• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

11

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1. Tinjauan Literatur II.1.1. Optimalisasi

Definisi optimal yaitu tertinggi, paling baik, sempurna, terbaik, paling menguntungkan. Mengoptimalkan berarti menjadikan sempurna, menjadikan paling tinggi, menjadikan paling maksimal. Optimalisasi sendiri didefinisikan sebagai pengoptimalan (Tim Reality, 2008). Menurut kamus besar bahasa Indonesia (2005), pengoptimalan merupakan proses, cara, perbuatan mengoptimalkan. Maka, dapat disimpulkan optimalisasi adalah proses ataupun cara menjadikan sempurna, menjadikan paling tinggi, atau menjadikan paling maksimal.

II.1.2. Soft Skill dan Hard Skill

Pada dasarnya soft skills merupakan keterampilan personal yaitu keterampilan khusus yang bersifat nonteknis, tidak berwujud, dan kepribadian yang menentukan kekuatan seseorang sebagai pemimpin, pendengar (yang baik), negosiator, dan mediator konflik. Sedangkan hard skill bersifat teknis dan biasanya sekedar tertulis pada biodata atau CV seseorang yang mencakup pendidikan, pengalaman, dan tingkat keahlian (teknis). Soft Skills dapat pula dikatakan sebagai keterampilan interpersonal seperti kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama dalam sebuah kelompok (Hermana, 2008).

(2)

12 II.1.3. Konsep Membangun Tim Yang Efektif

II.1.3.1. Kelompok vs Tim

Kelompok berbeda dengan tim. Kelompok dapat diartikan sebagai dua individu atau lebih, yang berinteraksi dan saling bergantung (interdependent), yang bergabung untuk mencapai tujuan tertentu. Kelompok yang berinteraksi terutama bertujuan untuk berbagi informasi dan mengambil keputusan agar bisa membantu tiap anggota berkinerja dalam bidang sesuai tanggung jawab masing-masing disebut kelompok kerja. Kelompok kerja tidak memerlukan atau tidak mempunyai kesempatan untuk terlibat dalam kerja kolektif yang menuntut upaya gabungan. Jadi, kinerja mereka hanya merupakan penggabungan dari kinerja masing-masing anggota kelompok. Tidak terdapat sinergi positif yang akan menciptakan tingkat kinerja yang lebih besar daripada jumlah input. Sementara tim kerja yaitu kelompok dimana individu dapat menghasilkan tingkat kinerja yang lebih besar daripada jumlah masukan individu tersebut (Robbins, 2006).

Kelompok memang belum tentu tim, namun tim sudah pasti merupakan suatu kelompok. Maka, keberhasilan kelompok dapat diraih apabila kelompok tersebut menjadi satu kesatuan yang lebih produktif yang disebut tim. Maddux (2001) membedakan kelompok dengan tim sebagai berikut:

a. Kelompok

• Anggota menganggap pengelompokan mereka hanya untuk suatu kepentingan administratif. Individu bekerja sendiri, yang terkadang tujuannya berbeda dengan tujuan anggota lain.

• Anggota lebih memperhatikan diri sendiri karena tidak cukup dilibatkan dalam penetapan rencana tujuan unit. Pendekatan kerja mereka hanya sebagai tenaga bayaran.

(3)

13 • Anggota hanya diperintah untuk mengerjakan pekerjaan dan bukan

dimintai saran mengenai pendekatan terbaik untuk pencapaian sasaran. Mereka tidak didorong untuk mengajukan saran.

• Anggota tidak memahami peran anggota lainnya sehingga mereka tidak percaya pada motif rekan kerjanya. Ketika ada anggota menyatakan pendapat atau ketidaksetujuan maka tindakan tersebut dianggap sebagai upaya memecah belah dan tidak mendukung.

• Anggota kelompok sangat berhati-hati dalam mengemukakan pendapat karena rasa saling memahami mustahil terjadi.

• Anggota mungkin menerima berbagai pelatihan yang cukup, namun penerapannya pada pekerjaan dibatasi oleh supervisor atau anggota kelompok lainnya.

• Anggota tidak tahu cara penyelesaian masalah ketika berada dalam situasi konflik. Supervisor mungkin tidak akan terlibat sampai situasi memburuk.

• Anggota tidak didorong untuk ikut mengambil keputusan yang mempengaruhi kelompok. Konfirmasi lebih diutamakan daripada hasil yang positif.

b. Tim

• Anggota sadar akan adanya ketergantungan satu sama lain dan memahami bahwa sasaran pribadi maupun tim paling baik dicapai dengan cara saling mendukung. Waktu tidak terbuang percuma akibat saling

(4)

14 melanggar batas pekerjaan, atau mencari keuntungan pribadi di atas kerugian anggota lain.

• Karena anggota memiliki komitmen terhadap sasaran yang akan dicapai maka mereka merasa ikut memiliki pekerjaan dan unitnya.

• Anggota memiliki kontribusi atas keberhasilan organisasi dengan menerapkan bakat dan pengetahuan yang unik terhadap tujuan tim.

• Anggota bekerja dalam suasana saling percaya dan didorong untuk mengungkapkan ide, pendapat, ketidaksetujuan dan mencetuskan perasaan secara terbuka. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul akan disambut dengan baik.

• Anggota menjalankan komunikasi dengan tulus. Mereka berupaya memahami sudut pandang anggota lainnya.

• Para anggota didorong untuk selalu mengembangkan keterampilan dan menerapkan hasil latihan pada pekerjaan. Mereka menerima dukungan dari tim.

• Anggota menyadari bahwa konflik yang ada merupakan situasi yang wajar dalam hubungan antarmanusia, namun mereka memandangnya sebagai suatu kesempatan untuk mengembangkan ide dan kreativitas baru. Konflik diselesaikan dengan cepat dan konstruktif.

• Anggota berpartisipasi dalam mengambil keputusan yang mempengaruhi tim. Namun, ketika tim tidak mencapai kesepakatan atau apabila terjadi situasi darurat, mereka paham bahwa pemimpin mereka harus membuat

(5)

15 keputusan final. Tujuannya untuk mendapatkan hasil yang positif, bukan konfirmasi.

II.1.3.2. Teamwork

Kumpulan individu yang bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan dapat didefinisikan sebagai teamwork. Kumpulan individu tersebut memiliki suatu aturan, mekanisme kerja yang jelas serta saling tergantung antara satu dengan yang lain. Maka, sekumpulan orang yang bekerja dalam satu ruangan belum tentu merupakan sebuah teamwork, walaupun mereka berada dalam satu proyek yang sama. Terlebih lagi jika kelompok tersebut dikelola secara otoriter, timbul faksi-faksi di dalamnya, dan interaksi antar anggota kelompok menjadi minim.

Dua isu yang muncul ketika seseorang bekerja di dalam kelompok (tim) yaitu pertama, adanya tugas-tugas (task) dan masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan pekerjaan, serta yang kedua adalah proses yang terjadi di dalam teamwork itu sendiri, misalnya bagaimana mekanisme kerja atau aturan main sebuah tim sebagai suatu unit kerja dari perusahaan, proses interaksi di dalam tim, dan lain-lain. Dapat juga dikatakan bahwa proses menunjuk pada semangat kerjasama, koordinasi, prosedur yang harus dilakukan dan disepakati seluruh anggota, dan hal lainnya yang berguna untuk menjaga keharmonisan hubungan antar individu dalam kelompok itu. Jika tidak memperhatikan proses maka sebuah teamwork tidak akan memiliki nilai bagi perusahaan dan hanya akan menjadi sumber masalah bagi perusahaan dalam pembentukan sebuah teamwork. Sebaliknya, keberadaan proses tersebut dalam sekumpulan orang yang bekerjasama dapat meningkatkan performance karena mereka akan mendapat dukungan secara teknis maupun moral (Papu, 2004).

(6)

16 II.1.3.3. Mengapa Teamwork Diperlukan

Menurut informasi yang didapat dari Active Transformation (2007), kerja tim merupakan sarana penggabungan berbagai talenta dan dapat memberikan solusi inovatif suatu pendekatan yang mapan. Selain itu, beraneka ragamnya keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh anggota kelompok dapat memberi keunggulan yang lebih besar dibandingkan kerja seorang individu yang brilian sekalipun. Sebuah tim merupakan suatu unit yang mengatur dirinya sendiri. Rentangan keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki anggota dan pengawasan diri yang diperlihatkan oleh masing-masing tim memungkinkan untuk diberikan suatu tugas dan tanggung jawab.

