• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi Kebijakan Penerimaan Pengungsi terhadap Pembentukan Pandangan Baik bagi Jerman dan Eropa. Fauzi Firmansyah Prakoso

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Implikasi Kebijakan Penerimaan Pengungsi terhadap Pembentukan Pandangan Baik bagi Jerman dan Eropa. Fauzi Firmansyah Prakoso"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Implikasi Kebijakan Penerimaan Pengungsi terhadap Pembentukan Pandangan Baik bagi Jerman dan Eropa

Fauzi Firmansyah Prakoso 071411233007

Abstrak

Artikel ini membahas tentang bagaimana kebijakan penerimaan pengungsi yang dirumuskan Jerman dapat mengkonstruksikan pandangan baik terhadap Jerman dan Eropa. Jerman merupakan negara yang memiliki intensi besar dalam pembentukan reputasi yang baik. Sejak tahun 1948, Jerman telah merumuskan kebijakan penerimaan pengungsi yang dijadikan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas rasa bersalah terhadap Holocaust. Arus masuknya pengungsi ke Jerman cukup fluktuatif. Namun, ketika jumlah pengungsi dirasa terlalu banyak, mulai muncul pertentangan terhadap penerimaan pengungsi di Jerman. Kenaikan partai sayap kanan di Jerman menandakan bahwa muncul pihak-pihak yang tidak menyetujui kebijakan penerimaan pengungsi, hal ini disebabkan banyaknya serangan terorisme di Jerman yang dilakukan oleh pengungsi. Terkait hal ini, kanselir Jerman, Angela Merkel tetap memerjuangkan keterbukaan akses kepada pengungsi. Telah terbukti bahwa dengan penerimaan pengungsi ini, Jerman bahkan Eropa banyak mendapatkan apresiasi dari negara-negara di Asia dan Afrika. Hal ini patut terus diperjuangkan oleh Jerman untuk pembentukan reputasi Jerman. Untuk membahas fenomena ini, dapat digunakan teori konstruktivisme dengan asumsi bahwa Angela Merkel memiliki keinginan untuk membentuk identitas dan citra Jerman melalui berbagai kebijakannya.

Kata kunci : kebijakan, pengungsi, Jerman, reputasi, konstruksi sosial.

Wilayah Timur Tengah sering kali dikenal sebagai wilayah yang cenderung konfliktual. Setiap tahunnya akan selalu ada konflik yang melibatkan beberapa negara di wilayah tersebut. Hal ini berdampak kepada masyarakat di wilayah tersebut yang menjadi kurang nyaman sehingga ingin mengungsi menuju wilayah yang dapat dikatakan lebih aman untuk ditinggali. Benua Eropa dijadikan sebagai destinasi para pengungsi karena dianggap sebagai wilayah yang lebih damai dibandingkan dengan wilayah asal mereka. Tahun 2015 menjadi tahun dimana jumlah pengungsi yang masuk ke Eropa mencapai jumlah tertinggi sejak awal masuknya para pengungsi ke Eropa, yaitu sejak sekitar tahun 1945-an (DOMiD, 2015). Lebih dari 590.000 telah memasuki wilayah Eropa melalui jalur laut selama tahun 2015. Jumlah ini meningkat dua kali lipat sejak tahun 2014, sehingga memaksa negara-negara di Eropa juga harus mempersiapkan suaka-suaka yang baru bagi para pengungsi tersebut (Metcalfe-Hough, 2015: 2). Terkait pengungsi ini, BBC (2016) menjelaskan bahwa mayoritas pengungsi yang datang ke Eropa berasal dari Suriah, yaitu kurang lebih 350.000 penduduk, kemudian disusul oleh Afghanistan dan Iraq yang hampir mencapai 200.000 penduduk. Dengan jumlah imigran ini, Jerman menjadi negara Eropa yang memberikan akses terbesar kepada para pengungsi dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya. Jerman memberikan akses kurang lebih kepada 500.000 pengungsi, dimana angka ini jauh

