• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Tipe Terumbu Karang dan Pembentukannya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Tipe Terumbu Karang dan Pembentukannya"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terumbu Karang

Terumbu adalah struktur di dasar laut berupa deposit kalsium karbonat yang dihasilkan terutama oleh hewan karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken 1992). Karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam Filum Coelenterata (hewan berrongga) atau Cnidaria. Karang (coral) mencakup karang dari Ordo Scleractinia dan Sub-kelas Octocorallia (kelas Anthozoa) maupun kelas Hydrozoa.

2.1.1 Tipe Terumbu Karang dan Pembentukannya

Di dunia terdapat dua kelompok karang, yaitu karang hermatifik dan karang ahermatifik. Perbedaan dua kelompok karang ini terletak pada kemampuan karang hermatifik di dalam menghasilkan terumbu (reef). Kemampuan menghasilkan terumbu ini disebabkan oleh adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis di dalam jaringan karang hermatifik. Sel-sel tumbuhan ini dinamakan zooxanthellae. Selanjutnya distribusi karang hermatifik hanya ditemukan di daerah tropis, sedangkan karang ahermatifik tersebar di seluruh dunia (Nybakken 1992).

Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan. Berbagai jenis bentuk pertumbuhan karang dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, hidrodinamis (gelombang dan arus), ketersediaan bahan makanan, sedimen, subareal exposure dan faktor genetik.

Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang batu terbagi atas karang

Acropora dan non-Acropora (English et al. 1997). Perbedaan Acropora dengan

non- Acropora terletak pada struktur skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang disebut axial koralit dan radial koralit, sedangkan non-Acropora hanya memiliki

(2)

Skeleton Acropora Skeleton non-Acropora

Gambar 2. Bentuk-bentuk pertumbuhan karang (English et al. 1997) Bentuk pertumbuhan karang non-Acropora terdiri atas:

1. Bentuk Bercabang (branching), memiliki cabang lebih panjang daripada diameter yang dimiliki, banyak terdapat di sepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng, terutama yang terlindungi atau setengah terbuka. Bersifat banyak memberikan tempat perlindungan bagi ikan dan invertebrata tertentu.

(3)

2. Bentuk Padat (massive), dengan ukuran bervariasi serta beberapa bentuk seperti bongkahan batu. Permukaan karang ini halus dan padat, biasanya ditemukan di sepanjang tepi terumbu karang dan bagian atas lereng terumbu. 3. Bentuk Kerak (encrusting), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan

permukaan yang kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil, banyak terdapat pada lokasi yang terbuka dan berbatu-batu, terutama mendominasi sepanjang tepi lereng terumbu. Bersifat memberikan tempat berlindung untuk hewan-hewan kecil yang sebagian tubuhnya tertutup cangkang.

4. Bentuk lembaran (foliose), merupakan lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau melingkar, terutama pada lereng terumbu dan daerah-daerah yang terlindung. Bersifat memberikan perlindungan bagi ikan dan hewan lain.

5. Bentuk Jamur (mushroom), berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut.

6. Bentuk submasif (submassive), bentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil.

7. Karang api (Millepora), semua jenis karang api yang dapat dikenali dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar bila disentuh.

8. Karang biru (Heliopora), dapat dikenali dengan adanya warna biru pada rangkanya.

Bentuk pertumbuhan Acropora sebagai berikut:

1. Acropora bentuk cabang (Branching Acropora), bentuk bercabang seperti ranting pohon.

2. Acropora meja (Tabulate Acropora), bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata seperti meja. Karang ini ditopang dengan batang yang berpusat atau bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar.

3. Acropora merayap (Encursting Acropora), bentuk merayap, biasanya terjadi pada Acropora yang belum sempurna.

4. Acropora Submasif (Submassive Acropora), percabangan bentuk gada/lempeng dan kokoh.

(4)

5. Acropora berjari (Digitate Acropora), bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti jari-jari tangan.

Terdapat tiga tipe terumbu karang, yaitu

1. Terumbu karang tepi (fringing reef), terumbu karang yang tumbuh di sepanjang pantai di continental shelf dalamnya tidak lebih dari 40 meter. Terumbu ini tumbuh ke permukaan dan ke arah laut terbuka.

2. Atol (atoll), terumbu karang tepi yang berbentuk menyerupai cincin di sekitar pulau vulkanik yang muncul dari perairan yang dalam, jauh dari daratan dan melingkari gobah yang memiliki terumbu gobah atau terumbu petak, dengan kedalaman mencapai 45 m.

3. Terumbu penghalang (barrier reef), terumbu karang yang tumbuh sejajar pantai tapi agak lebih jauh ke luar (biasanya dipisahkan oleh sebuah laguna) dengan kedalaman 40 – 70 meter.

2.1.2 Distribusi Terumbu Karang

Distribusi dan pertumbuhan ekosistem terumbu karang tergantung dari beberapa parameter fisik. Parameter-parameter fisik tersebut antara lain:

1. Kecerahan

Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya matahari merangsang terjadinya proses fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan bersama dengan itu kemampuan untuk membentuk terumbu (CaCO3) akan berkurang pula. Kebanyakan terumbu karang dapat berkembang dengan baik pada kedalaman 25 m atau kurang. Pertumbuhan karang sangat berkurang saat laju produksi primer sama dengan respirasinya (zona kompensasi) yaitu kedalaman dimana kondisi intensitas cahaya berkurang sekitar 15-20% dari intensitas cahaya di lapisan permukaan air.

