• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lecture Notes : Simposium Tatalaksana Trauma Muskuloskeletal untuk Dokter Umum 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Lecture Notes : Simposium Tatalaksana Trauma Muskuloskeletal untuk Dokter Umum 2020"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

Tatalaksana Trauma Muskuloskeletal

Tatalaksana Trauma Muskuloskeletal

untuk Dokter Umum 2020

untuk Dokter Umum 2020

Tatalaksana Trauma Muskuloskeletal

untuk Dokter Umum 2020

Penulis :

Tamara Audrey Kedarusman, S.Ked Editor :

Salma Mazkiyah, dr

(2)

Tatalaksana Trauma

Muskuloskeletal untuk Dokter

Umum 2020

Penulis : Tamara Audrey Kadarusman, S.Ked

Editor : Salma Mazkiyah, dr Daftar Isi

1. Dasar-Dasar Ortopedi dan

Traumatologi 1

2. Tatalaksana Kegawatdaruratan

Fraktur Terbuka di Faskes Primer 16 3. Tatalaksana Kegawatdaruratan

Cedera Tangan di Faskes Primer 30 4. Pembebatan dan Pembidaian

Ekstremitas untuk Dokter Umum 48 5. Casting, Slab, dan Traksi untuk 61

Dokter Umum

6. Tatalaksana Sindrom Kompartemen

di Faskes Primer 73

(3)

1

Dasar-Dasar Ortopedi dan Traumatologi A. Pendahuluan

Istilah ortopedi dicetuskan oleh dokter dari Prancis bernama Nicholas Andry pada tahun 1741. Istilah itu berasal dua kata yakni Ortho yang berarti lurus dan Pedics yang berarti anak tahun. Pada abad ke-18, ortopedi memang banyak dimanfaatkan untuk me-ngoreksi kelainan pada anak. Hal ini disebabkan karena banyaknya trauma yang terjadi pada anak akibat sangat aktif beraktivitas (Sjamsuhidajat, 2010). Ortopedi kemudian menjadi keahlian khusus yang lengkap dengan cakupan yang beragam, mulai dari perawatan sederhana, seperti yang dilakukan oleh ahli tulang tradisional hingga operasi sendi, tulang belakang, dan tangan yang sangat canggih.

Perkembangan ortopedi sebagai spe-sialisasi mulai meroket sejak penemuan anestesi dan teknik bedah aseptik ditemukan. Penemuan sinar-X oleh Roentgen dan pe-ngenalan penggunaan laster of Paris oleh

(4)

2

Albert Mathysen pada tahun 1852 merevolusi diagnosis dan manajemen bidang ortopedi. Namun, yang menjadi titik tolak perkem-bangan spesialisasi ortopedi adalah ketika di era modern, angka kecelakaan lalu lintas yang tinggi, baik di negara maju maupun di negara berkembang.

B. Ruang Lingkup Ortopedi

Ruang lingkup ortopedi tidak hanya menangani tentang trauma saja, tetapi juga kasus-kasus lainnya yang juga termasuk dalam ruang lingkup ortopedi, antara lain:

a. Abnormalitas kongenital dan tumbuh kembang

b. Infeksi dan inflamasi c. Artritis dan reumatik,

d. Tumor dan lesi yang menyerupainya. e. Kelainan saraf dan kelemahan otot. f. Jejas dan ketidaksinambungan

me-kanik.

Ruang lingkup ortopedi juga tidak terbatas pada tulang saja, tetapi pada satu kesatuan sistem musculoskeletal. Sistem musculoskeletal terdiri dari tulang, sendi, otot,

(5)

3

tendon, dan saraf yang menginervasi bagian-bagian tersebut. Oleh karena itu, ketika membahas kasus ortopedi dan traumatologi, pemeriksaan secara menyeluruh sangat penting untuk dilakukan.

C. Prinsip Umum Ortopedi dan Trauma-tologi

Prinsip umum penanganan ortopedi dan traumatologi adalah melakukan penatalak-sanaan secara komprehensif, yaitu melakukan tindakan preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Penatalaksanaan ini dapat dimulai dari fasilitas layanan kesehatan primer sampai pada fasilitas layanan kesehatan tersier oleh dokter spesialis. Penting untuk mengetahui prinsip-prinsip ini berdasarkan prinsip-prinsip dasar pena-talaksanaan umum penyakit.

Hukum alam yang berlaku pada tubuh manusia menjadi pedoman untuk langkah-langkah penyembuhan yang rasional. Upaya kesehatan ini bertujuan supaya pasien dapat terbebas dari penyakit dan dapat melakukan aktivitasnya seperti sedia kala. Dalam rangka pencapaiannya, penatalaksanaan kasus bedah

(6)

4

ortopedi harus berpedoman pada beberapa prinsip yang umum dan universal.

1. Prinsip Umum Penanganan Kelainan Bedah Ortopedi

Secara umum prinsip pengobatan pada bedah ortopedi yang harus dilaksanakan dan diperhatikan antara lain :

 Asas Menguntungkan (Beneficience) dan Tidak Menambah Kecacatan (Do No Harm) Penatalaksanaan ortopedi harus sesuai dengan asas kedokteran yaitu asas menguntungkan (beneficience) dan asas tidak menambah kecacatan (do no harm). Misalnya pada kasus trauma, tidak jarang pertolongan pertama yang diberikan malah menimbulkan komplikasi yang tidak di-inginkan jika tidak dilakukan dengan tepat. Proses tatalaksana awal, proses perujukan, hingga penatalaksanaan di pusat layanan kesehatan penting untuk diperhatikan supaya kita dapat memberikan tatalaksana yang tepat untuk menolong kondisi pasien, bukan sebaliknya.

(7)

5

 Tepat Diagnosis dan Tatalaksana

Diagnosis yang tepat penting didapatkan supaya dapat memberikan penatalaksana-an ypenatalaksana-ang tepat pula untuk pasien. Diagnosis yang tepat dapat dibangun dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan peme-riksaan penunjang berupa laboratorium dan radiologis. Setelah itu, seorang dokter dapat memberikan penatalaksanaan ber-dasarkan diagnosis tersebut dengan keilmuan terbaik yang diketahuinya.

 Pengobatan Rasional

Setelah seorang dokter dapat memberikan diagnosis yang tepat, seorang dokter juga harus memilih pengobatan yang rasional untuk pasien. Rasional berarti obat yang bersifat personal, satu pasien dengan pasien yang lain dengan diagnosis yang sama belum tentu menerima terapi yang sama pula. Pengobatan yang diberikan disesuaikan dengan keadaan umum yang khusus di masing-masing pasien. Selain itu, aspek lain seperti ekonomi, sosial,

(8)

6

kepercayaan, dan agama juga penting dalam pemberian obat secara rasional.

 Memperhatiakan Hukum Penyembuhan Alami.

Tubuh manusia memiliki kemampuan untuk melakukan upaya penyembuhannya sendiri sebagai bagian dari menjaga homeostasis. Oleh karena itu, pertim-bangan untuk tidak merusak jaringan yang sehat harus diperhatikan. (Swiontkowski dan Cross III, 2018).

2. Metode Penatalaksanaan Kelainan Bedah Ortopedi

Berdasarkan prinsip-prinsip umum pada terapi bedah ortopedi, terapi dapat dibagi menjadi 2 yakni tanpa pengobatan dan dengan pengobatan konservatif serta operatif.

 Tanpa Pengobatan

Banyak orang melihat ilmu ortopedi dan traumatologi sebagai ilmu yang selalu menggunakan obat-obatan atau teknik-teknik tertentu dalam pengobatannya. Nyatanya, hampir 50% penderita kelainan

(9)

7

bedah ortopedi tidak memerlukan tindakan pengobatan.

 Pengobatan Konservatif

Pengobatan konservatif adalah pengo-batan tanpa melakukan intervensi pem-bedahan. Pengobatan konservatif dapat dilakukan dalam bentuk:

o Tirah baring

o Pemberian obat berupa analgesik, antibiotik, atau sitostatika jika di-curigai terdapat sel kanker. Rute pemberian obat-obatan pun beragam, dapat melalui oral, intravena, intra-muskuler, dan lain-lain.

o Pemakaian alat bantu. Alat bantu yang diberikan bertujuan untuk mengistirahat-kan bagian tubuh yang mengalami kelainan atau gangguan. o Fisioterapi aktif dan pasif yang

bertujuan untuk mengembalikan fung-si organ yang mengalami kelainan o Radioterapi pada kasus kasus tumor

ganas.

(10)

8

 Pengobatan Operatif

Pengobatan operatif dapat dilakukan secara elektif atau emergency. Pengo-batan ini harus dilakukan dengan sesuai indikasi medis. Selain itu, usia, jenis kelamin, pekerjaan dan kemampuan penderita juga harus dipertimbangkan.

