BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak usia di bawah lima tahun (Balita) merupakan masa terbentuknya
dasar kepribadian manusia, kemampuan penginderaan, berpikir, ketrampilan
berbahasa dan berbicara, bertingkah laku sosial dan lain sebagainya. Masa
balita adalah masa emas atau golden age dalam rentang perkembangan
individu. Masa ini merupakan masa kritis yang akan menentukan hasil proses
tumbuh kembang anak selanjutnya. Balita terbagi dalam dua kategori
berdasarkan karakteristik usia, usia 1-3 tahun disebut batita atau toddler dan
usia pra sekolah 3-5 tahun (Hariweni, 2003).
Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
(Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3143) dalam perkembangan anak menuju dewasa terdapat berbagai
tahapan yang harus di lalui anak. Tahapan terpenting adalah masa balita
terutama masa tiga tahun pertama (usia toddler), karena pada masa ini
pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan
selanjutnya. Kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional,
dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan
perkembangan berikutnya.
Berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
tercatat sebanyak 13.898.951 jiwa dari 234.292.695 jiwa (5,93%) penduduk
Indonesia. Di Indonesia toddler cukup besar yaitu sekitar 22 juta dari 77,8
juta anak Indonesia sehingga perlu mendapat perhatian yang khusus. Pada
tahun 2011 sekitar 35,4% anak balita di Indonesia menderita penyimpangan
perkembangan seperti penyimpangan dalam motorik kasar, motorik halus,
serta penyimpangan mental emosional. Pada tahun 2012 berdasarkan
pemantauan status tumbuh kembang balita, prevalensi tumbuh kembang turun
menjadi 23,1%. Hal ini disebabkan karena Indonesia mengalami kemajuan
dalam program edukasi (Soejatmiko, 2008).
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam
struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan
dapat diramalkan sebagai hasil dari proses pematangan (Soetjiningsih, 1998).
Perkembangan anak memerlukan rangsangan/stimulasi khususnya dalam
keluarga, misalnya penyediaan alat mainan, sosialisasi anak, keterlibatan ibu
dan anggota keluarga lain terhadap kegiatan anak (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2009).
Penelitian dari Pancsofar, et al. (2010) menjelaskan bahwa pekerjaan
orang tua, status kelahiran pertama, pendidikan ayah dan ibu mempunyai
pengaruh terhadap perkembangan komunikasi pada anak usia 15 bulan dan
perkembangan bahasa pada anak usia 36 bulan. Penelitian dari Sim et al. (2012) menjelaskan status ekonomi sosial di kota Chili berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan bayi yang berkaitan dengan pemberian
Afifah (2011) menunjukkan adanya pernikahan dini pada anak perempuan
yang tinggal di perdesaan, tidak bekerja dan strata ekonomi miskin
mempengaruhi status gizi anaknya yang lahir dan tumbuh kembangnya
sehingga anak menjadi pendek.
Pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21–25 tahun
sementara laki-laki 25–28 tahun. Karena diusia itu organ reproduksi
perempuan secara psikologis sudah berkembang dengan baik dan kuat serta
siap untuk melahirkan keturunan secara fisik sudah mulai matang. Sementara
laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu
menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik secara psikis
emosional, ekonomi dan sosial. Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan
pertimbangan yang matang dari satu sisi dapat mengindikasikan sikap tidak
affresiatif terhadap makna nikah dan bahkan lebih jauh bisa merupakan
pelecehan terhadap kesakralan sebuah pernikahan. Sebagian masyarakat yang
melangsungkan perkawinan usia muda ini dipengaruhi karena adanya
beberapa faktor-faktor yang mendorong mereka untuk melangsungkan
perkawinan usia muda atau di bawah umur (Mohammad, 2005).
Hasil penelitian UNICEF di Indonesia (2002), menemukan angka
kejadian pernikahan anak berusia 15 tahun berkisar 11%, sedangkan yang
menikah di saat usia tepat 18 tahun sekitar 35%.Praktek pernikahan usia dini
paling banyak terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Data di Asia Tenggara
didapatkan bahwa sekitar 10 juta anak usia di bawah 18 tahun telah menikah,
mereka berusia 18 tahun. Amerika Latin dan Karibia, 29% wanita muda
menikah saat mereka berusia 18 tahun. Prevalensi tinggi kasus pernikahan
usia dini tercatat di Nigeria (79%), Kongo (74%), Afganistan (54%), dan
Bangladesh (51%).
