• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL ERITROSIT SAPI PERAH YANG TERINFEKSI HERU WIRZAL KESATRIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROFIL ERITROSIT SAPI PERAH YANG TERINFEKSI HERU WIRZAL KESATRIA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL ERITROSIT SAPI PERAH YANG TERINFEKSI

Babesia sp. KRONIS

HERU WIRZAL KESATRIA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Profil Eritrosit Sapi Perah yang Terinfeksi Babesia sp. kronis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

Heru Wirzal Kesatria

(4)

ABSTRAK

HERU WIRZAL KESATRIA. Profil Eritrosit Sapi Perah yang Terinfeksi Babesia sp. kronis. Dibimbing oleh AGUS WIJAYA dan LENI MAYLINA.

Babesiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Babesia sp. Babesia sp. diklasifikasikan sebagai parasit obligat intrasellular. Babesia sp. menyebabkan penyakit dengan gejala klinis seperti anemia, demam, dan keengganan untuk bergerak. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh profil eritrosit sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. Informasi yang diperoleh dapat dijadikan dasar dalam melakukan tindakan pengobatan dan pencegahan infeksi Babesia sp. kronis pada sapi perah. Pengambilan sampel darah sapi perah dilakukan di Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) Sapi Perah, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Darah diambil melalui vena coccygea atau vena jugularis. Sebanyak 21 sapi perah yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 6 ekor sapi perah kontrol negatif sedangkan 15 ekor untuk sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis. Hasil menunjukkan nilai rata-rata jumlah total eritrosit (5.17 ± 0.97 x106/µL), konsentrasi hemoglobin (9.39 ± 1.58 g/dL) dan nilai hematokrit (28.07 ± 4.67 %). Sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis dalam penelitian ini secara umum berdasarkan perhitungan indeks eritrosit menunjukkan bahwa sapi perah mengalami anemia normositik normokromik.

Keyword : Babesia sp., profil eritrosit, sapi perah.

ABSTRACT

HERU WIRZAL KESATRIA. Profile of Dairy Cattle Erythrocytes which Chronical Infected by Babesia sp. Supervised by AGUS WIJAYA and LENI MAYLINA.

Babesiosis is an endoparasite disease which is infected by Babesia sp. This genus parasite is classified as an intracellular obligate parasite. Babesia sp. can cause the disease which clinical symptoms such as anemia, fatigue, and weakness in animal. This research aim is to obtain the profile erythrocytes of dairy cattle which is chronically infected by Babesia sp. Information obtained can be used as a basis for performing a treatment action and prevention of Babesiosis on dairy cattle. Blood sample was taken at Kunak dairy cattle Cibungbulang, Bogor, West Java. Blood samples were collected from the coccygea vein or jugularis veins. Twenty one dairy cattles used in this research where divided into 2 groups, namely 6 tails as a control while 15 tails were chronical by infected Babesia sp. The result showed that the average number of erythrocytes (5.17 ± 0.97 x106/µL), the concentration of hemoglobin (9.39 ± 1.58 g/dL) and level of hematocrit (28.07 ± 4.67 %). Based on erythrocytes index dairy cattles that suffer from Babesiosis showed the decreasing of erythrocytes, concentration of hemoglobin and hematocrit values where leads to anemia normocytic normochromic.

(5)

PROFIL ERITROSIT SAPI PERAH YANG TERINFEKSI

Babesia sp. KRONIS

HERU WIRZAL KESATRIA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015 Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

(6)
(7)

Judul Skripsi : Profil Eritrosit Sapi Perah yang terinfeksi Babesia sp. Kronis Nama : Heru Wirzal Kesatria

NIM : B04100062

Disetujui oleh

Drh Agus Wijaya, MSc, PhD Drh Leni Maylina, MSi

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan. Judul penelitian adalah Profil Eritrosit Sapi Perah yang Terinfeksi Babesia sp. Kronis.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Drh Agus Wijaya, MSc, PhD dan Drh Leni Maylina, MSi selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan dan ilmu yang diberikan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan tugas akhir ini. Terima kasih kepada Bapak Dr Drh Joko Pamungkas, MSc selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan nasehat selama penulis menjalankan studi. Disamping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pimpinan Kawasan Usaha Peternakan Sapi Perah, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dan pimpinan beserta staf Laboratorium Patologi Klinik, Bagian Penyakit Dalam, Departemen Klinik, Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang telah membantu penulis dalam penelitian.

Ungkapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis sampaikan kepada Bapak Kapten Czi Nuryetrizal dan Ibu Siti Salwati serta seluruh keluarga atas segala doa, nasehat dan kasih sayang yang telah diberikan. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman Acromion 47, An Nahl Fakultas Kedokteran Hewan IPB, M. Fajar Nasrulloh, Dedek Haryanto, Metrizal Abdi Taufik, Lucky Agung Iskandar atas bantuan, saran, dan motivasi selama ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015

(10)
(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2

Sapi perah (Friesian Holstein) 2

Darah 3

Siklus Hidup Babesia sp. 3

METODE 4

Waktu dan Tempat Penelitian 4

Alat dan Bahan Penelitian 4

Prosedur Penelitian 5

Parameter Penelitian 5

Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Jumlah Eritrosit 6

Konsentrasi Hemoglobin 7

Nilai Hematokrit 8

Indeks Eritrosit 8

Mean Corpuscular Volume (MCV) 9

Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) 9

Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) 10

SIMPULAN DAN SARAN 11

Simpulan 11

Saran 11

DAFTAR PUSTAKA 12

(12)
(13)

