• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keyakinan (belief), sikap (attitude), dan intensi (intention) individu. Keyakinan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keyakinan (belief), sikap (attitude), dan intensi (intention) individu. Keyakinan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Turnover Intention

1. Pengertian Turnover Intention

Fishben dan Ajzen (1975) mengemukakan bahwa intensi adalah subyektifitas individu yang melibatkan hubungan antara dirinya dan suatu perilaku, dengan teori pembentukan tingkah laku berdasarkan hubungan antara keyakinan (belief), sikap (attitude), dan intensi (intention) individu. Keyakinan dikategorikan sebagai aspek kognitif yang melibatkan pengetahuan, pendapat dan pandangan individu terhadap obyek. Sikap dikategorikan sebagai aspek afektif yang mengarah pada perasaan individu terhadap suatu obyek serta evaluasi yang dilakukannya. Intensi dikategorikan sebagai aspek konatif yang menunjukkan intensi individu dalam bertingkah laku (behavioral intention) dan bertindak ketika berhadapan langsung dengan suatu obyek serta evaluasi yang dilakukannya.

Sementara turnover adalah berhentinya seseorang dari tempatnya bekerja secara sukarela. Cascio (1987) mendefinisikan turnover sebagai berhentinya hubungan kerja secara permanen antara perusahaan dengan karyawannya, dan Maier (1971) menyatakan bahwa turnover merupakan perpisahan antara perusahaan dan pekerja.

Terdapat beberapa definisi mengenai intensiturnover, yang dinyatakan sebagai berikut; Mobley (2000) menyatakan bahwa intensi turnover adalah penghentian keanggotaan dalam organisasi oleh individu yang berkeinginan untuk pindah kerja dengan menerima upah moneter dari organisasi.

(2)

Mathis & Jackson (2001) menyatakan intensiturnoveradalah proses dimana tenaga kerja meninggalkan organisasi dan harus ada yang menggantikannya.

Zeffane (2003) menyatakan intensiturnoveradalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaanya secara sukarela menurut pilihannya sendiri.

Robbins (2006), menjelaskan bahwa penarikan diri seseorang keluar dari suatu organisasi (turnover) dapat diputuskan secara sukarela (voluntary turnover) maupun secara tidak sukarela (involuntary turnover). Voluntary turnover atau quit merupakan keputusan karyawan untuk meninggalkan organisasi secara sukarela yang disebabkan oleh faktor seberapa menarik pekerjaan yang ada saat ini, dan tersedianya alternatif pekerjaan lain. Sebaliknya, involuntary turnover atau pemecatan menggambarkan keputusan pemberi kerja (employer) untuk menghentikan hubungan kerja dan bersifat uncontrollable bagi karyawan yang mengalaminya.

Booth & Hamer (2007) mengartikan intensiturnover sebagai dampak terburuk dari ketidakmampuan suatu organisasi dalam mengelola perilaku individu sehingga individu merasa memiliki intensi pindah kerja yang tinggi.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwaintensi turnover adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk keluar dari organisasi secara sukarela dengan mencari alternatif pekerjaan lain menurut pilihannya sendiri yang didasari dengan keyakinan dan sikap telebih dahulu.

(3)

2. Proses Turnover Intention

Mobley (2000) menyatakan tahapan proses intensiturnover sebelum pada tahap melakukanturnover adalah sebagai berikut :

Bagan Tahapan Berfikir Turnover Intention (Mobley, 2000)

Proses kognitif dalam turnover dimulai saat individu mulai berfikir untuk berhenti (thinking of quiting) yang ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran untuk meninggalkan pekerjaannya saat ini. Hal ini melibatkan proses evaluasi individu terhadap pemikirannya apakah meninggalkan pekerjaan akan memberikan hasil yang sesuai dengan harapannya atau tidak (evaluation of the

expected utility of search). Individu merasakan adanya ketertarikan pada

pekerjaan atau pekerjaan lain, yang muncul berdasarkan harapan bahwa pekerjaan atau perusahaan tersebut akan mendatangkan berbagai konsekuensi baik positif maupun negatif mengenai hasil dan nilainya. Kemudian, setelah individu menemukan bahwa terdapat peluang untuk mendapatkan alternatif pekerjaan atau perusahaan lain. Lalu, setelah individu melakukan pencarian, proses evaluasi kembali dilakukan terhadap alternatif pekerjaan yang ada dengan

Thought of quiting Evaluation of the expected utility of search Intention to search Search Evaluation of alternatives Intention to quit Withdrawal decision Turnover behaviour

(4)

mempertimbangkan konsekuensi positif dan negatif dari setiap alternatif tersebut

(evaluation of alternatives). Hasil evaluasi tersebut kemudian akan berlanjut pada

munculnya kecenderungan untuk meninggalkan pekerjaan saat ini (intention to

quit).

