• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEBERADAAN HAK LANGGEH (SYUF AH) DALAM ADAT MASYARAKAT ACEH DI KOTA LANGSA. A. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Langgeh (Syuf ah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KEBERADAAN HAK LANGGEH (SYUF AH) DALAM ADAT MASYARAKAT ACEH DI KOTA LANGSA. A. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Langgeh (Syuf ah)"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEBERADAAN HAK LANGGEH (SYUF’AH) DALAM ADAT MASYARAKAT ACEH DI KOTA LANGSA

A. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Langgeh (Syuf’ah)

Agama Islam lahir untuk menjadi “penyelamat” dunia sebagai Rahmat dari Allah SWT, oleh karenanya setiap ajaran Islam memiliki nilai kebenaran yang tidak diragukan lagi. Ajaran Islam yang di bawa Rasulullah SAW untuk menciptakan perdamaian di bumi sehingga umat manusia dan seluruh makhluk Allah dapat hidup sejahtera. Islam dengan pengertian epistimologi memiliki makna penyerahan diri, pasrah, patuh dan tunduk kepada kehendak Allah, ia adalah agama yang membawa kemaslahatan bagi pemeluknya baik di dunia maupun di akhirat.

Propinsi Aceh merupakan Propinsi di Indonesia yang diberikan kekhususan oleh Pemerintah pusat untuk dapat melaksanakan syariat Islam, hal ini terwujud, yakni melalui penetapan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Oleh karenanya peraturan yang bersifat khusus banyak diadopsi dari hukum Islam, seperti hukum adat di Aceh misalnya. Pada prinsipnya hukum adat Aceh bersumber pada syariat-syariat yang berasal dari Kitabullah dan adat Aceh sesuai dengan syariat islam, hanya beberapa aspek kecil saja yang diperlukan pengubahan. Adat Aceh merupakan hukum, aturan tata tertib yang telah atau sudah diketahui oleh masyarakat secara turun-menurun. Hal ini terpatri dalam adagium “Hukom ngon Adat lagee Zat ngon

(2)

sifeut (Hukum agama Islam dan hukum adat tidak ubahnya seperti zat dengan sifat, yang senantiasa seiring dan sejalan)”.52

Hukum agama Islam yang sangat dijunjung secara langsung teraktualisasi dan terkristalisasi dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat dan selanjutnya tumbuh dan berkembang secara praktik dan tanpa tertulis tetapi sifatnya mengikuti norma, kaidah dan aturan yang secara umum diakui sebagai hukum adat.53 Pada intinya aturan yang diajarkan dalam Islam mengatur agar terciptanya kesejahteraan dalam kehidupan individu dan bermasyarakat. Begitu pula dengan apa yang diatur tentang hak langgeh (syuf’ah) dalam bertransaksi tanah di daerah Aceh ialah agar terciptanya kemaslahatan bagi masyarakat Aceh.54

Di dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 31 Maret 1977 No. 298 K/Sip./1973 menjelaskan bahwa hak langgeh adalah hak dalam hukum adat yang memberikan prioritas/hak didahulukan dari orang lain untuk membeli tanah, hak mana diberikan kepada tiga unsur masyarakat yaitu sanak saudara, sesama anggota masyarakat dan pemilik tanah tetangga.

Jika berbicara mengenai apa yang disebut dalam istilah Aceh yaitu hak langgeh maka serupa dengan apa yang diatur didalam hukum Islam dengan Syuf’ah. Syuf’ah secara bahasa diambil dari kata syaf’, yang artinya pasangan. Syuf’ah adalah

52Wawancara dengan Drs. H. Ibrahim Latif, MM (Kepala Dinas Syariat Islam Kota Langsa),

pada hari Rabu, 2 April 2014.

53Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Adat dan Islam di Aceh, (Badan Perpustakaan Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam: Banda Aceh), sambutan Kepala Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

54Wawancara dengan Tgk. Hasan Kasim (Majelis Permusyawaratan Ulama Kota Langsa),

(3)

hal yang sudah dikenal oleh orang-orang Arab pada zaman Jahiliyah. Dahulu seseorang jika hendak menjual rumah atau kebunnya, maka tetangga, kawan syarikat atau kawannya datang mensyuf’ahnya, dijadikannya ia sebagai orang yang lebih berhak membeli bagian itu. Dari sinilah disebut Syuf’ah, dan orang yang meminta syuf’ah disebut syafii’. Ada yang mengatakan, bahwa dinamakan syuf’ah karena pemiliknya menggabung sesuatu yang dijual kepada miliknya, sehingga menjadi sepasang setelah sebelumnya terpisah. Syuf’ah menurut fuqaha (ahli fiqh) adalah keberhakan kawan sekutu mengambil bagian kawan sekutunya dengan ganti harta (bayaran), lalu syafii’ mengambil bagian kawan sekutunya yang telah menjual dengan pembayaran yang telah tetap dalam akad.55

Syuf’ah ini tsabit (sah) berdasarkan As Sunnah dan Ijma’. Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, “Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan syuf’ah pada harta yang belum dibagi-bagi, ketika batasannya telah ditentukan dan jalan telah diatur, maka tidak ada lagi syuf’ah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Tetangga rumah lebih berhak dengan rumahnya.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa’ no. 1539). Para ulama juga telah sepakat tentang tetapnya hak syuf’ah bagi sekutu yang belum melakukan pembagian pada sesuatu yang dijual, baik berupa tanah, rumah maupun kebun.56

55 http://ekonomrabbani29.blogspot.com/2013/04/fiqh-muamalah-syufah.html. Di akses pada

hari Selasa, 08 April 2014.

(4)

Al-Syuf’ah menurut bahasa artinya al-Dham, al-Taqwiyah dan al-‘anah. Sedangkan menurut istilah, para ulama menafsirkan al-Syuf’ah sebagai berikut:

1. Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri57bahwa yang dimaksud dengan al-syuf’ah ialah: “Hak memiliki sesuatu secara paksa ditetapkan untuk syarik (kongsi) terdahulu atas syarik (kongsi) yang baru disebabkan adanya syirkah dengan penggantian (i’wadh) yang dimilikinya, disyari’atkan untuk mencegah kemudharatan”.

2. Menurut Sayyid Sabiq bahwa al-Syuf’ah ialah pemilikan benda-benda syuf’ah oleh syaf’i sebagai pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada pemiliknya sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain.58 3. Sedangkan menurut Idris Ahmad,59 bahwa al-Syuf’ah ialah hak yang tetap

secara paksa bagi syarikat lama atas syarikat baru dengan jalan ganti kerugian pada benda yang menjadi milik bersama.

Dari definisi-definisi yang dijelaskan oleh para ulama diatas, kiranya kurang dapat dipahami bila tidak dilengkapi dengan contoh, contoh al-syuf’ah adalah sebagai berikut: Umar membeli satu rumah bersama dengan Ja’far, rumah tersebut terdiri atas delapan kamar, empat kamar untuk Umar dan empat kamar milik Ja’far, kemudian Ja’far punya kehendak untuk menjual kamarnya kepada yang lain, dalam hal ini Umar dapat memaksa Ja’far untuk menguasai empat kamar miliknya dengan imbalan

57Syaikh Ibrahim al-Bajuri, al-Bajuri, (Usaha Keluarga: Semarang, t.t.), hal. 15 58Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Dar al-Fiqr: Kairo, 1977), hal. 45

(5)

yang sebagaimana layaknya berlaku, artinya bahwa Umar lebih berhak membeli dari pada orang lain.60

Dari uraian yang telah dijabarkan di atas dan setelah diketahui ta’rif-ta’rif (definisi-definisi) yang dibuat para ulama beserta contohnya, dapat di analisis dan dipahami bahwa al-syuf’ah ialah pemilikan oleh salah seorang sya’riq (kongsi) dari dua orang atau pihak yang berserikat dengan paksaan terhadap benda syirkah.

