• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Amandemen konstitusi setelah jatuhnya Orde Baru merupakan salah satu wujud dari gerakan reformasi. Langkah tersebut dianggap sebagai bagian dari tuntutan reformasi kelembagaan yang sangat dibutuhkan untuk melakukan konsolidasi demokrasi di Indonesia setelah mengalami masa pemerintahan otoriter Orde Baru. Sejak itu, bangsa Indonesia memasuki fase kehidupan politik yang lebih terbuka dan demokratis serta ditandai dengan pulihnya hak-hak sipil dan politik. Perubahan mendasar yang terjadi dalam amandemen UUD 1945 diantaranya adalah rekrutmen pejabat negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum legislatif dan eksekutif pada tingkat nasional maupun lokal.1 Kebijakan desentralisasi menjadi dasar format hubungan pusat dan daerah. Sedangkan pelaksanaan otonomi daerah menjadi pedoman antara pemerintah, masyarakat dan tokoh lokal untuk mengatur urusannya sendiri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk memilih kepala daerah secara langsung.

Dari sudut pandang good governance, dorongan untuk melaksanakan kebijakan desentralisasi, yaitu pemberian wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya agar menjadi lebih baik, akan berpengaruh positif dalam konteks peningkatan kinerja pemerintahan serta konsolidasi demokrasi berjalan lebih baik. Harapan itu dihasilkan dari pemikiran bahwa desentralisasi membawa proses pembuatan kebijakan publik menjadi lebih dekat dengan masyarakat yang paling bawah dan dalam cakupan wilayah yang lebih kecil, sehingga kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi menjadi semakin meningkat. Partisipasi masyarakat tersebut akan menumbuhkan praktek demokrasi di tingkat lokal lokal dan sekaligus meningkatkan efisiensi pemerintahan, antara lain dengan hilangnya berbagai kendala dalam pengambilan keputusan pelaksanaan kebijakan. Terakomodasinya berbagai kepentingan

1 Lihat UUD 1945 Pasal 6A ayat (1) mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung;

UUD 1945 Pasal 22E ayat 1 mengenai pemilihan umum; dan UUD 1945 Pasal 18 mengenai pemilihan gubernur, walikota dan bupati yang dipilih secara demokratis.

(2)

dan kebutuhan masyarakat akan meningkatkan derajat penerimaan atas keputusan yang dibuat pemerintah.2

Untuk mewujudkan partisipasi masyarakat yang efektif tersebut, terdapat beberapa prasyarat dasar yang harus tersedia, antara lain adanya kesetaraan politik (political equality)3 dan akuntabilitas lokal yang memadai. Tetapi keduanya menjadi sebagian permasalahan mendasar yang dihadapi banyak negara berkembang dalam menerapkan desentralisasi. Oleh karena itu, pelaksanaan desentralisasi tidak selalu memiliki korelasi positif dengan konsolidasi demokrasi maupun efisiensi struktural pemerintahan di tingkat lokal. Richard C. Crook dan James Manor dalam analisis komparatif terhadap penerapan desentralisasi di empat negara di kawasan Asia Selatan dan Afrika Barat, yaitu negara bagian Karnakata di India, Bangladesh, Ghana, dan Pantai Gading, menyimpulkan bahwa kecuali di Karnataka, penerapan desentralisasi di negara-negara tersebut justru memperkuat pola-pola politik pada tingkat lokal yang tidak mendukung demokrasi dan kinerja pemerintahan yang lebih baik.4

Situasi yang hampir sama juga terjadi pada beberapa negara di Asia Tenggara. Hampir menjadi keniscayaan bahwa tidak adanya korelasi antara desentralisasi, demokrasi, dan kinerja pemerintahan tersebut, ditandai oleh berkembangnya orang-orang atau kelompok tertentu di tingkat lokal yang cukup kuat secara finansial dan memiliki jaringan ke pemegang kekuasaan. Penelitian John T. Sidel tentang bosisme di Filipina mengungkapkan bahwa kecenderungan tersebut terkait dengan perkembangan politik pada awal abad ke-20, saat mulai diterapkannya pemilihan kepala pemerintahan dan anggota parlemen secara langsung, baik di tingkat nasional maupun lokal. Suasana seperti itu ternyata menumbuhkan elit-elit lokal yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi yang begitu kuat di berbagai daerah di Filipina. Dengan menduduki atau menjadi pialang bagi jabatan yang diperebutkan dalam pemilihan tersebut, mereka memperoleh akumulasi keuntungan dari diskresi penegakan hukum lokal, pekerjaan umum, perpajakan, dan lain sebagainya.

2 Lihat Eko Prasojo, Irfan Maksum, dan Teguh Kurniawan. 2006. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural. Depok: Departemen Ilmu Administrasi

FISIP UI. hal. 1 dan 13.

3 Mengenai political equality yang banyak menjadi masalah dalam pelaksanaan demokrasi lihat Jack

Lively. Democracy. 1975. Chapter Two 8-51, Britain: Basil Blackwell.

4 Lihat Richard C. Crook and James Manor. 1998. Democracy and Decentralization in South Asia and West Africa: Participation, Accountability and Performance. Cambridge University Press.

(3)

Temuan dari penelitian Sidel itu, memberikan nuansa baru dalam studi relasi negara dan masyarakat, yang berbeda dari analisis Migdal5 pada dekade 1980-an, yaitu sumber kekuasaan orang kuat lokal tersebut bukan dari kepemilikan tanah atau kekayaan pribadi, melainkan dari sumber-sumber negara atau modal perdagangan yang diakumulasi setelah memegang kekuasaan. Hubungan antara orang kuat lokal dengan masyarakatnya selalu didasari oleh pemberian ’sesuatu’ bisa berupa uang, jabatan, atau justru dengan menggunakan kekerasan. Pola hubungan patron-klien (klientelisme), antara orang kuat lokal dengan masyarakatnya, bukan dianggap sebagai penyangga utama dukungan terhadap kekuasaan mereka. Hanya penggunaan kekerasan dan intimidasi, pembelian suara pemilih, serta kecurangan dalam pemilihan jauh lebih menonjol dalam menggambarkan hubungan antara orang kuat lokal dan pendukungnya.6

Temuan Sidel di Indonesia juga menyimpulkan bahwa penyelenggaraan Pemilu 1999 dan penerapan kebijakan desentralisasi di Indonesia pasca jatuhnya pemerintah Orde Baru semakin memperkuat kemungkinan akumulasi kekuasaan, berada pada individu tertentu yang kemudian disebutnya sebagai bos lokal (local bossism).7 Mereka memiliki sumber keuangan dan akses kepada pemegang otoritas di daerah untuk memuluskan kepentingannya seperti urusan binis dan politik. Kesimpulan tersebut disusun berdasarkan temuan hasil penelitian. Pada salah satu kabupaten di Provinsi Aceh, mafia kayu memiliki pengaruh yang besar terhadap anggota DPRD dan pejabat birokrasi pemerintah lokal. Pengaruh itu digunakan untuk membuat keputusan-keputusan resmi tentang pengelolaan sumber daya lokal yang menguntungkan kepentingan para mafia lokal tersebut. 8

Selain itu, di daerah-daerah lain juga muncul mafia dan jaringan lokal di bawah kepemimpinan bangsawan lokal dan para wakil pemuka agama serta etnis yang berperan penting dalam mobilisasi kekerasan pada setiap konflik komunal di seluruh nusantara. Sebagai contoh adalah, peran ulama atau kyai Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa Timur dan pesisir utara Jawa dalam menggalang suara pemilih untuk partai dan calon

5 Joel S.Migdal. 1988. Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities in the Third World. New Jersey: Princenton University Press.

6 Lihat John T. Sidel. 2005. “Philippine Politics in Town, District, and Province: Bossim in Cative and Cebu” The Journal Asia Studies (56/4/Nov.1997); John T. Sidel. 2005. “Bosisme dan Demokrasi di

Filipina, Thailand, dan Indonesia”, dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist (ed.).

Politisasi Demokrasi: Politik Lokal Baru. Jakarta: Demos.

7 Istilah bos yang dimaksud Sidel adalah merujuk para pialang lokal yang memiliki posisi monopolistis

abadi terhadap kekuatan koersif dan sumber-sumber ekonomi di daerah kekuasaan masing-masing. Lihat dalam John T. Sidel. 2005. “Bosisme….”. hal. 78.