Setelah melewati proses kognisi yang dimulai dari tahap pertama sampai dengan tahap keenam, terdapat tahap withdrawal decision dan turnover behavior, yang merupakan tahapan di luar proses kognisi dan merupakan tahapan dimana pada akhirnya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan. Tahapan ini adalah bentuk realisasi dari intensi untuk meninggalkan pekerjaan, yaitu berhenti dari pekerjaan atau keluar dari perusahaan.

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi IntensiTurnover

Mueller (2003) menyatakan beberapa aspek yang dapat menjadi prediktor intensi turnover, yang meliputi :

a. Variabel Konstektual

Faktor yang penting dalam permasalahan mengenai turnover adalah adanya alternatif pekerjaan lain yang tersedia di luar organisasi, alternatif-alternatif yang tersedia di dalam organisasi dan bagaimana individu tersebut menerima nilai atau menghargai perubahan pekerjaan (perceived

cost of job change). Variabel konstektual ini mencakup :

a) Alternatif-alternatif yang ada di luar organisasi (external

(5)

Adanya kecenderungan karyawan untuk meninggalkan organisasi dikarenakan adanya alternatif pekerjaan baru di luar organisasi. Sementara itu dari sisi individu, umumnya pembentuk intensi

turnover berdasarkan persepsi subyektif dari pasar tenaga kerja,

dan umumnya individu akan benar-benar melakukan perpindahan kerja jika persepsi yang ia bentuk sesuai dengan kenyataan, dan mereka merasa aman dengan pekerjaan baru.

b) Alternatif-alternatif yang ada di dalam organisasi (internal

alternatives)

Adanya alternatif yang timbul dari dalam organisasi dimana kecenderungan karyawan melakukan intensi turnover disebabkan karyawan melihat ada organisasi yang memiliki peluang kerja yang sama dengan sebelumnya yang bisa membuat karyawan tersebut lebih baik dari organisasi sebelumnya.

c) Harga atau nilai dari perubahan kerja (cost of job change)

Individu meninggalkan organisasi seringkali dikarenakan tersedianya alternatif-alternatif yang mendorong mereka untuk keluar dari organisasi. Namun ada faktor lain yang membuat individu memilih untuk tetap bertahan, yakni faktor keterikatan. Individu yang merasa terikat dengan organisasi cenderung untuk tetap bertahan di organisasi. Keterikatan menunjukkan pada kesulitan yang dihadapi oleh individu untuk berpindah atau mengubah pekerjaan, meski ia mengetahui adanya alternatif yang

(6)

lebih baik di luar. Salah satu faktor yang meningkatkan harga dari intensi turnover adalah asuransi kesehatan dan benefit yang didapat dari organisasi (misal pensiun dan bonus-bonus).

b. Sikap Kerja (work attitudes)

Hampir semua model proses turnover dimulai dengan premis yang menyatakan bahwa keputusan turnover dikarenakan oleh tingkat kepuasan kerja yang rendah dan komitmen organisasi yang rendah pula.

c. Kejadian-kejadian kritis (critical events)

Kebanyakan orang jarang memutuskan apakah mereka tetap bertahan di pekerjaan yang ada ataupun tidak, dan tetap mempertahankan pekerjaan yang sama sebagai fungsi dari suatu pilihan dibanding suatu kebiasaan. Kejadian-kejadian kritis memberikan kejutan yang cukup kuat bagi sistem kognitif individu untuk menilai ulang kembali situasi yang dihadapi dan melakukan tindakan nyata. Contoh dari kejadian-kejadian kritis diantaranya adalah perkawinan, perceraian, sakit atau kematian dari pasangan, kelahiran anak, kejadian yang berkaitan dengan pekerjaan seperti diabaikan dalam hal promosi, menerima tawaran yang lebih menjanjikan atau mendengar tentang kesempatan kerja yang lain. Semua kejadian-kejadian tersebut bisa meningkatkan atau menurunkan kecenderungan seseorang untuk turnover, karena setiap kejadian bisa disikapi secara berbeda antara individu satu dengan yang lain.