Dalam hukum Eropa juga dikenal dengan yang dimaksud dengan hak langgeh (syuf’ah) ini, jika hak langgeh (syuf’ah) berdasarkan atas hukum Islam, Hak terdahulu untuk membeli (naastingsrecht) ini bersumber dari perintah gereja pada zaman kuno. Hak terdahulu untuk membeli (naastingsrecht), yaitu sebagai hubungan hukum yang berdiri sendiri. Maksudnya ialah suatu hak untuk membeli tanah-tanah dengan harga yang ditawarkan oleh orang lain calon pembeli dengan mengesampingkan orang calon pembeli itu. Dalam hal “naastingrecht” ini dapat dibedakan tiga hal. Pertama hak dari pada keluarga untuk membeli tanah yang melebihi hak-haknya orang lain yang juga menginginkannya tetapi bukan keluarga; selanjutnya hak dari pada sesama anggota masyarakat untuk membeli tanah dusun dengan mengalahkan tawaran-tawaran dari orang-orang luar masyarakat (inilah berlakunya paling lemah dari pada “beschikkingsrecht” atas tanah-tanah pertanian dan tanah-tanah lainnya), dan akhirnya: ialah hak dari pada pemilik tanah tetangga membeli tanah-tanah berdampingnya dengan mengalahkan pembeli-pembeli lainnya

(6)

(seakan-akan kelanjutan dari pada “voorkeursrecht”, setelah tanah berdampingan itu menjadi tanah yang sudah terbuka).61

Di Indonesia secara umum telah dikenal seperti apa yang dimaksud dengan hak langgeh (syuf’ah), yaitu hak wewenang beli (blengket). Hak blengket adalah hak utama (privilese) pada seseorang untuk mendapatkan kesempatan membeli tanah (empang) dengan harga yang sama. Fenomena ini dilukiskan oleh Ypes dalam bukunya yang berjudul Hukum Tanah pada Orang Batak Toba (van Dijk/Soehardi, 1964: 48). Pembeli tanah berprivilese itu pada umumnya adalah tuan tanah yang tanahnya berbatasan dengan belukar (sempadan), atau hak itu ditawarkan kepada anggota familinya, atau kepada orang sedesa. Baru setelah itu ditawarkan kepada orang luar. Dalam hal tanah itu dibuka serentak (mungkin terkait transmigrasi atau relokasi), maka tanah itu diberikan kepada orang-orang yang ikut bekerja (dan biasanya mereka adalah orang-orang yang sepadan juga).62

Di berbagai lingkungan hukum, hak wewenang beli itu diberikan kepada :

a. pemilik tanah atas bidang tanah yang berbatasan dengan tanah miliknya (sempadan) ;

b. anggota-anggota sekerabat (parental, matrilineal, patrilineal) dari si pemilik tanah ;

c. para warga sedesa

61Ter Haar Bzn B., Azas-azas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, cetakan

kesebelas 1994). Hal. 70

62

(7)

Jika orang-orang tersebut tidak mempergunakan hak tersebut, barulah kesempatan membeli itu diberikan kepada orang lain/ asing.

Hal ini juga sama dengan yang dimaksud dengan “Hak Terdahulu” yakni orang yang mau menjual tanah tidak begitu saja dapat menjualnya kepada siapa saja. Akan tetapi harus mendahulukan penjualan itu kepada kerabat dekatnya atau keluarga satu marganya. Bila tidak ada kawan satu kerabat yang hendak membeli tanah itu, dia harus menjualnya kepada orang sekampungnya dan apabila juga tidak ada yang membeli dari kawan sekampung, pemilik tanah masih harus mencari orang yang berdekatan dengan tanah tersebut atau dimana tanah itu berada, tetangganyalah didahulukan. Bila juga tetangga yang berdekatan dengan tanah itu tidak ada yang mau membeli, barulah dia dapat menjual lepaskannya kepada siapa saja yang mau membelinya.63 Adapun azas dalam transaksi tanah dalam hukum adat di Indonesia yang hampir serupa dengan hak langgeh (syuf’ah) tersebut yaitu “jual kurung”. Jual kurung adalah jual lepas suatu tanah yang disepakati dengan perjanjian bahwa penjual diberi hak utama membeli kembali, atau pembeli jika akan menjual lagi tanah itu harus memberitahu terlebih dahulu kepada penjual tanah semula apakah ia akan membeli kembali tanah tersebut, yang biasanya terjadi di kalangan kerabat atau tetangga yang mempunyai hubungan akrab.64

63Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, (Medan: Pustaka Bangsa

Press, 2003), hal. 127

64 Hilman Hadikusuma, Pengantar Hukum Adat Indonesia (Bandung: CV. Mandar Maju,

(8)

Berlakunya jual lepas terhadap jual beli tanah menyebabkan beralihnya hak milik tanah dari penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya itu yang disebut dengan serah lepas. Jadi jual lepas itu adalah perbuatan penyerahan dengan demikian tidak sama maksudnya dengan ”levering” menurut hukum barat, oleh karena hukum adat tidak memisahkan pengertian jual dengan penyerahan sebagaimana hukum barat. Jika penyerahan itu bertujuan menyerahkan untuk selama-lamanya maka perjanjian itu jual lepas, jika penyerahan itu bertujuan menyerahkan untuk dapat ditebus kembali, maka perjanjian itu jual gadai, jika penyerahan itu bertujuan menyerahkan untuk selama waktu tertentu maka perjanjian itu jual tahunan. Perbuatan jual lepas adalah perbuatan tunai yang berlaku dengan riil dan konkrit artinya nyata dan jelas dapat ditangkap oleh panca indera. Penyerahan benda dan pembayaran harganya terjadi dengan tunai, sudah diserahkan dan sudah dibayar harganya, walaupun belum lunas semua pembayarannya. Berbeda dengan perbuatan koop atau verkoop menurut hukum barat yang sifatnya konsensual dan abstrak sebagai suatu perbuatan hukum yang berdasarkan pada kata sepakat. Jadi jika sudah sepakat maka perjanjian jual beli itu sudah terjadi (pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) walaupun bendanya belum diserahkan dan harganya belum dibayar. Menurut hukum adat kata sepakat didalam suatu perjanjian merupakan pebuatan pendahuluan untu melaksanakan apa yang disepakati. Jadi dengan janji omong saja belum mengikat, ia akan mengikat jika diperkuat dengan pemberian (panjar), sebagai tanda akan memenuhi janji, dan walaupun sudah diberi panjar belum berarti mewajibkan penjual menyerahkan barangnya. Karena penjualan benda tidak bergerak adalah penyerahan benda itu dengan harga tertentu dan bukan merupakan suatu perjanjian yang menjelmakan kewajiban untuk menyerahkan. Dapat dikatakan bahwa menurut

(9)

pengertian hukm adat penjualan dan penyerahan itu adalah satu. Pembayaran jual lepas, jual gadai ataupun jual tahunan boleh saja tidak berupa uang tetapi mungkin saja berupa hasil bumi atau dibayar sebagian dengan uang sebagian dengan perhiasan emas atau lainnya yang disepakati bersama, jika ketika jual beli itu terlaksana pembayaran belum lunas, tidak berarti bendanya belum diserahkan penjual dan belum diterima kembali. Perjanjian itu tetap berlaku mengenai pembayaran yang belum lunas merupakan perjanjian hutang-piutang.65

Kemungkinan batalnya jual lepas atas tanah adalah dikarenakan masih kuatnya lembaga hak kerabat atau hak tetangga, adanya larangan menjual hak milik tanah kepada bukan anggota kerabat atau kepada orang asing yang bukan warga adat bersangkutan. Perlindungan hukum terhadap pembeli jika terjadi si pembeli tidak mengetahui bahwa tanah yang dibeli itu bukan hak milik yang sebenarnya dari si penjual sendiri. Dalam hal ini jika pembeli itu beritikad baik maka ia harus dilindungi hukum, itikad baik itu dapat dilihat antara lain sebagai berikut:66

a. Bahwa si pembeli betul-betul tidak mengetahui tanah yang dibeli itu adalah tanah waris.

b. Bahwa jual beli dilaksanakan dengan terang dan disaksikan oleh tua-tua adat. c. Bahwa penjual dengan nyata diketahui menguasai tanah dalam waktu yang

sudah lama (sekitar 15 tahun atau lebih).