Menurut survey tahun 2005 terdapat 21,5% wanita di indonesia yang
perkawinan pertamanya dilakukan ketika berusia 17 tahun. Di daerah
pedesaan dan perkotaan wanita melakukan perkawinan dibawah umur tercatat
masing-masing 24,4% dan 16,1%. Persentase tersebar kawin muda terdapat
diprovinsi Jawa Timur 90,3%, Jawa Barat 39,6% dan Kalimantan Selatan
37,5%. Serta pernikanan dini berkisar 12-20% yang dilakukan oleh pasangan
baru. Biasanya, pernikahan dini dilakukan pada pasangan usia muda rata-rata
umumnya antara 16-20 tahun. Secara Nasional pernikahan dini dengan usia
pengantin dibawah usia 16 tahun sebanyak 26,95% (Depkes RI, 2005).
Data dari BKKBN yang menunjukkan tingginya pernikahan di bawah
usia 16 tahun di Indonesia, yaitu mencapai 25% dari jumlah pernikahan yang
ada. Bahkan di beberapa daerah persentase lebih besar, seperti jawa timur
(39,43%), dan jawa tengah (27,84%). Demikian juga temuan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di kawasan pantura, perkawinan
mencapai 35,20% di antaranya dilakukan pada usia 9-11 tahun (Anonim,
2005).
Angka pernikahan antara 16-20 tahun berjumlah 9,4% dari 218
perempuan yang telah menikah dan akan menikah. Angka pernikahan pada
laki-laki. Data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
dari 2 juta perkawinan sebanyak 34,5 % kategori pernikahan dini. Data
pernikahan dini tertinggi berada di Jawa Timur. Bahkan lebih tinggi dari
angka rata-rata nasional yakni mencapai 39 % (Bappenas, 2005).
Pernikahan adalah suatu hal yang sangat vital bagi seseorang dalam
memulai kehidupan yang baru dimana tujuan pernikahan adalah untuk
melangsungkan keturunanya. Menurut Duvall & Miller, (1985) mengatakan
kesiapan menikah merupakan keadaan siap atau bersedia dalam berhubungan
dengan seorang pria atau wanita, siap menerima tanggung jawab sebagai
seorang suami atau seorang istri, siap terlibat dalam hubungan seksual, siap
mengatur keluarga, dan siap mengasuh anak.
Terdapat beberapa aspek kesiapan yang harus diperhatikan dalam
sebuah pernikahan karena kesiapan inilah yang nantinya akan berpengaruh
terhadap keturunanya. Kesiapan dalam sebuah perkawinan mencangkup
kesiapan segi kehidupan sosial, ekonomi, fisiologis, psikologis, dan spiritual.
Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) usia
untuk hamil dan melahirkan adalah 20 sampai 30 tahun, lebih atau kurang
dari usia tersebut adalah beresiko. Kesiapan seseorang perempuan untuk dan
melahirkan atau mempunyai anak ditentukan oleh kesiapan dalam tiga hal,
yaitu kesiapan fisik, kesiapan mental/emosi/psikologis dan kesiapan
sosial/ekonomi (Anonim, 2005).
Menurut Akbar dalam Malehah (2010) kesiapan spiritual atau aspek
“Seksualitas Ditinjau Dari Segi Hukum Islam” mengemukakan diantara
faktor yang mempengaruhi kerukunan rumah tangga yaitu faktor kematangan
sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan karena emosi yang belum
matang untuk berfungsi sebagai suami dan istri, rumah tangga menjadi
berantakan.
Sabda Rasulullah memberikan petunjuk, bahwa baik pria maupun
wanita apabila belum mampu, dianjurkan untuk menunda perkawinan sampai
mempunyai kemampuan mental fisik, terutama bagi calon istri yang akan
menghadapi kehamilan dan kelahiran. Faktor usia ibu yang hamil akan
berpengaruh besar terhadap kualitas janin dan perkembangan anak
selanjutnya. Resiko penderitaan yang mengandung bahaya ini harus selalu
diperhatikan dan selanjutnya dihindarkan agar tidak merusak keturunan atau
generasi berikutnya (Malehah, 2010)
Kesiapan sosial-ekonomi berkaitan dengan bagaimana individu berani
membentuk keluarga melalui perkawinan dengan segala tanggung jawabnya
dalam menghidupi keluarga dan menjadi penyangga bagi keluarga. Menurut
Santrock, (2003) bahwa pernikahan pada usia dini memiliki pendapat yang
rendah karena dari segi pendidikan mereka belum mempunyai pendidikan
yang cukup untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai.