Spector (2007) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya turnover meliputi lama kerja, dimana turnover lebih banyak terjadi

(7)

pada karyawan yang masa kerjanya lebih singkat. Usia, bahwa pekerja yang memiliki usia lebih muda memiliki tingkat intensi turnover yang lebih tinggi dibandingkan pekerja yang lebih tua. Status perkawinan, tingkat inteligensi, dimana tingkat inteligensi yang rendah akan memandang tugas-tugas sulit sebagai tekanan sehingga mudah gelisah dan individu akan berusaha mencari pekerjaan baru dan keluar dari perusahaan. Mobley (2008) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi intensi turnover meliputi tiga hal, yaitu lingkungan hidup atau ekonomi, individu, dan organisasi. Sedangkan Sularo, Purwati, wulandari (2013) dalam penelitiannya mendapatkan hasil yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi adanya intensi turnover meliputi kepuasan kerja, komitmen organisasi, konflik peran dan job insecurity.

4.Pengukuran Intensi Turnover

Pengukuran intensi turnover dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Fishben dan Ajzen (1975) mengemukakan pendekatan untuk melakukan pengukuran intensi turnover secara langsung melalui pertanyaan yang diajukan secara langsung kepada individu apakah ia akan melakukan perilaku tertentu atau tidak, dengan titik tolak penilaian tunggal, yaitu ya - tidak, atau mau – tidak mau. Sedangkan pengukuran intensi secara tidak langsung dilakukan dengan menggunakan skala yang bertitik tolak pada model pilihan jawaban dari sangat sesuai sampai sangat tidak sesuai terhadap perilaku tertentu.

Pengukuran intensi secara langsung menekankan pada isi intensi atau spontanitas keinginan untuk melakukan suatu perilaku tertentu dalam

(8)

memperlihatkan proses yang melalui terbentuknya intensi itu sendiri. Sebaliknya pengukuran intensi secara tidak langsung berdasarkan pada model kerangka konseptual pembentukan perilaku, yaitu bahwa intensi merupakan fungsi dari dua determinan utama, yaitu sikap pribadi terhadap perilaku yang akan dilakukan

(attitude toward the behavior) dan persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk

melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu.

Pengukuran intensi turnover dalam penelitian ini didasarkan pada teori Fishben dan Ajzen (1975) yang mengemukakan empat aspek alam mengukur intensi, yang meliputi :

a. Perilaku (behavior), yaitu perilaku spesifik yang nantinya akan diwujudkan.

b. Sasaran (target), yaitu objek yang menjadi sasaran perilaku. Objek yang menjadi sasaran dari perilaku spesifik dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu orang atau sekelompok objek tertentu (particular object), sekelompok orang atau sekelompok objek (a class of object), dan orang atau objek pada umumnya (any object).

c. Situasi (situation), yaitu situasi yang mendukung untuk dilakukannya suatu perilaku (bagaimana dan dimana perilaku itu akan diwujudkan). d. Waktu (time), yaitu waktu terjadinya perilaku yang meliputi waktu tertentu

(9)

B. Manajemen Konfik 1. Pengertian Konflik

Terdapat beberapa pendapat mengenai pengertian konflik. Killman dan Thomas (1978) menyatakan konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja.

Menurut Luthans (1981) menyatakan konflik adalah kondisi yang ditimbulkan olehadanya kekuatan yang saling bertentangan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia. Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaituperbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa konflik adalah suatu kondisi dimana terdapat ketidakcocokan atau pertentangan yang terjadi dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain yang dapat mengganggu bahkan mempengaruhi efisiensi dan produktifitas kerja.

2. Pengertian Manajemen Konflik

Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah yangdiambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arahhasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupapenyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama

(10)

dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.

Lynne Irvine (1998) mendefinisikan manajemen konflik sebagai strategi dari organisasi untuk mengelola perbedaan individu untuk mengurangi biaya dari konflik yang tidak teratasi dan memanfaatkannya sebagai sumber inovasi dan perbaikan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa manajemen konflik adalah suatu usaha atau langkah-langkah yang diambildalam rangka menyelesaikan konflik, dengan pola komunikasi dan perilaku serta memanfaatkannya menjadi sumber inovasi dan perbaikan.