Melibatkan tim akan lebih memberikan keuntungan walaupun sebenarnya masalah yang muncul masih dapat diputuskan oleh satu orang saja. Keuntungan tersebut yaitu keputusan yang dibuat secara bersama-sama akan meningkatkan motivasi tim dalam pelaksanaannya dan keputusan bersama akan lebih mudah dipahami oleh tim dibandingkan jika hanya mengandalkan keputusan dari satu orang saja. Dilihat dari perspektif individu, masuknya seseorang ke dalam suatu kelompok (tim) akan menambah semangat juang/motivasi untuk mencapai suatu prestasi yang mungkin tidak akan pernah dapat dicapai seorang diri oleh individu tersebut. Hal ini dikarenakan tim mendorong setiap anggotanya untuk memiliki wewenang dan tanggung jawab sehingga meningkatkan harga diri setiap orang.

II.1.3.4. Ciri-Ciri Tim Efektif

Manchester Open Learning Staff (1993) dalam publikasinya yang berjudul Achieving Goals Through Team Work, mengemukakan tentang ciri-ciri tim yang efektif yaitu:

(7)

17 • Tim merupakan kumpulan orang yang bekerjasama untuk tujuan tertentu, demi

mencapai sasaran-sasaran yang jelas dengan diketahui oleh semua anggota tim dalam suasana saling percaya, penuh percaya diri, dan mengutamakan unjuk kerja.

• Anggota kelompok bersedia menerima berbagai perbedaan, sumbangan pemikiran serta masing-masing individu memiliki peran yang berbeda-beda. • Pemecahan masalah dilaksanakan secara positif tanpa melibatkan kebencian

individu.

• Para anggota dan pimpinan bersedia berbagi ilmu, pengetahuan, informasi, dan keterampilan agar seluruh tim memiliki kemampuan yang sama, sehingga tidak terjadi penonjolan pribadi.

• Jika terjadi perbedaan pendapat, mereka akan duduk bersama untuk memecahkan permasalahan yang ada dengan kepala dingin dan terbuka.

• Terdapat pembagian dan pendelegasian tanggung jawab. Orang-orang bekerja secara mandiri tetapi tetap dalam kerangka kerjasama.

• Saran untuk memperbaiki kinerja organisasi diterima dengan baik walaupun berasal dari anggota tim yang lain.

• Seluruh anggota tim tidak ragu-ragu mengambil inisiatif dan tindakan yang diperlukan, tanpa merasa cemas akan suara yang berbeda pendapat.

II.1.3.5. Kriteria Tim Yang Efektif

Kriteria sebuah tim yang efektif menurut Lasahido (2008) adalah sebagai berikut:

(8)

18 • Small Size (jumlah ideal maksimum 10 orang)

• Complementary Competencies (3 kompetensi dasar: attitude (sikap dan perilaku), knowledge (pengetahuan), skills (keterampilan problem solving dan decision making))

• Commonsence (memiliki visi dan tujuan umum yang mampu memberikan arah serta komitmen anggota tim)

• Special Goals (menerjemahkan visi dan tujuan umum ke dalam target-target spesifik, terukur, dan realistik)

• Common Approach (kesepakatan akan pola serta pendekatan dalam mencapai sasaran)

• Mutual Accountability (tim memiliki tanggung jawab baik secara individu maupun kelompok).

II.1.3.6. Manfaat Membangun Tim Yang Efektif

Maddux (2001) dalam bukunya Team Building, mengatakan bahwa manfaat membangun tim yang efektif adalah sebagai berikut:

• sasaran yang realistis ditentukan dan dapat dicapai secara optimal,

• anggota tim dan pemimpin tim memiliki komitmen untuk saling mendukung satu sama lain agar tim berhasil,

• anggota tim memahami prioritas anggota lainnya, dapat saling membantu satu sama lain,

(9)

19 • komunikasi bersifat terbuka, diskusi cara kerja baru atau memperbaiki kinerja

lebih berjalan secara baik, karena anggota tim terdorong untuk lebih memikirkan permasalahannya,

• pemecahan masalah lebih efektif karena kemampuan tim lebih memadai,

• umpan balik kinerja lebih memadai karena anggota tim mengetahui apa yang diharapkan dan dapat membandingkan kinerja mereka terhadap sasaran tim, • konflik diterima sebagai hal yang wajar dan dianggap sebagai kesempatan untuk

menyelesaikan masalah, melalui diskusi tersebut konflik bisa diselesaikan secara maksimal,

• keseimbangan tercapainya produktivitas tim dengan pemenuhan kebutuhan pribadi,

• tim dihargai atas hasil yang sangat baik dan setiap anggota dipuji atas kontribusi pribadinya,

• anggota kelompok termotivasi untuk mengeluarkan ide-idenya dan mengujinya serta menularkan dan mengembangkan potensi dirinya secara maksimal,

• anggota kelompok menyadari pentingnya disiplin sebagai kebiasaan kerja dan menyesuaikan perilakunya untuk mencapai standar kelompok.

Maka, dapat disimpulkan bahwa lebih banyak keuntungan yang dapat diperoleh jika bekerja dalam tim dibandingkan dengan bekerja secara individu. Oleh karena itu, jika ingin hasilnya lebih maksimal disarankan untuk bekerja dalam tim. Tim sangat penting dalam mewujudkan kinerja organisasi. Hal ini menyebabkan dalam kehidupan sehari-hari banyak dibentuk tim, terlepas apakah tim tersebut efektif atau kurang efektif.

(10)

20 II.1.4. Kerjasama Membangun Tim Yang Efektif

II.1.4.1. Pengertian dan Unsur-Unsur Tim Yang Dinamis

Menurut Lasahido (2008), ada tim yang dapat mencapai suatu prestasi yang tinggi, tetapi juga ada yang hanya bertahan beberapa hari saja. Agar mampu berperan sebagai tim yang dinamis, diperlukan suatu usaha yang maksimal. Tim yang dinamis merupakan tim yang memiliki kinerja yang sangat tinggi, yang dapat memanfaatkan segala energi yang dimiliki tim tersebut untuk menghasilkan sesuatu yang mempunyai nilai. Tim dinamis merupakan tim yang penuh dengan rasa percaya diri, yang anggotanya menyadari kekuatan dan kelemahannya untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan bersama.

Dalam buku Membangun Tim Yang Dinamis karya Richard Y. Chang (1999), tim yang dinamis memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

• Jelas visi dan tujuannya

Visi merupakan gambaran akan datang yang merupakan cita-cita. Visi tersebut digambarkan dalam bentuk misi. Misi tersebut harus mampu dijelaskan ke dalam tujuan-tujuan tim baik tujuan jangka pendek maupun jangka panjang oleh suatu organisasi atau tim yang dinamis. Tanpa tujuan yang jelas, sebuah tim tidak akan mengetahui arah yang hendak dituju. Tujuan dan sasaran ini harus sungguh-sungguh dipahami oleh seluruh anggota tim karena hal ini akan meningkatkan komitmen di antara mereka. Pemimpin yang dinamis harus dapat memastikan bahwa semua anggota kelompok ikut serta dalam perumusan tujuan tim.

• Beroperasi secara kreatif

Tim sangat kreatif dan dinamis dengan memperhitungkan risiko yang ada dan selalu mencoba cara berbeda dalam melakukan sesuatu. Mereka tidak takut pada

(11)

21 kegagalan yang mungkin dihadapi dan selalu mencari peluang untuk mengimplementasikan teknik yang baru, mereka bersikap luwes dan kreatif dalam memecahkan setiap permasalahan.

• Fokus pada hasil

Tim yang dinamis mampu menghasilkan lampauan kemampuan jumlah individu yang menjadi anggotanya. Para anggota tim secara terus menerus memenuhi komitmen waktu, anggaran, produktivitas, dan mutu produktivitas optimal yang merupakan tujuan bersama.

• Memperjelas peran dan tanggung jawab

Peran dan tanggung jawab anggota tim jelas. Setiap anggota tim mengetahui dengan jelas apa yang diharapkan dari timnya dan mengetahui dengan jelas peran rekannya dalam tim. Tim yang dinamis selalu memperbaharui peran dan tanggung jawab anggotanya sesuai dengan perubahan tuntutan, sasaran, dan teknologi.

• Diorganisasikan dengan baik

Tim yang dinamis menjalankan fungsi-fungsi manajemen dengan baik, menetapkan prosedur serta kebijakan dengan jelas. Tim juga menginventarisir jenis keterampilan yang dimiliki oleh para anggota timnya.