2. Temperatur

Pada umumnya, terumbu karang tumbuh secara optimal pada kisaran suhu perairan laut rata-rata tahunan antara 25 dan 290C, namun suhu di luar kisaran tersebut masih bisa ditolerir oleh spesies tertentu dan jenis karang hermatifik

(5)

untuk dapat berkembang biak dengan baik. Karang hermatifik dapat bertahan pada suhu dibawah 200C derajat selama beberapa waktu dan dapat mentolerir suhu sampai 360C dalam waktu yang singkat.

3. Salinitas

Umumnya terumbu karang tumbuh dengan baik di sekitar wilayah pesisir pada salinitas 30-35‰. Meskipun terumbu karang mampu bertahan pada salinitas di luar kisaran tersebut. Pertumbuhannya menjadi kurang baik bila dibandingkan pada salinitas normal. Namun demikian, ada juga terumbu karang yang mampu berkembang di kawasan perairan dengan salinitas 42‰, seperti di wilayah Timur Tengah.

4. Sirkulasi arus dan sedimentasi

Arus diperlukan dalam proses pertumbuhan karang dalam hal menyuplai makanan berupa mikroplankton. Arus juga berperan dalam proses pembersihan dari endapan-endapan material dan menyuplai oksigen yang berasal dari laut lepas. Oleh karena itu, sirkuasi arus sangat berperan penting dalam proses transfer energi. Arus dan sirkulasi air berperan dalam proses sedimentasi. Sedimentasi dari partikel lumpur padat yang dibawa oleh aliran permukaan (surface run off) akibat erosi dapat menutupi permukaan terumbu karang, sehingga tidak hanya berdampak negatif terhadap hewan karang tetapi juga terhadap biota yang hidup berasosiasi dengan habitat tersebut. Partikel lumpur yang tersedimentasi tersebut dapat menutupi polip sehingga respirasi organisme terumbu karang dan proses fotosintesis oleh zooxanthellae akan terganggu.

2.1.3 Makroalga

Makroalga merupakan tumbuhan laut karena mereka berfotosintesis dan memiliki persamaan ekologi dengan tumbuhan lainnya. Akan tetapi, makroalga

hanya memiliki sedikit akar, daun, bunga dan jaringan darah (Diaz-Pulido dan McCook 2008). Makroalga berbeda dengan mikroalga dimana

makroalga memiliki banyak sel dan berukuran besar. Namun beberapa diantaranya seperti Acetabularia dan Caulerpa memiliki satu sel (Ladrizabal 2007).

(6)

Berdasarkan pada fungsi karakteristik ekologi (seperti bentuk tumbuhan, ukuran, kekuatan, kemampuan berfotosintesis), kemampuan bertahan terhadap

grazing (perumputan) dan pertumbuhan, makroalga dapat diklasifikasikan

menjadi Turf algae, Fleshy algae dan Crustose algae (Rogers et al. 1994, Diaz-Pullido dan McCook 2008). Makroalga terutama turf algae di ekosistem terumbu karang merupakan produsen primer penting karena dapat berfotosintesis sehingga menjadikan makroalga sebagai makanan favorit bagi para herbivor (Morissey 1985, McCook 2001) dan sebagai dasar pada jaring makanan di ekosistem terumbu karang. Disamping itu makroalga membuat habitat bagi para invertebrata dan vertebrata pada kepentingan fungsi ekologi dan ekonomi. Jika makroalga berlimpah akan menimbulkan degradasi terumbu karang, yaitu terjadi pergantian fase dari terumbu karang menjadi makroalga (Jompa dan McCook 2002, Diaz-Pullido dan McCook 2008).

2.1.4 Ikan Karang

Ikan karang merupakan salah satu komponen utama penyusun ekosistem terumbu karang yang sangat penting sebagai sumber protein hewani bagi kehidupan manusia. Beragamnya spesies ikan yang dapat ditemui di terumbu karang menyebabkan ekosistem terumbu karang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi (Hutomo 1987).

Ikan karang mempunyai komposisi jenis yang beragam dan berbeda pada

patch reef yang berbeda (Sale 1991). Secara komersial, ikan-ikan karang

memegang peranan penting dalam sektor perikanan dan pariwisata (Allen et al. 1996, English et al. 1997).

Keberadaan ikan karang tersebut dipengaruhi dengan kondisi fisik terumbu karang. Baik buruknya kondisi terumbu karang akan mempengaruhi kelimpahan ikan karang yang menghuni ekosistem tersebut. Berkurangnya atau menurunnya keanekaragaman jenis-jenis ikan menjadi salah satu indikator kerusakan lingkungan terumbu karang (Badrudin et al. 2003). Persentase penutupan karang hidup yang berbeda-beda akan mempengaruhi densitas ikan karang, terutama yang memiliki keterkaitan kuat dengan karang hidup (Carpenter et al. 1981 in Chabanet et al. 1997).

