• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tuntutan kepemilikan bahasa yang lainnya. tersebut menyebabkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tuntutan kepemilikan bahasa yang lainnya. tersebut menyebabkan"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Masyarakat .Indonesia merupakan sebuah masyarakat yang

memiliki aneka bahasa. daerah.

Keanekaan bahasa daerah terse

but diikat oleh satu bahasa persatuan, yaitu bahasa

Indone

sia.

Dengan demikian,

masyarakat

Indonesia

dituntut

untuk

mampu menggunakan

bahasa. Indonesia selain bahasa

daerahnya.

Bahkan,

tuntutan itu diperluas lagi dengan usaha

menguasai

bahasa

asing

karena bangsa Indonesia

tidak

berkiprah

di

dalam

negeri

saja,

tetapi mereka mencoba

untuk

mendunia.

Tuntutan kepemilikan bahasa yang lainnya. tersebut

menyebab-kan

masyarakat

Indonesia

termasuk

dwibahasawan

(Lihat

pengertian dwibahasawan dalam Fishman,1985 ).

Situasi

kedwibahasaan

seperti

itu

akan

berkaitan

dengan pengajaran dan pembelajaran bahasa, khususnya

bahasa

Indonesia. Dengan demikian, bagaimana mengajarkan bahasa. In

donesia untuk orang Indonesia perlu dipikirkan,

dirumuskan,

dan diteliti agar pengajaran dan pembelajaran bahasa

Indone

sia

bagi dwibahasawan benar-benar dapat

berhasil.

Rusyana

(1988)

mengemukakan

beberapa hal yang

berhubunqan

dengan

pendidikan

baqi dwibahasawan, antara lain bahasa

apa

yang

akan diajarka.n, untuk siapa diajarkan, bagaima.na cakupa.

n-nya,

dan bagaimana bahasa-bahasa

itu diajarkan.

Semua

itu

(2)

f'.:<litisi (dalam menentukan bahasa man a yang diajarkan), para

Unguis terapan (dalam ha 1 apa yang diajarkan dan bagaimana

cakupannya), maupun dengan para praktisi (dalam hubungannya

dengan bagaimana bahasa-bahasa itu diajarkan). Bahkan, Cook (1991) pada bagian awal bukunya menyatakan bahwa "language

learning and language teaching are vital to the everyday

l i v e s o f m i l l i o n s " .

Dalam hal pengajaran dan pembelajaran bahasa di— perlukan ancangan, metode, dan teknik. Berbagai ancangan, metode, dan teknik pengajaran dan pembelajaran bahasa telah

diuji coba dalam berbagai bahasa (Lihat Richards, 1993; Ellis,1988; Couture,1986; Freed,1991; Stevick,1991; Bygate, .1994; dan 0dlin,1994). Berdasarkan laporan , cara—cara yang

telah dilakukan mereka berhasil dalam pengajaran dan pembel aj aran bahasa (khususnya pengajaran dan pembelajaran bahasa

kedua). Tampaknya keberhasilan tersebut tidak berarti mene ntukan persamaan pandangan, tumbukan-tumbukan terjadi sebab keberhasilan cara-cara yang dilakukan mereka

menggunakan'pe-rangkat yang berbeda dan dalam suasana kebahasaan yang

ber-beda pula.

Situasi seperti itu melibatkan berbagai bahasa du—

nia. Jika kita araati situasi penqajaran dan pembelajaran ba

hasa Indonesia yang rnengalami penggantian kurikulum sebanyak lima kali, yaitu Kurikulum tahun 1950, Kurikulum 1968, Ku rikulum 1975, Kurikulum 1984, dan Kurikulum 1994 (Tarno da lam Sitanggang ,.1991: 743) , tampak kepada kita. adanya usaha

(3)

perbaikan

pengajaran.

Dengan adanya penqqantian

kurikulum,

berbagai

komponen di dalamnya juga mengalami

perkembanqan.

Hal itu dapat kita lihat dari penekanan yang dilakukan

pada

setiap

kurikulum

yang berbeda-beda (rnulai

dari

penekanan

terhadap bahan sampai pada. mengutamakan fungsi bahasa).

Im-plikasi

dari perubahan itu, tentu saja, berhubungan

dengan

perubahan ancangan, metode, dan teknik pengajaran dan

pembe-lajaran bahasa. Oleh sebab itu, perlu kiranya dilakukan

pe

nelitian

mengenai

keampuhan ancangan, metode,

dan

teknik

yang dipakai dalam memaknai pelaksanaan pengajaran dan

pem

belaj aran bahasa.

Di

samping situasi perangkat kurikulum

yang

terus-nerus

menumbuhkan qairah penelitian,

kita

pun

tertantang

leh

situasi hasil

pengajaran

bahasa Indonesia yang

selalu

eresahkan para pendidik dan masyarakat. Keresahan yang

mun-cul

dari kalangan guru adalah penyajian bahan yang

terlalu

luas

dalam

kurikulum 1984 dan keresahan yang

muncul

dari

masyarakat tertuju

pada hasil

pengajaran, yaitu

bahwa penga

jaran

bahasa.

Indonesia di sekolah-sekolah

mengarah

kepada

penqetahuan bahasa daripada keterampilan ber bahasa dan Ltkur—

an keberhasilan suatu

pengajaran

pada umumnya oleh

para

pen

didik dan masyarakat disandarkan pada hasil ebtanas (Lihat

Badudu,1985:72j 91).

Ken ya taa.n

d i atas men un ju kkan ad a kom ponen

pengajaran

yang

lemah.

Seandainya

benar

tanqgapan masyarakat

terhadap

m e

o

(4)

4

ketidakberhasiIan pengajaran bahasa Indonesia disebabkan

oleh

arah pengajaran yang

lebih

mengarah

pada

pengetahuan

bahasa

berarti

model

pengajaran

yang diterapkan

para

gLiru

masih belum menunjukkan keberhasilan dalam mencapai tujuan.

Model pengajaran yang dibuat guru, belum mampLi membangkitkan

semangat belajar dan juga belum mampu menciptakan suasana belajar yang dapat menumbuhkan gairah dalam meningkatkan

keterampilan berbahasa para siswa. Jika model yang menyebab—

kan kelemahan tersebut, perlu dicari penyebabnya, yakni kom

ponen model yang mana yang mengandung kelemahan dan apakah

bisa komponen itu dimodifikasi.