Kesiapan fisiologis atau badaniah yaitu untuk melakukan tugas atau
kewajiban dari perkawinan itu sendiri dibutuhkan kesiapan jasmani yang
cukup matang dan sehat (Maryati dkk, 2007). Kesehatan obstetrik
komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu dan anak seperti: anemia,
preeklamsi, eklamsia, abortus, partus prematurus, kematian perinatal,
perdarahan dan tindakan operatif obstertri lebih sering dibandingkan dengan
kehamilan pada golongan usia 20 tahun keatas (Soetjiningsih, 2004).
Menurut Hadi (2005) bahwa remaja perempuan yang memasuki usia
perkawinan mereka akan hamil dengan status gizi yang rendah, karena
membutuhkan peningkatan asupan energi dan zat gizi untuk pertumbuhan
dirinya sendiri dan bayi yang dikandung Menurut Santrock (2003) Kehamilan
remaja menciptakan resiko kesehatan baik bagi bayi maupun ibu. Bagi bayi
yang dilahirkan oleh ibu yang masih remaja cenderung memiliki bobot yang
rendah ini merupakan faktor utama yang menyebabkan kematian pada bayi
maupun masalah-masalah neurologis dan penyakit pada bayi.
Kesiapan psikologis adalah kesiapan yang datang dari dalam tubuh
individu dalam menentukan sebuah pilihan dan keputusan. Kesiapan
psikologis khususnya dalam kehamilan pada masa remaja dan menjadi orang
tua pada usia remaja berhubungan secara bermakna dengan risiko medis dan
psikososial, baik terhadap ibu maupun bayinya. Faktor kondisi fisiologis dan
psikososial intrinsik remaja, bila diperberat lagi dengan faktor-faktor
sosiodemografi seperti: kemiskinan, pendidikan yang rendah, belum menikah,
asuhan pranatal yang tidak adekuat akan mengakibatkan meningkatnya risiko
kehamilan dan kehidupan keluarga yang kurang baik (Soetjiningsih, 2004).
Menurut Mangoenprasodjo (2004) selain mempengaruhi aspek fisik,
sebenarnya belum siap untuk menjadi ibu dalam arti keterampilan mengasuh
anaknya. Ibu muda ini lebih menonjolkan sifat keremajaannya daripada sifat
keibuannya. Menjadi orang tua memerlukan adanya kesiapan perubahan
peran, hal ini diperlukan karena dengan semakin tingginya kesiapan dalam
perubahan peran maka pelaksanaan tugas perkembangan keluarga nantinya
akan semakin baik (Ekasari, 2013).
Sifat-sifat keremajaan ini (seperti, emosi yang tidak stabil, belum
mempunyai kemampuan yang matang untuk menyelesaikan konflik-konflik
yang dihadapi, serta belum mempunyai pemikiran yang matang tentang masa
depan yang baik), akan sangat mempengaruhi perkembangan psikososial anak
dalam hal ini kemampuan konflikpun, usia itu berpengaruh. Perkawinan usia
muda juga membawa pengaruh yang tidak baik bagi anak-anak mereka.
Biasanya anak-anak kurang kecerdasannya. Sebagaimana dikemukakan oleh
Ancok yaitu: Anak-anak yang dilahirkan oleh ibu-ibu remaja mempunyai
tingkat kecerdasan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan anak yang
dilahirkan oleh ibu-ibu yang lebih dewasa. Rendahnya angka kecerdasan
anak tersebut karena ibu belum memberi stimulasi mental pada
anak-anak mereka. Hal ini disebabkan karena ibu-ibu yang masih remaja belum
mempunyai kesiapan untuk menjadi ibu. Perkembangan bahasa anak sangat
tergantung pada cara ibu berbicara pada anaknya. Aspek kecerdasan non
bahasa berkembang bila ibu dapat memberikan permainan atau stimulan
mental yang baik. Ibu remaja biasanya kurang mampu memberikan stimulan
Kesiapan pengetahuan terhadap tumbuh kembang balita sangat
diperlukan bagi seorang ibu, karena seorang ibu yang mempunyai tingkat
pengetahuan yang baik akan menghasilkan tumbuh-kembang balita yang baik
pula, khususnya pada periode usia tiga tahun pertama, karena kurun usia
tersebut merupakan periode pertumbuhan otak yang cepat. Stimulasi dini
pada masa pertumbuhan ini sangat berperan besar, karena sangat berpengaruh
terhadap proses otak. Apabila masa ini terlewatkan, yaitu otak tidak mendapat
stimulasi yang memadai, sulit bagi otak untuk diprogram ulang pada masa
selanjutnya. Stimulasi dini yang dilakukan oleh ibu akan dapat meningkatkan
kemampuan bahasa dan emosional sosial yang terlihat setelah usia 24 bulan.
