STUDI KARAKTER EKOLOGI NEMATODA ENTOMOPATOGEN
HETERORHABDITIS ISOLAT LOKAL MADURA
Achmad Djunaedy. Dosen Jurusan Agroekoteknologi Fak. Pertanian Unijoyo
Abstract
Biological management has an important role in the basict conept of integrated pest management. Diversity of madura local isolate of entomopathogen nematode could be emploiyed as a basict in biological mangement
This research aimed to examine the morphological characteristics of madura local isolate of entomopathogen nematode (NEP heterorhabditis) including pathogenity, telerance to temperature, humidity and pH. Complete randomized design emploiyed consisted of four treatments and three replications. Result revealed that the mortality because of Heterorhabditis at concentration of 62 IJ/m, 620 IJ/m dan 6200 IJ/m was 100%. Three isolates having high pathogenity were Geger, Kadur and Arosbaya. The pathogenity of NEP heterorhabditis at temperature and pH optimum from the lowest to the highest respectivelly were Geger (LC 50 = 2.90IJ/ml), Kadur (LC 50 = 4.25IJ/ml),and Arosbaya (LC 50 = 8.85 IJ/ml).
Key words: local isolate, Heterorhabditis, Macrotermes sp
PENDAHULUAN
Macrotermes sp. merupakan jenis
rayap yang bersarang dalam tanah, yang banyak mengandung bahan kayu yang telah mati atau membusuk, atau bahan organik lain yang mengandung sellulosa. Rayap tanah
Macrotermes sp. merupakan hama tanaman
perkebunan yang penting. Tanaman-tanaman perkebunan yang banyak diserang oleh rayap tanah ini umumnya adalah tanaman tahunan contohnya kelapa, karet, dan kelapa sawit (Nandika et al., 1999).
Ditinjau dari kerusakan yang ditimbulkan oleh rayap tanah Macrotermes sp dan Coptotermes curvignathus, rayap tanah C.
curvignathus dapat menimbulkan kematian
pada inang. Pohon yang terserang C
curvignathus tidak menunjukkan gejala awal
yang jelas kecuali pada saat pohon akan mati yang ditunjukkan oleh perubahan warna daun. Kerugian yang diakibatkan oleh serangan rayap ini sangat besar, di perkebunan kelapa sawit PT perkebunan IV Torgamba, dari 7.282 ha atau 983.740 tanaman kelapa sawit yang berumur 6-11 tahun, ditemukan sebanyak 10.674 tanaman yang terserang rayap (De chenon et al., 1993). Sedangkan rayap tanah
Macrotermes sp. serangannya tidak
menimbulkan kematian pada tanaman inang (Nandika et al., 1999).
Nematoda entomopatogen dari genus Heterorhabditidae merupakan parasit yang efisien bagi serangga-serangga yang hidup di tanah atau pada stadia tertentu hidup dalam tanah, memiliki virulensi yang tinggi terhadap inangnya, membunuh inangnya dengan cepat (24–48 jam), (Sulistyanto dan Ehlers, 1996),
dengan demikian berpotensi dimanfaatkan untuk pengendali hayati serangga hama tanaman sebagai pengganti insektisida sintetik yang telah diketahui banyak berdampak negatif, seperti resistensi, resurjensi, matinya serangga bukan sasaran (musuh alami), mencemari dan merusak lingkungan termasuk fauna penyusun struktur ekosistem.
Selanjutnya di dalam aplikasi NEP sebagai pengendali hayati tidak lepas dari faktor-faktor lingkungan (fisis) pembatasnya yang berpengaruh pada aktivitas nematoda itu sendiri, toksisitas maupun virulensinya, yaitu kelembaban, intensitas ultra violet (UV) juga temperatur. Seperti dikemukakan oleh Brown dan Gaugler (1997) bahwa pada temperatur 25oC juvenil infektif dari S. carpocapsae sudah mulai mati, demikian juga jika terjadi penurunan kelembaban relatif dari 100% menjadi 75%, dan pada suhu 25oC tersebut dapat menghambat keluarnya juvenil infektif dari ulat ngengat lilin yang telah mati.