Kalau kita perhatikan perkembangan pengajaran bahasa

terutama

dilihat dari

rancang

bangun

pengajaran,

ternyata

berbagai

rancang

bangun telah dihasilkan oleh

para

pakar

linguistik terapan dalam mencari cara yang paling baik untuk

pengajaran

bahasa.

Kita

dapat

menyaksikan

sampai

akhir abad

ke-19 dunia pengajaran bahasa didominasi oleh Metode

Grama-tika-Terjemahan (Grammar-Translation Method) . Metode ini

lebih menekankan bahasa tulis, penghafalan kaidah-kaidah

bahasa, dan penerjemahan (Sumardi,1992:18-19). Kelemahan

yang tampak dari metode ini adalah qu.ru lebih banyak

menggu-nakan

waktunya untuk

mengajarkan

kaidah

bahasa,

bukan

menga-jark an ke terampiI an ber bahasa 1isan dan tulisan para s iswa.

Dengan demikian, guru yang tidak bisa berbahasa taget dapat

(5)

kaidah-kaidat.n/.i. Meskipun demik ian , metode ini masih mewarnai dunia

pengajaran bahasa karena metode ini dapat diqunakan untuk

kelas

yang

besar

dan

tidak menuntut

teknologi yang

canggih

(Sumardi,1992s18). Ketika memasuki abad ke-20 metode ini

tidak

mampu

mempertahankan

konsep-konsep

pengajarannya

karena

kebutuhan

untuk

menguasai

bahasa

tidak

hanya

bahasa

tulis. Pada saat inilah pengajaran bahasa. lebih diutamakan

bahasa lisan. Metode yang terkenal saat. itu adalah Metode

Langsung (Direct Method). Dalam penerapannya metode ini

mensyaratkan guru agar ia memiliki penguasaan bahasa lisan

yang baik dan jumlah siswa yang sedikit. Tentu saja kondisi

semacam itu kurang memberikan keberhasilan, baik dari segi

situasi kelas maupun dari kemampuan guru. Pada tahun 1940-an

berkat

dukungan

linguistik Struktural,

mulai

dikembangkan

Metode Audiolingual (Audio!ingual Method). Metode ini

mene-kankan

pentingnya

penguasaan

bahasa

lisan

dengan

latihan-latihan berupa penubian lisan (oral drills) dan latihan

penguasaan pola-pola kalimat (pattern practice). Dengan

kedua cara itu diharapkan siswa dapat meningkatkan

keteram-p>i lannya

dalam

berbahasa.

Metode

ini

hanya

mampu

bertahan

selama 25 tahun karena perkembangan berikutnya Chomsky

(1957) memperkenalkan Gramatika Transformasi. Dalam hal ini

Chomsky berpendapat bahwa proses belajar bahasa adalah proses pembentukan kaidah (rule formation process) bukan

pernbentukan kebiasaan (habit formation process) . Meskipun

(6)

Struktur-al , untuk

maksud-maksud

pedagogis sumbangan

pemikirannyd ma

sih kecil (Sumardi,1992:99).

Pada deka.de berikutnya Robert Lado menawarkan suatu

model pengajaran yang menggunakan ancangan linguistik

kon-trastif atau lebih dikenal dengan istilah analisis

kontras-tif dan kesalahan berbahasa. Ternyata, bukti-bukti yang

di-peroleh mengenai kekontrasan antardua bahasa dan temuan

ten-tang aspek-aspek kesalahan berbahasa anak belum mampu

ber-bLtat banyak untuk menyederhanakan pola kerja praktisi peng

ajaran bahasa (Nurhadi,1994:38).

Selanjutnya dalam rangka mencari landasan yang kokoh

untuk pengajaran bahasa, para Unguis terapan dari berbagai

negara mengadopsi model pengajaran komunikatif yang ternyata

untuk lingkungan Inggris telah menunjukkan kehebatannya

se-telah metode Lisan dan Situasional mulai surut (Lihat Sumar

di, 1992: 99). Ancangan ini memanfaatkan berbagai disiplin

ilmu dengan materi pelajaran disusun atas dasar fungsi bahasa dan kebutuhan siswa. Ancangan inilah yang sekarang

diterapkan dalam kurikulum pengajaran bahasa di Indonesia, baik untuk Kurikulum 1984 maupun Kurikulum 1994. Bagaimana

perkembangan dan hasil penqajaran dengan menggunakan

ancana-..an komunikatif , kiranya, s.eca.ra makro belum bisa dilapor —

kan meskipun dalam skala kecil (berbagai penelitian) ancang

(7)

Dengan perkembanqan metode pengajaran bahasa di atas

tampak

adanya usaha

para

pakar

untuk

mencapai

keberhasilan

dalam

pengajaran

bahasa.

Dengan

berkembangnya berbagai

meto

de

mengajar

tersebut

muncul

pertanyaan

apakah ada

perbedaan

di

antara metode

tersebut dan

jika ada,

dalam hal

apa

perbe-daannya.

Dalam hal

ini

Mackey

(1965:139)

menyebutkan

ada

ti-ga unsur yang menyebabkan perbedaan antara metode yang satu

dengan

metode yang

lainnya,

yaitu

(1) perbedaan

teori

bahasa

yang

melandasinya;

(2) perbedaan

tipe

pemerian

bahasa;

dan

(3)

perbedaan persepsi dalam belajar bahasa.

Perbedaan

yang

dikemukakan

oleh Mackey tersebut akan berkait

erat

dengan

model

pengajaran yang dikembangkan oleh guru

untuk

setiap

metode.

Berbagai

rancang

bangun

yang

telah dibuat

berdasarkan

temuan

Unguis terapan di atas dipakai juga dalam pengajaran

bahasa

Indonesia. Hal

ini tampak dari munculnya

perubahan-perubahan kurikulum yang

terjadi

hampir 30 tahun terakhir

ini.

Walaupun

kurikulum

berubah,

bukan

berarti

kurikulum

me-rupakan satu-satunya sumber ket.idakberhas.ilan penqajaran ba

hasa.

Indonesia. Jika keluhan masyarakat mengenai

kemampuan

siswa

yang

belum

memuaskan

dalam

mata

pelajaran

bahasa

Indo

nesia dij adikan ukuran keresahan,

kita perlu. meneliti

aspek

mana

yang

terka.it dalam

ketidakberhasi Ian pengajaran

bahasa

Indonesia.

