• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS. Dari seperangkat manusia di dalam kelompok, pimpinan merupakan unsur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENDEKATAN TEORITIS. Dari seperangkat manusia di dalam kelompok, pimpinan merupakan unsur"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kepemimpinan

2.1.1.1 Definisi Kepemimpinan

Dari seperangkat manusia di dalam kelompok, pimpinan merupakan unsur terpenting, karena merekalah yang memiliki daya kemampuan memengaruhi dan menggerakan manusia lainnya dalam hal pencapaian tujuan. Oleh karena itu segala hal yang berhubungan dengan pemimpin dan kepemimpinan telah menjadi bahan perhatian dan spekulasi yang kontroversial. Hasil penelaahan membuktikan bahwa kepemimpinan merupakan fenomena yang sangat kompleks, sehingga kemampuan efektif kepemimpinan memerlukan proses pengembangan yang terus menerus berkesinambungan, ditanamkan, dirintis dan dibina sepanjang masa (Wiriadihardja, 1987). Kepemimpinan menurut Thoha (1991) adalah kegiatan untuk memengaruhi perilaku orang lain atau seni memengaruhi perilaku manusia baik perorangan maupun kelompok. Kepemimpinan tidak harus terikat terjadi dalam suatu organisasi tertentu melainkan dapat terjadi dimana saja, asalkan seorang menunjukan kemampuannya memengaruhi perilaku orang lain ke arah tercapainya tujuan tertentu.

Kotter (1997) menyebutkan bahwa kepemimpinan mengacu pada proses gerakan suatu kelompok dalam arah yang sama tanpa paksaan. Menurutnya kepemimpinan yang baik menggerakkan orang pada satu arah yang benar-benar merupakan minat jangka panjang mereka. Herujito (1988) menyatakan bahwa

(2)

kepemimpinan akan timbul di manapun asalkan ada unsur-unsur berikut ini, yaitu: (1) ada orang yang dipengaruhi, (2) ada orang yang memengaruhi, (3) ada pengarahan dari orang yang memengaruhi.

Kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang mendorong orang banyak untuk mengikuti jalan pikiran dan ucapan yang diungkapkannya, karena mereka meyakini kebenaran dari apa yang diungkapkannya tersebut. Kepemimpinan memiliki arti penting dalam pencapaian tujuan suatu organisasi sehingga dapat dikatakan bahwa kesuksesan atau kegagalan yang dialami, sebagian besar ditentukan oleh kualitas kepemimpinan yang dimiliki oleh orang-orang yang diserahi tugas memimpin dalam organisasi itu (Oktaviani, 2004). Siagian (1999) menyebutkan bahwa dalam kepemimpinan organisasi, pemimpin didefinisikan sebagai setiap orang yang mempunyai “bawahan.” Menurut Habana dalam Oktaviani (2004) kemampuan untuk mengkombinasikan kekuatan kepemimpinan dan kekuatan manajemen untuk membangun sesuatu disebut “pemimpin-manajer.” Adapun Thoha (1991) mengemukakan bahwa seorang manajer berperilaku sebagai seorang pemimpin asalkan dia mampu memengaruhi perilaku orang-orang lain untuk mencapai tujuan tertentu. Tetapi seorang pemimpin belum tentu harus menyandang jabatan manajer untuk memengaruhi perilaku orang-orang lain. Dengan kata lain seorang pemimpin belum tentu seorang manajer, tetapi seorang manajer bisa berperilaku sebagai seorang pemimpin.

Model kepemimpinan menurut GR Terry dalam Herujito (1988) didasarkan pada kenyataan bahwa kepemimpinan muncul dari adanya suatu hubungan yang kompleks terdiri dari (1) pemimpin; (2) pengikut; (3) struktur

(3)

organisasi; (4) nilai sosial dan pertimbangan politik. Oleh sebab itu kepemimpinan terdiri dari variabel-variabel sebagai berikut: ada seorang pemimpin, kelompok yang dipimpin, ada tujuan atau sasaran, ada aktivitas, ada interaksi dan ada kekuatan.

2.1.1.2 Teori Kepemimpinan

Dalam membahas tentang kepemimpinan akan terkait dengan teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli. Teori-teori kepemimpinan yang ada dipengaruhi oleh masyarakat yang mengakuinya, dari waktu ke waktu di mana kepemimpinan tersebut berlaku (Oktaviani, 2004). Terdapat beberapa pandangan mengenai lahir dan berkembangnya pemimpin dalam kehidupan masyarakat. Ada yang berpendapat bahwa kepemimpinan itu adalah potensi yang dibawa sejak lahir dan ada pula yang meyakini bahwa pemimpin lahir karena situasi yang menghendaki. Berikut ini dikemukakan teori-teori kepemimpinan menurut para ahli.

Thoha (1991) mengungkapkan teori kepemimpinan sebagai berikut: a. Teori Sifat (Trait Theory)

Teori ini memandang bahwa perhatian terhadap kepemimpinan dialihkan kepada sifat-sifat umum yang dipunyai oleh pemimpin, tidak lagi menekankan apakah pemimpin itu dilahirkan atau dibuat.