(2)

lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain seperti Hungaria ataupun Swedia yang hanya memberikan akses kurang lebih sekitar kepada 200.000 pengungsi (BBC, 2016). Kebijakan Jerman dalam memberikan akses yang cukup banyak tentu mendapat perhatian oleh berbagai pihak. Tahun 2015 menjadi titik balik, dimana Jerman mulai membuka suaka bagi para pengungsi dalam jumlah yang cukup banyak. Kebijakan ini juga berkaitan dengan kondisi di wilayah Timur Tengah yang konfliknya sedang memuncak (Mayer, 2016: 2). Negara-negara Eropa lainnya mulai memikirkan kembali kebijakan mereka terkait pengungsi, namun Jerman tetap pada prinsipnya dengan tetap menerima para pengungsi. Berdasar pada kutipan andalan dari Kanselir Jerman, Angela Merkel, yang berisi “Wir schaffen das” yang berarti “Kita bisa melakukannya”, Jerman terus memberikan suaka maupun perlindungan kepada para pengungsi yang datang ke Jerman (Engler dan Schneider, 2015: 4). Selain itu, pemerintah Jerman juga memberikan kemudahan terkait proses imigrasi agar para imigran dapat lebih mudah masuk ke Jerman. Hal ini kemudian mengarah kepada persepsi kepada Jerman yang menganggap Jerman sebagai “Country of Immigration”. Anggapan ini bukanlah suatu anggapan yang buruk karena anggapan ini sendiri mampu mengarah kepada terbentuknya integrasi antara Jerman dengan negara-negara tetangga (DOMiD, 2015). Selain itu, kebijakan ini sendiri merupakan bentuk upaya Jerman dalam pembentukan ulang persepsi terhadap Jerman dalam sistem global. Hal ini dikarenakan Jerman pada era Perang Dunia II berperan sebagai tokoh antagonis. Oleh sebab itu, Jerman melakukan berbagai upaya agar dapat terlihat sebagai negara yang “baik”, salah satunya dengan melakukan kebijakan penerimaan pengungsi (Fakude, 2015: 5).

Pandangan Konstruktivis terkait Kebijakan Jerman terhadap Pengungsi Teori konstruktivis merupakan suatu teori dalam Ilmu Hubungan Internasional yang baru berkembang pasca berakhirnya Perang Dingin. Teori ini berlawanan dengan teori klasik semacam realisme maupun liberalisme, dimana kedua teori tersebut menganggap segala aspek yang ada di dunia ini bersifat given. Konstruktivis lebih memandang bahwa segala aspek yang ada di dunia merupakan suatu konstruksi sosial (Fierke, 2010: 178). Artinya, segala sesuatu yang berlangsung di dunia ini memiliki penyebab tersendiri, dan tidak menutup kemungkinan hal tersebut juga membentuk suatu hal yang baru. Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa pemikiran ini mulai berkembang. Baik realisme maupun liberalisme tidak mampu menjelaskan mengapa Perang Dingin dapat berakhir, hingga akhirnya teori konstruktivis hadir untuk menjawab permasalahan tersebut. Menurut K. M. Fierke (2010: 179), teori ini menjelaskan bahwa suatu hal yang terkonstruksi, tentu hal tersebut memiliki makna tersendiri yang juga memiliki nilai, norma, maupun asumsi tersendiri yang melatarbelakangi terbentuknya suatu hal tersebut. Selain itu, teori ini memandang bahwa segala hal yang berada pada level internasional selalu berubah. Aspek-aspek semacam sisi historis juga mulai menjadi pertimbangan dalam perubahan suatu kondisi dalam tatanan dunia internasional, tidak hanya sebatas memandang power. Tidak hanya itu, teori konstrutivis juga memandang bahwa aktor-aktor internasional dapat bebas menentukan pilihannya dalam berinteraksi dengan aktor yang lain (Fierke, 2010: 180).

(3)

Teori konstruktivis ini dapat sesuai dengan kebijakan Angela Merkel dalam menerima pengungsi menuju Jerman. Dalam kebijakan tersebut, terlihat bahwa Angela Merkel ingin mengkonstruksi pemikiran seluruh dunia terkait identitas nasional dari Jerman (Oezel, 2015). Identitas nasional ini merupakan identitas Jerman yang identik dengan kekerasan. Dengan adanya kebijakan penerimaan pengungsi, Jerman mencoba untuk merekonstruksi ulang pemikiran seluruh pihak terhadap Jerman sehingga mereka mulai menganggap Jerman sebagai suatu negara yang baik, tidak seperti Jerman pada saat Perang Dunia II (Schmid, 2016: 65). Melalui upaya penerimaan pengungsi tersebut, Jerman ingin membuktikan kepada seluruh pihak bahwa Jerman merupakan negara yang mampu berkontribusi dalam aksi kemanusiaan. Jerman membuktikannya tidak hanya melalui tindakan, namun melalui peraturan-peraturan yang dilakukan seiring dengan kebijakan penerimaan pengungsi. Selain peraturan, Jerman juga merubah budaya-budaya di Jerman yang bertentangan dengan kebijakan tersebut, seperti menghilangkan adanya anti-refugee sentiment pada diri masing-masing masyarakat Jerman (Schmid, 2016: 66). Kemudian, Angela Merkel juga ingin merubah konsep kristenisasi di Jerman sehingga berubah menjadi multi-agama, karena tentu para pengungsi yang datang ke Jerman memiliki agama yang beragam, tidak hanya agama Kristen. Adanya konstruksi yang dilakukan oleh Angela Merkel ini diyakini mampu merubah pandangan terhadap Jerman yang secara tidak langsung juga mengumpulkan kepercayaan terhadap Jerman untuk menjadi negara yang mampu menjadi contoh, setidaknya di dalam lingkup Uni Eropa.