Mempersiapkan remaja sebagai calon ibu yang terdidik pada saatnya menjadi
seorang ibu, dapat memberikan dampak baik pada perkembangan emosi,
intelektual, dan kognitif anaknya (Soedjatmiko, 2001).
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan di Desa Cendana dengan
jumlah penduduk 3420 jiwa, memiliki angka pernikahan usia dini dari tahun
2010 sampai 2013 sebanyak 42 (1,2%) pasang. Hasil wawancara dan
observasi ke 8 ibu yang menikah usia dini di Desa Cendana. Mereka
mengatakan pergaulan disana sudah mengikuti tradisi barat atau pergaulan
bebas, sehingga para orang tua takut anaknya akan hamil sebelum nikah yang
hal itu akan menjadi aib bagi keluarga tanpa memikirkan dampak bagi
keturunannya. Sementara dari segi ibu dengan pernikahan dini, 6 orang
mengatakan belum siap mendidik anak, dan 2 siap mendidik anak. Jadi
anak karena mereka masih ingin merasakan masa-masa keremajaanya
bersama teman-teman sebayanya, padahal perkembangan anak tergantung
pada bagaimana cara ibu mendidik. Ibu yang mengalami menikah dini disana
kebanyakan bila menghadapi masalah dalam keluarga, sering kali pergi
kerumah orang tua atau lari dari masalah. Kejadian lain yang sering dijumpai
disana bahwa ibu-ibu yang masih remaja kebanyakan meluapkan
kemarahannya di depan anak-anak, sehingga anak menjadi suka marah, nakal,
dan susah diberi nasehat.
Fenomena yang dialami anak-anak dengan ibu yang menikah dini di
Desa Cendana, pada umumnya mengalami kurang kecerdasan yang ditandai
dengan rendahnya prestasi sekolah, kemampuan bahasa kurang lancar, dan
memiliki perilaku kenakalan yang lebih dari anak-anak pada umumnya.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik melakukan
penelitian tentang pengaruh pernikahan dini, kesiapan dan psikologi pada ibu
terhadap perkembangan anak usia toddler (1-3 tahun) di Desa Cendana
Kecamatan Banjarnegara Kabupaten Banjarnegara.
B. Rumusan Masalah
Anak perempuan akan menjalani siklus reproduksi dari masa pubertas,
pernikahan dan kehamilan. Perkawinan dini dan fertilitas pada usia anak-anak
merupakan risiko terhadap kualitas anak di kemudian hari. Kehamilan dan
persalinan pada usia muda merupakan kehamilan yang berisiko terjadinya
kematian maternal dan kelangsungan hidup anaknya. Perkawinan pada usia
kesiapan organ reproduksi seorang calon ibu. Seorang perempuan yang belum
mencapai usia 18 tahun pertumbuhan organ tubuh terutama organ
reproduksinya seperti rahim belum matang untuk bereproduksi dan
pertumbuhan panggul juga belum maksimal sehingga apabila hamil
merupakan kehamilan yang berisiko.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dengan ibu yang
menikah dini di Desa Cendana mereka mengatakan ketika mereka
menghadapi masalah dalam keluarga, sering kali pergi ke rumah orang tua
atau lari dari masalah. Kejadian lain yang sering dijumpai di sana bahwa
ibu-ibu yang masih remaja kebanyakan meluapkan kemarahannya di depan
anak-anak, sehingga anak menjadi suka marah, nakal, dan susah di beri nasehat.