(4)

Teori ini beranggapan bahwa agar kelompok dapat mencapai tujuan-tujuannya maka harus terdapat pertukaran yang positif diantara pemimpin dan pengikut-pengikutnya.

c. Teori Situasional

Kesimpulan dari teori ini bahwa gaya kepemimpinan yang dikombinasikan dengan situasi akan mampu menentukan keberhasilan pelaksanaan kerja. d. Teori Jalan Kecil-Tujuan (Path-Goal Theory)

Dalam teori ini digambarkan pengaruh perilaku pemimpin terhadap motivasi, kepuasan dan pelaksanaan pekerjaan bawahannya.

Berbeda dengan Thoha, menurut Siagian (1999) dalam memahami gerak perubahan kemunculan seorang pemimpin, ada tiga teori yang dapat menjelaskan fenomena tersebut yaitu:

a. Teori Genetis

Inti dari ajaran ini tersimpul dari sebutan yang mengatakan bahwa “leaders are born and not made.” Pemimpin tidak dapat diciptakan tetapi muncul karena bakat luar biasa sejak lahir. Seorang pemimpin akan menjadi pemimpin karena ia telah dilahirkan dengan bakat-bakat kepemimpinan. Seorang pemimpin ditakdirkan lahir menjadi pemimpin dalam situasi dan kondisi macam apapun. Secara filosofis, pendangan ini tergolong kepada pandangan yang fatalistis atau deterministis.

b. Teori Sosial

Inti ajaran teori sosial ini adalah bahwa “leaders are made and not born.” Pemimpin tidak lahir begitu saja tetapi harus disiapkan dan dibentuk.

(5)

Teori ini mangajarkan bahwa setiap orang bisa saja menjadi pemimpin asalkan diberikan pendidikan dan memiliki pengalaman yang cukup. c. Teori Ekologis

Seorang hanya akan berhasil menjadi pemimpin yang baik jika pada saat lahirnya telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan. Bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkannya untuk mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang memang telah dimiliki itu.

2.1.1.3. Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba memengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat. Terdapat dua kategori yang ekstrim, yaitu: gaya kepemimpinan otokratis dan gaya kepemimpinan demokratis. Kepemimpinan otokratis dipandang sebagai gaya yang berdasarkan atas kekuatan posisi dan penggunaan otoritas, sementara gaya kepemimpinan demokratis dikaitkan dengan kekuatan personal dan keikutsertaan para pengikut dalam proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan (Thoha, 1991).

Berbeda dengan yang dijelaskan oleh Thoha, Habana dalam Oktaviani (2004) menjelaskan bahwa terdapat dua gaya umum perilaku kepemimpinan yaitu direktif dan suportif. Gaya direktif berarti menjelaskan kepada orang lain apa yang harus dilakukan, bagaimana melakukannya dan kenapa harus dilakukan. Ini melibatkan penjelasan kewajiban, penjelasan informasi dan memberikan instruksi kepada orang lain. Direktif adalah karakteristik komunikasi arah ke bawah dan

(6)

memengaruhi dari atas. Hal ini merupakan pengawasan dan umpan balik yang berulang. Gaya suportif adalah lawan dari gaya direktif. Karakteristiknya adalah komunikasi dari bawah ke atas, mencari ide dari orang lain, dan mendengarkan secara hati-hati untuk merespon orang lain. Mendukung berarti menghargai pengetahuan orang lain dan melibatkan orang lain dalam pengambilan keputusan. Gaya suportif membangun kepercayaan diri orang lain. Menolong mereka menyelesaikan kewajiban dan memberikan dukungan untuk menerima tanggung jawab.

Gaya kepemimpinan adalah pola-pola perilaku konsisten yang diterapkan orang-orang dalam bekerja dan melalui orang lain seperti yang dipersepsikan orang-orang itu. Pola-pola itu timbul pada diri orang-orang waktu mereka mulai memberikan tanggapan dengan cara yang sama dalam kondisi yang serupa. Pola itu membentuk kebiasaan tindakan yang setidaknya dapat diperkirakan bagi mereka yang bekerja dengan orang-orang itu (Hersey, 1990).

Lewin, Lippitt dan White dalam Goldberg dan Larson (1985) membagi gaya kepemimpinan ke dalam empat jenis, yaitu:

a. Kepemimpinan Otoriter

Menurut Gordon, kepemimpinan otoriter lebih cenderung mencerminkan gambaran tentang manusia yang negatif. Selain itu, pada kepemimpinan ini mengeksportir ketergantungan pengikutnya dengan cara menentukan kebijaksanaan kelompok tanpa berkonsultasi terlebih dahulu pada anggota kelompok, dengan mendikte tugas pada kelompok, menetapkan prosedur dalam mencapainya, menguji dan mengkritik anggota kelompok secara subjektif serta menganut sikap yang mengambil jarak dan formal.