Hazairin di dalam uraiannya tentang “Hukum Baru di Indonesia” antara lain mengatakan:

“... hukum adat, yang arti keistimewaannya terletak pada perasaan kebangsaan kita, pada penghargaan kita tentang kebudayaan kita, di mana masih tergantung jiwa kita, bukan barangkali jiwa kita yang individuil sekarang ini, tetapi bagi rakyat kita diperkampungan umumnya urusan adat ini sebahagian dari jiwanya, meliputi hak-haknya dan perihal hidupnya. Maka soal yang paling penting yang

65

Tolib Setiady, Intisari hukum adat Indonesia dalam kajian kepustakaan, (Alfabeta, 2008), hal. 143

66

(10)

akan kita hadapi nanti ini, hingga di manakah dapat dipertaruhkan (naar elkaar toe trekken) hukum Eropa dan Hukum Adat itu yang masing-masing sistemnya sangat berlainan itu”.67 Di samping itu sebagaimana dikatakan Hazairin pula bahwa “Hukum Agama masih terselip di dalam hukum adat yang memberikan tempat dan persandaran kepadanya, tetapi sekarang kita lihat hukum agama itu sedang bersiap hendak membongkar dirinya dari ikatan adat itu”.68

Berdasarkan uraian yang telah ditulis di atas dapat di analisis bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Aceh pada khususnya terutama masyarakat yang tinggal di daerah, mempunyai hubungan ikatan yang kuat terhadap hukum adatnya, masyarakat seolah bersatu dan sejiwa dengan hukum adat yang mereka yakini. Masyarakat lebih akrab dengan hukum yang di warisi oleh leluhur mereka dan kurang menyukai hukum yang berasal dari luar hukum adat tersebut. Hal itu bisa terjadi karena hukum adat sendiri terbentuk dan bersumber dari pada agama yang mereka peluk.

Djojodigoeno pada tahun 1958 mengemukakan bahwa:

“Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan,... (tetapi bersumber) dari kekuasaan pemerintah negara atau salah satu sendinya dan kekuasaan masyarakat sendiri. Pokok pangkal hukum adat Indonesia adalah ugeran-ugeran yang dapat disimpulkan dari sumber tersebut di atas dan timbul lansung sebagai pernyataan kebudayaan orang Indonesia asli, tegasnya sebagai pernyataan rasa keadilannya dalam perhubungan pamrih. Unsur lainnya yang tidak begitu besar artinya atas luas pengaruhnya ialah unsur-unsur keagamaan, teristimewa unsur-unsur-unsur-unsur yang dibawa oleh agama Islam”.69

Hukum adat tidak membedakan antara hak kebendaan (zakelijke rechten) yaitu hak-hak atas benda yang berlaku bagi setiap orang, dan hak perseorangan (persoonlijke rechten) yaitu hak seorang untuk menuntut orang lain agar berbuat atau

67Ibid. hal. 100 68Ibid. hal. 100 69Ibid. hal 100

(11)

tidak berbuat terhadap hak-haknya. Menurut hukum barat setiap orang yang mempunyai hak atas sesuatu benda, berarti ia berkuasa untuk berbuat (menikmati, memakai, mentransaksikan) benda miliknya itu dan sekaligus karenanya mempunyai hak perorangan atas hak miliknya itu. Antara kedua hak itu tidak terpisah.70

Menurut hukum adat hak-hak kebendaan dan hak-hak perseorangan itu, baik berwujud benda ataupun tidak berwujud benda, seperti hak atas nyawa, kehormatan, hak cipta dan lain-lainnya, tidak bersifat mutlak sebagai hak pribadinya sendiri, oleh karena pribadinya tidak terlepas hubungannya dengan kekeluargaan dan kekerabatannya. Misalnya hak seorang atas sebidang sawah hasil pencariannya sendiri, yang menurut hukum barat berarti hak mutlak, didalam hukum adat hak tersebut masih juga terkait dengan kepentingan kekerabatannya. Jika ia akan mentransaksikan sawahnya itu ia harus bermusyawarah dengan keluarga/kerabatnya, agar tindakannya tidak bercela. Jadi hukum adat tidak membenarkan adanya hak pribadi yang mutlak untuk kepentingan diri sendiri semata-mata.71

Dari berbagai uraian di atas dapat di analisis bahwa hak langgeh (syuf’ah) sebagai hukum adat yang tumbuh dan berkembang di Aceh dapat diterapkan berdasarkan azas-azas yang tumbuh dalam hukum adat pada umumnya. Juga dengan dasar yang kuat setelah di berlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Bab XIII tentang Lembaga Adat, yang mengatakan

70 Hilman Hadikusuma, Pengantar Hukum Adat Indonesia (Bandung: CV. Mandar Maju,

2003), hal. 41

(12)

bahwa Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui Lembaga Adat (Pasal 98, Ayat (2)).

Hak langgeh yang di terapkan di Aceh bersumber dari pada syuf’ah yang di atur di dalam hukum Islam, dasar hukum syuf’ah tersebut ialah :72

1. Dasar Sunnah Rasulullah

Syuf’ah ditetapkan berdasarkan keputusan Rasulullah SAW. Di dalam hadis sahih telah diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah r.a yang artinya:

“Rasulullah saw. Menetapkan syuf’ah untuk segala jenis yang belum dibagi, dan apabila terjadi had (batasan hak), kemudian pembedaan had (batasan hak) sudah dilakukan, maka syuf’ah menjadi tidak ada. (H.R. Mutafaq alaih). 2. Syuf’ah hanya berlaku dalam hal yang keuntungannya dapat dibagi. Dalam hal

yang tidak dapat memungkinkan adanya pembagian, seperti WC atau rumah-rumah yang sempit, maka dalam hal itu tidak ada syuf’ah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: Syuf’ah (berlaku) pada hal yang dapat dibagi. Syuf’ah itu bagi orang yang mengusulkannya.

3. Syuf’ah dalam hal yang dapat dibagi tidak berlaku apabila had-had (batasan-batasan hak) nya sudah dibuat dan pembedaan sudah dilakukan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw: Dan apabila terjadi had (batasan hak) kemudian pembedaan hak sudah dilakukan, maka syuf’ah tidak ada.Sebab, setelah pembagian itu, orang yang berserikat dengannya menjadi tetangga, sedangkan syuf’ah, pada dasarnya, tidak boleh dilakukan dengan tetangga. 4. Syuf’ah tidak boleh dilakukan dalam hal benda bergerak seperti pakaian atau

binatang. Syuf’ah hanya boleh dilakukan dalam hal benda-benda tidak bergerak seperti tanah dan tanaman yang ada ditempat bangunan.

5. Hak syuf’ah hilang setelah adanya transaksi, atau setelah pembeli mengetahui barang yang akan dijual dan tidak memohon untuk terus dilangsungkan syuf’ah hingga waktu syuf’ah tersebut habis. Hal ini berdasarkan hadis yang berbunyi: Syuf’ah itu bagaikan melepaskan igal. (H.R. Ibnu Majah). Apabila dalam keadaan tidak ada di tempat, maka dia berhak untuk mengajukan syuf’ah tersebut sekalipun setelah beberapa tahun lamanya.

6. Syuf’ah itu terhapus dalam hal barang yang oleh pihak pembeli telah diwakafkan, atau dihibahkan, atau disedekahkan. Sebab, adanya syuf’ah dapat

72

(13)

membatalkan ibadah (amalan) tersebut, padahal ibadah lebih utama dari pada syuf’ah; itu dilakukan dengan maksud tidak lain hanya ingin menghilangkan bahaya yang diperkirakan terkandung di dalamnya.

7. Pembeli barang berharga dan barang yang tumbuh dengan sendirinya; apabila dia membangun atau menanam, maka harganya menjadi milik syafi’ (makelar), atau melepaskannya dengan diutangkan atas kekurangannya berdasarkan sebab, prinsip tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain. 8. Perjanjian syafi’ (makelar) terhadap pembeli, dan perjanjian pembeli terhadap

penjual, syafi’ meminta dari pembeli dan pembeli kembali kepada penjual dalam segala hal yang memang memerlukan adanya syuf’ah.

9. Hak syuf’ah itu dilarang untuk dijual ataupun dihibahkan. Oleh karena itu, orang yang berhak atas syuf’ah dilarang menjual haknya atau memberikannya kepada orang lain. Sebab, penjualan atau pemberian hak syuf’ah itu bertentangan dengan tujuan disyariatkannya syuf’ah, yaitu menghindari bahaya dari seorang yang berserikat.

Adapun Rukun-rukun dan syarat-syarat al-Syuf’ah adalah sebagai berikut :73 1. Masyfu’, benda-benda yang dijadikan barang al-Syuf’ah.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh benda-benda yang dijadikan benda syuf’ah ialah:

a. Barang yang disyuf’ahkan berbentuk barang tetap (‘Uqar), seperti tanah, rumah dan hal-hal yang berkaitan dengan keduanya seperti tanaman, bangunan, pintu-pintu, pagar, atap rumah dan semua yang termasuk dalam penjualan pada saat dilepas, pendapat ini adalah pendapat jumhur ahli fiqh, adapun alasan yang digunakan adalah sebuah hadits dari Jabir RA:

“Rasulullah SAW menetapkan untuk setiap benda syirkah yang tidak dapat dibagi-bagi seperti rumah atau kebun”. Pendapat di atas dibantah oleh

(14)

segolongan penduduk Mekkah, al-Zahiriyah dan suatu riwayat dari Ahmad, mereka berpendapat bahwa syuf’ah berlaku untuk segala jenis benda, karena bahaya atau kemudharatan yang mungkin dapat terjadi partner dalam jual beli benda-benda tetap (‘Uqar) dapat pula terjadi pada partner pada jual beli benda-benda bergerak (benda yang dapat dipindahkan), mereka juga beralasan pada hadits yang diriwayatkan oleh Jabir RA: “Rasulullah SAW menetapkan syuf’ah untuk segala sesuatu”.

Ibn Qayyim mengatakan bahwa para perawi hadits ini adalah syiqat.

Dalil Jain yang digunakan hadits riwayat Ibnu Abbas ra. Bahwa Nabi SAW bersabda: “Syuf’ah berlaku untuk segala sesuatu”.74

b. Ibnu Hazm berpendapat Syuf’ah wajib pada setiap penjualan barang yang tidak dapat dibagi antara dua orang atau lebih dalam bentuk apa pun yang pada awalnya terbagi-bagi, berupa tanah, pohon, pedang, makanan, binatang atau apa saja yang tidak dapat dijual.

Barang yang di-syuf’ah-kan keluar dari pemilikan dengan penggantian harta, seperti dijual atau yang berpengertian dijual seperti pengakuan (pernyataan) dengan jalan damai atau karena adanya faktor jinayat atau hibhah dengan cara penggantian sesuatu karena pada hakikatnya ini adalah penjualan.

Mahzab Hanafi berpendapat bahwa syuf’ah hanya berlaku bagi barang yang dijual saja, dengan alasan mengambil makna lahiriah hadits-hadits tentang

74 Lil Imam Alqodi Abu Waydimuham Ibnu Ahmad, Bidayatu Mujtahid (Darul kitab Al

(15)

syuf’ah. Dengan demikian, tidak ada syuf’ah untuk barang yang berpindah tangan selain jual beli, seperti barang yang dihibahkan tanpa ganti, diwasiatkan dan diwariskan.

2. Syafi’ yaitu orang yang akan mengambil atau menerima Syuf’ah, adapun syarat-syaratnya ialah:

a. Orang yang membeli secara Syuf’ah adalah partner dalam benda atau barang tersebut, perpartneran mereka lebih dahulu terjalin sebelum penjualan, tidak adanya perbedaan batasan di antara keduanya, sehingga benda itu menjadi milik mereka berdua secara bersamaan.

Dalam hadits riwayat Khomsah dari Jabir RA, dinyatakan: “Rasulullah SAW menetapkan syuf’ah untuk segala jenis yang tidak dipecah dan apabila terjadi batasan hak (had), kemudian perbedaan hak sudah jelas, maka tidak ada syuf’ah”.75

Menurut Ali, Utsman, Umar, Syaid al-Musayyab, Sulaiman bin Yasar, Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah Malik, Syafi’i, Audza’i, Ishaq, Ubaidillah bin Hasan dan Imamiyah, berpendapat bahwa Syuf’ah tidak berlaku terhadap barang yang apabila dibagi atau dipecah akan hilang manfaatnya, seperti kamar mandi dan wc.76

Imam Malik meriwayatkan dari Syihab bin Abi Salamah bin Abdurrahman dan Said al-Musayyad : “Bahwa Rasulullah SAW menetapkan Syuf’ah untuk

75Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), hal. 164 76Ibid. hal. 164

(16)

benda yang belum dibagi antara yang berserikat, jika terjadi pembatasan antara mereka, maka tidak ada Syuf’ah”.77

Adapun tetangga menurut kebanyakan ulama tidak mendapatkan syuf’ah, berbeda dengan pendapat madzhab Hanafi, menurutnya syuf’ah itu bertingkat-tingkat, pertama adalah partner yang belum dibagi kemudian adalah partner yang sudah dibagi (syarik Muqasim) dan terakhir adalah tetangga yang berhimpitan.78

Sebagian ulama ada yang mengambil jalan tengah, pendapat ini menetapkan syuf’ah untuk benda-benda bersama seperti jalan, air dan seumpamanya, pendapat ini menafikan dalam keadaan terbedakannya tiap-tiap milik dengan jalan tidak adanya kebersamaan dalam barang yang dimiliki, untuk itu mereka beralasan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ashab al-Sunnah dari Jabir ra bahwa Nabi SAW bersabda: “Tetangga adalah yang paling berhak mendapat syuf’ah milik tetangganya, ia boleh menunggu tetangganya jika ia tidak ada ditempat, apabila memang jalannya (di mana milik mereka berada) satu”.

b. Syarat yang kedua adalah bahwa syaf’i meminta dengan segera.

Maksudnya, syaf’i jika telah mengetahui penjualan, ia wajib meminta dengan segera jika hal itu memungkinkan, jika ia telah mengetahuinya, kemudian memperlambat permintaan tanpa adanya uzur maka haknya gugur. Alasannya

77Ibid. hal. 165 78Ibid. hal. 165

(17)

ialah jika Syafi’i memperlambat permintaannya niscaya hal ini berbahaya buat pembeli, karena pemilikannya terhadap barang yang dibeli tidak mantap (labil) dan tidak memungkinkan ia bertindak untuk membangunnya karena takut tersia-sianya usaha dan takut di syuf’ah.

