• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Oleh: FARIDA RAHMAWATI NPM Jurusan Hukum Ekonomi Syari ah Fakultas Syariah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI. Oleh: FARIDA RAHMAWATI NPM Jurusan Hukum Ekonomi Syari ah Fakultas Syariah"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

JUAL BELI SAWIT PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI SYARI’AH DI DESA KUSUMA JAYA KEC. BEKRI

KAB. LAMPUNG TENGAH

Oleh:

FARIDA RAHMAWATI

NPM. 1602090094

Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah

Fakultas Syariah

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO

1441 H / 2020 M

(2)

ii

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

FARIDA RAHMAWATI

NPM. 1602090094

Pembimbing I : Dr. Hj. Siti Nurjanah, M.Ag Pembimbing II : Drs. Dri Santoso, MH.

Jurusan Hukum Ekonomi Syari‟ah Fakultas Syariah

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO

1441 H / 2020 M

(3)
(4)
(5)
(6)

ix

ABSTRAK

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PEMOTONGAN TIMBANGAN PADA JUAL BELI SAWIT PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI SYARI’AH

DI DESA KUSUMA JAYA KEC. BEKRI KAB. LAMPUNG TENGAH

Oleh:

FARIDA RAHMAWATI NPM. 1602090094

Jual beli termasuk praktik penting yang sering digunakan dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Islam telah mengatur secara rinci tentang aturan jual beli agar terhindar dari perbuatan yang dapat merugikan orang lain. Dalam aktifitas jual beli, pihak yang melakukan jual beli harus bersikap jujur dan adil. Pada jual beli kelapa sawit di Desa Kusuma Jaya Kec Bekri Lampung Tengah proses penimbangan sawit dan penentuan hasil timbangan ditentukan sendiri oleh pembeli tanpa melalui kesepakatan bersama dengan penjual. Sehingga dalam hal ini terjadi keterpaksaan bahwa penjual harus menerima sistem penimbangan yang ditetapkan oleh pembeli. konsep jual beli sawit dengan sistem pemotongan berat timbangan tersebut belum di pahami dengan benar, karena untuk menghindari kerugian yang diterima oleh pembeli tesebut akhirnya di lakukannya ketentuan jual beli sawit yang menggunakan pemotongan timbangan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab jual beli sawit dengan penerapan pemotongan timbangan masih dilakukan di Desa Kelurahan Kusuma Jaya Kecamatan Bekri Kabupaten Lampung Tengah dan mengetahui perspektif Hukum Ekonomi Syari‟ah mengenai jual beli sawit dengan penerapan pemotongan timbangan di Desa Kelurahan Kusuma Jaya Kecamatan Bekri Kabupaten Lampung Tengah. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research). Sedangkan sifat penelitiannya bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Data hasil temuan digambarkan secara deskriptif dan dianalisis menggunakan cara berpikir induktif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktik penimbangan pada jual beli kelapa sawit di Desa Kusuma Jaya Kec Bekri Lampung Tengah dilakukan secara sepihak oleh pembeli, baik dalam menentukan berat dan pengurangan keranjang timbang, pembulatan angka hasil timbangan sawit, maupun keuntungan pembeli. Dalam tinjauan Hukum Ekonomi Syar‟ah, praktek penimbangan pada jual beli kelapa sawit di Desa Kusuma Jaya Kec Bekri Lampung Tengah belum sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan. Dikarenakan adanya penerapan sistem penimbangan yang hanya dilakukan sepihak oleh pembeli, seperti pada proses penimbangan, pembulatan angka dan pengurangan hasil timbang. Hukum Islam melarang setiap transaksi jual beli yang mengandung unsur penipuan, ketidak jelasan, termasuk didalamnya kecurangan terhadap takaran dan timbangan. Praktek seperti ini mengakibatkan dampak yang sangat buruk dalam jual beli yaitu timbulnya ketidak percayaan, dan Allah Swt memberikan ancaman yang berat terhadap perilaku mengurangi timbangan.

(7)
(8)

xi MOTTO

































Artinya: kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu)

orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta

dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka

mengurangi. (Q.S. Al-Muthaffiffiin: 1-3).1

1

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Diponegoro, 2005), 470

(9)

xii

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur kepada allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan hidayah-Nya, maka akan saya persembahkan karya ini kepada:

1. Kedua orang tua yaitu Bapak Rubiyanto dan Ibu Tumirah karena berkat kesabaran beliau, cinta dan kasih sayang beliau, dukungan moral, spiritual dan materi, serta senandung Do‟a yang ikhlas sehingga peneliti dapat

menyelesaikan skripsi ini.

2. Adikku Fadila Aulia Putri dan Nur Azlina yang selalu memberikan hiburan, semangat yang luar biasa, serta selalu memberikan pertolongan dengan ikhlas sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

(10)

xiii

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, atas taufik hidayah dan inayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan Skripsi ini. Penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu bagian dari persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah IAIN Metro guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H).

Dalam upaya penyelesaian skripsi ini, peneliti telah menerima banyak bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karenanya peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Hj. Enizar, M.Ag, sebagai Rektor IAIN Metro, 2. Bapak H. Husnul Fatarib, Ph.D, sebagai Dekan Fakultas Syariah

3. Bapak Sainul, SH, MA, sebagai Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syariah 4. Dr. Hj. Siti Nurjanah, M.Ag, sebagai Pembimbing I yang telah memberikan

bimbingan yang sangat berharga kepada peneliti.

5. Bapak Drs. Dri Santoso, MH., sebagai Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan yang sangat berharga kepada peneliti.

6. Kepala Desa dan segenap warga Desa Kesuma Jaya Kecamatan Bekri Kabupaten Lampung Tengah yang telah memberikan sarana dan prasarana serta informasi kepada peneliti sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

7. Bapak dan Ibu Dosen/Karyawan IAIN Metro yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan sarana prasarana selama peneliti menempuh pendidikan.

(11)
(12)

xv

DAFTAR ISI

Hal.

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

NOTA DINAS ... iii

PERSETUJUAN ... iv

PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ORISINALITAS PENELITIAN ... vii

MOTTO ... viii

PERSEMBAHAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Penelitian Relevan ... 8

BAB II LANDASAN TEORI ... 11

A. Jual Beli ... 11

1. Pengertian Jual Beli ... 11

2. Dasar Hukum Jual Beli ... 14

3. Rukun dan Syarat Jual Beli ... 15

4. Macam-Macam Jual Beli ... 23

5. Jual Beli Perspektif Hukum Ekonomi Syari‟ah ... 24

B. Potongan Timbangan ... 29

1. Pengertian Pemotongan Timbangan ... 29

(13)

xvi

3. Macam-Macam Alat Menimbang ... 34

4. Faktor-Faktor Penyebab Pemotongan Timbangan ... 36

BAB III METODE PENELITIAN... 43

A. Jenis dan Sifat Penelitian ... 43

B. Sumber Data ... 44

C. Teknik Pengumpulan Data ... 45

D. Teknik Analisa Data ... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 48

A. Gambaran Umum Desa Kusuma Jaya Kec. Bekri Kab. Lampung Tengah ... 48

1. Sejarah Singkat Berdirinya Desa Kusuma Jaya ... 48

2. Letak Geografis Desa Kusuma Jaya ... 49

3. Keadaan Sosial ... 50

4. Keadaan Ekonomi... 51

5. Sarana dan Parasarana Desa ... 52

B. Praktek Penggunaan Pemotongan Timbangan Pada Jual Beli Sawit ... 54

C. Faktor-Faktor Penyebab Pemotongan Timbangan Pada Jual Beli Sawit Perspektif Hukum Ekonomi Syari‟ah ... 58

BAB V PENUTUP ... 63

A. Kesimpulan ... 63

B. Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

(14)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1. Nama-Nama Demang / Lurah / Desa Kusuma Jaya... 48 4.2. Tingkat Pendidikan Desa Kusuma Jaya ... 50 4.3. Sarana dan Prasarana Desa Kusuma Jaya ... 52

(15)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Bimbingan 2. Outline

3. Alat Pengumpul Data 4. Surat Izin Prasurvey 5. Surat Research 6. Surat Tugas

7. Surat Balasan Research

8. Formulir Konsultasi Bimbingan Skripsi 9. Foto-foto Penelitian

10. Surat Keterangan Bebas Pustaka 11. Riwayat Hidup

(16)

A. Latar Belakang Masalah

Jual beli merupakan perjanjian tukar menukar benda atau barang yang memiliki nilai, secara sukarela diantara kedua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang disepakati atau ketentuan yang telah ditetapkan syar‟i. Prinsip jual beli di dasarkan pada suka sama suka dan terbebas dari penipuan dan pengkhianatan. Dengan demikian, diperbolehkan jual beli untuk mempermudah manusia dalam kesulitan ber-mu‟amalah dengan hartanya.1

Jual beli sebagai salah satu bentuk mu‟amalah telah berkembang, baik bentuk akad maupun cara yang digunakan untuk melaksankan akad. Apa pun bentuk dan cara akad dalam mu‟amalah, termasuk dalam jual beli, yang jelas salah satu syarat pokok yang harus dipenuhi adalah adanya rasa saling rela (taradin) dan tidak adanya keterpaksaan.2

Jual beli termasuk juga praktik penting yang sering digunakan dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Islam telah mengatur secara rinci tentang aturan jual beli agar terhindar dari perbuatan yang dapat merugikan orang lain. Dalam aktifitas jual beli, pihak yang melakukan jual beli harus bersikap jujur dan adil. Aspek yang berkaitan dengan penipuan dan ketidakjujuran merupakan hal yang bertentangan dengan aturan jual beli,

1

Hendi Suhendi. Fiqih Mu‟amalah. (Jakarta: Rajawali Press, 2013), 50

2

(17)

sehingga penyebabnya salah seorang pembeli maupun penjual akan mengalami kerugian.

Kepercayaan dan kejujuran merupakan modal dasar dalam transaksi jual beli. Untuk membangun kepercayaan itu seseorang pedagang harus mampu berbuat jujur dan adil, baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain. Bukti kejujuran dan keadilan dalam jual beli yaitu adanya nilai timbangan dan ukuran yang tepat yang harus diutamakan. Dengan demikian, maka kepercayaan pembeli kepada penjual akan tercipta dengan sendirinya.3

Dalam transaksi jual beli, dianjurkan untuk menyempurnakan takaran maupun timbangan dan tidak dibenarkan mengurangi hak orang lain. Seseorang tidak dibenarkan menakar dengan dua takaran atau menimbang dengan dua timbangan. Membeda-bedakan antara timbangan yang menguntungkan diri sendiri maupun orang yang disenanginya, dan timbangan untuk orang lain. Untuk diri sendiri dan pengikutnya dia penuhi timbanganya, sedangkan untuk orang lain timbangannya di kurangi. Karena dengan menyerahkan atau menerima sesuatu yang takaranya atau timbanganya tidak sempurna, dikurangi atau di lebihkan dari pada semestinya, menyebabkan adanya pihak yang dirugikan disamping pihak yang memperoleh keuntungan yang bukan menjadi kaya, sikap yang demikian akan menghilangkan sumber

3

Farah Dhiba Fauziah, Karakter Kejujuran Dalam Perdagangan Dalam Transaksi Jual

Beli Di Pasar Tradisional, (Program Study Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan UM

(18)

keberkahan, karena merugikan atau menipu orang lain yang di dalamnya terjadi ekploitasi hak-hak yang tidak dibenarkan dalam Islam.4

Timbangan merupakan jenis alat pengukuran yang paling umum digunakan dalam jual beli. Kegunaanya untuk mengukur masa suatu benda dengan sama berat sehingga tidak berat sebelah. Beratnya suatu benda diukur dari besarnya nominal angka yang tertera pada timbangan. Jenis timbangan beragam, kegunaan sesuai dengan kebutuhan atau bentuk barang yang ingin ditimbang.

Salah satu jenis timbangan yang sering di gunakan dalam jual beli seperti timbangan gantung. Fungsi dari timbangan gantung sebagai alat untuk mengukur berat benda suatu barang, dengan cara barang tersebut digantung pada pengait timbangan. Barang yang bisa ditimbang dengan timbangan gantung merupakan barang dengan beban terberat, seperti kacang dalam karung, cabai dalam karung, daging-daging, ikan, sawit, dan lain-lain.5

Salah satu tempat yang sering menggunakan timbangan gantung dalam transaksi jual beli sawit yaitu di desa Kusuma Jaya Kecamatan Bekri Lampung Tengah. Baik menjual atau membeli pemakaian timbangan gantung untuk menimbang berat sawit.

Untuk menampung banyaknya muatan timbangan sawit pada timbangan gantung, pemilik timbangan sekaligus pembeli memanfaatkan alat bantu lain berupa besi yang dirancang seperti keranjang yang masyarakat

4

Hayatul Ichsan, Tinjaun Hukum Islam Terhadap Praktek Penimbangan Dalam Jual Beli

Kelapa Sawit, (Fakultas Syari‟ah UIN Ar-Raniry Darusalam Banda Aceh, 2019), 2 5

Umi Nurrohman. “Pengurangan berat Timbangan dalam Jual Beli Pisang dan Talas

Menurut Perspektif Hukum Islam.” (Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang,

(19)

menyebutnya Amprak.6 Keranjang besi tersebut dikaitkan pada timbangan gantung, fungsinya sebagai alat tampung agar dapat menampung sawit dalam jumlah yang lebih banyak, sehingga memudahkan penjual maupun pembeli dalam melakukan penimbangan tanpa menghabiskan waktu yang lama.7

Pada transaksi jual beli sawit, petani sawit menjual hasil panen sawitnya kepada pembeli dengan mengikuti harga yang ditentukan pasar. Penimbangan tidak dilakukan di kebun milik petani sawit, tetapi penimbangan dilakukan ditempat penampungan sawit milik pembeli dengan sebelumnya sawit tersebut sudah di angkut ke lokasi penimbangan. Penimbangan dilakukan sendiri oleh pembeli.

Dalam penimbangan yang dilakukan oleh pembeli, hasil timbangan dilakukan pemotongan berat timbangan, hasil timbangan di tentukan oleh pemotongan berat timbangan dari situlah mengetahui berapa hasil timbangan bersih yang harus di bayar. Penimbangan di lakukan dengan menggunakan timbangan jenis gantung dengan berat 110 kg dan berat alat bantu keranjang besi (Amprak) dengan berat 10 kg, jadi timbangan kelapa sawit setelah dilakukan pengurangan terhadap alat bantu timbangan keranjang besi (amprak) yaitu 100 kg.8

6

SB, SM, (Amprak: Alat Bantu Berupa Besi Yang Dirancang Seperti Keranjang yang

Digunakan Sebagai Wadah Dalam Penimbangan Sawit) 20 Desember 2019 7

Bapak TM, penjual sawit di Lampung, wawancara pada tanggal 23 Desember 2019

8

(20)

Berdasarkan survey pada tanggal 23 Desember 2019 peneliti mewawancarai beberapa penjual dan pembeli yang terlibat di dalam transaksi jual beli sawit tersebut. Diantaranya adalah bapak SB berumur 30 tahun dan bapak SM berumur 80 tahun yang merupakan petani/penjual sawit.

Menurut keterangan petani/penjual, penjualan sawit dengan sistem pemotongan berat timbangan dilakukan dengan atas dasar kebiasaan masyarakat desa Kusuma Jaya Kec Bekri Lampung Tengah. Pemotongan tersebut di lakukan dengan cara menimbang berat sawit terlebih dahulu lalu berat sawit tersebut akan di potong 7% dari berat sebelumnya.9

Masyarakat desa Kusuma Jaya Kec.Bekri Lampung Tengah ini merupakan masyarakat yang tidak tabu mengenai hukum jual beli itu sendiri, konsep jual beli sawit dengan sistem pemotongan berat timbangan tersebut sudah di pahami dengan benar, namun karena untuk menghindari kerugian yang diterima oleh pembeli tesebut akhirnya di lakukannya ketentuan jual beli sawit yang menggunakan pemotongan timbangan. Menurut keterangan dari masyarakat itu sendiri, tidak ada alternatif lain selain pemotongan berat timbangan sawit tersebut. Untuk itu jika terjadi jual beli sawit dengan menggunakan pemotongan timbangan masyarakat mengaku sudah terbiasa dan memang harus di lakukan agar tidak ada kerugian dari pembeli sawit tersebut, tanpa memperdulikan berapa kerugian yang di terima oleh petani/ penjual.10

9

Bapak LB, penjual sawit di Lampung, wawancara pada tanggal 23 Desember 2019

10

(21)

Selanjutnya Bapak Ek berumur 30 tahun, sebagai pembeli tersebut melakukan pemotongan berat timbangan dengan alasan untuk mendapat untung yang lebih besar, menjaga menyusutnya berat timbangan sawit. Harga yang ditawarkan pada setiap pembeli itu sama dengan pembeli yang lain. Dan sawit yang di beli oleh pembeli atau pemborong itu dalam keadaan basah, satu kilogram sawit di beli dengan harga 700 /kg oleh pembeli.11

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengamati, mempelajari, dan memahami mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan jual beli sawit yang menggunakan pemotongan berat timbangan. Oleh karena itu Peneliti menuangkan dalam judul: “Faktor-Faktor Penyebab Pemotongan Timbangan Pada Jual Beli Sawit Perspektif Hukum Ekonomi Syari‟ah (Studi kasus di Desa Kusuma Jaya Kecamatan Bekri Kabupaten Lampung Tengah)” .

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, untuk lebih sistematisnya perlu dirumuskan permasalahan. Adapun permasalahan dalam penelitian ini peneliti formulasikan sebagai berikut:

1. Mengapa masyarakat tidak dapat menghindar dari jual beli sawit dengan penerapan pemotongan timbangan di Desa Kusuma Jaya Kecamatan Bekri Kabupaten Lampung Tengah?

2. Bagaimana perspektif hukum Ekonomi Syari‟ah mengenai jual beli sawit dengan penerapan pemotongan timbangan di Desa Kusuma Jaya Kecamatan Bekri Kabupaten Lampung Tengah?

11

(22)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: a. Mengetahui penyebab jual beli sawit dengan penerapan pemotongan

timbangan masih dilakukan di Desa Kusuma Jaya Kecamatan Bekri Kabupaten Lampung Tengah.

b. Mengetahui perspektif Hukum Ekonomi Syari‟ah mengenai jual beli sawit dengan penerapan pemotongan timbangan di Desa Kusuma Jaya Kecamatan Bekri Kabupaten Lampung Tengah.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua jenis sebagai berikut: a. Secara teoritis, bagi masyarakat penelitian ini dapat membantu

alternative informasi, bahan referensi, serta memberikan pemahaman terkait dengan sistem jual beli sawit yang terjadi di masyarakat yang mengandung unsur pemotongan. Selain itu diharapakan menjadi stimulasi bagi peneliti selanjutnya sehingga proses pengkajian akan terus berlangsung dan akan memperoleh hasil yang maksimal.

b. Secara praktis, peneliti ini dimaksud sebagai suatu syarat untuk memenuhi tugas ahir guna memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro.

D. Penelitian Relevan

Penelitian relevan adalah penjelasan singkat mengenai penelitian terdahulu (prior research) yang uraian persoalan akan dikaji. Terdapat

(23)

beberapa penelitian yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diangkat dalam pembahasan atau penelitian ini. Oleh karena itu, dalam kajian ini peneliti memaparkan karya ilmiah terkait dengan pembahasan peneliti. 1. Penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan penelitian ini adalah

penelitian yang di lakukan oleh Siti Nura‟ini. Topik penelitian, praktek pemotongan timbangan dalam jual beli getah karet. Hasil penelitian, jual beli dilakukan dengan penerapan potongan wajib pada setiap penimbangan yang cenderung merugikan salah satu pihak serta peniadaan berat timbangan sebesar 1 kg pada setiap perhitunganya. Perbedaan, dalam skripsi ini, membahas mengenai dampak sosial dan dampak ekonomi masyarakat namun tidak mejelaskan bagaimana tindakan masyarakat mengenai sistem jual beli yang di berlakukanya pemotongan berat timbangan tersebut. Persamaan, dari penelitian penulis adalah membahas tentang pemotongan berat barang di lampung. 12

2. Penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Umi Nurrohman. Topik penelitian, praktik pengurangan timbangan jual beli pisang dan talas. Hasil penelitian, telah di praktekkan dan merupakan sebuah kebiasaan yang berlaku di masyarakat cenderung mengarah pada „urf fasid yang tidak bisa di jadikan dasar hukum dan seharusnya ditinggalkan. Perbedaan, membahas mengenai kebiasaan yang berantai yang sulit ditinggalkan oleh masyarakat mengenai pemotongan timbangan pisang dan talas tersebut. Persamaan dari

12

Siti Nur a‟ini. “Tinjuan Hukum Islam Tentang Potongan Timbangan dalam Sitem Jual

(24)

penelitian peneliti adalah membahas mengenai potongan dan penyebab terjadinya pemotongan timbangan tersebut. 13

3. Penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Ando Friska. Topik penelitian, terdapat pada permasalahan pada timbanganya, bawasanya timbangan yang telah di timbang bersih oleh petani dan pada ahirnya akan di potong lagi oleh pedagang. Hasil penelitian, penerapan potongan timbangan di lakukan secara wajib oleh pembeli kepada petani, yang cara pemotonganya menggunakan berbagai variasi. Perbedaan, penerapan potongan yang di lakukan oleh pembeli kepada penjual menggunakan dua metude: yaitu dengan memotong berat barang atau dengan memotong harga barang. Persamaan dari penelitian peneliti adalah sama-sama melakukan potongan timbangan dengan banyak merugikan penjual.14

Berdasarkan dari penelitian relevan di atas, pada penelitian relevan pertama, membahas mengenai dampak sosial dan dampak ekonomi masyarakat namun tidak menjelaskan bagaimana tindakan masyarakat mengenai sistem jual beli yang di berlakukanya pemotongan berat timbangan tersebut sedangkan untuk penelitian relevan yang kedua merupakan sebuah kebiasaan yang berlaku di masyarakat cenderung mengarah pada „urf fasid yang tidak bisa di jadikan dasar hukum dan seharusnya ditinggalkan dan untuk penelitian relevan yang ke tiga penerapan pemotongan yang di lakukan oleh

13

Umi Nurrohman. “Pengurangan berat Timbangan dalam Jual Beli Pisang dan Talas

Menurut Perspektif Hukum Islam.” (Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang,

2018), 10-15

14

Ando Friska, “Tinjauan Hukum Islam Tentang Penerapan Potongan Dalam Jual Beli

(25)

pembeli kepada penjual menggunakan dua metude: yaitu dengan memotong berat barang atau dengan memotong harga barang.

Perbedaan dari ketiga penelitian relevan di atas dengan peneliti yaitu terletak pada faktor penyebab masyarakat tidak dapat meninggalkan sistem jual beli yang menggunakan pemotongan berat timbangan tersebut, dan masyarakat tidak mempunyai pilihan lain karena semua pembeli menggunakan sistem pemotongan berat timbangan. Persamaan dari penelitian relevan di atas dengan peneliti yaitu terletak pada sama-sama membahas mengenai pemotongan timbangan pada berat barang.

(26)

A. Jual Beli

1. Pengertian Jual Beli

Jual beli (al-bai‟) secara etimologi atau bahasa adalah pertukaran barang dengan barang (barter). Jual beli merupakan istilah yang dapat digunakan untuk menyebut dari dua sisi transaksi yang terjadi sekaligus, yaitu menjual dan membeli.1 Kata jual menunjukan bahawa ada perbuatan menjual, sedangkan beli adalah adanya perbuatan membeli. Dengan demikian, perkataan jual beli menunjukan adanya dua perbuatan dalam satu peristiwa, yaitu satu pihak menjual dan pihak lain membeli. 2Dalam hal ini, terjadi peristiwa hukum jual beli yang terlihat bahwa dalam perjanjian jual beli terlibat dua pihak yang saling menukar atau melakukan pertukaran.3

Sementara secara terminologi, ada beberapa ulama yang mendefinisikan jual beli. Salah satunya adalah Imam Hanafi, beliau menyatakan bahwa jual beli adalah tukar menukar harta atau barang dengan cara tertentu atau tukar menukar sesuatu yang disenangi dengan barang yang setara nilai dan manfaatnya nilainya setara dan membawa manfaat bagi masing-masing pihak. Tukar menukar tersebut dilakukan

1

Imam Mustofa, Fiqih Mu‟amalah Kontemporer, (Jakarta: Raja Wali Press, 2016), 2.

2

Adiwarman A. Karim, Hukum Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2015), 92

3

Suhrawardi K. Lubis & Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 139.

(27)

dengan ijab qabul atau saling memberi (Ta‟ati). Adanya klausal membawa manfaat untuk mengecualikan tukar menukar yang tidak membawa manfaat bagi para pihak, seperti tukar menukar dirham, atau tukar menukar barang yang tidak disenangi atau tidak dibutuhakan seperti bangkai, debu dan seterusnya.4

Jual beli menurut ulama Malikiyah, ada dua macam, yaitu jual beli yang bersifat umum dan jual beli yang bersifat khusus.5 Jual beli yang bersifat umum ialah suatu perikatan tukar -menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan adalah akad yang mengikat kedua belah pihak

Jual beli dalam arti khusus ialah, ikatan tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatanya dan bukan pula kelezatan, 6 yang mempunyai daya tarik, pertukaranya bukan mas dan bukan pula perak, bendanya dapat direalisir dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak merupakan utang baik barang itu ada dihadapan si pembeli maupun tidak, barang yang sudah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu. 7

Menurut pengertian syari‟at, yang dimaksud dengan jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela. Atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (yaitu berupa alat tukar yang sah,

4

Imam Mustofa, Fiqih Mu‟amalah Kontemporer, 21.

5

Adiwarman A. Karim, Hukum Sistem Ekonomi Islam, 93

6

H, Idri, Hadis Ekonomi, (Jakarta: Kencana, 2016)., 161

7

(28)

pen). Jual beli di perbolehkan berdasarkan al-quran dan sunnah dan juga

ijma‟.8

Dari definisi yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa jual beli dapat terjadi dengan cara:

a. Pertukaran harta antara dua pihak atas dasar saling rela, 9 dan

b. Memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan, yaitu berupa alat tukar yang diakui sah dalam lalu lintas perdagangan.

Dalm cara pertama, yaitu pertukaran harta atas saling rela, akan timbul pernyatan. Apakah yang dimaksud dengan harta ? yang dimaksud dengan harta adalah semua yang dimiliki dimanfaatkan. Pertukaran harta atas dasar saling rela itu dapat dikemukakan bahwa jual beli yang dilakukan adalah dalam bentuk barter atau pertukaran barang. Di sebut juga jual beli muqayadah atau barter.10

Sedangkan cara kedua, yaitu memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan, berarti barang tersebut dapat dipertukarkan dengan alat ganti yang dapat dibenarkan. Misalnya, uang rupiah dan mataa uang lainya.11

8

Ascarya, Akad Dan Produk Bank Syari‟ah, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2008), 76

9

Ascarya, Akad Dan Produk Bank Syari‟ah, 190

10

Adiwarman, Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta: Dar Al-Muslim, 2008), 88

11

(29)

2. Dasar Hukum Jual Beli a. Dasar dalam Al-Qur’an

Dasar dalam Qur‟an yaitu firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 275                                                   

Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak

dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.12

Tafsir Ayat: "Orang-orang yang bertransaksi dan mengambil harta riba tidak bisa berdiri dari kuburnya kelak pada hari kiamat kecuali seperti berdirinya orang yang kesurupan setan. Ia bangkit dari kuburnya sambil sempoyongan seperti orang kesurupan, jatuh-bangun. Hal itu karena mereka menghalalkan memakan harta riba. Mereka tidak membedakan antara riba dengan hasil jual-beli yang dihalalkan oleh Allah. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya jual-beli itu seperti riba dalam hal kehalalannya. Karena keduanya sama-sama menyebabkan adanya pertambahan dan pertumbuhan harta.” Lalu Allah membantah ucapan mereka dan membatalkan kias mereka. Allah menjelaskan bahwa Dia menghalalkan jual-beli karena di dalamnya terdapat keuntungan yang umum dan khusus. Dan Allah mengharamkan riba karena di dalamnya terdapat kezaliman dan tindakan memakan harta orang lain secara batil tanpa imbalan apapun. Maka barangsiapa menerima nasihat dari Rabbnya yang berisi

12

(30)

larangan dan peringatan terhadap riba, lalu ia berhenti memungut riba dan bertaubat kepada Allah dari perbuatan itu, maka ia boleh memiliki harta riba yang telah diambilnya di masa lalu tanpa dosa, dan urusan masa depannya sesudah itu diserahkan kepada Allah. Barangsiapa kembali mengambil riba setelah ia mendengar adanya larangan dari Allah dan ia telah mengetahui hujjah yang nyata, maka ia pantas masuk neraka dan kekal di dalamnya. Yang dimaksud kekal di dalam neraka ialah orang yang menghalalkan memakan riba itu, atau maksudnya adalah tinggal di sana dalam waktu yang sangat lama. Karena tinggal di neraka untuk selama-lamanya hanya berlaku bagi orang-orang kafir. Sedangkan orang-orang yang bertauhid tidak akan kekal di dalamnya.13

Asbabun nuzul QS al-baqarah (2)ayat 275 Setelah Allah Ta‟ala menceritakan tentang orang-orang yang berbuat kebajikan, mengeluarkan infak, membayar zakat, serta mengutamakan kebaikan dan sedekah kepada orang-orang yang membutuhkan dan kepada kaum kerabat, yang dilakukan di setiap keadaan dan waktu, kemudian dalam ayat ini Allah Ta‟ala memulai dengan menceritakan tentang orang orang yang memakan riba dari harta kekayaan orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan, serta berbagai macam syubhat. Lalu Allah Ta‟ala, mengibaratkan keadaan mereka pada saat bangkit dan keluar dari kubur ada hari kebangkitan. Pada QS al-baqarah (2)ayat 275 bahwa Menurut Umar Ibnu Khattab: Ayat Al-quran tentang riba, termasuk ayat-ayat yang terakhir diturunkan. Sampai Rasulullah wafat tanpa menerangkan apa yang dimaksud dengan riba. Maka tetaplah riba dalam pengertian yang umum, seperti bunga yang dikerjakan orang Arab di zaman jahiliyah. Kalangan orang jahiliah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: Yang pertama bunga itu merupakan keuntungan yang besar bagi yang meminjamkan dan sangat merugikan si peminjam. Bahkan ada kalanya si peminjam terpaksa menjual dirinya untuk dijadikan budak agar ia dapat melunasi pinjamannya. Kedua, perbuatan itu pada zaman jahiliah termasuk usaha untuk mencari kekayaan dan untuk menumpuk harta bagi yang meminjamkan. Keterangan Umar ini berarti bahwa Rasulullah sengaja tidak menerangkan apa yang dimaksud dengan riba karena orang-orang Arab telah mengetahui benar apa yang dimaksud dengan riba itu.14

Kaitanya dengan pembahasan peneliti yaitu terletak pada pengambilan harta seseorang secara paksa, pemotongan timbangan

13

Samsul Basri, Bunasor Sanim, Metode Pengajaran Ekonomi Syariah Berdasarkan

Kandungan Surat Al-Baqarah Ayat 275-280(Institut Pertanian Bogor: Vol. 7, No. 2, Oktober

2018), 179

14

Rijki Ramdani, Asbabun Nuzul Qs Al-Baqarah (2) 275, (Universitas Pendidikan Indonesia - Kota Bandung 2014), 10

(31)

merupakan tindakan pengambil hak orang lain secara paksa, karena penjual harus menerima pemotongan timbangan secara sepihak yang dilakukan oleh pembeli. Mengurangi atau melebihi itu tidak diperbolehkan, karena mengambil harta orang lain sama saja dengan riba.

b. Dasar dalam Al-Sunnah

1) Hadis Nabi:

وُعْ يِبَتا لا: ََلاَق ََمَّلَسَو َِوْيَلَع ىَّلَصهللا َِوَّللا ََلوُسَر ََّنَأ َِْبَ ناَّفَع ََناَمْثُع َْنَع

٤٢٠١ (َُهاَوَر َ مِلْسُم) َِْيََهَ َْرِّدلاِب ََمَى َْرِّدلا ََوَلا ََنْيَر اَنيِّدلاِب راَنيِّدلا

Artinya: “Dari „Utsman ibn „Affan bahwasanya Rasulullah

SAW bersabda, “Janganlah kalian berjual beli satu dinar dengan

dua dinar dan satu dirham dengan dua dirham.” (HR. Bukhori

No. 1024).15

Uang dipandang sebagai alat tukar, bukan suatu komoditas. Selain sebagai alat tukar, uang juga berfungsi sebagai pengukur harga (standar nilai), hal ini sesuai dengan definsi uang yang dirumuskan Taqyuddin An-Nabhani, dalam buku An-Nizham Al-Iqtishadi Al-Islami. Menurutnya uang adalah standar nilai pada barang dan jasa. Oleh karena itu, dalam Ekonomi Islam, uang didefenisikan sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk mengukur harga setiap barang dan jasa. Kemudian, seiring kemajuan dan perkembangan peradaban, uang dikembangkan sebagai ukuran nilai dan alat tukar. Nabi Muhammad SAW menyetujui penggunaan uang sebagai alat tukar. Beliau tidak menganjurkan barter, karena ada beberapa praktek yang membawa kepada ketidakadilan dan penindasan. Barter hanya diterima dalam kasus terbatas. Nabi menasehatkan agar menjual sebuah produk dengan uang, dan membeli produk yang lain dengan uang tersebut.Dengan demikian, ajaran Islam sangat mendukung fungsi uang sebagai media petukaran(Medium Ofexchange) karena banyak hadist –

15

(32)

hadist Rasulullah yang tidak menganjurkan barter tetapi sangat menganjurkan terjadinya transaksi jual beli antara uang dengan barang dan jasa.16

Berdasarkan dari penjelasan hadist di atas dapat diartikan bahwa, jual beli secara barter sangat dianjurkan asalkan sesuai dengan takaranya. Namun jual beli dengan menggunakan uang sebagai nilai tukarnya akan menjadi lebih baik. Dan jika menjual suatu barang haruslah sesuai dengan ukuran dan sama nilainya, jika barang yang di perjualbelikan itu tidak sama ukuran dan nilainya maka jual beli tersebut tidak diperbolehkan.

3. Rukun dan Syarat Jual Beli a. Rukun Jual Beli

1) Akad (ijab kabul)

Akad ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan kabul dilakukan sebab ijab kabul menunjukan kerelaan (keridhaan). Pada dasarnya ijab kabul dilakukan dengan lisan, tetapi kalau tidak mungkin, misalnya bisu atau yang lainya, boleh ijab kabul dengan surat-menyurat yang mengandung arti ijab dan kabul.17

2) Orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli)

Pelaku akad yang dimaksud itu bisa satu orang atau banyak orang, bisa pribadi (syakhsiah haqiqiyyah) atau enitas hukum

16

M. Zidny Nafi‟ Hasbi, Keunggulan Dinar Dan Dirham Sebagai Mata Uang Perspektif

Al-Ghazali Dan Ibnu Taimiyah, (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga yogyakarta, Jurnal

Middle East And Islamic Studies, Volume 6 No. 2 Juli –Desember 2019), 219

17

(33)

(syahsiah i‟tibariyah), baik sebagai pelaku akad langsung atau sebagai wakil dari pelaku akad. 18

3) Ma‟kud Alaih (objek akad) 4) Nilai Tukar pengganti Barang.19

b. Syarat Jual Beli

1) Syarat Terpenuhinya Akad (Syuruth al-in‟iqad)

Masing-masing rukun (unsur) yang membentuk akad di atas memerlukan syarat-syarat agar unsur ( rukun) itu dapat berfungsi membentuk akad. Tanpa adanya syarat-syarat yang dimaksud, rukun akad tidak dapat membentuk akad. Dalam hukum islam, syarat-syarat terbentuknya akad ( Syurut al- in‟iqad). Rukun pertama, yaitu para pihak, harus memenuhi dua syarat terbentuknya akad, yaitu (1) tamyiz, dan (2) berbilang pihak (

at-ta‟addud). Rukun kedua, yaitu pernyataan kehendak. Harus

memenuhi dua syarat juga, yaitu (1) adanya persesuaian ijab dan kabul, dengan kata lain tercapainya kata sepakat. (2) kesesuaian majelis akad. Rukun ke tiga, yaitu objek akad, harus memenuhi tiga syarat, yaitu (1) objek itu dapat diserahkan, (2) tertentu atau dapat ditentukan, dan (3) objek itu dapat ditransaksikan satu sayarat, yaitu tidak bertentangan dengan syarak.

Sayarat yang terkait dengan rukun akad ini disebut sayarat terbentuknya akad ( Syuruth al-in‟iqad). Jumlahnya seperti yang

18

Oni Sahroni dan Hasanuddin, Fiqih Mu‟amalah, ((Depok: Rajawali Press, 2017), 33.

19

(34)

terlihat dari apa yang di kemukakan di atas. Ada delapan macam yaitu:

1. Tamyiz

2. Berbilang pihak ( at-ta‟adud)

3. Persesuaian ijab dan kabul ( kesepakatan) 4. Kesatuan majelis akad

5. Objek akad

6. Objek dapat diserahkan

7. Objek akad tertentu atau dapat ditentukan

8. Objek akad dapat ditransaksikan ( artinya berupa benda bernilai dan dimiliki/mutaqawwim dan mamluk

9. Tujuan akad tidak bertentangan dengan syarak

Kedelapan syarat ini beserta rukun akad yang disebutkan terdahulu dinamakan pokok ( al-ashl). Apabila pokok ini tidak terpenuhi, maka tidak terjadi akad dalam pengertian bahwa akad tidak tidak memilki wujud yuridis syar‟i apa pun. Akad semacam

ini disebut akad batil. Ahli-ahli hukum Hanafi mendefinisikan akad batil sebagai akad yang menurut syarak tidak sah pokoknya, yaitu tidak terpenuhinya rukun dan syarat terbentuknya. Apabila rukun dan syarat terbentuknya akad telah terpenuhinya. Maka akad sudah terbentuk.

(35)

3) Syarat Keabsahan Akad (Syuruth ash-Shihah)

Syarat keabsahan ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu syarat-syarat keabsahan umum yang berlaku terhadap semua akad atau paling tidak berlaku terhadap kebanyakan akad, dan syarat-syarat keabsahan khusus yang berlaku bagi masing-masing aneka akad khusus.

Rukun pertama, dengan dua syarat terbentuknya, yaitu tamyiz dan berbilang pihak, tidak memerlukan sifat penyempurna. Namun menurut jumhur ahli hukum Islam syarat kedua dari rukun kedua ini memerlukan penyempurna, yaitu persrtujuan ijab dan kabul itu harus dicapai secara bebas tanpa paksaan. Bilamana terjadi dengan paksaan maka akadnya fasid. Akan tetapi ahli hukum Hanafi, Zufar, berpendapat bahwa bebas dan paksaan bukan syarat keabsahan melainkan adalah syarat berlakunya akibat hukum akad ( Syart An-Nafadz). Artinya menurut zulfar, akad yang dibuat secara paksaan adalah sa, hanya saja akibat hukumnya belum dapat dilaksanakan ( masih tergantung, maukuf) menunggu ratifikasi dari pihak yang dipaksa apabila paksaan tersebut telah berlalu. Tulisan ini mengikuti pendapat KUH perdata yang diikuti oleh syari‟ah.

Rukun ketiga, yaitu objek akad, dengan ketiga syaratnya memerlukan sifat-sifat sebagai unsur penyempurna. Syarat-syarat dapat diserahkan memerlukan unsur penyempurna yaitu bahwa

(36)

penyerahan tidak menumbulkan kerugian (Dharar) dan apabila menimbulkan kerugian, maka akadnya fasid. Dengan demikian secara keseluruhan ada empat yang menjadi fasid suatu akad meskipun telah memenuhi rukun dan syarat terbentuknya, yaitu, (1) penyerahan yang menimbulkan kerugian, (2) Gharar, (3) syarat-syarat fasid, dan (4) Riba.

Akad yang telah memenuhi rukunya, syarat terbentuknya dan syarat keabsahanya dinyatakan sebagai akad yang sah. Apabila syarat-syarat keabsahan yang keempat ini tidak terpenuhi, meskipun rukun dan syaratnya terpenuhi, akad tidak sah. Akad ini disebut akad fasid. Menurut ahli-ahli hukum Hanafi akad fasid adalah, “ akad yang menurut sah syarat pokoknya, tetapi tidak sah sifatnya.” Maksudnya adalah akad yang telah memenuhi rukun da syarat terbentuknya , tetapi belum memenuhi syarat keabsahanya. Akad fasid mereka bedakan menjadi akad batil karena yang terahir tidak sah baik pokoknya maupun sifatnya, dengan kata lain tidak ada wujud sama sekali.

3) Syarat Berlakunya Akibat Hukum Akad (Syuruth An-Nafadz)

Apabila telah memenuhi rukun-rukunya, syarat-syarat terbentuknya, dan syarat-syarat keabsahanya, maka suatu akad dinyatakan sah. Akan tetapi mesipun sudah sah, ada kemungkinan bahwa akibat-akibat hukum akad tersebut belum dapat dilaksanakan. Akad yang belum dapat dilaksanakan akibat hukumnya itu, meskipun sudah sah,

(37)

disebut akad maukuf (terhenti/tergantung). Untuk dapat dilaksanakan akibat hukumnya, akad yang sah itu harus memenuhi dua syarat berlakunya akibat hukum yaitu, (1) adanya kewenangan sempurna atas objek akad, dan (2) Adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan.

4) Syarat Mengikat Akad (Syuruth al-luzum)

Pada asasnya, akad yang telah memenuhi rukunya, serta syarat terbentuknya, syarat keabsahanya dan syarat akibat berlakunya akibat hukum yang karenanya akad itu sah dan dapat dilaksanakan akibat hukumnya adalah mengikat para pihak dan tidak boleh salah satu pihak menarik kembali persetujuanya satu pihak tanpa adanaya kesepakatan dari pihak lain.20

Berdasarkan syarat-syarat akad, dapat dipahami bahwa, pada syarat terbentuknya akad pada jual beli dengan sistem pemotongan timbangan tersebut tidak tidak terpenuhi karena, tidak adanya kesepakatan akad pada saat penimbangan dan pemotongan tersebut terjadi sedang dilkukan, hanya ada pembeli yang dapat memproses dan menentukan hasil timbangan, sedangkan syarat terbentuknya akad Rukun pertama, yaitu para pihak, harus memenuhi dua syarat terbentuknya akad, yaitu (1) tamyiz, dan (2) berbilang pihak ( at-ta‟addud). Rukun kedua, yaitu pernyataan

20

Dr Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari‟ah, (Jakarta, Pt Raja Grafindo Persada, 2010), Hl97-105

(38)

kehendak. Harus memenuhi dua syarat juga, yaitu (1) adanya persesuaian ijab dan kabul, dengan kata lain tercapainya kata sepakat. (2) kesesuaian majelis akad. Rukun ke tiga, yaitu objek akad, harus memenuhi tiga syarat, yaitu (1) objek itu dapat diserahkan, (2) tertentu atau dapat ditentukan, dan (3) objek itu dapat ditransaksikan satu sayarat, yaitu tidak bertentangan dengan syarak.

Dan apabila akad tersebut dilakukanya secara terpaksa antara salah satu pihak yang saling bertransaksi maka akad tersebut

fasid, tidak adanya kesepakatan dan pihak pihak yang bertransaksi

tidak ada dalam satu majelis.

4. Macam-Macam Jual Beli

Ulama membagi jual beli sebagai berikut

a. Dilihat dari sisi objek yang diperjualbelikan, jual beli dibagi kepada tiga macam:

1) Jual beli muthlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan uang.

2) Jual beli sharf, yaitu jual beli antara satu mata uang dan mata uang lainya.21

21

(39)

3) Jual beli muqayyadah, yaitu jual beli pertukaran antara barang dengan barang (barter), atau pertukaran antara barang dengan barang yang dinilai dengan valuta asing.22

b. Dilihat dari segi menetapkan harga, jual beli di bagi menjadi empat macam:

1) Jual beli musawwamah (tawar menawar), yaitu jual beli biasa ketika penjual tidak memberitahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatnya.23

2) Jual beli amanah, yaitu jual beli ketika penjual memberitahukan modal jualnya (harga perolehan barang), jual beli amanah ada tiga yaitu:

3) Jual beli dengan harga tangguh, ba‟i bitsaman ajil, yaitu jual beli dengan penetapan harga yang akan dibayar kemudian. Harga tangguh ini boleh lebih tinggi daripada harga tunai dan bisa dicicil. 4) Jual beli muzayyadah (lelang), yaitu jual beli dengan penawaran

dari penjual dan para pembeli menawar. Penawaran tertinggi terpilih menjadi pembeli.24

c. Dilihat dari segi pembayaranya, jual beli di bagi empat yaitu:

1) Jual beli tunai dengan penyerahan barang dan pembayaran langsung.

2) Jual beli dengan pembayaran tertunda (ba‟i mujjal.

22

Adiwarman, Fiqih Ekonomi Keuangan Islam., 88

23

Siah Khosyi‟ah, Fiqih Mu‟amalah Perbandingan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014, 51

24

(40)

3) Jual beli dengan penyerahan barang tertunda (deferred delivery), meliputi: 25 jual beli salam dan jual beli istishna‟.26

Berdasarkan ketiga macam-macam jual beli maka dapat dipahami bawasanya macam-macam jual beli dapat dilihat dari objek barang, harga barang maupun pada saat penyerahan barang. Jual beli yang sedang peneliti teliti ini, jika dilihat dari macam-macam jual beli diatas yaitu termasuk kedalam jual beli muthlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan uang, penjual menjual hasil sawitnya kepada pembeli, lalu membeli membeli sawit tersebut dengan uang sebagai alat tukarnya.

5. Jual Beli Perspektif Hukum Ekonomi Syari’ah

Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, al-bai‟ adalah jual beli antara benda dan benda atau pertukaran antara benda dengan uang.27 Dalam istilah fiqh disebut dengan al-bai‟ yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Menurut Syariat Islam, jual beli adalah pertukaran harta tertentu dengan harta lain berdasarkan keridhaan antara keduanya. Atau, dengan pengertian lain, memindahkan hak milik dengan hak milik lain berdasarkan persetujuan dan perhitungan materi.28

25

Siah Khosyi‟ah, Fiqih Mu‟amalah Perbandingan, 52

26

Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam, 174–75.

27

Tim Penyusun KHES, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari‟ah, (Depok Kencana, 2017), Cetakan Pertama, 30

28

Irsyad Prima Firmansyah, Jual Beli Dalam Hukum Islam, (UIN Raden Intan Lampung, 2016), 23

(41)

Jual-beli dikatakan sahih apabila jual-beli itu disyari‟atkan, dan memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, bukan milik orang lain, dan tidak tergantung kepada hak khiyar lagi. Sedangkan jual-beli yang batil adalah apabila dalam melakukan jual-beli salah satu atau seluruh rukun dan syaratnya tidak terpenuhi, atau jual-beli pada dasar dan sifatnya memang tidak disyari‟atkan.

Dalam al-Qur‟an, Allah SWT telah menghalalkan jual-beli dan barang siapa yang memungut riba kemudian segera bertaubat darinya setelah sampai kepadanya hukum Allah SWT, kemudian dia segera bertaubat karena bertaqwa kepada Allah SWT. Maka Allah SWT tidak mewajibkan kepadanya untuk mengembalikan sisa riba kepada orang dari siapa ia pernah memungut riba. Itu berarti jual-beli yang mengandung unsur riba telah diharamkan oleh Allah SWT, dan begitu juga dengan beli yang lainnya, selama bertentangan dengan hukum Islām maka jual-beli tersebut dianggap batal.29

Dalam Perspektif Ekonomi Islam kebebasan disini dibatasi oleh aturan main yang jelas dan kebutuhan terbatas dengan sumber daya yang tidak terbatas, yang tidak terbatas bukan kebutuhan namun keinginan, hal ini telah dijabarkan oleh Al-Quran dan Al-hadits, seperti yang di terangkan dalm suarat An-nisa ayat 29.30

29

Abdhul Aziz, Praktek Jual Beli Tebakan Tinjauan Hukum Ekonomi Islam, (IAIN Syaeh Nur Jati Cirebon, 2018), 25

30

Runto Hediana & Ahmad Dasuki Aly, Transaksijual Beli Onlineperspektif Ekonomi

(42)



َ



َ



َ



َ



َ



َ



َ



َ



َ



َ



َ



َ



َ



َ



َ

َ



َ



َ



َ

َ



َ



َ



َ



َ



َ



َ َ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling

memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”31.

M. Quraisy Syihab dalam tafsirnya menjelaskan tentang pengertian Tarâdin. Beliau menginterpretasikan bahwa dalam jual beli sikap suka sama suka sangat dituntut dan diharuskan, walaupun kerelaan itu merupakan hal yang tersembunyi di lubuk hati, namun indikator dan tanda-tandanya dapat dilihat, apa saja yang dikenal dalam adat kebiasaan sebagai bentuk serah terima adalah bentuk-bentuk yang digunakan hukum untuk menunjuk pada suatu kerelaan. Sementara itu, Burhanuddin S. Menyatakan bahwa tanda-tanda keridhaan tidak dapat diketahui secara lahiriyah, namun bisa dilihat melalui ijab dan qabul yang dinyatakan para pihak sebelum mereka berpisah. Pernyataan ijab qabul dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, yang paling utama adalah dengan lisan. Namun perlu diketahui, dalam keadaan tertentu pernyataan melalui ucapan digantikan dengan tulisan maupun perbuatan seperti yang marak terjadi belakangan ini, yaitu bisnis E-Commerce.

Sedangkan dalam KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syari‟ah), prinsip Tarâdin diartikan sebagai suatu kesepakatan atau di dalam hukum kontrak disebut dengan asas konsesualisme. Konsesualime itu sendiri berasal dari kata “consensus” yang berarti kesepakatan. Kesepakatan dalam asas konsesualisme ini berarti persesuaian kehendak, namun kehendak tersebut harus dinyatakan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa di antara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendaki, artinya apa yang dikehendaki oleh yang satu dikehendaki pula

31

(43)

oleh yang lain dan kedua kehendak tersebut bertemu dalam kata sepakat. Pernyataan kehendak tidak terbatas pada pengucapan perkataan semata, namun dapat dicapai dengan memberikan tanda-tanda yang dapat menterjemahkan kehendak tersebut.9 Dengan kata lain, kesepakatan dapat terjadi dengan berbagai cara dan dalam KHES kesepakatan dalam jual beli dapat dilakukan dengan tulisan, lisan, dan isyarat yang ketiganya memiliki hukum yang sama. Akan tetapi, pengertian kerelaan/kesepakatan tidak hanya dalam makna yang sempit, melainkan mencakup pengertian bahwa tidak ada pihak yang dizalimi dan disakiti serta adanya keihklasan dari masing-masing pihak.32

Berdasarkan pemaparan pengertian antarodin diatas maka dapat dipahami bahwa, kesepakatan itu tidak harus dilakukan dengan cara bertatap muka secara langsung, namun kesepakatan yang seharusnya dilakukan adalah kesepakatan yang di lakukan oleh pihak-pihak yang bertransaksi dan di pahami oleh kedua belah pihak tersebut mengenai kesepakatan yang di sepakati dan mengerti dampak dari pada kesepakatan yang di lakukan.