3. Jenis-jenis Konflik

Menurut Sentanu K. (1985) konflik dapat dibagi menjadi lima jenis yang meliputi :

a. Konflik internal individu

Yaitu konflik yang terjadi pada individu anggota organisasi. Masalahyang menyebabkan terjadinya konflik selain berhubungan dengan masalah

industrial relation.Masalah - masalah yang berhubungan dengan industrial

relation antara lain adalah kepastianindividu tersebut terhadap masa depan profesi dan karir pekerjaan, apakah mempunyai prospekyang baik ataukah tidak. Bagaimana kondisi jaminan sosial ekonomi yang diterima

(11)

dariorganisasi, apakah dapat mencukupi atau tidak dan lain - lain.Sementara yang berhubungan dengan masalah - masalah diluar industrial relation dapatdisebutkan antara lain pengaruh dari pihak keluarga yang menghadapi berbagai masalah, dan lain-lain. Sehingga didalam diri individu yang bersangkutan terjadi konflik yang dapatmempengaruhi performancenya dalam pekerjaan.

b. Konflik antara individu dalam suatu organisasi,

Yaitu konflik ini timbul oleh karena adanya ketidaksesuaian cara pandang terhadap masalah tertentu antara individu yang satu denganindividu yang lain dalam suatu organisasi, penyebabnya adalah perbedaan kepribadian.Masalah - masalah yang menyebabkan terjadinya konflik dapat bermacam-macam, bisa dalambentuk perbedaan posisi pekerjaan dalam organisasi ataupun masalah - masalah pengaturan kerjayang kurang adil.

c. Konflik antar individu dan kelompok dalam suatu organisasi;

Yaitu konflik yang terjadiantara individu tertentu dengan kelompok pekerja. Konflik ini terjadi biasanya dalam hubunganindustrial organisasi. Misal sanksi dan tekanan kelompok terhadap individu atas pekerjaan yangditentukan kelompok organisasi, sehingga individu yang bersangkutan merasa tertekankarenanya.

d. Konflik antara kelompok kerja dalam suatu organisasi,

Yaitu konflik ini terjadi lebihdisebabkan karena perbedaan kepentingan dan unsur - unsur penyebabnya antara lain karenaperbedaan mengambil

(12)

peran dan penempatan sumber daya yang tersedia, peroleh kontraprestasidan lain - lain.

e. Konflik antara organisasi,

Yaitu konflik ini adalah konflik yang biasa terjadi karena perbedaanprinsip, konsep, strategi dan sistem yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan.

4.Jenis Manajemen Konflik

Gottman dan Korkoff (dalam Fisher, 2000) menyebutkan bahwa secara garis besar ada dua manajemen konflik, yaitu :

a. Manajemen konflik destruktif yang meliputi menyerang dan lepas kontrol(conflict engagement), menarik diri (withdrawal) dari situasi tertentu yang kadang-kadang sangat menakutkan hingga menjauhkan diri ketika menghadapi konflikdengan cara menggunakan mekanisme pertahan diri, dan menyerah dan tidak membela diri (compliance).

b. Manajemen konflik konstruktif yaitu positive problem solvingyang terdiri dari kompromi dan negosiasi. Kompromi adalah suatu bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yangterlibat mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap dasar untuk melaksanakan kompromi adalah bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak lainnya dan sebaliknya sedangkan negosiasi yaitu suatu cara untuk menetapkan keputusan yang

(13)

dapat disepakati dan diterima oleh dua pihak dan menyetujui apa dan bagaimana tindakan yang akan dilakukan di masa mendatang.

5. Pengukuran Manajemen Konflik

Pengukuran manajemen konflik dilakukan dengan menggunakan teori yang diungkapkan oleh Gottman dan Korkoff (dalam Fisher, 2000), dengan melakukan pengukuran terhadap manajemen konflik konsktuktif dengan positive problem

solving, yang meliputi :

a. Kompromi, yang merupakan suatu bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yangterlibat mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap dasar untuk melaksanakan kompromi adalah bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak lainnya

b. Negosiasi, yang merupakan suatu cara untuk menetapkan keputusan yang dapat disepakati dan diterima oleh dua pihak dan menyetujui apa dan bagaimana tindakan yang akan dilakukan di masa mendatang.