Jika Syafi’i tidak ada atau belum mengetahui penjualan atau tidak mengetahui bahwa memperlambat dapat menggugurkan syuf’ah, dalam keadaan seperti ini haknya tidak gugur. Salah satu riwayat dari Abu Hanifah bahwa permintaan tidak wajib dengan segera setelah mengetahui, karena syaf’i memerlukan pertimbangan dalam persoalan ini, maka ia berhak khiar seperti khiar dalam jual beli.79

Ibnu Hazan berpendapat bahwa penetapan syuf’ah diwajibkan oleh Allah, maka ia tidak boleh gugur karena tertinggalnya permintaan delapan puluh tahun sekalipun, kecuali jika syaf’i sendiri yang menggugurkannya.80

Malik berpendapat bahwa syaf’i tidak wajib meminta dengan segera, tetapi waktunya luas, menurut Ibnu Rusyd dalam penentuan waktunya mazhab Maliki berbeda-beda, dalam salah satu pendapatnya bahwa waktunya tidak terbatas, ia sama sekali tidak terputus kecuali bila barangnya mengalami perubahan besar dengan sepengetahuan syaf’i, ia hadir, mengetahui, diam. Dalam riwayatnya yang lain bahwa mazhab Maliki membatasi waktunya, dalam pembatasan waktunya pun berbeda-beda, menurut salah satu riwayat

79Ibid. hal. 166 80Ibid. hal. 166

(18)

bahwa limitnya adalah satu tahun, menurut riwayat lain waktunya satu tahun lebih dan menurut riwayat lain dalam mazhab Maliki dikatakan bahwa lima tahun tidak membuat syuf’ah terputus.81

c. Syaf’i memberikan kepada pembeli sejumlah harga yang telah ditentukan ketika akad, kemudian syaf’i mengambil syuf’ah harga yang sama jika jual beli itu mitslian (dengan suatu nilai jika dihargakan).

Dalam salah satu hadits dari Jabir ra. bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: “Syaf’i lebih berhak dengan harganya” (Riwayat, Al-Jauzzani).82

Bila Syaf’i tidak mampu menyerahkan keseluruhan harga maka gugurlah syuf’ah.

Mazhab Maliki dan mazhab Hambali berpendapat bahwa apabila harga ditangguhkan semuanya atau membayarnya secara kredit sesuai dengan ketentuan yang disepakati ketika akad, dengan syarat bahwa Syafi’i adalah orang kaya atau ada penanggungnya yang kaya, jika tidak demikian, maka ia wajib membayar ketika itu juga (kontan), untuk menjaga kemaslahatan pembeli.83

Al-Syaf’i menurut penganut mazhab Hambali berpendapat bahwa Syaf’i boleh memilih; jika pembayaran disegerakan, maka syuf’ah pun disegerakan, jika tidak, maka terlambat sampai waktu tertentu.

d. Syafi’i mengambil keseluruhan barang. 81Ibid. hal 166

82Ibid. hal. 167 83Ibid. hal. 167

(19)

Maksudnya, jika syafi’i meminta untuk mengambil sebagian; maka semua haknya gugur, apabila syuf’ah terjadi antara dua syafi’i atau lebih, sebagian Syafi’i melepaskannya, maka Syafi’i yang lain harus menerima semuanya, hal ini dimaksudkan agar benda Syuf’ah tidak terpilah-pilah atas pembeli.

3. Masyfu’ min hu, yaitu orang tempat mengambil syuf’ah

Disyaratkan pada masyfu’ min hu bahwa ia memiliki benda terlebih dahulu secara syarikat, contohnya ialah Umar dan Rahmat memiliki sebuah rumah secara syarikat, Umar menjual miliknya kepada Zakaria, Waktu khiarnya hingga tanggal 20 Januari 1992, kemudian Rahmat menjual pula haknya kepada Fatimah, maka Zakaria dapat melakukan tindakan syuf’ah pada Fatimah.

B. Fungsi Hak Langgeh

Dalam kehidupan manusia, keberadaan tanah tidak akan terlepas dari segala perbuatan manusia itu sendiri, sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Oleh karena itu, tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat sehingga sering terjadi sengketa di antara sesamanya, terutama yang menyangkut tanah. Untuk itulah diperlukan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah.

Dalam Hukum Adat, tanah merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan antara manusia dengan tanah sangat erat, seperti yang telah dijelaskan, bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan

(20)

mereka, tanah di mana mereka dimakamkan dan terjadi tempat kediaman orang-orang halus pelindungan beserta arwah leluhurnya. Tanah telah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa, serta pendukung suatu negara, lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Di negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio shie qua non.

Berbicara tentang tanah sebagai objek hukum tentu tidak dapat dipisahkan dengan transaksi dari sebidang tanah itu sendiri . Transaksi dalam bahasa Arab disebut dengan Akad, yang berarti perikatan, perjanjian dan pemufakatan. Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan menerima ikatan), sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada obyek perikatan. Boleh dikatakan akad terjadi dalam setiap kegiatan muamalah.84

Transaksi yang dimaksudkan disini lebih khusus ialah perbuatan jual beli antara individu atau kelompok dengan individu atau kelompok yang lainnya. Jual beli artinya menjual, mengganti dan menukar (sesuatu dengan sesuatu lainnya). Secara Terminologi, terdapat beberapa definisi, diantaranya: Oleh ulama Hanafiah didefinisikan dengan: “Saling menukarkan harta dengan harta melalui cara tertentu”, atau: “Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat”.85

84

M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003), hal. 101.

85

(21)

Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama manusia mempunyai landasan yang amat kuat dalam Islam. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

1. “...Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (Terjemahan QS. Al-Baqarah: 275).

2. “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu ...” (Terjemahan QS. Al-Baqarah: 198)

3. “... Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu ...” (Terjemahan QS. An-Nisa’: 29)

4. “... Dan persaksikanlah, apabila kamu berjual-beli ...” (Terjemahan QS. Al-Baqarah: 282)

Dalam Sabda Rasulullah disebutkan:

“Nabi Muhammad SAW pernah ditanya: Apakah profesi yang paling baik? Rasulullah menjawab: “Usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati”. (HR. Al-Barzaar dan Al-Hakim).86

Jual beli tanah sendiri dapat digolongkan menjadi 2 (dua) golongan, yaitu jual beli tanah menurut hukum adat dan jual beli tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).87

1. Jual beli tanah menurut hukum adat

Jual beli tanah sebagai suatu lembaga hukum, tidak secara tegas dan terperinci diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Bahkan, sampai sekarang belum ada

86Ibid. hal. 116

87 http://hkmagraria.blogspot.com/2009/01/aspek-hukum-tanah-adat.html, di akses pada hari

(22)

peraturan yang mengatur khusus mengenai pelaksanaan jual beli tanah. Di dalam pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria terdapat pernyataan bahwa Hukum Tanah Nasional kita adalah Hukum Adat, berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas lembaga hukum dan sistem Hukum Adat. Hukum Adat yang dimaksud tentunya Hukum Adat yang telah dihilangkan cacat-cacatnya/ disempurnakan. Jadi pengertian jual beli tanah menurut Hukum Tanah Nasional kita adalah pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat. Sebagaimana telah di ketahui bahwa sumber-sumber Hukum Tanah Nasional kita berupa norma-norma hukum yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis, sumber-sumber huukum yang tertulis berupa Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Pokok Agraria, peraturan-peraturan pelaksana Undang-Undang Pokok Agraria, dengan peraturan-peraturan lama yang masih berlaku. Adapun sumber-sumber hukum yang tidak tertulis adalah norma-norma Hukum Adat yang telah disempurnakan dan Hukum kebiasaan baru, termasuk yurisprudensi.88

Dengan demikian ada 2 fungsi atau peranan dari Hukum Adat. Yaitu sebagai sumber utama pembangunan Hukum Tanah Nasional dan sebagai pelangkap dari ketentuan-ketantuan Hukum Tanah yang belum ada peraturannya agar tidak terjadi kekososngan Hukum karena hukumnya belum diatur sehingga kegiatan masyarakat yang berhibungan dengan Hukum Tanah tidak terhambat karenanya. Menurut Hukum Adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan damai.