Penatalaksanaan secara operatif yang dulunya dengan menganut semboyan “best surgeon wide incision” saat ini mulai ditinggalkan. Pada masa ini, operasi lebih mengarah pada teknik minimal invasif menggunakaninstrument dan alat bantu yang serba computerized. Tujuannya agar mendapatkan hasil yang maksimum dengan masa rawatan yang lebih pendek serta bekas operasi yang minimal dan bahkan tidak ada sama sekali.

Secara umum, tindakan operasi pada ortopedi dapat meliputi:

 Debridement

Debridement adalah membuang jaringan yang terkontaminasi. Prinsipnya adalah membuat luka kotor menjadi luka bersih.

(11)

9

 Eksisi tulang

Eksisi tulang merupakan tindakan pem-buangan tulang. Biasanya dilakukan pada tumor tulang atau pada bagian tulang yang mengganggu pergerakan muskulos-keletal. Eksisi dapat berupa eksisi sederhana maupun eksisi luas.

 Reposisi tulang

Reposisi tulang adalah tindakan untuk mengembalikan posisi tulang yang beranjak sesudah fraktur. Dapat dilakukan dengan secara terbuka atau tertutup. Operasi dapat dilanjutkan dengan pemasangan fiksasi baik internal ataupun eksternal.

 Osteotomi

Osteotomi adalah operasi pemotongan tulang dengan tujuan mengembalikan bentuk tulang pada keadaan normal. Tulang dapat diperpendek, diperpanjang atau diperlurus. Tindakan ini biasanya dilakukan untuk mengoreksi kelainan bentuk tulang seperti pada cubitus varus akibat malunion fraktur suprakondiler,

(12)

10

osteotomi proksimal tibia untuk me-ngurangi nyeri osteoarthritis pada sendi lutut dan lainnya.

 Osteosyntesis

Osteosyntesis adalah operasi penyam-bungan dua bagian tulang yang kemudian memakai alat fiksasi seperti plate, skrew, wire, dan nail. Tujuannya adalah agar tulang yang disambung dapat dipertahan-kan sampai terbentuk penyambungan sempurna.

 Bone Grafting (Mencangkok Tulang)

 Tindakan Amputasi

Amputasi adalah tindakan membuang sebagian dari satu atau beberapa tulang. Amputasi dilakukan pada penyakit pem-buluh darah seperti komplikasi diabetes mellitus, trauma berat, kelainan ko-ngenital, infeksi yang tidak respon terapi dan keganasan muskuloskeletal. Teknik amputasi sudah jauh lebih baik, ditunjang dengan teknologi protese yang juga telah jauh berkembang. Sehingga pasien pasca

(13)

11

amputasi dapat tetap produktif meskipun telah kehilangan anggota geraknya.

 Operasi pada sendi.

Sama halnya dengan operasi tulang, beberapa Tindakan yang dapat dilakukan pada sendi misalnya: Debridement, Artrodesis (mengakukan sendi), Artro-plasty (memperbaiki sendi termasuk dalamnya mengganti sendi dengan sendi palus).

 Operasi pada jaringan lunak.

Operasi jaringan lunak adalah operasi yang dilakukan pada ligamen, syaraf, otot dan tendon. Beberapa operasi yang sering dilakukan sehari hari misalnya: Tendorafi

(penyambungan tendon yang putus),

Tendon graft (pencangkokan tendon),

Muskulorafi (menyambung tendon),

neurorafi (menyambung sayar yang putus) dan lain-lainnya.

(14)

12

3. Penanganan Trauma pada Muskulos-keletal

Trauma pada alat gerak merupakan trauma yang paling sering dijumpai. Hampir dua pertiga dari seluruh cedera yang menimpa tubuh akan mencederai alat gerak. Cedera alat gerak umumnya mengenai otot, ligamen tulang dan sendi. Dibandingkan dengan cedera pada organ tubuh lain, cedera pada alat gerak lebih banyak menyebabkan kecacatan dari pada kematian.

Peningkatan trauma itu terjadi seiring dengan perubahan dinamika kebudayaan manusia dan kemajuan zaman. Beberapa faktor penyebabnya antara lain :

a) Jumlah dan kecepatan kendaraan yang meningkat, disertai jalan yang semakin sempit sehingga dapat meningkatkan kecelakaan lalu lintas, b) Tempat bekerja manusia semakin

banyak pada mesin industri yang mempergunakan alat-alat berat dan berbahaya

(15)

13

c) Semakin banyaknya jenis olahraga yang menantang dan risiko cedera d) Peningkatan jumlah penduduk lanjut

usia yang tulangnya semakin rapuh dan berkurangnya reflek dalam mengindari trauma.

Umumnya, trauma berat dapat me-ningkatkan jumah kecacatan manusia terutama pada masyarakat berusia produktif. Oleh karena itu, penanganan yang kom-prehensif dari pertolongan pertama sampai pada pengobatan yang definitif harus dilakukan.

Tujuan akhir dari tindakan bedah ortopedi adalah maksimum rehabilitasi penderita secara menyeluruh. Pada trauma, Tindakan ortopedi bertujuan agar anggota gerak itu dapat berfungsi sebaik-baiknya dengan memegang beberapa prinsip.

Sebagaimana penatalaksanaan trauma secara umum, trauma muskuloskeletal juga harus melalui primary dan secondary survey. Prioritas utama adalah memperbaiki keadaan

(16)

14

umumnya terlebih dahulu kemudian menye-lamatkan anggota gerak yang terkena.

Primary survey dilakukan evaluasi secara cepat untuk mengidentifikasi hal-hal yang mengancam jiwa sesuai prioritas ABCDE yaitu: A – Airway: Jalan napas disertai proteksi

vertebrae cervical

B – Breathing: Pernapasan disertai ventilasi C – Circulation: Sirkulasi disertai kontrol

perdarahan eksternal.

D – Disability: Menilai dan mengatasi gangguan saraf pusat.

E – Exposure/Environment: Membuka pakaian pasien dan mengontrol suhu. Urutan ABCDE dilatihkan secara berurutan, namun idealnya dilakukan secara simultan dalam sebuah tim yang terlatih. Setelah menyelesaikan primary survey, kemudian beralih pada secondary survey

dengan tetap memperhatikan aspek re-evaluasi agar kondisi pasien terus terkontrol dan tidak ada yang terlewatkan (Gardner dan Siegel, 2014).

(17)

15

DAFTAR PUSTAKA

Gardner, M. and Siegel, J., 2014. Minimally Invasive Orthopaedic Trauma.

Philadelphia, Pa: Lippincott Williams & Wilkins.

Sjamsuhidajat, R., 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.

Swiontkowski, M. and Cross III, W., 2008. Treatment Principles in the Management of Open Fractures. Indian Journal of Orthopaedics, [online] 42(4), p.377. Available at:

<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articl es/PMC2740354/> [Accessed 22 August 2020].

(18)

16

Tatalaksana Kegawatdaruratan Fraktur Terbuka di Faskes Primer

Fraktur didefinisikan sebagai diskontinui-tas tulang sebagai akibat dari rudapaksa (trauma). Jenis trauma berupa trauma langsung maupun tidak langsung. Trauma langsung adalah trauma yang mengenai bagian permukaan tulang secara langsung, misalnya akibat kecelakaan atau terjatuh. Trauma tidak langsung terjadi jika trauma tersebut disebabkan karena adanya gangguan sistemik yang berpengaruh pada kondisi tulang, misalnya jika seseorang mengalami osteoporosis, maka dia akan lebih mudah mengalami fraktur patologis (Sjamsju-hidajat, 2010).

Berdasarkan posisi fragmen tulang terhadap paparan dengan dunia luar, fraktur dapat dibagi menjadi dua yaitu fraktur tertutup dan frakur terbuka. Fraktur tertutup adalah diskontinuitas tulang yang fragmen tulangnya masih tertutup oleh jaringan tubuh sehingga tidak terpapar dengan dunia luar.

(19)

17

Fraktur terbuka adalah diskontinuitas tulang yang fragmen tulangnya menembus jaringan tubuh yang menutupinya sehingga terpapar dengan dunia luar. Fraktur termasuk dalam kegawat-daruratan ortopedi dan memiliki kompetensi 3B untuk dokter umum, artinya seorang dokter umum dapat membuat diagnosis klinis dan memberi tatalaksana awal pada keadaan gawat darurat untuk me-nyelamatkan nyawa, serta mencegah ke-parahan atau kecacatan pasien, dan mampu melakukan proses perujukan yang tepat.

Di Amerika Serikat, terjadi sekitar 3,5 – 6 juta kasus fraktur setiap tahunnya. Estimasi kasus fraktur terbuka adalah 3% dari kasus fraktur keseluruhan, maka setidaknya ada 150.000 kasus setiap tahunnya. Di Indonesia, tidak ada data pasti yang menyebutkan jumlah kasus fraktur terbuka setiap tahunnya. Namun, mengacu pada pernyataan bahwa kasus fraktur meningkat pada negara dengan berkembang dengan overpopulasi, dapat disimpulkan bahwa angka yang tidak jauh

(20)

18

berbeda dengan Amerika Serikat juga terjadi di Indonesia.