(4)

tertentu pada Pemilu 1999 yang sudah berlangsung sejak Pemilu 1955; perseteruan antara mafia politisi, pengusaha, pegawai negeri sipil dan preman Kristen dan Muslim menjadi pemicu konflik kekerasan agama di Ambon dan tempat-tempat lain di Maluku Utara; kehadiran organisasi-organisasi baru yang mengaku perwakilan etnis Dayak menjadi pialang dalam pemilu dan pembersihan etnis Madura pendatang di Provinsi Kalimantan Tengah9; pengaruh Jawara dalam wilayah politik dan bisnis di Provinsi

Banten juga menjelaskan fenomena munculnya bosisme dalam penguasaan politik di tingkat lokal.10

Dalam kesimpulan yang hampir sama, Nordholt dan Klinken, mempublikasikan hasil penelitian yang berkaitan dengan dinamika politik lokal di Indonesia. Dalam pengantar buku tersebut dijelaskan bahwa setelah bergulirnya reformasi, dinamika politik di daerah memasuki era baru yaitu aktor-aktor lokal yang terorganisir dan memiliki simbol kultural lokal kembali berada di panggung politik. Akumulasi kekuasaan aktor di daerah dilakukan bukan hanya dengan cara-cara ilegal, namun mereka dapat menguasai institusi-institusi pemerintah lokal yang sesuai dengan mekanisme demokrasi yang ditetapkan.11 Situasi itu telah membawa para aktor lokal ’membajak’ institusi-institusi demokrasi seperti partai politik, lembaga perwakilan rakyat, dan lain sebagainya serta beraliansi dengan para pejabat publik yang baru terpilih. Vedi R. Hadiz menguraikan koalisi antara aktor lokal dengan pejabat publik di Sumatera Utara dilakukan untuk menjalin akses mendapatkan kekuasaan negara dan sumber-sumber daya, baik di tingkat pusat maupun daerah ketika otonomi daerah diberlakukan.12

Di Sumatera Utara, aktor lokal memainkan peranan penting dalam sistem demokrasi yang relatif baru diterapkan. Para aktor lokal yang kuat itu berasal dari anggota organisasi kemasyarakatan seperti organisasi pemuda, organisasi keamanan yang berkedok bisnis, dan lain sebagainya. Dalam aktivitasnya, organisasi kemasyarakatan itu merekrut para pemuda yang tidak memiliki pekerjaan tetap untuk melakukan tindakan kekerasan dengan alasan menjaga keamanan di lokasi tertentu.

9 Ibid. hal. 98.

10 Lili Romli. 2007. “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Provinsi Banten (2001-2006)”. Disertasi.

Departemen Ilmu Politik Program Pascasarjana Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Depok.

11 Henk Schutle Nordholt dan Gerry van Klinken dibantu oleh Ireen Karang-Hoogenboom. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

12 Tentang fenomena ini lihat Lihat Vedi R, Hadiz. 2005. Dinamika Kekuasaan, Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. LP3ES. Jakarta. hal. 235-253.

(5)

Dalam bahasa sehari-hari, mereka kemudian sering disebut sebagai preman13 karena tidak terlepas dari tindakan kekerasan seperti pemukulan, intimidasi, bahkan pembunuhan ketika ditugaskan oleh pimpinan organisasinya untuk ”mengamankan” lokasi tertentu yang berpotensi menghasilkan keuntungan berupa uang.

Sejak masa pemerintah kolonial menguasai perkebunan, tidak ada daerah lain yang sanggup menyaingi para preman di Sumatera Utara untuk mempengaruhi kekuatan politik di daerah ini. 14 Pada tahun 1965 misalnya, banyak para preman yang digunakan

oleh militer untuk membasmi anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) di Sumatera Utara. Mereka kemudian dikumpulkan oleh pemerintah Orde Baru ke dalam organisasi paramiliter yang fungsinya melakukan operasi di masyarakat untuk sebuah keputusan politik demi memperlancar kepentingan kelompok Orde Baru. Selain itu, mereka juga diorganisir untuk melancarkan kepentingan bisnis semacam penyedia jasa keamanan di Sumatera Utara pada masa Orde Baru hingga saat ini.

Demi menjaga stabilitas politik yang mampu menunjang pertumbuhan ekonomi, pemerintah Orde Baru mempunyai kepentingan untuk mendapatkan dukungan dari berbagai kelompok masyarakat, tidak terkecuali organisasi pemuda dan penyedia jasa kemanan di Sumatera Utara. Mereka sering melakukan tindakan kekerasan di lingkungan masyarakat yang tidak sejalan dengan mereka seperti menebar teror dan intimidasi kepada aparat pemerintah sipil jika keinginannya tidak dipenuhi. Namun, pada saat yang lain mereka bisa disebut sebagai warga masyarakat yang terhormat seperti sering memberikan bantuan kepada kelompok miskin, sebagai donatur untuk lembaga pendidikan dan memberikan bantuan sekolah kepada masyarakat yang kurang mampu, serta aktivitas sosial lainnya. Tujuan dari aktivitas sosial ini sebenarnya untuk melanggengkan jaringan kekuasaan yang telah dibangun dan dibina selama ini.

13 Preman (free man) adalah sebutan untuk anggota masyarakat yang melakukan kejahatan dan tindakan

kriminal. Kata preman berasal dari bahasa Belanda vrije man dan istilah ini melekat pada kaum lelaki yang menolak bekerja di perkebunan Belanda. Makna kata tersebut merujuk pada lelaki bebas yang tidak dapat diatur. Namun, sejalan dengan perkembangan zaman pengertian preman mengalami perubahan. Kunarto menyebut Preman sebagai orang atau individu atau sekelompok orang yang tidak berpenghasilan tetap, tidak mempunyai pekerjaan yang pasti, mereka hidup atas dukungan orang-orang yang terkena pengaruh, orang-orang yang takut secara fisik maupun psikis. Mereka memiliki wilayah kekuasaan dan tidak terikat pada norma dan nilai yang ada dalam masyarakat serta cenderung melakukan tindakan-tindakan kriminal. Sikap, tindakan-tindakan, dan prilaku para preman itulah yang disebut sebagai premanisme. Lihat Burhani MS – Hasbi Lawrens. 1999. Referensi Ilmiah Politik, Kamus Ilmiah Populer. Jakarta: Lintas Media. hal. 560; Maruli CC Simanjuntak. 2007. Preman-Preman Jakarta. Jakarta: Grafika Indah. hal. 40-41.

14 Lihat juga Ann Laura Stoler. 1985. Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979. Terjemahan..Yogyakarta: Karsa.

(6)

Salah satu organisasi yang hingga saat ini bertahan dan banyak memberikan pengaruh dalam konstelasi politik lokal di Sumatera Utara dengan perlakuan seperti yang dijelaskan di atas adalah Pemuda Pancasila (PP). Pemerintah di daerah Sumatera Utara harus mengakomodir dan mengembangkan Pemuda Pancasila untuk mendukung kebijakan pemerintah Orde Baru. Orang-orang yang tergabung dalam Pemuda Pancasila diberikan kemudahan untuk menduduki jabatan politik seperti pengurus inti Golkar, anggota legislatif, dan diangkat menjadi pejabat birokrasi agar lebih mudah mendapatkan dana proyek yang bersumber dari APBD (Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah) dan APBN (Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara).

Tindakan itu dilakukan agar pemerintah Orde Baru mendapatkan dukungan politik dari masyarakat di daerah demi memperlancar kebijakan pembangunan yang berkaitan dengan kepentingan pemerintah pusat. Sejak Orde Lama, Provinsi Sumatera Utara menjadi salah satu wilayah tempat bersemainya kelompok organisasi masyarakat yang berpotensi melakukan gerakan perlawanan kepada pemerintah pusat disebabkan tidak terakomodasinya kepentingan politik dan ekonomi para tokoh lokal di provinsi tersebut. Oleh karena itu, pemerintah Orde Baru menjadikan Sumatera Utara sebagai wilayah yang mendapat perhatian khusus dengan cara memberikan peran kepada aktor lokal dalam memperoleh akses kekuasaan dan sumber daya yang disediakan. Tapi kemudian saat reformasi bergulir, para aktor lokal kembali menguasai panggung politik dan memainkan peran dalam dinamika politik lokal di Sumatera Utara.

1.2. Pokok Masalah

Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah di Provinsi Sumatera Utara sangat memungkinkan akumulasi kekuasaan berada pada para aktor dan kelompok tertentu di tingkat lokal. Meskipun peraturan tentang pelaksanaan otonomi daerah telah menjamin setiap warga memiliki kebebasan untuk menyalurkan aspirasinya sehingga diharapkan konsolidasi demokrasi dapat berjalan dan pemerintahan terselenggara secara efektif, namun dalam praktiknya di Sumatera Utara, muncul mafia dan jaringan lokal yang salah satunya berada di bawah kepemimpinan organisasi pemuda dan penyedia jasa keamanan. Sebagian dari mereka berprofesi sebagai pengusaha, politisi dan selalu mengambil peran dalam memobilisasi dukungan pada setiap kegiatan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.

(7)

Ryter dan Lindsey adalah pengamat yang menulis tentang aktivitas kriminal yang dilakukan organisasi Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa setelah jatuhnya rezim Orde Baru, perilaku preman masuk ke wilayah politik formal. Salah satu penyebab terjadinya perilaku tersebut adalah hubungan yang erat antara militer dengan organisasi pemuda pada masa Orde Baru. Tindakan kekerasan dan politik uang sering sekali mereka lakukan untuk mendapatkan posisi penting di berbagai partai politik dan lembaga parlemen, bukan hanya mengandalkan kekuatan fisik untuk selalu memobilisasi massa dan melakukan tindakan kekerasan kepada pihak lain yang dianggap berlawanan. Namun, kelebihannya adalah mereka selalu terlepas dari sangsi hukum karena mereka memberikan dukungan kepada jaringan politik yang ada. Dalam analisis Ryter dan Lindsey, tidak ada daerah lain yang sanggup menyaingi tindakan kekerasan di Sumatera Utara dalam mempengaruhi kekuatan politik di wilayah itu.15

Masuknya kelompok kekerasan di partai politik dan legislatif Provinsi Sumatera Utara bermula ketika ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) khususnya Angkatan Darat membutuhkan kekuatan preman untuk melawan pengaruh komunisme yang disebarkan PKI. Saat itu kekuatan fisik yang dimiliki preman sangat dibutuhkan Angkatan Darat untuk berhadapan dengan massa pengikut PKI. Ketika PKI memperluas jaringan kekuatannya dengan mendirikan organisasi Pemuda Rakyat, tidak lama kemudian organisasi Pemuda Pancasila didirikan pada 28 Oktober l959.16 Di Sumatera Utara, kebanyakan pengurus dan anggota Pemuda Pancasila direkrut dari anak-anak jalanan yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan telah membantu TNI-AD untuk menghambat pengaruh komunis yang disebarluaskan PKI.

