BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Masyarakat .Indonesia merupakan sebuah masyarakat yang
memiliki aneka bahasa. daerah.
Keanekaan bahasa daerah terse
but diikat oleh satu bahasa persatuan, yaitu bahasa
Indone
sia.
Dengan demikian,
masyarakat
Indonesia
dituntut
untuk
mampu menggunakan
bahasa. Indonesia selain bahasa
daerahnya.
Bahkan,
tuntutan itu diperluas lagi dengan usaha
menguasai
bahasa
asing
karena bangsa Indonesia
tidak
berkiprah
di
dalam
negeri
saja,
tetapi mereka mencoba
untuk
mendunia.
Tuntutan kepemilikan bahasa yang lainnya. tersebut
menyebab-kan
masyarakat
Indonesia
termasuk
dwibahasawan
(Lihat
pengertian dwibahasawan dalam Fishman,1985 ).
Situasi
kedwibahasaan
seperti
itu
akan
berkaitan
dengan pengajaran dan pembelajaran bahasa, khususnya
bahasa
Indonesia. Dengan demikian, bagaimana mengajarkan bahasa. In
donesia untuk orang Indonesia perlu dipikirkan,
dirumuskan,
dan diteliti agar pengajaran dan pembelajaran bahasa
Indone
sia
bagi dwibahasawan benar-benar dapat
berhasil.
Rusyana
(1988)
mengemukakan
beberapa hal yang
berhubunqan
dengan
pendidikan
baqi dwibahasawan, antara lain bahasa
apa
yang
akan diajarka.n, untuk siapa diajarkan, bagaima.na cakupa.
n-nya,
dan bagaimana bahasa-bahasa
itu diajarkan.
Semua
itu
f'.:<litisi (dalam menentukan bahasa man a yang diajarkan), para
Unguis terapan (dalam ha 1 apa yang diajarkan dan bagaimana
cakupannya), maupun dengan para praktisi (dalam hubungannya
dengan bagaimana bahasa-bahasa itu diajarkan). Bahkan, Cook (1991) pada bagian awal bukunya menyatakan bahwa "language
learning and language teaching are vital to the everyday
l i v e s o f m i l l i o n s " .
Dalam hal pengajaran dan pembelajaran bahasa di— perlukan ancangan, metode, dan teknik. Berbagai ancangan, metode, dan teknik pengajaran dan pembelajaran bahasa telah
diuji coba dalam berbagai bahasa (Lihat Richards, 1993; Ellis,1988; Couture,1986; Freed,1991; Stevick,1991; Bygate, .1994; dan 0dlin,1994). Berdasarkan laporan , cara—cara yang
telah dilakukan mereka berhasil dalam pengajaran dan pembel aj aran bahasa (khususnya pengajaran dan pembelajaran bahasa
kedua). Tampaknya keberhasilan tersebut tidak berarti mene ntukan persamaan pandangan, tumbukan-tumbukan terjadi sebab keberhasilan cara-cara yang dilakukan mereka
menggunakan'pe-rangkat yang berbeda dan dalam suasana kebahasaan yang
ber-beda pula.
Situasi seperti itu melibatkan berbagai bahasa du—
nia. Jika kita araati situasi penqajaran dan pembelajaran ba
hasa Indonesia yang rnengalami penggantian kurikulum sebanyak lima kali, yaitu Kurikulum tahun 1950, Kurikulum 1968, Ku rikulum 1975, Kurikulum 1984, dan Kurikulum 1994 (Tarno da lam Sitanggang ,.1991: 743) , tampak kepada kita. adanya usaha
perbaikan
pengajaran.
Dengan adanya penqqantian
kurikulum,
berbagai
komponen di dalamnya juga mengalami
perkembanqan.
Hal itu dapat kita lihat dari penekanan yang dilakukan
pada
setiap
kurikulum
yang berbeda-beda (rnulai
dari
penekanan
terhadap bahan sampai pada. mengutamakan fungsi bahasa).
Im-plikasi
dari perubahan itu, tentu saja, berhubungan
dengan
perubahan ancangan, metode, dan teknik pengajaran dan
pembe-lajaran bahasa. Oleh sebab itu, perlu kiranya dilakukan
pe
nelitian
mengenai
keampuhan ancangan, metode,
dan
teknik
yang dipakai dalam memaknai pelaksanaan pengajaran dan
pem
belaj aran bahasa.
Di
samping situasi perangkat kurikulum
yang
terus-nerus
menumbuhkan qairah penelitian,
kita
pun
tertantang
leh
situasi hasil
pengajaran
bahasa Indonesia yang
selalu
eresahkan para pendidik dan masyarakat. Keresahan yang
mun-cul
dari kalangan guru adalah penyajian bahan yang
terlalu
luas
dalam
kurikulum 1984 dan keresahan yang
muncul
dari
masyarakat tertuju
pada hasil
pengajaran, yaitu
bahwa penga
jaran
bahasa.
Indonesia di sekolah-sekolah
mengarah
kepada
penqetahuan bahasa daripada keterampilan ber bahasa dan Ltkur—an keberhasilan suatu
pengajaran
pada umumnya oleh
para
pen
didik dan masyarakat disandarkan pada hasil ebtanas (LihatBadudu,1985:72j 91).
Ken ya taa.n
d i atas men un ju kkan ad a kom ponen
pengajaran
yang
lemah.
Seandainya
benar
tanqgapan masyarakat
terhadap
m e
o
4
ketidakberhasiIan pengajaran bahasa Indonesia disebabkan
oleh
arah pengajaran yang
lebih
mengarah
pada
pengetahuan
bahasa
berarti
model
pengajaran
yang diterapkan
para
gLiru
masih belum menunjukkan keberhasilan dalam mencapai tujuan.Model pengajaran yang dibuat guru, belum mampLi membangkitkan
semangat belajar dan juga belum mampu menciptakan suasana belajar yang dapat menumbuhkan gairah dalam meningkatkan
keterampilan berbahasa para siswa. Jika model yang menyebab—
kan kelemahan tersebut, perlu dicari penyebabnya, yakni kom
ponen model yang mana yang mengandung kelemahan dan apakah
bisa komponen itu dimodifikasi.