Fenomena yang dialami anak-anak ddari ibu yang menikah dini di
Desa Cendana, pada umumnya mengalami kurang kecerdasan yang ditandai
dengan rendahnya prestasi sekolah, kemampuan bahasa kurang lancar, dan
memiliki perilaku kenakalan yang lebih dari anak-anak pada umumnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut dirumuskan masalah penelitian
sebagai berikut: “Adakah pengaruh kesiapan psikologis ibu yang menikah
usia dini terhadap perkembangan anak usia toddler (1-3 tahun) di Desa
Cendana Kecamatan Banjarnegara Kabupaten Banjarnegara?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
anak usia toddler (1-3 tahun) di Desa Cendana Kecamatan Banjarnegara
Kabupaten Banjarnegara.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik respoden: usia ibu, pendidikan ibu,
pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, usia anak, jenis kelamin anak
dan jumlah anak.
b. Mengidentifikasi kesiapan psikologi ibu yang menikah usia dini.
c. Mengidentifikasi tingkat perkembangan anak usia toddler (usia 1-3
tahun) yang ibunya menikah usia dini.
d. Mengidentifikasi pengaruh kesiapan psikologis ibu yang menikah
usia dini terhadap perkembangan anak usia toddler (1-3 tahun).
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki banyak manfaat bagi banyak pihak,
antara lain:
1. Petugas Kesehatan
Peneliti berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi
puskesmas dan kader posyandu. Sebagai bahan informasi mengenai
perkembangan anak pada usia toddler (1-3 tahun) khususnya ibu-ibu yang
mernikah usia dini di Desa Cendana.
2. Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Hasil penelitian dapat menambah bahan kajian untuk menjadi
psikologis ibu yang menikah usia dini dan membantu perkembangan
anak.
3. Masyarakat Khususnya Orang Tua
Agar masyarakat memperhatikan dampak yang ditimbulkan dari
pernikahan usia dini bagi ibu dan anaknya terhadap perkembangan anak
yang akan mempengaruhi perkembangan anak di usia selanjutnya.
4. Penelitian Selanjutnya
Diharapkan dapat berguna sebagai referensi bagi yang akan
meneliti lebih lanjut mengenai pengaruh kesiapan psikologis ibu yang
menikah usia dini terhadap perkembangan anak usia toddler (1-3 tahun).
E. Penelitian Terkait
Beberapa penelitian terkait yang memiliki kesamaan yaitu :
1. Penelitian Afifah (2011) dengan judul Perkawinan Dini dan Dampak
Status Gizi pada Anak (Analisis Data Riskesdas 2010)
Penelitian tersebut bertujuan untuk memaparkan secara deskriptif
gambaran perkawinan dini serta gambaran status gizi anak menurut umur
perkawinan dengan menggunakan desain penelitian potong lintang dan
review dari hasil analisis data yang sama. Hasil penelitian ini
menunjukkan adanya pernikahan dini pada anak perempuan yang tinggal
di pedesaan, tidak bekerja dan strata ekonomi miskin. Pernikahan dini
dapat mempengaruhi status gizi anaknya yang lahir dan tumbuh
2010 menunjukkan bahwa persentase anak pendek meningkat pada ibu
yang menikah pada usia dini. Pernikahan dini dan kemiskinan di
khawatirkan menyebabkan terjadinya intergeneration cycle of growth
failure di Indonesia.
Persamaan dengan penelitian ini sama-sama meneliti mengenai
menikah dini. Sedangkan perbedaan dengan penelitian yang akan diteliti
adalah kesiapan psikologis ibu terhadap perkembangan anak usia toddler
(1-3 tahun) di Desa Cendana Kecamatan Banjarnegara Kabupaten
Banjarnegara, sifat penelitian yang akan diteliti adalah deskriptif analitik
dengan pendekatan cross sectional, dan uji chi square. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner dan Denver II.
2. Penelitian Malehah (2010) dengan judul Dampak Psikologis Pernikahan
Dini dan Solusinya dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islam.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mengungkapkan
permasalahan tersebut secara menyeluruh dan mendalam, dalam
penelitian tersebut menggunakan metode kualitatif yang berguna untuk
memberikan fakta dan data mengenai dampak psikologis pernikahan dini
dan solusinya di Desa Depok Kecamatan Kalibawang Kabupaten
Wonosobo.
Hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa pernikahan dini di
Desa Depok adalah berawal dari latar belakang yang merupakan
kebiasaan atau budaya masyarakat yang tidak dapat dirubah sehingga
berdampak pada pelaku, diantaranya cemas dan stress itulah dampak yang
terjadi akibat pernikahan dini di Desa Depok Kecamatan Kalibawang
Kabupaten Wonosobo.