Dalam hal

ini sekurang-kurangnya ada tiga

perta-n y a a perta-n y a. n q p e r 1u d i 1 a k u k a n penelitian n y a , y a. i tu k u r i k u 1u m

(8)

-kah

yang

harus diganti,

pendidikkah yang

kuranq

profesional,

ataukah aspek nonakademis yanq kuranq mendukunq.

1.2 Identifikasi Masalah

Setiap kali suatu pengajaran dikatakan gagal komponen yang sering menjadi pusat perhatian masyarakat adalah guru.

Pusat perhatian tersebut wajar saja dilakukan masyarakat se

bab guru merupakan pengendali keberhasilan pengajaran di

se-kolah. Namun, dalam hal ini diperlukan kearifan untuk

rnenen-tukan sisi mana yang mengalami kelemahan dalam dunia penga jaran. Strevens (1980:25—28) mengajukan beberapa faktor yang

dapat menentukan keberhasilan dalam pengajaran bahasa, ya

i t u :

a. pembelajar yang berkemauan;

b. pembelajar melihat relevansi pembelajarannya;

c. pembelajar mempunyai harapan yang tinggi;

d. bahasa target mempunyai kedudukan baik di masyarakat;

e. persyaratan fisik dan organisasi terpenuhi;

f. tujuan realistis diterima oleh semua pihak;

g. silabus cocok;

h. intensitas penqajaran relatif tinggi;

i. pengajar yanq berkompetensi profesional tinggi; dan

(9)

Kesepuluh

komponen

tersebut

dipersinqkat

oleh

Tarigan

(1991:3)

menjadi

tiga

komponen,

yaitu:

a. prestasi pembelajar;

b. prestasi pengajar; dan

c. prestasi sistem.

Dengan memperhatikan komponen kesuksesan dalam penga

jaran bahasa di atas,

kiranya jelas bahwa faktor guru (penq

aj ar)

merupakan sal ah satu faktor saja dalam komponen penq

ajaran

yang ikut menentukan kebermaknaan suatu

pengajaran.

Agar lebih jelas mengenai masalah yang muncul sehubungan de

ngan pengajaran bahasa,

di bawah ini disajikan tiga komponen

pokok

dalam pengajaran bahasa, yaitu

kurikulum

pengajaran

bahasa Indonesia,

pengajar bahasa, dan pembelajar bahasa.

1.2.1

Kurikulum Pengajaran Bahasa

Indonesia

Keberhasilan

suatu pengajaran ditentukan oleh

berba

gai faktor. Salah satu faktor yang dapat menentukannya

ada

lah

kurikulum. Siahaan (1986:76) menggambarkan kondisi

ku

rikulum

sekolah di Indonesia belum memuaskan,

baik

dilihat

dari

segi kelengkapannya, kejelasan,

relevansi,

keajegan,

kesahihan, dan kelayakan.

Selama ini pemerintah Indonesia

telah

mengganti

kurikulum Lintuk

sekolah dasar dan

menenqah

sebanyak

tujuh kali, yakni Kurikulum 1950,

Kurikulum

195S,

Kurikulum

1964,

Kurikulum 1968,

Kurikulum

1975/1976,

Kuriku

(10)

10

(Tarno ,1991: 743). Penggantian atau perubahan kurikulum

berkait erat dengan sistem pengajaran secara menyeluruh se bab di dalam sebuah kurikulum menurut Siahaan (1991:196)

terdapat informasi mengenai (1) bahasa yang akan diajarkan,

(2) si pelajar, (3) cara atau sistem penyampaian bahasa. De ngan kata lain, kurikulum mengandung unsur bahan, pembel ajar, dan sistem pengajaran. Jika di antara komponen terse

but terdapat kelemahan, hasil pembelajaran tidak sesuai de ngan harapan. Dengan demikian, penggantian atau penyempur-naan kurikulum berdampak terhadap bahan, pembelajar, dan

sistem pengajaran.

Setiap kurikulum sekolah berubah masyarakat selalu mempertanyakan hal ikhwal terjadinya perubahan atau

penyem-purnaan kurikulum sekolah tersebut. Pertanyaan-pertanyaan

yang muncul sehubungan dengan hal itu, di antaranya mengapa

kurikulum berubah dan dalam hal apa perubahan itu terjadi.

Pertanyaan pertama menuntut jawaban filosofis, sedangkan pertanyaan kedua menuntut jawaban teknis. Kedua tuntutan jawaban tersebut harus memberikan kejelasan kepada masyara

kat agar mereka sadar terhadap perubahan tersebut.

Tarigan (1995) menjelaskan lima hal yanq melatarbela—

kangi perubahan Kurikulum 1984 ke Kurikulum 1994, yaitu (1) perubahan sifat ma.sya.rakat Indonesia dari masyara.kat agraris

menjadi masyarakat industrial is; (2) perkernbangan ilmu pe

(11)

11

kulum lama; (3) berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1939

tentang

Sistem Pendidikan

Nasional;

(4) hasil

pengamatan

dan

penelitian pelaksanaan kurikulum yang lama; dan (5) hasil

studi perbandingan ke manca negara. mengenai pelaksanaan ku

r i k u l u m .

Perubahan yang paling mendasar dari Kurikulum 1984 ke Kurikulum 1994 terjadi pada perubahan orientasi. Kurikulum

1984

berorientasi

masih

pada

pengajaran.

Maksudnya,

dalam

pelaksanaan

kurikulum

pengajar meletakkan dasar

berpikirnya

pada bagaimana bahan yang ada dalam kurikulum dapat diajar

kan.

Orientasi

ini

membawa

konsekuensi

pada

diri

pengajar

bahwa mereka

harus

berpikir apa yang

harus

saya

ajarkan

dan

bagaimana

cara

mengajarkan

bahan

sebagaimana yang

telah

di-gariskan

kurikulum.

Kurikulum 1994

memberikan wawasan

yang

berbeda,

yakni

orientasi

bukan

lagi

pada pengajaran,

melain-kan

pada

pembelajaran.

Dengan

perubahan orientasi

ini

secara

otomatis pengajar pun harus

mengubah

perlakuannya dalam

me-maknai pengajaran bahasa.

