• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kering hanya akan terdiri dari dua bagian, yaitu butir-butir tanah dan pori-pori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kering hanya akan terdiri dari dua bagian, yaitu butir-butir tanah dan pori-pori"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Tinjauan Umum

II.1.1. Tanah

Segumpal tanah dapat terdiri dari dua atau tiga bagian. Dalam tanah yang kering hanya akan terdiri dari dua bagian, yaitu butir-butir tanah dan pori-pori udara. Dalam tanah yang jenuh, tanah terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian padat atau butiran, pori-pori udara dan air pori. Bagian-bagian tanah dapat digambarkan dalam bentuk diagram fase, seperti yang ditunjukkan Gambar 2.1 .

Gambar 2.1 Diagram Fase Tanah

Gambar 2.1 (a) memperlihatkan elemen tanah yang mempunyai volume V dan berat total W, sedangkan Gambar 2.1 (b) memperlihatkan hubungan berat dan volumenya. Dari gambar tersebut dapat dibentuk persamaan berikut :

(2)

𝑊 = 𝑊𝑠+ 𝑊𝑤 (2.1)

dan

𝑉 = 𝑉𝑠+ 𝑉𝑤+ 𝑉𝑎 (2.2)

𝑉𝑣 = 𝑉𝑤 + 𝑉𝑎 (2.3)

dengan

𝑊𝑠 = berat butiran padat

𝑊𝑤 = berat air

𝑉𝑠 = volume butiran padat

𝑉𝑤 = volume air

𝑉𝑎 = volume udara

II.1.2. Sifat-sifat Fisik Tanah

II.1.2.1. Kadar Air (Moisture Water Content)

Kadar air tanah atau dapat dinotasikan menjadi 𝑤𝑠 dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara berat air (𝑊𝑤) dengan berat butiran (𝑊𝑠) dalam tanah tersebut yang dinyatakan dalam satuan persen. Kadar air tanah (𝑤𝑠) dapat dinyatakan dalam persamaan :

𝑤 (%) = 𝑊𝑤

(3)

II.1.2.2. Porositas (Porocity)

Porositas atau dapat dinotasikan menjadi 𝑛 dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara volume rongga (𝑉𝑣) dengan volume total (𝑉) dalam tanah tersebut yang dinyatakan dalam satuan persen maupun dalam bentuk desimal. Porositas tanah (𝑛) dapat dinyatakan dalam persamaan :

𝑛 = 𝑉𝑣

𝑉 𝑥 100 (2.5)

II.1.2.3. Angka Pori (Void Ratio)

Angka Pori atau dapat dinotasikan menjadi 𝑒 dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara volume rongga (𝑉𝑣) dengan volume butiran (𝑉𝑠) dalam tanah tersebut yang dinyatakan dalam satuan desimal. Angka Pori tanah (𝑒) dapat dinyatakan dalam persamaan :

𝑒 = 𝑉𝑣

𝑉𝑠 (2.6)

II.1.2.4. Berat Volume Basah (Wet Volume Weight)

Berat Volume Basah atau dapat dinotasikan menjadi 𝛾𝑏 dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara berat butiran tanah termasuk air dan udara (𝑊) dengan volume total tanah (𝑉). Berat Volume Tanah (𝛾𝑏) dapat dinyatakan dalam persamaan :

𝛾𝑏 = 𝑊

(4)

II.1.2.5. Berat Volume Kering (Dry Volume Weight)

Berat Volume Kering atau dapat dinotasikan menjadi 𝛾𝑑 dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara berat butiran tanah (𝑊𝑠) dengan volume total tanah (𝑉). Berat Volume Tanah (𝛾𝑏) dapat dinyatakan dalam persamaan :

𝛾𝑑 = 𝑊𝑠

𝑉 (2.8)

II.1.2.6. Berat Volume Butiran Padat (Soil Volume Weight)

Berat Volume Butiran Padat atau dapat dinotasikan menjadi 𝛾𝑠 dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara berat butiran tanah (𝑊𝑠) dengan volume butiran tanah padat (𝑉𝑠). Berat Volume Butiran Padat (𝛾𝑠) dapat dinyatakan dalam persamaan :

𝛾𝑠 = 𝑊𝑠

𝑉𝑠 (2.9)

II.1.2.7. Berat Jenis (Specific Gravity)

Berat Jenis Tanah atau dapat dinotasikan menjadi 𝐺𝑠 dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara berat volume butiran tanah (𝛾𝑠) dengan berat volume air (𝛾𝑤) dengan isi yang sama pada temperatur tertentu. Nilai suatu Berat jenis tanah tidak memiliki satuan (tidak berdimensi). Berat jenis tanah (𝐺𝑠) dapat dinyatakan dalam persamaan :

