• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rinosinusitis Kronis

2.1.1 Definisi

Rinosinusitis kronis merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering dijumpai, mempengaruhi 4-28 % populasi di Eropa dan Amerika Serikat. Penyakit ini secara signifikan menurunkan kualitas hidup penderitanya dan merupakan masalah sosioekonomi dalam masyarakat. Pasien dengan rinosinusitis berulang atau kronis dilaporkan mengalami penurunan kesehatan secara umum dan vitalitas jika dibandingkan dengan populasi umum (Dlugaszewska, et al., 2015).

Rinosinusitis kronis merupakan gangguan klinis yang meliputi infeksi heterogen dan kondisi inflamasi yang mempengaruhi sinus paranasal. Menurut sejarah, sinusitis merupakan terminologi yang umum digunakan untuk inflamasi pada sinus paranasal. Terminologi ini perlahan-lahan ditinggalkan dan lebih disukai istilah rinosinusitis karena inflamasi hidung hampir selalu bersamaan dengan inflamasi sinus paranasal. Namun tetap masih ada kontroversi mengenai definisi dan diagnosis dari semua bentuk rinosinusitis. Hal ini dikarenakan pada kenyataannya bahwa rinosinusitis kronis mencakup spektrum penyakit yang memiliki penyebab yang banyak dan berbagai pengobatan yang tepat (Schlosser dan Woodworth, 2009).

Rinosinusitis menurut American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS) pada tahun 1996 berdasarkan durasi tanda dan

(2)

minggu), kronis (lebih dari 12 minggu), akut rekuren (≥4 episode per tahun dan setiap episodenya berlangsung hingga ≥7 sampai 10 hari dan tanpa intervensi terhadap tanda rinosinusitis kronis), dan kronis eksaserbasi akut (rinosinusitis kronis memburuk tiba-tiba, kembali pada keadaan awal setelah terapi). Untuk praktisnya, sebagian besar praktisi lebih suka membagi menjadi 2 kategori, rinosinusitis akut dan kronis. Penting untuk diperhatikan bahwa rinosinusitis akut dapat berkembang menjadi rinosinusitis kronis pada beberapa kasus. Bagaimanapun juga, rinosinusitis akut biasanya merupakan infeksi dari alam, sedangkan yang kronis mungkin disebabkan oleh berbagai proses inflamasi. Rinosinusitis kronis paling sering dibagi menjadi kategori pasien dengan perubahan mukosa hiperplastik dengan polip dan tanpa polip (Schlosser dan Woodworth, 2009).

2.1.2 Kekerapan

Penelitian Munir (2006) terhadap 35 penderita rinosinusitis kronik yang menjalani operasi tahun 2002-2003 di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan kelompok umur terbanyak adalah 35-44 tahun sebanyak 34,3%, sedangkan jumlah penderita perempuan sebanyak 20 penderita (57%) dan laki-laki sebanyak 15 penderita (43%).

Penelitian Multazar (2011) mengenai penderita rinosinusitis kronik di poliklinik THT-KL RS. H. Adam Malik Medan periode Januari 2008 sampai dengan Desember 2008, menjumpai 296 penderita rinosinusitis kronis dengan tindakan operasi terbanyak adalah bedah sinus endoskopi fungsional sebanyak 54 penderita (80,6%), diikuti antrostomi (11,94%), CWL (5,97%) dan trepanasi sinus frontal sebesar 1,49%.

Dewi (2013) dalam penelitiannya mengenai penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopik fungsional di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008-2011 menjumpai 111 penderita yang

(3)

terdiri dari 59 penderita rinosinusitis kronik tanpa polip dan 52 penderita rinosinusitis kronik dengan polip.

2.1.3 Etiologi dan patofisiologi

Rinosinusitis kronis memiliki banyak penyebab yang terdiri dari infeksi (virus, bakteri dan jamur), anatomi, alergi, disfungsi mukosilier kongenital (misalnya fibrosis kistik, diskinesia siliari primer atau didapat) dan gangguan sistemik. Adanya bakteri di dalam hidung dan sinus paranasal pada populasi rinosinusitis kronis telah dapat dibuktikan, dan kebanyakan praktisi percaya bahwa bakteri memiliki peranan pada sebagian besar kasus. Apakah bakteri memiliki peranan secara langsung atau tidak langsung dalam perkembangan rinosinusitis kronis belum dapat ditentukan secara pasti (Schlosser dan Woodworth, 2009).

a. Progresi dari rinosinusitis akut

Kondisi yang mempengaruhi rinosinusitis kronis sama dengan infeksi akut dalam hal faktor ekstrinsik, intrinsik, sistemik dan faktor lokal penjamu. Selanjutnya, episode berulang dari rinosinusitis akut pada akhirnya dapat menyebabkan disfungsi mukosa dan infeksi kronis. Gejala pada rinosinusitis kronis lebih bervariasi dibanadingkan dengan rinosinusitis akut. Rinosinusitis kronis secara khas mengalami disregulasi mukosa yang luas dan proses inflamasi kronis yang sangat sulit untuk diterapi. Penyakit ini sering tahan terhadap terapi obat-obatan dan pembedahan yang tersedia saat ini. Kortikosteroid sistemik lebih sering digunakan pada rinosinusitis kronis, oleh karena penyakit ini mempunyai komponen inflamasi kronis yang mendasari secara signifikan. Selanjutnya rinosinusitis akut secara histologi menunjukkan proses eksudatif yang ditandai dengan inflamasi neutrofilik dan nekrosis, sedangkan rinosinusitis kronis merupakan proses proliferatif yang paling

(4)

Karena rinosinusitis akut hampir selalu merupakan infeksi, ini ditandai dengan normal inflamasi tipe T helper 1 (Th1) yang berhubungan dengan dikeluarkannya neutrofil sebagai tipe sel predominan untuk melawan infeksi. Sementara itu tipe inflamasi infeksius ini predominan pada rinosinusitis kronis sekunder terhadap fibrosis kistik, diskinesia siliari dan rinosinusitis yang berasal dari infeksi gigi, kebanyakan rinosinusitis kronis memiliki respon inflamasi tipe atopi (Th2) dimana eosinofil merupakan sel inflamasi yang predominan pada rinosinusitis kronis atopi maupun non atopi (Schlosser dan Woodworth, 2009).