(7)

Penurunan penutupan karang hidup dapat mengakibatkan penurunan rekruitmen dari spesies ikan yang memerlukan karang hidup sebagai substratum untuk tempat penempelan (Russ 1991). William et al. (1986) in Choat (1991) menemukan kegagalan rekruitmen Pomacentrus molluccensis dan Chromis

atripectoralis di Great Barrier Reef selama 3 tahun sebagai akibat kerusakan

penutupan karang hidup oleh serangan Acanthaster planci. Kelimpahan dan keanekaragaman jenis ikan di wilayah terumbu karang memperlihatkan hubungan yang positif dengan penutupan karang hidup (Bell et al. 1985, Adrim et al. 1991)

Jumlah spesies ikan karang terbesar dijumpai di daerah Indo-Pasifik. Keanekaragaman ikan karang ditandai dengan keanekaragaman jenis dengan berbagai ukuran. Robins (1971) in Bouchon-Navaro (1996) memperkirakan sekitar 2000-2500 spesies ikan terdapat di daerah tropis Atlantik Barat, dengan 50% diantaranya tinggal di daerah perairan pantai. Meskipun demikian, untuk perairan karang Indonesia paling sedikit terdapat 11 famili utama sebagai penyumbang produksi perikanan, yaitu: Caesionidae, Holocentridae, Serranidae, Scaridae, Siganidae, Lethrinidae, Priacanthidae, Labridae, Lutjanidae dan Haemulidae (Djamali dan Mubarak 1998) dan Acanthuridae (Hutomo 1986).

Dalam pengamatan ikan karang, ada tiga kategori kedalaman perairan yang terutama ditolerir oleh ikan karang, yaitu: daerah dangkal (0-4 m), daerah tengah (5-19 m) dan daerah dalam (>20 m). Jarak kedalaman dari zona ini tergantung pada tingkat perlindungan dan kondisi laut. Pada daerah dangkal yang banyak dipengaruhi oleh gelombang, daerah perlindungan yang baik terdapat pada teluk atau laguna, yaitu dengan cara turun ke kedalaman yang lebih dalam. Sebaliknya pada daerah terluar, struktur karang yang terbuka oleh pengaruh gelombang di permukaan kadang-kadang dirasakan di bawah kedalaman 10 m. Daerah tengah merupakan tempat di mana ikan dan karang hidup melimpah. Pada daerah ini pengaruh gelombang laut minimal, meskipun arus kadang-kadang kuat, sementara sinar matahari optimal bagi pertumbuhan dan pembentukan terumbu karang (Allen 1997).

Dalam pengelompokannya, ikan karang dibedakan menurut maksud tujuan pengamatan yang dilakukan (Husain et al. 1996). Berdasarkan karakteristik taksonomi, ikan karang dikelompokkan atas sub-ordo Labridae (terdiri dari famili

(8)

Labridae, Scaridae dan Pomacentridae), sub-ordo Acanthuridae (famili Acanthuridae, Siganidae dan Zanclidae), dan sub-ordo Chaetodontidae (famili Chaetodontidae dan Pomacanthidae) (Hutomo 1993). Dilihat dari pemanfaatannya, ikan karang dikelompokkan ke dalam ikan hias (famili Pomacentridae, Labridae, Chaetodontidae, Pomacanthidae, Zanclidae, Balistidae, Scorpaenidae) (Kvalvagnaes 1980); dan ikan pangan atau konsumsi (famili Caesionidae, Serranidae, Siganidae, Haemulidae, Lutjanidae, Lethrinidae, Labridae, Scaridae, Holocentridae, Priacanthidae) (McWilliams dan Hatcher 1983). Berdasarkan tujuan pengelolaannya, Dartnall dan Jones (1986) membagi ikan karang menjadi 3 kelompok, yaitu: kelompok jenis ikan indikator, ikan target (konsumsi) dan ikan yang berperan dalam rantai makanan (kelompok utama).

Menurut Barnes (1980), keterkaitan ikan pada terumbu karang disebabkan karena bentuk pertumbuhan karang menyediakan tempat yang baik bagi perlindungan. Karang merupakan tempat kamuflase yang baik serta sumber pakan dengan adanya keragaman jenis hewan atau tumbuhan yang ada. Beberapa jenis ikan yang hidup di tepi karang menjadikan karang sebagai tempat berlindung dan daerah di luar karang sebagai tempat mencari makan.

Kelompok ikan terumbu karang terdiri dari jenis ikan yang hidup menetap di karang atau yang minimal menggunakan wilayah terumbu karang sebagai habitatnya. Kadang-kadang ditemui juga jenis ikan yang hanya berada di terumbu karang pada sebagian siklus hidupnya, misalnya saat juvenile dan pada saat dewasa beruaya ke luar terumbu. Beberapa jenis ikan karang keluar dari ekosistemnya ke biotope lain, seperti ke daerah lamun (Sorokin 1993).