(23)

Kadang-kadang seorang pembeli tanah dalam pelaksanaan jual belinya belum tentu mempunyai uang tunai sebesar harga tanah yang ditetapkan. Dalam hal yang demikian ini berarti pada saat terjadinya jual beli, uang pembayaran dari harga tanah yang ditetapkan belum semuanya terbayar lunas (hanya sebagian saja). Belum lunasnya harga tanah yang ditetapkan tersebut tidak menghalangi pemindahan haknya atas tanah, artinya pelaksanaan jual beli tetap dinggap telah selesai. Adapun sisa uang yang harus dibayar oleh pembeli kepada penjual dianggap sebagai utang pembeli kepada penjual. Jadi hubungan ini merupakan hubungan utang piutang antara penjual dan pembeli.

Dalam hukum adat, jual beli tanah dimasukkan dalam hukum benda, khususnya hukum benda tetap atau hukum tanah, tidak dalam hukum perikatan khususnya hukum perjanjian, hal ini karena :

a. Jual beli tanah menurut Hukum Adat bukan merupakan suatu perjanjian, sehingga tidak diwajibkan para pihak untuk melaksanakan jual beli tersebut b. Jual beli tanah menurut Hukum Adat tidak menimbulkan hak dan kewajiban,

yang ada hanya pemindahan hak dan kewajiban atas tanah. Jadi apabila para pembeli baru membayar harga tanah sebagian dan tidak membayar sisanya maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah tersebut.

Ciri-ciri yang menandai dari jual beli tersebut antara lain, jual beli serentak selesai dengan tercapai persetujuan atau persesuaian kehendak (konsesnsus) yang diikuti dengan ikrar/pembuatan kontrak jual beli dihadapan Kepala Persekutuan

(24)

hukum yang berwenang, dibuktikan dengan pembayaran harga tanah oleh pembeli dan disambut dengan kesediaan penjual untuk memindahkan hak miliknya kepada pembeli. Dengan terjadinya jual beli tersebut, hak milik atas tanah telah berpindah, meskipun formalitas balik nama belum terselesaikan. Kemudian ciri yang kedua adalah sifatnya yang terang, berarti tidak gelap. Sifat ini ditandai dengan peranan dari Kepala Persekutuan, yaitu menanggung bahwa perbuatan itu sudah cukup tertib dan sah menurur hukumnya.

Adapun prosedur jual beli tanah itu diawali dengan kata sepakat antara calon penjual dengan calon pembeli mengenai objek jual belinya yaitu tanah hak milik yang akan dijual dan harganya. Hal ini dilakukan melalui musyawarah diantara mereka sendiri setelah mereka sepakat atas harga tanah itu, biasanya sebagai tanda jadi, diikuti dengan pemberian panjer.

Jual beli tanah dalam sistem Hukum Adat mempunyai 3 muatan, yaitu:

a. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai sedemikian rupa dengan hak untuk mendapatkan tanahnya kembali setelah membayar uang yang pernah dibayarkan. Antara lain, menggadai, menjual gade, adil sende, ngejual akad atau gade.

b. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai tanpa hak untuk membeli kembali, jadi menjual lepas untuk selama-lamanya. Antara lain, adol plas, runtemurun, menjual jaja.

(25)

c. Pemindhan hak atas tanah atas dasar pembayaran dengan perjanjian setelah beberapa panen dan tanpa tindakan hukum tertentu tanah akan kembali (menjual tahunan, adol oyodan).

2. Jual beli tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria

Dalam Undang-Undang Pokok Agraria istilah jual beli hanya disebutkan dalam pasal 26 yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam pasal-pasal lainnya tidak ada kata yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan.

Apa yang dimaksud dengan jual beli itu sendiri oleh Undang-Undang Pokok Agraria tidak diterangkan secara jelas, akan tetapi mengikat dalam pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria disebutkan bahwa Hukum Tanah Nasional dan Hukum Adat. Berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum, dan sistem Hukum adat. Maka pengertian jual beli menurut Hukun Tanah Nasional adalah pengertian jual beli tanah menurut hukum adat. Hukum Adat yang dimaksud adalah Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria tersebut adalah hukum adat yang dihilangkan dari cacat-cacatnya/hukum adat yang telah disempurnakan/ hukum adat yang telah dihilangkan kedaerahannnya dan diberi sifat nasional.

Perjanjian jual beli tanah menurut hukum adat merupakan perbuatan pemindahan hak, yang sifatnya tunai, riil dan terang. Sifat tunai berarti bahwa penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Sifat riil berarti bahwa dengan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja belumlah terjadi jual

(26)

beli, hal ini dikuatkan dalam Putusan MA No. 271/K/Sip/1956 dan No. 840/K/Sip/1971.

Apabila kita berbicara mengenai jual beli tanah maka sangat erat kaitannya dengan pendaftaran tanah sendiri. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan azas dari pada pendaftaran tanah ialah dilaksanakan berdasarkan azas sederhana, aman, terjangkau, muthakhir dan terbuka. Azas merupakan fundamen yang mendasari terjadinya sesuatu dan merupakan dasar dari suatu kegiatan, hal ini berlaku pula pada pendaftaran tanah. Oleh karena itu, dalam pendaftaran tanah ini terdapat azas yang harus menjadi patokan dasar dalam melakukan pendaftaran tanah.

a. Azas Sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama hak atas tanah.

b. Azas Aman dikamsudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.

c. Azas terjangkau, bahwa azas ini dimaksudkan mudah dijangkau bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa dijangkau oleh pihak yang memerlukan.

d. Azas Mutakhir dan Terbuka dimaksud bahwa adanya kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan keseimbangan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Perlunya diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari. Azas ini menuntut pula dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan. Sedangkan yang dimaksud azas terbuka yaitu agar data-data tanah di kantor Badan Pertanahan Nasional bersifat terbuka untuk publik, dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar.89

(27)

Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya jual beli diahadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi).

Syarat jual beli tanah ada 2, yaitu : 1. Syarat materiil

Syarat Materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut, antara lain sebagai berikut :

a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan

Maksudnya pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya.untuk menentukan berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut. Apakah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai. Menurut Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya warga negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah (pasal 21 Undang Undang Pokok Agraria) jika pembeli mempunyai kewarganegaraan asing disamping kewarganegaraan Indonesianya atau kepada suatu badan hukum yang tidak dikecualikan oleh pemerintah, maka jual beli tersebut batal karena hukum dan tanah tersebut jatuh pada negara (pasal 26 ayat 2 Undang Undang Pokok Agraria).

(28)

b. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan

Yang berhak menjual suatu bidang tanah tertentu saja si pemegang yang sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah tersebut. Akan tetapi pemilik tanah adalah 2 orang maka yang berhak menjual tanah itu adalah kedua orang itu bersama-sama.

c. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjual belikan dan tidak sedang dalam sengketa.

Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjual belikan telah ditentukan dalan Undang Undang Pokok Agraria yaitu hak milik (pasal 20), Hak Guna Usaha (pasal 28), Hak Guna Bangunan (pasal 35), Hak Pakai (pasal 41).

2. Syarat formal

Setelah semua persyaratan materiil telah dipenuhi maka PPAT (Pejabat Pembuat Angka Tanah) akan membuata akta jual belinya. Akta jual beli menurut pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 harus dibuat oleh Pejabat Pembuat Angka Tanah. Jual beli yang dilakukan tanpa dihadapan Pejabat Pembuat Angka Tanah tetap sah karena Undang Undang Pokok Agraria berlandaskan pada hukum adat (pasal 5 Undang Undang Pokok Agraria), sedangkan dalam hukum adat sistem yang dipakai adalah sistem yang konkrit/nyata/riil.

(29)

Sebelum akta jual beli dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah, maka disyaratkan bagi para pihak untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah, berupa:

1. Jika tanahnya sudah bersertifikat: sertifikat tanahnya yang asli dan tanda bukti pembayaran biaya pendaftarannya.

2. Jika tanahnya belum bersertifikat: surat keterangan bahwa tanah tersebut belum bersertifikat, surat-surat tanah yang ada yang memerlukan penguatan oleh kepala desa dan camat, dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan untuk persertifikatan tanahnya setelah selesai dilakukan jual beli.