Persamaan dengan penelitian yaitu sama-sama meneliti tentang
pernikahan dini. Sedangkan perbedaan dengan penelitian yang akan
diteliti adalah kesiapan psikologis ibu terhadap perkembangan anak usia
toddler (1-3 tahun) di Desa Cendana Kecamatan Banjarnegara Kabupaten
Banjarnegara, sifat penelitian yang akan diteliti adalah deskriptif analitik
dengan pendekatan cross sectional, dan uji chi square. Alat ukur yang
digunakan adalah kuesioner dan Denver II.
3. Penelitian Rahmatin (2011) dengan judul Kesiapan Menikah dan
Pelaksanaan Tugas Perkembangan Keluarga dengan Anak Usia
Prasekolah.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan kesiapan
menikah antara suami dan istri, serta menganalisis pengaruh kesiapan
menikah terhadap pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dengan anak
usia prasekolah. Penelitian dilakukan di Kelurahan Bubulak, Bogor, Jawa
Barat, dimana lokasi ditentukan dengan metode purposive. Contoh dipilih
secara acak sederhana yaitu sebanyak 90 keluarga dengan anak pertama
usia prasekolah. Pengambilan data dilakukan dengan teknik wawancara
dengan menggunakan kuesioner. Data dianalisis dengan analisis
deskriptif, uji beda T-test, korelasi, dan regresi. Hasil penelitian
dimana kesiapan menikah suami lebih tinggi dibandingkan istri.
Hubungan yang signifikan tidak hanya ditemukan pada hubungan
kesiapan menikah suami (aspek kesiapan intelektual, emosi, individu,
finansial, dan mental) dengan tugas perkembangan keluarga, tetapi juga
pada hubungan kesiapan menikah istri (aspek kesiapan intelektual, emosi,
dan finansial) dengan tugas perkembangan keluarga. Selain itu, kesiapan
menikah suami dan istri berpengaruh terhadap tugas perkembangan
keluarga. Perkembangan anak dipengaruhi oleh tugas perkembangan
keluarga.
Persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang akan diteliti
adalah sama-sama meneliti tentang kesiapan namun penelitian di atas
lebih menekankan pada tugas perkembangan dengan anak usia
prasekolah, sementara pada penelitian yang akan dilakukan lebih
menekankan kepada kesiapan psikologis ibu yang menikah usia dini
terhadap perkembangan anak usia toddler (1-3 tahun) di Desa Cendana
Kecamatan Banjarnegara Kabupaten Banjarnegara, sifat penelitian yang
akan diteliti adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional,
dan uji chi square. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner dan Denver II.
4. Penelitian Nedra, Soedjatmiko & Firmansyah (2006) dengan judul
Kesiapan Fisik dan Pengetahuan Remaja Perempuan Sebagai Calon Ibu
dalam Membina Tumbuh Kembang Balita dan Faktor-faktor yang
Penelitian ini bertujuan untuk melihat kesiapan fisik, dan
pengetahuan remaja perempuan terhadap tumbuh kembang balita.
Penelitian tersebut menggunakan studi analitik potong lintang pada
remaja perempuan siswi SMU di 7 sekolah di Jakarta Timur.
Hasil penelitian menunjukkan Lebih dari separuh remaja (57,7%)
telah mempunyai kesiapan fisik untuk menjadi calon ibu. Kesiapan
pengetahuan remaja terhadap materi tumbuh kembang balita sebesar
63,7%. Tingkat kesiapan fisik dan pengetahuan remaja menjadi calon ibu
sebesar 31,3%. Tidak ada hubungan antara karakteristik keluarga dan
sumber informasi dengan kesiapan remaja perempuan SMU di Jakarta
Timur untuk menjadi calon ibu.
Persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang akan diteliti
adalah sama-sama meneliti tentang kesiapan namun penelitian diatas lebih
menekankan pada Pengetahuan Remaja Perempuan Sebagai Calon Ibu
dalam Membina Tumbuh Kembang Balita dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhinya, sementara pada penelitian yang akan dilakukan lebih
menekankan kepada kesiapan psikologis ibu yang menikah usia dini
terhadap perkembangan anak usia toddler (1-3 tahun) di Desa Cendana
Kecamatan Banjarnegara Kabupaten Banjarnegara, sifat penelitian yang
akan diteliti adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional,