• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRACT. Keywords: coral reef, resilience, recovery, index, management

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ABSTRACT. Keywords: coral reef, resilience, recovery, index, management"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

IMAM BACHTIAR. Development of Ecosystem Resilience Index in Coral Reef Management. Under supervision of ARIO DAMAR, SUHARSONO, and NEVIATY P. ZAMANI.

Global climate change is predicted to increasingly expose coral reef ecosystem to thermal stress, disturbances, and surprises. Ecological resilience is therefore becoming a very important ecosystem component that needs to be identified in coral reef management. Knowing ecological state of an ecosystem is a first step in planning an ecosystem based management, but practical method to assess ecological resilience of coral reef ecosystem is yet to be available. The existing methods demand to high expertise or high cost that are not available on many districts in Indonesia. The aim of the study was to develop an index for measuring quantitatively ecological resilience of coral reef ecosystem. The index was developed from a soil community resilience index of the Orwin and Wardle, with modification on the reference community and in the number of variables. Instead of using a control community, the coral reef resilience index uses a super or ideal coral reef, i.e. coral reef that has maximum values on all of its indicator variables. More than 2250 data obtained from 10 meter line intercept transect (LIT), all over Indonesia, were extracted to construct the “super” coral reef of Indonesia, as the index reference. The resilience index of coral reef ecosystem contains six indicator variables, i.e. coral functional group (CFG), unsuitable settlement substrate cover (USS), number of small-size coral colony (CSN), coral habitat quality (CHQ), coral cover (COC), and algae and other fauna cover (AOF). The resilience index has been proven to perform well to determined differences of coral reef resilience both spatially and temporally. The resilience index could be used to assess coral reef resilience at a scale of hundred meters to thousands kilometers, and could potentially be used to compare coral reef resilience globally. As the index was developed based on LIT data, the uses of index are very practical that nearly all districts in Indonesia have capabilities to carry out resilience assessment of coral reefs on their jurisdictions. Resilience assessment using data collected from 15 districts in 2009 showed that coral reefs at western region had generally higher average resilience indices than those at eastern region, and Sunda Shelf reefs had higher average resilience indices than coral reefs at Indian Ocean, Sulawesi-Flores, or Pacific Ocean. Four districts were found to have coral reefs with highest resilience indices, i.e. Bintan and Natuna (western region), and Wakatobi and Buton (eastern region). Following major disturbance, e.g. bleaching-related coral mass mortality in 1998, coral reef resilience indices could recover at the average rate between 0.044-0.066 per year in Indonesia. The index could also be used to assess and predict coral reef recovery. Coral reefs with high resilience indices are more likely to experience larger impact from the same disturbance, but they also have higher rate of recovery.

(2)
(3)

RINGKASAN

IMAM BACHTIAR. Pengembangan Indeks Resiliensi dalam Pengelolaan Terumbu Karang. Dibimbing oleh ARIO DAMAR, SUHARSONO, dan NEVIATY P. ZAMANI.

Mengenali kondisi ekosistem merupakan langkah pertama dalam penyusunan rencana pengelolaan. Perubahan iklim global telah diprediksi akan mengakibatkan meningkatnya ancaman kerusakan terhadap ekosistem terumbu karang. Pengelolaan terumbu karang tidak cukup lagi dengan memperbanyak wilayah inti tanpa penangkapan (no-take area), melainkan harus mampu memelihara kemampuan alami terumbu karang untuk pulih dari gangguan, yaitu resiliensi ekosistem.

Pada saat ini, metode penilaian resiliensi ekosistem masih dalam tahap awal pengembangan. Teori resiliensi ekosistem sudah lama dikembangkan oleh para peneliti terumbu karang, sejak tahun 1970-an, tetapi penilaian terhadap resiliensi ekosistem masih belum banyak berkembang, sehingga teori resiliensi belum banyak dapat membantu pengelolaan terumbu karang. Pada ekosistem hutan, danau, dan sungai, penggunaan teori resiliensi dalam pengelolaan juga belum berkembang.

Sekarang ada dua metode penilaian resiliensi terumbu karang, yaitu yang dikembangkan oleh Obura dan Grimsditch (2009) dan oleh Maynard et al. (2010). Kedua metode penilaian tersebut dianggap masih sulit diterapkan di Indonesia, karena kurangnya tenaga ahli dan dukungan finansial. Di Indonesia, banyak kabupaten yang memiliki terumbu karang luas tetapi tidak memiliki keahlian yang cukup untuk memahami kondisi terumbu karang di wilayah tersebut, dan tidak memiliki dana untuk melakukan kegiatan survei yang lengkap.