6. DampakKonflik

Stevenin (2000) menjelaskan bahwa sebuah konflik yang tidak terselesaikan akan merusak lingkungan kerja dan orang-orang yang ada di dalamnya. Adapun dampak dari tidak terselesainya konflik meliputi :

(14)

b. Tertahan dan terubahnya informasi yang diperlukan rekan-rekan sekerja dengan tujuan agar tetap dapat mencapai prestasi.

c. Keputusan yang lebih buruk yang diambil oleh perseorangan atau tim karena mereka sibuk memusatkan perhatian pada orangnya, bukan pada masalahnya.

d. Kemungkinan sabotase terhadap pekerjaan atau peralatan. Seringkali dimaklumi sebagai faktor “kecelakaan” atau “lupa”. Namun, dapat membuat pengeluaran yang diakibatkan tak terhitung banyaknya.

e. Sabotase terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota tim melalui gosip dan kabar burung.

f. Menurunkan moral, semangat, dan motivasi kerja. Seorang karyawan yang jengkel dan merasa ada yang berbuat salah kepadanya tidak lama kemudian dapat meracuni seluruh anggota tim.

g. Masalah yang berkaitan dengan stres. Ada bermacam-macam, mulai dari efisiensi yang berkurang sampai kebiasaan membolos kerja.

Dampak tersebut, didukung oleh Wijono (1993), yang menjelaskan bahwa kurang efektifnya pengelolaan konflik akan memunculkan keadaan-keadaan seperti :

a. Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada waktu jam-jam kerja berlangsung seperti misalnya ngobrol berjam-jam, berjalan mondar-mandir menyibukkan diri, tidur selama pimpinan

(15)

tidak ada di tempat, pulang lebih awal atau datang terlambat dengan berbagai alasan yang tak jelas.

b. Banyak karyawan yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab. Seringnya terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa memancing kemarahan, ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan, kondisi psikis dan keluarganya.

c. Banyak karyawan yang sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh teman ataupun atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stres yang berkepanjangan yang bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi, maag ataupun yang lainnya.

d. Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh teguran dari atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya produksi, dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan provokasi terhadap rekan kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan orang lain.

e. Meningkatnya kecenderungan karyawan yang keluar masuk dan ini disebut labor turnover. Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran dan kestabilan organisasi secara menyeluruh karena produksi bisa macet, kehilangan karyawan potensial, waktu tersita hanya untuk kegiatan seleksi dan memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan dalam cost benefit.

(16)

C. Job Insecurity

1. Pengertian Job Insecurity

Definisi job insecurity, dijelaskan oleh Saylor (2004) sebagai perasaan tegang gelisah, khawatir, stress, dan merasa tidak pasti dalam kaitannya dengan sifat dan keberadaan pekerjaan selanjutnya yang dirasakan pada pekerja. Ketakutan yang berlebih menciptakan keinginan untuk selalu bekerja lebih keras untuk menghindari resiko terjadinya ketidakamanan dalam bekerja (job insecurty) seseorang. Pekerjaan yang berjangka pendek (kontrak) akan mengakibatkan ketidakpastian.

Rowntree (2005), ketidakamanan kerja atau dapat disebut dengan job

insecurity dapat didefinisikan sebagai kondisi yang berhubungan dengan rasa

takut seseorang akan kehilangan pekerjaannya atau prospek akan demosi atau penurunan jabatan serta berbagai ancaman lainnya terhadap kondisi kerja yang berasosiasi menurunnya kesejahteraan secara psikologis dan menurunnya kepuasan kerja.

Kang, Jeff, dan Daewon (2012) menganggap ketidakamanan kerja sebagai suatu kegelisahan yang dirasakan karyawan pada saat bekerja dimana mereka dihadapkan pada kondisi yang tidak menyenangkan.

Menurut Green (2003) job insecurity merupakan ketidakpastian yang menyertai suatu pekerjaan yang menyebabkan rasa takut atau tidak aman terhadap konsekuensi pekerjaan tersebut yang meliputi ketidakpastian penempatan atau ketidakpastian masalah gaji serta kesempatan mendapatkan promosi atau pelatihan. Menurut Green faktor yang mempengaruhi ketidakamanan kerja (job

(17)

insecurity) dipengaruhi oleh lingkungan kerja yang meliputi lingkungan kerja

fisik dan lingkungan kerja psikis, kondisi di luar lingkungan kerja, dan diri pribadi.