Choat dan Bellwood (1991) memperoleh tiga hubungan/interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang, yaitu:

1. Interaksi langsung sebagai tempat berlindung dari predator atau pemangsa terutama bagi ikan-ikan muda.

2. Interaksi dalam mencari makan yang meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang termasuk alga.

3. Interaksi tidak langsung sebagai akibat struktur karang, kondisi hidrologi dan sedimen.

(9)

Kunci interaksi ikan karang dengan karang dijelaskan oleh Choat dan Bellwood (1991) dalam tiga kelompok besar, yaitu:

1. Kelompok Chaetodontids, terdiri dari famili Chaetodontidae dan Pomacanthidae.

2. Kelompok Acanthuroids, terdiri dari famili Acanthuridae, Siganidae dan Zanclidae.

3. Kelompok Labroids, terdiri dari famili Scaridae, Pomacentridae dan Labridae. Ikan-ikan perciform ini mewakili kelompok utama spesies ikan karang. 2.2 Model-model Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Sumberdaya pesisir dan lautan harus dikelola atau ditata karena sumberdaya tersebut sangat sensitif terhadap tindakan atau aksi manusia. Apapun cara pendekatan yang dilakukan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya, jika pemanfaatannya dilakukan berlebihan maka akan menyebabkan sumberdaya tersebut mengalami tekanan ekologi dan selanjutnya menurunkan kualitasnya (Nikijuluw 2002).

Dalam pengelolaannya perlu diperhatikan beberapa tahap, antara lain (i)

preliminary appraisal, (ii) baseline assessment, (iii) monitoring dan (iv) evaluasi. Preliminary appraisal menyajikan informasi tentang target lokasi yang akan

dikelola dengan potensi dan permasalahannya. Baseline assessment menyajikan informasi yang nantinya menjadi indikator yang harus dilihat dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Monitoring merupakan salah satu aspek penting dalam implementasi project untuk mengetahui suatu pengelolaan berjalan baik atau tidak. Jika tidak berjalan, dapat diambil pembelajaran yang sudah ada untuk pengelolaan yang lebih baik ke depannya. Evaluasi meliputi dua jenis yang sangat penting, yaitu post evaluation yang dilakukan setelah project selesai dan ex-post evaluation yang dilakukan setelah beberapa tahun dilaksanakan evaluasi pertama (Berkes et al. 2001).

Salah satu aspek penting dalam kajian sosial tentang pengelolaan sumberdaya adalah pelaku-pelaku yang terlibat dalam proses pengelolaan. Pelaku-pelaku tersebut dapat meliputi pemerintah (government-based management),

(10)

masyarakat (community-based management) atau kerjasama antara pemerintah dan masyarakat (co-management) (Satria 2002).

2.2.1 Government-based management

Sistem pengelolaan ini bersifat sentralistik, dimana pemerintah memiliki otoritas penuh dalam mengelola sumberdaya perikanan dalam semua tahapan dan komponen pengelolaan sumberdaya perikanan mulai dari pengumpulan informasi, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemantauan dan evaluasi. Pengelolaan oleh pemerintah ini dilaksanakan lembaga atau instansi pemerintah yang ada di tingkat pemerintah pusat maupun di daerah (Nikijuluw 2002).

Menurut Lawson (1984) in Nikijuluw (2002), terdapat beberapa kelemahan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah antara lain: 1. Kegagalan dalam mencegah eksploitasi sumberdaya perikanan karena

keterlambatan dalam pelaksanaan peraturan yang sudah ditetapkan. Hal ini dapat terjadi karena keputusan yang dibuat pemerintah pusat membutuhkan waktu lama untuk disosialisasikan, diketahui dan dilaksanakan pemerintah dan masyarakat di daerah.

2. Kesulitan dalam penegakan hukum karena kurangnya personel dan fasilitas untuk melakukan pengawasan dan pengendalian di lapangan. Jika pelanggaran hukum dapat diidentifikasi, masalah berikutnya yang timbul adalah lambatnya proses hukum serta peradilan untuk membuktikan apakah hukum telah dilanggar dan sanksi yang harus diberikan.

3. Kemampuan dan keberhasilan masyarakat untuk menghindar dari peraturan. Ini sering terjadi karena peraturan yang dibuat pemerintah pusat seringkali berhadapan dengan peraturan setempat, peraturan lokal yang informal atau adat dan budaya yang seringkali lebih kuat pengaruhnya sehingga lebih diutamakan.

4. Kebijakan yang tidak tepat dan jelas atau adanya kebijakan yang saling bertentangan.

5. Administrasi yang tidak efisien dalam bentuk biaya transaksi yang relatif tinggi untuk kegiatan yang tidak terkait langsung dengan pengelolaan sumberdaya perikanan, seperti biaya administrasi.

(11)

6. Wewenang yang terbagi-bagi kepada beberapa lembaga atau departemen. 7. Data dan informasi tidak (kurang) benar dan akurat.

8. Kegagalan dalam merumuskan keputusan pengelolaan. 2.2.2 Community-based Management dan Co-management

Co-management dapat didefinisikan sebagai kemitraan antara pemerintah,

masyarakat lokal, stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan serta institusi lainnya seperti NGO, peneliti, universitas yang melakukan pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang dalam mengelola sumberdaya pesisir dan lautan (Berkes et al. 2001). Menurut Pomeroy dan Berkes (1997), terdapat 10 tingkatan atau bentuk co-management yang dapat disusun dalam bentuk paling sedikit partisipasi masyarakat hingga yang paling tinggi partisipasi masyarakat. Bila suatu tanggung jawab dan wewenang masyarakat rendah pada suatu bentuk co-management maka tanggung jawab dan wewenang pemerintah akan tinggi dan begitupun sebaliknya. Adapun kesepuluh bentuk co-management tersebut antara lain:

1. Masyarakat hanya memberikan informasi kepada pemerintah dan informasi tersebut digunakan sebagai bahan perumusan pengelolaan.

