xxii
xxii BAB II KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Konseptual
1) Kemampuan Berpikir Reflektif Matematika
Bergson menyatakan bahwa berpikir memiliki dua sisi yang berlawanan arah, yaitu berpikir intelek bersifat discursive yang memainkan peranan penalaran dan berpikir intuisi bersifat non-discursive yang tidak memainkan peranan penalaran (Henden, 2004), kemudian Hamdi (2012) menyebutkan bahwa berpikir intelek disebut juga sebagai kecerdasan reflektif yang mana penalaran memainkan peranan yang sangat penting, sependapat dengan Soedjadi bahwa berpikir reflektif termasuk dalam istilah “bernalar” yang sering disebut juga dengan berpikir tingkat tinggi.
John Dewey mengemukakan suatu bagian dari metode penelitiannya yang dikenal dengan berpikir reflektif (reflective thinking). Dewey berpendapat bahwa pendidikan merupakan proses sosial di mana anggota masyarakat yang belum matang diajak ikut berpartisipasi dalam masyarakat, sedangkan tujuan dari pendidikan adalah memberikan kontribusi dalam perkembangan pribadi dan sosial seseorang melalui pengalaman dan pemecahan masalah yang berlangsung secara reflektif (Kusumaningrum dan Abdul, 2012).
Menurut John Dewey definisi mengenai berpikir reflektif adalah: “active, persistent, and careful consideration of any belief or supposed
xxiii
xxiii
from of kownledge in the light of the grounds that support it and the conclusion to which it tends”. Jadi, berpikir reflektif adalah aktif, terus menerus, gigih, dan mempertimbangkan dengan seksama tentang segala sesuatu yang dipercaya kebenarannya atau format tentang pengetahuan dengan alasan yang mendukungnya dan menuju pada suatu kesimpulan (Phan, 2009).
Sezer menyatakan bahwa berpikir reflektif merupakan kesadaran tentang apa yang diketahui dan apa yang dibutuhkan. Dalam hal ini diperlukan untuk menjembatani kesenjangan situasi belajar (Choy, 2012). Sedangkan menurut Gurol definisi dari berpikir reflektif adalah proses terarah dan tepat dimana individu menganalisis, mengevaluasi, memotivasi, medapatkan makna yang mendalam, menggunakan strategi pembelajaran yang tepat (Mirzaei, 2013).
Pendapat lain menurut King dan Kitchener mengenai berpikir reflektif adalah mengenai pemahaman dan mempromosikan pertumbuhan intektual serta berpikir kritis pada remaja dan orang dewasa (Mezirow, 1990). Model ini dilandasi oleh teori John Dewey mengenai konsep berpikir reflektif dan isu-isu epistimologis di hasilkan dari upaya menyelesaikan masalah terstruktur. Berpikir reflektif meliputi memperhitungkan waktu dan hal-hal yang berkaitan, membuat keputusan-keputusan, pemecahan masalah, dan perumusan kesimpulan. Rogers menyatakan bahwa kurangnya definisi atau pengertian yang jelas mengenai berpikir dan kriterianya, tentu hal tersebut berpengaruh 7
xxiv
xxiv
terhadap pelaksanaan pembelajaran. Dan dari pernyataan tersebut menunjukkan bahwa masih belum ada definisi yang jelas mengenai berpikir reflektif (Suharna, 2013).
Kesimpulan peneliti mengenai pengertian berpikir reflektif matematika dari beberapa pendapat ahli di atas adalah kemampuan siswa dalam memberi respon terhadap suatu permasalahan matematika serta siswa harus aktif dan hati-hati dalam memahami permasalahan, mengaitkan permasalahan dengan pengetahuan yang pernah diperolehnya dan mempertimbangkan dengan seksama dalam menyelesaikan permasalahan matematika dan juga memperhatikan waktu dalam merespon suatu masalah, semakin cepat dan tepat dalam merespon masalah matematika, semakin baik juga kemampuan berpikir reflektif matematikanya.