𝐺𝑠 = 𝛾𝑠

(5)

Adapun penilaian serta batas-batas besaran Berat Jenis Tanah dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Berat Jenis Tanah Macam Tanah Berat Jenis

Kerikil 2,65 - 2,68

Pasir 2,65 - 2,68

Lanau tak organik 2,62 - 2,68 Lempung organik 2,58 - 2,65 Lempung tak organik 2,68 - 2,75

Humus 1,37

Gambut 1,25 - 1,80

sumber : Hardiyatmo, H.C., 2002, Mekanika Tanah 1, hal 5

II.1.2.8. Derajat Kejenuhan (S)

Derajat Kejenuhan suatu tanah atau dapat dinotasikan menjadi 𝑆 dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara volume air (𝑉𝑤) dengan volume total rongga pori tanah (𝑉𝑣). Bila tanah dalam keadaan jenuh, maka 𝑆 = 1. Derajat kejenuhan suatu tanah (𝑆) dapat dinyatakan dalam persamaan :

𝑆 (%) = 𝑉𝑤

𝑉𝑣 𝑥 100 (2.11)

Batas-batas nilai dari Derajat Kejenuhan tanah dapat dilihat pada Tabel 2.2.

(6)

Tabel 2.2 Derajat Kejenuhan dan Kondisi Tanah Keadaan Tanah Derajat Kejenuhan

Tanah kering 0

Tanah agak lembab > 0 - 0,25

Tanah lembab 0,26 - 0,50

Tanah sangat lembab 0,51 - 0,75

Tanah basah 0,76 - 0,99

Tanah jenuh 1

sumber : Hardiyatmo, H.C., 2002, Mekanika Tanah 1, hal 5

II.1.2.9. Batas-batas Atterberg (Atterberg Limit)

Suatu hal yang penting pada tanah berbutir halus adalah sifat plastisitasnya. Plastisitas disebabkan oleh adanya partikel mineral lempung dalam tanah yang dapat digambarkan sebagai kemampuan tanah dalam menyesuaikan perubahan bentuk pada volume yang konstan tanpa adanya retak ataupun remuk.

Plastisitas suatu tanah bergantung pada kadar airnya sehingga tanah memungkinkan menjadi berbentuk cair, plastis, semi padat atau padat. Konsistensi suatu tanah bergantung pada gaya tarik antara partikel mineral lempungnya.

Atterberg (1911) memberikan cara untuk menggambarkan batas-batas konsistensi dari tanah berbutir haslu dengan mempertimbangkan kandungan kadar

(7)

airnya. Batas-batas tersebut adalah batas cair, batas plastis dan batas susut. Hal ini dapat dilihat dalam Gambar 2.2 .

Gambar 2.2. Batas-batas Atterberg

II.1.2.9.1. Batas Cair (Liquid Limit)

Batas cair (Liquid Limit) dapat didefinisikan sebagai kadar air tanah pada batas antara keadaan cair dan keadaan plastis yakni batas atas dari daerah plastis. Batas cair ditentukan dari pengujian Casagrande (1948), yakni dengan menggunakan cawan yang telah dibentuk sedemikian rupa yang telah berisi sampel tanah yang telah dibelah oleh grooving tool dan dilakukan dengan pemukulan sampel dengan jumlah dua sampel dengan pukulan diatas 25 pukulan dan dua sampel dengan pukulan dibawah 25 pukulan sampai tanah yang telah dibelah tersebut menyatu. Hal ini dimaksudkan agar mendapatkan persamaan sehingga didapatkan nilai kadar air pada 25 kali pukulan.

(8)

II.1.2.9.2. Batas Plastis (Plastic Limit)

Batas plastis (Plastic Limit) dapat didefinisikan sebagai kadar air tanah pada kedudukan antara daerah plastis dan semi padat, yaitu persentase kadar air di mana tanah dengan diameter silinder 3,2 mm mulai mengalami retak-retak ketika digulung.