Setelah akta dibuat, selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak akta tersebut ditandatangani Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menyerahkan akta tersebut kepada kantor pendafratan tanah untuk pendaftaran pemindahan haknya.

Di samping persyaratan yang telah disebutkan di atas, khusus di Propinsi Aceh mengenal adanya syarat lainnya untuk dapat menjual sebidang tanah. Syarat tersebut bukanlah berlaku secara positif di Indonesia, tetapi hanya di khususkan di Propinsi Aceh. Syarat tersebut ialah mengharuskan kepada seorang penjual untuk mengutamakan hak langgeh sebelum dia menjual lepas tanahnya kepada orang lain.

Penerapan untuk memberlakukan hak langgeh tersebut mempunyai dasar hukum yaitu:

(30)

1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, antara lain Pasal 3 ayat (1) dan (2) menegaskan bahwa: 1) Keistimewaan Aceh merupakan pengakuan dari bangsa Indonesia yang

diberikan kepada daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan

2) Penyelenggaraan Keistimewaan meliputi: a. Penyelenggaraan kehidupan beragama; b. Penyelenggaraan kehidupan adat; c. Penyelenggaraan pendidikan; dan

d. Peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Pasal 6 menegaskan:

Daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayahnya yang dijiwai dan sesuai dengan syariat Islam.

(31)

3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

4. Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

5. Qanun Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

6. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat.

7. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2003 tentang Lembaga Adat.

Dengan peraturan-peraturan tersebut maka hak langgeh (syuf’ah) dapat di laksanakan di Propinsi Aceh dalam hal melaksanakan transaksi tanah (jual-beli). Hak langgeh (syuf’ah) diberlakukan ialah untuk menjaga keutuhan umat, menghindari perpecahan antara masyarakat, untuk kemaslahatan umat dan tentunya untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah di Provinsi Aceh.90 Karena menjalankan hak langgeh (syuf’ah) sama saja dengan melaksanakan syariat Islam atau melaksanakan ketentuan Rasul kepada umat Muslim. Dalam isi hikayat Asay Pade dapat juga dicermati fungsi dari hak langgeh, yaitu “Maseng-maseng dum geuceu dum, ge ubah arem haseuta tanda” Hantom nyangka dilee meuno, bak uroe nyo langgeh donya. Ba’ uronyo jeut langgesan, jeut bantahan droe neu dua”. Yang maksudnya ialah diharuskan seorang melaksanakan hak langgeh untuk menyampingkan kemudharatan (adanya saling gugat menggugat dibelakang hari).91

90Wawancara dengan Drs. H. Ibrahim Daud (Ketua Majelis Adat Aceh, Kota Langsa), pada

tanggal 16 Desember 2013.

91 Syamsuddin Daud, Adat Meugoe (Adat Bersawah), (Banda Aceh: Perpustakaan Majelis

(32)

Hikmah disyari’atkan syuf’ah adalah untuk menghindari bahaya dan pertengkaran yang mungkin sekali timbul. Hal itu, karena hak milik syafii’ terhadap harta yang dijual yang hendak dibeli oleh orang lain menolak adanya mudharat yang mungkin timbul dari orang lain tersebut. Imam Syafi’i lebih memilih bahwa bahaya tersebut adalah bahaya biaya pembagian, peralatan baru dsb. Ada yang mengatakan bahwa bahaya tersebut adalah bahaya tidak baiknya persekutuan dan silaturahmi. Ibnul Qayyim berkata, “Di antara keindahan syari’at, keadilannya dan berusaha menegakkan maslahat hamba adalah mengadakan syuf’ah. Karena hikmah syari’ menghendaki dihilangkan mudharrat dari kaum mukallaf semampu mungkin. Oleh karena serikat (bersekutu) itu biasanya sumber mudharrat, maka dihilangkanlah mudharrat itu dengan dibagikan atau dengan syuf’ah. Jika ia ingin menjual bagiannya dan mengambil ganti, maka kawan serikatnya itulah yang lebih berhak daripada orang lain, dapat menghilangkan mudharat dari serikat itu dan tidak merugikan penjual, karena akan menghubungkan kepada haknya berupa bayaran. Oleh karena itu, syuf’ah termasuk di antara keadilan yang sangat besar dan hukum terbaik yang sejalan dengan akal, fitrah dan maslahat hamba.”92

C. Keberadaan Hak Langgeh (Syuf’ah) di Kota Langsa

Sebelum ditetapkan menjadi kota, Langsa adalah bagian dari kabupaten Aceh Timur yang ibukota kabupatennya adalah Langsa dan merupakan kota administratif yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1991 Tanggal 22 Oktober 1991, dan diresmikan oleh menteri dalam negeri Republik Indonesia Pada Tanggal 2 April 1992. Kemudian, sesuai dengan perkembangan Provinsi Aceh baik 92Abdul Halim El Muhammady, Undang-Undang Muamalat & Aplikasinya Kepada Produk-Produk Perbankan Islam (Universiti Kebangsaan Malaysia: 2006), hal. 27.

(33)

dari segi budaya, politik dan ekonomi, propinsi ini semakin dituntut mengembangkan diri, khususnya dari segi pemerintahan sehingga pada tahun 2001 terbentuklah Kota Langsa yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Timur berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2001 pada tanggal 21 Juni 2001 dan Peresmiannya dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 2001 Oleh menteri dalam negeri atas nama presiden republik Indonesia. Kota Langsa terdiri dari 5 Kecamatan yaitu:93

a. Langsa Barat (9 desa/kelurahan) b. Langsa Kota (10 desa/kelurahan) c. Langsa Lama (9 desa/kelurahan) d. Langsa Baro (9 desa/kelurahan) e. Langsa Timur (14 desa/kelurahan)

Kota Langsa mempunyai luas wilayah 262,41 km2, jarak Kota Langsa dari ibukota provinsi yaitu Banda Aceh sekitar kurang lebih 439 km atau sekitar kurang lebih delapan jam perjalanan dengan menggunakan alat transportasi darat dan berjarak sekitar kurang lebih 169 km dari ibukota provinsi Sumatera Utara yaitu Medan, dan dapat di tempuh dengan waktu empat jam perjalanan dengan transportasi darat, serta mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut :

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka.

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur .

(34)

c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur.

d. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Manyak Payed Kabupaten Aceh Tamiang.

Kota Langsa dengan luas 26.241 Ha, merupakan daerah Perdagangan, Industri dan Pertanian, dimana area perkebunan mencapai 39,88 persen dari keseluruhan luas daerah Kota Langsa atau sebesar 10.466 Ha. Luas area untuk bangunan/pekarangan mencapai 6.037 Ha atau 23,01 persen dari total luas Kota Langsa, lahan sawah mencapai 1.925 Ha atau sebesar 7,34 persen, ladang/huma mencapai 1.864 Ha atau sebesar 7,10 persen, tambak/kolam seluas 1.344 Ha atau 5,08 persen, tegalan/kebun 1.267 Ha atau 4,83 persen, dan perkebunan rakyat 1.244 Ha atau 4,74 persen. Jumlah kepala keluarga sesuai sensus tahun 2010 sebanyak 28.682 kepala keluarga.