Maksudnya,

pengajar harus berpikir

bagaimana

cara

siswa mempelajari

bahan yang terdapat

dalam

pembelajaran yang ada di dalam kurikulum (Tarigan,

1995:5).

Kurikulum .1994 dilaksanakan

secara

bertahap.

Tahapan

(12)

T A B E L 1

TAHAP PELAKSANAAN KURIKULUM SD, SLTP, DAN SMU 1994

Tahun ajaran 1994/ 1995/ 1996/ Sekolah Kelas 1995 1996 1997 Dst. I X X X X II - X X X SD III - - X X IV X X X X V - X X X VI - - X X SLTP I X X X X & II - X X X SMU III - - X X • (Sumber:Depdikbud,1993:29) 12

Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa hingga saat ini Kurikulum 1994 baru berlanqsung selama satu tahun. Selama kurun waktu tersebut kita belum bisa

menentu-kan apakah kurikulum ini mumpuni untuk terus dilaksanakan

atau tidak. Terlepas dari hal itu kendala-kendala dalam

pel aksanaannya, tentunya, sudah dapat dirasakan oleh para, pengajar, baik pada saat merancang pengajaran (membuat sila bus), melaksanakan pengajaran, maupun menilai hasil belajar.

(13)

13

Dalam pelaksanaan pengajaran, guru mengejawantahkan

kurikulum dalam bentuk silabus. Mackey (1978:323) memberikan

sumbangan pikiran bahwa dalam menganalisis silabus terdapat

empat pertanyaan yang harus dijawab, yaitu (1) Apa yang ha

rus ada di dalam silabus?; (2) Bagaimana cakupannya

(Cakup-an) ; (3) Mengapa cakupan itu harLis ada; dan (4) Bagaimana

silabus itu dapat dicapai oleh para pembelajar. Empat perta nyaan yang diajukan Mackey itu menyiratkan kriteria yang ha rus ada di dalam silabus. Kriteria yang dimaksud adalah si labus harus berisi bahan yang akan diberikan. Bahan tersebut

adalah bahan yang sudah disusun untuk pembelajar pada

ting-kat tertentu. Tentu saja, berdasarkan bahan pembelajaran

tersebut akan tergambar berbagai aspek, di antaranya tujuan

yang hendak dicapai, metode yang digunakan, bahan yang

di-sampaikan,

kegiatan

yang

dilakukan,

media dan

sarana

yang

dipakai, dan alat evaluasi yang diberikan.

Dalam pengajaran bahasa terdapat berbagai macam si

labus atau model pengajaran. Krahnke (1987) dalam bukunya

yang berjudul Approaches to Syllabus Design for Foreign La

nguage Teaching mengupas enam tipe silabLis pengajaran baha

sa, yakni The Structural Syllabus, The Notional/Functional

Sy1labus, Situational Syllabi, Skil1-Based Syllabi, The

Task-Based Syllabi, The Content-Based Syllabus, Choosing and

Integrating Syllabi. Selain itu Jack C. Richards dan Theo

(14)

14

Communicative Language Teaching, Total Physical Response,

The Silent May, Community Language Learning, The Natural Ap proach, dan Suggestopedia. Terence Odlin sebagai editor

(1994) menyajikan tulisan seputar Pedagogical Grammar.

Yalden (1987) dalam bukunya yang berjudul The Communicative

Syllabus membedar enam tipe silabus komunikatif mulai dari

Structural-Functional, Structures and Functions, Variabel

Focus, Functional, Fully Notional, sampai pada Fully Commu

nicative dengan lima tahapan rancang bangun silabus komuni

katif mulai dari SLirvai kebutuhan, deskripsi tujuan, pilihan tipe silabus, silabus proto, dan silabus pedagogis. Dengan

banyaknya silabus dalam pengajaran bahasa, tentu saja,

su-asana tersebut memberikan nuansa baru dalam dunia pengajaran

bahasa.

Setiap silabus memiliki dasar-dasar pemikiran yang

bisa sama dan bisa juga berbeda. Model silabus di atas di-temukan dan diuji coba terutama dalam pengajaran bahasa

Inq-gris sebagai bahasa kedua atau bahasa asing. Dengan demi

kian, timbul permasalahan seandainya dikaitkan dengan penga

jaran bahasa Indonesia, apakah semua silabus dapat diterap— kan dalam pengajaran bahasa Indonesia, silabus mana saja yang cocok digunakan untuk pengajaran bahasa Indonesia, apa kah silabus tersebLit dapat diterapkan dalam penqajaran baha sa. Indonesia bagi orang Indonesia, baik yang berstatus dwi

(15)

ha-nya cocok untuk pengajaran bahasa Indonesia. bagi orang

asing, bagaimana prosedur pelaksanaannya, dan kendala apa yang ditemukan dalam pengajaran bahasa Indonesia jika sila

bus tersebut diterapkan. Permasalahan tersebut perlu dicari

jawabnya dalam Lipaya mencari cara meningkatkan keberhasilan

pengajaran bahasa Indonesia. Jawab dari permasalahan terse

but akan dapat diperoleh apabila telah dilakukan penelitian.

Kurikulum 1994 menganut lima pendekatan, yaitu

pen-dekatan tujuan, Komunikatif, CBSA, Keterampilan Proses, dan Pragmatik. Kelima pendekatan tersebut diupayakan untuk men-capai vujuan pengajaran bahasa Indonesia. Adapun tujuan pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia

baik secara lisan maupun tertulis (Depdikbud,1993: 3).

Dengan orientasi belajar bahasa adalah belajar berkomunika

si n perlu diupayakan silabus yang mengarah pada maksud ter

sebut. Misalnya, bahan struktur bahasa Indonesia disajikan

dalam kegiatan keterampilan

berbahasa (menyimak,

berbicara,

membaca, dan menulis). Oleh sebab itu, penyaj iannya

diperlLi-kan silabus yang merujuk pada kebutuhan komunikasi bukan

keilmuan.

Penelitian yang

akan

penulis

lakukan

ini

merupakan

(16)

1 6

1.2.2 Pengajar Bahasa Indonesia

Salah satu fungsi pengajar merupakan

penggerak

terja-dinya

proses belajar mengajar.

Sebagai

penggerak

pengajar

harus memenuhi beberapa kriteria.