b. Faktor anatomi

Pada beberapa kasus, rinosinusitis kronis berkembang dari infeksi bakteri kronis pada rongga sinus dengan adanya obstruksi ostium anatomis. Abnormalitas anatomis menyebabkan penyempitan saluran yang mengakibatkan seseorang dapat mengalami rinosinusitis kronis, terutama dengan adanya beberapa macam inflamasi yang dapat berulang kembali. Beberapa variasi anatomi yang juga dapat menyebabkan seseorang menderita rinosinusitis kronis termasuk diantaranya sel Haller (infundibular), jalur pengaliran sinus frontal yang sempit karena sel ager nasi ataupun sel frontal yang besar. Sekali ostium tersumbat, terjadi hipoksia lokal pada rongga sinus dan sekresi sinus menumpuk. Hal ini menyebabkan terbentuknya lingkungan yang cocok untuk perkembangan bakteri yang cepat. Toksin bakteri dan mediator endogen selanjutnya merusak terutama epitel respiratori bersilia dan akibatnya terjadi penurunan mucociliary clearance. Terjadi lingkaran setan dengan tertahannya hasil sekresi dan infeksi lebih lanjut (Schlosser dan Woodworth, 2009).

(5)

c. Disfungsi mukosilier

Mucociliary clearance merupakan hal yang penting khususnya dalam menjaga homeostasis sinus paranasal. Gerakan silia epitel mengeluarkan alergen, bakteri dan polutan yang terperangkap pada mukus atau lapisan jeli dari lapisan mukosilier melalui jalur drainase alami. Sisa mukus pada cairan perisilier atau lapisan sol yang memungkinkan eliminasi yang cepat dari sekresi yang kental. Mucociliary clearance dapat diganggu oleh rusaknya fungsi siliari yang disebabkan oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik atau perubahan kekentalan dan produksi mukus. Faktor intrinsik yang dapat menyebabkan disfungsi silia diantaranya diskinesia siliari primer atau sindrom Kartagener. Faktor ekstrinsik yang dapat mengganggu mucociliary clearance diantaranya trauma oleh iritan lingkungan, mediator endogen dari inflamasi, atau trauma operasi. Pasien dengan fibrosis kistik memiliki kekentalan mukus yang tinggi sebagai proses sekunder dari perubahan transpor air dan elektrolit. Lapisan jeli dan sol dari lapisan mukus juga dipengaruhi, dengan demikian menghalangi pengeluaran bakteri. Iritan yang berasal dari udara, alergen, paparan udara dingin, ataupun infeksi virus pada saluran pernafasan atas dapat meningkatkan produksi mukus dan melampaui kecepatan mucociliary clearance. Semua faktor-faktor ini dapat menyebabkan penumpukan mukus di dalam sinus, menurunkan pengeluaran bakteri dan menciptakan lingkungan yang cocok untuk perkembangan bakteri (Schlosser dan Woodworth, 2009).

d. Inflamasi tulang

Penelitian baru-baru ini menyatakan bahwa tulang mungkin dapat berperan aktif dalam proses penyakit ini; inflamasi yang berhubungan dengan RSK dapat menyebar melalui sistem Haversian di dalam tulang. Angka

(6)

operasi yang menginduksi infeksi baik dengan Staphylococcus aureus atau pun Pseudomonas aeruginosa dapat menginduksi semua perubahan klasik dari osteomyelitis dan menginduksi perubahan inflamasi kronik di sepanjang mukosa pada jarak yang signifikan dari daerah infeksi. Oleh karena itu, inflamasi tulang mungkin merupakan faktor penting dalam penyebaran perubahan inflamasi kronis dan dapat menjelaskan kekebalan terhadap terapi medis. Masih belum jelas, apakah tulang menjadi terinfeksi dengan bakteri atau terapi medis. Namun masih belum jelas apakah tulang benar menjadi terinfeksi dengan bakteri atau perubahan yang diamati benar-benar reaktif (Schlosser dan Woodworth, 2009).

e. Sinusitis dentogen

Patologi pada gigi dapat menyebabkan sinusitis pada sinus maksila dengan penyebaran selanjutnya ke sinus yang berdekatan. Patologi ini dapat berupa infeksi gigi, abses akar gigi, fistel oro-antral dan prosedur operasi pada mulut yang menimbulkan sinusitis. Pasien-pasien ini khususnya membutuhkan terapi, baik terapi pada mulut maupun sinus untuk mengeradikasi infeksi (Schlosser dan Woodworth, 2009).

f. Biofilm

Pada kasus sinusitis dengan episode berulang, koloni dari berbagai macam mikroba cenderung terbentuk pada sinus. Oleh karena itu, saat ini diduga bahwa biofilm bakteri sebagai salah satu faktor etiopatologi yang memiliki peranan dalam terjadinya rinosinusitis kronis (Dlugaszewska, et al., 2015).

Penelitian yang terbaru membuktikan bahwa P. aeruginosa membentuk biofilm pada sinus, yang mungkin menyebabkan penyakit pada sinus yang membandel. Bakteri yang menghasilkan bifilm merupakan

(7)

organisasi kompleks dari bakteri yang melekat pada permukaan. Biofilm sangat kompleks, merupakan struktur tiga dimensi dari bakteri hidup, yang secara in vivo membentuk menara dan lapisan organisme hidup yang dibungkus oleh polisakarida. Mereka dapat menyerang pertahanan tubuh penjamu dan menunjukkan penurunan kepekaan terapi antibiotik baik secara lokal maupun secara sistemik. Bertahannya biofilm disebabkan oleh metode pertumbuhannya. P. aeruginosa berkembang dalam mikrokoloni yang dikelilingi oleh matriks ekstraseluler dari alginat eksopolisakarida. Biofilm yang terbentuk pada permukaan mukosa disebut dengan biofilm mukosa, bakteri penghasil biofilm yang terbentuk pada lingkungan khusus dari mukosa bersilia, dimana daerah ini merupakan daerah yang diharapkan memiliki proteksi terhadap formasi biofilm (Schlosser dan Woodworth, 2009).