32

Enden Haetami, Pelaksanaan Asas Kerelaan Terhadap Pola Transaksi E-Commerce

(Analisis Surat An-Nisaa Ayat 29), (STAI SABILI Bandung, Indonesia Volume 3 No. 1, Mei

(44)

B. Potongan Timbangan

1. Pengertian Pemotongan Timbangan

Menurut kamus bahasa Indonesia (KBBI) pemotongan berasal dari kata: pengeratan, pemenggalan, pembulatan (mengerat, memenggal, mengurangi);33

Pemotongan adalah proses pemisahan benda padat menjadi dua atau lebih, melalui aplikasi gaya yang terarah melalui luas bidang permukaan yang kecil. Benda yang umum digunakan untuk memotong adaah pisau, gergaji dan gunting, dan untuk aplikasi ilmiah dan kedokteran digunakan scalpel dan microtome. Namun pada umumnya setiap benda yang tajam mampu memotong benda yang memiliki tingkat kekerasan lebih rendah dan diapikasikan dengan gaya yang signifikan. Bahkan fluida bisa digunakan untuk memotong benda yang keras ketika gaya yang signifikan diaplikasikan (misal pemotong jet air).

Pemotongan dalam menimbang telah mendapatkan perhatian khusus di dalam Al-Qur‟an karena praktik seperti ini telah merampas hak orang lain. Selain itu, praktik seperti ini jugamenimbulkan dampak yang besar karena merugikan salah satu pihak dan tidak mau adil terhadap sesama dan akan menumbuhkan rasa ketidak percayaan antara pihak penjual dan pembeli. Para pihak dalam jual beli haruslah memperhatikan aturan dan kaidah yang berlaku di dalam jual beli salah satunya adalah dilarang berbuat curang terhadap sesamakarena hukumannya sangatlah

33

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 908-909

(45)

pedih. Kecurangan merupakan sebab timbulnya ketidak adilan dan perselisihan baik di dalam masyarakat.34

Kata “Takaran” dalam Kamus Bahasa Arab, yaitu mikyal, kayl. Sedangkan kata “Timbangan” dalam Kamus Bahasa Arab yaitu: wazn,

mizan. Takaran diartikan sebagai proses mengukur untuk mengetahui

kadar, berat, atau harga barang tertentu. Dalam kegiatan proses mengukur tersebut dikenal dengan menakar. Menakar yang sering di samakan dengan menimbang. Menakar atau menimbang merupakan bagian dengan perniagaan yang sering dilakukan oleh pedagang. Para pedagang menggunakan alat untuk menakar yaitu kaleng, tangan, dan lain-lain. Sedangkan alat untuk menimbang yaitu timbangan yang juga disebut dengan neraca karena memiliki keseimbangan. Timbangan di gunakan untuk mengukur satuan berat (onns, gram, kilogram). Takaran dan timbangan adalah dua macam alat ukur yang diberikan perhatian yang benar-benar digunakan secara tepat dan benar dalam perspektif ekonomi syari‟ah.35

Takaran atau timbangan di gunakan untuk mengukur berat dari pada benda, hal tersebut untuk mengetahui berapa berat barang atau berat suatu benda pada saat terjadi penimbangan. Khususnya pada jual beli harus menggunakan takaran jika memang barang yang diperjual belikan itu menggunakan pengukuran berat didalam penjualan.

34

Siti Nur a‟ini. “Tinjuan Hukum Islam Tentang Potongan Timbangan dalam Sitem Jual

Beli Getah Karet.” (Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang, 2018), 31 35

Ramadhani, Potongan Timbangan Dalam Jual Beli Sawit, (Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung, 2017), 23

(46)

Peraturan yang mengatur tentang timbangan di Indonesia yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor2 tahun 1981 tentang petrologi lega:

BAB IV Pasal 12

Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan tentang alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang:

1. Wajib ditera dan ditera ulang.

2. Dibebaskan dari tera atau tera ulang, atau dari kedua-duanya. 3. Syarat harus dipenuh.

Pasal 13 Menteri mengatur tentang:

1. Pengujian dan pemeriksaan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya.

2. Pelaksanaan serta jangka waktu dilakukan tera dan tera ulang. 3. Tempat-tempat dan daerah-daerah di mana dilaksanakan tera

dan era ulang alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya untuk jenisjenis tertentu.

Pasal 14

1. Semua alat-alat ukur, takar, timbangan dan perlengkapannya waktu ditera atau ditera ulang ternyata tidak sesuai

(47)

syarat-syarat sebagaimana pasal 12 huruf c yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi, oleh pegawai yang berhak menera ulang.

2. Tata cara perusakan alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya diatur oleh menteri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam pasal 77 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah juga diatur terkait penimbangan dalam jual beli dapat dilakukan terhadap:

a. Barang yang terukur menurut porsi, jumlah, berat, atau panjang, baik berupa satuan atau keseluruhan.

b. Barang yang ditakar atau ditimbang sesuai jumlah yang telah ditentukan, sekalipun kapasitas dari takaran dan timbangan tidak diketahui.

c. Satuan komponen dari barang yang sudah dipisahkan dari komponen lain setelah dijual.36

Berdasarkan dari bunyi pasal diatas dapat dipahami bahwa, pada saat terjadinya transaksi jual beli kedua belah pihak harus ada pada saat transaksi, lalu mengenai takaran dalam timbangan harus sesuai dengan berat awalnya, tidak boleh di lebihkan ataupun dikurangai sesuai dengan ketetapan peraturan yang berlaku.

36

(48)

2. Tujuan Pemotongan Timbangan

Berbagai cara penjualan termasuk pemberian potongan timbangan pada berat barang, di lakukan untuk mencapai target penjualan atau untuk mencapai keuntungan, di lakukan agar pelaku usaha tidak mendapatkan kerugian yang begitu besar, untuk itu di lakukanya pemotongan berat timbangan pada barang.

Manusia dalam hidupnya bertugas untuk mengabdi kepada Allah SWT dalam melakukan pengabdian manusia fasilitas hidup yang bersifat kebendaan.Fasilitas dan kebutuhan hidup itulah yang mendorong manusia untuk beraktifitasdan berinteraksi. Segi kebendaan dapat membukakan pintu syahwat dan hawa nafsu serta persaingan, berlomba-lomba mencari harta sebanyak-banyaknya. Hal ini memungkinkan manusia tergelincir dari nilai-nilai keutamaan yang dapat mengantarkan kesucian jiwanya. Menjauhkan diri karunia dan rahmat Allah SWT, maka datanglah syariat dengan petunjuk-petunjuk dalam berjual beli demi menghindarkan manusia dari ketergelinciran (kesesatan dunia).37

Bersadarkan dari pemaparan diatas dapat dipahami bahwa, tujuan dari pada pemotongan timbangan selain untuk menghindari kerugian yang dialami oleh pembeli juga untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar, tanpa memikirkan dampak dari perbuatan yang demikian itu.

37

Musfira Akbar & Ambo Asse, Analisis Tingkat Kecurangan Dalam Takaran

(49)

3. Macam-Macam Alat Menimbang

Ada beberapa jenis timbangan yang di gunakan dalam proses penimbangan berat, alat-alat menimbang tersebut diantaranya adalah: 38 a. Timbangan Pocket

Pocket adalah jenis timbangan kecil yang bisa dibawa kemana-mana. Di samping mesinya yang kecil juga kapasitasnya yang di sandangnya pun kecil. Biasanya dengan kapasitas 30 kg ke bawah. b. Timbangan Portable

Timbangan Portable adalah timbangan yang terpisah antara tempat timbangan dan penunjukanya (indikator). Biasanya dihubungkan dengan tiang penyangga yang digunakan. Ukuran sudah tertentu yaitu 30 X 40 cm, 45 x 60 cm dan lainya. Ukuran kapasitas timbangan ini biasanya antara lain: 6 kg, 15 kg, 30 kg, 60 kg, 100 kg, sampai 300 kg. 39

c. Timbangan Platform atau Foor Scale

Timbangan Platform atau Foor Scale adalah timbangan dengan kapasitas yang lebih besar dan tidak adanya tiang penyangga. Dimensi tempat timbanganpun akan jauh lebih besar.40 Dinamakan timbangan lantai awal mulainya karena timbangan ini biasanya ditanam di lantai yang dibuat kolam, jadinya timbangan tersebut akan rasa dengan

38

Muhammad Syarif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2012), 134

39

Siti Nur a‟ini. “Tinjuan Hukum Islam Tentang Potongan Timbangan dalam Sitem Jual

Beli Getah Karet.” (Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang, 2018), 4-17 40