• Dibangun di atas kekuatan individu

Pimpinan tim memahami betul kekuatan dan kelemahan anggota timnya karena kompetensi individu sangat diperhatikan. Maka, program pembinaan sangat diharapkan. Pimpinan tim sangat memperhatikan pemberdayaan timnya sehingga dalam proses pemberdayaan disesuaikan dengan kompetensi anggota tim.

(12)

22 • Saling mendukung

Dalam tim yang dinamis, kepemimpinan dibagi di antara para anggotanya, dalam hal ini tidak ada pimpinan yang mutlak. Setiap anggota tim mempunyai peluang yang sama untuk menjadi pimpinan tim. Walaupun demikian, peran supervisor masih dianggap ada dan dalam tim yang dinamis menghargai keunikan setiap individu.

• Mengembangkan sinergi tim

Tim yang berkinerja tinggi memiliki anggota yang secara antusias dan sungguh-sungguh bekerja secara bersama dengan tingkat keterlibatan dan energi kelompok yang tinggi (bersinergi).

• Menyelesaikan kesepakatan

Dalam setiap tim akan terjadi perbedaan persepsi dan ketidaksepakatan. Tim yang dinamis menganggap bahwa konflik merupakan suatu wahana untuk hal-hal yang lebih positif. Semua konflik yang terjadi akan diselesaikan dengan pendekatan secara terbuka dengan teknik kolaborasi.

• Berkomunikasi secara terbuka

Pembicaraan dilakukan secara asersi yaitu bicara yang lugas, jujur tetapi tidak melukai pihak lain. Masing-masing anggota kelompok saling memberi dan menerima saran dari anggota kelompok yang lain, komunikasi dilakukan secara timbal balik dan untuk kepentingan bersama.

• Membuat keputusan secara objektif

Pendekatan yang mantap dan proaktif digunakan dalam memecahkan masalah. Pencapaian keputusan diperoleh melalui konsensus, setiap anggota kelompok

(13)

23 bersedia dan mendukung keputusan tersebut, anggota kelompok bebas mengeluarkan pendapat dan ide-idenya serta mendukung rencana yang telah ditetapkan.

• Mengevaluasi efektivitas sendiri

Evaluasi dilaksanakan secara terus menerus untuk melihat bagaimana pelaksanaan rencana selama ini. Penyempurnaan dilaksanakan secara berkelanjutan dan manajemen proaktif. Jika muncul masalah kinerja, mereka bisa segera memecahkannya sebelum menjadi permasalahan yang lebih serius.

II.1.4.2. Tahapan Perkembangan Tim

Menurut informasi yang diperoleh dari Active Transformation (2007), teori Bruce W. Tuckman (1960) mengemukakan tahapan perkembangan tim yang antara lain dibagi menjadi:

• Forming (pencairan bentuk)

Pada tahap ini, para anggota setuju untuk bergabung dalam sebuah tim. Setiap orang membawa nilai-nilai, pendapat, dan cara kerja masing-masing karena kelompok baru saja terbentuk. Konflik sangat jarang terjadi karena setiap orang masih sungkan, malu-malu, bahkan seringkali ada anggota yang merasa gugup. Kelompok biasanya belum dapat memilih pemimpin (kecuali tim yang sudah dipilih ketua kelompoknya terlebih dahulu).

• Storming (mencari jati diri tim)

Kekacauan mulai timbul di dalam tim pada tahap ini. Pemimpin yang telah dipilih seringkali dipertanyakan kemampuannya dan anggota kelompok tidak

(14)

24 ragu-ragu untuk mengganti pemimpin yang dinilai tidak mampu. Faksi-faksi sudah mulai terbentuk, terjadi pertentangan karena berbagai masalah pribadi, dan semua tidak mau kalah dengan pendapat masing-masing. Sedikitnya komunikasi yang terjadi dikarenakan masing-masing orang tidak mau lagi menjadi pendengar dan sebagian lagi tidak mau berbicara secara terbuka.

• Norming

Pada tahap norming, individu-individu dan sub group yang ada dalam tim mulai merasakan keuntungan bekerja bersama dan berjuang untuk menghindari tim tersebut dari kehancuran (bubar). Setiap anggota mulai merasa bebas mengungkapkan perasaan dan pendapatnya pada seluruh anggota tim karena semangat kerjasama sudah mulai timbul. Selain itu, semua orang mulai mau menjadi pendengar yang baik. Seluruh anggota menetapkan dan menaati mekanisme kerja dan aturan-aturan main.

• Performing (tim mulai menunjukkan kinerja)

Tahapan performing merupakan titik kulminasi dimana tim telah berhasil membangun sistem yang memungkinkannya untuk dapat bekerja secara produktif dan efisien. Pada tahapan ini pula, keberhasilan tim akan terlihat dari prestasi yang ditunjukkan.

Pada tahun 1997, Tuckman menambahkan tahapan pembentukan tim yang kelima adalah adjourning. Ini merupakan tahapan membubarkan diri sebuah tim. Penelitian ini selanjutnya hanya akan menggunakan 4 tahapan utama pembentukan tim karena penelitian ini hanya akan mengamati berada di tahapan mana tim-tim yang terbentuk dan tidak mengamati proses pembubaran tim.

(15)

25 II.1.4.3. Keterampilan Yang Diperlukan Dalam Teamwork

Sesuai dengan informasi yang didapat dari Active Transformation (2007), dua keterampilan utama yang seharusnya dimiliki oleh anggota sebuah teamwork, yaitu:

• Keterampilan managerial (managerial skill)

Keterampilan ini mencakup kemampuan dalam membuat rencana kerja, menentukan tujuan, memantau kinerja, memonitor perkembangan dan memastikan pekerjaan telah dilakukan secara benar, dan lain-lain.

• Keterampilan interpersonal (interpersonal skill)

Yang termasuk dalam keterampilan ini adalah kemampuan berkomunikasi, saling menghargai pendapat orang lain, dan kemampuan menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain.

II.1.4.4. Membangun Kebersamaan Tim

Lasahido (2008) berpendapat bahwa apabila para anggota tim mampu membangun rasa kebersamaan secara efektif maka tahapan dalam membangun tim akan berjalan dengan baik. Maka, anggota kelompok harus mampu menerima keragaman anggota tim. Tim akan efektif jika dibangun berdasarkan kebersamaan, tidak memandang pangkat, suku dan golongan, menunjukkan rasa saling percaya, saling menghargai, dan dilandasi oleh keterbukaan. Oleh karena itu, tim harus memiliki karakteristik yang berorientasi pada:

a. Orientasi opini

• Berlawanan dengan orang yang bersifat dogmatis, akan mengarahkan pada tindakan tidak mengutuk orang lain.

(16)

26 • Memperkenalkan gagasan tidak dengan mengusulkan atau bahkan

mengisyaratkan agar orang lain memberi posisi istimewa pada gagasannya.

• Bukan berorientasi pada gagasan perorangan melainkan saling meminta ide dari anggota kelompok yang lain.

• Fokusnya tidak hanya pada idenya sendiri, tetapi menginvestasikan pendapat orang lain.

b. Orientasi persamaan

• Orientasi anggota tim pada persamaan melihat keragaman sebagai suatu keunggulan, perbedaan yang dimiliki dapat digunakan untuk mengecek setiap sisi, sudut, puncak, dan dasar suatu masalah.

• Mengandalkan pada semua anggota.

• Kepercayaan kepada anggota tim meningkatkan produktivitas. c. Orientasi tujuan

• Anggota kelompok yang berorientasi pada tujuan kelompok, kecil kemungkinan akan konflik disebabkan oleh keunikan masing-masing kelompok.

• Keseluruhan anggota tim berorientasi pada tujuan yang sama.

• Angggota tim mengakui bahwa masing-masing anggota tim memiliki tujuan dan kemungkinan tujuan tersebut bertentangan dengan tujuan tim. • Keunikan anggota kelompok yang muncul segera dapat diatasi, tidak

(17)

27 II.1.4.5. Tim Yang Dinamis

Menurut Chang (1999), suatu tim yang dinamis memerlukan perencanaan yang strategis, pelaksanaan yang sistematis, serta kinerja yang optimal, dengan beberapa tahapan, yaitu:

• Menetapkan arah (drive)

Pada tahap ini, tim harus fokus pada misinya dan membuat garis besar strategi yang akan ditempuh, menetapkan tujuan, prioritas, dan prosedur kerja, serta peraturan bagi tim.

• Bergerak (strive)

Tahap ini, peran dan tanggung jawab anggota tim ditetapkan dengan jelas dan beberapa kendala akan dihadapi dengan penuh bijaksana bersama dengan seluruh anggota tim, sehingga seluruh permasalahan dapat dihadapi dengan arif dan bijaksana.