Pada awal Orde Baru, Pemuda Pancasila Sumatera Utara menjadi bagian organisasi pendukung pemerintah di daerah. Pengurus dan kader Pemuda Pancasila Sumatera Utara diberi keleluasaan untuk membentuk organisasi sayap dari berbagai

15 Lihat tulisan Loren Ryter. 1998. “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Soeharto New

Order?” Indonesia, 66, Oktober. L. Ryter. 2000. “A Tale of Two Cities”, Inside Indonesia 63 (July-September). http://www.serve.com/inside/edit63/loren1.hatml; T. Lindsey. 2002. “The Criminal State: Premanisme and the New Order”, dalam G. Lloyd dan S. Smith. (eds.). Indonesia Today: Challenges of

History. Singapore: ISEAS.

16 Tokoh-tokoh penting pendiri Pemuda Pancasila adalah Kolonel AH Nasution, Kolonel Gatot Subroto,

Kolonel Aziz Saleh. Organisasi Pemuda Pancasila menjadi sayap politik dari petinggi militer yang masih aktif dalam kedinasan. Mereka tidak dapat langsung masuk ke kancah politik, karena memang undang-undang melarang militer aktif melakukan kegiatan politik praktis. Pemuda Pancasila dibentuk oleh organisasi IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) yang didukung kalangan Angkatan Darat dan dijadikan sebagai salah satu sayap organisasi.

(8)

kelompok masyarakat seperti kelompok petani, buruh, nelayan, perempuan hingga ke lingkungan kampus. Begitu pula di lingkungan birokrasi, ketika rekrutmen dan pemilihan pejabat birokrasi di Sumatera Utara, Pemuda Pancasila dapat mempengaruhi keputusan kepala daerah. Peran penting Pemuda Pancasila ketika itu adalah menjadi salah satu organisasi yang memberikan dukungannya kepada Golkar.

Dukungan kader Pemuda Pancasila Sumatera Utara terhadap kebijakan politik Orde Baru yang semakin terinstisionalisasi tersebut, ’dibayar’ dengan terpilihnya para preman pada posisi strategis dalam kepengurusan Golkar dan menjadi anggota DPRD. Selama Orde Baru, bersama-sama dengan aparat keamanan, kader dan tokoh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara berperan sebagai operator politik antara lain melakukan ancaman dan intimidasi kepada kelompok masyarakat lain yang berbeda kepentingannya. Para pimpinan organisasi pemuda tersebut, hanya melaksanakan tugas untuk mengamankan kebijakan pemerintah Orde Baru, contohnya seperti menjaga keamanan pada saat pemilu agar Golkar mengungguli Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam meraih suara terbanyak.17

Pada masa Orde Baru, tokoh-tokoh Pemuda Pancasila itu menemukan kesempatan baru untuk ’naik kelas’ dari pelaksana menjadi pengambil keputusan atau penentu di daerah. Segenap cara dilakukan para tokohnya seperti memperbanyak kekayaan dan merebut kekuasaan untuk menaikkan status sosial. Bahkan setelah reformasi bergulir pada tahun 1999, dapat dikatakan peran Pemuda Pancasila di Sumatera Utara mengalami perluasan sekaligus pendalaman. Mereka relatif berhasil melakukan adaptasi dengan berbagai dinamika demokrasi yang terjadi di tingkat lokal seperti berperan aktif dalam pemilu hingga penyelenggaraan pilkada langsung.

Sebagian kader dan tokoh Pemuda Pancasila Sumatera Utara tampil sebagai pemimpin partai politik dan menjadi anggota legislatif tanpa harus mendapatkan persetujuan dari elit di pusat. Tidak sedikit dari mereka yang berhasil terpilih menjadi bupati dan walikota di Provinsi Sumatera Utara. Para kader dan tokoh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara juga menjadi salah satu penentu kebijakan pada institusi masyarakat lainnya seperti menjadi pengelola di berbagai media cetak lokal, pengurus

17 Nina Karina. 2008. “Dinamika Sosial Politik Organisasi Pemuda Pancasila di Sumatera Utara”. Thesis.

(9)

asosiasi pengusaha daerah, dan jabatan strategis lainnya.18 Peluang dan kesempatan baru seperti itu, sangat jarang didapat oleh para tokoh lokal pada masa Orde Baru.

Para kader dan tokoh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara, yang sering disebut ’preman’, tidak hanya mengandalkan ancaman dan intimidasi untuk melakukan kekerasan serta uang yang dimiliki. Di antara mereka juga menguasai partai politik, legislatif, birokrasi, lembaga bisnis, dan media cetak lokal untuk memenuhi kepentingannya. Dalam kapasitas menggunakan jaringan tersebut, tentunya mereka sangat kuat untuk memperoleh akses terhadap sumber daya (resources) dari pemerintah daerah dan akan memaksimalkan sumber kekuasaan yang dimiliki. Sementara dalam kapasitasnya sebagai ’preman’, mereka dapat juga menggunakan ancaman dan intimidasi untuk melakukan kekerasan. Peran yang dilakukan oleh kader dan tokoh Pemuda Pancasila itu, relatif lebih memudahkan mereka mendapatkan akses terhadap local government resources untuk memaksimalkan pengaruhnya pada lembaga-lembaga politik lokal. Meskipun dalam proses merebut sumber daya yang sifatnya terbatas itu, perselisihan di antara kader dan tokoh Pemuda Pancasila juga sering terjadi.

Asumsi awal tentang peran yang dilakukan oleh kader dan tokoh Pemuda Pancasila seperti yang dijelaskan di atas, pada praktiknya akan dilihat dan dianalisis saat berlangsungnya pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008. Terpilihnya pasangan Syamsul Arifin19-Gatot Pudjonugroho20 sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara Periode 2008-2013, tidak terlepas dari peran Pemuda Pancasila.

18 Beberapa kajian akademis menunjukkan bahwa pasca Orde Baru, Pemuda Pancasila merupakan salah

satu organisasi yang sangat berpengaruh di Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara. Penelitian yang ditulis Vedi R. Hadiz mengidentifikasi peran sentral para preman yang tergabung dalam organisasi pemuda seperti Pemuda Pancasila atas kemenangan pasangan calon Walikota Medan Abdillah dan Ramli dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan pada tahun 2000. Hadiz menunjukkan kemampuan kader Pemuda Pancasila dalam menggunakan potensi kekerasan yang mereka miliki untuk mengembangkan kekuasaan mereka. Lihat Vedi R, Hadiz. 2005. Ibid.

19 Syamsul Arifin adalah mantan Bupati Langkat dua periode, tokoh pemuda (mantan Ketua FKPPI dan

Ketua KNPI Provinsi Sumatera Utara), dekat dengan elit militer Orde Baru, dan memiliki usaha penjualan minyak di wilayah Langkat. Syamsul Arifin memulai karirnya sebagai aktivis organisasi pemuda di Sumatera Utara. Bergabung dengan Pemuda Pancasila di Sumatera Utara tahun 1970-an, sempat menjadi pengurus FKPPI di Sumatera Utara dan Kabupaten Langkat serta menjadi orang pertama yang pernah menduduki jabatan bupati dari unsur pemuda pada usia 45 tahun. Saat ini menjadi tahanan KPK dalam kasus korupsi APBD 2000-2007 senilai kurang lebih Rp 99 milyar ketika menjabat sebagai Bupati Langkat.

20 Gatot Pudjonugroho adalah kader Partai Keadilan Sejahtera di Provinsi Sumatera Utara. Sebelum

menjadi aktivis partai, dia aktif sebagai pengajar di Politeknik Negeri Medan. Di kalangan organisasi pemuda, namanya dikenal sebagai Wakil Ketua FKPPI Sumatera Utara.

(10)

Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Majelis Pengurus Wilayah (MPW) Pemuda Pancasila Sumatera Utara kepada Syamsul Arifin dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara diantaranya adalah memberi tugas kepada kader yang menduduki jabatan sebagai pengurus inti atau ketua partai politik agar berupaya mengusulkan Syamsul Arifin sebagai calon Gubernur Provinsi Sumatera Utara Periode 2008-2013; membantu pembentukan tim sukses seperti diangkatnya kader Pemuda Pancasila, Darwin Nasution,21 sebagai ketua tim pemenangan Syamsul Arifin dalam

pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008; menginstruksikan kepada kader, anggota dan simpatisan Pemuda Pancasila di semua jajarannya untuk bekerja memenangkan Syamsul Arifin dalam pemilihan Gubernur tersebut; mempengaruhi anggota Pemuda Pancasila yang menjadi pejabat di birokrasi pemerintah daerah, anggota legislatif, para pengusaha lokal dan pengelola media cetak lokal untuk membantu memenangkan calon gubernur yang didukung; mengerahkan anggota Pemuda Pancasila untuk menjaga perolehan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) tertentu di mana basis Pemuda Pancasila cukup kuat. Selain itu, Pemuda Pancasila juga membantu sebagian dana untuk kegiatan pemenangan yang dibutuhkan Syamsul Arifin. Penelitian ini ingin membuktikan adanya peran kader dan tokoh Pemuda Pancasila Provinsi Sumatera Utara dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara yang diselenggarakan tahun 2008. Peran yang dimaksud adalah selain mengandalkan kemampuan melakukan intimidasi dengan ancaman kekerasan fisik serta mengandalkan uang yang dimilikinya, tokoh Pemuda Pancasila juga menggunakan pengaruhnya terhadap jaringan politik yang mereka miliki untuk bekerja memenangkan calon yang didukung dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008. Untuk menguji asumsi tentang adanya peran Pemuda Pancasila dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 tersebut, maka penelitian ini akan menjawab sejumlah pertanyaan berikut:

1. Seperti apakah bentuk intimidasi yang dilakukan Pemuda Pancasila dalam mendukung Syamsul Arifin dan Gatot Pudjonugroho dalam pemilihan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008?