Diagnosis Fraktur Terbuka

Setiap fraktur memiliki penatalaksanaan yang berbeda tergantung dari kondisi pasien, mekanisme jejas, dan lokasi frakturnya. Tujuan dari tatalaksana fraktur terbuka adalah pencegahan infeksi, penyatuan tulang, dan pengembalian fungsi.

Prinsip diagnosis fraktur terbuka tetap melalui tahapan-tahapan anamnesis, pemerik-saan fisik, dan pemerikpemerik-saan penunjang. Selagi melakukan langkah-langkah diagnosis ini, seorang dokter umum juga harus segera memberikan tatalaksana yang tepat terkait dengan kondisi kegawatdaruratan yang dialami oleh pasien. Jika diperlukan, seorang dokter juga dapat bekerja sama dalam tim untuk penatalaksanaan yang lebih cepat dan tepat.

Berikut adalah empat evaluasi utama dan satu evaluasi tambahan yang dapat dilakukan seorang dokter umum ketika menerima pasien

(21)

19

dengan kecurigaan fraktur terbuka (Jung, 2010).

1. Mekanisme jejas

Sebelum melakukan penatalaksanaan, penting untuk mengetahui mekanisme terjadinya fraktur. Seorang dokter harus dapat memahami mekanisme jejas dengan baik mulai dari arah gaya, mekanika dan gerak serta besarnya energi saat terjadi jejas. Hal itu dilakukan untuk memperkirakan tingkat keparahan jejas dan tata-laksananya. Penting untuk menanya-kan kepada pasien, keluarga, atau mungkin saksi mata tentang bagai-mana mekanisme jejas tersebut terjadi.

2. Kerusakan jaringan lunak

Kasus fraktur terbuka tidak hanya berfokus pada kerusakan tulang saja. Patofisiologi terjadinya fraktur terbuka adalah adanya fragmen tulang yang merusak jaringan lunak dan menembus kulit. Oleh karena itu,

(22)

20

kerusakan jaringan lunak juga harus dievaluasi dan ditatalaksana dengan baik.

3. Derajat kontaminasi

Oleh karena terdapat paparan dari luar pada fraktur terbuka, maka sangat mungkin terjadi kontaminasi patogen. Perhatikan adanya tanda-tanda infeksi dan inflamasi serta derajat konta-minasinya.

4. Konfigurasi fraktur

Konfigurasi fraktur yang terjadi juga akan menentukan tatalaksana dari fraktur terbuka, misalnya pelaksanaan pada fraktur dengan satu segmen akan berbeda dengan penatalaksana-an pada fraktur dengpenatalaksana-an fragmen kominutif.

5. Lesi vaskuler

Selain empat evaluasi utama di atas, penting untuk mengetahui adanya lesi vaskuler. Tentukan ada tidaknya pendarahan dan lakukan tatalaksana untuk menghentikan pendarahan.

(23)

21

Tentukan sumber pendarahan berasal dari arteri atau vena. Jika pendarahan berasal dari vena, darah yang keluar akan berwarna lebih gelap dan mengalir. Sedangkan, pendarahan yang berasal dari arteri akan berwarna merah terang, dan bersifat pulsatif.

Prinsip pemeriksaan fisik pada pasien ortopedi adalah Look – Feel – Move. Dalam prinsip Look, perhatikan ukuran luka dan kedalaman luka, ada tidaknya deformitas (angulasi, posisi, dan diskrepansi), edema, dan gambaran dari bagian yang lebih distal. Dalam prinsip Feel, lakukan perabaan dengan halus pada bagian fraktur dan bagian sekitarnya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya fraktur di bagian lain. Lakukan juga pengecekan suhu, pulsasi arteri pada bagian distal, fungsi sensoris, dan titik nyeri. Perlu diingat bahwa dalam hal ini, seorang dokter umum harus memiliki kemampuan untuk membandingkan pasien

(24)

22

dengan struktur anatomi yang sudah dipelajari sebelumnya.

Pada prinsip Move, mintalah pasien secara mandiri menggerakkan perlahan bagian yang mengalami luka. Tanyakan lokasi nyeri yang dirasakan, ada tidaknya gangguan

ROM (Ronge of Motion), bandingkan antara kanan dan kiri jika terjadi fraktur di bagian ekstremitas. Pemeriksaan fisik yang sistematis sangat penting dilakukan dari proksimal menuju distal.

Pada pemeriksaan penunjang, peran sinar X sangatlah penting. Penggunaan sinar X mengikuti aturan dua, antara lain :

- Dua sudut pandang yaitu antero-posterior dan lateral

- Melibatkan dua sendi, yaitu di bagian proksimal dan bagian distal dari letak fraktur terbuka

- Melibatkan dua sisi bila diperlukan. Pemeriksaan penunjang tidak harus dilakukan di fasilitas layanan kesehatan primer, karena tidak semua fasilitas layanan

(25)

23

kesehatan primer di Indonesia memiliki akses untuk melakukannya. Segera setelah keadaan umum dan tanda vital pasien stabil, rujuk ke fasilitas layanan kesehatan lanjutan supaya pasien segera mendapatkan penanganan definitif.

Klasifikasi Fraktur Terbuka

Klasifikasi pasien dengan fraktur terbuka bertujuan untuk mempermudah komunikasi yang dilakukan kepada pasien maupun keluarga terkait dengan karakter fraktur, pilihan tatalaksana yang tepat, dan menentukan prognosis fraktur. Klasifikasi yang sering digunakan adalah menggunakan tabel gambar klasifikasi Gustillo Anderson. Sistem klasifikasi ini sudah mempertimbangkan energi fraktur, kerusakan pada jaringan lunak, dan derajat kontaminasi.

(26)

24

Gambar 1 : tabel klasifikasi gustilo Anderson

(Gustilo et al., 1984)

Pada gambar diatas, tipe 3 terbagi menjadi a,b dan c. Perbedaan antara tiga subtipe tersebut adalah tipe IIIA, luka yang terbentuk akibat fragmen tulang bisa ditutup

(27)

25

kembali oleh kulit. Pada tipe IIIB, luka yang terbentuk akibat fragmen tulang tidak bisa ditutup kembali oleh kulit. Pada tipe IIIC, ditemukan adanya gejala lesi vaskuler, terutama lesi pada arteri. Tanda-tanda lesi vaskuler yang dapat muncul adalah menurunnya pulsasi pada arteri distal dari jejas, menurunnya saturasi oksigen di perifer, dan perabaan dingin, basah, pucat. Pada tipe IIIA, karena masih didapatkan penutupan dari jaringan yang adekuat, derajat kesembuhan-nya akan lebih baik, dibandingkan dengan tipe IIIB dan IIIC.

Pemberian antibiotik pada kasus fraktur harus sesuai dengan kebutuhan. Pada pasien fraktur terbuka yang terpapar dengan air tawar atau air asin, antibiotik yang digunakan adalah golongan Floroquinolon. Golongan ini juga dapat digunakan apabila pasien memiliki alergi terhadap sefalosporin dan klindamisin. Antibiotik lainnya seperti Doksasiklin dan Seftazidin juga dapat digunakan apabila luka akibat fraktur terpapar dengan air asin (air

(28)

26

laut) dan tidak tersedia golongan Floroquinolon.

Prinsip Tatalaksana Fraktur Terbuka

Prinsip tatalaksana fraktur terbuka adalah mencegah terjadinya infeksi, penyem-buhan jaringan lunak, penyatuan tulang, restorasi anatomis, dan pemulihan fungsional. Prinsip 4R harus dilakukan dalam tatalaksana fraktur terbuka: Recognize, Reduce, Retain,

dan Rehabilitation. Recognize artinya menge-nali kasus fraktur terbuka pada pasien dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang tepat. Reduce

artinya mengurangi keparahan kondisi pasien. Cara yang dapat dilakukan adalah reposisi dengan traksi. Ada tiga jenis traksi yang biasa dilakukan, yaitu traksi manual, kulit, dan tulang. Retain artinya menjaga posisi fraktur terbuka supaya tidak bergeser dengan melakukan fiksasi atau dengan pemasangan bidai. Rehabilitation dilakukan untuk mengem-balikan fungsi gerak, terutama pada sendi. Fraktur dapat mengakibatkan imobilisasi lama pada pasien karena nyeri yang dirasakan. Jika

(29)

27

rehabilitasi tidak dilakukan dengan baik, kondisi sendi secara fungsional tidak bisa digerakkan (Swiontkowski, M. and Cross III, 2008).