Kalau kita perhatikan perkembangan pengajaran bahasa
terutama
dilihat dari
rancang
bangun
pengajaran,
ternyata
berbagai
rancang
bangun telah dihasilkan oleh
para
pakar
linguistik terapan dalam mencari cara yang paling baik untuk
pengajaran
bahasa.
Kita
dapat
menyaksikan
sampai
akhir abad
ke-19 dunia pengajaran bahasa didominasi oleh Metode
Grama-tika-Terjemahan (Grammar-Translation Method) . Metode ini
lebih menekankan bahasa tulis, penghafalan kaidah-kaidah
bahasa, dan penerjemahan (Sumardi,1992:18-19). Kelemahan
yang tampak dari metode ini adalah qu.ru lebih banyak
menggu-nakan
waktunya untuk
mengajarkan
kaidah
bahasa,
bukan
menga-jark an ke terampiI an ber bahasa 1isan dan tulisan para s iswa.Dengan demikian, guru yang tidak bisa berbahasa taget dapat
kaidah-kaidat.n/.i. Meskipun demik ian , metode ini masih mewarnai dunia
pengajaran bahasa karena metode ini dapat diqunakan untuk
kelas
yang
besar
dan
tidak menuntut
teknologi yang
canggih
(Sumardi,1992s18). Ketika memasuki abad ke-20 metode ini
tidak
mampu
mempertahankan
konsep-konsep
pengajarannya
karena
kebutuhan
untuk
menguasai
bahasa
tidak
hanya
bahasa
tulis. Pada saat inilah pengajaran bahasa. lebih diutamakanbahasa lisan. Metode yang terkenal saat. itu adalah Metode
Langsung (Direct Method). Dalam penerapannya metode ini
mensyaratkan guru agar ia memiliki penguasaan bahasa lisan
yang baik dan jumlah siswa yang sedikit. Tentu saja kondisi
semacam itu kurang memberikan keberhasilan, baik dari segi
situasi kelas maupun dari kemampuan guru. Pada tahun 1940-an
berkat
dukungan
linguistik Struktural,
mulai
dikembangkan
Metode Audiolingual (Audio!ingual Method). Metode ini
mene-kankan
pentingnya
penguasaan
bahasa
lisan
dengan
latihan-latihan berupa penubian lisan (oral drills) dan latihan
penguasaan pola-pola kalimat (pattern practice). Dengan
kedua cara itu diharapkan siswa dapat meningkatkan
keteram-p>i lannya
dalam
berbahasa.
Metode
ini
hanya
mampu
bertahan
selama 25 tahun karena perkembangan berikutnya Chomsky(1957) memperkenalkan Gramatika Transformasi. Dalam hal ini
Chomsky berpendapat bahwa proses belajar bahasa adalah proses pembentukan kaidah (rule formation process) bukan
pernbentukan kebiasaan (habit formation process) . Meskipun
Struktur-al , untuk
maksud-maksud
pedagogis sumbangan
pemikirannyd ma
sih kecil (Sumardi,1992:99).
Pada deka.de berikutnya Robert Lado menawarkan suatu
model pengajaran yang menggunakan ancangan linguistik
kon-trastif atau lebih dikenal dengan istilah analisis
kontras-tif dan kesalahan berbahasa. Ternyata, bukti-bukti yang
di-peroleh mengenai kekontrasan antardua bahasa dan temuan
ten-tang aspek-aspek kesalahan berbahasa anak belum mampu
ber-bLtat banyak untuk menyederhanakan pola kerja praktisi peng
ajaran bahasa (Nurhadi,1994:38).
Selanjutnya dalam rangka mencari landasan yang kokoh
untuk pengajaran bahasa, para Unguis terapan dari berbagai
negara mengadopsi model pengajaran komunikatif yang ternyata
untuk lingkungan Inggris telah menunjukkan kehebatannya
se-telah metode Lisan dan Situasional mulai surut (Lihat Sumar
di, 1992: 99). Ancangan ini memanfaatkan berbagai disiplin
ilmu dengan materi pelajaran disusun atas dasar fungsi bahasa dan kebutuhan siswa. Ancangan inilah yang sekarang
diterapkan dalam kurikulum pengajaran bahasa di Indonesia, baik untuk Kurikulum 1984 maupun Kurikulum 1994. Bagaimana
perkembangan dan hasil penqajaran dengan menggunakan
ancana-..an komunikatif , kiranya, s.eca.ra makro belum bisa dilapor —
kan meskipun dalam skala kecil (berbagai penelitian) ancang
Dengan perkembanqan metode pengajaran bahasa di atas
tampak
adanya usaha
para
pakar
untuk
mencapai
keberhasilan
dalam
pengajaran
bahasa.
Dengan
berkembangnya berbagai
meto
de
mengajar
tersebut
muncul
pertanyaan
apakah ada
perbedaan
di
antara metode
tersebut dan
jika ada,
dalam hal
apa
perbe-daannya.
Dalam hal
ini
Mackey
(1965:139)
menyebutkan
ada
ti-ga unsur yang menyebabkan perbedaan antara metode yang satudengan
metode yang
lainnya,
yaitu
(1) perbedaan
teori
bahasa
yang
melandasinya;
(2) perbedaan
tipe
pemerian
bahasa;
dan
(3)
perbedaan persepsi dalam belajar bahasa.
Perbedaan
yang
dikemukakan
oleh Mackey tersebut akan berkait
erat
dengan
model
pengajaran yang dikembangkan oleh guru
untuk
setiap
metode.
Berbagai
rancang
bangun
yang
telah dibuat
berdasarkan
temuan
Unguis terapan di atas dipakai juga dalam pengajaran
bahasa
Indonesia. Hal
ini tampak dari munculnya
perubahan-perubahan kurikulum yang
terjadi
hampir 30 tahun terakhir
ini.
Walaupun
kurikulum
berubah,
bukan
berarti
kurikulum
me-rupakan satu-satunya sumber ket.idakberhas.ilan penqajaran ba
hasa.
Indonesia. Jika keluhan masyarakat mengenai
kemampuan
siswa
yang
belum
memuaskan
dalam
mata
pelajaran
bahasa
Indo
nesia dij adikan ukuran keresahan,
kita perlu. meneliti
aspek
mana
yang
terka.it dalam
ketidakberhasi Ian pengajaran
bahasa
Indonesia.
Dalam hal
ini sekurang-kurangnya ada tiga
perta-n y a a perta-n y a. n q p e r 1u d i 1 a k u k a n penelitian n y a , y a. i tu k u r i k u 1u m-kah
yang
harus diganti,
pendidikkah yang
kuranq
profesional,
ataukah aspek nonakademis yanq kuranq mendukunq.
1.2 Identifikasi Masalah
Setiap kali suatu pengajaran dikatakan gagal komponen yang sering menjadi pusat perhatian masyarakat adalah guru.
Pusat perhatian tersebut wajar saja dilakukan masyarakat se
bab guru merupakan pengendali keberhasilan pengajaran di
se-kolah. Namun, dalam hal ini diperlukan kearifan untuk
rnenen-tukan sisi mana yang mengalami kelemahan dalam dunia penga jaran. Strevens (1980:25—28) mengajukan beberapa faktor yang
dapat menentukan keberhasilan dalam pengajaran bahasa, ya
i t u :
a. pembelajar yang berkemauan;
b. pembelajar melihat relevansi pembelajarannya;
c. pembelajar mempunyai harapan yang tinggi;
d. bahasa target mempunyai kedudukan baik di masyarakat;
e. persyaratan fisik dan organisasi terpenuhi;
f. tujuan realistis diterima oleh semua pihak;
g. silabus cocok;
h. intensitas penqajaran relatif tinggi;
i. pengajar yanq berkompetensi profesional tinggi; dan
Kesepuluh
komponen
tersebut
dipersinqkat
oleh
Tarigan
(1991:3)
menjadi
tiga
komponen,
yaitu:
a. prestasi pembelajar;
b. prestasi pengajar; dan
c. prestasi sistem.
Dengan memperhatikan komponen kesuksesan dalam penga
jaran bahasa di atas,
kiranya jelas bahwa faktor guru (penq
aj ar)
merupakan sal ah satu faktor saja dalam komponen penq
ajaran
yang ikut menentukan kebermaknaan suatu
pengajaran.
Agar lebih jelas mengenai masalah yang muncul sehubungan de
ngan pengajaran bahasa,
di bawah ini disajikan tiga komponen
pokok
dalam pengajaran bahasa, yaitu
kurikulum
pengajaran
bahasa Indonesia,
pengajar bahasa, dan pembelajar bahasa.
1.2.1
Kurikulum Pengajaran Bahasa
Indonesia
Keberhasilan
suatu pengajaran ditentukan oleh
berba
gai faktor. Salah satu faktor yang dapat menentukannya
ada
lah
kurikulum. Siahaan (1986:76) menggambarkan kondisi
ku
rikulum
sekolah di Indonesia belum memuaskan,
baik
dilihat
dari
segi kelengkapannya, kejelasan,
relevansi,
keajegan,
kesahihan, dan kelayakan.
Selama ini pemerintah Indonesia
telah
mengganti
kurikulum Lintuk
sekolah dasar dan
menenqah
sebanyak
tujuh kali, yakni Kurikulum 1950,
Kurikulum
195S,
Kurikulum
1964,
Kurikulum 1968,
Kurikulum
1975/1976,
Kuriku
10
(Tarno ,1991: 743). Penggantian atau perubahan kurikulum
berkait erat dengan sistem pengajaran secara menyeluruh se bab di dalam sebuah kurikulum menurut Siahaan (1991:196)
terdapat informasi mengenai (1) bahasa yang akan diajarkan,
(2) si pelajar, (3) cara atau sistem penyampaian bahasa. De ngan kata lain, kurikulum mengandung unsur bahan, pembel ajar, dan sistem pengajaran. Jika di antara komponen terse
but terdapat kelemahan, hasil pembelajaran tidak sesuai de ngan harapan. Dengan demikian, penggantian atau penyempur-naan kurikulum berdampak terhadap bahan, pembelajar, dan
sistem pengajaran.
Setiap kurikulum sekolah berubah masyarakat selalu mempertanyakan hal ikhwal terjadinya perubahan atau
penyem-purnaan kurikulum sekolah tersebut. Pertanyaan-pertanyaan
yang muncul sehubungan dengan hal itu, di antaranya mengapa
kurikulum berubah dan dalam hal apa perubahan itu terjadi.
Pertanyaan pertama menuntut jawaban filosofis, sedangkan pertanyaan kedua menuntut jawaban teknis. Kedua tuntutan jawaban tersebut harus memberikan kejelasan kepada masyara
kat agar mereka sadar terhadap perubahan tersebut.
Tarigan (1995) menjelaskan lima hal yanq melatarbela—
kangi perubahan Kurikulum 1984 ke Kurikulum 1994, yaitu (1) perubahan sifat ma.sya.rakat Indonesia dari masyara.kat agraris
menjadi masyarakat industrial is; (2) perkernbangan ilmu pe
11
kulum lama; (3) berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1939
tentang
Sistem Pendidikan
Nasional;
(4) hasil
pengamatan
dan
penelitian pelaksanaan kurikulum yang lama; dan (5) hasilstudi perbandingan ke manca negara. mengenai pelaksanaan ku
r i k u l u m .
Perubahan yang paling mendasar dari Kurikulum 1984 ke Kurikulum 1994 terjadi pada perubahan orientasi. Kurikulum
1984
berorientasi
masih
pada
pengajaran.
Maksudnya,
dalam
pelaksanaan
kurikulum
pengajar meletakkan dasar
berpikirnya
pada bagaimana bahan yang ada dalam kurikulum dapat diajarkan.
Orientasi
ini
membawa
konsekuensi
pada
diri
pengajar
bahwa mereka
harus
berpikir apa yang
harus
saya
ajarkan
dan
bagaimana
cara
mengajarkan
bahan
sebagaimana yang
telah
di-gariskan
kurikulum.
Kurikulum 1994
memberikan wawasan
yang
berbeda,
yakni
orientasi
bukan
lagi
pada pengajaran,
melain-kan
pada
pembelajaran.
Dengan
perubahan orientasi
ini
secara
otomatis pengajar pun harus
mengubah
perlakuannya dalam
me-maknai pengajaran bahasa.
Maksudnya,
pengajar harus berpikir
bagaimana
cara
siswa mempelajari
bahan yang terdapat
dalam
pembelajaran yang ada di dalam kurikulum (Tarigan,
1995:5).
Kurikulum .1994 dilaksanakan
secara
bertahap.
Tahapan
T A B E L 1
TAHAP PELAKSANAAN KURIKULUM SD, SLTP, DAN SMU 1994
Tahun ajaran 1994/ 1995/ 1996/ Sekolah Kelas 1995 1996 1997 Dst. I X X X X II - X X X SD III - - X X IV X X X X V - X X X VI - - X X SLTP I X X X X & II - X X X SMU III - - X X • (Sumber:Depdikbud,1993:29) 12
Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa hingga saat ini Kurikulum 1994 baru berlanqsung selama satu tahun. Selama kurun waktu tersebut kita belum bisa
menentu-kan apakah kurikulum ini mumpuni untuk terus dilaksanakan
atau tidak. Terlepas dari hal itu kendala-kendala dalam
pel aksanaannya, tentunya, sudah dapat dirasakan oleh para, pengajar, baik pada saat merancang pengajaran (membuat sila bus), melaksanakan pengajaran, maupun menilai hasil belajar.
13
Dalam pelaksanaan pengajaran, guru mengejawantahkan
kurikulum dalam bentuk silabus. Mackey (1978:323) memberikan
sumbangan pikiran bahwa dalam menganalisis silabus terdapat
empat pertanyaan yang harus dijawab, yaitu (1) Apa yang ha
rus ada di dalam silabus?; (2) Bagaimana cakupannya
(Cakup-an) ; (3) Mengapa cakupan itu harLis ada; dan (4) Bagaimana
silabus itu dapat dicapai oleh para pembelajar. Empat perta nyaan yang diajukan Mackey itu menyiratkan kriteria yang ha rus ada di dalam silabus. Kriteria yang dimaksud adalah si labus harus berisi bahan yang akan diberikan. Bahan tersebut
adalah bahan yang sudah disusun untuk pembelajar pada
ting-kat tertentu. Tentu saja, berdasarkan bahan pembelajaran
tersebut akan tergambar berbagai aspek, di antaranya tujuan
yang hendak dicapai, metode yang digunakan, bahan yang
di-sampaikan,
kegiatan
yang
dilakukan,
media dan
sarana
yang
dipakai, dan alat evaluasi yang diberikan.Dalam pengajaran bahasa terdapat berbagai macam si
labus atau model pengajaran. Krahnke (1987) dalam bukunya
yang berjudul Approaches to Syllabus Design for Foreign La
nguage Teaching mengupas enam tipe silabLis pengajaran baha
sa, yakni The Structural Syllabus, The Notional/Functional
Sy1labus, Situational Syllabi, Skil1-Based Syllabi, The
Task-Based Syllabi, The Content-Based Syllabus, Choosing and
Integrating Syllabi. Selain itu Jack C. Richards dan Theo
14
Communicative Language Teaching, Total Physical Response,
The Silent May, Community Language Learning, The Natural Ap proach, dan Suggestopedia. Terence Odlin sebagai editor
(1994) menyajikan tulisan seputar Pedagogical Grammar.
Yalden (1987) dalam bukunya yang berjudul The Communicative
Syllabus membedar enam tipe silabus komunikatif mulai dari
Structural-Functional, Structures and Functions, Variabel
Focus, Functional, Fully Notional, sampai pada Fully Commu
nicative dengan lima tahapan rancang bangun silabus komuni
katif mulai dari SLirvai kebutuhan, deskripsi tujuan, pilihan tipe silabus, silabus proto, dan silabus pedagogis. Dengan
banyaknya silabus dalam pengajaran bahasa, tentu saja,
su-asana tersebut memberikan nuansa baru dalam dunia pengajaran
bahasa.
Setiap silabus memiliki dasar-dasar pemikiran yang
bisa sama dan bisa juga berbeda. Model silabus di atas di-temukan dan diuji coba terutama dalam pengajaran bahasa
Inq-gris sebagai bahasa kedua atau bahasa asing. Dengan demi
kian, timbul permasalahan seandainya dikaitkan dengan penga
jaran bahasa Indonesia, apakah semua silabus dapat diterap— kan dalam pengajaran bahasa Indonesia, silabus mana saja yang cocok digunakan untuk pengajaran bahasa Indonesia, apa kah silabus tersebLit dapat diterapkan dalam penqajaran baha sa. Indonesia bagi orang Indonesia, baik yang berstatus dwi
ha-nya cocok untuk pengajaran bahasa Indonesia. bagi orang
asing, bagaimana prosedur pelaksanaannya, dan kendala apa yang ditemukan dalam pengajaran bahasa Indonesia jika sila
bus tersebut diterapkan. Permasalahan tersebut perlu dicari
jawabnya dalam Lipaya mencari cara meningkatkan keberhasilan
pengajaran bahasa Indonesia. Jawab dari permasalahan terse
but akan dapat diperoleh apabila telah dilakukan penelitian.
Kurikulum 1994 menganut lima pendekatan, yaitu
pen-dekatan tujuan, Komunikatif, CBSA, Keterampilan Proses, dan Pragmatik. Kelima pendekatan tersebut diupayakan untuk men-capai vujuan pengajaran bahasa Indonesia. Adapun tujuan pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia
baik secara lisan maupun tertulis (Depdikbud,1993: 3).
Dengan orientasi belajar bahasa adalah belajar berkomunika
si n perlu diupayakan silabus yang mengarah pada maksud ter
sebut. Misalnya, bahan struktur bahasa Indonesia disajikan
dalam kegiatan keterampilan
berbahasa (menyimak,
berbicara,
membaca, dan menulis). Oleh sebab itu, penyaj iannyadiperlLi-kan silabus yang merujuk pada kebutuhan komunikasi bukan
keilmuan.
Penelitian yang
akan
penulis
lakukan
ini
merupakan
1 6
1.2.2 Pengajar Bahasa Indonesia
Salah satu fungsi pengajar merupakan
penggerak
terja-dinya
proses belajar mengajar.
Sebagai
penggerak
pengajar
harus memenuhi beberapa kriteria.
Kriteria itu harus menyatu
dalam
diri pengajar agar ia dapat menunjukkan
mutu
profe-sionalnya.
Pada saat hasil
proses belajar
mengajar
kurang
memuaskan, tak pelak pengajarlah yang mendapat perhatian
pertama dan utama. Masyarakat sibuk dengan melayangkan ber
bagai
tuduhan
kepada
pengajar seolah-olah pengajarlah
yang
menjadi biang keladi kegagalannya. Benarkah simpulan masyarakat seperti itu? Apakah para pengajar belum dibekali
kom-petensi
yang
cukup untuk
terjun
ke
lapangan?
Apakah
para
pengajar kurang meningkatkan segi profesinya setelah terjunke
lapangan? Kiranya
pertanyaan-pertanyaan
tersebut
perlu
mendapat
pertimbangan dari
pihak
yang
bersangkutan
dan
pihak
yang berwenang.
Jika
kita
renungkan
pertanyaan-pertanyaan
itu,
ada
dua
lembaga yang
mendapat sorotan dalam dunia pendidikan,
yaitu lembaga persekolahan dan LPTK (IKIP, FKIP, dan STKIP).Kedua lembaga itu sama-sama mengelola dunia pendidikan.
Lembaga
persekolahan
mengelola
pendidikan
di
tingkat
menen-gah ke bawah, sedangkan lembaga penghasil tenaga pengajarmengelola pendidikan di tingkat tinggi. Secara de jure kedua
lembaga tersebut harus merasa prihatin, sekalipun secara de
tua pembelajar, dan masyarakat.
Permasalahan yang muncul sehubungan dengan pengajaran
Bahasa
dan Sastra. Indonesia dari sisi pengajar adalah
masih
banyak
pengajar
Bahasa
dan Sastra
Indonesia
yang
tidak
mempunyai kewenangan mengajarkan bahasa dan sastra Indonesia(Badudu,1993:2
dan Syarif,
1994:9)).
Kenyataan seperti
ini
pada. satu sisi tidak bisa. dihindarkan (masih terdapat
seko
lah yang kekurangan guru) dan pada sisi lain kualitas penga
jaran Bahasa dan Sastra. Indonesia pa tut dipertanyakan.
Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan profil penga
jar
bahasa
yang berkompetensi. Dalam hal ini
Howard
yanq
dikutip James memberikan kriteria untuk pengajar bahasa :
a.
menguasai semua metode mengajarkan bahasa dan dapat
me-nerapkan metode itu dalam proses belajar mengajar;
b. menguasai bahan yang akan dan sedang diajarkan;
c.
melaksanakan semua kegiatan sekolah;
d. menguasai semua jenis dan prosedur penilaian;
e. menguasai semua tipe
latihan berbahasa;
f.
menguasai pengelolaan kelas;
g.
menguasai teknik pengajaran individual;
h. dapat menentukan dan menguasai silabi pelajaran;
i. dapat memanfaatkan media penqajaran yang tersedia;
j. menguasai tujuan pengajaran dan aktivitas untuk
mencapai
tujuan itu; dan
k. menguasai teknik-teknik pendidikan (Pateda,1991:39).
18
Selain
itu Leech
mengharuskan
pengajar
bahasa
(khususnya
tata bahasa atau struktur bahasa):
a. mampu menghadapi interaksi tata bahasa dengan leksikon
sebagai suatu sistem komunikasi;
b.
dapat menganalisis
permasalahan qramatis yang ditentukan
pembelajar;
c. mempunyai kemampuan dan keyakinan untuk menqevaluasi penggunaan tata bahasa;
d. menyadari hubungan kontrastif antara bahasa penutur asli dengan bahasa asing; dan
e. memahami dan menerapkan proses penyederhanaan (dalam Bygate,1994:18).
Sebagian besar butir yang dikemukakan Howard masih
bersifat umum. Maksudnya, kriteria itu dapat digunakan untuk
pengajar yanq bukan dari bidang pengajaran bahasa. Pendapat
Leech lebih mengarah pada kemampuan yang harus dimiliki
pengajar tata bahasa. Padahal pengajaran bahasa tidak hanya
memerlukan pengajar tata bahasa. Oleh sebab itu, perlu
kiranya dicari upaya peinantapan kompetensi pengajar bahasa s-ecara menyeluruh.
1.2.3 Pembelajar Bahasa Indonesia
Bukti suatu penqajaran bahasa dapat mencapai tujuan
yang diharapkan akan tecerrnin pada perilaku berbahasa para
bahasa tidak bisa terlepas dari pembelajarnya. Studi
menge
nai karakteristik pembelajar telah dilakukan para pakar
ba
hasa,
di antaranya Jakobovits
(1970:98).
la
menemukan
dua
hal
penting yang harus diperhatikan guru
dalam
pengajaran
bahasa kedua,
yaitu anak-anak akan lebih baik belajar bahasa
kedua daripada orang dewasa dan ada bakat bawaan yang
tidak
sama pada setiap orang. Penemuan Jakobovits ini didukung
pu-la
oleh penelitian yang dilakukan oleh US Fathman pada
ta
hun
1975,
Ramirez dan Politzer pada. tahun 1978,
Snow
dan
Hoefnagel-HShle
pada tahun 1978 (lihat Els,
1984:103-125).
Selain
itu
Nunan (1991:171) memberikan formula
pembelajar
yang baik adalah:
a.
menemukan caranya
belajar;
b. mengorganisasikan informasi mengenai bahasa;
c.
berkreasi dan bereksperimen dengan bahasa;
d. mendapatkan kesempatan dan menemukan strategi dalam
pe-makaian bahasa, baik di dalam maupun di luar kelas;
e. belajar menyesuaikan diri dan mengembangkan strategi
un
tuk mengerti bahasa sasaran tanpa harus paham setiap
ka-ta;
f.
menggunakan mnemonics;
g- memperbaiki kesalahan;
h.
menggunakan penqetahuan bahasa;
2 0
j. belajar menentukan kepandaianya;
k.
belajar unsur-unsur bahasa yang dapat membantu
kecakapan-nya;
1.
belajar rnenghasilkan berbagai
teknik
(misalnya teknik
bercakap-cakap); dan
m. belajar gaya bahasa yang berbeda dan memvariasikannya un
tuk berbagai situasi.
Masih berhubungan dengan pembelajar yanq baik, Rubin
(^975)
yang
dikutip Tarigan
(1991) menyajikan
tujuh
kriteria
pembelajar yang baik, yakni:
a. mempunyai kemauan keras dan ingin menjadi penduga yang tepat;
b. berkemauan keras untuk berkomunikasi;
c. tidak. segan-segan mengakui kelemahannya dalam B2 dan ti dak malu-malu berbuat kesalahan;
d. berkemauan keras menggunakan bentuk yang baik; sangat
memperhatikan bentuk bahasa; e. suka berlatih;
f. memantau ujarannya dan membandingkannya dengan bahasa.
asli baku; dan
g. berkemauan keras menggunakan makna dalam konteks
21
Ellis (1987:122) menempatkan sembilan kriteria untuk
pembelajar yang baik, yaitu:
a. mampu memberi respon terhadap dinamika kelompok situasi
pembelajaran untuk mencegah kegelisahan dan rintangan; b. menccri kesempatan untuk menggunakan bahasa sasaran;
c. menggunakan kesempatan secara maksimal untuk menyimak dan menanggapi ujaran dalam B2, baik yang ditujukan kepadanya maLtpun kepada orang lain;
d. melengkapi pelajaran kontak langsung dengan telaah
teore-tis; khususnya dalam hal bentuk bahasa;
e. lebih dewasa dalam pengembangan gramatikal;
f. mempunyai keterampilan analitik yang memadai mengenai
ciri-ciri B2 dan memantau kesalahan;
g. mempunyai alasan kuat untuk belajar B2;
h.
siap membuat
percobaan dengan
segala risiko,
sekalipun
menurut orang lain ia dianggap bodoh; dani.
mampu menyesuaikan diri
pada kondisi-kondisi
pembelajaran
yang berbeda.
Terlepas dari
kriteria mana yang
digunakan,
yang
je
las
tuntutan
pengajaran
bahasa
terhadap
pembelajar
adalah
pendayagunaan
segala
potensi
yanq dimilikinya dalam
belajar
dan
menggunakan
bahasa sasaran.
Tuntutan
ini amat berat jika
pengajar tidak benar-benar dalam melaksanakan
kewa.j ibannya.
Untuk tugas ini diperlukan tenaga pengajar profesional dalam
bidanqnya.Jika kita menilik keadaan pembelajar bahasa Indone
sia,
secara u.mum mereka dapat digolongkan
ke dalam
tiga
qo~-longan, yaitu pembelajar yang berstatus ekabahasawan bahasadaerah, ekabahasawan bahasa Indonesia, dan dwibahasawan. Da
lam pengajaran bahasa. Indonesia, ketiga golongan tersebut
selama ini mendapat perlakLian yang sama. Alasan yang
mendu-kung situasi tersebut adalah faktor sarana sekolah di Indo
nesia belum siap mengelompokkan mereka sesuai dengan pengua
saan bahasanya dan faktor kemudahan dalam
pengadministra-sian. Dengan situasi yang seperti itu, timbul masalah dalam
keberhasilan pengajaran. Dengan kata lain, situasi demikian
memunculkan masalah, yaitu apakah keberhasilan pengajaran
bahasa Indonesia tidak perlu memperhitungkan karakteristik
penguasaan bahasa yang dimiliki para pembelajarnya ataukah keberagaman penguasaan bahasa pada siswa berkontribusi ter
hadap keberhasilan pengajaran bahasa. Jika berkontribusi,
seberapa besar kontribLisinya dan bagaimana tindak lanjutnya.
Jawab permasalahan tersebut hanya dapat diperoleh melalui
penel itian.
1.3 Pembatasan Masalah
Pemecahan berbagai masalah di atas, tentu saja, me—
merlukan waktu yang tidak sedikit sebab berbagai penelitian
perlu dilakukan dalam jangka waktu yang tidak sinqkat.
dan tingkat pendidikan, ancangan, metode, teknik, maupun
yang berhubungan dengan cakupan bahan. Dalam tesis ini ha
nya akan diangkat satu masalah pokok, yakni masalah yang
berhubungan dengan model pengajaran bahasa. Indonesia. Model
yang d.ipilih dalam rangka penelitian ini adalah model penga
jaran struktur bahasa dengan ancangan tata bahasa pedagogis.
Model
ini
digunakan sehubungan dengan
karakteristik
yang
harus muncul dalam pengajaran bahasa Indonesia adalah bahanyang
harus dikaitkan dengan kebutuhan siswa dengan
memper-hatikan segi
kebenaran,
keterbatasan, kehematan,
kesederha-naan, kejelasan, dan keterhubunqan.