21 Darwin Nasution, saat proses pemilihan Gubernur Sumut berlangsung, selain menjabat sebagai Ketua

MPW Partai Patriot Pancasila Sumatera Utara juga sebagai Sekretaris MPW Pemuda Pancasila Sumatera Utara. Darwin ditunjuk sebagai ketua tim pemenangan Syampurno dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2008. Setelah pelantikan Syamsul Arifin sebagai Gubernur Provinsi Sumatera Utara Periode 2008-2013, dia menjabat sebagai Direktur Utama Perusahaan Daerah (PD) Perkebunan.

(11)

2. Bagaimana pola mobilisasi kader dan tokoh Pemuda Pancasila yang menjadi pimpinan partai politik dan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dalam mendukung calon gubernur dan wakil gubernur yang ingin dimenangkan?

3. Bagaimana model relasi yang dibangun antara pimpinan Pemuda Pancasila Sumatera Utara dengan pejabat birokrasi, pengusaha, dan pengelola media massa lokal di Sumatera Utara saat berlangsungnya pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Menjelaskan alasan-alasan yang dijadikan landasan anggota Pemuda Pancasila untuk mengintimidasi para pemilih agar memilih Syamsul Arifin dan Gatot Pudjonugroho dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008.

2. Menjelaskan model mobilisasi yang dilakukan oleh pimpinan MPW Pancasila Sumatera Utara Provinsi Sumatera Utara pada saat pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara. Mobilisasi tersebut berkaitan dengan cara Pemuda Pancasila Sumatera Utara memberikan perintah kepada anggotanya yang menjadi pimpinan partai politik dan anggota legislatif untuk mempengaruhi pihak lain agar memenangkan kandidat gubernur yang didukung dalam setiap tahapan pemilihan gubernur. Oleh karena itu, dengan mengetahui model mobilisasi tersebut akan terlihat jelas signifikansi pengaruh Pemuda Pancasila dalam konstelasi politik lokal di Sumatera Utara.

3. Menjelaskan pola relasi antara kader dan tokoh Pemuda Pancasila dengan birokrat, pengusaha, dan media massa lokal di Provinsi Sumatera Utara terkait pemilihan gubernur tahun 2008. Dengan mengetahui pola relasi itu akan terlihat pengaruh kekuasaan kader dan tokoh Pemuda Pancasila pada lembaga politik lokal dalam konteks pola hubungan negara–masyarakat (state–society) di Sumatera Utara khususnya saat pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008.

(12)

1.4. Signifikansi Penelitian

Secara akademis, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis peran, kiprah, dan proses keterlibatan tokoh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara hingga bisa menjadi pimpinan partai politik, pejabat eksekutif dan legislatif, menjadi pengusaha, dan pengelola media massa lokal. Pembahasan ini diharapkan akan memberikan perspektif kontemporer mengenai peran, kiprah, dan proses yang dilakukan tokoh Pemuda Pancasila Sumatera Utara untuk mempengaruhi lembaga politik lokal dalam rangka memenuhi kepentingannya. Penelitian sebelumnya yang hampir sama di Indonesia seperti studi tentang Jawara, Bosisme, dan Premanisme menjelaskan tentang orang kuat lokal yang muncul dan mengambil alih kontrol atas politik lokal dalam proses otonomi daerah. Penelitian ini akan membahas tentang gejala kekerasan, kekuatan uang dan pemanfaatan jaringan politik yang muncul bukan hanya mengandalkan kekuatan individu seperti Jawara maupun Bosisme, namun juga mengutamakan kekuatan organisasi. Kekhususan studi ini berkaitan dengan konteks lokal di Sumatera Utara yaitu bahwa prilaku intimidasi dan uang, dalam politik lokal, dilakukan dengan menggunakan kekuatan organisasi bukan dengan mengandalkan kekuatan individu.

Sedangkan secara praktis penelitian ini dapat memberi penjelasan bagi pemerhati kajian demokrasi, khususnya yang terjadi di Sumatera Utara terkait dengan organisasi pemuda sebagai kelompok kekerasan yang terlibat dalam perebutan kekuasaan yang sedang berlangsung pada domain politik lokal yaitu pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008. Dari penjelasan tersebut akan terlihat apakah peran mereka dapat membantu atau justru mengganggu konsolidasi demokrasi yang sedang berlangsung di tingkat lokal.

1.5. Kajian Pustaka

Penelusuran literatur terhadap topik yang relevan dengan fokus studi ini dilakukan pada jurnal ilmiah di internet, buku serta publikasi cetak lainnya. Hasilnya adalah, topik sejenis sebagian besar bisa ditemukan dalam tulisan atau artikel yang diterbitkan dalam bentuk buku yang membahas kondisi Indonesia pasca pemerintahan Presiden Soeharto. Hasil studi literatur terungkap bahwa pola hubungan antara bos lokal dengan birokrat, pimpinan partai politik, pengusaha dan aparat di daerah pada masa otonomi daerah, dilakukan berdasarkan hubungan patron klien dan simbiosis

(13)

mutualisme. Kajian tersebut lebih banyak dilakukan dalam perspektif antropologi, sosiologi, dan kriminologi, namun kajian politik yang berkenaan dengan penguasaan terhadap institusi politik lokal masih sangat terbatas terutama yang berupa hasil penelitian. Atas pertimbangan tersebut, maka pencarian artikel hasil-hasil studi yang relevan berawal dari Jurnal Inside Indonesia dan artikel yang telah dibukukan.

Buku yang ditulis oleh Colombijn dan Lindblad berjudul ”Indonesia is a violent country” menyimpulkan bahwa penanganan kekerasan yang dilakukan oleh berbagai pihak dan aturan main mengenai keamanan dan kekerasan belum juga muncul. Oleh karena itu, pemerintah pusat mencoba mengikis organisasi masyarakat yang cenderung menggunakan kekerasan dengan merevisi undang-undang mengenai organisasi masyarakat.22

Buku lain yang disunting oleh Okamato Masaaki dan Abdur Rozaki berjudul ”Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi” membedah tentang kemunduran negara (retreat of the state) di bidang keamanan dan kemunculan broker keamanan dan kelompok kekerasan dengan mengangkat beberapa kasus di Jakarta, Banten, Kalimantan Barat dan Bali.23 Setiap kasus memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Tulisan Okamoto Masaaki memperlihatkan dua jenis broker keamanan yang memiliki corak yang sangat berbeda di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta untuk memberikan jasa pengamanan bagi mereka yang membutuhkan, walau keduanya muncul karena adanya ketidakamanan pada pasca pemerintahan Soeharto. Kondisi itu terjadi karena hubungan antara negara dan masyarakat dari segi keamanan tidak jelas lagi.24

Tulisan Untung Wahyono mengenai ”Jagoan Betawi dari Cakung” menguraikan kelompok kekerasan yang sangat mengemuka di DKI yaitu Forum Betawi Rempug (FBR) yang melakukan intimidasi dengan cara kekerasan untuk menghimpun dana kepada perusahaan, pedagang, supir angkutan umum dan warga di Jakarta dan Bekasi. Ketika berlangsung pemilihan legislatif, presiden, dan kepala daerah, FBR ikut mendukung salah satu kandidat.25

22 Freek Colombijn dan Thomas J. Lindblad. eds. 2002. Roots of Violence in Indonesia: Contemporary Violence in Historical Perspective. Singapore: ISEAS.

23 Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi.

Yogyakarta: IRE Press.

24 Okamoto Masaaki. “Broker Keamanan di Jakarta: Yang Profesional dan Berbasis Massa”. dalam

Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. Ibid. hal. 1-18.