2. Masyarakat dikonsultasi oleh pemerintah. 3. Masyarakat dan pemerintah saling bekerja sama. 4. Masyarakat dan pemerintah saling berkomunikasi. 5. Masyarakat dan pemerintah saling bertukar informasi.

6. Masyarakat dan pemerintah saling memberi nasihat dan saran. 7. Masyarakat dan pemerintah melakukan kegiatan atau aksi bersama. 8. Masyarakat dan pemerintah bermitra.

9. Masyarakat melakukan pengawasan terhadap peraturan yang dibuat oleh pemerintah.

10. Masyarakat lebih berperan dalam melakukan koordinasi antarlokasi atau antardaerah dan hal tersebut didukung oleh pemerintah.

Berkes et al. (2001) menjelaskan bahwa community-based management merupakan elemen inti dari co-management. Perbedaan mendasar antara

(12)

keterlibatan pemerintah dalam proses pengelolaan. Community-based

management berorientasi pada masyarakat, sedangkan co-management lebih

fokus pada sistem kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan stakeholder lainnya. Pemerintah mempunyai peranan kecil dalam community-based

management sedangkan dalam co-management menuntut peran pemerintah yang

aktif. Peranan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan perikanan antara lain memberikan dukungan kebijakan dan peraturan/perundang-undangan, seperti desentralisasi wewenang dan kekuasaan management, pembinaan partisipasi dan dialog, legitimasi hak-hak masyarakat, inisiatif dan intervensi, penegakan hukum, menangani masalah, koordinasi di berbagai tingkatan, dan pemberian bantuan keuangan dan teknis. Pemerintah memberikan legitimasi dan akuntabilitas untuk community-based management melalui co-management, dengan menetapkan hak dan kondisi sepadan sehingga tercipta strategi yang efektif dalam pengelolaan sumberdaya. Hanya pemerintah yang dapat melegalkan dan menjaga hak-hak pengguna sumberdaya di tingkat masyarakat.

Beberapa kelebihan co-management antara lain:

1. Lebih terbuka, transparan dan otonom dalam proses pengelolaan.

2. Lebih hemat dibandingkan dengan centralized system yang membutuhkan banyak administrasi dan penegakan hukum.

3. Bersifat adaptif, pelaksanaan kegiatan disesuaikan dengan kondisi yang ada dan pembelajaran sebelumnya.

4. Lebih dapat memaksimalkan kegunaan kearifan lokal sebagai informasi tentang sumberdaya dan pelengkap dalam scientific information untuk pengelolaan.

5. Dapat menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap sumberdaya.

6. Dapat meminimalkan konflik dan mempertahankan atau meningkatkan kohesi sosial dalam masyarakat.

2.3 Daerah Perlindungan Laut (DPL)

2.3.1 Pengertian, Maksud dan Tujuan Pembentukan DPL

Daerah perlindungan laut (DPL) merupakan salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. DPL didefinisikan sebagai no take zone area yang

(13)

dikelola oleh masyarakat lokal (Crawford et al. 2000), juga dapat difungsikan sebagai marine sanctuary atau fish sanctuary.

Pembentukan DPL dimaksudkan untuk (i) mengurangi kegiatan bersifat destruktif terhadap sumberdaya laut dan pesisir, khususnya terumbu karang dan mangrove, (ii) melindungi spesies langka dan habitatnya, (iii) dapat merehabilitasi sumberdaya laut akibat aktifitas yang merusak, dan (iv) mengembangkan kegiatan yang dapat meningkatkan perekonomian bagi masyarakat lokal (Salm et al. 2000). DPL atau no take marine protected areas didirikan sebagai bentuk pengelolaan perikanan dan untuk perlindungan biodiversity (Jones et al. 2007).

DPL secara khusus dapat ditetapkan di suatu kawasan yang aktifitas perikanannya sudah berlangsung lama dan habitat terumbu karangnya mungkin mulai rusak oleh aktifitas manusia. Perlindungan terhadap kawasan terumbu karang dari kegiatan penangkapan ikan dan aktifitas manusia lainnya akan memberikan kesempatan bagi terumbu karang dan organisme dasar laut lain yang sudah rusak atau binasa untuk kembali hidup dan berkembang biak. Kawasan terumbu karang yang kaya nutrisi menyediakan tempat hidup dan makanan bagi ikan untuk hidup, makan, tumbuh dan berkembang biak. Gambar 3 memperlihatkan contoh sketsa penerapan DPL.

Gambar 3. Contoh sketsa DPL di sekitar pulau kecil (Tulungen et al. 2002) 2.3.2 Indikator Keberhasilan Pengelolaan DPL

Langkah-langkah umum dari penetapan dan implementasi DPL-BM adalah: (i) tahap masuk ke masyarakat, persiapan dan penilaian; (ii) perencanaan

(14)

yang termasuk pembentukan kelompok inti, pemilihan lokasi perlindungan, pembentukan aturan, penentuan mekanisme pengelolaan dan pengaturan keuangan; (iii) peresmian melalui persetujuan sebuah aturan municipal, perencanaan dan penganggaran dan (iv) implementasi (Berkes et al. 2001).