II.1.2.9.3. Batas Susut (Shrinkage Limit)

Batas susut (Shrinkage Limit) dapat didefinisikan sebagai kadar air tanah pada kedudukan antara daerah semi padat dan padat, yaitu persentase kadar air di mana pengurangan kadar air selanjutnya mengakibatkan perubahan volume tanahnya. Percobaan batas susut dilaksanakan dalam laboratorium dengan cawan porselin diameter 44,4 mm dengan tinggi 12,7 mm. Bagian dalam cawan dilapisi oleh pelumas dan diisi dengan tanah jenuh sempurna yang kemudian dikeringkan dalam oven. Volume ditentukan dengan mencelupkannya dalam air raksa. Batas susut dapat dinyatakan dalam persamaan

𝑆𝐿 = �(𝑚1−𝑚2)

𝑚2 −

(𝑣1−𝑣2)𝛾𝑤

𝑚2 � 𝑥 100 % (2.12)

dengan

𝑚1 = berat tanah basah dalam cawan percobaan (gr)

𝑚2 = berat tanah kering oven (gr)

(9)

𝑣2 = volume tanah kering oven (𝑐𝑚3)

𝛾𝑤 = berat jenis air

II.1.2.9.4. Indeks Plastisitas (Plasticity Index)

Indeks Plastisitas (PI) adalah selisih batas cair dan batas plastis. Adapun rumusan dalam menghitung besaran nilai indeks plastisitas adalah sesuai dengan persamaan 2.13 , seperti yang ditunjukkan pada rumusan dibawah.

PI = LL - PL (2.13)

Indeks plastisitas akan merupakan interval kadar air di mana tanah masih bersifat plastis. Karena itu, indeks plastisitas menunjukkan sifat keplastisitasan tanah tersebut. Jika tanah mempunyai interval kadar air daerah plastis yang kecil, maka keadaan ini disebut dengan tanah kurus, kebalikannya jika tanah mempunyai interval kadar air daerah plastis yang besar disebut tanah gemuk.

Tabulasi klasifikasi jenis tanah jika dilakukan peninjauan dari besaran Indeks Plastisitasnya dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Indeks Plastisitas Tanah

PI Sifat Macam tanah Kohesi

0 Non - Plastis Pasir Non - Kohesif

< 7 Plastisitas Rendah Lanau Kohesif Sebagian 7 - 17 Plastisitas Sedang Lempung berlanau Kohesif

> 17 Plastisitas Tinggi Lempung Kohesif

(10)

II.1.2.10. Klasifikasi Tanah

Klasisfikasi tanah sangat membantu perencana dalam memberikan pengarahan melalui cara empiris yang tersedia dari hasil pengalaman yang lalu. Tetapi perencana harus berhati-hati dalam penerapannya karena penyelesaian masalah stabilitas, penurunan dan aliran air yang didasarkan pada klasifikasi tanah sering menimbulkan kesalahan yang berarti.

Kebanyakan klasifikasi tanah menggunakan indeks tipe pengujian yang sangat sederhana untuk menentukan karakteristik tanahnya. Karakteristik tersebut digunakan untuk menentukan kelompok klasifikasinya. Umumnya klasifikasi tanah didasarkan atas ukuran partikel yang diperoleh dari analisa saringan dan plastisitasnya. Sekarang, terdapat dua sistem klasifikasi yang dapat digunakan yaitu Unified Soil Classification System dan AASHTO.

II.1.2.10.1. Sistem Klasifikasi Unified

Pada sistem Unified, suatu tanah diklasifikasikan ke dalam tanah berbutir kasar (kerikil dan pasir) jika lebih dari 50 % tinggal dalam saringan nomor 200 dan sebagai tanah berbutir halus (lanau dan lempung) jika lebih dari 50 % lewat saringan nomor 200. Simbol-simbol yang digunakan dalam sistem klasifikasi ini diantaranya :

G = kerikil (gravel)

(11)

C = lempung (clay)

M = lanau (silt)

O = lanau atau lempung organic (organic silt or clay)

Pt = gambut (peat)

W = bergradasi baik (well-graded)

P = bergradasi buruk (poor-graded)

H = plastisitas tinggi (high-plasticity)

(12)
(13)

II.1.2.10.2. Sistem Klasifikasi AASHTO

Sistem AASHTO (American Association of State Highway Transportation Official) berguna untuk menentukan kualitas tanah guna perencanaan timbunan jalan, subbase dan subgrade. Sistem AASHTO membagi tanah ke dalam 7 kelompok, A-1 sampai dengan A-7. Tanah dalam tiap kelompok dievaluasi terhadap indeks kelompoknya yang dihitung dalam rumus empiris. Pengujian yang digunakan hanya berupa analisa saringan dan nilai batas-batas Atterberg.

Gambar 2.4. Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO

II.1.3. Sifat-sifat Mekanis Tanah

II.1.3.1. Pemadatan Tanah (Compaction)

Peristiwa bertambahnya berat volume kering oleh beban dinamis disebut dengan pemadatan. Pemadatan tanah dapat dimaksudkan untuk mempertinggi kuat geser tanah, mengurangi sifat mudah mampat (kompresibilitas), mengurangi

(14)

permeabilitas serta dapat mengurangi perubahan volume sebagai akibat perubahan kadar air dan lainnya.