Kriteria itu harus menyatu

dalam

diri pengajar agar ia dapat menunjukkan

mutu

profe-sionalnya.

Pada saat hasil

proses belajar

mengajar

kurang

memuaskan, tak pelak pengajarlah yang mendapat perhatian

pertama dan utama. Masyarakat sibuk dengan melayangkan ber

bagai

tuduhan

kepada

pengajar seolah-olah pengajarlah

yang

menjadi biang keladi kegagalannya. Benarkah simpulan masya

rakat seperti itu? Apakah para pengajar belum dibekali

kom-petensi

yang

cukup untuk

terjun

ke

lapangan?

Apakah

para

pengajar kurang meningkatkan segi profesinya setelah terjun

ke

lapangan? Kiranya

pertanyaan-pertanyaan

tersebut

perlu

mendapat

pertimbangan dari

pihak

yang

bersangkutan

dan

pihak

yang berwenang.

Jika

kita

renungkan

pertanyaan-pertanyaan

itu,

ada

dua

lembaga yang

mendapat sorotan dalam dunia pendidikan,

yaitu lembaga persekolahan dan LPTK (IKIP, FKIP, dan STKIP).

Kedua lembaga itu sama-sama mengelola dunia pendidikan.

Lembaga

persekolahan

mengelola

pendidikan

di

tingkat

menen-gah ke bawah, sedangkan lembaga penghasil tenaga pengajar

mengelola pendidikan di tingkat tinggi. Secara de jure kedua

lembaga tersebut harus merasa prihatin, sekalipun secara de

(17)

tua pembelajar, dan masyarakat.

Permasalahan yang muncul sehubungan dengan pengajaran

Bahasa

dan Sastra. Indonesia dari sisi pengajar adalah

masih

banyak

pengajar

Bahasa

dan Sastra

Indonesia

yang

tidak

mempunyai kewenangan mengajarkan bahasa dan sastra Indonesia

(Badudu,1993:2

dan Syarif,

1994:9)).

Kenyataan seperti

ini

pada. satu sisi tidak bisa. dihindarkan (masih terdapat

seko

lah yang kekurangan guru) dan pada sisi lain kualitas penga

jaran Bahasa dan Sastra. Indonesia pa tut dipertanyakan.

Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan profil penga

jar

bahasa

yang berkompetensi. Dalam hal ini

Howard

yanq

dikutip James memberikan kriteria untuk pengajar bahasa :

a.

menguasai semua metode mengajarkan bahasa dan dapat

me-nerapkan metode itu dalam proses belajar mengajar;

b. menguasai bahan yang akan dan sedang diajarkan;

c.

melaksanakan semua kegiatan sekolah;

d. menguasai semua jenis dan prosedur penilaian;

e. menguasai semua tipe

latihan berbahasa;

f.

menguasai pengelolaan kelas;

g.

menguasai teknik pengajaran individual;

h. dapat menentukan dan menguasai silabi pelajaran;

i. dapat memanfaatkan media penqajaran yang tersedia;

j. menguasai tujuan pengajaran dan aktivitas untuk

mencapai

tujuan itu; dan

k. menguasai teknik-teknik pendidikan (Pateda,1991:39).

(18)

18

Selain

itu Leech

mengharuskan

pengajar

bahasa

(khususnya

tata bahasa atau struktur bahasa):

a. mampu menghadapi interaksi tata bahasa dengan leksikon

sebagai suatu sistem komunikasi;

b.

dapat menganalisis

permasalahan qramatis yang ditentukan

pembelajar;

c. mempunyai kemampuan dan keyakinan untuk menqevaluasi penggunaan tata bahasa;

d. menyadari hubungan kontrastif antara bahasa penutur asli dengan bahasa asing; dan

e. memahami dan menerapkan proses penyederhanaan (dalam Bygate,1994:18).

Sebagian besar butir yang dikemukakan Howard masih

bersifat umum. Maksudnya, kriteria itu dapat digunakan untuk

pengajar yanq bukan dari bidang pengajaran bahasa. Pendapat

Leech lebih mengarah pada kemampuan yang harus dimiliki

pengajar tata bahasa. Padahal pengajaran bahasa tidak hanya

memerlukan pengajar tata bahasa. Oleh sebab itu, perlu

kiranya dicari upaya peinantapan kompetensi pengajar bahasa s-ecara menyeluruh.

1.2.3 Pembelajar Bahasa Indonesia

Bukti suatu penqajaran bahasa dapat mencapai tujuan

yang diharapkan akan tecerrnin pada perilaku berbahasa para

(19)

bahasa tidak bisa terlepas dari pembelajarnya. Studi

menge

nai karakteristik pembelajar telah dilakukan para pakar

ba

hasa,

di antaranya Jakobovits

(1970:98).

la

menemukan

dua

hal

penting yang harus diperhatikan guru

dalam

pengajaran

bahasa kedua,

yaitu anak-anak akan lebih baik belajar bahasa

kedua daripada orang dewasa dan ada bakat bawaan yang

tidak

sama pada setiap orang. Penemuan Jakobovits ini didukung

pu-la

oleh penelitian yang dilakukan oleh US Fathman pada

ta

hun

1975,

Ramirez dan Politzer pada. tahun 1978,

Snow

dan

Hoefnagel-HShle

pada tahun 1978 (lihat Els,

1984:103-125).

Selain

itu

Nunan (1991:171) memberikan formula

pembelajar

yang baik adalah:

a.

menemukan caranya

belajar;

b. mengorganisasikan informasi mengenai bahasa;

c.

berkreasi dan bereksperimen dengan bahasa;

d. mendapatkan kesempatan dan menemukan strategi dalam

pe-makaian bahasa, baik di dalam maupun di luar kelas;

e. belajar menyesuaikan diri dan mengembangkan strategi

un

tuk mengerti bahasa sasaran tanpa harus paham setiap

ka-ta;

f.

menggunakan mnemonics;

g- memperbaiki kesalahan;

h.

menggunakan penqetahuan bahasa;

(20)

2 0

j. belajar menentukan kepandaianya;

k.

belajar unsur-unsur bahasa yang dapat membantu

kecakapan-nya;

1.

belajar rnenghasilkan berbagai

teknik

(misalnya teknik

bercakap-cakap); dan

m. belajar gaya bahasa yang berbeda dan memvariasikannya un

tuk berbagai situasi.

Masih berhubungan dengan pembelajar yanq baik, Rubin

(^975)

yang

dikutip Tarigan

(1991) menyajikan

tujuh

kriteria

pembelajar yang baik, yakni:

a. mempunyai kemauan keras dan ingin menjadi penduga yang tepat;

b. berkemauan keras untuk berkomunikasi;

c. tidak. segan-segan mengakui kelemahannya dalam B2 dan ti dak malu-malu berbuat kesalahan;

d. berkemauan keras menggunakan bentuk yang baik; sangat

memperhatikan bentuk bahasa; e. suka berlatih;

f. memantau ujarannya dan membandingkannya dengan bahasa.

asli baku; dan

g. berkemauan keras menggunakan makna dalam konteks

(21)

21

Ellis (1987:122) menempatkan sembilan kriteria untuk

pembelajar yang baik, yaitu:

a. mampu memberi respon terhadap dinamika kelompok situasi

pembelajaran untuk mencegah kegelisahan dan rintangan; b. menccri kesempatan untuk menggunakan bahasa sasaran;

c. menggunakan kesempatan secara maksimal untuk menyimak dan menanggapi ujaran dalam B2, baik yang ditujukan kepadanya maLtpun kepada orang lain;

d. melengkapi pelajaran kontak langsung dengan telaah

teore-tis; khususnya dalam hal bentuk bahasa;

e. lebih dewasa dalam pengembangan gramatikal;

f. mempunyai keterampilan analitik yang memadai mengenai

ciri-ciri B2 dan memantau kesalahan;

g. mempunyai alasan kuat untuk belajar B2;

h.

siap membuat

percobaan dengan

segala risiko,

sekalipun

menurut orang lain ia dianggap bodoh; dan

i.

mampu menyesuaikan diri

pada kondisi-kondisi

pembelajaran

yang berbeda.

Terlepas dari

kriteria mana yang

digunakan,

yang

je

las

tuntutan

pengajaran

bahasa

terhadap

pembelajar

adalah

pendayagunaan

segala

potensi

yanq dimilikinya dalam

belajar

dan

menggunakan

bahasa sasaran.

Tuntutan

ini amat berat jika

pengajar tidak benar-benar dalam melaksanakan

kewa.j ibannya.

Untuk tugas ini diperlukan tenaga pengajar profesional dalam

bidanqnya.

(22)

Jika kita menilik keadaan pembelajar bahasa Indone

sia,

secara u.mum mereka dapat digolongkan

ke dalam

tiga

qo~-longan, yaitu pembelajar yang berstatus ekabahasawan bahasa

daerah, ekabahasawan bahasa Indonesia, dan dwibahasawan. Da

lam pengajaran bahasa. Indonesia, ketiga golongan tersebut

selama ini mendapat perlakLian yang sama. Alasan yang

mendu-kung situasi tersebut adalah faktor sarana sekolah di Indo

nesia belum siap mengelompokkan mereka sesuai dengan pengua

saan bahasanya dan faktor kemudahan dalam

pengadministra-sian. Dengan situasi yang seperti itu, timbul masalah dalam

keberhasilan pengajaran. Dengan kata lain, situasi demikian

memunculkan masalah, yaitu apakah keberhasilan pengajaran

bahasa Indonesia tidak perlu memperhitungkan karakteristik

penguasaan bahasa yang dimiliki para pembelajarnya ataukah keberagaman penguasaan bahasa pada siswa berkontribusi ter

hadap keberhasilan pengajaran bahasa. Jika berkontribusi,

seberapa besar kontribLisinya dan bagaimana tindak lanjutnya.

Jawab permasalahan tersebut hanya dapat diperoleh melalui

penel itian.

1.3 Pembatasan Masalah

Pemecahan berbagai masalah di atas, tentu saja, me—

merlukan waktu yang tidak sedikit sebab berbagai penelitian

perlu dilakukan dalam jangka waktu yang tidak sinqkat.

(23)

dan tingkat pendidikan, ancangan, metode, teknik, maupun

yang berhubungan dengan cakupan bahan. Dalam tesis ini ha

nya akan diangkat satu masalah pokok, yakni masalah yang

berhubungan dengan model pengajaran bahasa. Indonesia. Model

yang d.ipilih dalam rangka penelitian ini adalah model penga

jaran struktur bahasa dengan ancangan tata bahasa pedagogis.

Model

ini

digunakan sehubungan dengan

karakteristik

yang

harus muncul dalam pengajaran bahasa Indonesia adalah bahan

yang

harus dikaitkan dengan kebutuhan siswa dengan

memper-hatikan segi

kebenaran,

keterbatasan, kehematan,

kesederha-naan, kejelasan, dan keterhubunqan.

Ancangan tata bahasa pe

dagogis ini menawarkan persyaratan tersebut karena

ancangan

ini

mendasarkan aspek

kebahasaan (struktur bahasa)

disaji-kan dengan memperhatidisaji-kan unsur-unsur pedagogis. Dalam

penya-jiannya model ini dikaitkan dengan cakupan bahan pembelajar

an

struktur

bahasa Indonesia, khususnya

bidang

sintaksis

(pembelajaran

kata depan [ preposisi], kata

sambung

[kon-jungtor],

pembelajaran kalimat aktif-pasif, dan kalimat

ma-jemuk)

di tingkat pendidikan sekolah menengah

umum.

Bahan

sintaksis tersebut dibuat berdasarkan hasil penelitian

ter

hadap

kesalahan berbahasa siswa sekolah menengah

yang

di

lakukan oleh Suardi (1984),

Mulyaasih (1991),

Komaraningsih

(1991),

Irawan (1994), dan Nurdin (1995). Selain itu

penen-tuan

bahan ini disesuaikan dengan kebutuhan topik yanq

(24)

24

ini digunakan sebagai bahan dalam keterampilan berfoicara dan

menu lis yang berhubungan dengan penqgunaan bahasa

(mengung-kapkan gagasan) sebagai alat berkomunikasi. AdapLin teknik

pengajaran yang akan digunakan adalah diskusi kelompok.

Pro-sedur penyajian bahan dalam KBM menggunakan prosedLir induk-si. Prosedur ini sesuai dengan tuntutan kurikulum SMU 1994

yang menitikberatkan penyajian awal dengan konteks penggu-naan bahasa kemudian para siswa melakukan kegiatan pembel

ajaran sehingga diharapkan siswa mampu menggunakan bahasa

Indonesia sesuai dengan kaidah dan situasi pemakaiannya.

1.4 Perumusan Masalah

Berdasarkan masalah umum dan pembatasan masalah di atas, rumusan masalah yang penulis ajukan sebagai berikut.

1) Baqaimanakah model pengajaran struktur bahasa Indonesia

yang baik di SMU menurut ancangan tata bahasa pedagogis ? 2) Bagaimanakah rumusan tujuan pembelajaran berdasarkan

ancangan tata. bahasa pedagogis untuk pengajaran struk tur bahasa Indonesia di sekolah menengah umum?

3) Apakah penyajian bahan dengan prosedur induksi cocok un

tuk mengajarkan struktur bahasa Indonesia di SMU dengan ancanqan tata bahasa pedaqoq is ?

4) Baqaimanakah evaluasi penqajaran struktur bahasa Indo

nesia dalam model pengajaran tata bahasa pedaqoqis di

(25)

5) Komponen pengajaran yang mana yanq dominan dalam penq ajaran struktur bahasa Indonesia di SMU dengan

mengquna-k a. n a n c a. n g a. n tat a b a h a s a p e d a g o g i s ?

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum adalah penulis mem—

peroleh gambaran model penqajaran struktur bahasa Indonesia

yang baik dengan ancangan tata bahasa pedagogis di sekolah menengah umum. Adapun Tujuan yang lebih rinci dalam peneli

tian ini adalah penLilis:

1) memperoleh model pengajaran struktur bahasa Indonesia yang baik untuk siswa SMU;

2) memperoleh rumusan tujuan pembelajaran struktur baha

sa Indonesia yang cocok untuk siswa sekolah menengah

umum;

3) memperoleh prosedur penyajian bahan pengajaran struktur bahasa Indonesia yang cocok untuk siswa sekolah menengah

umum;

4) memperoleh bentuk evaluasi yang cocok dalam pengajaran struktur bahasa Indonesia untuk siswa sekolah menengah umum; dan

5) menqetahui komponen penqajaran yanq dominan dalam peng ajaran struktur bahasa Indonesia dengan menggunakan an-c: a n q a n tata b a h a s a p e d a g o g i s .

(26)

1.6 Manfaat Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan

ha-silnya dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan bahasa pada

umumnya, pengajaran bahasa Indonesia pada khususnya yang

implementasinya berhubungan dengan pengembangan pengajaran bahasa Indonesia berdasarkan Kurikuluim 1994. Oleh sebab itu, manfaat penelitian ini akan dapat dirasakan oleh:

1. pendidik, sebagai masukan dalam meningkatkan kualitas

pengajaran struktur bahasa Indonesia;

2. pembelajar, sebagai masukan untuk meningkatkan kete—

rampilarmya dalam penggunaan bahasa Indonesia; dan

3. penulis buku siswa dan buku tata bahasa pedagogis, seba gai masukan untuk merancang dan mendeskripsikan bahan

ajar atau. kaidah bahasa Indonesia.

1.7 Definisi Operasional

Untuk memberikan arahan agar penelitian ini sesuai dengan harapan penulis diperlukan definisi operasional isti

lah-istilah yanq penulis gunakan. Dengan definisi ope rasional ini diharapkan ada titik pijak yanq sama dalam

me-mandang permasalahan. Adapun isti1 ah—isti1 ah yang terkait

da1 am penelitian ini sebagai berikut.

a. Model yanq penulis maksu.dkan adalah rancangan pengajaran.

Sebagai suatu rancangan pengajaran model ini menyiratkan

(27)

penyajian bahan, dan evaluasi pembelajaran.

b.

Pengajaran Struktur Bahasa Indonesia adalah pengajaran

kaidah

sintaksis bahasa

Indonesia, yang

berkenaan

dengan

konjungtor,

preposisi,

kalimat

aktif-pasif,

dan

kalimat

maj emLtk .

c.

Tata

bahasa pedagogis adalah

tata

bahasa

yang ditujukan

untuk para pembelajar. Penyusunan tata bahasa ini dilaku

kan oleh guru.

Dengan demikian,

rancangan dan penyajian

bahan struktur dilakukan

berdasarkan

kebutuhan

pembelajar

dengan memperhatikan aspek kebenaran, keterbatasan,

kehe-matan

konsep,

kejelasan,

kesederhanaan,

dan

keterhubunq-ai i

1.8 Anggapan Dasar

Penelitian

ini

menggunakan

anggapan

dasar

sebagai

berikut.

1.

Metode merupakan salah satu komponen dalam pengajaran.

Dalam pengajaran

bahasa

berbagai

metode telah

ditemukan.

Kesernuanya digunakan dalam usaha mencapai tujuan pengaja

ran.

Tujuan

pengajaran

bahasa yang

berbeda-beda

menimbul-kan

keragaman dalam

pemakaiannya.

Keragaman

metode

itu

bukan

berarti akan memunculkan

metode

yang

paling

baik.

Setiap metode memiliki karakteristik tertentu. Oleh sebab

itu ,

jika

metode A lebih berhasil

dibandingkan

dengan

(28)

23

1ebih

baik

daripada

metode B.

Denqan

kata

lain,

tidak

ada

metode

yang

paling

baik,

yang

ax da

guru

yang

baik

dalam

mem i1i h me tod e.

Setiap metode

memiliki

kekuatan dan kelemahan sehingga

keefektifan pemakaian suatu metode bergantung kepada

ke-cakapan guru dalam

memilihnya. Keefektifan metode ini akan dapat. ditentukan oleh seberapa besar bahan dapat diserap siswa dalam jang-ka waktLt yang telah ditetapkan. Dengan demikian, ketepat — an guru memilih metode akan dapat dilihat dari

keterpa-haman siswa terhadap bahan yang diberikan.

Keberhasilan suatu pengajaran akan bergantung kepada ber

bagai faktor. Salah satu faktornya adalah model mengajar.