Ancangan tata bahasa pe
dagogis ini menawarkan persyaratan tersebut karena
ancangan
ini
mendasarkan aspek
kebahasaan (struktur bahasa)
disaji-kan dengan memperhatidisaji-kan unsur-unsur pedagogis. Dalam
penya-jiannya model ini dikaitkan dengan cakupan bahan pembelajar
an
struktur
bahasa Indonesia, khususnya
bidang
sintaksis
(pembelajaran
kata depan [ preposisi], kata
sambung
[kon-jungtor],
pembelajaran kalimat aktif-pasif, dan kalimat
ma-jemuk)
di tingkat pendidikan sekolah menengah
umum.
Bahan
sintaksis tersebut dibuat berdasarkan hasil penelitian
ter
hadap
kesalahan berbahasa siswa sekolah menengah
yang
di
lakukan oleh Suardi (1984),
Mulyaasih (1991),
Komaraningsih
(1991),
Irawan (1994), dan Nurdin (1995). Selain itu
penen-tuan
bahan ini disesuaikan dengan kebutuhan topik yanq
24
ini digunakan sebagai bahan dalam keterampilan berfoicara dan
menu lis yang berhubungan dengan penqgunaan bahasa
(mengung-kapkan gagasan) sebagai alat berkomunikasi. AdapLin teknik
pengajaran yang akan digunakan adalah diskusi kelompok.
Pro-sedur penyajian bahan dalam KBM menggunakan prosedLir induk-si. Prosedur ini sesuai dengan tuntutan kurikulum SMU 1994
yang menitikberatkan penyajian awal dengan konteks penggu-naan bahasa kemudian para siswa melakukan kegiatan pembel
ajaran sehingga diharapkan siswa mampu menggunakan bahasa
Indonesia sesuai dengan kaidah dan situasi pemakaiannya.
1.4 Perumusan Masalah
Berdasarkan masalah umum dan pembatasan masalah di atas, rumusan masalah yang penulis ajukan sebagai berikut.
1) Baqaimanakah model pengajaran struktur bahasa Indonesia
yang baik di SMU menurut ancangan tata bahasa pedagogis ? 2) Bagaimanakah rumusan tujuan pembelajaran berdasarkan
ancangan tata. bahasa pedagogis untuk pengajaran struk tur bahasa Indonesia di sekolah menengah umum?
3) Apakah penyajian bahan dengan prosedur induksi cocok un
tuk mengajarkan struktur bahasa Indonesia di SMU dengan ancanqan tata bahasa pedaqoq is ?
4) Baqaimanakah evaluasi penqajaran struktur bahasa Indo
nesia dalam model pengajaran tata bahasa pedaqoqis di
5) Komponen pengajaran yang mana yanq dominan dalam penq ajaran struktur bahasa Indonesia di SMU dengan
mengquna-k a. n a n c a. n g a. n tat a b a h a s a p e d a g o g i s ?
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara umum adalah penulis mem—
peroleh gambaran model penqajaran struktur bahasa Indonesia
yang baik dengan ancangan tata bahasa pedagogis di sekolah menengah umum. Adapun Tujuan yang lebih rinci dalam peneli
tian ini adalah penLilis:
1) memperoleh model pengajaran struktur bahasa Indonesia yang baik untuk siswa SMU;
2) memperoleh rumusan tujuan pembelajaran struktur baha
sa Indonesia yang cocok untuk siswa sekolah menengah
umum;
3) memperoleh prosedur penyajian bahan pengajaran struktur bahasa Indonesia yang cocok untuk siswa sekolah menengah
umum;
4) memperoleh bentuk evaluasi yang cocok dalam pengajaran struktur bahasa Indonesia untuk siswa sekolah menengah umum; dan
5) menqetahui komponen penqajaran yanq dominan dalam peng ajaran struktur bahasa Indonesia dengan menggunakan an-c: a n q a n tata b a h a s a p e d a g o g i s .
1.6 Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan
ha-silnya dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan bahasa pada
umumnya, pengajaran bahasa Indonesia pada khususnya yang
implementasinya berhubungan dengan pengembangan pengajaran bahasa Indonesia berdasarkan Kurikuluim 1994. Oleh sebab itu, manfaat penelitian ini akan dapat dirasakan oleh:
1. pendidik, sebagai masukan dalam meningkatkan kualitas
pengajaran struktur bahasa Indonesia;
2. pembelajar, sebagai masukan untuk meningkatkan kete—
rampilarmya dalam penggunaan bahasa Indonesia; dan
3. penulis buku siswa dan buku tata bahasa pedagogis, seba gai masukan untuk merancang dan mendeskripsikan bahan
ajar atau. kaidah bahasa Indonesia.
1.7 Definisi Operasional
Untuk memberikan arahan agar penelitian ini sesuai dengan harapan penulis diperlukan definisi operasional isti
lah-istilah yanq penulis gunakan. Dengan definisi ope rasional ini diharapkan ada titik pijak yanq sama dalam
me-mandang permasalahan. Adapun isti1 ah—isti1 ah yang terkait
da1 am penelitian ini sebagai berikut.
a. Model yanq penulis maksu.dkan adalah rancangan pengajaran.
Sebagai suatu rancangan pengajaran model ini menyiratkan
penyajian bahan, dan evaluasi pembelajaran.
b.
Pengajaran Struktur Bahasa Indonesia adalah pengajaran
kaidah
sintaksis bahasa
Indonesia, yang
berkenaan
dengan
konjungtor,
preposisi,
kalimat
aktif-pasif,
dan
kalimat
maj emLtk .
c.
Tata
bahasa pedagogis adalah
tata
bahasa
yang ditujukan
untuk para pembelajar. Penyusunan tata bahasa ini dilakukan oleh guru.
Dengan demikian,
rancangan dan penyajian
bahan struktur dilakukan
berdasarkan
kebutuhan
pembelajar
dengan memperhatikan aspek kebenaran, keterbatasan,
kehe-matan
konsep,
kejelasan,
kesederhanaan,
dan
keterhubunq-ai i
1.8 Anggapan Dasar
Penelitian
ini
menggunakan
anggapan
dasar
sebagai
berikut.
1.
Metode merupakan salah satu komponen dalam pengajaran.