Kebijakan Penerimaan Pengungsi oleh Jerman

Kebijakan terkait penerimaan pengungsi di Jerman, atau juga dikenal dengan “Flüchtlingspolitik”, sebenarnya bukanlah suatu kebijakan yang baru. Matthias M. Mayer (2016: 1) melalui tulisannya menjelaskan bahwa Jerman pertama kali memberikan hak kepada para pencari suaka pada tahun 1984. Hal ini dilakukan oleh Jerman sebagai bentuk tanggung jawab atas tindakan Holocaust yang berlangsung selama Perang Dunia II. Jerman memberikan suaka kepada keluarga korban Holocaust untuk menunjukkan kepada seluruh pihak bahwa Jerman merupakan tempat yang aman untuk ditinggali bagi siapapun yang membutuhkan (Mayer, 2016: 1). Kebijakan ini berlanjut hingga awal tahun 1990 terjadi tingkat pengungsian yang tinggi, dimana terjadi konflik di wilayah Yugoslavia sehingga banyak masyarakat yang mengungsi ke negara Eropa lainnya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Jerman terkait jumlah pengungsi yang terlbilang cukup banyak. Pemerintah Jerman juga dihadapkan kepada bentuk-bentuk kekhawatiran dari masyarakat Jerman sendiri ataupun adanya perasaan xenophobia terhadap para pengungsi yang berasal dari wilayah Yugoslavia. Oleh sebab itu, pemerintah Jerman menerapkan asylum compromise, dimana pemerintah Jerman ingin meminimalisir adanya kekerasan yang terjadi di Jerman yang disebabkan oleh pengungsi. Kebijakan ini berdampak kepada jumlah pengungsi yang masuk ke Jerman sejak tahun 1993 mengalami penurunan yang berlangsung hingga memasuki tahun 2000-an (DOMiD, 2015).

Pada periode tahun 2000 hingga tahun 2005, adanya asylum compromise membuat jumlah pengungsi yang masuk ke Jerman kurang lebih hanya rata-rata sebanyak

(4)

100.000 pengungsi, sedangkan pada periode 2005 hingga 2010, jumlah ini semakin berkurang menjadi rata-rata 50.000 pengungsi. Namun, tahun 2010 menjadi awal mula peningkatan jumlah pengungsi yang masuk ke Jerman, hingga puncaknya sendiri adalah pada tahun 2015. Peningkatan ini disebabkan oleh konflik di wilayah Timur Tengah yang berlangsung secara terus menerus (Mayer, 2016: 2). Kondisi ini dapat dikatakan menjadi tantangan tersendiri bagi Jerman, dimana Jerman sudah dianggap menjadi tujuan utama bagi mayoritas pengungsi Timur Tengah yang rata-rata berasal dari Suriah, Afghanistan, dan Iraq. Angela Merkel selaku Kanselir Jerman memegang peran penting dalam menentukan arah kebijakan Jerman. Dalam hal ini, Merkel tetap sesuai dengan kebijakan awalnya, yaitu tetap menerima para pengungsi. Namun, agar tidak menjadi suatu kerugian, Merkel bersama dengan pemerintah Jerman lebih memperketat izin maupun aturan yang diberikan kepada para pengungsi. Apabila tidak ada masalah dalam hal perizinan, maka pengungsi tersebut mampu mendapatkan hak suaka di Jerman (Gesley, 2016). Kemudian, pemerintah tentu juga membagi suaka ke beberapa negara bagian, tidak hanya terpusat dalam satu negara bagian saja. Ulla Jelpke et al. (2015: 20) menjelaskan bahwa para pengungsi dibagi merata di hampir seluruh negara bagian. Nordrhein-Westfalen menjadi negara bagian yang menerima pengungsi dengan jumlah terbanyak dibandingkan dengan negara bagian lainnya, yaitu 53.482 pengungsi, kemudian disusul oleh Bayern dan Baden-Württemberg di peringkat kedua dan ketiga.

Tentu terdapat alasan tersendiri mengapa Jerman ingin tetap mempertahankan kebijakan menerima pengungsi tersebut, bahkan pada tahun 2015 tercatat Angela Merkel telah menerima pengungsi dari Timur Tengah dalam jumlah yang cukup banyak. Menurut Mayer (2016: 6), salah satu alasan adalah adanya “Willkommenskultur”, dimana masyarakat Jerman maupun pemerintah Jerman telah menjadikan Jerman sebagai “Country of Immigrants”. Pada 2015, hampir 80% penduduk di Jerman mendukung penerimaan pengungsi yang berasal dari Timur Tengah. Selain itu, kebijakan ini merupakan proyek tersendiri bagi Angela Merkel yang menganggap bahwa para pengungsi tersebut perlu untuk diterima dengan baik di Jerman. Selain itu, keuntungan yang di dapat oleh Jerman dengan adanya penerimaan pengungsi ini juga dapat mengatasi masalah ketenagakerjaan Jerman. Jerman sendiri sedang berada pada kondisi kekurangan tenaga kerja karena penduduk asli Jerman mayoritas sudah berusia tua, sedangkan dibutuhkan penduduk berusia muda untuk menjadi pekerja. Oleh sebab itu, para pengungsi dapat dimanfaatkan untuk mengatasi permasalahan ini, dimana para pengungsi tersebut selain membutuhkan tempat tinggal tentu juga membutuhkan pekerjaan (Mayer, 2016: 7). Namun, dibalik semua itu, alasan utama Jerman tetap mempertahankan kebijakan penerimaan pengungsi adalah Jerman ingin membentuk pandangan yang baik atas negara-negara yang lain. Jerman memiliki beban historis, dimana mereka merupakan tokoh antagonis dalam keberlangsungan Perang Dunia II. Hal ini membuat Jerman terus berupaya menunjukkan bahwa Jerman yang saat ini berbeda dengan Jerman yang dahulu (Fakude, 2015: 5).

(5)

Pro dan Kontra terhadap Kebijakan Jerman dalam Penerimaan Pengungsi Kebijakan yang dilakukan oleh Jerman terkait penerimaan pengungsi tidak sepenuhnya diterima oleh seluruh pihak. Bagi negara-negara asal para imigran, tentu mereka mendukung kebijakan yang dilakukan oleh Jerman. Adanya kebijakan penerimaan pengungsi membuat reputasi Jerman di wilayah Timur Tengah menjadi meningkat. Tidak hanya Jerman yang dianggap baik, namun kebijakan Jerman ini juga membuat Eropa menjadi baik pula karena sebelum adanya kebijakan ini, negara-negara Eropa dipandang sebagai negara-negara yang “hipokrit” terkait hak asasi manusia, namun seluruh pandangan tersebut berubah akibat kebijakan milik Jerman (Schuster, 2016). Pujian juga datang dari wilayah Asia serta Afrika. Sama halnya dengan wilayah Timur Tengah, penduduk Afrika menjadi memiliki pandangan yang berbeda kepada Jerman maupun Eropa. Dari wilayah Asia, Tiongkok menjadi negara yang mengapresiasi bentuk kebijakan Jerman. Adanya kebijakan ini membuat Tiongkok semakin yakin untuk melakukan kerjasama perdagangan, khususnya bagi Uni Eropa. Awalnya Tiongkok ragu dengan adanya krisis pengungsi ini karena dapat mengancam aspek keamanan Eropa, namun Jerman berhasil menunjukkan bahwa penerimaan pengungsi tidak memberikan ancaman terhadap keamanan di Eropa (Schuster, 2016). Pihak lain yang juga memberikan apresiasi adalah Amerika Serikat. Baik Presiden Obama maupun masyarakat Amerika Serikat mengapresiasi bentuk kemanusiaan yang dilakukan oleh Jerman. Bagi mereka, Jerman bukan lagi Jerman yang kejam seperti apa yang dilakukan ketika Perang Dunia II (Schuster, 2016).

Kondisi yang terjadi di Jerman mungkin tidak seperti yang terjadi di negara-negara yang lain. Secara garis besar, Angela Merkel mendapatkan dukungan yang besar dari masyarakat Jerman. Mereka mendukung kebijakan yang dicetuskan oleh Angela Merkel dengan membantu memberikan suaka bagi para pengungsi yang membutuhkan. Hal ini didasari atas open-arms policy yang dikembangkan oleh pemerintah Jerman. Selain itu, masyarakat juga berkontribusi dalam memberikan lahan pekerjaan (Lee, 2015: 11). Terkait ketenagakerjaan, hal ini mampu mengatasi permasalahan Jerman, yaitu kesulitan untuk mencari tenaga kerja. Namun, dalam perkembangannya telah muncul berbagai macam gerakan yang menolak kebijakan penerimaan pengungsi ini. Salah satu bentuk penentangan ini terlihat pada perkembangan Alternative für Deutschland (AfD) yang merupakan partai sayap kanan yang berkembang di Jerman. Meskipun bukan partai yang besar, namun AfD sudah mampu menang di pemilu pada beberapa daerah seperti Baden-Württemberg, Rhineland-Palatinate, and Saxony-Anhalt (Toygür dan Benvenuti, 2016: 5). Memang partai yang baru berdiri pada tahun 2013 ini masih belum memiliki suara yang banyak, namun melihat keberhasilannya dalam memenangi pemilu di beberapa daerah, hal ini tentu akan menjadi ancaman tersendiri bagi kebijakan Angela Merkel, terlebih hal ini akan menjadi sorotan tersendiri bagi pemerintah Jerman pada pemilu berikutnya. Apabila AfD mampu mendominasi kursi di parlemen, maka kebijakan penerimaan pengungsi ini tidak menutup kemungkinan akan berakhir.

Meski terdapat beberapa kritik maupun gerakan yang menunjukkan bentuk anti-imigran, Angela Merkel tetap bersikukuh untuk tetap membuka akses bagi para pengungsi. Terlebih lagi, Merkel ingin kebijakan ini juga diterapkan di dalam kebijakan Uni Eropa. Secara tidak langsung, hal ini menjadikan Angela Merkel dan Jerman menjadi pemimpin di dalam Uni Eropa. Merkel mengatakan bahwa apabila ada

(6)

keberanian dari dalam masing-masing negara anggota, maka terbentuknya konsep common European akan semakin mudah untuk terbentuk (Crawford, t.t.: 6). Memang negara-negara lain belum ada yang berani seperti Jerman dalam hal penerimaan pengungsi karena masih memiliki banyak pertimbangan. Dengan kebijakan yang sudah berjalan, Merkel menjadikan Jeman sebagai contoh bagi negara-negara Eropa lainnya agar negara-negara yang lain mengikuti langkah Jerman. Meski begitu, untuk menjadi pemimpin dalam Uni Eropa, Jerman memiliki tantangan tersendiri. Apabila pada pembahasan sebelumnya dijelaskan bahwa beberapa negara mulai menganggap bahwa Jerman yang sekarang berbeda dengan Jerman pada masa Perang Dunia II, hal ini tidak sepenuhnya berlaku pada negara-negara di Eropa. Kathleen Schuster (2016) menjelaskan bahwa Jerman harus mampu meyakinkan negara-negara Eropa lainnya bahwa Jerman mampu untuk memimpin mereka, setidaknya dalam hal kebijakan penerimaan pengungsi. Jerman harus mampu meyakinkan bahwa Jerman yang saat ini bukanlah Jerman yang identik dengan Nazi, melainkan Jerman yang pantas menjadi pemain kunci dalam sistem internasional.

Tantangan serta Masa Depan Kebijakan Penerimaan Pengungsi oleh Jerman

Bentuk kritik yang diberikan kepada Jerman memang bukan tanpa alasan. Pada kenyataannya, para pengungsi seakan tidak mengerti caranya berterimakasih kepada Jerman, dimana di Jerman, para pengungsi tersebut justru menimbulkan permasalahan yang membuat masyarakat Jerman sendiri merasa kurang nyaman. Berdasarkan pada tulisan Beverly Crawford (t.t.: 12), pada 31 Desember 2015 terjadi tindakan pelecehan maupun perampokan di daerah Cologne terhadap beberapa wanita yang sedang berjalan di tempat-tempat umum. Setelah dilakukan penyelidikan oleh polisi setempat, ternyata 18 pelaku dari total 31 pelaku merupakan para pengungsi yang sedang mencari suaka. Hal ini menunjukkan bahwa kebaikan Jerman dalam menerima pengungsi tidak diimbangi dengan tanggung jawab para pengungsi. Kondisi ini kemudian mengarah kepada tantangan yang lain, yaitu kemungkinan terintegrasinya para pengungsi tersebut ke dalam Jerman pada masa mendatang (Lee, 2015: 11). Jumlah pengungsi yang banyak tentu membuat terintegrasinya para pengungsi tersebut menjadi sedikit lebih sulit. Selain itu, meskipun banyak pengungsi yang dapat dengan mudah beradaptasi dengan aturan maupun norma yang ada di Jerman, masih ada beberapa pengungsi yang menyamakan aturan maupun norma di negara asal mereka dengan di Jerman. Hal ini juga dapat menjadi hambatan dalam mewujudkan terintegrasinya para pengungsi tersebut dengan seluruh penduduk Jerman. Apabila tidak segera ditemukan solusinya, masyarakat akan menjadi kurang nyaman sehingga jumlah masyarakat yang menolak kebijakan ini juga akan bertambah.