• Mempercepat gerak (thrive)

Sementara itu, pada tahap ini dimungkinkan untuk meningkatkan produktivitas secara maksimal, dalam memecahkan masalah menggunakan umpan balik dari sesama anggota, manajemen konflik, kerjasama, dan pembuatan keputusan yang efektif. Penguasaan terhadap wilayah secara cepat dan efektif dengan daya tahan yang tangguh.

• Sampai (arrive)

Melalui kekompakkan tim dalam bekerjasama, tim akan mencapai puncak dengan mengatasi semua kendala yang pada akhirnya mencapai prestasi kerja yang tinggi. Tetapi, apabila dalam tahapan ini belum mencapai puncak, idealnya

(18)

28 adalah melihat kembali tim dengan melakukan konsolidasi internal, sekaligus menelaah kembali sasaran-sasaran yang telah ada, apakah masih relevan atau tidak.

II.1.4.6. Klasifikasi tim

Menurut Lasahido (2008), tim dibedakan menjadi: 1. Tim rapuh

Commitment : belum terbentuk, baik sub tim maupun tim

Trust : masih meraba-raba dan mencari teman yang cocok Mission : masih mencari atau menemukan bentuk kerangka

kerja

Communication : lebih banyak untuk menahan diri tidak terlalu agresif

Involvement : masih taraf penjajakan

Process : belum ada pembakuan yang diberlakukan

2. Tim rentan

Commitment : mulai terbentuk, baru tingkat sub tim belum tim Trust : mulai memilih teman yang cocok, tidak cocok, atau

netral

Mission : mulai mengembangkan kerangka kerja, masih perlu bimbingan dan arahan

(19)

29 Involvement : mulai terjadi dominasi oleh sebagian anggota

Process : pembakuan mulai berlaku, masih agak asing belum nyaman

3. Tim mapan

Commitment : sudah terbentuk, semua bertekad untuk mewujudkan misi

Trust : sudah lebih meluas, banyak diwarnai pengalaman kerja kelompok dalam tim

Mission : sudah ditemukan fokus kegiatan dan kinerja untuk mewujudkannya

Communication : didasarkan atas kebutuhan tugas, mulai mencari mitra di luar tim

Involvement : sudah mapan, semua anggota merasa terlibat penuh Process : sudah lancar, sudah menjadi ”gaya” dari tim

bersangkutan

4. Tim matang

Commitment : sudah meluas ke tingkat organisasi

Trust : sangat terbuka, memungkinkan anggota baru cepat Mission : mulai luwes terhadap perubahan dan tantangan, tim

siap berinovasi

(20)

30 jarang

Involvement : sudah konstan, yang tidak terkait mulai ikut terlibat, kepemimpinan muncul secara otomatis

Process : penghalusan dan peningkatan mutu sudah jadi kebutuhan alami

5. Tim efektif

Commitment : memiliki komitmen yang tinggi Trust : saling percaya satu sama lain

Mission : sepenuhnya memahami maksud dan tujuan pembentukan tim

Communication : mampu bertindak sebagai komunikator di dalam tim maupun kepada pihak lain

Involvement : menjamin keterlibatan satu sama lain di dalam pengambilan keputusan bersama

Process : menaati proses kegiatan yang telah disepakati bersama

II.1.4.7. Membentuk Tim Yang Efektif

Robbins (2006) berpendapat bahwa komponen-komponen penting yang menciptakan tim yang efektif dapat digolongkan ke dalam 4 kategori umum:

(21)

31 Variabel-variabel seperti kebebasan dan otonomi, kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan bakat yang berbeda, kemampuan untuk menyelesaikan seluruh tugas atau produk yang dapat diidentifikasi, dan mengerjakan tugas atau proyek yang mempunyai dampak besar pada yang lain, merupakan beberapa kategori suatu rancangan kerja. Karakteristik rancangan kerja ini menimbulkan suatu motivasi karena meningkatkan rasa tanggung jawab anggota dan kepemilikan atas pekerjaan dan karena membuat pekerjaan menjadi lebih menarik untuk dilaksanakan.

• Komposisi tim

Yang termasuk dalam kategori ini adalah segala variabel yang berkaitan dengan cara pengisian staf ke dalam tim. Dan yang patut diperhatikan yaitu kemampuan dan kepribadian anggota tim, pengalokasian peran dan keanekaragaman, ukuran tim, keluwesan anggota, dan lebih kesukaan anggota terhadap kerja tim.

• Sumber dan pengaruh kontekstual lain yang membuat tim menjadi efektif

Faktor konteks yang paling erat berhubungan dengan kinerja tim yaitu keberadaan sumber daya yang memadai, kepemimpinan yang efektif, iklim kepercayaan, dan evaluasi kinerja serta sistem imbalan yang mencerminkan kontribusi tim.

• Variabel proses yang mencerminkan sesuatu yang terjadi dalam tim yang mempengaruhi efektivitas.

Kategori ini mencakup komitmen anggota terhadap tujuan bersama, penetapan tujuan tim yang spesifik, kehebatan tim, tingkat konflik yang dikelola, dan minimalisasi kemalasan sosial.

(22)

32 Robbins (2006) juga menjelaskan bahwa kepuasan kerja merupakan salah satu variabel yang harus diperhatikan untuk menciptakan tim yang efektif. Kepuasan kerja merupakan sikap umum individu terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja ini akan berhubungan dengan produktivitas, keabsenan, dan pengunduran diri. Cara karyawan mengungkapkan ketidakpuasan antara lain:

• Keluar: Perilaku diarahkan ke meninggalkan organisasi, yang meliputi posisi baru sekaligus mengundurkan diri.

• Suara: Secara aktif dan konstruktif berusaha memperbaiki kondisi, yang mencakup pemberian saran perbaikan, mengkomunikasikan masalah dengan atasan, dan sebagian bentuk kegiatan perserikatan.

• Kesetiaan: Secara pasif tetapi tetap optimis menunggu perbaikan kondisi, yang meliputi tindakan membela organisasi dari kritikan eksternal dan mempercayai organisasi dan manajemennya untuk ” melakukan hal yang benar ”.

• Pengabaian: Secara pasif membiarkan keadaan semakin buruk, yang mencakup keabsenan atau keterlambatan kronis, penurunan usaha, dan peningkatan tingkat kesalahan.

II.2. Penelitian Terdahulu

II.2.1. McGrath’s Model of Group Effectiveness II.2.1.1. Tahap Input

McGrath’s model pada tahap inputnya menekankan pada kualitas dari berbagai input yang akan dimasukkan ke dalam tim. Faktor-faktor yang berhubungan dengan individu, kelompok dan lingkungan merupakan cakupan tahap input.

(23)

33 A. Individual-level factors

Faktor-faktor yang terdapat pada level ini antara lain terdiri dari keahlian/kemampuan, sikap dan ciri kepribadian anggota.

• Keahlian/ Kemampuan Anggota

Keahlian dan kemampuan yang dimiliki oleh tiap anggota merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk tim agar antar anggota memiliki rasa saling ketergantungan dalam menyelesaikan hasil. McClough dan Rogelberg (2003) berpendapat bahwa KSA test (teamwork knowledge, skill and ability test) adalah instrumen yang sangat valid untuk mengukur keahlian dan kemampuan anggota guna membentuk sebuah tim. Namun, test ini tidak praktis dan cukup mahal untuk dilaksanakan. Maka, untuk mengukur keahlian dan kemampuan mahasiswa, indeks prestasi kumulatiflah (IPK) yang paling efektif digunakan. Danko, Duke, dan Franz (1992) menguatkan pernyataan ini karena menurutnya IPK merupakan prediktor kemampuan mahasiswa yang paling signifikan. Grudnitski (1997) juga beranggapan bahwa IPK dapat dipakai sebagai alat yang paling cocok untuk mengetahui tingkat keberagaman kemampuan mahasiswa di temu kelas pertama.

• Sikap dan Ciri Kepribadian Anggota

Kepribadian terkait dengan sikap, sifat, maupun perilaku bawaan dalam diri seseorang. Menurut Barrick dan Mount (1991), terdapat korelasi yang sangat tinggi antara kepribadian seseorang dengan efektivitas kerja. Efektivitas kelompok sangat dipengaruhi oleh rasa suka atau tidak suka seseorang bekerja dalam sebuah kelompok. Champion,

(24)

34 Medsker, dan Higgs (1993) juga meyakini hal tersebut. Mereka menyatakan bahwa jika seseorang kurang suka bekerja dalam kelompok, maka kinerja kelompok tersebut juga akan rendah. Robbins (1997) pun membenarkan pendapat itu dengan meyakini bahwa individu-individu yang dipilih dalam sebuah tim, sebaiknya dipilih berdasarkan kepribadian mereka agar tim yang tercipta terdiri dari individu-individu yang beragam.