Pencegahan infeksi memiliki golden period selama kurang lebih 6 jam. Luka fraktur terbuka sangat mudah menjadi tempat kolonisasi bakteri karena sawar kulit rusak ketika terjadi trauma. Proses kolonisasi bakteri dan infeksi mem-butuhkan waktu 6 jam, sehingga diperlukan pencegahan infeksi yang tepat dengan pem-berian antibiotik profilaksis. Selain itu, de-bridement juga dapat dilakukan untuk mencegah infeksi karena tujuan

debridement adalah membuang jaringan mati yang dapat menjadi kultur media untuk pertumbuhan bakteri. Pencucian luka dengan NaCl 0,9% dapat mengurangi jumlah bakteri dalam luka.

Prinsip debridement dapat dilakukan secara radikal yakni membuang langsung seluruh jaringan nekrotik ataupun terkontaminasi. Dapat dilakukan juga langkah-langkah dekompresi untuk mencegah adanya

(30)

28

sindrom kompartemen akibat pembuluh darah yang sehat terjerat jejas. (Gardner dan Siegel, 2014).

Demikian berbagai tatalaksana kegawat-daruratan pada fraktur terbuka yang dapat dilakukan oleh seorang dokter umum di fasilitas layanan kesehatan primer. Dengan menangani kasus kegawatdaruratan ortopedi dengan baik sejak dari fasilitas layanan kesehatan primer, dokter umum sudah ber-kontribusi dalam mencegah adanya morbiditas dan mortalitas akibat fraktur terbuka.

(31)

29

DAFTAR PUSTAKA

Gardner, M. and Siegel, J., 2014. Minimally Invasive Orthopaedic Trauma. Philadelphia, Pa: Lippincott Williams & Wilkins.

Gustilo, R., 1984. Overview in Fracture Management. Orthopaedic Nursing, 3(5), pp.25-30.

Jung, G., 2010. Management of Open Fracture. Journal of the Korean Fracture Society, 23(2), p.236.

Sjamsuhidajat, R., 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.

Swiontkowski, M. and Cross III, W., 2008. Treatment Principles in the Management of Open Fractures. Indian Journal of Orthopaedics, [online] 42(4), p.377.

Available at:

<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articl es/PMC2740354/> [Accessed 22 August 2020].

(32)

30

Tatalaksana Kegawatdaruratan Cedera Tangan di Faskes Primer

Cedera tangan adalah jenis cedera yang sering terjadi dan dihadapi oleh seorang dokter umum di Instalasi Gawat Darurat. Setidaknya 5 hingga 10% kasus di fasilitas kesehatan primer adalah kasus cedera tangan. Oleh karena itu, penting bagi seorang dokter umum untuk mengetahui tatalaksana kegawatdaruratan cedera tangan di faskes primer.

Anatomi Tangan: Sebuah Tinjauan Singkat

Tangan terdiri dari 27 tulang penyusun mulai pergelangan tangan. Jika diklasifikasikan berdasarkan lokasinya, maka dapat dibagi menjadi tulang-tulang karpal, metakarpal, dan falanges. Berikut ini adalah susunan tulang yang menyusun tangan.

(33)

31

Gambar 2 : Susunan Tulang Tangan

(34)

32

Otot-otot tangan diklasifikasikan menjadi tiga kelompok otot penting: thenar, hipothenar, dan otot-otot profundus.

1. Thenar

Thenar dibentuk oleh:

1. M. abductor pollicis brevis 2. M. opponens pollicis

3. M. flexor pollicis brevis 4. M. abductor pollicis 2. Hipothenar

Hipothenar dibentuk oleh: 1. M. palmaris brevis

2. M. abductor digiti quinti (V)

3. M. flexor digiti quinti (V) brevis (= m. flexor digiti minimi)

4. M. opponens digini quinti (V) 3. Gugusan profundus

Gugusan profundus terdiri dari: 1. Mm. lumbericales

2. Mm. interossei

Mm. interossei terdiri dari Mm. interossei volares dan Mm. Interossei dorsales.

(35)

33

Gambar 3 : Susunan Otot Tangan, Thenar

dan Hipothenar.

Gambar 4 : Otot-Otot Profundus Tangan

(36)

34

Gambar 5 : Otot-Otot Interosei Tangan

(37)

35

Tangan mendapatkan vaskularisasi dari arteri radialis dan arteri ulnaris. Arteri radialis memberikan vaskularisasi pada ibu jari dan bagian lateral telunjuk, sementara arteri ulnaris memberikan vaskularisasi pada bagian medial telunjuk dan jari yang lainnya. Arteri radialis dan ulnaris akan membentuk arkus palmaris super-fisial dan profundus. Arkus palamaris memiliki cabang yaitu arteri digitalis komunis yang memberikan vaskularisasi pada jari tangan. Vena secara umum mengikuti aliran arteri dalam sebagai vena komitan. Terdapat aliran vena superfisial pada dorsum tangan dan bermuara ke vena basilica dan vena sefalika.

Persarafan tangan berasal dari 3 nervus yaitu nervus radialis, nervus medianus, dan nervus ulnaris. Nervus medianus bertanggung jawab terhadap ketepatan gerakan dan fungsi mencubit. Nervus medianus melewati carpal tunnel dan dengan cabang motorik menginervasi otot thenar (abductor pilicis brevis, oponens policis, bagian superfisial dari fleksor polisis brevis). Cabang sensoris

(38)

36

memberikan sensasi pada ibu jari, telunjuk, jari tengah, dan medial jari manis. Nervus ulnaris bertanggung jawab terhadap kekuatan genggaman tangan.

Jenis-Jenis Cedera Tangan

1. Fraktur Terbuka

Fraktur terbuka adalah diskontinuitas pada tulang yang fragmen tulangnya menembus jaringan di atasnya hingga tampak di permukaan kulit. Berdasarkan klasifikasi Gustilo-Anderson, tipe fraktur terbuka, antara lain

a. Tipe I : Luka lebih kecil dari 1 cm, bersih dan disebabkan oleh fragmen tulang yang menembus kulit.

b. Tipe II : Ukuran luka antara 1 – 10 cm, tidak terkontaminasi dan tanpa cedera jaringan lunak yang major.

c. Tipe III : Luka lebih besar dari 10 cm dengan kerusakan jaringan lunak yang signifikan. Tipe

(39)

37

III juga dibagi menjadi beberapa sub tipe:

 IIIA : Luka memiliki jaringan yang cukup untuk menutupi tulang tanpa memerlukan flap.

 IIIB : Kerusakan jaringan yang luas membuat diperlukannya local atau

distant flap coverage.

 IIIC : Fraktur apapun yang menyebab-kan cedera arterial yang mem-butuhkan perbaikan segera.

Diagnosis pada fraktur terbuka dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, tanyakan mekanisme terjadinya cedera tangan, waktu kejadian, seberapa parah kejadiannya, dan penanganan awal yang sudah dilakukan. Pada pemeriksaan fisik, lakukan dengan prinsip look-feel-move. Pada inspeksi, perhatikan penampakan cedera tangan yang terjadi, dan lakukan klasifikasi Gustilo-Anderson di awal untuk menentukan tatalaksana selanjutnya. Pada palpasi, secara perlahan telusuri di bagian mana tulang terasa

(40)

38

mengalami deformitas, diskon-tinuitas, atau krepitasi. Pada move, mintal pasien secara mandiri menggerakkan tangannya sesuai dengan sendi-sendi tangan. Perhatikan ada tidaknya gangguan pada ROM (Range of Motion). Pemeriksaan ekstremitas juga harus melingkupi vaskularitas dari ekstremitas termasuk warna, suhu, perfusi, perabaan denyut nadi, capillary refill time (normalnya < 2 detik) dan pulse oximetry.

Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk mempertahankan ke-hidupan pasien (life saving) dan memper-tahankan anatomi dan fungsi ekstremitas (limb salvage) sebaik mungkin. Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penanganan fraktur yang tepat, antara lain :

a. Survei primer yang meliputi Airway, Breathing, Circulation.

b. Survei sekunder dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Ambil riwayat AMPLE dari pasien (Allergies, Medication, Post Medical History, Last Ate and Event).

(41)

39

c. Meminimalisasi rasa nyeri. Berikan analgesik sesuai dengan penilaian nyeri pada pasien, dapat menggunakan VAS atau Wong-Baker Face Scale.

d. Mencegah cedera iskemia-reperfusi. e. Menghilangkan dan mencegah

sumber-sumber potensial kontami-nasi. Lang-kah-langkah yang dapat dilakukan adalah mengirigasi luka dengan saline dan menyelimuti luka fraktur dengan kasa steril lembab atau juga bisa diberikan betadine pada kasa. Berikan vaksinasi tetanus dan antibiotik profilaksis. Antibiotik yang dapat diberikan sesuai klasifikasi Gustilo-Anderson adalah untuk fraktur tipe I diberikan golongan Sefalosporin generasi I-II, tipe II dan III diberikan golongan Sefalosporin generasi III dan golongan Aminoglikosid. Antibiotik diberikan 72 jam setelah luka ditutup. Debridement luka di kamar operasi juga sebaiknya dilakukan

(42)

40

sebelum 6 jam pasca trauma untuk menghindari adanya sepsis paska trama.

f. Lakukan reposisi dan imobilisasi sesuai anatomis.