Indikator keberhasilan pengelolaan DPL dapat dilihat dari (i) peningkatan sumberdaya dan diversitas dari ikan dan luasan tutupan karang, (ii) peningkatan persepsi/kesadaran masyarakat tentang pentingnya DPL yang akan merubah kebiasaan masyarakat yang bersifat merusak sumberdaya yang ada, (iii) pembentukan dan pengelolaan secara fisik dari fungsi DPL seperti pemasangan

marker buoys sepanjang batasan, tanda batas, management plan, kelembagaan,

dll, (iv) tingkat kesadaran untuk berperan dan (v) kesepakatan untuk memberdayakan masyarakat dalam mengelola sumberdaya laut mereka (Pollnac dan Crawford 2001).

Lebih lanjut, Pollnac dan Crawford (2001) menyampaikan dua faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL, yaitu faktor kontekstual dan faktor

project. Faktor kontekstual dibagi menjadi tiga kategori, yaitu (i) lingkungan dan

demografi, (ii) sosial ekonomi dan (iii) perekonomian secara umum dan kualitas hidup penduduk. Sedangkan faktor project dibagi menjadi dua kategori, yaitu (i) aspek fisik dari no take zone dan aktifitas project dan (ii) aspek partisipasi masyarakat dalam pengembangan no take zone. Sedangkan Alhanif (2007) menggunakan tiga kriteria yang merupakan gabungan dari berbagai sumber dan dimodifikasi, yaitu (i) lingkungan dan demografi, (ii) sosial-ekonomi dan (iii) faktor eksternal. Faktor eksternal ini meliputi komitmen dan dukungan dari pemerintah lokal serta dukungan data yang bersifat scientifik.

Sedangkan menurut Berkes et al. (2001), beberapa variabel yang mempengaruhi pengelolaan sumberdaya pesisir dan perikanan antara lain (i)

project variables, (ii) context variables (supra community dan community) dan

(iii) impact variables (intermediate dan ultimate impacts).

Project variables yang dapat digunakan dalam evaluasi dari implementasi project antara lain (i) partisipasi masyarakat dalam perencanaan, (ii) keberlanjutan

partisipasi dalam perencanaan dan implementasi, (iii) fleksibilitas dalam menjalankan project sebagaimana mestinya, (iv) tenaga fulltime sebagai pengelola

(15)

project dalam masyarakat, (v) identifikasi terhadap grup inti untuk pengembangan

kepemimpinan, (vi) pengembangan pendidikan masyarakat yang terkait dengan tujuan project, (vii) koordinasi antarpihak yang terlibat, (viii) komunikasi untuk memperjelas tujuan atau maksud dari project dan (ix) pendanaan yang cukup.

Context variables merupakan non-project variables yang dapat

diklasifikasikan menjadi tiga kategori atau level, yaitu supracommunity level,

level community dan household dan individual levels. Beberapa komponen paling

umum yang termasuk dalam supracommunity level antara lain pihak pusat, peraturan dan dukungan administratif dari pemerintah. Disamping hal tersebut,

supracommunity level ini dapat didukung antara lain institusi baik yang berasal

dari pemerintah maupun non pemerintah. Kadang kala, beberapa supracommunity tidak terkait langsung dengan nelayan, tetapi mereka memberikan pelayanan seperti pelatihan, informasi, pemasaran untuk masyarakat pesisir.

Supracommunity level lainnya yang dapat memberikan dukungan dalam

keberhasilan pengelolaan sumberdaya pesisir adalah aspek dari pemasaran tingkat regional, nasional dan internasional termasuk di dalamnya potensi untuk komersialisasi produk. Isu seperti permintaan dan harga dapat mempengaruhi penggunaan sumberdaya dan penegakan aturan. Sedangkan dilihat dari community

level, lebih banyak mengacu pada kondisi sosial dan lingkungan masyarakat.

Berkes et al. (2001) juga merangkum dari berbagai sumber terkait faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan sumberdaya pesisir dan perikanan pada

community level, antara lain: (i) krisis pemanfaatan sumberdaya, (ii) komposisi,

distribusi dan kegunaan dari spesies target, (iii) feature lingkungan yang mempengaruhi definisi batasan, (iv) teknologi yang digunakan untuk mengolah sumberdaya, (v) tingkat pengembangan masyarakat, (vi) tingkat sosial ekonomi dan cultural homogeneity masyarakat, (vii) tradisi kerjasama dan perkumpulan masyarakat, (viii) populasi dan perubahannya, (ix) tingkat integrasi dalam sistem ekonomi dan politik, (x) mata pencaharian dan tingkat komersialisasi serta ketergantungan terhadap sumberdaya, (xi) organisasi politik lokal, (xii) dukungan kepemimpinan lokal, (xiii) kualitas kepemimpinan lokal, (xiv) hak pemanfaatan sumberdaya dan sistem pengelolaannya baik formal maupun informal dan (xv) kearifan lokal. Pada tingkat individu dan rumah tangga (individual and household

(16)

level) mempunyai tanggung jawab dalam pengambilan keputusan untuk

melaksanakan kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya. Berkes et al. (2001) merangkum dari beberapa sumber tentang beberapa faktor pada tingkat individu dan rumah tangga yang dapat mempengaruhi keberhasilan project pengelolaan pesisir dan perikanan antara lain (i) pendidikan, (ii) pengalaman, (iii) ukuran dan luasan operasi, (iv) penggunaan teknologi, (v) nilai budaya, (vi) kepuasan pekerjaan, (vii) pengetahuan ekologi dan (viii) jenis mata pencaharian.