2.1.4 Diagnosa

Berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012 rinosinusitis kronis dengan atau tanpa polip nasi pada dewasa didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih gejala dengan satu diantaranya berupa hidung tersumbat atau adanya sekret pada hidung (anterior / posterior nasal drip) yang disertai dengan nyeri wajah atau berkurang / hilang penciuman selama ≥ 12 minggu. Gejala tersebut harus didukung oleh gambaran pada endoskopi berupa polip nasi dan / atau sekret mukopurulen terutama berasal dari meatus media dan / atau edema atau obstruksi mukosa terutama pada meatus media, dan / atau perubahan pada gambaran CT scan berupa perubahan mukosa dalam kompleks ostiomeatal dan / atau sinus (Fokkens, et al., 2012).

(8)

2.2 Biofilm Secara Umum

Biofilm didefinisikan sebagai komunitas mikroba dalam bentuk sesil yang ditandai dengan sel-sel yang secara ireversibel melekat pada substratum atau satu sama lainnya. Mereka tertanam dalam matriks substansi polimer ekstraseluler (EPS) yang mereka hasilkan, dan menunjukkan perubahan fenotip berhubungan dengan tingkat pertumbuhan dan transkripsi gen (Donlan dan Costerton, 2002; Foreman, at al., 2009; Hassan, et al., 2011).

Secara alami 99% bakteri dalam bentuk sesil, hanya 1% yang dalam bentuk planktonik, dalam keadaan bebas mengambang (Keir, Pedelty dan Swift, 2011). Meskipun sebagian besar bakteri di alam ada sebagai biofilm, namun sebagian besar infeksi bakteri akut dalam bentuk planktonik, bakteri yang bebas bergerak (Ferguson dan Stolz, 2005). Biofilm dan bentuk planktonik dari spesies bakteri yang sama dijumpai berbeda dalam hal transkripsi gen dan ekspresi fenotip. Biofilm tidak hanya terbatas pada bakteri, patogen jamur juga mampu memproduksi biofilm (Costerton, et al., 2003; Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Sanglard, 2002).

Berdasarkan publikasi oleh National Institutes of Health, lebih dari 80% dari semua infeksi melibatkan biofilm. Biofilm berhubungan dengan banyak kondisi medis termasuk diantaranya alat-alat medis yang terpasang lama, plak gigi, infeksi saluran pernapasan atas, peritonitis, dan infeksi urogenital. Baik bakteri gram positif maupun gram negatif memiliki kemampuan untuk membentuk biofilm. Bakteri yang sering terlibat termasuk diantaranya Enterococcus faecalis, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus viridans, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus mirabilis dan Pseudomonas aeruginosa (Donlan, 2001; Hassan, et al., 2011; Reid, 1999).

(9)

Proses pembentukan biofilm terdiri dari perlekatan (attachment), pertumbuhan (growth) dan pelepasan (detachment) (gambar 2.1). Perlekatan awalnya reversibel dan berdasarkan pada daya tarik elektrostatik. Namun, permukaan bakteri mediasi protein dan pembentukan struktur penahan oleh beberapa sel menyebabkan adesi ireversibel (Costerton, Montanaro dan Arciola, 2004; Keir, Pedelty dan Swift, 2011). Pada bakteri Pseudomonas, tahap ini difasilitasi oleh pili tipe IV. Hal ini diperlukan untuk aktivitas berkerut dan juga untuk membantu akses ke mukosa saluran napas hidung (Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Sun, et al., 2013).

Gambar 2.1. Formasi biofilm. sel individu melekat di permukaan (1), substansi polimer ekstraseluler diproduksi perlekatan menjadi ireversibel (2),

biofilm matang dan berkembang (3 dan 4), sel tunggal keluar dari biofilm (5) (Keir, Pedelty dan Swift, 2011)

(10)

Proses perlekatan bakteri pada substratum dan pertumbuhan bakteri hingga beban yang cukup diakibatkan oleh sinyal kimia yang terkoordinasi di antara sel, yang dikenal sebagai quorum sensing (Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Singh, et al., 2000; Sun, et al., 2013). Bakteri gram positif menghasilkan γ-butyrolactones dan 'auto-inducing peptida'; bakteri gram negatif menghasilkan N-acylated homoserine lactones, kuinolon dan dipeptida siklik. Senyawa ini berjalan melalui difusi dan berinteraksi dengan permukaan bakteri tetangga dan / atau reseptor intraseluler (gambar 2.2) (Dunn dan Handelsman, 2002; Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Sun, et al., 2013).

Gambar 2.2. Quorum sensing: sel sesil dalam biofilm berkomunikasi satu sama lain via quorum sensing untuk membangun mikrokoloni dan

menjaga saluran air tetap terbuka (Levchenko, at al., 2015)

Komunikasi ini mengakibatkan induksi gen, peningkatan regulasi protom, dan akhirnya produksi dari ekstraseluler, substansi polimer yang terdiri dari polisakarida, asam nukleat dan protein (Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Sun, et al., 2013 Sutherland, 2001). Substansi ini membentuk matriks, menyediakan ekosistem yang cocok dengan kebutuhan kolini biofilm, yaitu

(11)

mengurangi kebutuhan nutrisi dan oksigen; memediasi untuk adesi ke permukaan; perlindungan dari kondisi eksternal yang tidak menguntungkan; lingkungan anaerobik yang menguntungkan; dan pembentukan saluran air yang memungkinkan pengeluaran produk limbah dan transportasi nutrisi (Chole dan Faddis, 2003; Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Sun, et al., 2013).