Menurut Skemp proses berpikir reflektif (reflective thinking) dapat digambarkan sebagai berikut: (a) informasi atau data yang digunakan untuk merespon berasal dari dalam diri, (b) bisa menjelaskan apa yang telah dilakukan, (c) menyadari kesalahan dan memperbaikinya, dan (d) mengkomunikasikan ide dengan simbol atau gambar bukan dengan objek langsung (Suharna, 2012). Proses berpikir reflektif akan terjadi apabila guru saat pembelajaran berlangsung melakukan interaksi dengan siswa. Hal ini didukung oleh Shermis yang menyatakan bahwa refleksi dalam suatu kelas dapat berlangsung ketika dalam pembelajaran terdapat suatu tanya jawab antar guru dan siswa, biasanya dilakukan pada saat siswa 8
xxv
xxv
menyelesaikan soal tertulis yang diberikan oleh guru. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diberikan sebagai suatu permasalahan bagi siswa, karena siswa pada saat mendapat pertanyaan tersebut merasa bingung dan gugup sehingga siswa dengan cepat memikirkan jawaban apa yang tepat dengan mengaitkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya dalam menjawab pertanyaan dari guru tesebut (Noer, 2008).
Menurut Surbeck, Han, & Moyer (1991) fase dalam berpikir reflektif terdiri dari:
a. Reaction
Reaction yaitu respon awal siswa termasuk guru, diskusi dalam pembelajaran, kegiatan selama pembelajaran, pemberian motivasi, lingkungan, pembelajaran, teman sebaya. Dan artikel yang meraka baca.
b. Elaboration
Elaboration merupakan inti dari fase berpikir reflektif. Siswa menjelaskan reaksi awal mereka dengan menjelaskan apa yang mereka pikirkan, membuktikan apa yang dipikirkan, memberi contoh, atau menyajikan dalam beberapa situasi.
c. Contemplating
Fase ini siswa diminta menunjukkan reaksi awal yang digabungkan dengan penyelidikan yang lebih lanjut, yang mengutamakan pengertian pribadi yang mendalam yang bersifat membangun.
xxvi
xxvi
Menurut Kember berpikir reflektif digolongkan ke dalam 4 tahap (Mahasneh, 2013), yaitu:
a. Habital Action
Habitual Action (Tindakan Biasa) di definisikan “... a mechanical and automatic activity that is performed with little conscious thought”, yaitu kegiatan yang dilakukan dengan sedikit pemikiran yang sengaja. b. Understanding
Understanding (Pemahaman) yaitu siswa belajar memahami situasi yang terjadi tanpa menghubungkan dengan situasi lain.
c. Reflection
Reflection (Refleksi) yaitu aktif terus-menerus, gigih, dan mempertimbangkan dengan seksama tentang segala sesuatu yang dipercaya kebenarannya yang berkisar pada kesadaran siswa.
d. Critical Thinking
Critical Thinking (Berpikir Kritis) merupakan tingkatan tertinggi dari proses berpikir reflektif yang melibatkan bahwa siswa lebih mengetahui mengapa ia merasakan berbagai hal, memutuskan, dan memecahkan penyelesaian masalah.
Dari beberapa pendapat di atas, untuk indikator kemampuan berpikir reflektif matematika, peneliti mengacu pada pendapat Surbeck, Han, & Moyer bahwa fase dalam berpikir reflektif dibagi menjadi 3, yaitu:
xxvii
xxvii a. Reaction
Dalam fase Reaction ini respon awal siswa terhadap permasalahan yang dihadapi dengan sedikit pemikiran yang disengaja, dalam hal ini siswa dapat menyebutkan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam permasalahan tersebut.
b. Elaboration
Pada fase Elaboration ini siswa menjelaskan reaksi awal mereka dengan menjelaskan dan membuktikan apa yang mereka pikirkan dengan mempertimbangkan dengan seksama tentang segala sesuatu yang dipercaya kebenarannya dan membuat rencana penyelesaian masalah dengan membandingkan pengetahuan yang sudah dimilikinya.
c. Contemplating
Pada fase Contemplating ini siswa diminta menunjukkan reaksi awal yaitu apa yang sudah diketahui dan ditanyakan sebelumnya kemudian digabungkan dengan rencana penyelesaian masalah dengan mengaitkan pengetahuan sebelumnya. Siswa diminta menjelaskan secara detail bagaimana cara mengerjakan soal dan memeriksa kembali hasil jawabannya.
Contoh soal:
Sebuah kotak amal berbentuk kubus dengan volume 125 cm3 dipotong sama besar secara vertikal. Kedua belahan tersebut kemudian digabungkan kembali secara vertikal sehingga membentuk suatu tempat 11
xxviii
xxviii
pensil berbentuk balok. Kotak amal tersebut akan dilapisi dengan alumunium agar tidak kotor. Benarkah luas alumunium yang dibutuhkan untuk melapisi kotak amal tersebut adalah 125 cm2.