B. Group-level factor

Pada tingkat grup, faktor-faktornya meliputi struktur, kepaduan, dan ukuran kelompok.

• Struktur

Koppenhaver dan Shrader (2003) kurang setuju jika mahasiswa dibiarkan mengorganisir kelompoknya sendiri karena hal tersebut dapat memberikan risiko yang besar dalam penyelesaian hasil. Anggotanya diyakini akan terdiri dari orang-orang yang memiliki keahlian yang relatif sama sehingga kurang baik dalam menyelesaikan masalah yang komplek. Menurut Colbeck, Campbell, dan Bjorklund (2000), mahasiswa cenderung akan memilih anggota yang sama dari semester ke semester apabila mereka dibiarkan mengorganisir kelompoknya sendiri, sehingga kesempatan mereka bekerja dengan anggota yang berbeda akan berkurang. Bryant dan Albring (2006) menegaskan kembali pendapat Colbeck et al. (2000) dengan menghimbau para dosen untuk mengorganisir pembentukan tim daripada memberi kebebasan bagi

(25)

35 mahasiswa menentukan sendiri anggotanya. Hal ini bertujuan agar mahasiswa memiliki banyak pengalaman bekerja dalam kelompok-kelompok yang berbeda.

Keberagaman merupakan ciri dari group-level factor. Pada era globalisasi, keahlian berkomunikasi dan bekerja efektif dengan orang-orang yang budayanya berbeda merupakan kunci sebuah kesuksesan. Belajar memahami dan menghargai berbagai budaya yang berbeda merupakan bagian integral untuk sukses dalam komunikasi bisnis global. Sebuah tim yang memiliki komposisi lintas budaya tinggi akan memberikan pengalaman dalam menyelesaikan konflik. Dosen perlu memfasilitasi mahasiswa untuk terlibat dan bekerja dalam sebuah tim yang padu agar mahasiswa dapat memiliki kemampuan tersebut. Pelled, Eisenhardt, dan Xin (1999) menyatakan bahwa keberagaman budaya akan meningkatkan konflik emosional dalam kelompok kerja. Dalam konteks akademik, Bryant et al. (2006) menyarankan agar dosen tidak mengelompokkan mahasiswa ke dalam latar belakang budaya berbeda, karena dapat menurunkan kepuasan mahasiswa dalam membangun sebuah tim.

Selain itu, aspek keberagaman lainnya yang perlu diperhatikan adalah masalah gender. Saat ini, jumlah wanita yang terjun dalam dunia kerja semakin berimbang dengan jumlah pria. Maka, pria dan wanita perlu belajar untuk bekerja sama dan berkomunikasi secara efektif. Menurut Markel (1998) terdapat perbedaan antara pria dan wanita dalam cara berkomunikasi. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa pria lebih

(26)

36 fokus dalam menyelesaikan pekerjaan, sedangkan wanita lebih fokus pada hubungan dengan anggota kelompok. Speck (2002) menyatakan bahwa keseimbangan jumlah antara pria dan wanita di dalam sebuah kelompok perlu diperhatikan.

• Tingkat Kepaduan

Greenberg (1996) menyarankan dosen untuk menyiapkan kontrak tim di awal semester, agar setiap anggota berkomitmen terhadap tim. Secara psikologis, kontrak tim merupakan alat yang paling efektif bagi tim untuk mencapai tujuan. Selain itu, Greenberg (1996) juga menjelaskan bahwa penulisan dan penandatanganan kontrak merupakan cara yang bermanfaat untuk menetapkan norma prescriptive (apa yang disetujui oleh tim untuk dilakukan) dan norma proscriptive (apa yang disetujui oleh tim untuk tidak dilakukan). Kontrak tim juga membantu tim dalam mengindentifikasi hal-hal penting dari tugas dan menetapkan jadwal untuk menyelesaikan tugas. Menurut Bryant (2001), strategi ini membantu tim untuk membagi tugas menjadi beberapa bagian dan memfasilitasi kemajuan penyelesaian tugas. Perlu suatu pertemuan tim dalam rangka penentuan berbagai norma dan penandatanganan kontrak, dimana setelah itu fotokopi dari kontrak diberikan pada dosen. Jenis-jenis norma terdiri dari ketepatan waktu dalam pertemuan tim, kehadiran semua anggota dalam tiap pertemuan, menyelesaikan tugas individual sesuai kesepakatan waktu dan menghargai semua poin-poin yang sudah dibuat.

(27)

37 • Ukuran Kelompok

Katzenbach dan Smith (1999); Speck (2002), berpendapat bahwa jenis dan tujuan tim akan menentukan besarnya ukuran tim yang ideal. Menurut Cockriel (2001), tim yang terdiri dari 4 sampai 7 orang merupakan ukuran yang ideal untuk sebuah tim. Hasil riset menunjukkan bahwa kecenderungan terjadinya social loafing akan semakin besar apabila ukuran tim semakin besar. Menurut Latane dan Nida (1980), social impact theory menjelaskan bahwa social loafing terjadi pada tim yang jumlah anggotanya cukup besar. Hal ini terjadi karena banyaknya orang yang terlibat dalam suatu pekerjaan, sehingga anggota kelompok kurang memiliki tanggung jawab individu. Semakin besar tim, semakin sulit untuk memonitor dan mengevaluasi pekerjaan tiap individu. Seseorang akan memberikan hasil maksimal jika dievaluasi secara perorangan. Kontribusi setiap individu akan semakin kecil jika jumlah orang yang menyelesaikan sebuah pekerjaan semakin besar.

C. Environment-level factor

Level ini meliputi faktor-faktor yang berkaitan dengan karakteristik tugas, struktur penghargaan, tingkat tekanan lingkungan.

• Karakteristik Tugas Kelompok

Sesuai dengan pendapat Jex (2002), dosen perlu memperhatikan karakteristik tugas sebelum memberikan tugas kepada mahasiswa, yaitu apakah tugas tersebut cocok dikerjakan secara individual atau lebih cocok dikerjakan secara tim. Sinergi dan keahlian yang saling melengkapi

(28)

38 diantara para anggota sangat dibutuhkan untuk tugas yang cocok dikerjakan secara kelompok.

• Struktur Penghargaan

Untuk menilai kinerja kelompok ada dua model, yaitu: (1) Group-only model

Menurut model ini, kinerja kelompok dinilai dengan sebuah angka tunggal yang diberikan pada seluruh anggota kelompok. Colbeck et al. (2000) menekankan bahwa ketergantungan penghargaan berkembang ketika mahasiswa menerima bahwa penyelesaian hasil dan penerimaan penghargaan, seperti belajar proses desain atau menerima angka yang baik tergantung pada kinerja setiap orang di dalam kelompok.

(2) mixed-incentive model

Pada model ini, skor yang diberikan tergantung pada hasil evaluasi terhadap usaha individu tiap anggota dan dikombinasikan dengan skor kelompok. Tidak tertutup kemungkinan bahwa tiap anggota akan mendapatkan skor yang berbeda pada hasil akhir. Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Ravenscroft, Buckless, McCombs, dan Zuckerman (1995), pembobotan pemberian angka adalah 70% untuk bobot skor individual dan 30% untuk bobot skor kelompok. Lancaster dan Strand (2001) menambahkan bahwa mixed-incentive model mengukur kinerja individu, kinerja tim, dan kontribusi individu pada tim, yang diukur melalui penggunaan formulir evaluasi rekan kerja. Dosen akan sulit untuk melakukan

(29)

39 penilaian ini karena dosen tidak mengetahui dengan jelas mahasiswa yang bertanggung jawab untuk setiap bagian dalam penyelesaian tugas. Sebaliknya, setiap anggota tim akan mudah menilai rekan kerja mereka. Koppenhaver dan Shrader (2003) menyatakan bahwa evaluasi rekan kerja merupakan motivator yang efektif bagi tim. • Tingkat Tekanan Lingkungan

Menurut Jex (2002), tekanan lingkungan dapat meliputi tekanan waktu dan kesulitan melakukan pekerjaan. Seringkali dosen memberikan tugas, namun dalam bekerja mahasiswa tidak diarahkan. Sehingga menurut informasi yang diperoleh dari Colbeck et al. (2000), Feichner dan Davis (1992) menjelaskan bahwa mahasiswa akan merasa frustasi apabila dosen tidak membantu atau tidak mengarahkan tugas mereka.