Saylor (2004) berpendapat bahwa aspek-aspek job insecurity meliputi ketakutan akan kehilangan pekerjaan, bekerja lebih keras, dan ketakutan akan kehilangan status sosial.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa job insecurity adalah kegelisahan yang dirasakan karyawan terkait pekerjaannya, seperti ketakutan akan kehilangan pekerjaan dikarenakan kondisi pekerjaan yang berubah-ubah, status kepegawaian, dan kegelisahan yang dirasakan dikarenakan kondisi yang tidak menyenangkan dalam bekerja.

2. PengukuranJob Insecurity

Pengukuran job insecurity akan dilakukan dengan menggunakan aspek job

insecurity yang dikemukakan oleh Adkins, James dan Jing(2001), yang meliputi :

a. Ancaman terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan.

Aspek-aspek yang berkaitan di dalam pekerjaan salah satunya sepertikebebasan menentukan jadwal pekerjaan. Persepsi seseorang mengenaibesarnya ancaman aspek-aspek pekerjaan dapat diketahui melalui seberapabesar aspek-aspek itu dirasakan penting dan seberapa besar kemungkinanindividu akan kehilangan aspek-aspek tersebut. Semakin penting dan semakintinggi aspek-aspek tersebut dipersepsikan

(18)

mungkin hilang, maka semakintinggi tingkat ancaman terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan yang dirasakanindividu tersebut.

b. Ancaman kehilangan pekerjaan secara keseluruhan.

Ancaman kehilangan pekerjaan secara keseluruhan merupakan persepsiseseorang mengenai adalanya kejadian-kejadian negatif yang dapat mempengaruhi pekerjaannya, seperti diberhentikan untuk sementara waktu.Ancaman tersebut dapat diketahui melalui seberapa penting dan seberapamungkin kejadian-kejadian negatif tersebut dipersepsikan akanmempengaruhi pekerjaannya secara keseluruhan.

c. Ketidakberdayaan.

Ketidakberdayaan menujukkan ketidakmampuan seseorang untuk mencegahmunculnya ancaman yang berpengaruh terhadap aspek-aspek pekerjaan danpekerjaan secara keseluruhan. Semakin individu merasa tidak berdaya,semakin tinggi tingkat job insecurity.

3. Dampak Job Insecurity

Ashford dan Wright (1989) menyatakan bahwa job insecurityyang tinggi yang dirasakan karyawan akan berhubungan dengan :

a. Keinginan untuk mencari pekerjaan baru

Job insecurity dapat memberikan efek pada turnover karyawan, dimana job insecurity akan berhubungan dengan respon penarikan diri, sebagai

usaha untuk menghindari stress. b. Komitmen organisasi yang rendah

(19)

Perasaan job insecurity dapat mengancam level komitmen, kepuasan dan kepercayaan yang tinggi terhadap perusahaan.

c. Trust terhadap organisasi yang rendah

Individu yang merasa perusahaan tidak dapat diandalkan untuk menghasilkan komitmen terhadap karyawan dapat mengurangi komitmen karyawan terhadap organisasi, dan komitmen terhadap organisasi berhubungan dengan kepercayaan karyawan terhadap perusahaan.

d. Kepuasan kerja yang rendah

Persepsi terhadap organisasi memiliki hubungan secara negatif dengan pengukuran kepuasan kerja, dimana karyawan dengan tingkat persepsi terhadap job insecurity yang rendah akan kurang puas dengan pekerjaan mereka.

D. Dinamika Antar Variabel

1. Manajemen Konflik tehadapIntensi Turnover

Sebuah pandangan menyatakan bahwa konflik organisasi merupakan suatu hal yang negatif, menjerumus pada perpecahan organisasi, karena itu harus dihilangkan karena akan menghambat kerja optimal. Perselisihan dianggap sebagai indikasi adanya sesuatu yang salah dengan organisai, dan itu bearti aturan-aturan organisasi tidak dijalankan (Wahyudi, 2006). Konflik di suatu organisasi dapat meliputi konflik dalam diri individu, konflik antar individu, konflik antar individu dalam kelompok, serta konflik antar kelompok (Wirawan, 2010).

(20)

Kesemua konflik yang ada ini harus dapat diterima dan dikelola dengan baik, serta harus didorong, karena konflik merupakan kekuatan untuk mendatangkan perubahan dan kemajuan dalam lembaga. Wahyudi (2006) dalam penelitiannya mengatakan bahwa, jika konflik dapat dikelola secara sistematis dapat berdampak positif, yaitu memperkuat hubungan kerjasama, meningkatkan kepercayaan dan harga diri, mempertinggi kreativitas dan produktivitas. Karena itu penyelesaian konflik harus dilakukan dengan manajemen konflik yang baik.