Penyelesaian:
Fase Reacting Diketahui:
Volume kubus = 125 cm3 Ditanya:
Benarkah pernyataan luas alumunium yang dibutuhkan untuk melapisi kotak amal adalah 125 cm2
Fase Elaboration
Langkah pertama adalah membuat skesta gambar dari apa yang telah diketahui.
5 cm
5 cm
5 cm
xxix
xxix Dipotong secara vertikal dan sama besar
Kemudian di satukan secara vertikal sehingga membentuk balok
Langkah selanjutnya adalah menentukan luas alumunium yang dibutuhkan untuk menutupi balok tersebut. Dari hasil potongan kubus secara vertikal yaitu potongan A dan B. Potongan A dan B merupakan balok yang salah satu sisinya terbuka, digabungkan potongan A dan B menghasilkan balok tanpa tutup. Kotak amal yang berbentuk balok tidak memiliki tutup, sehingga luas alumunium yang dibutuhkan = luas permukaan balok tanpa tutup.
Fase Contamplating Volume kubus = 125 cm3 B A 5 cm 2,5 cm 5 cm 10 cm 5 cm 2,5 cm 13
xxx xxx Volume kubus = s3 125 cm3 = s3 s3 = 125 cm3 s = √ s = 5 cm
Luas permukaan balok tanpa tutup = (p x l) + (2 x p x t) + (2 x l x t) = (10 x 5) + (2 x 10 x 2,5) + (2 x 5 x 2,5)
= 50 + 50 + 25 = 125 cm2
Luas alumunium yang dibutuhkan = luas permukaan balok tanpa tutup = 125 cm2.
Jadi, luas alumunium yang dibutuhkan untuk melapisi kotak amal berbentuk balok adalah 125 cm2.
Dari penyelesaian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pernyataan alumunium yang dibutuhkan untuk melapisi kotak amal berbentuk balok adalah 125cm2 adalah benar karena alumunium yang dibutuhkan = luas permukaaan balok tanpa tutup.
xxxi
xxxi 2) Intelligence Quotient (IQ)
Masyarakat umumnya mengenal inteligensi sebagai istilah yang menggambarkan kecerdasan, kepintaran ataupun kemampuan untuk memecahkan problem yang dihadapi. Feldam mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan memahami dunia, berpikir secara rasional, dan menggunakan sumber-sumber secara efektif pada saat dihadapkan dengan tantangan (Uno,2010), sedangkan menurut Binet inteligensi merupakan sisi tunggal dari karakteristik yang terus berkembang sejalan dengan kematangan seseorang. Sebagaimana dalam definisinya yang telah dikemukakan terdahulu, Binet menggambarkan inteligensi sebagai suatu yang fungsional sehingga memungkinkan orang lain untuk mengamati dan menilai tingkat perkembangan individu (Azwar, 1996).
Menurut Thorndike mengatakan bahwa inteligensi adalah kemampuan dalam memberikan respon yang baik dari pandagan kebenaran atau fakta. Teori Thorndike tentang inteligensi didasari oleh riset, kemudian diklasifikasikan kedalam tiga bentuk kemampuan, yaitu (a) kemampuan abstraksi yakni suatu kemampuan untuk bekerja dengan menggunakan gagasan dan simbol-simbol, (b) kemampuan mekanik yaitu suatu kemampuan untuk bekerja dengan menggunakan alat mekanis dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang memerlukan aktivitas indera-gerak (sensory-motor), dan (c) kemampuan sosial yaitu suatu kemampuan untuk menghadapi orang lain di sekitar diri sendiri dengan cara-cara yang efektif (Azwar, 1996).
xxxii
xxxii
Ketiga bentuk kemampuan tersebut tidak terpisah secara ekslusif dan juga tidak selalu berkorelasi satu sama lain dalam diri seseorang. Ada kelompok orang yang sangat cakap dalam kemampuan abstraksi, seperti halnya para akademis, akan tetapi belum tentu semuanya memiliki kecakapan dalam bidang mekanik. Kadang-kadang ada juga orang yang memiliki kecakapan tinggi dalam ketiga bentuk kemampuan tersebut. Untuk itu perlu suatu cara untuk menyatakan tinggi-rendahnya tingkat inteligensi dengan menerjemahkan hasil tes inteligensi kedalam bentuk angka yang dapat menjadi petunjuk mengenai kedudukan tingkat kecerdasan seseorang. Angka tersebut dinyatakan dalam bentuk rasio (quotient) dan dinamai intelligence quotient (IQ).