(14)

Di daerah Banten artikel Abdul Hamid yang berjudul ”Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Banten” menjelaskan dominannya kelompok jawara pada bidang politik dan ekonomi di Banten yang mengakibatkan kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir elit saja. Kelompok Jawara (H. Chasan/Sohib atau Abah) menjadi penentu dalam kebijakan pemerintah daerah, untuk mutasi pejabat dan alokasi proyek-proyek anggaran pemerintah. Dominasi Abah bukan hanya di aparat birokrasi namun itu juga terjadi di kelompok masyarakat.26 Penelitian disertasi yang terbaru tentang Banten juga

dilakukan oleh Lili Romli dengan analisis bahwa Jawara di Banten memiliki pengaruh politik yang dominan di masyarakat. Selain melakukan kontrol serta pengendalian terhadap pejabat publik juga mengontrol masyarakat sipil. Temuan dari penelitian itu disebut Romli sebagai ”bosisme plus”.27

Kondisi kekerasan terjadi juga di Madura, tulisan Abdur Rozaki menggambarkan blater yang hampir luput dari analisis sejarah di Madura, padahal kehidupan masyarakat Madura tidak akan sempurna kalau tidak ada catatan mengenai blater dan hubungan antara kyai dengan blater. Para blater dan kyai muncul sebagai pemain politik dari tingkat kabupaten hingga desa. Mereka menjalin hubungan dengan para politisi dan birokrasi menggunakan pola simbiosis mutalisme, hingga sulit bagi munculnya kelompok kritis yang mengoreksi kesalahan jalannya pemerintahan lokal.28

Menurut I Ngurah Suryawan, di Bali ternyata revitalisasi adat melahirkan penjaga keamanan ’tradisional’ yaitu pecalang sebagai tradisi yang terbuat (invented tradition). Mereka kemudian digunakan oleh industri pariwisata dengan jasa penjual keamanan yang ’dipelihara’ menjadi ’anak manis’ dari kekuasaan resmi. Namun, kekuasaan resmi yang ada pada negara telah menyebar dalam masyarakat dan membentuk jejaring kekuasaan.29

Di wilayah Kalimantan juga terbentuk kelompok kekerasan dengan nama headhunter Dayak. Dari tulisan John Bamba terlihat bahwa di kalangan masyarakat Dayak sendiri, militerisme juga sudah mulai merambah. Masyarakat Dayak telah terseret dalam perangkap militerisme karena termakan oleh iming-iming dan ambisi kekuasaan. Kondisi ketertindasan dan keterpinggiran yang dialami oleh sebagian besar masyarakat Dayak selama ini menyebabkan mereka menjadi rentan terhadap berbagai

26 Abdul Hamid. “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Banten.” dalam Ibid. hal. 45-63. 27 Lili Romli. Op. Cit.

28 Abdur Rozaki. “Sosial Origindan Politik Kuasa Blater di Madura.” Ibid. hal.67-89.

29 I Ngurah Suryawan. “Bisnis Kekerasan Jagoan Berkeris: Catatan Awal Aksi Pencalang dan Kelompok

(15)

tawaran dan bujukan yang seolah-olah mampu membebaskan mereka dari keterpurukan.30

Nordholt dan Klinken, mengumpulkan hasil penelitian yang berkaitan dengan munculnya kekerasan dalam politik lokal di Indonesia. Seperti peneliti sebelumnya, dalam pengantar buku tersebut, dituliskan bahwa akumulasi kekuasaan pada orang-orang atau kelompok tertentu dilakukan bukan hanya dengan cara-cara ilegal, namun mereka dapat menguasai institusi-institusi pemerintahan lokal yang sesuai dengan mekanisme demokrasi yang ditetapkan.31 Situasi seperti ini telah membawa mereka

dapat ’membajak’ institusi-institusi demokrasi seperti partai politik, lembaga perwakilan rakyat, dan lain sebagainya serta beraliansi dengan para pejabat publik yang baru terpilih.32

Meskipun terdapat penelitian yang membahas mengenai kelompok kekerasan dan orang-orang yang berpengaruh, namun penelitian yang secara khusus dilakukan mengenai politik premanisme (political gangster) di kota Medan dan Jakarta hanya dilakukan oleh Loren Ryter (1998) dan Vedi R. Hadiz (2005). Kedua peneliti itu menjelaskan bahwa setelah jatuhnya rezim Orde Baru, perilaku premanisme masuk ke wilayah politik formal. Perilaku ini bisa terjadi karena adanya hubungan yang erat antara militer dengan organisasi pemuda pada masa Orde Baru, yang melakukan tindakan kriminal, untuk memegang posisi penting di partai politik dan lembaga parlemen. Kekuatan preman di Indonesia bukan terletak pada bentuk fisik sebagai orang yang kuat dan selalu melakukan tindakan kekerasan. Justru kelebihan preman adalah selalu terlepas dari sangsi hukum karena memberikan dukungan kepada jaringan politik yang ada.33

Dari paparan hasil studi di atas, terdapat temuan yang sangat relevan dan signifikan yang akan digunakan dalam penelitian ini. Pertama, hubungan antara negara dan masyarakat, dalam kaitannya dengan posisi bosisme dan organisasi yang dijalaninya, ternyata menunjukkan posisi negara lemah di mana negara tidak berdaya menghadapi kelompok kekerasan yang melakukan kontrol monopolisitik terhadap kekuatan pemaksaan dan sumber daya politik serta ekonomi di beberapa daerah di Indonesia. Kedua, dari analisis sejumlah artikel, terungkap adanya pola hubungan antara

30 John Bamba. “Borneo Headhunter: Imej dan Manipulasi”. Ibid. hal.115-125. 31 Henk Schutle Nordholt. 2007. Politik Lokal di Indonesia.Op. Cit.

32 Ibid.

(16)

birokrat, elit partai politik, pengusaha, dan aparat dilakukan berdasarkan hubungan patron-klien dan adanya hubungan yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme. Ketiga, bos lokal dan organisasi yang dibentuknya memiliki sumber daya jauh lebih besar dibandingkan dengan masyarakat dan jika negara lemah dan korup maka ia akan menjadi ‘alat’ bagi bos lokal dan organisasinya daripada sebagai ‘juri’ bagi semuanya. Keempat, dengan model yang berbeda-beda di setiap wilayah di Indonesia, maka bos lokal dan organisasinya perlu merespons lingkungannya, melalui pemberian jenis bantuan dan sumber kekuasaan yang mereka miliki agar tetap dapat bertahan memberikan pengaruhnya kepada masyarakat.

Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud menjelaskan bahwa dari kasus pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara akan terlihat peran tokoh lokal di Sumatera Utara. Namun, dugaan awal, di Sumatera Utara yang dapat disebut tokoh lokal itu tidak bisa muncul karena kekuatan individu saja, mereka berada di dalam kekuatan organisasi pemuda yang anggotanya sebagian besar disebut sebagai “preman”. Organisasi pemuda yang diteliti dalam studi ini adalah Pemuda Pancasila yang merupakan organisasi pemuda tertua di Sumatera Utara dengan tokoh-tokohnya yang memiliki jaringan kepada lembaga politik lokal dalam proses otonomi daerah.

Perbedaan studi ini dengan penelitian sebelumnya adalah pertama, fenomena munculnya kelompok kekerasan dan tokoh lokal yang cukup kuat di Indonesia terjadi dengan model yang berbeda-beda. Studi ini akan menjelaskan bahwa di Sumatera Utara, fenomena kemunculan tokoh lokal yang cukup kuat bukan hanya berasal dari kekuatan individu berupa fisik, kekayaan atau patron semata, tetapi juga berasal dari kekuatan kelompok atau organisasi yang ada di antara organisasi sejenis dalam kehidupan masyarakat lokal. Kedua, studi sebelumnya tidak membahas mengenai fenomena muncul, bertahan dan berhasilnya tokoh lokal yang mampu menggerakkan organisasi untuk kepentingan mereka di antara kelompok masyarakat lainnya saat pemilihan kepala daerah secara langung. Studi terdahulu dilakukan sebelum pemilihan langsung kepala daerah dilaksanakan. Oleh karena itu, studi ini akan membahas secara khusus tentang fenomena tersebut dengan mengambil kasus pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Provinsi Sumatera Utara.

(17)

1.6. Kerangka Teori

Untuk mengkaji peran Pemuda Pancasila dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara, penelitian ini menggunakan teori kelompok kekerasan yang ditulis oleh Masaaki dan Rozaki. Setiap kelompok kekerasaan akan selalu menampilkan tokoh yang sangat berpengaruh bagi anggota atau komunitas kelompok tersebut. Untuk menjelaskan hal tesebut, penelitian ini menggunakan teori Bossism yang ditulis oleh John T. Sidel. Selain dua teori utama tersebut, penelitian ini juga menggunakan teori-teori pendukung lainnya yaitu teori yang berkaitan dengan teori kekuasaan, teori politik lokal, teori otonomi daerah, demokrasi dan pilkada langsung. Teori-teori tersebut menjelaskan adanya kelompok tertentu yang selalu saja dominan dalam setiap penentuan kebijakan yang mendasar untuk kepentingan mereka bukan untuk kepentingan publik. Kendati berbeda, teori-teori tersebut sepakat memahami, bahwa partisipasi masyarakat harus dilibatkan dalam proses kebijakan demi kesejahteraan tanpa harus mengerti bahwa satu kelompok tertentu, dengan kekuatan yang dimilikinya, akan memiliki agenda tersendiri agar mendominasi kebijakan yang penting terutama menyangkut pengelolaan dan pembagian sumber-sumber ekonomi negara pada skala yang lebih kecil.

1.6.1. Gejala Munculnya Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal

Studi ilmu politik tentang kelompok kekerasan menjadi tema yang menarik belakang ini terutama sejak keruntuhan rezim-rezim otoritarian di kawasan Asia dan Afrika. Di Indonesia sendiri, studi tersebut banyak dilakukan untuk melihat model demokrasi baru Indonesia pasca jatuhnya pemerintah Orde Baru. Proses demokratisasi melalui desentralisasi dan otonomi daerah yang sedang berlangsung menghasilkan keleluasaan daerah untuk mengembangkan inisiatif-inisiatif perubahan yang berbasis keunggulan lokal. Meskipun berbagai deretan persoalan dan tantangan sekaligus ancaman juga bermunculan. Salah satu diantaranya adalah maraknya kelompok-kelompok kekerasan di perkotaan dan pedesaan sebagai kelompok-kelompok penekan yang cenderung mengedepankan prilaku intoleran terhadap kelompok masyarakat lain yang berbeda paham dan kepentingan.