(7)

Komunikasi dalam kelompok tersebut pada dasarnya dilakukan melalui pemimpin karena para anggota tidak dianjurkan untuk berkomunikasi secara langsung satu sama lain. Gaya kepempinan otoriter sangat memaksakan, sangat mendesakkan kekuasannya pada bawahan. Bawahan dikendalikan dan diperintah seperti tidak mempunyai martabat manusia, tidak mempunyai pikiran dan kehendak sendiri. Gaya kepemimpinan ini menciptakan diktator (Sukmana, 2001).

b. Kepemimpinan Demokratis

Pandangan seorang pemimpin yang demokratis terhadap orang lain lebih optimis dan positif daripada pandangan pemimpin otoriter. Kepemimpinan seperti ini berpendapat bahwa orang mampu mengarahkan diri sendiri dan berusaha menyajikan kepada pengikut-pengikutnya suatu kesempatan untuk tumbuh, berkembang dan bertindak sendiri. Pemimpin demokratis mendukung komunikasi diantara para anggota kelompok dengan cara mendorong mereka untuk menentukan sendiri kebijaksanaan dan kegiatan kelompok. Pemimpin berbuat demikian dengan cara mengajukan beberapa sasaran dan prosedur alternatif, memperkenalkan anggota untuk memilih sendiri pasangan dalam bekerja, memuji dan mengkritik secara objektif.

c. Kepemimpinan Laissez Faire

Kepemimpinan Laissez Faire pada dasarnya menunjukan suatu pola pengabaian yakni di mana pemimpin yang dipilih atau tokoh berwenang dalam suatu kelompok berusaha menghindari suatu tanggung jawab terhadap pengikutnya. Selain itu, kepemimpinan ini menghindari

(8)

partisipasi dan menganut suatu sikap yang tak acuh terhadap orang lain. Gaya kepemimpinan jenis ini menyediakan materi dan informasi hanya apabila diminta dan jarang bahkan sama sekali tidak memberi pujian dan kritik.

d. Kepemimpinan Non Direktif

Kepemimpinan dimana pemimpin menjauhi usaha mendominasi kelompok dan mendorong anggota-anggota kelompok untuk lebih bertanggungjawab. Pemimpin menolak untuk memberi pengarahan pada kelompok tetapi mencoba untuk mengerti apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan oleh anggota kelompoknya.

Sementara itu juga Thoha (1991) mengemukakan empat gaya dasar kepemimpinan dalam proses pembuatan keputusan. Keempat gaya dasar tersebut adalah sebagai berikut.

1. Direktif

Perilaku pemimpin yang tinggi pengarahan dan rendah dukungan karena gaya ini dicirikan dengan komunikasi satu arah. Inisiatif pemecahan masalah dan pembuatan keputusan semata-mata dilakukan oleh pemimpin. Pemecahan masalah dan keputusan diumumkan dan pelaksanaannya diawasi ketat oleh pemimpin.

2. Konsultasi

Perilaku pemimpin yang tinggi pengarahan dan tinggi dukungan karena dalam menggunakan gaya ini pemimpin masih banyak memberikan pengarahan, tetapi hal ini diikuti dengan meningkatkan banyaknya komunikasi dua arah dan perilaku mendukung, dengan berusaha

(9)

mendengar perasaan pengikut tentang keputusan yang dibuat, serta ide-ide dan saran mereka. Meskipun dukungan ditingkatkan, pengendalian atas pengambilan keputusan tetap pada pemimpin.

3. Partisipasi

Perilaku pemimpin yang tinggi dukungan dan rendah pengarahan karena posisi kontrol atas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dipegang secara bergantian. Dalam penggunaan gaya ini pemimpin dan pengikut saling tukar menukar ide dalam pemecahan masalah dan pembuatan keputusan. Komunikasi dua arah ditingkatkan dan peranan pemimpin adalah secara aktif mendengar. Tanggung jawab pemecahan masalah dan pembuatan keputusan sebagian besar ada pada pihak pengikut.

4. Delegasi

Perilaku pemimpin yang rendah dukungan dan rendah pengarahan karena pemimpin mendiskusikan masalah bersama-sama dengan bawahan sehingga tercapai kesepakatan mengenai definisi masalah yang kemudian proses pembuatan keputusan didelegasikan secara keseluruhan kepada bawahan. Dalam hal ini bawahanlah yang memiliki kontrol untuk memutuskan bagaimana cara pelaksanaan tugas. Pemimpin memberikan kesempatan yang luas bagi bawahan untuk mengambil keputusan sendiri karena mereka memiliki kemampuan dan keyakinan untuk memikul tanggung jawab dalam pengarahan perilaku mereka sendiri.