Selain dampak positif dari konflik,terdapat beberapa dampak negatif yang diungkapkan oleh Wijono (1993) disebabkan karena kurang efektifnya pengelolaan konflik atau terdapat kecenderungan untuk membiarkan konflik tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik. Pembiaran konflik yang dilakukan akan mengakibatkan beberapa hal yang meliputi ; meningkatnya jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada jam kerja berlangsung. Hal ini menurut Harnoto (2002) merupakan tanda-tanda dari karyawan yang memiliki intensiturnoverdimana adanya intensiturnover akan ditandai dengan absensi karyawan yang meningkat, serta diikuti dengan tanggung jawab akan pekerjaan yang berkurang dibandingkan dengan sebelumnya. Karyawan juga akan mulai malas untuk bekerja dan merasa bahwa bekerja di tempat lain lebih dapat memenuhi keinginan karyawan tersebut.

Hubungan antara konflik dengan intensiturnover itu sendiri berdasarkan beberapa penelitian merupakan hubungan yang negatif, hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sanders (2017) mengenai keterkaitan antara

(21)

sebagai variabel mediator, menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara

relationship conflict dengan turnover intention, dan hubungan antara manajemen

konflik dengan turnover intention juga merupakan hubungan negatif dan sangat signifikan (Riyanto, 2008) dimana semakin tinggi manajemen konflik maka semakin rendah intensi turnover karyawan, dan sebaliknya semakin rendah manajemen konflik maka semakin tinggi intensi turnover karyawan. Peranan atau sumbangan efektif manajemen konflik terhadap intensi turnover sebesar 16,4%.

2. Job Insecurity terhadap IntensiTurnover

Dalam bekerja, seorang karyawan membutuhkan keamanan dalam hal psikologis, keamanan tersebut berhubungan dengan tidak adanya rasa bingung dikarenakan kondisi lingkungan yang berubah-ubah maupun status karyawan yang tidak tentu akan dapat terus bekerja pada perusahaan yang sama atau tidak dikarenakan berstatus sebagai karyawan kontrak (Smithson & Lewis, 2000)

Ketidakamanan yang dirasakan akan berkaitan dengan keinginan untuk berpindah. Seperti yang diungkapkan Mobley (2000), bahwa terdapat banyak faktor yang membuat individu memiliki keinginan untuk berpindah. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah kepuasan kerja, komitmen organisasi dari karyawan, kepercayaan terhadap organisasi, dan job insecurity.Hal ini didukung oleh Greenhalgh dan Rosenbalt (1984) yang menyatakan bahwa karyawan yang mengalami tekanan job insecurity memiliki alasan rasional untuk mencari alternatif pekerjaan lain yang mendukung kelanjutan dan memberikan rasa aman bagi karirnya.

(22)

Mowday, Porter dan Steers (1982) juga menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi intensi turnover karyawan adalah keterikatan karyawan terhadap pekerjaan, dimana ketika karyawan merasa terikat secara kuat dengan perusahaannya, maka akan membentuk perasaan memiliki (sense of

belonging), rasa aman (security), efikasi, tujuan dan arti hidup serta gambaran diri

yang positif, dan sebaliknya ketika tidak terdapat keterikatan karyawan dalam pekerjaan, akan membentuk tidak adanya sense of belonging, efikasi, tujuan dan arti hidup, serta merasa tidak aman(insecurity)terhadap pekerjaan.

Hal tersebut menguatkan hubungan antarajob insecurity terhadap intensiturnoveryang juga dibuktikan oleh sebuah penelitian yang dilakukan oleh Wardani (2009) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara job insecurity dengan intention to quit, hubungan yang terjadi merupakan hubungan positif, dimana job insecurity yang tinggi akan menguatkan intention to quit, dan job

insecurity yang rendah akan melemahkan intention to quit karyawan. Penelitian

lain mengenai pengaruh antara job insecurity terhadap intensi turnover dilakukan oleh Gunalan, Mustafa dan Adnan (2015) dengan hasil yang menunjukkan bahwa

job insecurity memiliki pengaruh yang signifikan terhadap intensiturnover.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hanafiah (2014) yang juga menyatakan hal yang sama bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara job

insecurity terhadap turnover intention, serta penelitian Kurniasari (2004) yang

mengatakan bahwa besarnya intensi turnover dipengaruhi job insecurity yang berada pada level tidak aman. Hasil tersebut mengindikasikan adanya pengaruh searah antara job insecurity dan intention to quit. Artinya kenaikan nilai job

(23)

insecurity akan menaikkan level intention to quit. Semakin tinggi job insecurity,

maka akan semakin tinggi intensi keluar dari pekerjaan.