Pada tanah granuler dipandang paling mudah penanganannya untuk pekerjaan di lapangan. Material ini mampu memberikan kuat geser yang tinggi dengan sedikit perubahan volume sesudah dipadatkan.

Pada tanah lanau yang dipadatkan umumnya akan stabil dan mampu memberikan kuat geser yang cukup dan sedikit kecenderungan mengalami perubahan volume. Namun tanah lanau sangat sulit dipadatkan bila dalam keadaan basah karena permeabilitasnya rendah.

Tanah lempung yang dipadatkan dengan cara yang benar akan memberikan kuat geser yang tinggi. Stabilitas terhadap sifat kembang-susut tergantung dari jenis kandungan mineralnya. Lempung padat mempunyai permeabilitas yang rendah dan tanah ini tidak dapat dipadatkan dengan baik dalam kondisi basah.

Proctor (1933) mengamati bahwa ada hubungan yang pasti antara kadar air dan berat volume kering supaya tanah padat. Selanjutnya terdapat satu nilai kadar air optimum tertentu untuk mencapai nilai berat volume kering maksimumnya. Derajat kepadatan tanah diukur dari berat volume keringnya. Hubungan berat volume kering (𝛾𝑑) dengan berat volume basah (𝛾𝑏) dan kadar air (%) dinyatakan dalam persamaan :

(15)

Dalam pengujian di laboratorium alat pemadatan berupa silinder mould yang mempunyai volume 9,44 x 10−4 𝑚3. Tanah dipadatkan di dalam mould dengan menggunakan penumbuk dengan berat 2,5 kg dengan tinggi jatuh 30,5 cm. Tanah dipadatkan dalam 3 lapisan (standart proctor) dan 5 lapisan (modified proctor) dengan pukulan sebanyak 25 kali pukulan.

Dari pengujian di laboratorium akan didapat hasil berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air dan berat volume kering tanah yang ditunjukkan oleh Gambar.

Gambar 2.5. Hubungan antara kadar air dan berat isi kering tanah

II.1.3.2. Pengujian Triaxial (Triaxial Test)

Pengujian triaxial dapat dilaksanakan dengan tiga cara, yakni :

a) Pengujian dengan cara Unconsolidated Undrained ( UU Test ) b) Pengujian dengan cara Consolidated Undrained ( CU Test ) c) Pengujian dengan cara Consolidated Drained ( CD Test )

Pengujian dengan cara Unconsolidated-Undrained Test atau dengan Quick Test (pengujian cepat), dimana benda uji mula-mula dibebani dengan penerapan

(16)

tegangan sel (tegangan keliling) kemudian dibebani dengan beban normal melalui penerapan tegangan deviator sampai mencapai keruntuhan. Pada penerapan tegangan deviator selama penggeserannya, tidak diizinkan air keluar dari benda ujinya. Jadi, selama pengujian, katup drainase ditutup. Karena pada pengujiannya air tak diizinkan mengalir ke luar, beban normal tidak ditransfer ke butiran tanahnya. Keadaan tanpa drainase ini menyebabkan adanya tekanan kelebihan tekanan pori dengan tidak ada tahanan geser hasil perlawanan dari butiran tanahnya.

Pengujian dengan cara Consolidated-Undrained Test, dimana benda uji mula-mula dibebani dengan tegangan sel tertentu dengan mengizinkan air mengalir ke luar sampai konsolidasi selesai. Tegangan deviator kemudian diterapkan dengan drainase dalam keadaan tertutup sampai benda uji mengalami keruntuhan. Karena katup drainase tertutup, volume tidak akan berubah selama penggeserannya. Pada pengujian dengan acara ini, akan terjadi kelebihan tekanan air pori dalam benda ujinya. Pengukuran tekanan air pori dapat dilakukan selama pengujian berlangsung.

Pengujian dengan cara Consolidated-Drained, dimana mula-mula tegangan sel tertentu diterapkan pada benda uji dengan katup drainase terbuka sampai konsolidasi selesai. Kemudian, pada benda uji dengan katup drainase terbuka sampai konsolidasi selesai. Kemudian dengan katup drainase tetap terbuka, tegangan deviator diterapkan dengan kecepatan yang rendah sampai benda uji runtuh. Kecepatan pembebanan yang rendah dimaksudkan agar dapat menjamin tekanan air pori nol selama proses penggeserannya. Pada kondisi ini seluruh tegangan selama proses pengujian ditahan oleh gesekan antar butirannya.

(17)

Pada Tabel 2.4 dapat dilihat klasifikasi tanah yang dibuat dengan peninjauan dari nilai sudut geser dalam tanahnya.