Thoha (1991) menjelaskan bahwa gaya kepemimpinan yang paling efektif adalah kepemimpinan yang disesuaikan dengan tingkat kecerdasan orang yang

(10)

dipimpinnya. Gaya kepemimpinan cenderung sangat bervariasi dari suatu situasi ke situasi lainnya. Pola perilaku pemimpin mengarahkan dan memerintahkan serta perilaku menumbuhkan dukungan dapat terjadi bersamaan dan tergabungkan ke dalam berbagai variasi, atas tiga dasar ukuran pokok yaitu;

1. Besarnya pengarahan atau perintah yang diperlukan atau yang diperlakukan oleh pemimpin

2. Besarnya dukungan dan dorongan semangat yang diperlukan dan diberikan oleh sang pemimpin.

3. Besarnya keterlibatan orang yang dipimpin.

2.1.2 Konsep Organisasi

Organisasi adalah suatu koordinasi rasional kegiatan sejumlah orang untuk mencapai beberapa tujuan umum melalui pembagian pekerjaan dan fungsi melalui hierarki otoritas dan tanggung jawab. Organisasi mempunyai karakteristik tertentu yaitu mempunyai struktur, tujuan, saling berhubungan satu bagian dengan bagian lain dan tergantung kepada komunikasi manusia untuk mengoordinasi aktivitas dalam organisasi tersebut (Schein dalam Muhammad 2004). Selanjutnya Kochler dalam Kasim (1993) menyebutkan bahwa organisasi adalah sistem hubungan yang terstruktur yang mengoordinasikan usaha suatu kelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam masyarakat modern dikenal banyak jenis organisasi yang memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari baik dalam sektor swasta maupun sektor publik. Misalnya, sekolah, universitas, rumah sakit, yayasan, badan usaha milik negara dan instansi pemerintah.

(11)

Organisasi sangat bervariasi ada yang sangat sederhana dan ada pula yang sangat kompleks. Namun, setiap organisasi yang dikembangkan memiliki karakteristik yang bersifat umum. Muhammad (2004) menjelaskan karakteristik umum dari organisasi yang pertama adalah dinamis. Organisasi sebagai suatu sistem terbuka terus menerus mengalami perubahan karena selalu menghadapi tantangan baru dari lingkungannya dan perlu menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan yang berubah tersebut. Karakteristik umum kedua adalah suatu organisasi selalu membutuhkan informasi. Tanpa informasi aktivitas organisasi tidak akan berjalan dan untuk mendapatkan informasi organisasi harus melakukan proses komunikasi. Karakteristik selanjutnya yaitu organisasi mempunyai tujuan. Tujuan organisasi berfungsi sebagai pedoman agar segala kegiatan dalam organisasi memiliki kejelasan arah dan tidak melakukan tindakan yang tidak perlu karena semua mengacu pada tujuan yang ada. Karakteristik umum yang terakhir adalah terstruktur. Organisasi dalam usaha mencapai tujuannya membuat struktur organisasi berupa aturan-aturan, undang-undang dan hierarki hubungan dalam organisasi. Biasanya suatu organisasi mengembangkan suatu struktur yang membantu organisasi mengontrol dirinya sendiri.

Selain memiliki karakteristik umum, organisasi pun memiliki manfaat organisasi. Cahayani (2004) menyebutkan organisasi bermanfaat: (1) untuk melayani masyarakat; (2) untuk mencapai sasaran yang tidak dapat atau sulit dicapai seorang diri; (3) untuk mempertahankan pengetahuan. Sementara itu, Muhammad (2004) menjelaskan bahwa sebuah organisasi juga memiliki fungsi organisasi. Beberapa fungsi yang melekat pada sebuah organisasi yaitu: (1) memenuhi kebutuhan pokok organisasi; (2) mengembangkan tugas dan tanggung

(12)

jawab; (3) memroduksi barang atau orang; (4) memengaruhi dan dipengaruhi orang.

2.1.3 Komunikasi Organisasi

Goldhaber dalam Muhammad (2004), mengatakan bahwa komunikasi organisasi adalah proses menciptakan dan saling menukar pesan dalam satu jaringan hubungan yang saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang tidak pasti atau yang selalu berubah-ubah. Definisi ini mengandung tujuh konsep kunci yaitu proses, pesan, jaringan, saling tergantung, hubungan, lingkungan, dan ketidakpastian. Lebih lanjut Zelko dan Darce dalam Muhammad (2004) menjelaskan bahwa komunikasi organisasi adalah suatu sistem yang saling tergantung yang mencakup komunikasi internal dan komunikasi eksternal. Komunikasi internal adalah komunikasi yang terjadi di dalam organisasi itu sendiri, seperti komunikasi dari atasan ke bawahan sedangkan komunikasi eksternal adalah komunikasi yang dilakukan organisasi dengan lingkungan luarnya.