Istilah intelligence quotient (IQ) diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1912 oleh William Stern, pengetahuan mengenai tingkat kemampuan intelektual atau intelegensi siswa akan membantu pengajar menentukan apakah siswa mampu mengikuti pengajaran yang diberikan, serta meramalkan keberhasilan atau gagalnya siswa yang bersangkutan bila telah mengikuti pengajaran yang diberikan (Azwar, 1996). Menurut Anastasi dan Susana (2007) IQ adalah cerminan dari prestaasi pendidikan sebelumnya dan alat prediksi kinerja pendidikan selanjutnya serta merupakan alat prediksi kinerja yang efektif dalam banyak bidang pekerjaan serta aktivitas-aktivitas lain dalam hidup sehari-hari. Steven dan Howard mengatakan IQ adalah ukuran kemampuan intelektual, analisis, logika, dan rasio seseorang. Dengan demikian, hal 16
xxxiii
xxxiii
ini berkaitan dengan keterampilan berbicara, kesadaran akan ruang, kesadaran akan sesuatu yang tampak, dan penguasaan matematika. IQ mengukur kecepatan kita untuk mempelajari hal-hal baru, memusatkan perhatian pada aneka tugas dan latihan, menyimpan dan mengingat kembali informasi objektif, terlibat dalam proses berpikir, bekerja dengan angka, berpikir abstrak dan analitis, serta memecahkan permasalahan dengan menerapkan pengetahuan yang telah ada sebelumnya (Azwar, 1996).
Orang yang memiliki kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup tinggi dapat dilihat dari hasil tes, dapat terlihat juga bahwa biasanya orang tersebut memiliki kemampuan matematis, memiliki kemampuan membayangkan ruang, melihat sekeliling secara runtun atau menyeluruh, dapat mencari hubungan antara suatu bentuk dengan bentuk lain, memiliki kemampuan untuk mengenali, menyambung, dan merangkai kata-kata serta mencari hubungan antara satu kata dengan kata yang lain, dan juga memiliki memori yang bagus (Misbach,2008).
Dari penjelasan diatas, untuk indikator Inteligence Quotient, peneliti mengacu pada pendapat Misbach (2008). Yaitu:
a. Memiliki kemampuan matematis
b. Memiliki kemampuan membayangkan ruang c. Melihat sekeliling dengan runtun atau menyeluruh
d. Dapat mencari hubungan antara suatu bentuk dengan bentuk lain 17
xxxiv
xxxiv
e. Memiliki kemampuan untuk mengenali, menyambung, dan merangkai kata-kata serta mencari hubungan antara satu kata dengan kata yang lain
f. Memiliki memori yang bagus
B. Penelitian yang relevan
Penelitian yang akan dilakukan peneliti relevan dengan penelitian yang di lakukan oleh Widiawati (2016) dari penelitian tersebut dihasilkan bahwa kemampuan berpikir reflektif siswa perempuan dalam memecahkan masalah matematika dikatakan “baik”. Sedangkan kemampuan berpikir reflektif siswa laki-laki dalam memecahkan masalah matematika dikatakan “baik”.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Nasriadi (2016) dihasilkan berpikir reflektif matematika dalam memecahkan masalah matematika subjek yang bergaya kognitif reflektif dan subjek yang bergaya kognitif impulsif dalam memecahkan masalah matematika adalah berbeda. Dalam tahapan memecahkan masalah matematika, subjek yang bergaya kognitif reflektif terlihat sangat berhati-hati dalam setiap tahapannya, sehingga sadar saat terjadi kesalahan dan langsung memperbaikinya. Sedangkan subjek yang bergaya kognitif implusif cenderung cepat dan kurang hati-hati dalam memecahkan masalah matematika, sehingga saat terjadi kesalahan tidak menyadarinya.
Persamaan penelitian ini adalah sama-sama mengkaji tentang kemampuan berpikir reflektif. Perbedaan penelitian ini adalah indikator 18
xxxv
xxxv
kemampuan berpikir reflektif dan di tinjau dari IQ. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti mengangkat judul Deskripsi Kemampuan Berpikir Reflektif Matematika ditinjau dari IQ siswa SMP Negeri 8 Purwokerto.