Teori tentang kelompok kekerasan berkembang disebabkan oleh dinamika masyarakat yang berubah secara terus menerus. Menurut Masaaki dan Rozaki, yang menjelaskan kasus Indonesia, bahwa pada masa Orde Baru segala bentuk kelompok

(18)

penekan yang ada di masyarakat dapat dirangkul oleh pemerintah dengan cara melembagakan mereka serta mendapatkan dukungan dari tentara dan polisi atau dengan cara penindasan. Namun, pasca Orde Baru, beragam komponen masyarakat menuntut keadilan yang ditafsirkannya sendiri atas dasar kepentingan etnis, agama, adat, politik, ekonomi, kelas, dan lain sebagainya. Tuntutan tersebut dilakukan untuk memenuhi beragam kepentingan melalui cara berkelompok dan dengan memanfaatkan instrumen kekerasan untuk menebar ancaman kelompok yang berbeda kepentingannya. Masaaki dan Rozaki menyebut kelompok yang berperan, setelah rezim Orde Baru, sebagai kelompok yang bersaing memperebutkan posisi untuk menjadi Tuhan (struggle of Gods).34

Maraknya kelompok-kelompok kekerasan di tengah masyarakat menjadi salah satu ciri yang menonjol di Indonesia pasca jatuhnya pemerintah Orde Baru. Mereka hadir dengan memanfaatkan ketidakstabilan negara dalam mengatur politik keamanan masyarakat. Disamping itu, bukan hanya menghiasi ruang publik dengan aksi-aksi jalanan yang brutal, namun juga memanfaatkan arus demokratisasi dengan cara tak sedikit para tokohnya berhasil masuk di jabatan formal pemerintahan. Kehadiran mereka tak jarang menebar teror dan ancaman, namun kerap pula dibutuhkan dan diperebutkan oleh kalangan tertentu yang berkepentingan.

Pada saat kebijakan otonomi daerah diberlakukan, peran para kelompok kekerasan seolah mengganti peran negara dalam pengaturan politik keamanan di tengah masyarakat. Jaringan yang mereka miliki melewati batas kuasa politik di ranah negara dan masyarakat. Sejak Indonesia modern belum lahir, kelompok kekerasan memiliki akar tradisi dan dinamikanya sendiri tergantung konstelasi politik yang berkembang. Di dalam kelompok kekerasan itu selalu saja muncul aktor utama yang saling silih berganti dalam ritus kekerasan dengan fase zaman yang terus bergerak. Praktek negara modern (modern state) di Indonesia, baik negara kolonial (colonial state) maupun negara bangsa (nation state) selalu memberi ruang gerak yang luas kepada kelompok kekerasan non-negara (non state violence). Boleh disebut bahwa non-negara Indonesia selalu membiarkan tumbuh kembangnya kekerasan non-negara walau terkadang mencoba mengendalikan kekerasan tersebut. Jago, warok, blater, jawara, dan preman tidak pernah hilang dari kancah sejarah Indonesia, malah mereka kadang kala menjadi pemain politik yang mempesona dan menarik perhatian banyak peneliti.

(19)

Selanjutnya, Masaaki dan Rozaki menjelaskan bahwa keberadaan kelompok kekerasan non-negara terjadi bukan karena negara yang mengizinkannya tetapi karena negara yang tidak bisa menolak keberadaannya, atau lebih tepatnya, negara yang membutuhkannya. Kehadiran kelompok masyarakat seperti itu, menghambat jalannya laju demokratisasi dan desentralisasi bahkan terancam menjadi beku (frozen democracy) karena peran kaum reformis kalah kekuatannya dengan kelompok kepentingan yang mengandalkan kekerasan dengan jejaringnya berurat akar di dalam tubuh partai politik. Kondisi ini berimbas pula pada adanya potret buram lembaga DPRD yang belum mampu mengejawantahkan sebagai koridor penampung aspirasi masyarakat. Proses penegakan hukum yang lemah, tentu saja, menjadi modal politik bagi mereka yang memiliki akses dan kapasitas di dalam memanfaatkan kekerasan dan ancaman kekerasan sehingga sangat berguna untuk merebut kekuasaan di tingkat lokal.35

Konsep governance yang didalamnya mengandaikan adanya peran negara yang tidak lagi dominan, namun hanya menjadikan pemerintah sebagai fasilitator. Oleh karena itu, memberikan kesempatan dan ruang yang sama bagi kelompok masyarakat sebagai stake holders. Kesempatan itu kemudian dimanfaatkan untuk mengendorkan peran perlindungan negara atas warganya dan sebaliknya kelompok masyarakat yang memiliki modal politik penguasaan kekerasan menjadi bagian dari pemain utama.36

Dalam konteks penelitian ini, teori Masaaki dan Rozaki akan digunakan untuk membantu merumuskan kerangka berpikir ketika melihat keberadaan organisasi Pemuda Pancasila dengan segala aktivitas yang cenderung melakukan kekerasan dan represif dalam kasus pemilihan gubernur secara langsung. Melalui organisasi Pemuda Pancasila di Sumatera Utara, para anggota dan kadernya bisa muncul menjadi tokoh yang turut berpengaruh dalam aktivitas politik seperti pemilihan gubernur meskipun keterlibatannya terkait pada soal perlindungan keamanan dan kekuatan uang. Saat ini, Pemuda Pancasila mendapatkan kesempatan untuk memelihara dan memperluas kekuasaannya di masyarakat dengan cara membangun jaringan akses kepada lembaga politik lokal seperti partai politik, legislatif, dan eksekutif.

Eksistensi kelompok kekerasan dalam masyarakat tidak terlepas dari para aktornya yang silih berganti dan menjadikan mereka sebagai orang kuat atau bos dalam komunitasnya sendiri. Istilah bos lokal atau bossism kembali menjadi pembahasan pada

35 Ibid. 36 Ibid.

(20)

saat John T. Sidel, profesor Ilmu Politik di University of London, menjelaskan fenomena munculnya bos lokal di Filipina, Thailand, dan Indonesia dalam kaitan relasi negara dan masyarakat pada tingkat lokal.37 Sebelumnya, fenomena munculnya orang kuat lokal tersebut telah dijelaskan oleh Migal, yaitu setiap kelompok dalam masyarakat mempunyai pemimpin, di mana pemimpin itu relatif otonom dari negara. Setiap masyarakat memiliki social capacity yang memungkinkan mereka menerapkan aturan main mereka tanpa dapat diintervensi oleh negara. Ketika kapasitas negara untuk mengontrol melemah, maka para strongmen menapakkan kekuasaannya dalam tingkatan lokal atau wilayah yang lebih kecil. Selanjutnya, menurut Migdal, orang kuat lokal memperoleh pengaruh signifikan yang jauh melampaui para pemimpin formal dan birokrat lokal disebabkan berkembangnya struktur masyarakat yang mirip jaringan.38

Dalam struktur masyarakat seperti ini, terdapat kombinasi antara kumpulan organisasi-organisasi sosial yang hampir mandiri dan kontrol sosial yang efektif dan terpecah-pecah. Selain itu, orang kuat lokal berkembang karena kebutuhan masyarakat terhadap mereka sebagai patron yang mempertukarkan kebaikan personal orang kuat lokal untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan kesetiaan yang mereka berikan. Migdal juga menyimpulkan bahwa keberadaan orang kuat lokal membatasi otonomi dan melemahkan kapasitas negara, sehingga pada akhirnya keberadaan bos lokal tersebut akan menghambat pembangunan.39

Migdal mencoba menerangkan tentang orang kuat lokal yang berhasil melakukan kontrol sosial. Dalam konteks ini Migdal mengatakan:

“They have succeeded in having themselves or their family members placed in critical state posts to ensure allocation of resources according to their own rules, rather than the rules propounded in the official rhetoric, policy statements, and legislation generated in the capital city or those put forth by a strong implementor.” 40

(Mereka berhasil menempatkan dirinya sendiri atau menaruh anggota keluarga mereka pada sejumlah jabatan penting demi menjamin alokasi sumber-sumber

37 Istilah local strongmen tersebut dipopulerkan oleh Migdal, sedangkan Sidel menggunakan istilah local bossism. John T. Sidel. 2005. “Philippine…..” Op. Cit. Lihat John T. Sidel. 2005. “Bosisme….” Op. Cit. 38 Lihat Joel S. Migdal. 1988. Strong .. Op. Cit. dan Joel S. Migdal. 2001. State in Society: Studying How States and Societies Transform and Capabilities in the Third World. Princenton University Press.

Meskipun di buku yang terakhir pembahasan mengenai orang kuat lokal agak terbatas, namun intinya tetap sama.

39 Joel S. Migdal. 1988. Strong ..Ibid. hal. 9. 40Ibid. hal. 256.

(21)

daya berjalan sesuai dengan aturan mereka sendiri ketimbang menurut aturan-aturan yang dilontarkan dalam retorika resmi, pernyataan kebijakan, dan peraturan perundang-undangan yang dibuat di ibukota atau yang dikeluarkan oleh penguasa yang kuat).