Cara melihat komunikasi yang terjadi dalam suatu organisasi dapat digunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan makro, pendekatan mikro dan individual (Muhammad, 2004). Pengertian pendekatan makro adalah organisasi dipandang sebagai suatu unsur global yang berinteraksi dengan lingkungannya. Contoh dari interaksi ini adalah organisasi melakukan aktivitas tertentu seperti memroses informasi dari lingkungan, mengadakan identifikasi, melakukan integrasi dan menentukan tujuan organisasi. Pendekatan mikro komunikasi suatu organisasi memfokuskan kepada komunikasi dalam unit dan sub-unit pada

(13)

organisasi. Komunikasi yang diperlukan pada tingkat ini adalah komunikasi antar anggota, komunikasi untuk pemberian orientasi dan latihan, komunikasi untuk menjaga iklim organisasi, komunikasi dalam supervisi dan pengarahan pekerjaan dan komunikasi untuk mengetahui rasa kepuasan kerja dalam organisasi. Pendekatan individual berpusat kepada tingkah laku komunikasi individu dalam organisasi. Komunikasi individual memiliki beberapa bentuk diantaranya berbicara dalam kelompok kerja, mengunjungi dan berinteraksi dalam rapat, menulis dan mengonsep surat serta memperdebatkan suatu usulan (Muhammad, 2004).

2.1.4 Pola Komunikasi Organisasi

Secara umum pola komunikasi organisasi dapat dibedakan ke dalam saluran komunikasi formal dan nonformal (Purwanto, 2003).

1. Saluran Komunikasi Formal

Bila pesan mengalir melalui jalan resmi yang ditentukan oleh hierarki resmi organisasi atau oleh fungsi pekerjaan maka pesan itu menurut jaringan komunikasi formal. Saluran ini merupakan komunikasi yang didukung dan mungkin dikendalikan oleh manajer. Komunikasi formal dapat dibedakan menjadi empat tipe, yaitu komunikasi dari atas ke bawah, komunikasi dari bawah ke atas, komunikasi horizontal dan komunikasi diagonal.

a. Komunikasi dari atas ke bawah

Komunikasi dari atas ke bawah berasal dari pimpinan tertinggi ditunjukkan kepada pimpinan menengah terus mengalir melewati tingkat manajemen untuk kemudian disampaikan kepada

(14)

bawahan. Kasim (1993) menyebutkan bahwa fungsi dari komunikasi ini adalah untuk memberi pengarahan, instruksi, indoktrinasi, evaluasi dan sebagainya. Makin rendah tingkatan hierarki makin rinci perintah atau instruksi yang dikomunikasikan. Di samping mengomunikasikan perintah, komunikasi dari atas ke bawah juga meliputi informasi tentang tujuan organisasi, kebijakan, peraturan, insentif, manfaat, hak-hak khusus ataupun umpan balik dari atasan tentang hasil pelaksanaan tugas oleh bawahan. Media yang biasa digunakan untuk komunikasi ke bawah adalah rapat, memo, telepon, sms dan pertemuan tatap muka. b. Komunikasi dari bawah ke atas

Komunikasi dari bawah ke atas menunjukan bahwa arus informasi mengalir dari bawahan menuju ke atasan. Komunikasi ke atas merupakan proses penyampaian gagasan, ide atau saran dan pandangan bawahan kepada atasan. Menurut Kasim (1993) bentuk-bentuk komunikasi yang dipakai dalam komunikasi ke atas meliputi laporan pelaksanaan pekerjaan, saran-saran, rekomendasi, rencana anggaran, keluhan, permintaan bantuan dan sebagainya. Para pejabat di setiap hierarki bertindak sebagai penyaring informasi yang disalurkan ke atas melalui pengintegrasian, pembuatan ikhtisar dan pemadatan informasi yang datang dari bawah.

(15)

c. Komunikasi horizontal

Komunikasi horizontal terjadi antara orang-orang yang menduduki jabatan yang setingkat dalam struktur organisasi. Tujuannya antara lain untuk melakukan persuasi, memengaruhi dan memberikan informasi kepada bagian yang memiliki hubungan sejajar. Tipe ini menjadi penting ketika masing-masing departemen dalam satu organisasi memiliki ketergantungan yang cukup besar. d. Komunikasi diagonal

Komunikasi ini melibatkan dua pihak yang tingkatan organisasinya berbeda. Contohnya adalah manajer bagian produksi dengan pegawai bagian pabrik. Komunikasi ini memiliki beberapa keuntungan diantaranya adalah penyebaran informasi bisa lebih cepat daripada bentuk komunikasi tradisional. Selain itu, komunikasi diagonal membantu individu dari berbagai bagian atau departemen ikut membantu masalah dalam organisasi. Di samping memiliki kelebihan, komunikasi memiliki kekurangan, diantaranya adalah komunikasi ini dapat menganggu jalur komunikasi yang rutin dan telah berjalan normal. Selain itu, komunikasi diagonal dalam suatu organisasi besar sulit untuk dikendalikan secara efektif.

2. Saluran Komunikasi Nonformal

Muhammad (2004) menjelaskan bahwa komunikasi nonformal mengalir tanpa memperhatikan posisi, kalaupun ada mungkin sedikit. Komunikasi nonformal ini menyebabkan informasi pribadi muncul dari

(16)

interaksi di antara orang-orang dan mengalir ke seluruh organisasi tanpa dapat diperkirakan. Jaringan komunikasi ini lebih dikenal dengan istilah desas-desus (grapevine) atau kabar angin. Dalam istilah komunikasi kabar angin dikatakan sebagai metode untuk menyampaikan rahasia dari orang ke orang, yang tidak dapat diperoleh melalui jaringan komunikasi formal. Komunikasi nonformal cenderung berisi laporan rahasia mengenai orang dan kejadian-kejadian yang tidak mengalir secara resmi. Informasi yang diperoleh dari desas-desus adalah berkenaan dengan apa yang didengar atau apa yang dikatakan orang dan bukan apa yang diumumkan oleh yang berkuasa.