Tabel 2.4. Nilai-nilai estimasi sudut geser dalam dari hasil uji Triaxial (Bowles, 1977)

Jenis Tanah Macam Pengujian Triaxial

UU CU CD Kerikil Ukuran sedang 40 - 55 - 40 - 55 Berpasir 35 - 50 - 35 - 50 Pasir

Kering & tidak padat 28 - 34 - - Jenuh & tidak padat 28 - 34 - -

Kering & padat 35 - 46 - 43 - 45

Jenuh & padat 1 - 2 - 43 - 50

Lanau/pasir berlanau Tidak padat 20 -22 - 27 - 30 Padat 25 -30 - 30 - 35

Lempung 0 (jika Jenuh) 14 - 20 20 - 42

(18)

II.2. Bahan-bahan Penelitian II.2.1. Tanah Lempung

Beberapa sumber dari penulis buku mengatakan tentang definisi tanah lempung antara lain:

1. Das (1998), mendefinisikan bahwa tanah lempung merupakan tanah dengan ukuran mikrokronis sampai dengan sub-mikrokronis yang berasal dari pelapukan unsur-unsur kimiawi penyusun batuan. Tanah lempung sangat keras dalam keadaan kering dan bersifat plastis pada kadar air sedang. Pada keadaan air lebih tinggi lempung bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak. 2. Bowles (1986), mendefinisikan bahwa tanah lempung sebagai deposit yang

mempunyai partikel yang berukuran kecil atau sama dengan 0,002 mm dalam jumlah lebih dari lima puluh persen.

Mineral lempung merupakan senyawa aluminium silikat yang kompleks yang terdiri dari satu atau dua unit dasar yaitu silica tetrahedra dan aluminium oktahedra. Setiap unit tetrahedra terdiri dari empat atom oksigen yang mengelilingi satu atom silikon. Kombinasi dari unit-unit silica tetrahedra tersebut membentuk lembaran silika (silica sheet). Sedangkan unit oktahedra terdiri dari enam gugus ion hidroksil (OH) yang mengelilingi atom aluminium dan kombinasi dari unit-unit hidroksi aluminium berbentuk oktahedra itu membentuk lembaran oktahedra (lembaran gibbsite / gibbsite sheet). Pada sebuah lembaran silika, setiap atom silikon yang bermuatan positif dan bervalensi empat dihubungkan dengan empat atom oksigen yang bermuatan negatif dengan valensi total delapan. Tetapi setiap atom oksigen pada dasar tetrahedral itu dihubungkan dengan dua

(19)

atom silikon lainnya. Ini berarti bahwa atom-atom oksigen disebelah atas dari unit-unit tetrahedra mempunyai kelebihan valensi (negatif) sebesar satu dan harus diseimbangkan. Bila lembaran silika itu ditumpuk di atas lembaran oktahedra, atom-atom oksigen tersebut akan menggantikan posisi ion hidroksil pada oktahedra untuk memenuhi keseimbangan muatan mereka.

(20)

( a ) ( b )

( c ) ( d )

( e )

Gambar 2.7. Struktur Atom Mineral Lempung ( a ) silica tetrahedra ; ( b ) silica sheet ;

( c ) aluminium oktahedra ; ( d ) lembaran oktahedra (gibbsite) ; ( e ) lembaran silika - gibbsite

(21)

II.2.2. Semen

Semen berasal dari bahasa latin “cementum”, dimana kata ini mula-mula dipakai oleh bangsa Roma yang berarti bahan atau ramuan pengikat. Dengan kata lain semen dapat didefinisikan adalah suatu bahan perekat yang berbentuk serbuk halus, bila ditambahkan air akan terjadi reaksi hidrasi sehingga dpat mengeras dan digunakan sebagai pengikat (mineral glue). Pada mulanya semen digunakan orang-orang Mesir Kuno untuk membangun piramida yaitu sejak abad ke-5 dimana batu batanya satu sama lain terikat kuat dan tahan terhadap cuaca selama berabad-abad. Bahan pengikat ini ditemukan sejak manusia mengenal api karena mereka membuat api di gua-gua dan bila api kena atap gua maka akan rontok berbentuk serbuk. Serbuk ini bila kena hujan menjadi keras dan mengikat batu-batuan disekitarnya dan dikenal orang sebagai batu masonry.