Penelitian ini dimaksudkan untuk membuat metode penilaian resiliensi terumbu karang, yang praktis dan reliabel, yang dapat digunakan di seluruh kabupaten di Indonesia. Penilaian resiliensi terumbu karang dilakukan dengan sebuah indeks, yang merupakan modifikasi dari indeks resiliensi komunitas tanah dari Orwin dan Wardle (2004). Modifikasi dilakukan dengan mengubah nilai yang digunakan sebagai acuan indeks dari komunitas kontrol menjadi komunitas super (ideal) dan menentukan peubah terumbu karang yang digunakan di dalam indeks. Penelitian ini menggunakan data multifaktor yang tersedia di P2O LIPI dari sekitar 2250 transek garis, panjang 10 meter, yang diambil di kawasan Samudra Hindia, Laut Natuna, Laut China Selatan, Selat Sunda, Laut Jawa, Selat Makassar, Laut Flores, serta Samudra Pasifik. Data tersebut memiliki rentang waktu 1992-2009.

Dengan menggunakan analisis multifaktor BEST (Biological

Environmental Stepwise) didapatkan enam peubah yang berperan penting di dalam pemulihan terumbu karang sebagai peubah indikator indeks, yaitu:

a) Jumlah kelompok fungsional karang (CFG, coral functional group); b) Tutupan substrat yang tidak dapat ditempeli larva karang (USS, unsuitable

settlement substrate);

c) Kualitas habitat karang (CHQ, coral habitat quality);

d) Jumlah karang koloni kecil (CSN, coral small-size colony number); e) Tutupan karang (COC, coral cover);

(4)

f) Tutupan algae dan fauna lain (AOF, algae and other fauna cover).

Keenam peubah tersebut diberi pembobotan berdasarkan sumbangan ragamnya terhadap ragam total. Besarnya sumbangan ragam ditentukan dengan menggunakan nilai pada komponen utama yang pertama (PC1) dari Principle

Component Analysis (PCA).

Terumbu karang yang menjadi acuan indeks adalah terumbu karang “super” di Indonesia, yaitu terumbu yang memiliki nilai maksimum dari keenam peubah indikator indeks. Terumbu karang “super” tersebut didesain berdasarkan nilai maksimum dan minimum setiap peubah dari 2250 transek di Indonesia. Dengan demikian terumbu karang “super” yang menjadi acuan indeks mempunyai ciri khusus, yaitu CFG=13, USS=0, CHQ=50, CSN=25, COC=100, AOF=0. Terumbu karang dengan ciri demikian tidak pernah ada di alam.

Rumus indeks resiliensi (RI) yang diperoleh kemudian dikoreksi dengan konstanta tertentu sehingga secara teoritis akan menghasilkan indeks 0.000 dalam kondisi ideal terburuk dan menghasilkan indeks 2.130 dalam kondisi ideal terbaik. Rumus indeks resiliensi terumbu karang tersebut sebagai berikut:

  0.56 13  0  13    12 13  0  0.42 50  0  50    12 50  0  0.43 25  0  25    12 25  0  0.52 100  0  100    12 100  0  0.20 100  0    0  12 100  0  0.10 100  0    0  1  0.202 100  0

Indeks resiliensi terumbu karang yang disusun di dalam penelitian ini dapat digunakan untuk menilai tingkat resiliensi terumbu karang dalam berbagai skala spasial. Penilaian indeks dapat dilakukan dari skala puluhan meter hingga puluhan ribu kilometer. Pengukuran resiliensi terumbu karang dapat dilakukan pada satuan transek, tetapi penilaian resiliensi suatu terumbu karang membutuhkan banyak transek. Proporsi transek yang memiliki indeks resiliensi ≥1.000 sebesar 0.403%. Penilaian indeks resiliensi terumbu karang di Indonesia menunjukkan bahwa semua rata-rata (±SD) indeks resiliensi terumbu karang di suatu lokasi pengamatan antara 0.067±0.032 sampai 0.976±0.107.

Hasil uji coba dengan data tahun 2009, yang meliputi 15 kabupaten, menunjukkan bahwa terumbu karang di kawasan Indonesia bagian barat memiliki rata-rata indeks resiliensi lebih tinggi daripada di Indonesia bagian timur. Paparan Sunda memiliki rata-rata indeks resiliensi yang lebih tinggi daripada formasi geologis lainnya, yaitu Samudra Hindia, Sulawesi-Flores, dan Samudra Pasifik.

(5)

Di Indonesia empat kabupaten yang memiliki terumbu karang dengan rata-rata (±1SD) indeks resiliensi tertinggi, yaitu Bintan (0.718±0.019), Natuna (0.697±0.078), Wakatobi (0.615±0.025), dan Buton (0.599±0.031).