2.1.5 Modal Sosial

2.1.5.1 Konsep Modal Sosial

Hardinsyah (2007) mengatakan bahwa istilah modal sosial dipergunakan pertama kali dalam diskusi oleh Lyda Judson Hanifan di Pusat Pendidikan Masyarakat Pedesaan Amerika pada abad 20. Istilah tersebut dipergunakan untuk menjelaskan sesuatu yang saat itu belum terukur yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dan masyarakat, seperti niat baik, berbuat baik, saling percaya dan menghargai serta hubungan-hubungan sosial di masyarakat. Dikalangan sosiolog konsep modal sosial diperkenalkan oleh Pierre Bourdieu pada awal tahun 1980-an. Bourdieu dalam Hardinsyah (2007) mengatakan bahwa modal sosial sebagai keseluruhan sumberdaya baik yang aktual maupun potensial yang bisa dimiliki seseorang berkat adanya jaringan hubungan secara kelembagaan yang terpelihara dengan baik.

(17)

Sementara itu, James Coleman (Djohan, 2007) mendefinisikan modal sosial dari sudut pandang fungsi modal sosial itu sendiri, yang mana bukan menekankan pada hubungan sosial seperti definisi Bourdieu namun menekankan pada struktur sosial. Fungsi yang dapat diidentifikasi dari modal sosial adalah nilai dari aspek-aspek struktur sosial yang mana menunjuk pada sekumpulan kewajiban dan harapan, jaringan komunikasi, norma-norma dan sanksi-sanksi yang efektif yang dapat memaksa atau menyemangati seseorang untuk bertingkah laku agar tetap eksis dalam menjaga hubungannya dengan orang lain. Jika Bourdieu tertarik pada pengembangan konsep modal sosial sebagai sumber daya bagi modal ekonomi seseorang (economic capital), Coleman lebih tertarik untuk mengembangkan bagaimana modal sosial dalam jaringan keluarga dan komunitas sebagai sumberdaya bagi modal manusia (Alfiasari, 2004). Seorang tokoh modal sosial yang lain adalah Francis Fukuyama. Dia adalah tokoh besar yang meyakini bahwa pembangunan akan mendapatkan hasil yang jauh lebih baik ketika pemerintah memerhatikan aspek modal sosial dalam masyarakat (Djohan, 2007).

Kajian modal sosial semakin popular sejak disertasi Putnam pada tahun 1993 yang berjudul Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy dan publikasi tulisannya pada tahun 1995 dengan judul Bowling Alone: America’s Declining Social Capital. Putnam (1993) dalam Alfiasari (2004) mendefinisikan modal sosial sebagai karakteristik masyarakat meliputi rasa memiliki, kerjasama, pertukaran, kepercayaan, sikap positif, dan partisipasi. Dia lebih mengembangkan pemikirannya pada ide asosiasi dan aktivitas masyarakat sipil sebagai basis bagi terciptanya integrasi sosial dan kesejahteraan. Konsep modal sosial yang digagas olehnya mirip dengan Fukuyama dan Colemen. Hanya saja, ia lebih menekankan

(18)

ke persoalan peran kelompok, asosiasi, institusi sosial dan organisasi sosial serta mengaitkannya dengan aktivitas masyarakat sipil dalam membangun kebersamaan untuk mencapai tujuan yang lebih baik (Djohan, 2007).

Konsep modal sosial juga disebut sebagai modal yang merujuk pada banyak aspek dari organisasi sosial informal yang terbangun dari sumberdaya-sumberdaya sosial produktif yang dapat dimanfaatkan untuk satu atau lebih pelaku sosial dalam masyarakat. Para pelaku ini secara individual menginvestasikan modal sosial melalui hubungan pertemanan maupun hubungan yang dibangun dalam persetujuan-persetujuan tertulis. Sumberdaya-sumberdaya sosial yang biasanya berbentuk hubungan sosial yang kuat ini selanjutnya terinternalisasi melalui aturan-aturan yang kadang menjadi modal sosial yang sangat kuat dan dapat mendukung usaha manusia dalam bertahan hidup (Dharmawan, 2001).

Dari semua pengertian yang ada, yang harus digarisbawahi adalah modal sosial tidak sama dengan kebajikan sosial (social virtue). Perbedaannya terletak pada dimensi gerakan dan jaringan. Kebajikan sosial akan sangat kuat dan berpengaruh jika di dalamnya melekat perasaan keterikatan untuk saling berhubungan dan timbal-balik dalam suatu bentuk hubungan sosial (Djohan, 2007). Kemudian, istilah modal sosial diadopsi Bank Dunia dan lembaga pemerintah di banyak negara. Kajian, publikasi, dan diskusi tentang modal sosial di berbagai bidang berkembang pesat selama dekade terakhir (Hardinsyah, 2007).