Hackman dan Wageman (2005) menyetujui pendapat itu dengan menyatakan bahwa dosen seharusnya berperan sebagai team coach. Dosen perlu memberikan pengarahan dan penjelasan pada awal pemberian tugas. Tujuan yang jelas tentang maksud pembentukan tim dan standar-standar kinerja tim yang akan dievaluasi serta batas waktu penyelesaian tugas dan hukuman untuk tugas yang terlambat diselesaikan harus ditetapkan oleh dosen. Selanjutnya, pada pertengahan waktu penyelesaian tugas, dosen memberi masukan berupa strategi untuk menyelesikan tugas. Terlebih ketika setiap tim memerlukan konsultasi, maka dosen harus menyediakan waktunya untuk itu. Pada akhir penyelesaian hasil, dosen memfasilitasi tim dengan maksud untuk menjelaskan kepada mahasiswa tentang pelajaran yang dapat mereka

(30)

40 petik dari tugas berkelompok. Menurut Hackman et al. (2005), tim tidak mungkin dapat menginternalisasi atau memahami pelajaran dari pengalaman mereka jika dosen tidak memfasilitasi. Dosen dapat meminta tiap mahasiswa menuliskan atau menjelaskan apa yang telah mereka pelajari, atau memberi penjelasan secara tim. Mahasiswa sebaiknya diberikan penjelasan mengapa sebuah tim dinilai berhasil dan tim yang lain dinilai gagal. Proses debriefing pada sebuah tim akan membantu mahasiswa melihat proses keseluruhan dari sebuah tugas.

II.2.1.2. Tahap Proses

Bagaimana kelompok melakukan pekerjaannya dan mengatasi konflik merupakan ciri efektivitas interaksi kelompok. Pada tahap proses, tim mencoba untuk berinteraksi antar anggota secara efektif dan efisien. Kendala utama pada tahap ini adalah mengenai konflik interpersonal. Semakin besar tim, semakin banyak jenis kepribadian dan variasi waktu yang harus diakomodasi dan semakin banyak pula konflik yang akan dihadapi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tahap proses meliputi bagaimana anggota mengatasi konflik, sehingga yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah bagaimana tim menjadikan konflik sebagai kesuksesan. Greenberg (1996) menjelaskan bahwa konflik bisa berdampak positif tetapi juga bisa berdampak negatif. Jika keputusan dan tindakan dilakukan berdasarkan groupthink (hasil pemikiran kelompok), maka konflik akan berdampak positif. Groupthink terjadi ketika kelompok memiliki kepaduan yang tinggi dan semangat kebersamaan dalam kelompok. Oleh sebab itu, jika terjadi konflik, para anggota tetap akan menjaga kepaduan dan semangat kebersamaan dalam tim. Sebaliknya, konflik akan berdampak negatif apabila konflik yang terjadi

(31)

41 menyebabkan tim kehilangan fokus dalam menyelesaikan tugas secara efisien dan efektif dan menyebabkan tim berperilaku disfungsional.

Lencioni (2005) menyatakan tentang bagaimana perilaku disfungsional dapat merugikan sebuah tim dan menyebabkan konflik. Terdapat lima perilaku disfungsional sebuah tim yang dapat menyebabkan konflik, yaitu: (1) kekurangan kepercayaan, (2) takut pada konflik, (3) kekurangan komitmen, (4) menghindari tanggung jawab, (5) tidak perhatian pada hasil. Lebih lanjut Lencioni (2005) memaparkan bagaimana membangun sebuah tim yang dapat menghindari lima perangkap diatas, yaitu melalui tindakan berikut ini:

• Membangun kepercayaan

Kepercayaan merupakan sasaran utama membangun sebuah tim. Maksud dari kepercayaan tersebut adalah setiap anggota bersikap terbuka dan bersungguh-sungguh pada anggota dalam menyelesaikan pekerjaannya. Lencioni (2005) menyarankan sebuah latihan bagi para anggota untuk saling berbagi dengan cara, tiap anggota bercerita tentang dirinya kepada tim pada pertemuan yang pertama. Pertanyaan yang perlu dijawab secara verbal oleh tiap anggota pada pertemuan pertama antara lain terkait dengan kelahiran, perkembangan mereka, sedikit tentang keluarga, serta pengalaman masa kecil mereka. Kegiatan saling berbagi informasi di antara anggota tim ini tidak secara otomatis akan membangun kepercayaan, tetapi ini bisa dipastikan sebagai sebuah awal untuk membangun kepercayaan di antara anggota dan kepercayaan yang mulai timbul harus terus dipelihara.

(32)

42 • Gunakan konflik untuk membangun

Menurut Lencioni (2005), seperti latihan dalam membangun kepercayaan, anggota tim menjelaskan apa yang mereka rasakan tentang konflik, sebagian penjelasan akan bermula dari keluarga dan latar belakang budaya. Anggota tim juga menceritakan pengalaman mereka dalam mengatasi konflik. Latihan ini sekaligus berguna dalam membangun kepercayaan dan mengumpulkan pandangan tim secara kolektif tentang konflik. Dosen perlu memfasilitasi latihan ini dengan menyiapkan sebuah kontrak tim agar dapat meminimalkan terjadinya konflik. Kontrak tim berisi tentang perilaku anggota yang bisa diterima dan perilaku anggota yang tidak bisa diterima selama penyelesaian tugas berlangsung.

• Mencapai komitmen

Menurut Lencioni (2005), komitmen individual dapat didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk bertahan dalam menghadapi perbedaan pendapat. Komitmen dalam tim mengandung pengertian bahwa tim tersebut mampu dan bersedia mendiskusikan berbagai alternatif, hal-hal yang menimbulkan ketidaksetujuan, dan tetap komitmen pada keputusan final, bahkan ketika keputusan tim tidak sesuai dengan harapan pribadi. Anggota tim memiliki kejelasan atas apa yang sudah disetujui. Hal ini sangat penting untuk diyakinkan pada seluruh anggota tim. Diperlukan klarifikasi komitmen di akhir pertemuan. Koordinator tim menanyakan kembali mengenai keputusan yang telah diambil dalam pertemuan hari ini. Latihan ini akan menegaskan para

(33)

43 anggota mengenai apa yang telah disetujui oleh tim dan akan mencegah terjadinya kebingungan maupun salah pengertian tentang tugas-tugas berikutnya.

• Mengembangkan tanggung jawab

Salah satu komponen kesuksesan sebuah tim lainnya adalah rasa tanggung jawab dari tiap anggota. Lencioni (2005) menyatakan bahwa akuntabilitas merupakan kemauan anggota untuk mengingatkan anggota lain ketika mereka tidak mengikuti standar kinerja tim. Lencioni (2005) menjelaskan mengenai alat sederhana yang dapat digunakan untuk mengembangkan rasa tanggung jawab. Latihan ini dapat dilakukan setelah tim berhasil membentuk pondasi kepercayaan dan telah bekerja bersama minimal dua bulan. Setiap anggota tim menjawab dua pertanyaan tentang semua anggota tim termasuk diri mereka sendiri, yaitu:

a. Karakteristik perilaku apa yang paling penting atau kualitas apa yang perlu ditunjukkan oleh anggota yang dapat memberikan kekuatan bagi sebuah tim?

b. Karakteristik perilaku apa yang paling penting atau kualitas apa yang perlu ditunjukkan oleh tiap anggota tim yang dapat menghancurkan sebuah tim?

Apabila telah selesai menjawab, anggota tim segera menyampaikan kepada koordinator tim. Kemudian, anggota tim mendiskusikan jawaban dan memperbaiki sikap mereka sesuai kebutuhan

(34)

44 pada pertemuan berikutnya. Refleksi ini memberikan kesempatan kepada anggota untuk berkomunikasi secara jujur di antara tim tentang perilaku yang tidak dapat diterima oleh tim.

II.2.1.3. Fokus pada Hasil

Fokus tim yang sukses terletak pada hasil yang ingin dicapai. Menurut Lencioni (2005), scoreboard diperlukan sebagai alat untuk membantu tim fokus pada metrics yang akan digunakan tim dalam rangka mendefinisikan kesuksesan tim menyelesaikan tugas. Sebuah tim dapat mengidentifikasi peringkat yang ingin mereka capai dari tugas tersebut, batasan waktu, dan berbagai hal penting yang perlu disiapkan untuk menyelesaikan tugas. Rencana kerja akan dapat membantu memastikan tiap anggota tetap fokus pada tugas dan mencapai tujuan.