Impact variables dibedakan menjadi dua, yaitu pencapaian intermediate objectives dan ultimate objectives. Intermediate objectives meliputi pertimbangan

terhadap objek material (seperti perubahan ukuran jala dan organization building) dan nonmaterial (pelatihan, penguatan kelembagaan). Sedangkan untuk dampak yang kedua mempertimbangkan adanya perbaikan kondisi ekosistem sekitar. Beberapa contoh dari ultimate objectives ini antara lain peningkatan pendapatan penduduk, perubahan akses terhadap sumberdaya dan keberadaan sumberdaya. Keberlanjutan project dan biaya serta keuntungan yang didapat adanya project ini dapat dijadikan pertimbangan juga untuk penentuan kesuksesan suatu project. 2.3.3 Manfaat DPL

Bohnsack (1990) memberikan gambaran beberapa potensi keuntungan DPL yang meliputi (i) perlindungan terhadap biomassa stok ikan bertelur, (ii) menyediakan sumber perekrutan di sekitarnya, (iii) tambahan restocking daerah luar melalui emigrasi, (iv) pemeliharaan struktur umur, (v) pemeliharaan terhadap habitat yang terganggu/rusak, (vi) perlindungan keanekaragaman genetik intraspesifik, (vii) memberikan jaminan terhadap kekurangan dalam pengelolaan perikanan (viii) mengurangi kebutuhan pengumpulan data, (ix) penegakan hukum yang disederhanakan, dan (x) kemudahan pemahaman dan penerimaan publik terhadap pengelolaan, di antara sejumlah keuntungan insidental lainnya.

Terkait dengan pengelolaan DPL, terdapat pembelajaran dari pengelolaan DPL di Philiphina. Beberapa faktor keberhasilan pengelolaan DPL antara lain implementasi dari model yang tepat, keputusan kegiatan yang baik, partisipasi masyarakat dan dukungan yang cukup, pengembangan kemampuan masyarakat yang memadai, pemilihan lokasi yang benar, petunjuk yang jelas dan sah, adanya

(17)

dukungan dari pemimpin setempat, hubungan yang berlanjut antara masyarakat, dukungan sistem-sistem dan lembaga di tingkat lokal dan regional (Crawford et al. 2000).

Ketika suatu area ditetapkan sebagai no take zone, akan melindungi terumbu karang dari destructive extraction dan berfungsi baik sebagai spawning

ground, breeding dan nursery ground untuk ikan dan secara berkelanjutan dapat

meningkatkan ketersediaan juvenil dalam populasi. Pembelajaran dari Balicasag’s

sanctuary di Philiphina (8 ha), tutupan karang meningkat 119% dalam 5 tahun

setelah ditetapkan sebagai no take zone (Christie et al. 2002).

Adanya DPL juga dapat meningkatkan biomassa ikan di luar DPL dan hasil tangkapan penduduk. Russ et al. (2004) menemukan adanya peningkatan biomassa ikan Acanthuridae (surgeonfish) dan Carangidae (jacks) pada jarak 200-250 m dari batasan DPL Pulau Apo, Philiphina. Peningkatan tersebut terlihat sejak 8 tahun DPL dibentuk. Berdasarkan wawancara dengan penduduk, hasil tangkapan meningkat setelah adanya DPL (1985 – 2001) dibandingkan sebelumnya (1981).

Observasi Wantiez (1997) menunjukkan adanya peningkatan jumlah spesies, kepadatan dan biomassa ikan di 5 pulau di New Caledonia masing-masing sebesar 67%, 160% dan 246% setelah 5 tahun DPL dibentuk. Terdapat sembilan famili dari ikan major yang mengalami peningkatan densitas dan biomassa antara lain Plectropomus leopardus (Serranidae), Lutjanus fulviflamma (Lutjanidae), Lethrinus atkinsoni (Lethrinidae), Parupeneus ciliates (Mullidae),

Choerodon graphicus dan Hemigymnus melapterus (Labridae), Scarus schlegeli

dan Scarus sordidus (Scaridae), Naso unicornis (Acanthuridae) dan Siganus

doliatus (Siganidae).

Kepadatan ikan di Taman Nasional Tsitsikamma di Afrika Selatan (didirikan pada tahun 1964) diperkirakan 42 kali lebih tinggi dibandingkan dengan daerah penangkapan (Buxton dan Smale 1989). Sebuah penelitian di kawasan tersebut diperoleh data bahwa CPUE untuk empat spesies shorefish adalah 5-21 kali lebih besar daripada di daerah yang telah dieksploitasi (Cowley et al. 2002). Di Cagar Alam Scandola - Corsica, kepadatan ikan dari 11 spesies lima kali lebih tinggi ditemui pada lokasi yang dilindungi setelah 13 tahun

(18)

cagar alam tersebut didirikan (Francour 1991). CPUE untuk lobster di DPL Pulau

Columbretes Spanyol adalah 6-58 kali lebih besar daripada di area penangkapan (Goni et al. 2001).