Umi Nurrohman. “Pengurangan berat Timbangan dalam Jual Beli Pisang dan Talas

Menurut Perspektif Hukum Islam.” (Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang,

(50)

lantai. Biasanya barang yang akan ditimbang di foor Scale ini adalah barang dengan beban berat.

d. Timbangan Gantung

Timbangan Gantung adalah dinamakan timbangan gantung karena sistim penimbangannya di gantungkan ditimbangan tersebut.41 e. Jembatan Timbang

Inilah jenis timbangan paling besar, dinamakan jembatan timbang karena memang bentuknya seperti jembatan. Timbangan ini di pergunakan untuk menimbang kendaraan roda 4 atau lebih.

f. Timbangan Jarum

Timbangan yang menggunakan jarum dan biasanya digunakan untuk menimbang berat dan sebagai ukuran saat kita akan mebuat kue atau roti.

g. Timbangan Bebek

Timbangan bebek biasanya di gunakan di warung untuk toko-toko untuk menimbang barang seperti: beras, gula, telur, minyak goreng, dan lainya.

h. Timbangan Badan

Timbangan untuk mengukur berat badan. Contohnya timbangan ini adalah timbangan bayi, timbangan anak dan orang dewasa.42

41

Siti Nur a‟ini. “Tinjuan Hukum Islam Tentang Potongan Timbangan dalam Sitem Jual

Beli Getah Karet, 19 42

Siti Nur A‟ini, “Tinjuan Hukum Islam Tentang Potongan Timbangan Dalam Sitem Jual

(51)

Berbagai macam timbangan yang dapat digunakan untuk menimbang berat barang, jenis dan ukuranya berbeda-beda. Hal tersebut di karenakan jenis dan ukuran masing-masing barang itu tidak sama, seperti pada saat menimbang yang beratnya di bawah 30 kg maka menggunakan timbangan Pocket. Begitupun untuk menimbang jenis barang lainya maka harus disesuaikan dengan berat berang tersebut.

4. Faktor-Faktor Penyebab Pemotongan Timbangan

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat akurasi dari hasil penimbangan pada penggunaan timbangan. Beberapa diantaranya adalah temperature, aliran udara, perubahan tekanan udara, radiasi panas, getaran, muatan elektrostatis, dan keberadaan medan magnet.

1) Perubahan Suhu

Jika sampel yang ditimbang tidak berada pada suhu yang sama dengan suhu ruang dan suhu timbangan, maka akan terbentuk aliran udara pada permukaan sampel. Aliran udara tersebut akan menyebabkan terjadinya gesekan antara permukaan sampel dengan udara sekitar, sehingga sampel yang ditimbang akan menjadi lebih berat atau lebih ringan dari berat sebenarnya. Terjadinya hal ini dapat mengurangi repetabilitas dan akurasi dari sistem penimbangan. Untuk menghindari terjadinya hal ini, disarankan untuk menimbang sampel yang memiliki suhu yang sama dengan timbangan dan suhu

(52)

ruangan. Jika temperatur sampel berbeda dengan sampel ruangan, maka disarankan untuk membiarkan sampel menyesuaikan dengan suhu sekitarnya sebelum sampel ditimbang, agar hasil penimbangannya akurat.

2) Perubahan Tekanan dan Aliran Udara

Aliran udara disekitar timbangan pada saat menimbang suatu sampel dihasilkan oleh perbedaan tekanan dan gesekan udara yang dapat diakibatkan oleh penggunaan pendingin ruangan (AC) atau frekuensi dibuka dan ditutupnya pintu ruangan menimbang, yang menyebabkan terjadinya fluktuasi tekanan udara. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya akurasi dari sistem penimbangan, dan akan mempengaruhi hasil penimbangan. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi pengaruh udara pada hasil menimbang adalah dengan membelokkan aliran udara dari pendingin ruangan (AC) sehingga tidak mengarah langsung pada timbangan dan area disekitarnya. Timbangan dengan kaca pelindung juga dapat digunakan, agar aliran udara tidak mempengaruhi proses penimbangan. Jika memungkinkan, gunakanlah wadah yang kecil untuk menimbang sampel untuk mengurangi gesekan udara.

3) Radiasi Panas

Radiasi panas dapat mengganggu kesetaraan suhu pada timbangan dan dapat menyebabkan kesalahan pembacaan. Umumnya,

(53)

radiasi panas ini disebabkan oleh sinar matahari langsung yang masuk ke ruangan menimbang. Sumber panas lainnya, seperti lampu dan radiator, bahkan suhu pengguna timbangan, dapat menyebabkan radiasi panas pada timbangan. Oleh karena itu, disarankan untuk meletakkan timbangan di tempat terlindungi dari radiasi cahaya panas langsung (matahari, lampu, dan sebagainya) untuk memperkecil pengaruh radiasi panas pada timbangan. Pada saat mengoperasikan timbangan, pengguna juga disarankan untuk menggunakan jas laboratorium untuk mengurangi radiasi terhadap timbangan yang dapat mempengaruhi hasil akhir menimbang.

4) Getaran

Getaran, baik yang bersifat translasi maupun rotasi, yang terjadi disekitar timbangan dapat menyebabkan deviasi pada hasil penimbangan. Umumnya, semakin kecil daya baca suatu timbangan, maka semakin mudah terpengaruh oleh getaran, dan hasilnya adalah berkurangnya akurasi timbangan, bahkan dapat menyebabkan kesalahan penimbangan, yang akan berpengaruh langsung pada kualitas produk yang dihasilkan. Untuk menghindari getaran pada saat menimbang, dianjurkan untuk meletakkan timbangan di ruangan

(54)

tenang, dan jika memungkinkan, diletakkan di atas meja timbang yang sudah didesain spesifik untuk mengurangi getaran.43

Berdasarkan faktor-faktor penyebab pemotongan timbangan secara umum diatas maka dapat dipahami bahwa, pada saat menimbang adanya pengurangan dalam pemotongan timbangan jika dilihat dari faktor umum yaitu perubahan suhu, perubahan tekanan dan aliran udara, radiasi panas, getaran. Timbangan dapat kapan saja berubah karena faktor-faktor tersebut, terjadi ketidakstabilan dalam penimbangan.

Faktor-faktor seseorang melakukan tindakan pemotongan timbangan dalam Islam diantaranya :

1. Kuranganya ilmu dan pengetahuan tata cara berniaga dan berdagang yang baik menurut Islam

2. Tidak mendalami fiqh buyu atau hukum-hukum jual beli dalam muamalah Islam.

Allah dan Rasul-Nya dengan tegas melarang kita untuk mengurangi timbangan sebab ini adalah perbuatan merugikan.

43

Ahmad Fauzi, Faktor Penting Yang Sering Disepelekan Dalam Menggunakan Timbangan (UNSRAT, Manadovol, 6 No.1 (2017), ISSN : 2301-84020 hl 105-17

Gambar

Foto 1. Wawancara kepada bapak Slamet Budi sebagai penjual/petani
Foto 3. Wawancara kepada bapak Tumijan sebagai penjual/petani
Foto 5. Wawancara kepada bapak Kusmanto sebagai pembeli
Foto 6. Tempat lapak sawit pembeli (2)

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian dengan menggunakan metode pengujian Kruskal-Wallis untuk mengetahui hasil-hasil kesamaan pengaruh pemanfaatan bakteri penghasil fitase (Pantoea

Kata Kunci : dialect, Banyumasan dialect of Javanese, phonological process, phonetic transcription, verb nasalization, prefix, Assimilation, Syllable Structure

Jika dalam spesifikasi teknis yang ditetapkan oleh Pertamina mensyaratkan Pemilik Kapal untuk menyediakan peralatan untuk Ship to Ship (STS) Transfer, maka Pemilik

Selanjutnya, persepsi petani responden melakukan usahatani perkebunan kelapa sawit karena keperluan sarana produksi seperti pupuk dan insektisida yang mudah diperoleh

Selain itu pola pengajaran yang tadinya teacher learning center (pembelajaran berpusat pada pengajar) dapat dipertimbangkan untuk diperkaya dengan mengambil pola student

(1) Koordinasi di tingkat pusat dilakukan oleh Komisi Pestisida sebagaimana telah dibentuk dengan keputusan Menteri Pertanian yang keanggotaannya terdiri dari

Program pengembangan kognitif adalah suatu proses berpikir, yaitu kemampuan individu untuk menghubungkan, menilai dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa

• 2.0 - 3.0 m : Samudera Hindia barat laut Aceh, Perairan mentawai, Perairan barat Sumatera Barat hingga Lampung, Perairan selatan Jawa, Perairan selatan NTB, Laut Bali,