Berbagai model mengajar telah dikenal guru. Model meng

ajar mana yang paling baik (paling cocok), tentunya,

sa-ngat sulit ditentukan sebab setiap model akan mempunyai

persyaratan dengan kondisi-kondisi tertentu. Oleh sebab

itu, tidak ada satu model mengajar pun yang paling cocok

untuk semua situasi, dan sebaliknya tidak ada satu situa si mengajar pun yang paling cocok diharnpiri oleh semua model mengajar (Dahlan, 1990:19). Pernyataan tersebut

me-n y i ra t ka me-n ba hw a berbagai k o m pone n pengajar a. n (q u ru , tu —

j uan , bahan , siswa , dan sebagainya ) akan berpienqa*ruh be

(29)

Model pengajaran struktur bahasa dengan ancangan

tata bahasa pedagogis meru.pakan salah satu model meng

ajar yang digunakan guru dalam menyampaikan bahan

struk-tli r ba has a d e>n g a n mem pe r t im ban g ka n Lt nsu r—u nsur pedagogis,

yaitu kebenaran, pembatasan, kehematan konsep, kejelasan,

kesederhanaan, dan keterhubungan (Swan dalam Bygate,

Tonkyn, dan Wi11iams,1994:45). Pertimbangan pedagogis da

lam pengajaran merupakan suatu langkah yang harus

ditem-puh guru, pada saat merancang, melaksanakan, dan menilai

pengajarannya. Pengajaran struktur bahasa merupakan

sa-rana dalam mendayagunakan funqsi bahasa sebagai alat ko

munikasi.

Agar dapat

berkomunikasi

dengan

baik

diperlukan

kompetensi

komunikasi.

Khranke

(1987:21)

berpendapat

bah-wa struktur atau

lebih sering disebut tata

bahasa merupa

kan komponen dalam kompetensi

komunikasi.

Dengan

struktur

yang baik dan benar komunikasi akan dapat dijalin

dengan

1ancar.

Model pengajaran struktur yang selama ini disajikan

oleh

para guru masih

berkiblat

pada

penyajian

yang

bersi-fat linquistis bukan pedagogis. Unsur-u.nsur bahasa di

ajarkan lepas dari konteksnya sehingga siswa kurang mampu

men g e m ba n g kan ke te ram p i 1a n n y a d a 1a m keg ia t. a n be r bah a s a .

Selain itu. guru dalam memberikan evaluasi masih menqarah

pada. u.nsu.r

teori

bahasa sehingga siswa digiring

untuk

(30)

3 0

nantinyd akan

digunakan

dalam

keperluan

tuturan

dan

tu-1i san (Badudu,1985:96) .

4.

Model

pengajaran struktur bahasa dengan ancangan tata

bahasa

pedagogis

lebih

banyak

melibatkan

keaktifan

siswa

dalam belajar bahasa. Oleh sebab itu, teknik diskusi me

rupakan teknik yang cocok

untuk digunakan.

Dengan

teknik

ini

siswa

lebih

banyak

diranqsang

untuk

berbahasa

se

hingga

kegiatan

belajar-mengajar

lebih

banyak

diwarnai

dengan

pemajanan

keterampilan

berbahasanya.

Situasi

se-perti inilah yang dituntut dalam pengajaran bahasa sebab

pembelajaran

bahasa

Indonesia diarahkan

untuk

meningkat

kan kemampuan

siswa dalam berkomunikasi

dengan

bahasa

In

donesia,

baik

secara

lisan maupun

tertulis. Dengan

demi-kian, pembelajaran bahasa Indonesia harus lebih diwarnai

oleh fungsi bahasa daripada pengetahuan bahasa. Oleh

sebab

itu,

keterampilan berbahasa (menyimak,

berbicara,

membaca,

dan menulis)

menduduki

peran yang

penting.

5.

Kebaikan suatu model mengajar bergantung pada tujuan peng

ajarannya. Dalam GBPP Bahasa Indonesia Kurikulum SMU 1994

tercantu.m tujuan umum pengajaran bahasa Indonesia:

1) siswa menghargai dan membanggakan bahasa Indonesia se

tt aQa i bahasa nasi.ona 1 dan

bahasa neqar a ;

2) siswa memahami

bahasa

Indonesia dari

segi

bentuk,

mak-na, dan fungsi,

serta menggunakannya dengan

tepat

(31)

3 ) siswa memi1iki keinampuan menqgunakan bahasa Indonesia

untuk meningkatkan kemampuan intelektual

(berpikir

kreatif dan disiplin, menggunakan akal sehat,

menerap-kan

pengetahuan yang berguna, memahami

dan

menekuni

konsep abstrak serta memecahkan masalah),

kematangan

emosional dan sosial; dan

4) siswa mampu menikmati,

menghayati,

memahami,

dan

me-manfaatkan karya sastra untuk mengembangkan

kepribadi-an,

memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan

pengetahuan dan kemampuan berbahasa (Depdikbud,

1993:1).

Berdasarkan tujuan umum di atas dapat ditarik

ke-simpulan bahwa tujuan penqajaran bahasa Indonesia adalah

siswa memiliki sikap, pengetahuan, dan keterampilan dalam

berbahasa

Indonesia. Oleh sebab itu, pengembangan

model

pengajaran struktur bahasa Indonesia yang baik harus

(32)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dalam penelitian, observasi dikelompokkan sebagai penelitian ilmiah apabila observasi tersebut secara khusus dirancang untuk menjawab sebuah

Tersedianya pupuk subsidi yang semakin berkurang menyebabkan tanaman para petani mengalami kemorosotan, maka dari itu progam ini akan sangat

Teknik pembiusan dengan penyuntikkan obat yang dapat menyebabkan pasien mengantuk, tetapi masih memiliki respon normal terhadap rangsangan verbal dan tetap dapat mempertahankan

Akan tetapi sebagai tontonan yang mengedukasi dan dapat dijadikan sebagai media pembelajaran yang dapat memberikan ilmu pengetahuan kepada penonton terutama

Agar produk mainan Indonesia bisa diterima di Perancis dan nilai perdagangannya bisa semakin meningkat, maka perlu sekali untuk mempromosikan secara intensif

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas ekstrak etanolik daun sendok (Plantago lanceolata L.) topikal terhadap re–epitelisasi penyembuhan ulkus traumatik mulut

Selain sikap tubuh yang salah dan sering kali menjadi kebiasaan, beberapa aktivitas berat seperti melakukan aktivitas dengan posisi berdiri lebih dari 1 jam