II.2.1.3.1. Hasil Kinerja

Menurut McGrath (1964), hasil kinerja merupakan faktor ekstrinsik yang mencakup kualitas, kecepatan, dan jumlah kesalahan dari hasil. Dilihat dari sisi akademik, hasil kinerja adalah:

a. Bagaimana pandangan profesional (pihak luar) terhadap hasil akhir? (segi kualitas) b. Apakah hasil selesai tepat waktu? (segi kecepatan)

c. Seberapa akurat hasil akhir dibanding dengan standar? (segi keakuratan)

Hal-hal tersebut dijabarkan sebagai berikut: • Profesionalisme

(35)

45 Yang perlu ditanyakan dosen pada mahasiswa adalah apakah mereka merasa bangga, jika mereka harus memberikan hasil ini kepada klien? Standar yang tinggi dari segi penampilan maupun kesan pada hasil akhir dituntut pada seorang akuntan profesional. Karena hal itulah, hasil akhir harus akurat dan mencerminkan sikap profesionalisme mahasiswa pada kinerja tim. Evaluasi oleh tim sekerja juga penting, bukan hanya untuk meyakinkan kualitas hasil, tapi juga untuk mengembangkan kembali rasa ketergantungan dan tanggung jawab antar anggota untuk membangun tim.

• Ketepatan Waktu

Speck (2002) menyatakan bahwa kualitas dan ketepatan waktu seringkali saling berhubungan. Kualitas hasil mungkin kurang baik bila mahasiswa baru menyelesaikan hasil di detik-detik terakhir. Isu ini terkait dengan kode etik kerja. Dosen mempunyai kesempatan untuk ambil bagian dalam menumbuhkan nilai profesionalisme dan etik kerja melalui pembentukan tim pada mahasiswa. Tujuan utama menugaskan mahasiswa dalam bentuk tim adalah untuk membekali mahasiswa mengenal tuntutan yang ada di profesi akuntansi sejak dini. Nilai profesionalisme yang penting adalah menghasilkan pekerjaan yang berkualitas dan tepat waktu.

• Keakuratan

Speck (2002) menyarankan dosen untuk menetapkan kriteria pemberian skor dan menjelaskan secara transparan kepada mahasiswa di awal pelaksanaan tugas. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keakuratan

(36)

46 hasil. Holcomb dan Ruffer (2000) menambahkan bahwa dosen perlu mendiskusikan secara detail kriteria penilaian dan cara pembobotan kepada mahasiswa di awal pertemuan ketika memberikan tugas pertama pada mahasiswa. Menurut Dudley (2001) penilaian memerlukan satu set standar dan kinerja mahasiswa yang nantinya akan dibandingkan dengan standar ini. Perbandingan penilaian harus akurat, tepat dan praktis untuk digunakan. Untuk memberi skor profesionalisme, ketepatan waktu dan keakuratan, Burch (1997) menyarankan untuk menggunakan grading rubric.

II.2.1.3.2. Hasil Lainnya

McGrath’s model menyatakan bahwa yang termasuk hasil lainnya adalah kepuasan anggota, keterpaduan kelompok, dan perubahan sikap. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat dipakai untuk mengukur hal-hal tersebut antara lain sebagai berikut: Apakah anggota tim mengalami lingkungan team building yang benar? Apakah anggota tim saling bertanggung jawab dan saling bergantung? Apakah mereka dapat bekerja dalam situasi konflik yang tinggi? Apakah tiap anggota merasakan bahwa mereka meyelesaikan sesuatu yang berarti dan berguna? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan gambaran bagaimana tingkat kepuasan mahasiswa yang dirasakan di akhir hasil.

Kepuasan Anggota

Bateman, Wilson, dan Bingham (2002) menjelaskan tentang alat ukur yang dipakai untuk menilai tim mereka sendiri secara efektif. Alat ukur tersebut bisa digunakan selama tugas sedang berjalan untuk menilai perubahan efektivitas selama

(37)

47 penyelesaian tugas. Melalui alat tersebut sinergi tim, tujuan kinerja, keahlian, penggunaan sumber daya, inovasi dan kualitas dapat diukur.

Hoevemeyer (1993) menyiapkan alat lain untuk membantu tim secara periodik mengukur efektivitas mereka yaitu dengan menyiapkan 20 pertanyaan. Setiap anggota memberikan penilaian dan nilai ditransfer ke lembaran skoring efektivitas tim. Lembaran skoring terdiri dari lima area efektivitas, antara lain: 1. misi tim, 2. pencapaian tujuan, 3. delegasi, 4. terbuka dan komunikasi jujur, dan 5. peran dan norma positif. Tim kemudian mendiskusikan nilai kesepakatan ini dan pada akhirnya dijadikan sebagai umpan balik untuk melakukan perbaikan pada tugas berikutnya.

II.2.2. Penelitian Membentuk Soft Skill Mahasiswa Akuntansi Melalui Effective Team Building Dalam Ruang Kelas: Sebuah Aplikasi McGrath’s Model Penelitian ini dilakukan oleh Tin (2007) dengan mengaplikasikan McGrath’s Model dan menerapkan pedoman yang dikembangkan oleh Bryant dan Albring (2006). Aplikasi effective team building dilaksanakan pada mahasiswa akuntansi semester 6, Universitas Kristen Maranatha yang sedang menempuh mata kuliah Metodologi Penelitian, di semester genap 2006/2007. Responden pada penelitian ini adalah 50 mahasiswa. Tugas yang diberikan pada mahasiswa yaitu membuat proposal penelitian dan menyelesaikan sebuah penelitian sederhana.

Responden dibagi menjadi 12 tim dimana tiap tim terdiri dari 4 sampai 5 mahasiswa. Pembentukan tim dilakukan oleh dosen dengan mempertimbangkan individual level factors dan group level factors. Individual level factors terdiri dari kemampuan, sikap & ciri kepribadian dan aspirasi/input dari mahasiswa. Group level factors mencakup struktur (keseimbangan gender dan budaya serta penunjukkan seorang

(38)

48 koordinator tim), kepaduan (adanya kontrak tim) dan ukuran kelompok. Informasi tentang individual level factor dan group level factors diperoleh dari mahasiswa melalui lembar isian yang dibagikan pada temu kelas pertama.

Setelah tim terbentuk, mahasiswa diminta menceritakan tentang diri mereka dan pengalaman hidup mereka serta nilai-nilai yang mereka miliki terkait dengan perwujudan keberhasilan sebuah tim agar mereka memiliki kepaduan yang baik antar anggota tim. Hal ini dilakukan secara bergantian oleh tiap anggota tim di dalam kelompoknya. Dosen mengadakan kuis tiap pertemuan yang dikerjakan secara tim agar mahasiswa memiliki kesempatan mengenal lebih baik antar anggota tim.

Dalam proses penilaian tugas, dosen memberikan penilaian melalui mixed-incentive model. Pada model ini, dosen memberikan skor berdasarkan hasil evaluasi rekan kerja terhadap usaha individu tiap anggota (bobot 70%) dan dikombinasikan dengan skor kelompok (30%), sehingga skor hasil akhir tiap anggota dalam satu tim mungkin berbeda-beda. Formulir evaluasi rekan kerja yang dibagikan ketika tim mempresentasikan proposal dan ketika hasil penelitian dipresentasikan pada temu kelas terakhir, digunakan untuk mengukur kinerja individu dan kinerja tim. Ketika proses team building ini berakhir, dosen meminta mahasiswa mengisi formulir yang berisi pertanyaan tentang perasaan, pendapat, pengalaman yang berhasil mereka dapat, serta saran mereka terkait dengan proses team building ini.

Hasil yang didapat dari aplikasi McGrath’s model ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden penelitian merasakan adanya hal positif terkait perubahan sikap dan mereka merasa telah berhasil mengurangi sifat negatif selama bekerja dengan tim yang baru. Mahasiswa juga merasa senang dan gembira bekerjasama dalam tim yang baru dan merasakan adanya perbedaan yang signifikan antara tugas kelompok yang

(39)

49 selama ini dijalankan dengan pengalaman bekerja dalam tim yang baru. Namun, penelitian ini masih memiliki keterbatasan yaitu:

• Responden dalam simulasi ini jumlahnya masih terbatas.

• Hasil dari desain tim yang didasarkan pada McGrath’s Model (tim didesain oleh dosen) dengan desain tim yang didasarkan pada sistem self organize (mahasiswa memilih sendiri anggota dan mengatur sendiri kelompoknya tanpa intervensi dari dosen) belum dapat dibandingkan dengan jelas.