Selanjutnya Coleman dalam Fedderke (1999) mengemukakan enam karakteristik modal sosial, yaitu:

(19)

a. Adanya kewajiban dan harapan yang dimiliki masing-masing individu dalam melakukan tindakan sosialnya.

b. Adanya informasi potensial yang terjalin melalui hubungan sosial yang sifatnya informal yang dapat menyimpan dan menyampaikan informasi. c. Norma dan sanksi yang efektif.

d. Hubungan kekuasaan

e. Kesamaan organisasi sosial. Organisasi sosial terbentuk dari tujuan yang spesifik di mana terjadi proses pencapaian tujuan dan di dalamnya terdapat mekanisme organisasi yang cukup luas skalanya dalam usaha pencapaian tujuan bersama.

f. Kesengajaan dalam membentuk organisasi. Hal ini terkait khususnya pada usaha untuk mengurangi biaya-biaya pada transaksi sosial.

2.1.5.2 Komponen Modal Sosial

Sebagai proses pembentukan modal sosial, hubungan sosial yang ada dapat dilihat sebagai sebuah hasil dari interaksi sosial yang berproses. Dari interaksi ini akan terbangun hubungan sosial antar pelaku sosial. Hubungan sosial ini didasarkan pada jalinan kepercayaan, jaringan sosial dan norma. Modal sosial yang terbentuk ini akan memengaruhi interaksi sosial yang terjadi. Maka dari itu Dharmawan (2001) menggambarkan kedudukan modal sosial dalam sistem sosial pada gambar berikut ini.

(20)

Gambar 1. Kedudukan modal sosial dalam sistem sosial

Putnam (1993) dalam Alfiasari (2004) menyebutkan bahwa modal sosial memiliki tiga pilar utama, yaitu:

a. Kepercayaan

Kepercayaan adalah sesuatu yang terbangun dari hubungan-hubungan sosial dimana terdapat peraturan yang dapat dirundingkan dalam arti terdapat “ruang terbuka” dari peraturan tersebut untuk mencapai harapan-harapan yang ingin dicapainya (Seligman dalam Alfiasari, 2004). Fedderke (1999) menjelaskan bahwa modal sosial mencakup kepercayaan sosial yang memfasilitasi adanya koordinasi dan komunikasi. Koordinasi dan komunikasi yang terjalin ini akan memengaruhi terhadap tindakan kolektif yang dilakukan dalam rangka mencapai keuntungan kolektif juga. Fedderke menilai bahwa kepercayaan dapat mengurangi adanya insentif dalam memanfaatkan kesempatan. Djohan (2007) mendefinisikan kepercayaan sebagai keyakinan bahwa individu lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan bertindak mendukung serta tidak merugikan diri sendiri dan kelompoknya. Kepercayaan merupakan fungsi yang sangat penting dalam membangun modal sosial. Tindakan kolektif yang didasari kepercayaan

Terjalin hubungan Hubungan kepercayaan, norma dan jaringan Terjadi interaksi Modal sosial

(21)

yang tinggi akan meningkatkan partisipasi anggota kelompok dalam beragam bentuk dan dimensi bagi kemajuan bersama. Sebaliknya, pada masyarakat dengan kepercayaan rendah akan mengundang berbagai problem sosial, misalnya saling berburuk sangka, iri, dengki dan cenderung hidup dalam suasana menjegal.

Mollering dalam Djohan (2007) menyebutkan bahwa modal sosial mempunyai enam fungsi penting yaitu: (1) kepercayaan dalam arti confidence yang merupakan ranah psikologis individual sebagai sikap yang akan mendorong seseorang dalam keputusan setelah menimbang resiko yang akan diterima; (2) kerjasama yang menempatkan kepercayaan sebagai dasar hubungan antar individu tanpa saling curiga; (3) penyederhanaan pekerjaan yang memfungsikan trust sebagai sumber untuk membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja kelembagaan-kelembagaan sosial; (4) ketertiban dimana kepercayaan sebagai inducing behavior setiap individu untuk menciptakan kedamaian dan meredam kekacauan sosial; (5) pemelihara kohesivitas sosial yang membantu kerekatan setiap komponen sosial yang hidup dalam komunitas menjadi kesatuan; (6) kepercayaan sebagai modal sosial yang menjamin struktur sosial yang berdiri secara utuh yang berfungsi secara operasional serta efisien (Dharmawan dalam Alfiasari, 2004)

Lebih jauh Djohan (2007) mengatakan bahwa para sosiolog membagi kepercayaan pada tiga tingkatan, yaitu individual, relasi sosial dan sistem sosial. Pada tingkatan individual, kepercayaan merupakan ciri individu yang selalu bersikap jujur. Pada tingkatan hubungan sosial, kepercayaan ditandai oleh semangat kejujuran yang menyatu pada setiap hubungan sosial. Ini merupakan atribut kolektif yang lebih mudah mencapai tujuan bersama pada tingkatan sistem