2. Dislokasi Sendi

Dislokasi sendi yang paling sering terjadi disebabkan oleh karena olahraga atau karena kecelakaan lalu lintas. Dislokasi sendi dapat dipastikan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penun-jang. Berikut ini adalah jenis-jenis dislokasi sendi tangan.

a. Dislokasi karpo-metakarpal

Ditemukan dengan tangan membengkak secara cepat dan gambaran sinar X menunjukkan luksasi atau dislokasi karpo-metakarpa1 tanpa fraktur. Reduksi mudah dilakukan dengan traksi dan hiperpronasi dan dapat dipertahankan dengan finger splint yang dipasang selama 4 minggu.

(43)

41

b. Dislokasi Metakarpo-Phalangeal

Biasanya terjadi pada ibu jari, kadang pada jari kelima dan jarang mengenai jari lain. Terdapat dua tipe dislokasi, yakni simple dan kompleks. Pada dislokasi simple, jari ekstensi sekitar 75 derajat dan biasanya mudah direduksi dengan traksi. Jari kemudian dipasang strap ke jari sebelahnya. Pada dislokasi kompleks terdapat avulse palmar plate

di sendi yang menghalangi reduksi dengan posisi jari mengalami ekstensi sebesar 30 derajat.

c. Dislokasi interfalangeal

Lebih umum terjadi pada sendi interphalanx proksimal. Dislokasi dapat direduksi dengan menarik jari. Sendi dipasang strap ke jari sekitar selama beberapa hari dan gerakan dapat dimulai segera. Apabila reduksi tidak dapat dilakukan, maka dirujuk untuk dilakukan fiksasi dengan screw atau small wire loop.

(44)

42

3. Sindrom Kompartemen

Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi terjadinya peningkatan tekanan intertisial di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup sehingga menyebabkan gangguan vaskularisasi ke daerah tersebut. Tanda klinis yang umum adalah nyeri, paresthesia, paresis, disertai denyut nadi yang hilang. Penyebab umum teradinya sindrom kompartemen akut adalah fraktur, cedera jaringan lunak, kerusakan arteri, dan luka bakar.

Sindrom kompartemen dapat didiagnosis berdasarkan pengetahuan tentang faktor risiko, keluhan subjektif dan adanya suatu tanda-tanda fisik dan gejala klinis. Adapun faktor risiko pada sindrom kompartemen meliputi fraktur yang berat dan trauma pada jaringan lunak, penggunaan bebat.

Gejala klinis yang umum ditemukan pada sindrom kompartemen meliputi 5 P, yaitu:

(45)

43

1. Pain (nyeri): nyeri pada jari tanan atau jari kaki pada saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena. 2. Pallor (pucat): kulit terasa dingin jika

di palpasi. Warna kulit biasanya pucat, abu-abu atau keputihan.

3. Paresthesia: biasanya memberikan gejala rasa panas dan gatal pada daerah lesi.

4. Paralisis: biasanya diawali dengan ketidakmampuan untuk menggerak-kan sendi.

5. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi): akibat adanya gangguan perfusi arterial. Tujuan tatalaksana sindrom kompar-temen adalah mengembalikan perfusi dengan me-longgarkan tahanan atau ikatan yang ada di sekitar lengan. Pada terapi operatif dapat dilakukan dekompresi dalam waktu 6 jam sesuai periode emasnya. Salah satu teknik yang dapat digunakan adalah insisi fasiotomi.

(46)

44

4. Fingertip Injury

Fingertip merupakan bagian dari phalanx terminal yang terletak distal dari insersi tendon ekstensor dan fleksor. Cedera fingertip

sangat sering ditemukan terutama pada ibu rumah tangga yang melakukan kegiatan rumah tangga seperti memotong. Tatalaksana yang penting bagi fingertip injury adalah menghentikan perdarahan dan mengembali-kan kondisi fisiologis pada fingertip.

Tatalaksana yang dapat dilakukan pra-rumah sakit jika ada bagian yang teramputasi adalah dengan membungkus amputate dengan kasa steril kering, diletakkan di kantong kedap air dan dimasukkan ke kantong lain yang diisi es untuk mem-perlambat iskemia jaringan yang teramputasi. Lakukan bebat tekan terhadap fingertip yang teramputasi.

Jika pasien sudah tiba di IGD, lakukan langkah-langkah berikut ini.

(47)

45

a. Laserasi

Pada luka laserasi biasa, lakukan debridement dan jahit dengan nylon 4-0 sampai 6-0. Jahit subkutan atau jahit dalam kulit tidak diindikasikan. Angkat kuku, periksa matriks bila laserasi melibatkan kuku dan cedera yang mengavulsi, membelah atau menganggu kuku. Perbaiki matrix kuku dengan urutan: berikan anestesi dengan blok digital, angkat kuku, Debridement secara gentle, perbaiki matriks kuku dengan benang

absorbable (6-0 monocryl), pasang kembali lempeng kuku atau penggantinya, gunakan salap antibiotik sebagai adhesive, pasang dressing non adherent yang steril dan splint.

b. Hematom subungual

Pasien dengan kerusakan yang berat atau hematom subungual dengan keterlibatan laserasi lipat kulit atau mengganggu kuku, angkat kuku dan periksa matriks kuku. Penatalaksanaan konservatif tanpa pengangkatan kuku

(48)

46

direkomendasikan untuk pasien dengan hematom tertutup dan kuku yang intak tanpa adanya laserasi pada lipat kulit atau kerusakan kuku. Terapi konservatif juga diindikasikan untuk crush injury yang menyebabkan fraktur phalanx terminal namun tidak menyebakan hematom subungual.

c. Amputasi Fingertip

Tatalaksana dapat berupa pem-bedahan atau konservatif. Batasan antara pembedahan dan terapi konservatif bergantung pada luas keterlibatan dari pulp, kuku, dan tulang. Berbagai metode bedah digunakan untuk mengamputasi luka, termasuk simple revision amputation, full atau partial thickness skin graft, local flaps, distal flaps, kite flaps, dan neurovascular island pedicle flaps. Amputasi fingertip distal dapat dilakukan secara konservatif di UGD.

Cedera tangan memang memiliki mekanisme yang sangat berbeda dengan patofisiologi yang berbeda pula. Oleh

(49)

47

karena itu, sebagai dokter umum, penting untuk memahami masing-masing jenis cedera tangan dengan harapan dapat membutuhkan penatalaksanaan yang cepat dan tepat untuk menghindari kerusakan anatomi dan fungsional tangan.

DAFTAR PUSTAKA

Parahita P.S., Kurniayata, P. (2013)

Penatalaksanaan Kegawatdaruratan pada Cedera Fraktur Ekstermitas, Denpasar: FK Universitas Udayana.

Ramarao, U.D., Afliani, A.P.F. (2012) Anatomi

Tangan. Diunduh dari

http://www.scribd.com/doc/102164507/ANAT OMI-TANGAN

Vaughn, G. (2013) Fingertip Injuries, Diunduh

dari

http://emedicine.medscape.com/article/82412 2-overvierw.

Warwick, D. (2009) ‘Hand Injuries’, dalam

Solomon, L, Warwick D, Nayagam, S., Apley’s

System of Orthopaedic and Fractures, 9th Ed, London: Hodder Arnold.

Willhermi, B.J., Marriro, I.C., Sahin, B. (2013)

Hand Anatomy, Diunduh dari

http://emedicine.medscape.com/article/12850 60-overvoew#showall

(50)

48

Pembebatan dan Pembidaian Ekstremitas untuk Dokter Umum

Pembebatan (bandage) dan pembidaian

(splinting) adalah bentuk pertolongan pertama yang dapat diberikan oleh seorang dokter umum pada kasus trauma, seperti pada kasus kecelakaan lalu-lintas yang menyebabkan adanya kecurigaan fraktur. Pembebatan adalah upaya untuk melakukan penekanan efektif secara sementara. Pembidaian adalah upaya untuk melakukan imobilisasi secara sementara supaya tidak terjadi trauma lanjutan. Dengan melakukan pembebatan dan pembidaian, seorang dokter umum telah melakukan langkah awal penanganan kegawatdaruratan bagi pasien dengan gangguan musculoskeletal (Gardner dan Siegel, 2014).

Pembebatan

Prinsip dasar dilakukannya pembebatan adalah untuk menutup luka dan melakukan penekanan efektif pada luka. Pembebatan bertujuan untuk menghentikan perdarahan,

(51)

49

mengurangi risiko kontaminasi pada luka, dan imobilisasi parsial dengan membatasi ruang gerak sendi. Manfaat dilakukannya pembebatan adalah menopang suatu luka jika ada bagian yang patah, imobilisasi, pemberian tekanan, menopang bidai, dan menutup luka (Gustilo, 1984).