C. Kerangka Pikir
Kemampuan berpikir reflektif matematika adalah kemampuan siswa dalam memberi respon terhadap suatu permasalahan matematika serta siswa harus aktif dan hati-hati dalam memahami permasalahan, mengaitkan permasalahan dengan pengetahuan yang pernah diperolehnya dan mempertimbangkan dengan seksama dalam menyelesaikan permasalahan matematika. Kemampuan berpikir reflektif juga melihat waktu dalam menyelesaikan suatu masalah, semakin cepat dan tepat dalam menyelesaikan masalah matematika, semakin baik juga kemampuan berpikir reflektif matematikanya. Indikator yang digunakan untuk siswa guna mengukur kemampuan berpikir reflektif matematika, yaitu:
a. Reaction
Dalam fase Reaction ini respon awal siswa terhadap permasalahan yang dihadapi dengan sedikit pemikiran yang disengaja tanpa menghubungkan dengan situasi lain, dalam hal ini siswa dapat menyebutkan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam permasalahan tersebut.
b. Elaboration
Pada fase Elaboration ini siswa menjelaskan reaksi awal mereka dengan menjelaskan dan membuktikan apa yang mereka pikirkan dengan 19
xxxvi
xxxvi
mempertimbangkan dengan seksama tentang segala sesuatu yang dipercaya kebenarannya dan membuat rencana penyelesaian masalah dengan membandingkan pengetahuan yang sudah dimilikinya.
c. Contemplating
Pada fase Contemplating ini siswa diminta menunjukkan reaksi awal yaitu apa yang sudah diketahui dan ditanyakan sebelumnya kemudian digabungkan dengan rencana penyelesaian masalah dengan mengaitkan pengetahuan sebelumnya. Siswa diminta menjelaskan secara detail bagaimana cara mengerjakan soal dan memeriksa kembali hasil jawabannya.
IQ adalah ukuran kemampuan intelektual, analisis, logika, dan rasio seseorang. Dari penjelasan diatas, untuk indikator Inteligence Quotient, peneliti mengacu pada pendapat Misbach (2008). Yaitu:
a. Memiliki kemampuan matematis
b. Memiliki kemampuan membayangkan ruang c. Melihat sekeliling dengan runtun atau menyeluruh
d. Dapat mencari hubungan antara suatu bentuk dengan bentuk lain
e. Memiliki kemampuan untuk mengenali, menyambung, dan merangkai kata-kata serta mencari hubungan antara satu kata dengan kata yang lain f. Memiliki memori yang bagus
xxxvii
xxxvii Tabel 2.1
Keterkaitan antara indikator Intelligence Quotient (IQ) dengan indikator Kemampuan Berpikir Reflektif Matematika
Komponen Intelligence Quotient (IQ)
Keterkaitan dengan Kemampuan Berpikir Reflektif dalam Matematika Memiliki kemampuan
matematis
Dalam berpikir reflektif siswa di tuntut untuk memiliki kemampuan matematis yang tinggi hal ini untuk menyelesaikan
masalah matematika yang di hadapi dengan cepat (Reaction, Elaboration, dan
Contemplating) Memiliki kemampuan
membayangkan ruang
Dalam berpikir reflektif siswa menjelaskan dan membuktikan apa yang
mereka pikirkan dalam masalah yang dihadapi (Elaborasi)
Melihat sekeliling dengan runtun atau
menyeluruh
Dalam berpikir reflektif siswa melihat keseluruhan soal untuk mengetahui apa
yang diketahui dan ditanyakan, menyusun rencana, dan menyelesaikan
soal (Reaction, Elaboration, dan Contemplating)
Dapat mencari hubungan antara suatu bentuk dengan bentuk yang lain
Dalam berpikir reflektif siswa mecari hubungan yang sudah diketahui dan ditanyakan dengan pengetahuannya untuk menyelesaikan soal yang disajikan
(Elaboration dan Contemplating) Memiliki kemampuan
untuk mengenali, menyambung, dan merangkai kata-kata serta mencari hubungan
Dalam berpikir reflektif siswa dapat mengaitkan pengetahuan dan pengalaman
sebelumnya, serta menyususun strategi atau rencana untuk menyelesaikan soal
yang dihadapi (Elaboration dan
xxxviii
xxxviii antara satu kata dengan
kata yang lain
Contemplating)
Memiliki memori yang bagus
Dalam berpikir reflektif siswa harus mempunyai memori yang bagus dalam
hal ini mengingat pengetahuan sebelumnya untuk menyusun strategi
penyelesaian soal dengan cepat (Elaboration dan Contemplating)
Berdasarkan tabel diatas dapat diindikasikan bahwa tingkat Intelligence Quotient (IQ) akan mempengaruhi cara berpikir reflektif matematika siswa SMP N 8 Purwokerto.