Selanjutnya, Migdal menjelaskan fenomena munculnya orang kuat lokal sebagai berikut. Pertama, orang kuat lokal tumbuh subur di dalam masyarakat mirip jaringan yang digambarkan sebagai sekumpulan campuran (melange) organisasi-organisasi sosial yang nyaris mandiri dengan kontrol sosial yang efektif terpecah belah. Berkat struktur masyarakat mirip jaringan membuat orang kuat lokal memperoleh pengaruh signifikan jauh melampaui pengaruh para pemimpin negara dan para birokrat lokal yang digambarkan sebagai “segitiga penyesuaian.41

Kedua, orang kuat lokal melakukan kontrol sosial dengan menyertakan beberapa komponen penting yang dinamakan ”strategi bertahan hidup” penduduk setempat. Dengan kondisi seperti itu, orang kuat lokal bukan saja memiliki legitimasi dan memperoleh banyak dukungan di antara penduduk lokal, tetapi juga hadir untuk memenuhi kebutuhan pokok dan tuntutan para pemilih atas jasa yang diberikan. Para penulis yang diilhami Migdal cenderung membingkai diskusi mereka dengan istilah ”personalisme”, ”klientisme”, dan ”hubungan patron-klien”. Pola ini kemudian juga terjadi karena orang kuat lokal ditempatkan sebagai patron yang memberi kebaikan personal bagi klien yang melarat dan para pengikut di daerah kekuasaan mereka.42

Ketiga, berhasilnya orang kuat lokal ”menangkap” lembaga-lembaga dan sumber daya negara, merintangi atau menyetujui upaya pemimpin negara dalam melaksanakan pelbagai kebijakan. Secara keseluruhan, orang kuat lokal membatasi otonomi dan kapasitas negara, penyebab kelemahan negara dalam menjalankan tujuan yang berorientasi pada perubahan sosial. Sepanjang keberhasilan strategi industrialisasi dan pertumbuhan amat bergantung pada strategi penyusunan dan pelaksanaan kebijakan negara yang saling bertautan efektif, orang kuat lokal dengan demikian, menjadi penghambat pembangunan ekonomi di Dunia Ketiga. 43

Penjelasan yang berbeda dari Migdal dikemukakan oleh John T. Sidel, dari hasil penelitiannya di Filipina, Thailand, dan Indonesia. Dari penelitian itu, Sidel menyebut

41 Ibid. hal. 235-238. 42 Ibid. hal. 9 43 Ibid.

(22)

istilah bossism yang merefleksikan strong state dibandingkan strong society. Ia melihat bosisme menunjukkan peran elit lokal sebagai predatory broker politik yang memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan paksaan dan sumber daya ekonomi dalam wilayah teritorial mereka. Bosisme beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman.44

Dalam kasus di Filipina, Sidel menyimpulkan bahwa ukuran dan pentingnya luas kepemilikan tanah pribadi bukan sumber utama kekuasaan dan kekayaan. Sumber-sumber negara dan modal perdagangan lebih menonjol. Banyak orang kuat lokal yang menjadi kaya justru setelah memangku jabatan. Kekayaan tersebut diperoleh melalui akses ekonomi, berupa bermacam-macam keistimewaan yang diberikan pejabat terpilih, yang ‘berhutang budi’ atas jasa mereka dalam memobilisasi dukungan melalui penggunaan kekerasan dan intimidasi, pembelian suara pemilih, dan kecurangan dalam pemilihan.

Mengakarnya orang kuat lokal di Filipina lebih mewakili keganjilan struktur kelembagaan negara, bukan hubungan patron-klien atau kekuasaan dan oligarki berdasarkan kepemilikan tanah. Ini berkembang sejak diperkenalkannya perubahan politik pada awal abad ke-20, berupa pemilihan kepala daerah maupun anggota parlemen di tingkat nasional maupun lokal, memberikan kesempatan para pejabat terpilih untuk tetap dapat menggunakan diskresi atas penegakan hukum lokal, pekerjaan umum, perpajakan, dan sebagainya. Berbeda dengan kesimpulan Migdal, orang kuat lokal di Filipina menurut Sidel, justru terbukti mendukung perkembangan kapitalisme, antara lain ditandai dengan tumbuhnya kegiatan-kegiatan ekonomi di tingkat lokal.45

Sementara itu, cikal-bakal bosisme lokal di Thailand pada masa pemerintahan militer dan berlakunya bureaucratic polity hingga 1970-an secara kelembagaan mendapat hambatan untuk tumbuh. Bosisme lokal tumbuh subur ketika terdapat pergeseran dari parlemen yang lemah, yang ditandai oleh dominasi militer, menuju parlemen yang lebih kuat. Perkembangan ini menarik para tokoh Bangkok terkemuka yang memiliki sumber daya keuangan besar dan basis dukungan di pedesaan untuk masuk ke ranah politik. Ditandai oleh suburnya chao pao (jao poh), mereka memonopoli kegiatan ekonomi di daerah kekuasaannya yang ditetapkan dengan longgar dari sisi akumulasi pemilik kekayaan, pendapatan konsensi, kontrak dan waralaba, yang

44 Dikutip dari John T. Sidel. “Bosisme ...” Op. Cit. hal. 72-74. 45 Dikutip dari John T. Sidel. “Bosisme ...” Op. Cit. hal. 76-80.

(23)

diperoleh dari negara dan keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan illegal. Mereka menjadi pialang suara (hua khanaen) dalam pemilu, memobilisasi suara pemilih kepada patron yang berbasis di Bangkok, klien-klien lokal, atau diri mereka sendiri melalui gabungan koersi, pembelian suara dan kecurangan pemilihan. Chao pho ini mempunyai kemampuan memonopoli secara efektif dalam organisasi kekerasan, baik di dalam maupun di luar negara.46

Hambatan bagi berkembangnya bos lokal di Indonesia bertahan selama kekuasaan Soeharto. Pemerintah Orde Baru melakukan rotasi pejabat sipil dan militer di daerah secara teratur, sehingga mencegah para pejabat di tingkat lokal ini untuk membangun wilayah kekuasaan lokal tersendiri yang otonom terhadap pusat. Otonomi daerah yang diterapkan, terutama berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1974 sesungguhnya bersifat sentripetal. Meskipun demikian, kebutuhan pusat terhadap aktor-aktor lokal untuk memelihara kekuasaannya pada praktiknya telah memunculkan mafia-mafia lokal, dengan otonomi terbatas, terutama preman-preman dari kelompok yang erat kaitannya dengan rezim. Kesempatan yang demikian luas hadir ketika Indonesia mengalami transisi dari pemerintahan otoritarian Orde Baru pada tahun 1998. Pemilu 1999 dan desentralisasi memperlebar kemungkinan akumulasi kekuasaan oleh mafia, jaringan dan marga.47

Temuan penelitian Sidel mengenai berkembangnya bos lokal di Asia Tenggara menjelaskan beberapa catatan penting berikut. Pertama, orang kuat lokal memperoleh kekuasaan dan kekayaan bukan dari kepemilikan tanah atau kekayaan pribadi, melainkan dari sumber-sumber negara yang diakumulasi setelah memegang kekuasaan. Hubungan patron-klien bukan lagi penyangga utama kekuasaan mereka. Perluasan kekerasan dan kontrol terhadap pejabat politik yang dipilih adalah sumber kekuasaan mereka. Kontrol tersebut merupakan kunci bagi akumulasi sumber daya manusia, alam, dan keuangan setempat, melalui diskriminasi penegakan hukum dan aturan, diskresi ijin monopoli, kontrak, penggunaan lahan, dan sebagainya. Berbeda dengan Migdal, dari kepialangan politik lah kekuasaan diperoleh serta dapat memberikan kesempatan bagi akumulasi kekayaan, dan bukan sebaliknya.48

Kedua, hubungan antara orang kuat dengan masyarakat luas di daerah kekuasaannya bukan ditentukan oleh “sisi permintaan”, yakni kebutuhan klien atas

46 Ibid. hal. 81-83. 47 Ibid. hal. 86-89.

(24)

patron. Hubungan lebih ditentukan oleh “sisi persediaan” berupa struktur negara di tingkat nasional dan ekonomi tingkat lokal.

Ketiga, berbagai praktik pembelian suara, kecurangan dalam pemilihan, atau pengumpulan kekayaan pribadi melalui cara-cara illegal dilakukan dengan cara pemaksaan, dibandingkan hubungan timbal-balik paternalistik atau klientelistik. Kepentingan orang kuat lokal menjadi sandaran dalam hubungan antara mereka dengan masyarakat luas.49

Tabel 1.1

Ciri-ciri Bosisme di Asia Tenggara Menurut Sidel

Variabel Ciri-ciri Bosisme di Asia Tenggara Sumber Kekayaan Berasal dari sumber negara

Pola hubungan Hubungan patron klien bukan penyangga utama Hubungan dengan pejabat

politik

Melakukan kontrol dan pengendalian terhadap pejabat politik

Voting/pemilu Pembelian suara

Posisi Negara Negara kuat

Perilaku Kekuasaan Kekerasan Kontrol Pemerintah Pusat Kontrol lemah

Sumber: diolah dari buku John T. Sidel 2005. “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia”, dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist (ed.). Politisasi Demokrasi: Politik

Lokal Baru. Jakarta: Demos.