Keadaan yang demikian ini (aplikasi entomopatogen) secara umum diperkuat oleh Maddox, (1992) banyak fakta bahwa sebagai agens hayati entomopatogen menunjukkan variasi terhadap karakter biologi maupun ekologi, seperti kekhususan inang, persistensi dalam lingkungan ataupun temperatur optimalnya.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dikebun Fakultas Pertanian dan Laboraturium Hama
dan Penyakit Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo mulai bulan Januari sampai bulan Agustus 2006.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rayap tanah Macrotermes sp. , yang ditemukan disekitar tanaman penaung (pohon sono, sawo kecik, mahoni, dan jati) di kampus Universitas Trunojoyo, nematoda entomopatogen Heterorhabditis, media bedding, media BSA, media NA,
Galleria mellonella, kertas filter, kayu randu,
alkohol 70%, air steril, dan tissue.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini paralon plastik, autoklaf, laminar
flow, inkubator, timbangan, mikroskop
binokuler, gelas arloji, pinset, jarum ose, saringan ukuran 15 µm dan 30 µm, pipet ependrof 1000 µm, cawan hitung, erlenmeyer,
orbital shaker, dan tangki semprot.
Karakteristik Nematoda Entomopatogen Penetrasi Nematoda Entomopatogen ke dalam sistem pencernaan serangga inang dimulai sejak 2 hari sampai 6 hari setelah inokulasi (Cut et al., 1993).
Mekanisme infeksi dan patogenisitas nematode entomopatogen dalam serangga inang merupakan faktor-faktor yang menunjukkan spesifikasi inang dari nematoda ini. Invasi dan evasi terhadap ketahanan inang merupakan tahapan penting dalam proses patogenik. Kemampuan nematoda untuk melakukan
penetrasi kedalam haemocoel serangga dengan pelepasan enzim proteolitik merupakan salah satu faktor spesifik dalam hubungan timbal balik nematoda-serangga. Faktor spesifik lain adalah kemampuan nematoda untuk melawan ketahanan internal serangga yang berupa senyawa antibakteri. Toksin dan enzim ekstraseluler merupakan faktor virulensi yang dilepaskan oleh nematode untuk menyerang serangga inang (Simoes et al., 1996).
a. Uji patogenesitas
Dari uji karakteristik seberapa jauh Nematoda Entomopatogen dalam kemampuannya mencari inang sehingga akan diamati tingkat mortalitasnya selama 24 jam (LC 50) dengan konsentrasi 62 IJ/ml, 620 IJ/ml, 6200 IJ/m dan diperlakukan pada serangga rayap tanah masing-masing 100 ekor di ulang 3 kali. Data mortalitas dianalisis probit.
Dari 13 isolat yang diperlakukan, diambil isolat terbaik yang paling toksik.
b. Toleransi terhadap temperatur
Suspensi NEP dengan kepadatan dari hasil uji patogenesitas diletakkan pada petridish dengan ketinggian suspensi 1 mm. Selanjutnya didedahkan pada beberapa temperatur uji yaitu 15 oC, 20 oC , 25 oC dan 30 oC selama 24 jam. Selama itu ketinggian suspensi dipertahankan dengan menambahkan larutan Ringer’s. Kemudian diamati tingkat mortalitasnya,
diulang 3 kali dan dilakukan analisa varian untuk mengetahui perbedaannya. Selanjutnya NEP yang lolos hidup dari temperatur optimal diuji patogenesitasnya (LC 50) pada 100 ekor rayap tanah dan diulang 3 kali pada konsentrasi 62 IJ/ml, 620 IJ/ml, 6200 IJ/ml. Mortalitas serangga uji yang diperoleh, kemudian dianalisa probit.
c. Toleransi terhadap kelembaban
Suspensi NEP dengan kepadatan dari hasil uji patogenesitas diletakkan pada petridish yang dialasi dengan kertas saring sampai seluruh permukaan kertas saring basah (diperoleh tingkat kelembaban 100%). Selanjutnya dikeringanginkan sampai diperoleh tingkat kelembaban uji, 90%, 80% 70%dan 60% pada suhu optimum yang diperoleh dari eksperimen b. Kemudian diamati tingkat mortalitas NEP dari masing-masing tingkat kelembaban uji, diulang 3 kali. Masing-masing perlakuan kelembaban diberikan pada 100 ekor rayap tanah.