Besarnya penekanan yang diberikan kepada sendi bergantung kepada

1. Bahan dasar pembebat. Pembebat biasanya menggunakan kasa steril, yang cenderung kuat tetapi juga elastis dan menyerap rembesan darah yang masih mungkin terjadi pada luka akut.

2. Ukuran dan bentuk ekstremitas yang akan dibebat.

3. Keterampilan tenaga yang melakukan bebat, dalam hal ini adalah dokter umum.

4. Aktivitas fisik yang dilakukan oleh pasien.

Pemilihan lebar dan tebal pembebat harus tepat karena lebar dan tebal pembebat

(52)

50

juga menentukan hasil pembebatan. Semakin tebal bebat yang diberikan, maka semakin besar tekanan yang diberikan pada luka, tetapi juga harus dipertimbangkan perfusi vaskuler, sensoris, dan motoris pasien.

Cara melakukan pembebatan yang benar adalah sebagai berikut :

1. Memilih bebat dengan menggunakan kasa steril atau dengan bahan bebat lain.

2. Cuci luka pasien sebersih dan sekering mungkin dengan NaCl 0,9%.

3. Lakukan pengecekan untuk perfusi ke bagian distal, saturasi oksigen distal, fungsi sensorik dan motorik pasien. 4. Pasang bantalan (padding) pada

tempat yang luka untuk menekan tempat yang luka.

5. Bagian yang akan dibebat ditopang pada posisi segaris dengan sendi sedikit fleksi.

6. Melakukan pembebatan berhadapan dengan bagian tubuh yang akan

(53)

51

dibebat, dengan teknik pembebatan yang dipilih.

7. Setelah bebat terpasang dengan baik, lakukan pengecekan kembali pada perfusi ke bagian distal, saturasi oksigen distal, fungsi sensorik dan motorik pasien. Bebat yang terpasang dengan baik tidak mempengaruhi nilai dari pengecekan ini pada sebelum dan sesudah pemasangan.

Jenis-jenis pembebatan yang sering dapat dilakukan di fasilitas layanan primer adalah sebagai berikut :

1. Putaran spiral

Putaran spiral dapat digunakan untuk pembebatan bagian tubuh yang memiliki keliling lingkaran yang sama misalnya sepanjang lengan bawah atau sepanjang regio cruris. Putaran dibuat dengan sudut kecil, kurang lebih 30o dengan cara memiringkan bebat, dan setiap putaran menutup 2/3 dari lebar bandage sebelumnya. Putaran spiral akan terlihat seperti Gambar 5.

(54)

52

Gambar 5 : Pembebatan dengan Putaran

Spiral. 2. Putaran sirkuler

Putaran ini biasanya digunakan untuk mengunci bebat sebelum melakukan pembidaian pada area yang fraktur. Teknik pembebatan ini dapat digunakan untuk membebat area yang memiliki luas permukaan kecil atau membutuhkan bebat dengan tekanan lebih. Cara memasang bebat dengan putaran sirkuler adalah dengan melilitkan bebat dua sampai tiga kali pada satu area yang sama.

(55)

53

Gambar 6 : Pembebatan dengan Putaran

Sirkuler. 3. Putaran spiral terbalik

Teknik pembebatan dengan putaran spiral terbalik paling sering digunakan dalam teknik pembebatan, terutama jika area yang dibebat cukup luas dan memiliki keterbatasan panjang bebat. Cara mema-sang bebat dengan teknik ini adalah dengan membebat diarahkan ke atas dengan sudut 30o, kemudian ibu jari

menahan di sudut bagian atas bebat, lalu bebat diputar membalik sepanjang sekitar satu jengkal tangan dan tangan yang membawa bebat diposisikan pronasi, sehingga beban menekuk ke atas dan lanjutkan seperti putaran sebelumnya.

(56)

54

Gambar 7 : Pembebatan dengan Putaran

Spiral Terbalik 4. Putaran berulang

Putaran berulang digunakan untuk menutup bagian distal dari ekstremitas, misalnya pada pergelangan tangan, pergelangan kaki, ataupun jari-jari. Cara memasang bebat dengan teknik ini adalah bebat diputar secara sirkuler di bagian proksimal, kemudian ditekuk membalik dan dibawa ke arah sentral menutup semua bagian distal. Kemudian kebagian inferior dengan dipegang tangan lain dan dibawa kembali menutupi bagian distal tapi kali ini menuju ke bagian kanan dari sentral bebat. Putaran kembali dibawa ke arah kiri dari bagian sentral bebat. Pola ini dilanjutkan

(57)

55

bergantian ke arah kanan dan kiri, saling tumpang-tindih pada putaran awal dengan 2/3 lebar bebat. Bebat kemudian diakhiri dengan dua putaran sirkuler yang bersatu di sudut lekukan dari bebat.

Gambar 8 : Pembebatan dengan Putaran

Berulang.

Pembidaian

Pembidaian dilakukan untuk imobilisasi parsial pada bagian tubuh yang cedera pada pasien. Imobilisasi parsial dilakukan dengan tujuan untuk membatasi (bukan meniadakan) ruang gerak sendi dengan harapan tidak ada cedera lanjutan setelah cedera utama karena aktivitas fisik yang dilakukan oleh pasien.

(58)

56

Prinsip dilakukannya pembidaian adalah sebagai berikut :

1. Bebaskan bagian yang akan dibidai dari pakaian. Biarkan seluruh bagian yang akan dibidai terekspos.

2. Lakukan evaluasi vaskuler, sensorik, dan motorik sebelum dan sesudah dilakukan tindakan pembidaian. Tindakan pembidaian yang benar tidak mengurangi fungsi vaskuler, sensorik, dan motorik pasien sesuai dengan setelah terjadinya trauma. 3. Tutup semua luka dengan kasa steril

setelah membilas luka dengan cairan NaCl 0,9% steril. Langkah kegawatdaruratan ini penting untuk mengurangi kontaminasi bakteri.

4. Lakukan penopangan pada ekstre-mitas yang akan dilakukan pembidaian. Ingat bahwa langkah ini harus dilakukan dengan hati-hati. Jika membutuhkan bantuan, usahakan yang menopang bagian tubuh mengerti bahwa gerakan yang

(59)

57

dilakukan harus sehati-hati mungkin untuk mengurangi kemungkinan cedera lebih lanjut akibat penolong. 5. Jangan memindahkan atau menggeser

anggota gerak sebelum dilakukan pembidaian. Pasien yang merasakan sangat nyeri karena adanya fraktur harus diedukasi seefektif mungkin supaya tidak menggerakkan anggota badannya yang cedera dan tetap tenang.

6. Pembidaian bertujuan juga untuk mengurangi nyeri (Swiontkowski and Cross III, 2008).

Pelaksanaan pembidaian simultan setelah dilakukan pembebatan pada luka terbuka dan titik perdarahan. Pelaksanaan pembidaian menggunakan prinsip melewati dua sisi, yaitu sisi proksimal dan sisi distal tempat terjadinya trauma. Selanjutnya dilakukan di dua sisi, medial dan lateral. Selain itu, dapat ditambahkan bantalan (padding)

pada bagian penonjolan tulang atau area yang

(60)

58

luka untuk mencegah nyeri penekanan dari bidai yang keras.

Beberapa contoh kasus untuk pelaksana-an pembebatpelaksana-an dpelaksana-an pembidaipelaksana-an, pelaksana-antara lain : 1. Pada kasus fraktur humerus: gunakan

arm sling pada pasien dengan bantalan yang ditaruh di bagian lateral. Jika ada kecurigaan fraktur klavikula atau skapula, dapat digunakan arm sling yang lebih nyaman dan aman bagi pasien.

2. Pada kasus fraktur antebrachii: letakkan bantalan di posisi jari menggenggam padding agak fleksi. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kontraktur. Pada fleksi dengan sudut 45o, otot fleksor dan ekstensor jari-jari tangan berada dalam kondisi netral. 3. Pada kasus fraktur jari, posisi volar,

karena otot jari tarikannya lebih dominan, posisikan normal fleksi 20o -30o untuk sendi interfalanges

proksimal dan distal. Gunakan

(61)

59

bantalan di bagian jari-jari dan lakukan pembidaian dengan dua

tongue spattle.

4. Pada kasus dislokasi panggul, posisi yang nyaman dan tidak nyeri bagi pasien adalah posisi fleksi sendi paha dan fleksi sendi lutut. Untuk menambah kenyamanan pasien, berikan bantal di bawah lutut dan edukasi pasien untuk tidak melakukan gerakan menggeser badan atau mencoba berguling.

5. Pada kasus fraktur femur, lakukan imobilisasi dengan dibebat pada bagian pinggul (seperti memasang sabuk) dan di sendi lutut kedua kaki. 6. Pada kasus fraktur sendi lutut,

lakukan dengan posisi kaki ekstensi di sendi lutut (Jung, 2010).

(62)

60

DAFTAR PUSTAKA

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Buku Pedoman Keterampilan Klinis Pembebatan dan Pembidaian. Surakarta: 2019.