Indeks resilensi ini juga dapat digunakan untuk menilai perubahan tingkat resiliensi terumbu karang secara temporal. Uji coba dengan menggunakan data tahun 2006 hingga 2009 diperoleh hasil bahwa terumbu karang di Mentawai dan Nias Selatan sedang mengalami peningkatan indeks yang kontinyu, sedangkan di kabupaten lain hanya mengalami perubahan indeks yang fluktuatif. Peningkatan indeks dengan laju 0.044-0.066 per tahun dapat terjadi pada masa pemulihan, sedangkan laju 0.015-0.026 per tahun merupakan fluktuasi tahunan. Perubahan fluktuatif indeks dapat terjadi dalam skala enam bulan

Dengan menggunakan data pemantauan selama 13 tahun, di Kabupaten Sumbawa Barat, diketahui bahwa terumbu karang yang sedang dalam masa pemulihan, mengalami peningkatan indeks kontinyu dan lebih cepat daripada di luar masa pemulihan. Penelitian ini juga menemukan bahwa indeks resiliensi merupakan indikator ekologis yang sangat baik untuk menilai pemulihan terumbu karang. Indeks resiliensi terumbu karang dapat digunakan untuk memprediksi dampak gangguan akut langsung, dengan Ŷ = -0.693 + 1.323X. Indeks resiliensi ini juga dapat digunakan untuk memprediksi laju pemulihan terumbu karang (indeks per tahun), dengan persamaan regresi Ŷ = -0.280 + 0.492X.

Indeks resiliensi terumbu karang yang dikembangkan di dalam penelitian ini relatif sangat praktis karena menggunakan data dari transek garis. Di Indonesia ribuan orang telah dilatih menggunakan metode ini. Hampir semua kabupaten di Indonesia diperkirakan sudah dapat menilai resiliensi terumbu karang di wilayahnya masing-masing dengan menggunakan indeks ini.

Indeks resiliensi ini juga berpotensi digunakan untuk membandingkan resiliensi terumbu karang antar negara, dan antar kawasan di seluruh dunia. Nilai acuan indeks adalah terumbu karang super di Indonesia, yang sudah dikenal sebagai pusat dari keanekaragaman karang dunia. Walaupun demikian, spekulasi ini masih harus dibuktikan.

Peningkatan resiliensi terumbu karang dapat dilakukan dengan meningkatkan peubah indikator dari indeks resiliensi tersebut. Tutupan karang, jumlah kelompok fungsional, dan kualitas habitat merupakan tiga peubah yang berkaitan dengan terumbu karang yang resiliensinya tinggi.

Penggunaan indeks resiliensi untuk tujuan penentuan prioritas pengelolaan sebaiknya dilengkapi dengan informasi tentang batas kedalaman maksimum pertumbuhan karang di lokasi tersebut. Terumbu karang yang hanya memiliki komunitas karang di tempat dangkal (<5 meter) tidak mencerminkan terumbu karang yang sehat sehingga menurunkan nilai proritas. Indeks resiliensi ini memiliki kekurangan dalam peubah CSN, jumlah koloni karang ukuran kecil. Penelitian mencari peubah untuk menduga potensi rekruitmen secara praktis di dalam transek garis sangat dibutuhkan untuk peningkatan akurasi dari indeks resiliensi ini.

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa Pemohon akan mengajukan seorang atau lebih anggota DPR yang mungkin dulu atau MPR karena kalau ini rumusan di dalam Undang-Undang Dasar pada perubahan Undang-Undang

Pengumpulan data dilakukan dengan mendeskripsikan langkah pengembangan dengan model ADDIE dengan mengintegrasikan matakuliah Bioteknologi berbasis bioinformatika

1 في&#34; ةدام نع ةيبرعلا ةغللا ملعت جئاتن ةيقرت في سرهفلا ةقاطب ةقباطم ملعتلا ةيجيتاترسا قيبطت جناديرس ليد نياثلا ةيمسوحكا ةطسستمتا ةسسدرمتبا نياثلا

Pelatihan dilaksanakan di tempat tersebut dengan pertimbangan, yaitu: (1) kedua kelompok mitra belum memiliki alat dan lokasi finishing, (2) lokasi adalah milik

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kepemimpinan kepala PAUD dan kompetensi guru terhadap kinerja guru PAUD di Kecamatan Sembawa Kabupaten Banyuasin. Data

Tata kerja kelompok ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari aturan besar kelompok SHK Lestari Muara Tiga sebagai acuan atau landasan pelaksanaan kerja kelompok dalam

BBRI  3000‐3200.  Saham‐saham  perbankan  unggulan  kemarin  didominasi  tekanan  jual  terutama  oleh  pemodal  asing.  Hal  ini  juga  dialami  saham  Bank 

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014