada kesendirian, takut pada hal-hal tertentu yang spesifik, ataupun suatu keadaan takut yang mengambang dan tak spesifik. Misalnya takut menghadapi masa depan.

d. Tidak Bisa Tidur

Mudah bangun serta bangun terlalu dini dan perasaan tak segar sewaktu bangun tidur.

(5)

e. Kesulitan Konsentrasi

Kecepatan berfikir sangat lambat, mengambil keputusan lambat dan sebagainya.

f. Depresi atau Sedih

Suatu keadaan depresi atau sedih sehingga mudah menangis, menyesal, nafsu makan berkurang, gairah kerja menurun, letih lesu dan ingin bunuh diri.

B. Informed Consent

1. Pengertian Informed Consent

Informed consent terdiri dari dua kata yaitu Informed dan Consent berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan atau informasi, sedangkan consent berarti persetujuan yang diberikan setelah mendapatkan informasi (Guwandi, 2003).

Informed Consent dapat berarti juga persetujuan oleh seseorang untuk mengizinkan sesuatu tindakan seperti (pembedahan) yang diberikan didasarkan pada informasi yang lengkap tentang data yang dibutuhkan untuk membuat sesuatu keputusan yang meliputi pengetahuan akan resiko, altenatif atau konsekuensi pada penolakan (Potter & Perry, 1993).

Seseorang akan mempunyai kapasitas legal untuk memberikan Consent jika pada situasi yang dapat memberikan pilihan bebas, tanpa intervensi, paksaan, kecurangan/penipuan, kebohongan, diluar jangkauan atau bentuk paksaan tersembunyi lainnya dan akan mempunyai cukup pengetahuan dan pemahaman terhadap eleman pada subyek persoalan yang terlihat yang memungkinkan ia membuat pengertian dan keputusan (Levine, 1986).

2. Bentuk Informed Consent

Diantara bentuk-bentuk Informed Consent antara lain persetujuan efektif yang mencakup:

a. Persetujuan ekspresif, yaitu apabila secara factual pasien mau menjalani suatu prosedur secara medis dalam rangka penanganan terhadap penyakitnya.

(6)

b. Persetujuan non ekpresif, yaitu apabila berdasarkan sikap dan tindakan pasien dapat ditarik kesimpulan bahwa pasien yang bersangkutan memberikan persetujuannya.

Menurut Amir (1997) menjelaskan bahwa persetujuan tindakan medik ada dua bentuk, yaitu :

a. Implied Consent (dianggap diberikan)

Umumnya diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebur dari isyarat yang dilakukan (diberikan pasien). Misalnya bila dokter mengatakan akan menginjeksi pasien, pasien menyingsingkan lengan baju atau menurunkan celananya. Tapi ada Implied Consent bentuk lain yaitu bila pasien dalam keadaan gawat darurat (emergency) sedang dokter memerlukan tindakan segera, sementara pasien dalam keadaan tidak dapat memberikan persetujuan sedangkan keluarganya pun tidak dapat memberikan persetujuan serta tidak ditempat.

b. Ekspress Consent (Dinyatakan)

Dinyatakan secara lisan dan dapat dinyatakan secara tertulis. 3. Fungsi Informed Consent

a. Fungsi Informed Consent bagi pasien adalah sebagai berikut :

1) Sebagai dasar atau landasan bagi persetujuan (Consent) yang akan ia berikan kepada dokter.

2) Perlindungan atas hak pasien untuk menentukan dirinya sendiri.

3) Melindungi dan menjamin pelaksanaan hak pasien yaitu untuk menentukan apa yang harus dilakukan terhadap tubuhnya yang dianggap lebih penting daripada pemulihan.

b. Fungsi Informasi bagi dokter

1) Membantu lancarnya tindakan kedokteran.

2) Mengurangi akibat timbulnya samping dan komplikasi. 3) Mempercepat proses penyembuhan dan pemulihan penyakit. 4) Meningkatkan mutu pelayanan.

(7)

4. Hal-hal yang harus diinformasikan

Menurut Leenan informasi yang harus disampaikan meliputi diagnosa, terapi dan alternatif-alternatif terapi, cara kerja dan pengalaman, resiko-resiko baik yang langsung maupun sampingan, kemungkinan perasaan sakit atau perasaan-perasaan lain, keuntungan terapi (J. Guwandi, 2003).

Sedangkan menurut (Soetedjo, 2000) Informed Consent diberikan ketika :

a. Tindakan bedah (operasi) b. Tindakan invasif

c. Tindakan non bedah (EKG)

5. Hak atas informasi dan yang memberi persetujuan

Pasal 4 (1) Permenkes 585/1985 disebutkan bahwa informasi tindakan medik harus diberikan kepada pasien baik diminta ataupun tidak diminta. Yang berhak mendapatkan informasi dan memberikan persetujuan adalah sesuai dengan Permenkes 585/1985 pasal 8 yaitu persetujuan diberikan oleh pasien dewasa yang telah berumur 21 tahun atau menikah bagi pasien yang kurang dari 21 tahun informasi diberikan kepada keluarga terdekat induk semang (guardian).

6. Pengesampingan dari hak informasi

Bila dilihat perumusan pasal 4 (2) Permenkes 585/1989 akan kita ketahui ada pasien yang dikecualikan dari hak atas informasi. Mereka itu adalah pasien yang bila disampaikan informasi akan merugikan kondisi medisnya serta pasien yang menolak hasil diberikan informasi.

Disamping itu dalam literatur buku kedokteran ada beberapa yang dikesampingkan karena alasan-alasan tertentu, yaitu pasien yang akan mengalami pengobatan dengan ”Placebo” (Sugestif therapeutikum), pasien yang akan merasa dirugikan bila mendengar informasi tersebut, pasien yang sakit jiwa, pasien yang belum dewasa, pasien dalam keadaan gawat darurat (Kerbala, 1993).

(8)

7. Kewajiban memberikan informasi

Pada dasarnya informasi tentang penyakit /hal-hal lain yang bersifat medis disampaikan oleh dokter yang menangani pasien. Namun dalam keadaan-keadaan tertentu tugas menyampaikan informasi itu dapat disampaikan dokter lain dengan sepengetahuan dokter yang bertanggung jawab. Pendekatan itu sebatas pada tindakan-tindakan yang bukan bedah (operasi) dan bukan tindakan infasi lainnya, maka informasi harus diberikan oleh dokter yang melakukan operasi itu sendiri (vide pasal 6 Permenkes 585/1989).

Tentang hal-hal yang bersifat medis berhubungan dengan masalah penyakit yang menjadi kewenangan dokter untuk menyampaikan, maka perawat tidak boleh menjawab dan menjelaskan pada pasien. Namun perawat yang bersangkutan wajib menyampaikan pernyataan pasien itu kepada dokter yang bersangkutan, untuk selanjutnya dokter itulah yang akan menyampaikan penjelasan kepada pasien yang bersangutan.

Sedangkan bila pernyataan itu berhubungan dengan masalah keperawatan yang memang sudah menjadi kewenagan seorang perawat dan ia memang menguasai, maka bolehlah perawat itu menjawabnya.

Namun demikian menurut Permenkes No. 585/1989 pasal 4 (3) menyatakan bahwa perawat dapat menyampaikan informasi medis dengan ketentuan bahwa dokter yang memberi delegasi kepada perawat itu harus yakin akan kemampuan pihak yang diberi delegasi untuk menyampaikan informasi kepada pasien.

Perawat penerima delegasi harus yakin bahwa dirinya mempunyai kemampuan dan kecakapan untuk melaksanakan apa-apa yang didelegasikan itu. Pendelegasian itu tidak boleh mengenai penyampaian informasi akan diagnosa dan tetapi karena sifatnya sangat medis dan kompleks.

8. Tanggung jawab pelaksanaan Informed Consent

a. Tanggung jawab dokter

Dihubungkan dengan masalah Informed Consent, maka tanggung jawab dokter maupun perawat dapat dibedakan atas dua macam yaitu :

(9)

1) Tanggung jawab etik

Landasan etik yang terkuat dalam hal Informed Consent adalah keharusan bagi dokter untuk menghormati kemandirian (otonomi) pasien.

2) Tanggung jawab hukum

Secara eksplisit telah ditegakkan dalam Permenkes No. 585/Menkes/IT/1989 pasal 12 (1) yang menyatakan bahwa dokter bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang persetujuan tindakan medik.

Dan yang memungkinkan terjadinya pendelegasian apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : delegasi tidak boleh diberikan sepanjang mengenai diagnose, indikasi medik dan terapi. Dokter harus mempunyai keyakinan tentang kemampuan dari orang yang menerima delegasi darinya.

b. Tanggung jawab perawat

Peran perawat cukup besar dalam pelaksanaan Informed Consent. Untuk persoalan tanggung jawab dapat dibedakan atas :

1) Perawat yang bekerja untuk mendapatkan gaji dari dokter.

2) Perawat yang bekerja untuk dan digaji oleh rumah sakit dan diperbantukan pada dokter.

Untuk perawat yang bekerja dan digaji oleh seorang dokter maka pada umumnya dokterlah yang bertanggung jawab terhadap tindakan perawat yang ia melakukan atas perintah dokter, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 1367 KUHP, akan tetapi apabila perawat melakukan suatu tindakan medik yang tidak sesuai dengan ijazah yang ia miliki perawat itu sendiri harus bertanggung jawab.

Seorang dokter juga dapat melepaskan diri dari apa yang dilakukan oleh perawat, apabila ia dapat membuktikan terjadinya hal itu bukan karena kesalahannya, tetapi karena kesalahan dari perawat itu sendiri. Hal ini menunjukkan kemandirian perawat untuk bertanggung jawab.

(10)

Selanjutnya untuk perawat yang bekerja dan digaji untuk rumah sakit dan diperbantukan kepada dokter maka rumah sakit secara perdata bertanggung jawab atas tindakan yang dilakkukan perawat seperti tercantun dalam pasal 1367 KUHP Perdata.

(11)

C. Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Long (1996), Soetedjo (2000), Stuart & Sundeen (1995)

Pemberian Informed Consent

Tindakan bedah (operasi) Tindakan Invasif

Tindakan non bedah (EKG)  Tingkat Kecemasan Ringan Sedang Berat Panik ♦Faktor presipitasi kecemasan

Ancaman terhadap integritas fisik

(12)

D. Kerangka Konsep

Variabel Independent Variabel Dependent

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Area yang diteliti yaitu Informed Consent sebagai variabel independent dan tingkat kecemasan pasien pre operasi sebelum dan sesudah diberikan Informed Consent sebagai variabel dependent.

Adapun kerangka design penelitian sebagai berikut :

Gambar 2.3 Kerangka Design Penelitian Keterangan :

01 : tingkat kecemasan pasien pre operasi sebelum diberikan Informed Consent 02 : tingkat kecemasan pasien pre operasi sesudah diberikan Informed Consent X : perlakuan (Informed Consent)

Informed Consent

Tingkat kecemasan pasien pre operasi sebelum dan sesudah diberikan Informed Consent

(13)

E. Variabel Penelitian

Variabel yang dikaji dalam penelitian ini adalah variabel bebas dan variabel terikat :

1. Variabel Bebas Informed Consent 2. Variabel Terikat

Tingkat kecemasan pasien pre operasi sebelum dan sesudah diberikan Informed Consent

F. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan teori yang telah diuraikan diatas maka rumusan penelitian ini adalah adanya perbedaan tingkat kecemasan pasien pre operasi sebelum diberikan Informed Consent dan sesudah diberikan Informed Consent.

Gambar

Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan (Long, 1996)
Gambar 2.1 Kerangka Teori

Referensi

Dokumen terkait

a. Jelas dan mudah dimengerti oleh siswa. Berikan informasi yang cukup untuk menjawab pertanyaan. Difokuskan pada suatu masalah atau tugas tertentu. Berikan waktu yang

Ketebalan sedimen dan batimetri secara umum menunjukkan keterkaitan yang erat yaitu lokasi yang memiliki sedimen yang relatif tebal berada pada lokasi dengan bentuk morfologi

(2013) melakukan penelitian pendinginan zona perakaran (root zone cooling) pada produksi benih kentang menggunakan sistem aeroponik, bahwa kendala budidaya kentang di

Berhasilnya pengelolaan sektor migas yang setiap tahunnya terus mengalami peningkatan dan berpengaruh terhadap pembangunan daerah tidak terlepas dari potensi sumber daya

Methodist Indonesia Pertanian 91 F-TAN-091 Alfan Bachtiar Harahap Padang Sidempuan 01 Desember 1989 USU Pertanian 92 F-TAN-092 Alfariz Wijaya Sigalingging Mandoge 09 Oktober 1993

Menurut Cicin-Sain (1993) menjelaskan bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu menekankan pada beberapa hal diantaranya keterpaduan antar sektor, keterpaduan antara

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui: (1) perbedaan penggunaan metode Group Investigation (GI) dan metode Jigsaw terhadap hasil belajar Sosiologi siswa (2)

- Menentukan luas lingkaran yang diketahui radius atau diameternya. - Menggunakan konsep luas lingkaran untuk menentukan luas bangun datar yang merupakan bagian