Gardner, M. and Siegel, J., 2014. Minimally Invasive Orthopaedic Trauma. Philadelphia, Pa: Lippincott Williams & Wilkins.

Gustilo, R., 1984. Overview in Fracture Management. Orthopaedic Nursing, 3(5), pp.25-30.

Jung, G., 2010. Management of Open Fracture. Journal of the Korean Fracture Society, 23(2), p.236.

Swiontkowski, M. and Cross III, W., 2008. Treatment Principles in the Management of Open Fractures. Indian Journal of Orthopaedics, [online] 42(4), p.377.

Available at:

<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articl es/PMC2740354/> [Accessed 22 August 2020].

(63)

61

Casting, Slab, dan Traksi untuk Dokter Umum

Pada pasien dengan fraktur, prosedur untuk mempertahankan fungsi tubuh (preservation of function) sangatlah penting. Prinsip dasar penanganan fraktur yang dapat dilakukan oleh dokter umum adalah reduksi dan retain. Dalam upaya imobilisasi fraktur dapat dicapai dengan cara memasang casting, slab, dan traksi.

Casting dan Slab

Pemasangan casting atau disebut juga dengan gips adalah salah satu prosedur imobilisasi pada kasus fraktur ekstremitas. Casting memiliki bahan dasar kalsium sulfat yang dapat menghasilkan panas ketika dicampurkan dengan air, tergantung dari jumlah plaster yang digunakan dan suhu air. Fungsi pemasangan casting antara lain:

1. Imobilisasi fraktur, dislokasi, kerusakan tendon dan sendi.

2. Mengurangi nyeri dan untuk memfasilitasi proses penyembuhan.

(64)

62

3. Untuk mempercepat mobilisasi dengan stabilisasi fraktur.

4. Memperbaiki fungsi melalui stabilisasi sendi.

5. Koreksi defrmitas seperti pada pasien

clubfoot atau pada kontraktur sendi. 6. Mencegah timbulnya deformitas

karena adanya gangguan neurovaskuler.

Pemasangan casting dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu casting sirkuler dan teknik slab. Pada casting sirkuler, teknik pemasangan gips sehingga didapatkan imobilisasi. Pada teknik slab, digunakan beberapa lapisan gips yang dipertahankan pada tungkai dengan dilapisi perban elastis.

Langkah-langkah pemasangan casting adalah dengan melakukan penilaian terhadap pasien, terutama pada fraktur yang terjadi. Fase dari pembuatan casting pertama adalah waktu celup yakni saat mencampurkan casting dengan air selama 2-6 detik. Kedua adalah waktu aplikasi selama 2-6 menit, dan waktu pengeringan selama 1-2 hari. Persiapan alat

(65)

63

yang perlu dilakukan adalah plaster, bebat, baskom, kapas untuk bantalan, pemotong gips, pensil untuk penanda, dan bantal.

Pemasangan gips dibantu oleh dua orang. Langkah langkahnya pertama adalah siapkan semua peralatan untuk memasang gips. Kedua, siapkan semua perlengkapan yang dibutuhkan diatas trolley. Tentukan penggunaan plester of paris atau sintetik (fiberglass), padding, stockinette, sarung tangan, verban elastis (untuk slab), serta air dalam wadah yang cukup untuk merendam gips.

Pasangkan stockinette dan padding. Perhatikan pada penonjolan tulang perlu dipasangkan bantalan yang lebih tebal. Gips direndam dengan air dengan suhu 25-35o. Semakin panas suhu air, semakin cepat gips mengeras. Kemudian, gips dipegang dan dilapiskan di kulit dengan gerakan melingkar tungkai dari proksimal hingga ke distal secara merata dan menunggu untuk gips mengering. Pemasangan gips yang baik adalah:

(66)

64

1. Tidak terlalu kencang atau terlalu longgar. Gips yang terlalu kencang akan mengganggu neurovaskuler. Sedangkan kalau terlalu longgar tidak memberikan efek fixasi yang adekuat dan dapat menimbulkan lecet pada kulit.

2. Tidak boleh ada lipatan pada bagian dalam gips yang akan menimbulkan tekanan pada kulit.

3. Gunakan gips seperlunya dan tidak berlebihan sehingga gips yang dibuat tetap ringan.

4. Lapisan gips harus menyatu meyeluruh yang dicapai dengan cara aplikasi yang cepat dan moulding secara konstan agar tiap lapisan menyatu.

Penggunaan gips sirkuler atau slab membutuhkan evaluasi untuk mengetahui baik tidaknya imobilisasi daerah fraktur telah diaplikasikan. Komplikasi yang dapat ditim-bulkan oleh pemasangan gips antara lain:

1. Gangguan aliran darah baik berupa

compartement syndrome atau gangguan fungsi saraf. Adanya nyeri

(67)

65

dan pembengkakan jari-jari merupakan pertanda adanya gangguan sirkulasi akibat gips yang ketat.

2. Luka lecet terutama pada daerah tonjolan tulang.

3. Reaksi alergi dan dermatitis 4. Kekakuan sendi

Pemasangan slab seringkali dilakukan pada pasien dengan kondisi akut. Slab cenderung dipasangkan lebih cepat dan tidak menyebabkan gangguan sirkulasi pada tungkai yang masih terjadi tanda-tanda inflamasi akut.

Cara pemasangan slab adalah dengan mula-mula mengukur panjang slab yang dibutuhkan dan buat lapisan gips sesuai yang diperlukan. Tungkai atas dewasa biasanya dibutuhkan seitar 10 lapis sedangkan pada tungkai bawah diperlukan sekitar 12 hingga 15 lapis.

1. Rendam slab dengan memegang kedua ujungnya selama beberapa saat.

(68)

66

2. Angkat dari air dengan memegang salah satu ujungnya kemudian keluarkan sisa air dengan mengurut diantara dua jari dari atas ke bawah. Hal ini akan menyebabkan slab

menyatu. Cara lain adalah dengan cara meletakkan diatas meja dan diratakan dengan pinggir telapak tangan.

3. Letakkan lapisan slab yang basah diatas padding dan diaplikasikan pada tungkai sambil meratakannya sesuai kontur tungkai. Slab

dipertahankan pada posisinya dengan verban elastic.

Traksi

Pada kasus fraktur regio ekstremitas yang berukuran panjang, pemasangan gips akan lebih sulit dilakukan karena terdapat tarikan elastis dari otot terhadap tulang yang disebut deforming muscle. Traksi merupakan salah satu cara terapi konservatif pada fraktur dengan penarikan bagian tubuh untuk mengubah atau menahan posisi fragmen

(69)

67

fraktur. Traksi adalah metode untuk memasangkan beban sehingga mencegah adanya tarikan dari deforming muscle atau akibat dari aktivitas fisik pasien.

Berdasarkan metode pemasangannya, pemasangan traksi dibedakan menjadi tiga, yaitu metode traksi manual, traksi kulit, atau traksi tulang.

1. Traksi Kulit

Traksi kulit menggunakan plaster lebar yang direkatkan pada kulit dan diperkuat dengan perban elastis. Berat maksimum yang dapat diberikan adalah 5 kg yang merupakan batas toleransi kulit. Jenis-jenis traksi kulit, yaitu:

a. Traksi ekstensi dari Buck adalah traksi kulit dimana plaster melekat secara sederhana dengan memakai katrol. b. Traksi dari Dunlop, dipergunakan

pada fraktur suprakondiler humeri anak-anak.

(70)

68

c. Traksi dari Gallow atau traksi dari Bryant, dipergunakan pada fraktur femur anak-ana usia dibawah 2 tahun. d. Traksi dari Hamilton Russel, digunakan pada anak-anak usia lebih dari 4 tahun.

Indikasi penggunaan traksi kulit antara lain: a. Traksi kulit merupakan terapi pilihan

pada fraktur femur dan beberapa fraktur suprakondiler humeri anak-anak

b. Pada reduksi tertutup Ketika manipulasi dan imobilisasi tidak dapat dilakukan.

c. Merupakan pengobatan sementara pada fraktur sambil menunggu terapi definitif

d. Fratur-fraktur yang sangat bengkak dan tidak stabil

e. Traksi pada spasme otot atau pada kontraktur sendi misalnya sendi lutut dan panggul

f. Traksi pada kelainan-kelainan tulang belakang seperti hernia nukleus

(71)

69 pulposus (HNP) atau spasme otot tulang belakang.

Komplikasi yang dapat terjadi pada traksi kulit adalah:

a. Penyakit tromboemboli

b. Aberasi, infeksi serta alergi pada kulit 2. Traksi tulang

Traksi tulang biasanya menggunakan kawat Kirschner (K-wire) atau batang dari

Steinmann pada lokasi-lokasi tertentu yaitu proksimal tibia, kondilus femur, olecranon, kalkaneus, traksi pada tengkorak, trokanter mayor, bagian distal metakarpal. Jenis-jenis traksi tulang, yaitu:

a. Traksi tulang dengan menggunakan kerangka dari Bohler Braum pada fraktur orang dewasa

b. Thomas Splint dengan pegangan lutut atau alat traksi dari Pearson

c. Traksi tulang dari olecranon, pada fraktur humerus

d. Traksi yang igunakan pada tulang tengkorak misalnya Gardner Well Skull Calipers, Crutchfield Canial Tong.