3. Manajemen Konflik dan Job Insecurity terhadap Intensi Turnover

Judge (1993) menyatakan bahwa salah satu penyebab timbulnya keinginan berpindah atau intensi turnover pada karyawan disebabkan karena pengaruh buruk dari adanya pemikiran dysfunctional. Pengaruh ini timbul karena terjadi konflik, perasaan tidak senang dan tidak puas terhadap lingkungan kerja yang dapat memacu rasa tidak aman pada pekerjaan (job insecurity). Teori yang dikemukakan oleh Abraham Maslow (1943) mengenai need, menyatakan bahwa kebutuhan akan rasa aman (safety and security) merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu. Dalam tingkatannya, setiap individu akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan dasar terlebih dahulu, sebelum memenuhi tingkatan kebutuhan setelahnya.

Intensi turnover sendiri diidentifikasikan sebagai sikap individu yang mengacu pada hasil evaluasi mengenai kelangsungan hubungannya dengan organisasi dimana dirinya bekerja dan belum terwujud dalam bentuk tindakan pasti (Suwandi dan Indarantoro, 1999), dan individu yang mengalami tekanan job

insecurity memiliki alasan rasional untuk mencari alternatif pekerjaan lain yang

dapat mendukung kelanjutan dan memberikan rasa aman bagi karienya (Greenhalgh dan Rosenblatt, 1984).

Dalam penelitian yang dilakukan Sularso, Purwati, dan Wulandari (2013) mengenai pengaruh antara kepuasan kerja, komitmen organisasi, konflik peran

(24)

dan job insecurity terhadap intensi turnover, mendapatkan hasil yang mengatakan bahwa faktor pembentuk dari turnover intention meliputi kedua variabel yang akan diteliti, yaitu konflik yang meliputi konflik peran dan job insecurity. Dalam hal konflik, ketika permasalahan konflik tidak terselesaikan akan merusak lingkungan kerja dan orang-orang yang ada didalamnya, yang akan berdampak salah satunya pada kehilangan karyawan yang berharga dikarenakan karyawan tersebut pengunduran diri yang dilakukan (Stevenin, 2000)

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Terdapat pengaruh negatif antara manajemen konflik terhadap intensiturnover 2. Terdapat pengaruhpositif antarajob insecurity terhadap intensiturnover

3. Terdapat pengaruh manajemen konflik dan job insecuritysecara bersama-sama terhadap intensiturnover

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian bahwa variabel pendidikan & pelatihan di perusahaan tersebut sudah sering melakukan diklat kepada karyawannya, tetapi masih saja

(Helve 2009, 251) Tutkimusaineistoni ei antanut selvää kuvaa siitä, kenen kanssa haastateltavat kaikkein mieluiten viettävät aikaa, mutta aineiston perusteella nuoremmat,

Dalam hal ini peneliti mengamati dan menyimpulkan bahwa metode demonstrasi dirasa cukup baik dan efektif digunakan dalam pembelajaran Al- Qur’an hadis karena untuk memahami kata

Apabila pemenang lelang urutan pertama yang telah ditetapkan sebagai Penyedia mengundurkan diri dan atau tidak bersedia, maka yang akan ditetapkan sebagai Penyedia dapat

Pengawasan terhadap dipenuhinya syarat-syarat sebagaimana tercantum dalam pemberian izin atas penggunaan air dan atau sumber air dilakukan oleh Menteri Pekerjaan Umum.

Bu1ru laporan ini adalah merupakan hasil perbaikan yang telah dilakukan para pcncliti dari tiap bagian berdasarkan masukan-rnasukan yang diperoleh dari ~r

Hubungan Antara Jumlah Jam Kerja Sehari Dengan Keracunan Merkuri Hasil analisis bivariat antara lama jam kerja penambang dengan kejadian keracunan diperoleh hasil dari

Buku ini difokuskan pada mengkaji aspek-aspek metodologi ekonomi Islam, dimulai dari definisi, ruanglingkup dan tujuan metodologi ekonomi Islam, sumber ilmu dalam