Kekerasan yang disebabkan oleh para pengungsi tidak berhenti pada saat itu saja. Memasuki tahun 2016, beberapa kekerasan yang dilakukan oleh para pengungsi kembali terulang di berbagai wilayah, seperti di Reutlingen, Würzburh, Ansbach, serta Munich (Dewan dan Hanna, 2016). Peristiwa ini membuat banyak masyarakat yang merasa bahwa kebijakan untuk menerima pengungsi merupakan suatu kebijakan yang salah. Tidak sedikit masyarakat yang menyampaikan kekecewaannya terhadap Angela

(7)

Merkel melalui berbagai media massa. Selain kekerasan yang terjadi, masyarakat juga menjadi semakin khawatir dengan kedatangan para pengungsi tersebut pasca terjadinya beberapa serangan terorisme di Eropa. Para pengungsi yang mayoritas merupakan pemeluk agama Islam mulai dicurigai oleh masyarakat di Eropa. Kondisi serupa juga terjadi di Jerman, dimana para pengungsi yang beragama Islam seakan mendapat tekanan dari masyarakat asli Jerman (Wike et al., 2016). Tekanan ini menjadi semakin kuat ketika para pemeluk agama Islam tidak mudah untuk menyesuaikan dengan aturan yang ada di Jerman. Belum lagi adanya organisasi teroris ISIS semakin membuat masyarakat Jerman khawatir negaranya terkena serangan teroris (Wike et al., 2016). Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, karena pada kenyataannya ISIS memasukkan beberapa anggotanya ke dalam rute pengungsian menuju Eropa. Pelaku bom bunuh diri yang terjadi di Ansbach terbukti merupakan anggota ISIS yang menyamar sebagai pengungsi dari Suriah (Dewan dan Hanna, 2016). Tentu hal-hal tersebut dapat menjadi ancaman bagi keamanan negara.

Berbagai permasalahan yang ditimbulkan oleh para pengungsi tetap tidak membuat Angela Merkel merubah kebijakannya terkait penerimaan pengungsi. Merkel menganggap adanya unsur terorisme dalam kebijakan penerimaan pengungsi merupakan suatu tantangan tersendiri. “They want to divide our unity, our cooperation, they want to harm our life” merupakan pernyataan langsung yang disampaikan oleh Angela Merkel terkait adanya ancaman terorisme ini (Dewan dan Hanna, 2016). Dengan slogan “Wir schaffen das”, Merkel meyakinkan masyarakat Jerman maupun masyarakat Eropa lainnya bahwa hal ini masih dapat diatasi. Menurut Beverly Crawford (t.t.: 13), salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengatas masalah terorisme yang disebabkan oleh ISIS adalah melakukan kerjasama dengan Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan apabila Jerman ataupun Eropa justru memilih untuk menutup jalur pengungsian, maka dikhawatirkan Eropa harus menghadapi gerakan-gerakan radikal yang dilakukan oleh para pengungsi sebagai bentuk kekecewaannya terhadap Eropa. Selain bagi Eropa, ancaman ini juga dapat menjadi ancaman keamanan bagi Amerika Serikat pula. Oleh sebab itu, adanya kerjasama antara Jerman dengan Amerika Serikat dalam hal perlawanan terhadap ISIS dibutuhkan segera (Crawford, t.t.: 13). Di lain pihak, pihak Amerika Serikat sudah selayaknya dapat dan ingin membantu meringankan permasalahan yang ada di Eropa ini melalui kerjasama dengan Jerman dalam hal mengatasi permasalahan ISIS karena permasalahan tersebut berulang kali juga memberikan ancaman terhadap Amerika Serikat.

Selain melakukan kerjasama dengan Amerika Serikat, Jerman sendiri juga perlu untuk mengkaji ulang kebijakan penerimaan pengungsi yang dijalankan karena jumlah pengungsi yang datang semakin meningkat dan banyak masyarakat yang mulai khawatir pula. Matthias M. Mayer (2016: 7) menjelaskan bahwa Jerman perlu untuk memperbaiki kembali sistem suaka yang sudah diterapkan. Hal yang perlu diperhatikan adalah registrasi dari masing-masing pendaftar suaka, karena dengan adanya pendataan yang pasti, maka pemerintah Jerman tentu akan memiliki data-data yang jelas dari para pengungsi. Hal ini dapat setidaknya menjamin aspek keamanan di Jerman. Selain itu, pemerintah Jerman juga harus mampu mengintegrasikan para pengungsi tersebut, khususnya dalam hal ketenagakerjaan. Apabila telah terintegrasi, mereka akan mampu memberikan kontribusi terhadap perekonomian maupun masyarakat. Untuk mewujudkan hal ini, tentu diperlukan pendidikan Bahasa Jerman

(8)

untuk melancarkan proses ketenagakerjaan tersebut (Mayer, 2016: 8). Selain itu, pemerintah Jerman juga perlu untuk menekankan kembali kebijakan ini kepada seluruh negara di Eropa karena pada tahun 2015, tercatat 62% dari seluruh pengungsi di Eropa hanya ditanggung oleh Jerman, Hungaria, dan Swedia. Meskipun tidak mampu menerima dalam jumlah yang banyak, seharusnya tidak ada satupun negara Eropa yang menutup diri dari masuknya pengungsi. Selain itu, Jerman bersama Eropa juga perlu segera mencari solusi untuk mengatasi akar permasalahan dari banyaknya pengungsi yang masuk ke Eropa. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membantu menyelesaikan konflik yang terjadi di Suriah (Mayer, 2016: 9).

Kesimpulan

Melalui penjelasan terkait kebijakan penerimaan pengungsi yang dilaksanakan oleh Jerman, terlihat bahwa kebijakan ini bertujuan untuk membentuk pandangan yang baik terhadap Jerman. Mayoritas negara di dunia memandang Jerman sebagai negara yang buruk karena pada Perang Dunia II, Jerman menjadi tokoh antagonis. Tentu Jerman memiliki beban historis sehingga ingin memperbaiki kesalahan tersebut, salah satunya dengan melakukan kebijakan penerimaan pengungsi ini. Hal ini terbukti berhasil membuat reputasi Jerman menjadi membaik bagi beberapa negara, seperti negara-negara Timur Tengah yang merupakan negara-negara asal para pengungsi. Tidak hanya reputasi Jerman yang menjadi baik, namun reputasi Eropa juga ikut membaik. Namun, hal ini tidak berjalan lancar karena beberapa pihak kurang setuju dengan kebijakan ini. Pihak yang kurang setuju ini justru berasal dari masyarakat Jerman itu sendiri, dimana beberapa menganggap kebijakan ini justru akan memberikan permasalahan bagi Jerman. Permasalahan tersebut memang benar terjadi, dimana banyak pengungsi yang melakukan kekerasan sehingga banyak masyarakat yang merasa tidak nyaman. Selain itu, adanya ancaman terorisme juga membuat masyarakat Jerman semakin khawatir. Namun, berulang kali Angla Merkel menekankan kembali kepada masyarakat bahwa kebijakan ini harus tetap dijalankan. Untuk itu, Merkel juga menerapkan beberapa evaluasi terhadap kebijakan tersebut untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan. Kebijakan ini sendiri terus dipertahankan oleh Merkel sebagai bentuk tanggung jawab Jerman terhadap kesalahan yang pernah dilakukan oleh Jerman sendiri.

(9)

Referensi:

Buku dan jurnal

Crawford, Beverly, t.t. Moral Leadership or Moral Hazard? Germany’s Response to the Refugee crisis and its Impact on European Solidarity. Berkeley: University of California. Hal. 1-15.

Engler, Marcus dan Jan Schneider, 2015. “German Asylum Policy and EU Refugee Protection: The Prospects of the Common European Asylum System (CEAS)”, dalam Focus Migration. Osnabrück: Institute for Migration Research and Intercultural Studies. Hal. 1-17.

Fakude, Thembisa, 2015. Germany’s Efforts to Resolve the Refugee Crisis. Al Jazeera Centre for Studies. Hal. 1-6.

Fierke, K. M., 2010. “Constructivism”, dalam Dunne, Tim, et al. (eds.), 2010. International Relations Theories: Descipline and Diversity. 2nd Edition. New York: Oxford University Press. Hal. 177-194.

Jelpke, Ulla, et al. 2015. “Antwort der Bundesregierung”, dalam Deutscher Bundestag. Cologne: Bundesanzeiger Verlag GmbH. Hal. 1-78.

Lee, Erica, 2015. European Migration Crisis: Germany’s Response. Dublin: The Institute of International and European Affairs. Hal. 1-14.

Mayer, Matthias M., 2016. Germany’s Response to the Refugee Situation: Remarkable Leadership or Fait Accompli?. Berlin: Newpolitik. Hal. 1-11.

Metcalfe-Hough, Victoria, 2015. “The Migration Crisis? Facts, Challenges, and Possible Solutions”, dalam ODI Briefing. London: Overseas Development Institute. Hal. 1-6.

Schmid, Claudia Theresia, 2016. Germany’s “Open Door” Policy in Light of the Recent Refugee Crisis: An Interpretive Thematic Content Analysis of Possible Reasons and Underlying Motivations. Tesis Master. Linköping: Department of Management and Engineering Linköping University. Hal. 1-95.

Toygür, İlke dan Bianca Benvenuti, 2016. “The European Response to Refugee Crisis: Ange;a Merkel on the Move”, dalam IPC-Mercator Policy Brief. Istanbul: Istanbul Policy Center. Hal. 1-11

(10)

Artikel dan berita online

BBC, 2016. Migrant Crisis: Migration to Europe Explained in Seven Charts [Online]. Tersedia dalam http://www.bbc.com/news/world-europe-34131911. [Diakses pada 30 Desember 2016].

Dewan, Angela, dan Jason Hanna, 2016. Germany’s Merkel Stands by Refugee Policy despite ‘Terrifying’ Attacks [Online]. Tersedia dalam http://edition.cnn.com/2016/07/28/europe/germany-merkel-security-refugee-policy/. [Diakses pada 1 Januari 2017].

DOMiD, 2015. Migration History in Germany [Online]. Tersedia dalam

http://www.domid.org/en/migration-history-germany. [Diakses pada 30

Desember 2016].

Gesley, Jenny, 2016. Refugee Law and Policy: Germany [Online]. Tersedia dalam https://www.loc.gov/law/help/refugee-law/germany.php. [Diakses pada 31 Desember 2016].

Oezel, Yasemin, 2015. Providing Security? Border Control and the Politics of Migration in the EU [Online]. Tersedia dalam http://www.e-ir.info/2015/06/08/providing-security-border-control-and-the-politics-of-migration-in-the-eu/. [Diakses pada 2 Januari 2017].

Schuster, Kathleen, 2016. How the World Sees Germany A Year Into the Refugee Crisis [Online]. Tersedia dalam http://www.dw.com/en/how-the-world-sees-germany-a-year-into-the-refugee-crisis/a-19486079. [Diakses pada 1 Januari 2017].

Wike, Richard, et al. 2016. Europeans Fear Wave of Refugees Will Mean More Terrorism, Fewer Jobs [Online]. Tersedia dalam http://www.pewglobal.org/2016/07/11/europeans-fear-wave-of-refugees-will-mean-more-terrorism-fewer-jobs/. [Diakses pada 1 Januari 2017].

Referensi

Dokumen terkait

Dari data spectrum di atas terlihat adanya ciri terjadinya misalignment. Yaitu adanya komponen getaran pada frekuensi 2x putaran poros dan menyebabkan getaran dalam arah

akan diproduksi, kapan produksi akan dilakukan, dan sumber daya apa yang. akan dibutuhkan selama

- Melalui penjelasan guru dengan benda kongkrit (kaleng susu yang dipukul dengan pensil), siswa dapat menghasilkan sumber energi bunyi.. - Melalui tanya jawab,

Pada tahap ini peneliti akan menarik kesimpulan terkait ukhuwah Islamiyah yang terdapat dalam program acara Syamil dan Dodo dengan teori yang sudah ada.

“Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas

“tes tulis itu diadakan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana calon siswa kelas unggulan itu memahami mata pelajaran yang kita tes-kan. sedangkan tes wawancara itu

Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Schacht lebih kepada meletakkan pondasi dasar bagi Jerman dalam mengembangkan militer Jerman yang sempat disusutkan dalam

Hak untuk ketiga perlindungan yang disebutkan diatas yang mencakup Hak Suaka, Perlindungan Pengungsi, dan Cabang Perlindungan tidak dapat di pertimbangkan apabila memenuhi