Pada dasarnya rata-rata kepala keluarga dari sampel yang dilakukan paham akan adanya hak langgeh (syuf’ah) yang tumbuh dan berkembang dalam tataran hukum adat masyarakat Aceh khususnya di Kota Langsa, namun mereka tidak mengerti akan istilah “Hak Langgeh” nya, yang masyarakat ketahui kebanyakan hanya pengertian dari hak langgeh (syuf’ah) tersebut yaitu hak untuk membeli terlebih dahulu tanah dari ketiga unsur masyarakat yaitu saudara, tetangga, dan sesama anggota masyarakat. Namun masyarakat masih kurang mengetahui akan adanya peradilan adat dan peradilan Mahkamah Syar’iah terkait akan sengketa hak langgeh tersebut. Hanya sebagian kecil masyarakat yang mengetahui tentang

(35)

penyelesaian sengketa hak langgeh pada peradilan adat saja, tanpa mengetahui adanya pilihan penyelesaian sengketa melalui jalur Mahkamah Syar’iah.94

Tabel I

Daftar Responden di Kecamatan Langsa Kota No. Nama Kepala

Keluarga Paham

Tidak

Paham Melaksanakan

Tidak Melaksanakan

1 Ir. Zahlul Pasha  

2 Rahmat   3 T. Zainuddin   4 Ir. Sunaryo   5 Baharuddin   6 Yusuf Adam, ST   7 Drs. Razali Yusuf   8 Rahmad Adi   9 T. Zulkifli Bardan   10 Abdullah Itam  

Sumber: Data diperoleh dari survey di Kecamatan Langsa Kota Tabel II

Daftar Responden di Kecamatan Langsa Lama No. Nama Kepala

Keluarga Paham Tidak Paham Melaksanakan Tidak Melaksanakan 1 Zulhelmi   2 Bahtiar   3 Abdullah   4 Effendi   5 Rizal  

94Wawancara dengan kepala keluarga di 3 (tiga) kecamatan di Kota Langsa, pada tanggal 2

(36)

6 Danato  

7 Sahrul Azhar  

8 Dedi Ilhami  

9 Fakhrurrazi  

10 Asnawi  

Sumber: Data diperoleh dari survey di Kecamatan Langsa Lama Tabel III

Daftar Responden di Kecamatan Langsa Barat No. Nama Kepala

Keluarga Paham Tidak Paham Melaksanakan Tidak Melaksanakan 1 Budiman, S. Sos. i   2 Musliadi   3 Putra Bahagia, ST   4 Indra Ilhami   5 Jafaruddin   6 Ridwan Kamil   7 Panca Trisna   8 Ramli Piah   9 Drg. Alwi   10 T. Zulfadlin  

Sumber: Data diperoleh dari survey di Kecamatan Langsa Barat

Dari data responden yang telah diuraikan dalam tabel di atas terlihat dari ketiga kecamatan yang telah dilakukan penelitian, 87 % (delapan puluh tujuh persen) kepala keluarga paham akan adanya hak langgeh (syuf’ah) yang berlaku di Aceh, 13 % (tiga belas persen) kepala keluarga tidak paham, 63 % (enam puluh tiga persen) kepala keluarga melaksanakan dan 37 % (tiga puluh tujuh persen) kepala keluarga

(37)

tidak melaksanakan hak langgeh (syuf’ah) dalam hal transaksi jual beli tanah yang pernah dilakukan.

Menurut penelitian yang telah di lakukan, dan berdasarkan informasi dari para narasumber, di Kota Langsa juga belum ada satu pun kasus sengketa tentang hak langgeh yang masuk ke Mahkamah Syar’iah Kota Langsa, karena hingga saat ini penyelesaian sengketa hak langgeh selesai pada tingkat peradilan adat di gampong-gampong (desa-desa). Dari informasi yang didapatkan bahwa di kecamatan Langsa Barat dan Langsa Kota pernah terjadi kasus sengketa tentang hak langgeh, di Kecamatan Langsa Barat misalnya, kasus tersebut bermula dari pemilik tanah menjual bebas sebidang tanahnya yang terletak di Jalan Jenderal Ahmad Yani kepada developer untuk pembangunan 2 (dua) pintu Rumah Toko (RUKO). Namun pemilik tanah tidak mentaati hak langgeh yang tumbuh dan berkembang di Aceh. Maka pemilik tanah tetangga tersebut menggugat pemilik tanah yang menjual tanahnya kepada developer ke Geuchik (Kepala Desa), agar mengupayakan pemilik tanah tersebut dapat menjual tanahnya kepada dia sebagai pemilik tanah tetangga dari objek yang diperkarakan, karena dia yang lebih berhak membeli. Namun penyelesaian kasus tersebut tidak sampai ke Mahkamah Syar’iah, dan dapat diselesaikan pada tingkat peradilan gampong dengan dasar Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Yang didalam qanun tersebut menegaskan bahwa tugas dan kewajiban Pemerintahan Gampong adalah:

(38)

b. Menjaga dan memelihara kelestarian adat dan adat istiadat

c. Memelihara ketentraman dan ketertiban serta mencegah munculnya perbuatan maksiat dalam masyarakat

d. Bersama dengan Tuha Peuet dan Imeum Meunasah menjadi hakim perdamaian.

Di Kecamatan Langsa Kota juga pernah terjadi sengketa adat pada tahun 2004 silam tentang hak langgeh (syuf’ah) yang bermula dari persengketaan tentang sebidang tanah yang diatasnya berdiri sebuah bangunan rumah yang awalnya dimiliki oleh orang tua dan menjadi milik keluarga setelah orang tua mereka meninggal, namun beberapa tahun terakhir sebelum berperkara, tanah tersebut telah beralih hak nya menjadi milik anak paling tua, dan kemudian anak tertua tersebut hendak menjual lepas tanah beserta bangunan kepada pihak lain tanpa memperdulikan adanya hak langgeh (syuf’ah) yang seharusnya dapat mengutamakan keluarga terlebih dahulu untuk membeli tanah beserta bangunan tersebut. Lalu pihak keluarga menggugat ke Pengadilan Negeri Langsa untuk menggugat beberapa pokok gugatan yang salah satunya menggugat untuk dapat menguasai (membeli kembali) tanah tersebut yang sebelumnya milik orang tua mereka dengan dasar adanya hak langgeh (syuf’ah) yang tumbuh dan berkembang di Aceh. Namun Pengadilan Negeri menolak gugatan tentang hak langgeh (syuf’ah) karena bukan merupakan kompetensi (wewenang mengadili) pada Pengadilan Negeri.95 Yang seharusnya kompetensi di pegang oleh

95 Wawancara dengan Geuchik gampong jawa kecamatan Langsa kota, pada hari Rabu, 2

(39)

Mahkamah Syar’iah Kota Langsa yang berhak menyelesaikan sengketa hak langgeh (syuf’ah) tersebut dengan dasar Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam Pasal 49 yaitu Mahkamah Syar'iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama, dalam bidang96:

a. Ahwal al – syakhshiyah; b. Mu'amalah;

c. Jinayah

Referensi

Dokumen terkait

terintegrasi tersebut telah berhasil dirancang dan dibuat (Hermawan, et al., 2009; Hermawan, et al., 2010), namun masih perlu ditingkatkan kinerjanya melalui modifikasi agar

Ancak, kesin olarak bildiğimiz bir şey var ise, o da şudur; ebter tohumlardan elde edilen mahsulleri (ürünleri) tükettiğimiz takdirde, hastalıklara karşı önleyici ve

Persimpangan tak bersinyal dan jalan masuk pada jalan raya dengan lalulintas cepat adalah keadaan dimana lalulintas lain menggunakan sebagian kapasitas yang

Oleh karena itu, dalam penelitian ini disimpulkan bahwa, perjalanan haji ke Puncak Bawa Karaeng adalah bentuk artikulasi dari jemaat Haji Bawa Karaeng, yang

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Sleman Yogyakarta penelitian ini mempunyai kontribusi atau implikasi tentang persepsi

rendah (ketinggian bangunan sampai dengan 12 meter) di lokasi sesuai dengan fungsi jalan lokal/lingkungan, Pelaku pembangunan wajib menyediakan lahan pada lahan

Pulau Lombok yang masih mempertahankan tradisi dan kebudayaan sampai sekarang,.. dimana 80% dari 3 juta jiwa penduduk yang mendiami Pulau Lombok

Perkembangan teknologi internet sebagai media promosi yang sangat murah dan menjadi peluang bisnis baru bagi suatu perusahanan untuk memperluas pemasaran dengan