Dalam pengajaran
bahasa
berbagai
metode telah
ditemukan.
Kesernuanya digunakan dalam usaha mencapai tujuan pengaja
ran.
Tujuan
pengajaran
bahasa yang
berbeda-beda
menimbul-kan
keragaman dalam
pemakaiannya.
Keragaman
metode
itu
bukan
berarti akan memunculkan
metode
yang
paling
baik.
Setiap metode memiliki karakteristik tertentu. Oleh sebab
itu ,
jika
metode A lebih berhasil
dibandingkan
dengan
23
1ebih
baik
daripada
metode B.
Denqan
kata
lain,
tidak
ada
metode
yang
paling
baik,
yang
ax da
guru
yang
baik
dalam
mem i1i h me tod e.
Setiap metode
memiliki
kekuatan dan kelemahan sehingga
keefektifan pemakaian suatu metode bergantung kepadake-cakapan guru dalam
memilihnya. Keefektifan metode ini akan dapat. ditentukan oleh seberapa besar bahan dapat diserap siswa dalam jang-ka waktLt yang telah ditetapkan. Dengan demikian, ketepat — an guru memilih metode akan dapat dilihat dari
keterpa-haman siswa terhadap bahan yang diberikan.
Keberhasilan suatu pengajaran akan bergantung kepada ber
bagai faktor. Salah satu faktornya adalah model mengajar.
Berbagai model mengajar telah dikenal guru. Model meng
ajar mana yang paling baik (paling cocok), tentunya,
sa-ngat sulit ditentukan sebab setiap model akan mempunyai
persyaratan dengan kondisi-kondisi tertentu. Oleh sebab
itu, tidak ada satu model mengajar pun yang paling cocok
untuk semua situasi, dan sebaliknya tidak ada satu situa si mengajar pun yang paling cocok diharnpiri oleh semua model mengajar (Dahlan, 1990:19). Pernyataan tersebut
me-n y i ra t ka me-n ba hw a berbagai k o m pone n pengajar a. n (q u ru , tu —
j uan , bahan , siswa , dan sebagainya ) akan berpienqa*ruh be
Model pengajaran struktur bahasa dengan ancangan
tata bahasa pedagogis meru.pakan salah satu model meng
ajar yang digunakan guru dalam menyampaikan bahan
struk-tli r ba has a d e>n g a n mem pe r t im ban g ka n Lt nsu r—u nsur pedagogis,
yaitu kebenaran, pembatasan, kehematan konsep, kejelasan,
kesederhanaan, dan keterhubungan (Swan dalam Bygate,
Tonkyn, dan Wi11iams,1994:45). Pertimbangan pedagogis da
lam pengajaran merupakan suatu langkah yang harus
ditem-puh guru, pada saat merancang, melaksanakan, dan menilai
pengajarannya. Pengajaran struktur bahasa merupakan
sa-rana dalam mendayagunakan funqsi bahasa sebagai alat ko
munikasi.
Agar dapat
berkomunikasi
dengan
baik
diperlukan
kompetensi
komunikasi.
Khranke
(1987:21)
berpendapat
bah-wa struktur atau
lebih sering disebut tata
bahasa merupa
kan komponen dalam kompetensi
komunikasi.
Dengan
struktur
yang baik dan benar komunikasi akan dapat dijalin
dengan
1ancar.
Model pengajaran struktur yang selama ini disajikan
oleh
para guru masih
berkiblat
pada
penyajian
yang
bersi-fat linquistis bukan pedagogis. Unsur-u.nsur bahasa diajarkan lepas dari konteksnya sehingga siswa kurang mampu
men g e m ba n g kan ke te ram p i 1a n n y a d a 1a m keg ia t. a n be r bah a s a .
Selain itu. guru dalam memberikan evaluasi masih menqarah
pada. u.nsu.r
teori
bahasa sehingga siswa digiring
untuk
3 0
nantinyd akan
digunakan
dalam
keperluan
tuturan
dan
tu-1i san (Badudu,1985:96) .
4.
Model
pengajaran struktur bahasa dengan ancangan tata
bahasa
pedagogis
lebih
banyak
melibatkan
keaktifan
siswa
dalam belajar bahasa. Oleh sebab itu, teknik diskusi merupakan teknik yang cocok
untuk digunakan.
Dengan
teknik
ini
siswa
lebih
banyak
diranqsang
untuk
berbahasa
se
hingga
kegiatan
belajar-mengajar
lebih
banyak
diwarnai
dengan
pemajanan
keterampilan
berbahasanya.
Situasi
se-perti inilah yang dituntut dalam pengajaran bahasa sebabpembelajaran
bahasa
Indonesia diarahkan
untuk
meningkat
kan kemampuan
siswa dalam berkomunikasi
dengan
bahasa
In
donesia,
baik
secara
lisan maupun
tertulis. Dengan
demi-kian, pembelajaran bahasa Indonesia harus lebih diwarnai
oleh fungsi bahasa daripada pengetahuan bahasa. Oleh
sebab
itu,
keterampilan berbahasa (menyimak,
berbicara,
membaca,
dan menulis)
menduduki
peran yang
penting.
5.
Kebaikan suatu model mengajar bergantung pada tujuan peng
ajarannya. Dalam GBPP Bahasa Indonesia Kurikulum SMU 1994
tercantu.m tujuan umum pengajaran bahasa Indonesia:
1) siswa menghargai dan membanggakan bahasa Indonesia se
tt aQa i bahasa nasi.ona 1 dan
bahasa neqar a ;
2) siswa memahami
bahasa
Indonesia dari
segi
bentuk,
mak-na, dan fungsi,
serta menggunakannya dengan
tepat
3 ) siswa memi1iki keinampuan menqgunakan bahasa Indonesia
untuk meningkatkan kemampuan intelektual
(berpikir
kreatif dan disiplin, menggunakan akal sehat,
menerap-kan
pengetahuan yang berguna, memahami
dan
menekuni
konsep abstrak serta memecahkan masalah),
kematangan
emosional dan sosial; dan