NEP yang lolos hidup dari kelembaban uji diuji patogenesitasnya (LC 50) pada 100 ekor rayap tanah dan diulang 3 kali pada konsentrasi 62 IJ/ml, 620 IJ/ml, 6200 IJ/m. Mortalitas serangga uji yang diperoleh, kemudian dianalisa probit.
d. Toleransi terhadap pH
Suspensi NEP dengan kepadatan hasil uji patogenesitas dibuat dengan kondisi suasana pH dari asam sampai basa, yaitu 5, 6, 7, 8, 9 dan diinkubasikan selama 24 dan 28 jam, pada suhu optimum (eksperimen b.)dan pada kelembaban optimum (eksperimen c.) Kemudian diamati tingkat mortalitas NEP dari masing-masing tingkat pH, diulang 3 kali dan dilakukan analisa varian untuk mengetahui perbedaannya.
Selanjutnya NEP yang lolos hidup dari masing-masing tingkat pH ditentukan tingkat patogenitasnya (LC 50) dengan konsentrasi uji 1, 0,5, 0,25 dan 0,125 kali konsentrasi suspensi pada serangga uji G.
mellonella. Diulang 3 kali dengan
masing-masing ulangan digunakan 10 ekor serangga uji. Selanjutnya dari data mortalitas serangga uji yang diperoleh dilakukan analisa probit (Finney, 1971). Pengujian dilakukan terhadap masing-masing isolat yang diperoleh.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Nematoda Entomopatogen Uji Patogenesitas
Penetrasi Nematoda entomopatogen kedalam system pencernaan serangga inang dimulai sejak dua hari sampai enam hari setelah inokulasi. Dari penelitian yang
dilakukan pada rayap tanah, dari ketiga belas isolat yang didapat tingkat persentase mortalitas rayap tanah akibat perlakuan nematode entomopatogen seperti terlihat pada Tabel 1.
Mortalitas rayap tanah diamati akibat perlakuan Heterorhabditis menimbulkan pengaruh yang nyata pada mortalitas rayap tanah pada masing-masing konsentrasi. Mortalitas rayap tanah (Macrotermes sp.) yang ditimbulkan oleh Heterorhabditis sebesar 50 % sampai 100 % (Tabel 1).
Tabel 1, menunjukkan bahwa perlakuan 62 IJ/m memberikan perbedaan untuk masing-masing lokasi dimana pada perlakuan tersebut isolat Geger memberikan %tase tertinggi sebesar 80 %, diikuti oleh isolat kadur 70 % dan Arosbaya 75 % dan terendah Isolat Blega serta Sokobanah 50 %. Pada perlakuan 620 IJ/m memberikan perbedaan dimana Isolat Geger tingkat mortalitas 100 % diikuti kadur dan Isolat Arosbaya masing-masing 80 %. Untuk perlakuan 6200 IJ/m memberikan perbedaan yang nyata antara masing-masing isolat dimana isolat Geger memberikan tingkat mortalitas tertinggi sebanyak 100 %. Dari 13 isolat yang ada, Isolat geger menunjukkan tingkat mortalitasnya tertinggi terhadap rayap tanah pada semua perlakuan diikuti oleh isolat Arosbaya dan Kadur.
Tabel 1. Persentase mortalitas rayap tanah pada berbagai konsentrasi (IJ/ml) selama 24 jam Lokasi Persentase mortalitas rayap
62 IJ/ml 620 IJ/ml 6200 IJ/ml
Arosbaya 75 a 80 a 90 cb Geger 80 dc 100 c 100 c Galis 60 b 75 ba 85 b Kadur 70 bc 80 b 90 cb Proppo 60 b 75 ba 90 cb Blega 50 a 75 ba 90 cb Pakong 60 c 70 b 90 cb Guluk guluk 60 b 70 a 85 ba Saronggi 50 a 70 a 80 a Ambunten 60 b 70 a 90 cb Sokobanah 50 a 70 a 80 a Ketapang 55 a 70 a 80 a Sepulu 55 a 70 a 80 a
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda tidak nyata pada uji DMRT taraf 5%
LC50 NEP Heterorhabditis terhadap
serangga uji G. Melonella dapat dilihat pada Tabel 2., LC50 Isolat Geger sebesar 1.67 lebih
kecil dibandingkan isolat Kadur (2.15) maupun isolat Arosbaya (15.96), hal ini berarti bahwa isolat Geger lebih toksik dibanding isolat Kabur maupun isolat Arosbaya.