(72)

70

Indikasi penggunaan traksi tulang, yaitu:

a. Apabila diperlukan traksi yang lebih berat dari 5 kg

b. Traksi pada anak-anak yang lebih besar c. Pada fratur yang bersifat tidak stabil,

oblik atau komunitif

d. Fraktur-fraktur tertentu pada daerah sendi

e. Fraktur terbuka dengan luka yang sangat jelek ketika fiksasi eksterna tidak dapat dilakukan

f. Traksi langsung pada traksi yang sangat berat misalnya dislokasi panggul yang lama sebagai persiapan terapi definitif

Komplikasi traksi tulang, yaitu:

a. Infeksi, misalnya infeksi melalui kawat/pin yang digunakan

b. Kegagalan penyambungan tulang (nonunion) akiat traksi yang berlebihan c. Luka akibat tekanan misalnya tekanan

Thomas splint pada tuberositas tibia

(73)

71

d. Parese saraf akibat traksi yang berlebihan (overtraksi) atau bila pin mengenai saraf.

(74)

72

DAFTAR PUSTAKA

Boyd, A.S. (2009) ‘Principles of casting and Splinting’, American Family Physician: 79 (1). 1-7.

Miles, S. (2000). A Practical Guide to Casting. 2nd Ed, New York: BSN medical Ltd.

McRae, R. (1999) Pocketbook of Orthopaedic and Fractures, London: Churchill Livingstone: 229-237.

Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D. (2004) Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta: EGC. Hal 829-949.

Williams, N.S., Bulstrode, C.J.K., O’connell, P.R. (2004) Biley and Love’s Short Practice of Surgery, 25th Edition, 353-376.

Rasjad, C. 20090 Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Jakarta: Yarsif Watampone, hal 81-100.

The chidren’s hospital at Westmead (2010).

Orthopaedic Traction: Care and Management, Practice Guideline 2010, The children’s hospital at Westmead.

(75)

73

Tatalaksana Sindrom Kompartemen di Faskes Primer

Sindrom kompartemen terjadi ketika terjadi tekanan pada bagian tubuh yang memiliki rongga sehingga seakan-akan struktur yang terdapat di dalam rongga tersebut tertekan. Sindrom kompartemen dapat menyebabkan perdarahan, iskemia, atau bengkak pada daerah yang terkena trauma. Insiden sindrom kompartemen terjadi pada 3,1 dari 100.000 penduduk. Kasus pada laki-laki 10 kali lebih banyak dari wanita dan umur rata-rata 30 hingga 35 tahun. Sedangkan urutan tempat terbanyak adalah tungkai bawah kemudian diikuti lengan bawah, lengan atas, daeral gluteal, paha dan kaki.

Berdasarkan waktunya, sindrom kom-partemen dapat dibagi menjadi dua yaitu sindrom kompartemen akut dan kronis. Sindrom kompartemen akut sering terjadi pada kasus cedera musculoskeletal. Sekitar 2/3 kasus dari sindrom kompartemen

(76)

74

berhubungan dengan kasus fraktur ekstremitas. Sindrom kompartemen akut membutuhkan waktu dalam hitungan jam ataupun hari. Cedera yang terjadi pada jaringan yang menyebabkan perdarahan atau edema berlebihan, dapat menyebabkan sindrom kompartemen. Begitu juga dengan tindakan seperti pembebatan atau pemasangan casting. Oleh karena itu, penting bagi dokter umum untuk mencegah dan memberikan tatalaksana yang tepat bagi sindrom kompartemen.

Sindrom kompartemen kronis dapat disebabkan karena aktivitas yang berlebihan pada ekstremitas (exertional compartment syndrome). Tanda dari syndrom ini adalah nyeri pada seluruh otot, seperti otot pada pantat, paha, atau betis. Sindrom ini sering terjadi juga pada abdomen pada pasien dengan kondisi serius di rumah sakit. Hal itu ditandai dengan perut yang mengalami distensi, tegang, keluaran urin yang sangat sedikit atau tidak ada sama sekali, dan tanda-tanda syok.

(77)

75

Gejala klinis yang dirasakan oleh pasien dengan sindrom kompartemen adalah adanya nyeri hebat pada bagian kaki atau tangan, kebas, kesemutan, atau seperti tertusuk jarum secara terus menerus pada suatu bagian, bengkak, dan muncul seperti tanda-tandan lebam.

Diagnosis pada pasien sindrom kompar-temen dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang jika diperlukan. Pada anamnesis, didapatkan nyeri yang berlebihan dibanding-kan dengan jejas yang terjadi. Nyeri bisa terjadi pada daerah ekstremitas yang mengalami trauma dan di dekat tempat fraktur. Dari pemeriksaan fisik, didapatkan lebam, kemerahan, yang timbul perlahan-lahan dan tidak bersamaan dengan terjadinya luka. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan mengukur tekanan pada kom-partemen. Cara pengukuranya adalah mema-sukkan jarum untuk mengukur tekanan dalam kompartemen atau dengan kateter yang dimodifikasi.

(78)

76

Tatalaksana yang dapat dilakukan pada sindrom kompartemen, antara lain :

1. Terapi Medikal/Non-Bedah

 Menempatkan tangan setinggi jantung untuk mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal. Gips harus dibuka dan pembalur kontriksi dilepas.

 Mengoreksi hipoperfusi dengan cara kristaloid dan produk darah

 Memberikan oksigenasi yang adekuat kepada pasien

2. Terapi Pembedahan

Fasciotomi adalah pengobatan ope-ratif pada sindrom kompartemen dengan membuat sayatan pada kulit dan menembus fascia dengan maksud untuk menghilangkan tekanan yang meningkat di dalamnya. Luka tersebut dibiarkan terbuka (ditutup dengan pembalur steril) dan ditutup pada operasi kedua. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Insisi fasciotomi pada lengan atas dan tangan. Indikasi untuk melakukan fasciotomi ini adalah:

(79)

77

 Ada tanda-tanda klinis dari sindrom kompartemen

 Tekanan intrakompartemen mele-bihi 30 mmHg

 Prognosis

Sindrom kompartemen kronis pertama-tama dapat diobati dengan menghindari aktivitas yang menyebabkannya dan dengan latihan peregangan dan terapi fisik. Pembedahan tidak begitu mendesak pada sindrom kompartemen kronis atau aktivitas, tetapi mungkin diperlukan untuk mengurangi tekanan.

Sindroma Kompartemen dapat menimbul-kan komplikasi sebagai berikut:

 Nekrosis jaringan

 Volksman Iskemic Contracture  Infeksi

 Hipestesia dan nyeri

 Komplikasi sistemik seperti gagal ginjal akut, sepsis, dan Acute Respiratory Distress Syndrome

(ARDS).

(80)

78

Toleransi otot untuk terjadinya iskemia adalah 4 jam. Kerusakan irreversible terjadi bila lebih dari 8 jam. Keterlambatan diagnose dapat menyebabkan trauma saraf dan hilangnya fungsi otot. Walaupun fasciotomi dilakukan dengan cepat dan awal, hampir 20% pasien mengalami defisit motorik dan sensorik yang persisten.

DAFTAR PUSTAKA

Amendola, A., Twaddle, B.C. (2003).

Compartment Syndrome, New York: Elsevier Science, hal. 268-292.

Blick, S.S., Brumback, R.J., Poka, A. (1986) ‘Compartment syndrome in opean tibial fractures’, J Bone Joint Surg. Am; 68A: 1348-1353.

Duckworth, A.D., McQueen, M.M. (2011). ‘Focus on diagnosis of acute compartement syndrome’. The Journal of Bone and Joint Surgery: 1-7.

Mabvuure, T.N., Malahias, M., Hindocha, S., Khan, W. (2012) ‘Acute Compartement Syndrome of the Limbs: Current

(81)

79

Conceps and Management’, The open Orthopaedic Journal: 535-534.

Sheridan, G.W., Matsen, F.A. (1976) ‘Fasciotomy in the treatment of Acute compartment syndrome’. J Bone Joint Surg. Am; 58A: 112-115.

Solomon, L., Warwick, D., Nayagam, S., (2001) Principles of Fractures in Apley’s System of Orthopaedics and Fractures, 8th ed., London: Arnold, hal. 563-564.

(82)

Gambar

Gambar 1 : tabel klasifikasi gustilo Anderson  (Gustilo  et al. , 1984)
Gambar 2 : Susunan Tulang Tangan
Gambar 4 : Otot-Otot Profundus Tangan
Gambar 5 : Otot-Otot Interosei Tangan
+5

Referensi

Dokumen terkait