II.3. Pengembangan Hipotesis

Tim yang anggotanya dipilih sendiri tanpa intervensi dari dosen memiliki peluang yang besar untuk tidak mempunyai komitmen dan pembagian tugas yang jelas. Hal ini dikarenakan tim tersebut tidak terikat terhadap kontrak kerja atau rencana kerja apapun. Pada kondisi ini, karena faktor kedekatan biasanya mereka saling sungkan untuk menegur rekan kerjanya jika melanggar tanggung jawabnya. Tapi di sisi lain, kedekatan itu bisa memudahkan mereka dalam bekerjasama.

Sementara, tim yang anggotanya dipilih sendiri oleh mahasiswa dengan intervensi dosen untuk tahapan selanjutnya (tahap input pada McGrath’s Model), membuat suatu kontrak kerja dan rencana kerja sehingga seharusnya anggota tim memiliki komitmen dan pembagian tugas yang jelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Bryant (2001) yang menyatakan bahwa pembuatan kontrak tim membantu tim untuk membagi tugas menjadi beberapa bagian dan memfasilitasi kemajuan penyelesaian tugas. Tetapi karena faktor kedekatan, anggota tim mungkin saja dapat melanggar kesepakatan dengan mudah dan rekan kerja lainnya sungkan untuk menegur. Walaupun

(40)

50 desain timnya sama, kualitas tiap tim yang terbentuk bisa berbeda. Hal itu bisa disebabkan karena ketidakmerataan kemampuan tiap anggota, jenis kelamin, dan sifat seseorang dalam pembentukan tim.

Lain halnya dengan tim yang didesain oleh dosen dengan aplikasi McGrath’s Model, pada model ini dosen mempertimbangkan faktor keseimbangan IPK, jenis kelamin, sifat seseorang, dan input mahasiswa terkait pemilihan rekan kerja. Hal ini dapat membuat tim-tim yang terbentuk memiliki kualitas yang lebih merata. Adanya kontrak kerja dan rencana kerja membuat anggota tim lebih berkomitmen terhadap tim. Namun, desain tim seperti ini dapat memungkinkan antar anggota tim kurang cocok atau belum dapat saling beradaptasi karena anggota tim belum pernah bekerja sama sebelumnya. Hal tersebut dapat mengganggu kinerja tim. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lencioni (2005), tim baru bisa membangun pondasi kepercayaan setelah bekerjasama minimal dua bulan.

Perbedaan desain tim tersebut dapat menghasilkan output (kinerja tim) yang berbeda tetapi tidak menutup kemungkinan output yang dihasilkan akan sama. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan hasil kinerja atau tidak maka munculah hipotesis sebagai berikut (dinyatakan dalam hipotesis alternatif):

HA1: Terdapat perbedaan hasil kinerja tim antara tim yang anggotanya dipilih sendiri

tanpa intervensi dari dosen, tim yang anggotanya dipilih sendiri oleh mahasiswa dengan intervensi dosen untuk tahapan selanjutnya (tahap input pada McGrath’s Model), dan tim yang didesain oleh dosen dengan aplikasi McGrath’s Model.

Kinerja tim dapat mempengaruhi hasil penugasan. Fokus tim adalah hasil yang ingin dicapai. Rencana kerja dapat membantu memastikan tiap angota tetap fokus pada

(41)

51 tugas untuk mencapai tujuan. Keberhasilan hasil penugasan bisa dilihat dari kualitas, kecepatan, dan jumlah kesalahan dari hasil. Hasil lainnya juga berupa kepuasan anggota, keterpaduan kelompok, dan perubahan sikap. Desain tim tentu saja terkait dengan hal-hal tersebut. Desain tim yang berbeda mungkin menghasilkan hasil penugasan yang berbeda pula atau malah sama. Untuk itu hipotesis kedua ini ingin mengetahui apakah dengan menggunakan metode desain tim yang berbeda akan menghasilkan hasil penugasan yang berbeda pula. Oleh karena itu, hipotesis kedua penelitian ini adalah (dinyatakan dalam hipotesis alternatif):

HA2: Terdapat perbedaan hasil penugasan atas metode pembentukan tim antara tim

yang anggotanya dipilih sendiri tanpa intervensi dari dosen, tim yang anggotanya dipilih sendiri oleh mahasiswa dengan intervensi dosen untuk tahapan selanjutnya (tahap input pada McGrath’s Model), dan tim yang didesain oleh dosen dengan aplikasi McGrath’s Model.

Menurut Lasahido (2008) tim dapat diklasifikasikan menjadi tim rapuh, rentan, mapan, matang, dan efektif. Klasifikasi tersebut menunjukkan kualitas dari masing-masing tim. Umumnya orang berpendapat bahwa kualitas tim yang baik akan menghasilkan hasil penugasan yang baik. Padahal selain anggota tim itu sendiri, tidak ada yang mengetahui secara mendalam bagaimana kinerja tim tersebut. Mungkin saja kinerja tim yang kurang baik tetap bisa menghasikan output yang sama baiknya dengan kinerja tim yang baik, karena mungkin hanya satu pihak yang mengerjakan penugasan tersebut dengan kemampuannya yang tinggi. Sehingga, penting bagi dosen untuk mengetahui apakah ada hubungan hasil kinerja tim terhadap hasil penugasan, agar dosen dapat menentukan metode yang paling tepat untuk membentuk tim-tim yang efektif,

(42)

52 yang dapat menghasilkan output yang berkualitas dalam memberikan suatu penugasan pada mahasiswa. Oleh karena itu, hipotesis ketiga dari penelitian ini, yang dinyatakan dalam hipotesis alternatif adalah sebagai berikut:

HA3: Terdapat hubungan antara hasil kinerja tim dengan hasil penugasan.

Teori Bruce W. Tuckman (1960) menyatakan bahwa tahapan perkembangan tim dibagi menjadi tahap forming, storming, norming, dan performing. Setiap tim yang dibentuk dapat dikategorikan sebagai salah satu dari tahapan perkembangan tim tersebut, apakah suatu tim yang terbentuk masih pada tahap forming, storming, norming, atau malah sudah masuk pada tahap perfoming. Oleh karena itu, setiap tim yang terbentuk dengan model yang berbeda-beda mungkin masuk dalam kategori yang berbeda pula. Untuk mengetahui setiap tim berada pada tahapan mana, bisa dilihat dari ciri-ciri setiap tahapan pembentukan tim yang dikemukakan oleh Tuckman (1960). Masing-masing tahapan pembentukan tim memiliki kecenderungan yang berbeda baik dalam bekerjasama, berinteraksi, maupun dalam menyelesaikan konflik dengan rekan timnya, sehingga output masing-masing tim mungkin berbeda pula. Yang dimaksud output pada penelitian ini adalah berupa hasil penugasan. Maka, hipotesis keempat ini akan melihat apakah terdapat pengaruh tahapan pembentukan tim terhadap hasil penugasan. Hipotesis yang dinyatakan dalam hipotesis alternatif ini adalah: HA4: Terdapat hubungan antara tahapan pembentukan tim dengan hasil penugasan.

Referensi

Dokumen terkait

Saran yang diberikan peneliti yaitu : (1) Bagi subjek penelitian, Bagi subjek penelitian khususnya kelas XI diharapkan mempertahankan perilaku yang rajin dan memilih

Kegiatan pembelajaran berikutnya yaitu membaca teks mengenai anggota tubuh hewan dan fungsinya. Salah satu siswa membacakan teks di buku pegangan siswa yang ditunjuk oleh guru

(2006), “Analisis faktor psikologis konsumen yang mempengaruhi keputusan pembelian roti merek Citarasa di Surabaya”, skripsi S1 di jurusan Manajemen Perhotelan, Universitas

gak kene dewe sopo maneh seng kate nggawe apik dan berkembang. Dadine lek wong deso wes ngekek i himbauan ngene ngono yo kene kudu nuruti. Koyok misal e biasae

Dengan demikian, tidaklah mudah untuk mengatakan bahwa pemutaran film “A Man Called Ahok” dan “Hanum & Rangga” merupakan alat kampanye dari masing-masing calon presiden

Pemeriksaan data dilakukan dengan cara trianggulasi data dan trianggulasi metode, dengan model evaluasi yang digunakan adalah evaluasi model Context, Input, Process, Product

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian yang terkait dengan judul “ Pengaruh Gaya Hidup

 Adaptive Link Sorting, penyortiran node secara adaptif dari suatu sistem, agar semua node pada halaman web tertentu dapat dipilih sesuai dengan keinginan mahasiswa. 