Pada dasarnya, DPL akan menarik ikan dari daerah yang berdekatan sebagai tempat mencari makan dan berkembang biak, ikan-ikan kecil (juvenil) yang terbawa oleh arus selanjutnya menetap di kawasan DPL. Juvenil tersebut mulai membesar sehingga jumlah ikan yang menetap di DPL menjadi semakin padat. Hal ini mengakibatkan ikan-ikan yang berkembang di wilayah DPL mulai berenang dan menetap di luar wilayah DPL yang akhirnya akan ditangkap nelayan. Konsep ekologis penerapan DPL dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. DPL sebagai terumbu karang sumber dan penampung (Tulungen et al. 2002)

2.3.4 DPL Desa Mattiro Deceng

Berdasarkan Peraturan Desa Mattiro Deceng No. 01 Tahun 2007 tentang Daerah Perlindungan Laut (Lampiran 1), tujuan pembentukan DPL Desa Mattiro Deceng antara lain untuk (i) menghentikan dan/atau menanggulangi pengrusakan terhadap biota perairan desa, (ii) menjamin dan melindungi kondisi lingkungan dan sumberdaya perairan desa dan (iii) meningkatkan kemampuan dan

(19)

kemandirian masyarakat desa dalam menjaga dan memelihara sumberdaya perairan desa. Pembentukan DPL tersebut diharapkan dapat bermanfaat untuk (i) mempertahankan produksi ikan dalam DPL, (ii) menjaga keanekaragaman sumberdaya hayati perairan desa, (iii) tempat satwa dan/atau spesies langka bertelur dan mencari makan, (iv) laboratorium alam untuk penelitian, (v) sarana pendidikan pelestarian sumberdaya perairan desa dan (vi) tujuan wisata.

DPL Desa Mattiro Deceng terletak di Pulau Badi dengan luas 3.943 Ha. Kondisi tutupan karang tahun 2008 dan 2009 di kedalaman 3 m berturut-turut yaitu 42% (kategori sedang) dan 53% (kategori baik) (Prayudha dan Petrus 2008, COREMAP II 2009). Jenis karang batu yang banyak dijumpai di lokasi tersebut adalah Montipora sp., Seriatopora spp., Stylophora pistillata dan Porites spp.

Tahun 2008, ikan karang yang dijumpai adalah 61 spesies dari 14 famili dengan kelimpahan tertinggi ikan ekor kuning, Chromis ternatensis (Prayudha dan Petrus 2008). Kelimpahan ikan di DPL Pulau Badi adalah 319 ind/250 m2 pada tahun 2009 (COREMAP II 2009).

Indikator keberhasilan pengelolaan DPL Desa Mattiro Deceng adalah peningkatan kondisi ekologi terumbu karang di DPL meliputi peningkatan persentase tutupan karang hidup, kelimpahan ikan dan megabenthos. Indikator ekonomi dan sosial masyarakat belum dilakukan kajian tersendiri untuk melihat keberhasilan DPL.

Pengelolaan DPL Mattiro Deceng diharapkan dapat berjalan secara berkelanjutan. Suatu kegiatan dinyatakan berkelanjutan, apabila kegiatan pembangunan secara ekonomis, ekologis dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomis berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital (capital

maintenance) dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien.

Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity) sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara itu, berkelanjutan secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil

(20)

pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial dan pengembangan kelembagaan (Fauzi dan Anna 2003).

Gambar

Gambar 2. Bentuk-bentuk pertumbuhan karang (English et al. 1997)  Bentuk pertumbuhan karang non-Acropora terdiri atas:
Gambar 4. DPL sebagai terumbu karang sumber dan penampung                                     (Tulungen et al

Referensi

Dokumen terkait

berdasarkan parameter biofisik dan sosial ekonomi masyarakat, 2) Melihat faktor yang mempengaruhi keberhasilan/kegagalan pengelolaan kedua daerah perlindungan laut Kecamatan

Secara ekologi, perkembangan ikan karang disebabkan karena beberapa faktor, yaitu (1) mobilitas dan ukuran ikan, yaitu ikan karang umumnya relatif tidak

Sejalan dengan itu maka ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi untuk keberlanjutan pariwisata: (1) wisatawan mempunyai untuk mengkonsumsi produk dan jasa wisata secara

1) Bentuk bercabang (Coral Branching, CB). Bentuk atau tipe karang yang memiliki cabang dengan ukuran cabang lebih panjang dibandingkan dengan ketebalan atau

Terumbu karang adalah suatu ekosistem laut tropis yang dibentuk terutama oleh hewan karang (corals) penghasil kapur, khususnya jenis- jenis karang batu dan alga berkapur,

Jenis alat tangkap yang umum digunakan untuk menangkap ikan di daerah terumbu karang diantaranya adalah bubu, pancing, dan muroami. Beberapa tahun terakhir banyak ditemukan

Pemutihan dapat pula terjadi pada organisme-organisme bukan pembentuk terumbu karang seperti karang lunak (soft coral), anemon dan beberapa jenis kimia raksasa tertentu (Tridacna

Saefudin dan Marisa (1984) dalam Saefudin (2001) menjelaskan bahwa pendapatan rumah tangga merupakan total pendapatan dari setiap anggota rumah tangga dalam bentuk uang