(22)

sosial, kepercayaan merupakan nilai publik yang perkembangannya difasilitasi oleh sistem sosial yang ada. Pengertian nilai publik di sini berarti kejujuran, yang melahirkan rasa percaya diri pada setiap orang sehingga menjadi karakter yang melekat pada setiap individu dalam masyarakat.

b. Jaringan Sosial

Menurut Stone dan Hughes dalam Alfiasari (2004), modal sosial mempunyai dua ukuran utama, yaitu jaringan sosial dan karakteristik jaringan sosial. Jaringan sosial dilihat dengan menggunakan beberapa ukuran, di antaranya adalah (a) ikatan informal yang dikarakteristikan dengan adanya kepercayaan dan timbal balik yang lebih familiar dan bersifat personal seperti pada ikatan keluarga, pertemanan, pertetanggaan; (b) ikatan yang sifatnya lebih umum, seperti ikatan pada masyarakat setempat, masyarakat umum, masyarakat dalam kesatuan, kewarganegaraan. Ikatan ini dikarakteristikan dengan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik yang sifatnya umum; dan (c) ikatan kelembagaan yang dikarakteristikan dengan adanya kepercayaan dalam kelembagaan yang ada. Misalnya pada ikatan dalam sistem kelembagaan dan hubungan kekuasaan.

Sementara itu, karakteristik jaringan sosial dapat dilihat dari tiga karakteristik, yaitu: bentuk dan luas, kerapatan dan ketertutupan dan keragaman. Karakteristik bentuk dan luas misalnya mengenai jumlah hubungan informal yang terdapat dalam sebuah interaksi sosial, jumlah anggota kelompok yang mengetahui pribadi seseorang dalam sistem sosial dan jumlah kontak kerja. Kerapatan dan ketertutupan sebuah jaringan sosial dapat dilihat misalnya dengan seberapa besar sesama anggota kelompok saling mengetahui teman-teman dekatnya, di antara teman saling mengetahui satu sama lainnya atau masyarakat

(23)

saling mengetahui satu dengan lainnya. Keragaman dalam jaringan sosial dikarakteristikan misalnya dari keragaman etnik anggota kelompok, dari perbedaan pendidikan dalam sebuah kelompok atau dari pencampuran budaya dalam wilayah setempat.

c. Norma Sosial

Djohan (2007) mendefinisikan norma sosial sebagai aturan kolektif yang diharapkan dapat dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial. Norma terbentuk dari berulangnya kebiasaan dalam interaksi keseharian yang akan menciptakan aturan-aturan main di masyarakat. Aturan-aturan kolektif ini biasanya tidak tertulis, tetapi dipahami setiap anggota masyarakat dan menentukan tingkah laku yang diharapkan dalam konteks hubungan sosial.

Norma-norma yang membentuk modal sosial dapat bervariasi dari hubungan timbal balik antar dua orang sampai pada hubungan kompleks dan kemudian terelaborasi menjadi doktrin. Selain terbentuk oleh aturan-aturan tertulis misalnya dalam organisasi sosial, menjalin kerjasama dalam sebuah interaksi sosial juga terkait dengan nilai-nilai tradisional. Nilai yang dimaksud misalkan kejujuran, sikap menjaga komitmen, pemenuhan kewajiban, ikatan timbal balik dan yang lainnya. Nilai-nilai seperti ini sebenarnya aturan tidak tertulis dalam sebuah sistem sosial yang mengatur masyarakat untuk berperilaku dalam interaksinya dengan orang lain (Fukuyama, 2001 dalam Alfiasari, 2004).

Selain ketiga komponen modal sosial di atas, Syahra et al. dalam Alfiasari (2004) mengemukakan tujuh karakter lainnya yang dapat dianggap sebagai unsur modal sosial. Pengklasifikasian tujuh karakter tersebut berdasarkan atas pertimbangan bahwa dengan tingkat keberadaan unsur-unsur ini juga menentukan

Gambar

Gambar 1. Kedudukan modal sosial dalam sistem sosial

Referensi

Dokumen terkait

After analyzing the data gathered during the observation and interview, the researcher discovered that several factors influenced the English teacher's decision to switch

"Conversation Analysis and Language Alternation", John Benjamins Publishing Company,

The procedures for this national collaborative research were (1) The researchers asked for permission from the university, faculty, department and then the coordinator

Feedback Workshop for English Teachers in Designing Questions Based on Higher Order Thinking Skill", AL-ISHLAH: Jurnal Pendidikan, 2022

Therefore, the current study aims to find out whether there is an improvement in teacher competence and the quality of English language questions at the Junior High School level

Referring to the research questions or research objectives, this section will be devoted to discussing two key findings, that is the readiness of the teacher in promoting

"Mastery of STEM-Based Research Approach of Science Teachers In Jakarta", AL-ISHLAH: Jurnal.

"The Effects of Trained Peer Feedback for High School Students", World Journal of English Language,