DAFTAR TABEL

1 Rataan jumlah total eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis 5 2 Nilai MCV, MCH dan MCHC pada sapi perah yang terinfeksi Babesia

sp. kronis 9

DAFTAR GAMBAR

1 Jumlah total eritrosit sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis 6 2 Konsentrasi hemoglobin sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis 7 3 Nilai hematokrit sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis 8 4 Nilai Mean Corpuscular Volume sapi perah yang terinfeksi Babesia sp.

kronis 9

5 Nilai Mean Corpuscular Hemoglobin sapi perah yang terinfeksi

Babesia sp. kronis 10

6 Nilai Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration sapi perah yang

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemeliharaan sapi perah dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan perkembangan. Perkembangan usaha peternakan sapi perah sangat tergantung pada keberhasilan manajemen pemeliharaan sapi setiap harinya. Sapi perah merupakan ternak andalan dalam mewujudkan swasembada susu segar nasional. Tingkat kebutuhan susu di Indonesia sangat tinggi sedangkan tingkat ketersediaannya masih rendah. Upaya peningkatan jumlah dan produksi susu ternak perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Upaya ini didorong oleh pemerintah dalam mengusahakan pencapaian pemenuhan kebutuhan susu (Sudono et al. 2003). Susu sapi digunakan untuk kebutuhan konsumsi susu segar dan industri makanan yang berbahan dasar susu seperti kue-kue, caramel, yoghurt dan lain-lain. Jumlah populasi sapi perah secara nasional adalah 377 771 ekor sapi yang tersebar di berbagai provinsi, umumnya terkonsentrasi di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan (Ditjennak 2007). Penambahan jumlah populasi sapi perah masih diperlukan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia.

Beberapa masalah yang perlu diketahui oleh peternak adalah sistem pemeliharaan dan kesehatan sapi perah. Salah satu masalah kesehatan hewan adalah infestasi ektoparasit yang dapat bertindak sebagai vektor penyakit. Ektoparasit yang merupakan vektor dari Babesia sp. adalah caplak, antara lain adalah Boophilus, Haemaphysalis, dan Rhipicephalus (Levine 1994). Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan adanya peningkatan infeksi Babesia sp. kronis. Hal ini dikarenakan infeksi Babesia sp. kronis sering tidak terdeteksi dan tidak diketahui oleh peternak maupun tenaga medis di lapang. Gejala infeksi Babesia sp. kronis terlihat seperti nafsu makan menurun, produksi susu menurun, kelemahan serta keengganan untuk bergerak (Callow 1984).

Penyakit-penyakit yang menyerang sapi, sebagian besar menimbulkan perubahan pada gambaran eritrosit (Huyler et al. 1999). Hal ini dikarenakan darah merupakan bagian tubuh yang berbentuk cairan dan memegang peranan penting dalam proses fisiologis dan patologis. Pemeriksaan hematologi diperlukan untuk mengetahui kondisi kesehatan ternak, mengevaluasi serta mendiagnosa penyakit klinis dan subklinis (Gerardo et al. 2009). Parameter hematologi yang biasa dilakukan meliputi pemeriksaan jumlah sel darah merah (eritrosit), konsentrasi hemoglobin (Hb), dan nilai hematokrit (PCV). Menurut Mohri et al. (2007), dalam menginterpretasi data hasil pemeriksaan laboratorium dibutuhkan pengetahuan fisiologis darah dan parameter acuan darah normal. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh gambaran profil eritrosit sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis melalui pemeriksaan profil eritrosit yang bisa dijadikan sebagai acuan bagi dokter hewan di Indonesia dalam membantu menegakkan diagnosa.

(16)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran eritrosit sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis. Pemeriksaan profil eritrosit yang dilakukan meliputi jumlah total eritrosit, konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit dan indeks eritrosit yang meliputi Mean Corpuscular Volume, Mean Corpuscular Hemoglobin dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang gambaran eritrosit sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis. Informasi yang diperoleh dapat dijadikan dasar dalam melakukan tindakan pengobatan dan pencegahan infeksi Babesia sp. kronis pada sapi perah.

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Perah (Friesian Holstein)

Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae, sub famili Bovinae, genus Bos. Sapi perah yang dikembangkan di berbagai belahan dunia adalah jenis Bos taurus (sapi Eropa) yang berasal dari daerah sub tropis dan Bos indicus (sapi berpunuk di Asia) yang berasal dari daerah tropis, serta hasil persilangan keturunan Bos taurus dan Bos indicus. Sapi yang berasal dari Bos taurus yang banyak dikembangkan ada lima bangsa yaitu Ayshire, Brown Swiss, Guernsey, Holstein, dan Jersey. Bangsa yang umum dikembangkan di Indonesia adalah bangsa Friesian Holstein (FH). Sapi FH berasal dari provinsi Friesland negeri Belanda. Bangsa sapi ini adalah bangsa sapi perah yang tertua, terkenal dan tersebar hampir di seluruh dunia (Rustamadji 2004).

Bangsa sapi FH murni memiliki warna rambut hitam dan putih dengan batas-batas warna yang jelas, seperti pada dahi umumnya terdapat warna putih berbentuk segitiga, bagian perut serta kaki dari teracak sampai lutut (knee atau hock) berwarna putih. Selain itu, sapi FH memiliki tanduk yang pendek dan mengarah ke depan. Sifat-sifatnya adalah jinak, tidak tahan panas, tetapi sapi ini mudah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan dan cepat dewasa.

Karakteristik sapi FH adalah memiliki berat induk 675 kg, warna rambut hitam dan putih, temperamen tenang, kemampuan merumputnya sedang, dewasa kelamin cepat, kadar lemak susu 3.5-3.7%, dengan warna lemak kuning membentuk butiran-butiran atau glubola sehingga susu segar aman dikonsumsi bagi manusia, bahan kering tanpa lemak 8.5 %, dan rata-rata produksi susu per tahun 5750-6250 kg dan berat lahir anak 42 kg (Blakely dan Bade 1991). Penerapan manajemen yang baik dan pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan ternak akan meningkatkan produksi susu (Atabany et al. 2008).

(17)

3

Darah

Darah merupakan salah satu unsur terpenting dalam tubuh. Darah mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi transportasi, fungsi regulasi dan fungsi pertahanan (Guyton dan Hall 1997). Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut oksigen yang terikat oleh hemoglobin ke seluruh jaringan tubuh (Despopoulos dan Silbernagl 2003). Darah merupakan cairan tubuh yang bersirkulasi melalui pembuluh darah pada setiap bagian tubuh untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan sistem organ. Darah terdiri atas 55% plasma dan 45% butir darah (Dallas 2006). Jumlah darah dalam tubuh dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor endogen yang meliputi pertambahan umur, status kesehatan, gizi, stres, dan siklus estrus serta faktor eksogen yang meliputi hadirnya agen penyebab infeksi dan perubahan lingkungan.

Pembentukan sel darah merah sangat dipengaruhi oleh eritropoietin yang diproduksi dalam ginjal. Eritropoietin merangsang produksi eritrosit sebagai respon hipoksia pada jaringan tubuh. Eritrosit berasal dari proeritroblas kemudian terbentuk basofil eritroblas, dilanjutkan polikromatofil eritroblas, ortokromatik eritroblas, dan kemudian berkembang menjadi retikulosit sampai terbentuk eritrosit (Guyton dan Hall 2006).

Siklus Hidup Babesia sp.

Derajat infeksi biasanya sangat berkaitan dengan gejala klinis yang muncul. Derajat infeksi Babesia sp. yang sedang sampai tinggi memiliki pengaruh lebih buruk terhadap gambaran darah dan manifestasi klinis yang dihasilkan sehingga lebih tampak gejalanya (Birkenheuer et al. 2003).

Menurut Ndungu et al. (2005), tingkat parasitemia atau derajat infeksi dikategorikan berdasarkan persentase eritrosit berparasit yang didapatkan, yaitu derajat infeksi ringan < 1 %, derajat infeksi sedang 1 sampai 5 %, dan derajat infeksi berat > 5 %. Stockham dan Scott (2008) menyatakan bahwa Babesia sp. berada dalam jumlah sangat sedikit saat infeksi berlangsung kronis. Jika hal ini berlangsung lama tanpa menimbulkan gejala klinis, maka bisa dipastikan hewan menjadi carrier (Kocan et al. 2010).

Babesia sp. (intraeritrosit) yang memiliki kemampuan memunculkan gejala

klinis sangat beragam. Infeksi pada hewan diduga carrier (pembawa) meskipun diberikan antibiotik, parasitemia dapat berulang pada saat hewan mengalami stres atau penurunan daya tahan tubuh (Weiss dan Wardrop 2010).

Caplak terinfeksi merozoit selama menghisap eritrosit dan tetap infektif selama beberapa generasi melalui transmisi transovarial (Boozer dan Macintire 2005). Babesia sp. memiliki siklus perkembangan aseksual (skizogoni) yang terjadi pada inang dan perkembangan aseksual (gametogoni dan sporogoni) yang terjadi pada caplak. Transmisi dimulai ketika inang tergigit caplak yang mengandung sporozoit Babesia sp. di dalam kelenjar ludahnya.

Sporozoit yang memasuki inang mengalami siklus pre eritrositik, dimana mengikuti aliran limfe dan membentuk tropozoit (infektif). Beberapa hari kemudian terbentuk badan berinti banyak (schizont) yang berisi merozoit. Semakin banyak jumlah merozit menjadikan schizont pecah dan melepaskan

(18)

4

merozoit ke dalam aliran darah. Merozoit yang menginfeksi eritrosit berubah menjadi tropozoit muda dan jika matang berubah lagi menjadi schizont yang dapat pecah kembali dan melepaskan merozoit lain yang menginfeksi eritrosit lain di sekitarnya (Gardiner et al. 2002). Pembelahan terus menerus merozoit yang tidak terbendung mengakibatkan eritrosit yang terinfeksi oleh parasit mengalami destruksi. Destruksi eritrosit akibat infeksi Babesia sp. secara besar-besaran menyebabkan terjadinya anemia. Sumsum tulang meresponnya dengan meningkatkan retikulosit dilepaskan ke dalam sirkulasi darah (Weis dan Wardrop 2010). Destruksi eritrosit menyebabkan terjadinya pemecahan eritrosit secara besar-besaran sehingga di dalam hati terbentuk bilirubin yang berlebihan. Kemampuan hati dalam mengkonjugasi bilirubin terbatas, menyebabkan bilirubin

unconjugated di dalam darah meningkat sehingga penderita terlihat kekuningan

yang disebut sebagai ikterus prehepatik (Segal 2010).

Parasitemia adalah suatu keadaan dimana parasit ditemukan dalam sirkulasi darah. Parasitemia dikaitkan dengan siklus hidup Babesia sp. dan terdeteksi di dalam sirkulasi selama periode prepaten. Periode prepaten adalah periode perkembangan sporozoit menjadi tropozoit dan periode ketika merozoit menginfeksi eritrosit. Periode ini membutuhkan waktu selama 1 sampai 2 minggu (Urquhart et al. 2003). Jika ini berlangsung lama tanpa menimbulkan gejala klinis, maka bisa dipastikan hewan menjadi carrier (Kocan et al. 2010). Parasitemia dapat terjadi berulang-ulang ketika inang berada dalam kondisi dengan kekebalan tubuh yang menurun. Sistem kekebalan tubuh yang ada, tidak benar-benar menghilangkan infeksi dan hewan menjadi carrier kronis (Boozer dan Macintire 2005).

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus 2013. Pengambilan sampel darah sapi dilakukan di Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) Sapi Perah, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Analisis sampel darah sapi perah dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, dan di Laboratorium komersial di kawasan kota Bogor.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah disposable syringe,

vacutainer dengan antikoagulan K3 EDTA (Ethylenediaminetetraacetic acid),

cooling box. Bahan-bahan yang digunakan adalah sampel darah sapi, aquades,

kapas, etanol dan hewan coba. Sebanyak 21 sapi perah yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 6 ekor sapi perah kontrol negatif dan 15 ekor untuk sapi perah yang positif terinfeksi Babesia sp. kronis.

(19)

5

Prosedur Penelitian

Darah diambil melalui v. coccygea atau v. jugularis menggunakan

disposable syringe, dimasukkan ke dalam tabung vakum yang berisi K3 EDTA kemudian dihomogenkan. Tabung yang berisi sampel darah disimpan dalam

cooling box dan dibawa ke Laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan profil

eritrosit.

Parameter Penelitian

Parameter yang diamati antara lain jumlah total eritrosit, nilai hematokrit, konsentrasi hemoglobin, dan indeks eritrosit yang meliputi Mean Corpuscular

Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC). Indeks eritrosit diperoleh dengan rumus

sebagai berikut: 𝑀𝐶𝑉 =PCV×10 ∑𝑅𝐵𝐶 = 𝑓𝑙 𝑀𝐶𝐻 = Hb×10 ∑𝑅𝐵𝐶 = 𝑝𝑔 𝑀𝐶𝐻𝐶 = Hb ×100 PCV = 𝑔/𝑑𝑙 Analisis Data

Data yang diperoleh disajikan dalam nilai rata-rata beserta standar deviasinya dengan menggunakan Microsoft® Office Excel 2013.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rataan jumlah total eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 menunjukkan rata-rata jumlah total eritrosit sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. 5.17 ± 0.97 x106/µL. Nilai ini berada di bawah nilai kontrol

Tabel 1 Rataan jumlah total eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis.

Parameter Kontrol ± SD (∑ = 6 ekor) Sampel ± SD (∑ = 15 ekor) Eritrosit (x 106/µL) 7.47 ± 0.24 (7.23 - 7.71) 5.17 ± 0.97 (4.20 - 6.14) Hemoglobin (g/dl) 12.5 ± 0.55 (11.95 - 13.05) 9.39 ± 1.58 (7.81 - 10.97) Hematokrit (%) 37.33 ± 1.36 (35.97 - 38.69) 28.07 ± 4.67 (23.40 - 32.74)

(20)

6

7.47 ± 0.24 x 106/µL. Sapi mengalami anemia menunjukkan nilai eritrosit yang lebih rendah dibandingkan nilai kelompok kontrol. Anemia merupakan suatu kondisi patologis yang disebabkan oleh penurunan jumlah eritrosit sehingga terjadi penurunan kapasitas oksigen yang dibawa oleh darah. Hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah kerusakan eritrosit, perdarahan, infeksi parasit di dalam eritrosit, dan konsentrasi hemoglobin yang sedikit pada jumlah eritrosit yang normal (Colville dan Bassert 2002).

Jumlah Eritrosit

Penurunan jumlah eritrosit karena hemolisis dapat terjadi secara fisiologis akibat kematian eritrosit yang sudah tua (Stockham dan Scott 2008). Jumlah total eritrosit masing-masing sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Jumlah total eritrosit sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis Gambar 1 menunjukkan sapi perah nomor 8 memiliki jumlah eritrosit terendah yaitu sebesar 3.0 x 106/µL. Sapi perah nomor 7 memiliki jumlah eritrosit tertinggi sebesar 6.0 x 106/µL. Merozoit aktif membelah yang ditemukan pada preparat ulas darah merupakan bentuk aktif Babesia sp. sedangkan bentuk tidak aktif ditandai dengan sitoplasma maupun inti yang menghilang (Wulansari 2002). Destruksi eritrosit akibat infeksi Babesia sp. secara besar-besaran menyebabkan terjadinya anemia. Sumsum tulang meresponnya dengan meningkatkan retikulosit yang akan dilepaskan peredaran darah. Jumlah retikulosit yang tinggi di dalam sirkulasi darah mengindikasikan adanya proses hemolisis (Sibuea et al. 2009). Hemolisis yang disebabkan oleh Babesia sp. terdiri dari hemolisis intravaskular, hemolisis ekstravaskular, dan hemolisis yang diperantarai oleh kekebalan. Hemolisis intravaskular terjadi karena eritrosit sapi mengalami kerusakan (lisis) di dalam sistem sirkulasi. Kerusakan terjadi saat

Babesia sp. keluar dari dalam eritrosit setelah melakukan pembelahan, yaitu

dalam bentuk merozoit. Hemolisis ekstravaskular terjadi karena eritrosit yang terinfeksi Babesia sp. keluar dari sistem sirkulasi akibat kebocoran pembuluh

0 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Juml ah er it ros it ( x 10 6/µl )

Kelompok RBC pada sapi perah yang terinfeksi Babesia sp.

x̄ Kelompok Kontrol (7.47) x̄ Kelompok Sampel (5.17)

(21)

7

darah yang disebabkan oleh turunnya jumlah trombosit. Hemolisis yang diperantarai oleh kekebalan terjadi karena eritrosit yang mengandung Babesia sp. difagosit oleh makrofag (Weis dan Wardrop 2010).

Infeksi Babesia sp. yang bersifat kronis menyebabkan hewan dalam kondisi premunisi yaitu keseimbangan yang terjadi antara respon imun hewan yang terinfeksi dengan kemampuan parasit untuk memunculkan gejala klinis (Wulansari 2002). Keadaan premunisi terjadi saat respon imun mampu menekan pertumbuhan parasit, mencegah hiperparasitemia, menurunkan kepadatan parasit, dan menekan patogenesitas parasit sehingga tidak sampai menimbulkan gejala klinis (McDonal 2001).

Konsentarasi Hemoglobin

Hemoglobin terbentuk dari gabungan dua komponen yaitu heme dan globin. Heme merupakan pigmen yang diproduksi oleh mitokondria, sedangkan globin merupakan protein yang diproduksi oleh ribosom (Colville dan Bassert 2002). Konsentrasi hemoglobin merupakan faktor yang mempengaruhi derajat anemia pada sapi perah selain jumlah eritrosit. Hemoglobin merupakan komponen utama penyusun eritrosit yang berfungsi mengangkut oksigen dan karbon dioksida (Price dan Wilson 2006). Tabel 1 menunjukkan rata-rata konsentrasi hemoglobin rata-rata sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis 9.39 ± 1.58 g/dL.

Nilai ini berada dibawah nilai kontrol 12.50 ± 0.55 g/dL. Konsentrasi hemoglobin masing-masing sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Konsentrasi hemoglobin sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis. Gambar 2 menunjukkan sapi perah nomor 8 memiliki konsentrasi hemoglobin terendah sebesar 4.9 g/dL. Sapi perah nomor 1 memiliki konsentrasi hemoglobin tertinggi sebesar 11.3 g/dL. Nilai ini berada dibawah nilai kelompok kontrol 12.50 ± 0.55 g/dL. Rendahnya konsentrasi hemoglobin diakibatkan oleh jumlah eritrosit yang rendah, karena hemoglobin merupakan komponen utama pengisi eritrosit. Konsentrasi hemoglobin dipengaruhi oleh nutrisi, ras, umur,

0 2 4 6 8 10 12 14 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 K onsent ras i hem ogl obi n (g/ dL )

Kelompok Hb pada sapi perah yang terinfeksi

Babesia sp.

x̄ Kelompok Kontrol (12.5) x̄ Kelompok Sampel (9.39)

(22)

8

musim, waktu pengambilan sampel, dan antikoagulan yang dipakai dalam penelitian (Mbassa dan Poulsen 1993). Menurut Meyer dan Harvey (2004), zat besi dibutuhkan untuk sintesis heme sehingga turut mempengaruhi konsentrasi hemoglobin.

Nilai Hematokrit

Jumlah eritrosit yang rendah dan ukuran eritrosit yang kecil menyebabkan nilai hematokrit menjadi rendah (Colville dan Bassert 2002). Tabel 1 menunjukkan nilai hematokrit rata-rata sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. memiliki nilai sebesar 28.07 ± 4.67 %. Nilai ini berada dibawah kelompok kontrol sebesar 37.33 ± 1.36 %. Nilai hematokrit dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit dan ukuran eritrosit. Nilai hematokrit masing-masing sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Nilai hematokrit sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis. Gambar 3 menunjukkan sapi perah nomor 8 memiliki nilai hematokrit terendah sebesar 15 %. Sapi perah nomor 1 memiliki nilai hematokrit tertinggi sebesar 34 %. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai hematokrit adalah jumlah eritrosit, jenis kelamin, ras, umur dan keadaan patologis (Triakoso dan Putri 2012).

Indeks Eritrosit

Indeks eritrosit dapat dianalisis dengan menggunakan beberapa parameter yang terdiri dari MCV, MCH, dan MCHC. Indeks eritrosit dapat digunakan untuk mengetahui jenis anemia yang terjadi pada hewan berdasarkan morfologi eritrosit (Price dan Wilson 2006). Indeks eritrosit sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis disajikan pada Tabel 2.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 K ada r hem at ok ri t ( % )

Kelompok PCV pada sapi perah yang terinfeksi Babesia sp.

x̄ Kelompok Kontrol (37.33) x̄ Kelompok Sampel (28.07)

(23)

9

Mean Corpuscular Volume (MCV)

Nilai MCV menggambarkan volume rata-rata satu sel eritrosit dalam femtoliter (Meyer dan Harvey 2004). Tabel 2 menunjukkan rata-rata nilai MCV sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. 55.77 ± 13.87 fL. Nilai ini berada di atas nilai kelompok kontrol 50.04 ± 2.28 fL.

Gambar 4 Nilai MCV sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis.

Gambar 4 menunjukkan nilai MCV mengalami peningkatan dibandingkan kontrol. Meningkatnya nilai MCV dari kontrol berhubungan dengan anemia regeneratif karena volume sel retikulosit lebih besar dibandingkan dengan volume eritrosit dewasa. Dengan demikian beberapa sel makrositik hadir untuk meningkatkan nilai MCV di atas interval normal (Meyer dan Harvey 2004). Nilai MCV yang tinggi dapat ditemukan pada aktifitas sumsum tulang meningkat, hal ini dapat terjadi pada keadaan perdarahan akut atau hemolisis (Stockham dan Scott 2008). Menurut Morris (2009), nilai normal MCV pada sapi Friesian Holstein adalah 40-60 fL. Kontrol maupun sampel memiliki nilai dalam batas normal. Sapi sampel mengalami penurunan eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit sehingga dapat dikatakan menyebabkan anemia normositik.

Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH)

Tabel 2 Nilai MCV, MCH dan MCHC pada sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis.

Parameter Kontrol ± SD (∑ = 6 ekor) (∑ = 15 ekor) Sampel ± SD

MCV (fL) 50.04 ± 2.28 (47.76-52.32) 55.77 ± 13.87 (41.90-69.64) MCH (pg) 16.51 ± 0.87 (15.64-17.38) 18.65 ± 4.56 (14.09-23.21) MCHC (g/dL) 32.98 ± 0.62 (32.36-33.60) 33.45 ± 0.45 (33.00-33.90) 0 20 40 60 80 100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 MCV ( fL)

Kelompok MCV pada sapi perah yang terinfeksi Babesia sp.

x̄ Kelompok Kontrol (50.04) x̄ Kelompok Sampel (55.77)

(24)

10

Nilai MCH menunjukkan banyaknya hemoglobin per eritrosit yang diukur dalam pikogram. Nilai MCH selalu berkolerasi secara langsung dengan nilai MCV (Meyer dan Harvey 2004).

Gambar 5 Nilai MCH sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis.

Gambar 5 menunjukkan rata-rata nilai MCH sapi perah yang terinfeksi

Babesia sp. normal. Nilai MCH rata-rata sapi perah yang terinfeksi Babesia sp.

memiliki nilai 18.65 ± 4.56 pg. Nilai ini berada di atas nilai kontrol 16.51 ± 0.87 pg.

Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)

Menurut Meyer dan Harvey (2004), MCHC menunjukkan konsentrasi hemoglobin rata-rata dalam eritrosit dan diekspresikan dalam g/dL eritrosit. Tabel 2 menunjukkan nilai MCHC rata-rata sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. memiliki nilai 33.45 ± 0.45 g/dL. Nilai ini berada dalam kisaran normal dibandingkan dengan nilai kontrol 32.98 ± 0.62 g/dL.

Gambar 6 Nilai MCHC sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis.

Gambar 6 menunjukkan rata-rata nilai MCHC sapi perah yang terinfeksi

Babesia sp. kronis dalam kisaran normal. Menurut Stockham dan Scott (2008),

0 10 20 30 40 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 MCH ( pg )

Kelompok MCH pada sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. x̄ Kelompok Kontrol (16.51) x̄ Kelompok Sampel (18.65) 31.5 32 32.5 33 33.5 34 34.5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 MCH C ( g /dl )

Kelompok MCHC pada sapi perah yang terinfeksi Babesia sp.

x̄ Kelompok Kontrol (32.98) x̄ Kelompok Sampel (33.45)

(25)

11

infeksi akut terjadi selama 3 sampai 4 hari setelah Babesia sp. masuk ke dalam tubuh dan mengakibatkan terjadinya hemolisis intravaskular. Kondisi ini menyebabkan penurunan jumlah eritrosit yang beredar dalam pembuluh darah. Penurunan jumlah eritrosit yang beredar dalam pembuluh darah mengakibatkan kondisi anemia normositik normokromik karena diperlukan waktu bagi sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit muda. Kemudian sumsum tulang melepaskan retikulosit ke dalam pembuluh darah. Retikulosit mulai muncul dalam peredaran darah pada hari ke-4 setelah infeksi. Hal ini disebabkan oleh ukuran retikulosit normal dari eritrosit dengan konsentrasi hemoglobin yang normal. Menurut Morris (2009), nilai normal MCHC pada sapi Friesian Holstein adalah 30-36 g/dL. Kontrol maupun sampel memiliki nilai dalam batas normal. Sapi sampel mengalami penurunan eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit sehingga dapat dikatakan menyebabkan anemia normokromik. Nilai MCV dan MCHC menunjukkan bahwa sampel sapi dalam penelitian ini menyebabkan anemia normositik normokromik.

Infeksi akut Babesia sp. mengakibatkan peningkatan limfosit sebagai bentuk respon imun tubuh. Respon imun tubuh yang baik mengakibatkan Babesia sp. tidak aktif, sehingga eritrosit sapi perah yang lisis berkurang dan sapi perah mampu bertahan hidup. Babesia sp. terus berada dalam eritrosit dengan bentuk tidak aktif. Hal ini mengakibatkan infeksi berlangsung kronis. Infeksi yang berlangsung kronis menyebabkan sumsum tulang melakukan penyesuaian fisiologis dengan tidak menstimulasi pengeluaran retikulosit ke dalam peredaran darah. Hal ini menyebabkan tubuh tetap berada dalam kondisi anemia karena eritrosit yang dikeluarkan tidak dapat bekerja secara optimal akibat infestasi

Babesia sp. di dalamnya (Schalm et al. 2010).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis pada penelitian ini mengalami anemia yang ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin dan nilai hematokrit. Jenis anemia pada penelitian ini mengarah pada anemia normositik normokromik.

Saran

Saran yang diberikan dalam penelitian ini adalah perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan terhadap morfologi eritrosit dan penghitungan jumlah retikulosit pada sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis.

(26)

12

DAFTAR PUSTAKA

Atabany A, Fitriyani Y, Anggraeni A, Komala I. 2008. Milk Production and Reproduction Performance of Holstein Friesian Dairy Cattle at Cikole Dairy Breeding [internet]. [Diunduh 2014 Des 3] Tersedia pada: http://peternakan.Litbang/ deptan.go.id/eng.

Birkenheuer AJ, Levy MG, Breitschwerdt EB. 2003. Development and evaluation a seminested PCR for detection an differentiation of Babesia gibsoni (Asian Genotype) and Babesia canis DNA in canine Blood Sample. J Clin

Microbiol. 41(9):4172-4177.

Boozer AL, Macintire DK. 2005. Canine babesiosis. Vet Clin North Am Small

Anim Microbiol. 33:885-904.

Blakely J, Bade DH. 1991. Ilmu Peternakan. Ed ke- 4. Jogjakarta (ID): UGM Pr. Callow LL. 1984. Piroplasms: In Animal Health in Australia, Protozoal and

Rickettsial Diseases. Volume 5. Animal Health in Australia. Canberra (AU):

Australian Bureau of Animal Health. hlm 121-160.

Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary

Technicians. (US): Mosby Pr.

Dallas SE. 2006. Animal Biology and Care Second Edition. Philadelphia (US): Blackwell.

Despopoulos A, Silbernagl S. 2003. Color Atlas of Physiologhy. Ed ke-5. Philadelphia (US): Elsevier.

[Ditjennak]. 2007. Statistik Peternakan Indonesa Tahun 2007. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Peternakan.

Gardiner CH, Fayer R, Dubey JP. 2002. An atlas of protozoa parasites in animal tissue [internet]. [Diunduh 2014 Desember 30]. Tersedia pada:http//www.vet.uga.edu./vvp/archives/NSEP/babesia/ENG/etiologi.htm. Gerardo FQ, Stephen JL, Todd FD, Darven W, Ken EL, Robert MJ. 2009. References limits for biochemical and hematological analytes of dairy cows one week beafor and one week after parturition. J Can Vet. 50(4):383-388. Guyton AC, Hall JE. 1997. Textbook of Medical Physiology. Philadelphia (US):

WB Saunders.

Guyton AC, Hall JE. 2006. Medical Physiologi. Ed ke-11. Jakarta Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Review of medical physiology 11th edition.

Huyler MT, Kincaid RL, Dostal DF. 1999. Metabolic and yield responses of multiparous Holstein cows to prepartum rumen-undegradable protein. J

Dairy Sci. 82:527–536.

Kocan KM, Feunte JDL, Blouin EF, Coetzee JF, Swing SA. 2010. Review The natural history of Anaplasma marginale. Vet Parasitol. 167:95-107.

Levine ND. 1994. Parasitologi Veteriner. Yogyakarta (ID): UGM Pr.

McDonald SM, Bhisutthibhan J, Shapiro TA, Rogerson SJ, Taylor TE. 2001. Immune mimicry in malaria: Plasmodium falciparum secretes a functional histamine releasing factor homolog in vitro and in vivo. PNAS. 98(108):29-32.

Mbassa GK, Poulsen JSD. 1993. Reference Ranges for Hematological Value in

(27)

13

Meyer DJ, Harvey JW. 2004. Veterinary Laboratory Medicine. Interpretation and

diagnosis. Ed ke-3. Philadhelpia (US): WB Saunders.

Mohri M, Sharifi K, Eidi S. 2007. Hematological and serum biochemistry of holstein dairi calves: ages related changes and comparison with blood composition in adult. Res Vet Sci. 83:30-39.

Morris. 2009. Alterations in The Erythron in Large Animal Internal Medicine. Ed

Ke-4. Philadelphia (US): Elsevier.

Ndungu SG, Brown CGD, Dolan TT. 2005. In vivo comparison of susceptibility between Bos Indicus and Bos Taurus cattle types to Theileria parva infection. J Vet Res. 72:13-22.

Price SA, Wilson LM. 2006. Pathophysiology Clinical Concepts of Disease

Processes. Ed ke-4. Jakarta (ID): EGC.

Rustamadji B. 2004. Dairy Science I. [internet]. [Diunduh 2014 Des 12]. Tersedia pada http://sukarno.web.ugm.ac.id/index.php/.

Schalm OW, Weiss DJ, Wardrop K. 2010. Veterinary Hematology. State Avenue (US). Blackwell.

Segal. 2010. Interpretasi hasil analisa gas darah dan peranannya dalam penelian pasien-pasien kritis [internet]. [Diunduh 2014 Des 29]. Tersedia dari: http://www.scribd.com/doc/64651776/Analisa-Gas-Darah.

Sibuea WH, MM Pangabean, SP Gultom. 2009. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta (ID): PT Rineka Cipta. Hlm 72-74.

Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology. Ed ke-2. State Avenue (US): Blackwell.

Sudono A, Rosidiana RF, Setiawan BS. 2003. Beternak Sapi Perah Secara

Intensif. Bogor (ID): Agromedia Pustaka.

Triakoso N, Putri PR. 2012. Perbandingan packed cell volume darah anjing sebelum dan sesudah penyimpanan menggunakan Citrate-phosphate-dextrose. J Klin Vet. 1(1): 23-26.

Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, Jenning FW. 2003. Veterinary

Parasitology. Ed ke-2. Scotland (US): Blackwell.

Weiss DJ, Wardrop KJ. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology. State Avenue (US): Blackwell.

Wulansari R. 2002. Therapeutic effect of clindamycin on experimental infection with Babesia gibsoni and their immune responses in dogs [disertasi]. Japan (JP): Yamaghuci University.

(28)

14

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bangil, Jawa Timur pada tanggal 13 Februari 1992, anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Kapten Czi Nuryetrizal dan Ibu Siti Salwati. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Kartika, Pekanbaru pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Kec. Luak, Payakumbuh dan lulus tahun 2007. Tahun 2010 penulis lulus dari SMAN 1 Kec. Lareh Sago Halaban, Payakumbuh dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama di IPB penulis menerima beasiswa IKA FKH IPB tahun 2013-1014 dan beasiswa Paguyuban Karya Salemba Empat tahun 2014-2015.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa organisasi, yaitu Ketua Club Bahasa Jepang tahun TPB IPB 2010-2011, Komisi II Dewan Perwakilan Mahasiswa FKH IPB tahun 2011-2012, Kadiv Eksternal Himpro Ornitologi dan Unggas FKH IPB 2012-2013, An Nahl FKH IPB 2012-2013. Penulis juga pernah praktik magang Taman Marga Satwa Budaya Kinantan (TMSBK) di Bukittinggi 2011-2012, praktik magang Taman Mini Indonesia Indah 2013, Ketua pelaksana kunjungan PT. Sanbio Vaksin Bogor 2012-2013 serta praktik magang Rumah Potong Hewan Bubulak Bogor 2012-2013-2014. Selain itu penulis aktif menjadi asisten pratikum mata kuliah asisten pratikum Anatomi Topografi FKH IPB tahun 2012-2013, asisten pratikum Endoparasit FKH IPB tahun 2012-2014 serta asisten Pengelolaan Kesehatan Hewan dan Lingkungan tahun 2013-2014.

Gambar

Tabel  1  menunjukkan  rata-rata  jumlah  total  eritrosit  sapi  perah  yang  terinfeksi Babesia sp
Gambar 1 Jumlah total eritrosit sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis  Gambar  1  menunjukkan  sapi  perah  nomor  8  memiliki  jumlah  eritrosit  terendah yaitu sebesar 3.0 x 10 6 /µL
Gambar 2 Konsentrasi hemoglobin sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis.
Gambar 3 Nilai hematokrit sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. kronis.
+3

Referensi

Dokumen terkait

Siswa dapat menyiapkan bahan bahan dan alat yang akan digunakan dalam proses pembuatan aneka kerajinan dari kain

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dengan perilaku seks pranikah pada remaja di SMA

Penanaman bibit dilakukan setelah kubis disemaikan 7 hari kemudian dipindahkan pada media tanam yang telah diinokulasi dengan patogen akar gada dalam bak pembibitan

Karena itu, setiap perusahan yang akan melakukan pengembangan produk harus memiliki persiapan yang matang agar produk yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen,

Praktik Investor Relations pada perusahaan diadopsi oleh pemerintah daerah untuk menjelaskan bagaimana Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (BPMPT) Kota Surakarta

1) TITLE BAR; menampilkan judul file/ nama dokumen. 2) OFFICE BUTTON; tombol yang memuat perintah-perintah umum seperti membuka, menyimpan, menutup, dll. 3) QUICK

[r]