Tabel 2. LC 50 terhadap serangga uji G.
Melonella
Isolat LC 50 (IJ/ml)
Geger 1.67 Kadur 2.15 Arosbaya 15.96
Toleransi Terhadap Temperatur
Dari hasil mortalitas ke tiga tertinggi di Aplikasikan untuk perlakuan berikutnya, sehingga akan diperoleh hasil yang terbaik untuk ketiga Isolat yaitu Geger, Arosbaya dan Kadur sehingga diharapkan akan menjadi isolat yang benar toksik terhadap pengendalian rayap.
Temperatur merupakan salah satu faktor pembatas terhadap perkembangan dan daya serang NEP terhadap inangnya, sehingga perlu diuji tentang temperatur berapa NEP dapat bertahan hidup apabila di aplikasikan dilapangan nantinya. Dari hasil penelitian terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Persentase mortalitas NEP Heterorhabditis Akibat perlakuan temperatur (°C) Lokasi Persentase mortalitas NEP Heterorhabditis
10 °C 15 °C 20 °C 25 °C 30 °C Geger 100 a 100 a 40 b 20 b 37 b Arosbaya 100 a 100 a 44 ab 32 a 57 a Kadur 100 a 100 a 53 a 27 ab 55 a Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan
nilai yang berbeda tidak nyata pada uji DMRT taraf 5%
Pada Tabel 3 di atas terlihat bahwa perlakuan temperatur tidak memberikan suatu pengaruh yang nyata pada temperatur 10°C dan 15°C karena semua NEP Heterorhabditis mati semua karena suhu yang sangat dingin, seperti diketahui jenis NEP Heterorhabditis hidupnya pada suhu agak panas. Pada temperatur 20°C memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Dari ketiga isolat terlihat isolat geger tingkat mortalitasnya yang rendah 40% dan tertinggi isolat Kadur 53%. Pada suhu 25°C tingkat
mortalitasnya semakin turun dimana Isolat geger 20%, isolat pakong tertinggi 32%. Pada suhu 30°C tingkat mortalitas mengalami kenaikan untuk isolat Geger 37 terendah, tertinggi pada Isolat Arosbaya 57%. Berdasarkan hasil pengamatan Temperatur di Laboratorium suhu 25°C merupakan suhu yang ideal untuk jenis NEP Heterorhabditis. Hal ini mendekati temperatur optimum bagi perkembangan nematoda entomopatogen yaitu 23°C (Simoes dan Rosa, 1996).
Tabel. 4. Mortalitas rayap tanah pada berbagai lokasi hasil uji temperatur pada berbagai konsentrasi setelah 24 jam aplikasi
Perlakuan Persentase mortalitas rayap
62 IJ/ml 620 IJ/ml 6200 IJ/ml Geger 76.67 a 94,67 b 100 a
Kadur 74.00 a 91,67 ba 100 a Arosbaya 77.00 a 87,33 a 100 a
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda tidak nyata pada uji DMRT taraf 5% Pada Tabel 4. terlihat tingkat mortalitas pada
konsentrasi 62 IJ/ml memberikan persentase tertinggi pada lokasi Arosbaya 77.00% namun tidak berbeda yang dengan lokasi Geger dan kadur. Sebaliknya pada konsentrasi 620 IJ/ml
mortalitas tertinggi diperoleh lokasi Geger 94,67% tidak berbeda nyata dengan lokasi kadur dan berbeda nyata dengan lokasi Arosbaya. Semakin tinggi konsentrasi yaitu
sebanyak 6200 IJ/ml mengakibatkan rayap mati 100%.
LC50 terhadap serangga uji rayap tanah
Macrotermes dapat dilihat pada Tabel 5., LC50
Isolat Geger sebesar 1.13 lebih kecil dibandingkan isolat Kadur (17.0) maupun isolat Arosbaya (24.15), hal ini berarti bahwa isolat Geger lebih toksik dibanding isolat Kabur maupun isolat Arosbaya.
Tabel 5. LC 50 terhadap rayap tanah
Macrotermes pada temperatur
optimum
Isolat LC 50 (IJ/ml)
Geger 1.13 Kadur 17.00 Arosbaya 24.15
Toleransi Terhadap Kelembaban.
Aplikasi NEP dengan kepadatan dari hasil uji diletakkan pada petridisk yang dialasi dengan kertas saring sampai seluruh permukaan kertas saring basah (diperoleh tingkat kelembaban 100%). Selanjutnya dikeringanginkan sampai diperoleh tingkat kelembaban uji, 90%, 80% 70% dan 60% pada suhu optimum yang diperoleh dari hasil percobaan temperatur. Mortalitas dari masing-masing percobaan terhadap ke 3 isolat terlihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Persentase Mortalitas NEP Heterorhabditis akibat perlakuan kelembaban (rh) Lokasi Persentase Mortalitas NEP Heterorhabditis
rh=90 rh=80 rh=70 rh=60
Geger 0 a 15 a 73 a 80 a
Arosbaya 0 a 28 b 80 b 97ab Kadur 0 a 40 c 85 b 100 b Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan
nilai yang berbeda tidak nyata pada uji DMRT taraf 5%
Dari Tabel 6 di atas kelembaban merupakan faktor pembatas terhadap NEP Heterorhabditis dimana pada kelembaban 90 tingkat mortalitas 0%, semakin rendah kelembaban mortalitas semakin tinggi, dimana pada kelembaban 70
dan 60 mortalitas hampir mencapai 100%. Menurut Arik (2004) kelembaban yang rendah akan menyebabkan NEP tidak mampu untuk bergerak karena kelembaban yang teramat kering dan menimbulkan kematian bagi NEP.
Tabel. 7. Mortalitas rayap tanah pada berbagai lokasi hasil uji kelembaban pada berbagai konsentrasi setelah 24 jam aplikasi
Perlakuan Persentase mortalitas rayap
62 IJ/ml 620 IJ/ml 6200 IJ/ml Geger 81,33 c 100 b 100 b Kadur 73,33 b 83,33 a 91,67 a Arosbaya 68.00 a 83.00 a 90,33 a
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda tidak nyata pada uji DMRT taraf 5% Dari hasil uji kelembaban terhadap rayap tanah
terlihat pada Tabel 7, dimana pada uji
Heterorhabditis pada konsentrasi 62 IJ/ml,
620 IJ/ml dan 6200 IJ/ml mortalitas rayap tanah tertinggi pada Isolat Geger 81,33%, 100% dan 100% dan berbeda nyata dengan semua perlakuan. Sedangkan mortalitas yang terendah diperoleh pada Isolat Arosbaya sebesar 68.00%, 83.00% dan 90.33% dan tidak berbeda nyata dengan Isolat Kadur.
LC50 terhadap serangga uji rayap tanah
Macrotermes dapat dilihat pada Tabel 8., LC50
Isolat Geger sebesar 1.35 lebih kecil dibandingkan isolat Kadur (1.43) maupun isolat Arosbaya (3.12), hal ini berarti bahwa isolat Geger lebih toksik dibanding isolat Kabur maupun isolat Arosbaya.
Tabel 8. LC 50 terhadap rayap tanah
Macrotermes pada temperatur dan
kelembaban optimum Isolat LC 50 (IJ/ml) Geger 1.35 Kadur 1.43 Arosbaya 3.12 Toleransi Terhadap pH
Suspensi NEP dibuat dengan kondisi suasana pH dari asam sampai basa, yaitu 5, 6, 7, 8, 9 dan diinkubasikan selama 24 dan 28 jam, pada suhu optimum yang diperoleh dari eksperimen kelembaban 90 dan temperatur 250C seperti yang terlihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Persentase mortalitas NEP Heterorhabditis akibat perlakuan pH selama 24 jam. Lokasi Persentase mortalitas NEP Heterorhabditis
pH=5 pH=6 pH=7 pH=8 pH=9 Geger 100a 53a 13a 2a 18a Arosbaya 100a 70b 20b 13b 27b
Kadur 100a 46a 19b 10b 13a
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda tidak nyata pada uji DMRT taraf 5%
Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa pH memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap mortalitas NEP Heterorhabditis, dimana asam pH 5 tingkat mortalitas mencapai 100% untuk semua isolat, semakin kearah basa tingkat mortalitasnya semakin rendah. Dimana pada pH 8 tingkat mortalitas untuk masing-masing isolat terlihat bahwa Isolat Geger memberikan tingkat mortalitas terendah 2%, diikuti oleh Isolat kadur 10%, dan isolat Arosbaya mencapai 13%. Hal ini karena kondisi ini merupakan basa merupakan pH optimum bagi nematoda entomopatogen
yaitu pH=8, sehingga nematoda entomopatogen dapat bertahan dilapang (Simoes dan Rosa, 1996). Begitu pula menurut Arik (2004), tingkat mortalitas terendah yang dilakukan pada lapang pada pH 7,17.
Dari hasil uji lanjut kepada pH terhadap mortalitas rayap tanah pada Tabel 10 dimana konsentrasi 62 IJ/ml, 620 IJ/ml dan 6200 IJ/ml Isolat Geger memberikan nilai tertinggi 71,33%, 95.33 % dan 100% serta berbeda nyata dengan semua perlakuan.
Tabel.10. Persentase mortalitas rayap tanah pada berbagai lokasi hasil uji pH pada berbagai konsentrasi setelah 24 jam aplikasi
Perlakuan Persentase mortalitas rayap
62 IJ/ml 620 IJ/ml 6200 IJ/ml Geger 71.33 b 95.33 b 100 b Kadur 65.33 a 79.00 a 86.33 a Arosbaya 65.00 a 77,33 a 89.67 a
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda tidak nyata pada uji DMRT taraf 5%
LC50 terhadap serangga uji rayap tanah
Macrotermes dapat dilihat pada Tabel 11.,
LC50 Isolat Geger sebesar 2.90 lebih kecil
isolat Arosbaya (8.85), hal ini berarti bahwa isolat Geger lebih toksik dibanding isolat Kabur maupun isolat Arosbaya.
Tabel 11. LC 50 terhadap rayap tanah
Macrotermes pada temperatur,
kelembaban dan pH optimum Isolat LC 50 (IJ/ml)
Geger 2.90 Kadur 4.25 Arosbaya 8.85
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1. 3 (tiga) isolat yang mempunyai patogenesitas tinggi adalah isolat Geger, isolat Kadur dan isolat Arosbaya.
2. Patogenesitas NEP Heterorhabditis pada temperatur, kelembaban dan pH optimum dari yang tertingggi hingga terendah adalah isolat Geger (LC 50 = 2.90 IJ/ml),
isolat Kadur (LC 50 = 4.25 IJ/ml) dan
isolat Arosbaya (LC 50 = 8.85 IJ/ml).
Saran
1. Untuk mengendalikan rayap tanah
Macrotermes di lapang disarankan menggunakan Isolat Geger.
2. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal hendaknya diperhatikan metode aplikasi dan waktu aplikasi yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Aguillera, M.M., N.C. Hodge, R.E. Stall and G.C. Smart, Jr. 1993. Bacterial Symbionts of Steinernema scapterisci.
Invert. Pathol. 62: 68-72.
Akhrust, R.J. 1980. Morphological and Functional Dimorphism in
Xenorhabdus spp. Bacteria Symbiotically Associated with Insect. Pathogenic Nematodes Neoplectana and Heterorhabditis. Dalam Ehlers, R.U., S. Stoessel and V. Wyss. (eds.). The Influence of Phase Variants of
Xenorhabdus spp. And Escherichia coli (Enterobacteriaceae) on The Propagation of Entomophatogenic Nematodes of The Genera Steinernema and Heterorhabditis ?. Institute Fiir Phytopathologic. Federal Republic of Germany.
Anonymous.1997. Termite control. Web Site Dallas (Pest and Termite Control Company). USA.
Arinana. 2002. Keefektifan Nematoda Entomopatogen Steinernema spp. dan
Heterorhabditis indica Sebagai Agens
Hayati Pengendali Rayap Tanah
Coptotermes curvignathus Holmgren
(Isoptera: Rhinotermitidae). Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Boemare, N.E. Lanmond, and H. Mauleon. 1996. The Entomopathogenic Nematodes Complex, Biology, Life Cycle, and Vertebrate Safety.
Biocontrol Sci. Technol. 6 : 333 – 346.
Boemore, N.E., C. Laumond and H. Mauleon., 1996. The Entomopathogenic Nematode-Bacterium complex,
Biology Life Cycle and Verterate Safety. Biocontrol Science and Technology. 6: 227-233.
Chaerani, M., 1996. Nematoda Patogen
Serangga. Balai Penelitian
Bioteknologi Tanaman Pangan Bogor. Bogor.