Pelepasan (detachment) bakteri dari biofilm terjadi karena kekuatan eksternal, atau dengan proses yang aktif segera setelah tingkat kematangan kritis tercapai. Pelepasan biofilm dapat difasilitasi oleh konduksi gerakan fisik seperti gelombang, oleh degradasi enzimatik dari matriks ekstraseluler dan oleh modulasi adesi permukaan (Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Sun, et al., 2013). Produk dari proses pelepasan merangsang pelepasan lebih lanjut dari bakteri planktonik. Embolisasi bakteri ke daerah lain kemudian dapat terjadi, memungkinkan seluruh proses untuk mulai lagi. (Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Sanclement, et al., 2005; Sun, et al., 2013).

Mikroorganisme yang tumbuh di dalam biofilm secara intrinsik lebih tahan terhadap agen antimikroba dibandingkan sel planktonik. Resistensi terhadap antibiotik ini dapat meningkat hingga 1000 kali lipat (Hassan, et al., 2011; Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Sun, et al., 2013). Hal ini terjadi melalui beberapa mekanisme. Dalam biofilm, kontak antar sel diantara mikroorganisme tetangga memfasilitasi pertukaran plasmid yang mudah, memungkinkan evolusi dari resistensi antibiotik (Donlan, 2002; Keir, Pedelty dan Swift, 2011). Selain itu, biofilm dapat menghasilkan β-laktamase yang menonaktifkan antibiotik β-laktam, matriks bermuatan negatif juga menolak aminoglikosida bermuatan positif. Akhirnya, pertumbuhan bakteri yang relatif lambat dalam biofilm mengganggu efektivitas antimikroba, yang mana obat-obatan tersebut lebih efektif dalam membunuh sel yang berkembang secara cepat (Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Walters, et al., 2003).

(12)

2.3 Biofilm pada Rinosinusitis Kronis

Rinosinusitis kronis merupakan penyakit yang sering dijumpai pada bagian telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Patogenesisnya belum sepenuhnya ditemukan. Teori multifaktor yang secara luas diterima diantaranya adalah infeksi (bakteri, jamur, virus), abnormalitas anatomi dari kompleks ostiomeatal, hipersensitivitas, disfungsi sistem mukosiliar. Pada beberapa tahun belakangan ini penelitian tentang bakteri pada rinosinusitis kronis melaporkan nilai positif sebanyak 32,5% sampai 96%, mengindikasikan adanya hubungan antara rinosinusitis kronis dengan bakteri (Yildirun, et al., 2004; You, et al., 2011). Beberapa peneliti mengemukakan bahwa biofilm adalah penyebab yang umum dari infeksi persisten kronis (Bendouah, et al., 2006; You, et al., 2011).

Bakteri biofilm terdiri dari polimer ekstraseluler yang disekresi oleh bakteri dan mozaik bakteri di dalamnya, bakteri biofilm ini memiliki karakteristik angka pertumbuhan yang lambat, resisten terhadap antibiotik yang kuat, kemampuan mentransfer gen secara bersamaan. Sekali biofilm terbentuk resistensi terhadap antibiotik meningkat 500 sampai 1000 kali dibandingkan dengan daerah yang bebas bakteri (Tewart dan Costerton, 2001; You, et al., 2011).

Peran biofilm sebagai etiologi patologis utama pada rinosinusitis kronis dapat membantu menjelaskan manifestasi klinis dari penyakit. Pada rinosinusitis kronis perubahan mukosa mengakibatkan kondisi yang baik untuk pertumbuhan biofilm. Sekali biofilm terbentuk, dapat menyebabkan resisten terhadap pertahanan tubuh host dan terapi eksternal dikarenakan antigen yang terus-menerus ada dan perkembangan proses inflamasi kronis (Harvey dan Lund, 2007; Keir, Pedelty dan Swift, 2011).

(13)

Penelitian yang dilakukan oleh Ramadan dkk mengambil spesimen mukosa dari sinus etmoid dan maksila dari 5 kasus yang didiagnosa dengan rinosinusitis kronis semuanya menunjukkan biofilm positif, yang terlihat di bawah mikroskop elektron dan kebanyakan seperti biofilm Staphylococcus aureus. Semua kasus menunjukkan derajat abnormalitas permukaan mukosa yang berbeda, susunan silia yang tidak teratur atau bahkan tidak ada silia dan sel goblet (Ramadan, Sanclement dan Thomas, 2005; You, et al., 2011). Sanclement dkk meneliti 30 kasus rinosinusitis kronis yang menjalani bedah sinus endoskopik fungsional dan 4 kasus kontrol (3 kasus septoplasty dan 1 kasus rinore cairan serebrospinal). Bakteri biofilm dijumpai pada 24 kasus dari kelompok rinosinusitis (80%), sedangkan pada kelompok kontrol tidak dijumpai biofilm (Sanclement, et al., 2005; You, et al., 2011). Zhang dkk meneliti 12 spesimen mukosa pasien rinosinusitis kronis, yang menunjukkan angka biofilm positif sebanyak 83,3% dan biofilm tersebut dijumpai pada semua fase yaitu perlekatan, perkembangan dan pelepasan (You, et al., 2011; Zhang, et al., 2008). Hasil-hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa biofilm kemungkinan terlibat dalam patogenesis rinosinusitis kronis (You, et al., 2011).

Boase dkk pada tahun 2013 menemukan Staphylococcus aureus sebagai organisme yang paling banyak dijumpai pada pasien rinosinusitis kronis (61%), diikuti oleh Staphylococcus epidermidis (55%), dan Propionibacterium acnes (37%). Nocardia asteroides (24%), Haemophilus influenzae (13%) dan Pseudomonas aeruginosa (8%) lebih sedikit terdeteksi (Boase, et al., 2013). Stephenson dkk menemukan Haemophilus influenzae sebanyak 17% pada pasien rinosinusitis kronis, berbeda dengan penelitian belakangan ini yang menggunakan FISH (fluorescent in situ hybridisation) mengemukakan Haemophilus influenzae sebagai organisme dominan pada

(14)

terbaru menemukan Pseudomonas aeruginosa sebagai organisme dominan pada pasien rinosinusitis kronis. Perbedaan profil organisme antar studi menggambarkan variasi daerah, pola penggunaan antimikroba, perbedaan metodologi, atau gambaran keparahan penyakit (Boase, et al., 2013).

Dengan menggunakan berbagai macam teknik pencitraan, biofilm telah dijumpai pada mukosa sinonasal dari pasien rinosinusitis kronis (Cryer, et al., 2004; Ferguson dan Stolz, 2005; Sanderson, Leid dan Hunsaker, 2006). Lebih lanjut lagi, adanya biofilm telah dihubungkan dengan sinusitis yang gejala klinisnya lebih buruk (Bendouah, et al., 2006; Foreman, et al., 2009). Temuan ini direplikasikan pada studi baru-baru ini dimana dijumpai pasien rinosinusitis kronis dengan biofilm positif memiliki skor gejala klinis yang lebih buruk secara signifikan dibandingkan dengan yang nonbiofilm. Tetapi tidak ada perbedaan antara skor CT Lund-Mackay, yang menguatkan kurangnya korelasi antara skor gejala dan pemeriksaan radiologis terhadap keparahan penyakit (Foreman, et al., 2009).

Terdapat peningkatan bukti bahwa biofilm memiliki peranan penting pada beberapa penyakit inflamasi kronis. Deteksi biofilm pada pasien rinosinusitis kronis yang menjalani FESS sangatlah penting karena sangat berhubungan dengan kegagalan terapi dan gejala yang menetap (prognosis) dan terapi yang akan diberikan (Hong, et al., 2014).

2.4 Pemeriksaan Biofilm

Ada beberapa teknik pemeriksaan biofilm, teknik yang telah distandarisasi sangat penting sekali dikembangkan. Berbagai metode telah distandarisasi pada beberapa laboratorium, metode-metode ini diantaranya metode lempeng kultur jaringan, metode tabung, metode agar merah kongo,

(15)

liquid-interface coverslip assay, scanning mikroskop elektron, transmission mikroskop elektron dan pemeriksaan dengan mikroskop cahaya atau fluoresens. Masing-masing metode mempunyai kekurangannya masing-masing, misalnya scanning mikroskop elektron dan transmission mikroskop elektron fiksasinya sulit dan merupakan suatu tantangan dalam membedakan antara mukus, gumpalan darah dan biofilm, sedangkan confocal scanning laser microscopy yang digunakan bersamaan dengan fluorescent in-situ hybridisation membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memprosesnya (Mathur, et al., 2006; Taj, et al., 2012; Hong, et al., 2014). Saat ini baku emas untuk mengidentifikasi adanya biofilm adalah confocal scanning laser microscopy yang digunakan bersamaan dengan fluorescent in-situ hybridisation (FISH) (Keir, Pedelty dan Swift, 2011).

Hong dkk dalam penelitiannya terhadap 55 orang pasien rinosinusitis kronis yang menjalani bedah sinus endoskopi fungsional mendeteksi biofilm menggunakan pewarnaan hematoxylin eosin dengan 3 observer independent, menyimpulkan bahwa pewarnaan hematoxylin eosin dalam mendeteksi biofilm dapat menjadi metode yang praktis dan murah (Hong, et al., 2013).

Toth dkk dalam penelitiannya terhadap 50 pasien rinosinusitis kronis dan 12 orang yang menjalani septoplasti tanpa rinosinusitis kronis sebagai kontol negatif mendeteksi adanya biofilm bakteri dengan pewarnaan hematoxylin eosin dan menyimpulkan bahwa pewarnaan hematoxylin eosin merupakan metode yang kuat dan terpercaya dalam mendeteksi biofilm bakteri pada rinosinusitis kronis (Toth, et al., 2011).

Hochstim dkk dalam penelitiannya yang membandingkan antara pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin dengan fluorescent

(16)

in-merupakan prediktor akurat terhadap ada atau tidak adanya biofilm pada semua kasus dengan FISH sebagai standar kontrolnya dimana sensitivitasnya 78% dan spesifisitasnya 93% (Boase, et al., 2013; Hochstim, et al., 2010).

Pada pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin mukosa yang diambil dari sinus etmoid difiksasi dalam formalin 4% selama 48 jam. Kemudian diwarnai dengan hematoxylin eosin dengan menggunakan prosedur patologi standar. Secara singkatnya, potongan mukosa dideparafinisasi dalam xylene (2x5 menit) dan direhidrasi secara berturut-turut selama 1 menit dicuci dengan ethanol 100%, 96%, 80%, dan 70%. Kemudian diwarnai dengan hematoxylin selama 2 menit, dicuci dengan air suling, dicuci dengan asam hidroklorida 0,1% dalam 50% ethanol, dicuci dengan air keran selama 15 menit, diwarnai dengan eosin selama 1 menit, dan dicuci lagi dengan air suling. Slide-nya kemudian didehidrasi dengan ethanol 95% dan 100% secara berurutan diikuti dengan xylene (2x5 menit) dan ditutup dengan coverslip. Kemudian slide dianalisa dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 20x dan 40x. Secara histologis biofilm tampak sebagai bentuk yang ireguler dari kelompok bakteri basofilik kecil, substansi ekstrapolimer, dan sisa eritrosit dan leukosit yang terperangkap pada permukaan epitel (gambar 2.3). Sampel diklasifikasikan menjadi, memiliki biofilm yang luas bila terdapat keterlibatan 50% atau lebih dari permukaan mukosa yang dianalisa, sedangkan bila kurang dari 50% diklasifikasikan sebagai biofilm positif, atau bila tidak ada dikatakan sebagai biofilm negatif (Hochstim, et al., 2010).

(17)

Gambar 2.3. Biofilm dengan pewarnaan hematoxylin eosin (Hochstim, et al., 2010)

Sangat disayangkan confocal scanning laser microscopy merupakan peralatan yang tidak murah, tidak tersedia luas dan sulit untuk diaplikasikan praktek klinis sehari-hari (Hochstim, et al., 2010; Toth, et al., 2011; Hong, et al., 2014). Namun dikarenakan terdapat peningkatan bukti bahwa biofilm berperan penting dalam banyak penyakit kronis, maka penting untuk mengidentifikasi metode yang lebih mudah dan lebih murah untuk meneliti biofilm pada sampel klinis. Ketersediaan pewarnaan hematoxylin eosin yang luas dalam laboratorium patologi klinik membuatnya menjadi metode yang sangat praktis untuk mendeteksi biofilm dalam praktek klinis (Hochstim, et al., 2010; Toth, et al., 2011; Natili, 2014). Pewarnaan hematoxylin eosin dapat menginvestigasi lapisan jaringan dan arsitektur mikroskopisnya. Identifikasi mikrobiologi dari agen infeksi berbeda yang terlibat dalam formasi biofilm memerlukan pemeriksaan kultur bakteri. Biofilm sangat penting untuk dideteksi karena berhubungan erat dengan kegagalan terapi dan gejala yang

(18)

2.5 Penatalaksanaan Biofilm

Penatalaksanaan pasien dengan rinosinusitis kronis merupakan suatu tantangan bagi dokter spesialis telinga hidung tenggorok, karena banyaknya faktor yang terlibat dalam patofisiologi dari penyakit ini. Faktor lingkungan termasuk berbagai macam mikroorganisme dan interaksi dengan pejamu bertanggung jawab terhadap gejala dari rinosinusitis kronis. Adanya biofilm pada pasien dengan rinosinusitis kronis bertanggung jawab terhadap hasil yang buruk setelah terapi bedah dengan FESS (Dlugaszewska, et al., 2015).

Penatalaksanaan standar rinosinusitis kronis pada orang dewasa saat ini yang direkomendasikan oleh kelompok studi Rinologi PERHATI-KL meliputi pemberian antibiotik, dekongestan oral, kortikosteroid dan mukolitik disertai terapi tambahan irigasi hidung. Penatalaksanaan terhadap rinosinusitis kronis yang disebabkan oleh biofilm juga sama (Mangunkusumo, 2011).

Meskipun komunitas medis telah mengetahui bahwa banyak penyakit dan infeksi yang disebabkan oleh biofilm, namun kebanyakan peneliti meyakini bahwa biofilm sulit atau tidak mungkin dimusnahkan, terutama sel yang membentuk lapisan bagian dalam dari biofilm yang tebal. Kebanyakan tulisan tentang biofilm menyatakan bahwa biofilm resisten terhadap antibiotik yang diberikan secara standar. Beberapa peneliti telah berulang kali mencoba memusnahkan biofilm dengan memberikan kepada pasien antibiotik dengan dosis tinggi dan secara konstan. Namun sayangnya ketika diberikan dengan dosis tinggi, antibiotik tersebut dapat melemahkan biofilm sementara, tetapi tidak dapat menghancurkannya (Deb, et al., 2014). Kemampuan biofilm dalam mentoleransi antibiotik dalam dosis tinggi ini dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu kurangnya penetrasi antibiotik ke dalam matriks dari biofilm; di dalam biofilm bakteri secara fisiologis berubah

(19)

dari bentuk planktonis yang aktif menjadi immobile dan tidak berkembang di dalam biofilm, sementara antibiotik lebih efektif dalam menghancurkan sel yang sedang berkembang aktif; adanya perubahan lingkungan kecil di dalam biofilm sepert pH dan kadar oksigen yang dapat menurunkan aktivitas agen antimikroba; adanya perubahan ekspresi gen organisme di dalam biofilm; dan berkurangnya fenotip spesifik dari biofilm (Aziz dan Aeron, 2014).

Antibiotik hanya efektif melawan biofilm bila diberikan dengan cara yang sangat spesifik. Selanjutnya, hanya antibiotik tertentu yang efektif terhadap biofilm. Contohnya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa penetrasi dari Oxacillin, Cefotaxime (β-laktamase) dan Vancomycin (glikopeptida) berkurang seccara signifikan terhadap biofilm Staphylococcus aureus dan Streptococcus epidermidis sedangkan Amikacin (aminoglikosida) dan Ciprofloxacin (fluorokuinolon) tidak terpengaruh. Setelah beberapa dekade penelitian, yang kebanyakan berasal dari molecular modeling data, Marshall adalah orang pertama yang menciptakan regimen antibiotik yang secara efektif mentarget dan menghancurkan biofilm, yang disebut dengan Marshall Protocol. Yang utama dari Marshall Protocol ini adalah fakta bahwa biofilm dapat dimusnahkan sampai tuntas dengan pemberian antibiotik bakteriostatik spesifik yang diberikan dalam dosis rendah dan berpulsasi. Pemberian antibiotik dengan dosis standar hanya dapat memusnahkan bakteri dalam bentuk planktonis saja tetapi menyisakan persister (Deb, et al., 2014). Persister adalah subpopulasi kecil dari bakteri di dalam biofilm yang berdiferensiasi menjadi sel dorman (Aziz dan Aeron, 2014). Antibiotik dalam dosis rendah dan berpulsasi ini diberikan dengan cara pertama-tama antibiotik diberikan lalu kemudian dihentikan sementara setelah itu diberikan lagi. Pemberian antibiotik yang pertama kali dapat memusnahkan sebagian besar sel biofilm dan menyisakan persister. Penghentian antibiotik

(20)

pemberian antibiotik dihentikan sementara, persister yang tersisa tidak dapat berkembang lebih lanjut lagi dikarenakan sel persister tersebut kehilangan fenotipnya (bentuk dan properti biokimianya), artinya sel persister tersebut tidak dapat berubah kembali menjadi bentuk biofilm. pemberian antibiotik yang kedua selanjutnya dapat memusnahkan sel persister yang tetap dalam bentuk planktonis (Deb, et al., 2014).

Antibiotik yang digunakan dalam Marshall Protocol umumnya antibiotik yang bersifat bakteriostatik, seperti Eritromisin, Azitromisin ataupun golongan makrolida lainnya. Dosis yang diberikan adalah di bawah dari dosis minimal terapi yang lazim digunakan dengan pemberian selama tidak kurang dari 2 bulan, misalkan Azitromisin diberikan di bawah dosis 250mg. Selain itu pasien juga mengkonsumsi Olmesartan (Benicar) yang dapat mengikat dan mengaktifkan vitamin D receptor (VDR), sehingga memperbaharui kemampuan tubuh untuk, mengaktifkan sistem imun. Olmesartan diberikan dengan dosis 40mg 4x sahari, terkadang dapat ditingkatkan hingga tiap 4 jam sekali (Proal, 2008; Trister, 2015).

Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa larutan cuci hidung (larutan saline) yang dicampur dengan 1% sampo bayi pada rinosinusitis kronis memberikan hasil yang baik dibandingkan dengan yang hanya diberi larutan saline. Chiu dkk pada tahun 2008 mendapatkan 60% pasien menunjukkan perkembangan hasil yang lebih baik pada keringnya post nasal drip dan kekentalan mukus. Hal ini disebabkan oleh karena sampo bayi mengandung surfaktan (Chiu, et al., 2008).

Pada beberapa tahun belakangan ini, pendekatan anti-biofilm baru telah dikembangkan sebagai alternatif dari terapi antibiotik klasik, diantaranya antimikroba peptida, enzim yang melemahkan matriks biofilm, bakteriofag, terapi ultrasonik, quorum sensing inhibitors, agen anti adesi. Pemahaman

(21)

yang mendalam mengenai mekanisme resistensi biofilm terhadap antimikroba akan sangat bermanfaat dalam mengembangkan agen anti-biofilm baru yang inovatif (Aziz dan Aeron, 2014; Chen, Yu dan Sun, 2013; Sun, et al., 2013).

2.6 Kultur Bakteri dan Uji Kepekaan Antibiotik

Mikroorganisme memiliki peranan penting dalam menyebabkan rinosinusitis kronis, sehingga agen antimikroba merupakan terapi primer. Namun antimikroba yang diberikan adalah secara empiris tidak berdasarkan pada hasil isolasi dan sensitifitas mikroorganisme, sehingga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan insiden resistensi pada beberapa mikroorganisme dan membuat penanganan dari infeksi ini menjadi lebih rumit. Data mikrobiologi yang terperinci sangat diperlukan dalam memandu penatalalaksanaan sinusitis kronis (Udayasri dan Radhakumari, 2016).

Pasien dengan rinosinusitis kronis mengkonsumsi antibiotik dalam jangka waktu lama, hal ini dapat menyebabkan terjadinya resistensi. Bersamaan dengan pasien yang tidak patuh terhadap pengobatan, penggunaan obat yang tidak efisien, konsumsi obat dengan dosis yang salah, dan penggunaan antibiotik yang tidak bijaksana, semuanya berkontribusi terhadap rendahnya sensitifitas mikroorganisme terhadap antibiotik (Araujo, et al., 2007).

Metode aspirasi dan biopsi mukosa sinus maksila sebelumnya dipakai sebagai baku emas dalam menentukan mikroorganisme yang terlibat pada rinosinusitis. Namun, teknik tersebut memiliki beberapa kekurangan dimana tidak dapat menggambarkan data mikrobiologi dari sinus etmoid, frontal dan

(22)

bahan kultur dari sinus paranasal seperti swab hidung dan nasofaring tidak dapat dipercaya karena tingginya angka kontaminasi dari koloni mikroorganisme. Endoskopi hidung memungkinkan untuk mengidentifikasi adanya perubahan struktur yang menyebabkan pasien menderita rinosinusitis kronis dan melihat daerah drainase dari sinus paranasal. Prosedur ini dapat dilakukan dengan mudah dengan anestesi lokal di praktek klinis, dengan ketidaknyamanan yang minimal. Lebih lanjut lagi, pengambilan sampel kultur dari meatus media dengan bantuan endoskopi dapat mewakili langkah utama dalam menangani infeksi berulang pada hidung dan sinus paranasal, membantu dalam pemilihan antibiotik yang sesuai berdasarkan hasil kultur (Araujo, et al., 2007; Udayasri dan Radhakumari, 2016).

Sensitifitas kultur sekret dari meatus media dengan bantuan endoskopi hidung dapat dinilai dengan membandingkannya dengan punksi dari maksila. Araujo dkk dalam penelitiannya pada 16 pasien dijumpai 73% mikroorganisme yang sama pada kedua kultur. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Orobello dkk dengan hasil yang sama sebanyak 83% antara meatus media dan antrum maksila. Gold dan Tami membandingkan sampel dari meatus media dan sinus maksila dari 18 pasien dengan rinosinusitis kronis dan dijumpai kesamaan sebanyak 85%. Klossek dkk menyimpulkan bahwa keakuratan pengumpulan sampel dengan endoskopi hidung mendekati 80%. Bassiouni dkk dalam penelitiannya menyimpulkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara mikrobiota dari jaringan mukosa dan sampel swab. Penelitian-penelitian tersebut di atas menyatakan bahwa kultur meatus media dengan endoskopi merupakan alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan punksi antrum, dimana efektif dalam mengidentifikasi patogen dan metode diagnostik yang non invasif untuk etiologi rinosinusitis (Araujo, et al., 2007; Bassiouni, et al., 2015).

(23)

You dkk dalam penelitiannya terhadap 90 spesimen menjumpai 64 (71,1 %) biofilm positif dan dari kultur bakteri dijumpai 61 bakteri yang terisolasi, dimana 98,4 % merupakan bakteri aerob. Kultur bakteri positif pada 60 (66,7 %) dari 90 pasien. Terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi biofilm dan kultur bakteri (You, et al., 2011). Boase dkk dalam penelitiannya terhadap 38 penderita rinosinusitis kronis dimana dilakukan pengambilan mukosa sinus etmoid untuk pemeriksaan biofilm dan swab meatus media untuk kultur bakteri, mendapatkan hasil kultur positif sebanyak 73% dengan rata-rata 1,3 organisme per pasien yang terdeteksi dan 12 organisme berbeda yang teridentifikasi. Mereka juga menyimpulkan bahwa hasil deteksi biofilm dengan pemeriksaan FISH dan kultur bakteri berhubungan pada kebanyakan organisme, dan selanjutnya kultur cenderung dipilih untuk organisme yang cepat berkembang (Boase, et al., 2013).

Dlugaszewska dkk dalam penelitiannya mendapatkan hasil dari sampel mikrobiologi yang diambil dari pasien rinosinusitis kronis mikroorganisme yang paling sering terisolasi adalah Staphylococcus epidermidis (41,2 %) yang diikuti oleh Coagulase-negative cocci (16,1 %). Nigro dkk mengisolasi Coagulase-negative cocci sebanyak 12,1 %, sedangkan Mantovani dkk mengisolasi Staphylococcus epidermidis pada 13,9 % pasien rinosinusitis kronis (Dlugaszewska, et al., 2015). Udayasri dan Radhakumari dalam penelitiannya mendapatkan bakteri gram positif lebih peka terhadap Ciprofloxacin (90%) dan Clindamycin (90%) dan semua bakteri yang terisolasi 100% sensitif terhadap Vancomycin (Udayasri dan Radhakumari, 2016).

(24)

2.7 Cara Pemeriksaan Kultur Bakteri dan Uji Kepekaan Antibiotik

Sekret pada meatus media diambil dengan menggunakan transport swabs (Oxoid) yang diusapkan langsung di meatus media hingga kapas pada bagian ujungnya basah dengan bantuan endoskopi. Sampel kemudian dikirim ke laboratorium mikrobiologi dan diproses 2-4 jam setelah sampel diambil (Araujo, et al., 2007; Uhliarova, et al., 2014).

Sampel kemudian diinokulasi pada agar darah dan agar Mac Conkey. Lalu diinkubasi pada 37oC selama 24 jam dalam inkubator bakteriologis. Setelah itu lempeng agar diperiksa apakah ada pertumbuhan koloni bakteri. Selanjutnya dilakukan pewarnaan gram pada bakteri yang tumbuh untuk melihat morfologinya. Setelah bakteri difiksasi pada gelas objek kemudian dituangkan zat warna ungu kristal di atas sediaan selama 1-5 menit. Lalu sediaan dicuci dengan air keran selama 5-10 detik, kemudian digenangi dengan larutan lugol selama 1 menit, setelah itu dicuci kembali dengan air keran (5-10 detik). Selanjutnya sediaan dicelup dan digoyang dalam bak berisi alkohol 96% selama 30 detik. Sediaan dicuci dengan air keran kembali. Lalu digenangi dengan fuchsin-air (safranin) selama 1-2 menit, dan dicuci kembali dengan air keran, lalu keringkan di udara. Setelah kering, sediaan dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000x (Iswara, 1987; Udayasri dan Radhakumari, 2016).

Uji kepekaan antibiotik dilakukan pada semua bakteri yang terisolasi dengan menggunakan metode difusi cakram Kirby Bauer pada agar Muller Hinton menggunakan cakram antibiotik Hi media. Cakram antibiotik diletakkan pada permukaan lempeng agar dengan bantuan pinset steril dan ditekan sedikit agar melekat dengan baik, lalu dieramkan pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Kemudian daerah hambatan di sekitar cakram antibiotik yang tidak ditumbuhi oleh koloni bakteri diukur diameternya dalam milimeter

(25)

dengan penggaris lalu disesuaikan dengan tabel modified Kirby Bauer method (Iswara, 1987; Udayasri dan Radhakumari, 2016).

(26)

2.8 Kerangka Konsep

Sel bakteri melekat di permukaaan

Toksin bakteri dan mediator endogen Biofilm Pelepasan bakteri dari biofilm Epitel respiratori bersilia rusak

Infeksi lebih lanjut

Mucocilliary clearance terganggu Sekresi sinus menumpuk Progresi dari rinosinusitis akut

Faktor anatomi Disfungsi mukosilier Inflamasi tulang Sinusitis dentogen

Rinosinusitis kronis Pertumbuhan bakteri

hingga beban yang cukup

Quorum sensing

Gambar

Gambar 2.1. Formasi biofilm. sel individu melekat di permukaan (1),  substansi polimer ekstraseluler diproduksi perlekatan menjadi ireversibel (2),
Gambar 2.2. Quorum sensing: sel sesil dalam biofilm berkomunikasi satu  sama lain via quorum sensing untuk membangun mikrokoloni dan
Gambar 2.3. Biofilm dengan pewarnaan hematoxylin eosin (Hochstim,  et al., 2010)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang telah dilakukan terhadap model pembelajaran kooperatif dengan pendekatan saintifik berbantukan web di SMAN 4 Kota Bengkulu pada kelas X IPA I

Pengobatan sendiri pada nyeri akut dengan obat anti nyeri dari 45 responden yang melakukan pengobatan sering yaitu sebanyak 25 orang (55.6%), dan yang melakukan pengobatang

Dalam perencanaan struktur bangunan kayu bersadarkan beberapa peraturan kayu yang ada saat ini, yaitu antara lain peraturan kayu Amerika Serikat (AWC,2011) dan

This document contains certain financial information and results of operation, and may also contain certain projections, plans, strategies, and objectives of Indosat, that are

memunculkan gagasan-gagasan serta ide-ide yang berguna, sehingga aparat penegak hukum juga dapat bekerja sama dalam menggabungkan antara gagasan dengan kinerja

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran: 1) tingkat pengetahuan siswa terhadap pemilihan pola motif hias untuk benda fungsional yang berupa alas meja, 2) kinerja

Dalam berbagai hal benda-benda kerja yang dibentuk melalui proses pengecoran memiliki keunggulan baik sifat maupun efisiensi pembentukannya, bahkan tidak dimiliki

usia dini terhadap perkembangan anak usia toddler (1-3 tahun) di Desa. Cendana Kecamatan Banjarnegara