Tentang perkembangan bossism di Indonesia, Sidel melihat bahwa itu terjadi seiring dengan melemahnya kontrol pusat terhadap daerah pasca jatuhnya pemerintah Orde Baru. Kebijakan desentralisasi telah mengakhiri kontrol efektif pusat yang mencegah pejabat-pejabat sipil dan perwira-perwira menengah militer untuk membangun wilayah kekuasaan lokal tersendiri yang mandiri. Kondisi tersebut telah memberikan ruang yang sangat leluasa bagi para pialang politik ini untuk memperoleh dan mengakumulasi kekuasaan dan kekayaan.50

Berkembangnya bosisme lokal, menunjukkan ketiadaan salah satu nilai-nilai demokrasi yang hendak dicapai dengan penerapan kebijakan desentralisasi, yaitu political equality. Konsep ini menyangkut tiga macam hubungan yaitu antarpemerintah (intergovernmental relation), antara negara dan masyarakat (state society relation); dan antara masyarakat dan masyarakat (society-society relation). Hubungan antarpemerintah meliputi kesetaraan antarlevel pemerintahan, baik secara vertikal maupun horizontal,

49 Sidel. “Bosisme….. Op. Cit. hal. 101. 50 Ibid. hal. 85.

(25)

dalam kewenangan mengatur dan mengurus. Penyelenggaraan pemerintahan daerah akan semakin kuat jika ada kesetaraan antara kewenangan dengan sumber keuangan yang dimiliki, kejelasan kewenangan antarberbagai tingkat pemerintahan, dan sebagainya. Hubungan antarnegara dan masyarakat merupakan refleksi dari daya tawar masyarakat terhadap berbagai keputusan yang diambil lembaga pemerintahan.

Otonomi daerah sejatinya bukan hanya memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah. Tetapi juga harus memperkuat peran dan kedudukan masyarakat, sebagai pemilik kedaulatan dan pemilik kewenangan, dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal. Sedangkan hubungan antara negara dan masyarakat menunjukkan akses yang sama dalam ikut serta mempengaruhi proses kebijakan.51 Romli misalnya menjelaskan kasus Jawara di Banten sebagai pola hubungan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, dan aparat dalam mengusai politik lokalnya didasarkan atas dua, yaitu hubungan patron klien dan berdasarkan hubungan simbiosis mutualisme. Kontrol yang dilakukan oleh tokoh Jawara di Banten dilakukan terhadap pejabat publik dan civil society. Teori ”Bossisme Plus” yang dikemukakan Romli menjelaskan bahwa sumber kekuasaan berupa magi, kesaktian, dan ilmu silat menyebabkan jawara memiliki pengaruh di masyarakat. Berbeda dengan Sidel di mana sumber-sumber kekuasaan diperoleh saat ia mendapat fasilitas dari negara. Bosisme ala Sidel hanya memiliki kontrol terhadap pejabat publik, tetapi bosisme plus pada kasus jawara selain mengontrol pejabat publik juga mengontrol masyarakat (civil society).52

Dalam menganalisa peran Pemuda Pancasila di Sumatera Utara dalam penguasaan politik lokal, teori yang digunakan adalah teori yang dikemukakan oleh Sidel. Teori Sidel tentang local bossism membantu merumuskan kerangka berpikir yang akan digunakan dalam penelitian ini, terutama terkait dengan sumber kekuasaan dan cara-cara penggunaan kekuasaan yang dilakukan oleh para tokoh Pemuda Pancasila. Fenomena munculnya kelompok kekerasan dan bos lokal pada panggung politik di Sumatera Utara justru terkait dengan kebijakan otonomi daerah. Mereka adalah orang-orang, yang pada masa Orde Baru, memperoleh banyak keberuntungan.

Bos lokal tersebut adalah para pebisnis, termasuk dalam kelompok yang sering melakukan praktik kekerasan, kemudian menjadi tokoh dan memiliki pengaruh pada lembaga politik lokal seperti partai politik, legislatif, dan eksekutif. Kemunculan

51 Ketiga nilai tersebut adalah political equality, accountability, dan responsiveness. Lihat dalam B.C.

Smith. 1985. Op. Cit. hal. 24-30.

(26)

mereka tidak terlepas dari struktur masyarakat dan struktur negara itu sendiri. Dalam struktur masyarakat yang bersifat paternalistik, orang yang mempunyai pengaruh cenderung akan dihormati masyarakat. Sedangkan struktur negara memungkinkan terciptanya satu kondisi bagi muncul, bertahan, dan berhasilnya bos lokal tersebut. Di Sumatera Utara, kemunculan bos lokal itu berasal dari salah satu organisasi yang sering melakukan praktik kekerasan dalam aktivitasnya diantaranya adalah Pemuda Pancasila. Namun, bos lokal itu tidak dapat mengandalkan kekuatan individu semata karena sumber-sumber kekuasaan tersebar di antara kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Fenomena munculnya bos lokal di Sumatera Utara terkait dengan kekuatan kelompok yang mampu membentuk jaringan kepada sumber-sumber daya di tingkat lokal.

Dari kerangka tersebut, penelitian ini akan menjelaskan cara individu dan tokoh di Sumatera Utara dapat muncul sebagai bos lokal dalam kekuatan kelompok kekerasan. Penelitian ini akan membuktikan asumsi bahwa fenomena munculnya bos lokal di Sumatera Utara tidak terkait dengan lemahnya negara, tetapi terkait dengan, dalam bahasa Sidel, beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman. Mereka ini memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan pemaksaan dan sumberdaya ekonomi dalam wilayah teritorial tertentu. Teori itu akan menganalisis kasus peran Pemuda Pancasila dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008.

1.6.2. Patrimonialisme dan Klientelisme

Patrimonialisme merujuk pada paham mengenai bentuk-bentuk hubungan yang menganggap seseorang patron menjadi pemimpin kelompok yang didasarkan atas kaitan personal. Nathan Quimpo memperjelas istilah patrimonialisme “as a type rule in which the ruler does not distinguish between personal and public patrimony and treats matter and resources of state as his personal affair”53 (sebagai jenis aturan di mana penguasa tidak membedakan antara warisan pribadi dan publik dan memperlakukan masalah dan sumber daya negara sebagai urusan pribadi). Dalam hubungan kekuasaan, patrimonialisme menjadi bentuk hubungan timbal balik antara pemimpin (patron) dan bawahan (klien) yang loyal kepadanya.

53 Nathan G. Quimpo. 2007. “Trapo Parties and Corruption”. dalam KASAMA. Vol. 21 No. 1.

(27)

Bentuk-bentuk hubungan patron klien dijelaskan oleh James C. Scott sebagai berikut,

“The patron-client relationship–an exchange relationship between roles–may be defined as a special case of dyadic (two person) ties involving a largely instrumental friendship in which an individual of higher socioeconomic status (patron) uses his own influence and resources to provide protection or benefit, or both, for a person of lower status (client) who, for his part, reciprocates by offering general support and assistance, including personal, to the patron”54 (hubungan patron-klien, suatu hubungan pertukaran antara peran yang dapat didefinisikan sebagai suatu kasus khusus dari dua orang yang melibatkan sebagian besar hubungan persahabatan yang saling menolong di mana seorang individu dari status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruhnya dan sumber daya sendiri untuk menyediakan perlindungan atau manfaat, atau keduanya, kepada seorang yang lebih rendah statusnya (klien), untuk bagian diri klien itu, membalas dengan menawarkan dukungan dan bantuan, termasuk pelayanan pribadi kepada patron).

Dalam konteks hubungan patron-klien, posisi seorang patron memiliki sumber yang melebihi baik secara langsung maupun tidak langsung dari seorang klien. Posisi itu menyebabkan seorang patron mampu mempengaruhi sikap dan prilaku klien. Sebaliknya, klien mengakui dan menerima sumber yang dimiliki patron sehingga bila mempengaruhi klien, maka klien akan menerima dan mengakui pengaruh tersebut secara sadar atau sukarela. Sifat hubungan patron-klien didasarkan atas pertukaran yang tidak seimbang karena adanya perbedaan status di antara keduanya. Hubungan yang tidak seimbang tersebut membuat klien merasa berhutang budi dan membalas jasa baik kepada patron. Hubungan yang bersifat personal itu kemudian akan menciptakan loyalitas, kepercayaan dan kasih sayang yang diberikan di antara mereka serta bersifat fleksibel dan tanpa batas waktu.

Scott kemudian menjelaskan bahwa kelompok patron-klien bisa berbentuk gugus (patron-client cluster) yaitu seorang patron dengan beberapa orang klien. Kelompok patron-klien bisa juga berbentuk gabungan dari berbagai gugus patron-klien yang dipimpin oleh seorang patron sebagai patron tertinggi (patron-client pyramid). Di

54 James C. Scott. 1972. “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia”. dalam The American Political Science Review. Vo. 6. No. 1 (Mar. 1972). hal. 92.

Gambar

Diagram 1.1  Alur Pemikiran Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Variabel adversity quotient, lingkungan keluarga, dan minat berwirausaha diukur dengan skala Likert, yaitu skala dipergunakan untuk mengetahui setuju atau tidak

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 19 sasaran strategis yang ingin dicapai dengan prioritas sasaran adalah: meningkatkan penerimaan Fakultas (bobot 10%),

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran condition grade bangunan beton dermaga eksisting yang telah digunakan selama 30 tahun dan secara visual kondisi beton

Dalam penelitian ini, pemberitaan tentang pelayanan BPJS Kesehatan pada surat kabar merupakan stimulus dan respon yang diharapkan adalah citra BPJS Kesehatan di

1. Adanya perasaan senang terhadap belajar. Adanya keinginan yang tinggi terhadap penguasaan dan keterlibatan dengan kegiatan belajar. Adanya perasaan tertarik yang

Keempat server tersebut selalu aktif untuk melayani pelanggan yang datang untuk memperoleh pelayanan; Antrian: antrian yang terjadi karena 2 hal, yaitu karena

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam publikasi tersebut belum memuaskan karena terdapat beberapa kesalahan, seperti kesalahan penulisan kata

Umpan balik yang di dapatkan mengenai penerimaan pesan tidak terlalu baik karena tidak semua pengunjung pernah melihat pesan promosi yang disampaikan, hanya saja respon