De Shenon, D.A. Sipayung, R.A. Lubis dan C.K. Lim., 1993. Pertemuan teknis
Pengendalian Rayap. Pusat Penelitian
Kelapa Sawit. Medan.
Dhantarayana, W. dan I. Vitarana. 1987. Control of The Livewood Tea Termite
Glyptotermes dilatatus Using Heterorhabditis sp. (nematode)
Agricultural Ecology and Environmental.
Ehlers, R.U., S. Stoessel, and V. Wyss. 1990. The Influence of Phase Variants of
Xenorhabdus spp. And Escherichia coli (Enterobacteriaceae) on The
Propagation of Entomophatogenic Nematodes of The Genera Steinernema and Heterorhabditis. Review. Nematol. 4 : 417-424.
___________. and A. Peters. 1995. Entomopathogenic Nematodes in Biological Control : feasibility, perpectives and possible risks. Dalam Hokkanen, H.M.T. and J.M. Lynch (eds.). Biological control : benefit and
risks. Cambridge University Press,
Cambridge
Jarosz, J., 1996. Do antibiotic compound produced in vitro by Xenorhabdus
nemathopilus minimize the scondary
invasion of insect carcasses by cantaminating bacteria. Nematologyca 42: 367-377.
Kaya dan Stock. 1997. Techniques in Insect
Nematology. Departement of
Nematology, University of California USA and College of Natural Sciences
and Museum, National University of La Plata Argentina.
Kaya, H.K. dan Gaugler, R., 1993. Enthomopathogenic nematodes in Biological control. CRC Press. Boca Rabon Florida.
Kofoid, C.A. 1946. Termite and Termite
Control. Second Edition. Longmans
and Holtd. London.
Nandika, D. dan Y. Rismayadi. 1999.
Ancaman Serangan Rayap Tanah Pada Tanaman Perkebunan. PAU
Ilmu Hayat IPB. Bogor.
Nandika, D., Surjokusumo dan Y. Rismayadi. 1999. Status Bahaya Serangan Rayap pada Bangunan Gedung di Indonesia. Dalam Nandika, D., Firmanti dan T. Ismail (Eds) Seminar Nasional Pemantapan Sistem Pengendalian Rayap pada Bangunan Gedung.
Prosiding. Jakarta.
Pearce, M.J., 1997. Termites Biology and Pest
Management. CAB International .
New York.
Poinar, G.O.Jr., 1990. Nematodes for
Biological Control of Insect. CRC.
Boca Raton. Florida.
Rakhmawati, D., 1995. Prakiraan Kerugian Ekonomis Akibat Serangan Rayap pada Bangunan Perumahan di Indonesia. Skripsi Jurusan Teknologi
Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.
Bogor.
Richards, O.W. and R.G. Davies. 1996. IMMS General Textbook of Entomology Tenth Edition. Vol II. Chapman and Hall. Australia.
Rismayadi, Y. 2001. Dunia Kehidupan Rayap.
Terdapat pada :
http://www.google.com. Diakses
Roonwall, A. 1979. Termite Life and Termite Control in Tropical South Asia.
Scientific Publisher. Jodhpur.
Simoes, N. and J.R. Rose. 1996. Pathogenecity and Host Specify of Entomopathogenic Nematodes.
Biocontrol Science and Technology. 6:
403-411
Surjokusumo, S. 1992. Kerugian Pada Bangunan Akibat Serangan Rayap.
Pest Control Indonesia. Edisi 3 April
1992. Hal. 12-15
Tambunan, B. Dan D. Nandika., 1989.
Deteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis. PAU Bioteknologi IPB.
Bogor.
Taruminkeng, R.C., 1971. Biologi dan
Pengenalan Rayap Perusak Kayu di Indonesia. Laporan Lembaga
Penelitian Hasil Hutan (LPHH) No. 133. Bogor.
Taruminkeng, R.C., 1992. Biologi dan Prilaku Rayap. Pest Control Indonesia.
Bulletin IPPHMI edisi 3: 4-11.
Woodring, J.L. and H.K. Kaya., 1988. Steinernematid and Heterorhabditid Nematodes : A Hand Book of Biology
and Techniques. Southern Cooperative
Series Bulletin 331. Arkansas Agric. Experiment Station. Arkansas.