II.2.2.1. Bahan-bahan Pembuatan Semen

Bahan mentah yang digunakan dalam pembuatan semen adalah batu kapur, pasir silica, tanah liat dan pasir besi. Total kebutuhan bahan mentah yang digunakan untuk memproduksi semen yaitu :

1. Batu Kapur digunakan ± 81 %

Batu kapur merupakan sumber utama oksida yang mempunyai rumus CaCO3

(Calcium Carbonat). Pada umumnya tercampur MgCO3 dan MgSO4. Batu kapur

(22)

2. Pasir Silika digunakan ± 9 %

Pasir Silika memiliki rumus SiO2 (Silicon Dioksida). Pada umumnya pasir

silika terdapat bersama oksida logam lainnya, semakin murni kadar SiO2 maka

semakin berwarna merah atau coklat, disamping itu semakin mudah menggumpal karena kadar airnya tinggi. Pasir silika yang baik untuk pembuatan semen adalah dengan kadar SiO2 ± 90%.

3. Tanah Liat digunakan sebanyak ± 9%

Rumus kimia tanah liat yang digunakan pada produksi semen adalah SiO2Al2O3.2H2O . Tanah liat yang baik untuk digunakan memiliki kadar air

±20%, kadar air SiO2 tidak terlalu tinggi ±46%.

4. Pasir besi digunakan sebanyak ± 1%

Pasir besi memiliki rumus kimia Fe2O3 (Ferri Oksida) yang pada umumnya

selalu tercampur dengan SiO2 dan TiO2 sebagai impuritiesnya. Fe2O3 berfungsi

sebagai penghantar panas dalam proses pembuatan terak semen. Kadar yang baik dalam pembuatan semen yaitu Fe2O3 ±75% - 80% . Pada penggilingan akhir

(23)

II.2.2.2. Jenis-jenis Semen

Umumnya jenis semen yang dikenal saat ini antara lain sebagai berikut :

1. Semen Portland (Portland Cement)

Semen Portland merupakan semen hidrolis yang dihasilkan dengan jalan menghaluskan terak yang mengandung senyawa-senyawa kalsium silikat dan biasanya juga mengandung satu atau lebih senyawa-senyawa kalsium sulfat yang ditambahkan pada pengggilingan akhir. Semen Portland adalah semen yang diperoleh dengan menghaluskan terak yang terutama terdiri dari silikat-silikat, kalsium yang bersifat hidrolis bersama bahan tambahan biasanya gypsum

Tipe-tipe semen Portland ada lima, diantaranya : a. Tipe I (Ordinary Portland Cement)

Semen Portland tipe ini digunakan untuk segala macam konstruksi apabila tidak diperlukan sifat-sifat khusus, misalnya tahan terhadap sulfat, panas hiderasi dan sebagainya. Semen ini mengandung 5 % MgO dan 2,5-3% SO3.

b. Tipe II (Moderate Heat Portland Cement)

Semen Portland tipe ini digunakan untuk bahan konstruksi yang memerlukan sifat khusus tahan terhadap sulfat dan panas hiderasi yang sedang. Biasanya digunakan untuk daerah pelabuhan dan bangunan sekitar pantai. Semen ini mengandung 20% SiO2, 6% Al2O3, 6% Fe2O3 , 6%MgO , dan 8% C3A.

c. Tipe III (High Early Strength Portland Cement)

Semen ini merupakan semen yang digunakan biasanya dalam keadaan-keadaan darurat dan musim dingin. Digunakan juga pada pembuatan beton tekan.

(24)

Semen ini memiliki kadungan C3S yang lebih tinggi dibandingkan Semen

Portland tipe I dan II sehingga proses pengerasan terjadi lebih cepat dan cepat mengeluarkan kalor. Semen ini tersusun dari 3,5-45 Al2O3, 6% Fe2O3, 35% C3S,

6% MgO, 40% C2S dan 15% C3A.

d. Tipe IV (Low Heat Portland Cement)

Semen tipe ini digunakan pada bangunan dengan tingkat panas hiderasi yang rendah misalnya pada bangunan beton yang besar dan tebal. Baik sekali untuk mencegah keretakan. Low Heat Portland Cement ini memiliki kandungan C3S dan

C3A lebih rendah sehingga kalor yang dilepas lebih rendah. Semen ini tersusun

dari 6,5% MgO, 2,3% SO3, dan 7% C3A.

e. Tipe V (Super Sulphated Cement)

Semen yang sangat tahan terhadap pengaruh sulphat misalnya pada tempat pengeboran lepas pantai, pelabuhan dan terowongan. Komposisi komponen utamanya adalah slag tanur tinggi dan kandungan aluminanya yang tinggi. Semen ini tersusun dari 5% terak Portland Cement, 6% MgO, 2,3% SO2 dan 5% C3A.

2. Semen Putih

Portland cement yang memiliki warna keabu-abuan. Warna ini disebabkan oleh kandungan oksida silika pada Portland Cement tersebut. Jika kandungan oksida silica tersebut dikurangi 0,4% maka warna semen Portland berubah menjadi warna putih.

(25)

3. Semen Masonry

Semen Masonry dibuat dengan menggiling campuran terak semen Portland dengan batu kapur, batu pasir atau slag dengan perbandingan 1:1 .

4. Semen Sumur Minyak (Oil Well Cement)

Semen ini digunakan pada temperatur dan tekanan tinggi, sering dijumpai pada penggunaan pengeboran minyak atau digunakan untuk pengeboran air tanah artesis. Semen ini merupakan semen Portland yang dicampur dengan retarder untuk memperlambat pengerasan semen seperti lignin, asam borat, casein dan gula.

5. Semen Alami (Natural Cement)

Semen ini dihasilkan dari kerang batu kapur yang mengandung tanah liat seperti komposisi semen di alam. Material ini dibakar sampai suhu pelelehannya hingga menghasilkan terak. Kemudian terak tersebut digiling menjadi semen halus. Dalam pemakaiannya dicampur dengan semen Portland.

6. Semen Alumina Tinggi (High Alumina Cement)

Semen yang memiliki kandungan alumina tinggi, dimana perbandingan antara kapur dan alumina adalah sama. Semen ini dibuat dengan mencampur kapur, silika dan oksida silika yang dibakar hingga meleleh dan kemudian hasilnya didinginkan lalu digiling hingga halus. Ciri dari semen ini memiliki ketahanan terhadap air yang mengandung sulfat dan air laut cukup tinggi.

(26)

7. Semen Pozzolona

Semen ini mengandung senyawa silika dan alumina dimana bahan pozzolona sendiri tidak memiliki sifat seperti semen, akan tetapi bentuk halusnya dan dengan adanya air, senyawa-senyawa tersebut membentuk kalsium aluminat hidrat yang bersifat hidraulis.

8. Semen Trass

Semen yang dihasilkan dengan menggiling campuran antara 60% - 80% trass atau tanah yang berasal dari debu gunung berapi yang serupa dengan pozzolona dengan menambah CaSO4.

9. Semen Slag (Slag Cement)

Semen slag ini dikenal 2 macam tipe, yaitu : • Eisen Portland Cement

Semen yang dihasilkan dari penggilingan campuran 60% terak Portland dan 40% butir-butir slag tanur tinggi.

• High Often Cement

Semen yang dihasilkan dari penggilingan campuran yang mengandung 15% - 19% terak Portland Cement dan 41% - 85 % butir-butir slag dengan penambahan CaSO4.

(27)

II.2.3. Fly Ash

Fly Ash adalah material yang sangat halus serta mempunyai gradasi yang seragam yang berasal dari sisa pembakaran besi baja atau batu bara. Sekitar 80 % abu yang terbentuk dari pembakaran batu bara keluar dari tungku pembakaran, ada yang melalui cerobong asap yang disebut fly ash dan ada sisa kasar pembakaran batu bara pada dasar tungku disebut bottom ash. Fly ash termasuk material yang disebut dengan pozzolanic material karena fly ash mengandung bahan pozzolan yaitu Silica (SiO2) , Besi Oksida (Fe2O3) , Aluminium Oksida

(Al2O3) , Calsium Oksida (CaO) , Magnesium Oksida (MgO) dan Sulfat (SO4) .

Mutu dari fly ash beragam, hal ini bergantung pada : • Mutu dan jenis batu bara

• Efisiensi pembakaran dan kehalusan serbuk batu bara • Dimensi tungku pembakaran

• Cara penangkapan fly ash dari pembakaran

II.2.3.1. Analisa Unsur Kimia Fly Ash

Menurut Davidson (1961) hasil analisa kimia dari fly ash memiliki ukuran yang berbeda-beda dan unsur-unsur yang tidak terbakar seperti : SiO2, Al2O3 dan

Fe2O3 cenderung berada pada partikel yang berukuran halus, sedangkan

unsur-unsur karbon yang ada pada umumnya ditentukan oleh “Loss of ignition” lebih dominan pada partikel kasar, sehingga persentase berat yang lolos ayakan No. 325 (ASTM) pada umumnya dapat dipakai sebagai indikator kadar karbon.

(28)

II.2.3.2. Sifat Fisik dan Karakterikstik Kimia Fly Ash

Ukuran dan bentuk karakteristik partikel fly ash tergantung dari tempat asal dan kesamaan dari batu bara, derajat penghacuran sebelum dibakar, pembakaran yang merata dan tipe sistem padat yang berlubang disebut cenosphere dan yang berbentuk bulat yang mengandung lebih sedikit fly ash disebut plerosphere. Proses pembakaran batu bara memegang peranan yang sangat penting sebab fly ash yang dihasilkan akan semakin baik apabila proses pembakarannya semakin sempurna. Fly ash akan berwana kehitam-hitaman jika dilakukan dalam pembakaran dengan suhu pembakaran kurang dari 1000𝑜C (pembakaran tidak sempuran) dan akan berwana keabu-abuan jika dilakukan pembakaran dengan suhu pembakaran pada suhu 1000𝑜C (pembakaran sempuran). Pembakaran yang tidak sempurna akan menghasilkan fly ash yang kehitam-hitaman, hal ini disebabkan kandungan karbon yang terdapat dalam fly ash masih banyak yang belum terbakar.

II.2.3.3. Klasifikasi Fly Ash

Menurut ASTM C618- 96 ada tiga klasifikasi abu layang batubara (fly ash) yaitu :

• Fly ash kelas F : merupakan fly ash yang diproduksi dari pembakaran batubara antrasit atau bituminus dan mempunyai sifat pozzolanic. Fly ash kelas F ini kadar kapurnya rendah (CaO < 10%) sedangkan kadar (SiO2 +

(29)

• Fly ash kelas C : diproduksi dari pembakaran batubara lignit atau sub-bituminus. Mempunyai sifat pozolanic dan sifat self-cementing, sifat ini timbul tanpa penambahan kapur. Fly ash kelas C mengandung kapur (CaO) > 20% dan kadar (SiO2 + Al2O3 + Fe2O3) > 50%.

• Fly ash kelas N : merupakan buangan atau pozzolan alam terkalsinasi seperti beberapa tanah diatomaceous , opalinse chert dan debu-debu vulkanik serta bahan- bahan lainnya yang mungkin masih dalam proses kalsinasi (Wardani, 2008).

Tiap elemen dalam fly ash memiliki sifat yang berbeda-beda. Elemen-elemen utama dari abu layang dibedakan dalam tiga kelompok sebagai berikut: 1. Oksida logam asam, antara lain: SiO2, Al2O3 , dan TiO2

2. Oksida logam basa, antara lain: Fe2O3 , CaO, MgO, K2O dan Na2O.

3. Unsur-unsur lain, seperti P2O5 , SO3, sisa karbon dan beberapa unsur lain

II.2.3.4. Pengaruh Fly Ash Terhadap Tanah Lempung

Pada campuran antara fly ash dengan tanah lempung terjadi reaksi yang dikenal dengan reaksi Pozzolanic. Reaksi pozzolanic merupakan reaksi yang terjadi antara unsur kalsium dengan silika dan aluminium sehingga membentung cementing agent. Cementing agent merupakan suatu massa yang keras dan kaku. Kecepatan reaksi pozzolanic tidak hanya bergantung pada waktu tetapi juga dipengaruhi oleh konsentrasi bahan-bahan yang bereaksi dan juga temperaturnya.

(30)

Reaksi pozzalonic terjadi akibat adanya ion hidroksil (OH) pada permukaan tanah lempung. Hidroksil ini sangat besar kemampuannya untuk melepaskan diri dari partikel lempung seperti yang terlihat pada reaksi di bawah ini :

H2O

SiOH 𝑆𝑖𝑂− + 𝐻+

Penambahan fly ash akan memperkaya kandungan Alumina dan Silica pada tanah karena gradasi fly ash lebih besar dari tanah liat, maka penambahan fly ash juga akan membuat tanah lempung mempunyai gradasi yang lebih baik sehingga mudah diolah (Workability meningkat). Panas yang dihasilkan fly ash dapat mengurangi kadar air pada tanah basah. Tanah lempung dengan kandungan pozzolan yang sangat baik bereaksi dengan fly ash untuk membentuk suatu massa yang keras dan kaku.

II.3. Stabilisasi Tanah

Stabilisasi tanah adalah suatu upaya untuk memperbaiki atau memperkuat suatu tanah agar tanah tersebut sesuai dengan persyaratan yang diinginkan dengan mutu yang baik. Hal ini juga dapat dimaksudkan agar tanah dapat meningkat daya dukungnya sehingga mampu memikul beban konstruksi yang berada diatasnya.

Tanah menurut klasifikasinya dapat dibagi menjadi beberapa jenis diantaranya adalah tanah lempung, yakni tanah dengan ukuran partikel kurang

(31)

dari 0,002 mm. Tanah lempung adalah salah satu jenis tanah yang sering dilakukan proses stabilisasi. Hal ini dikarenakan lempung memiliki sifat yakni jika basah akan bersifat lunak plastis dan kohesif, mengembang dan menyusut dalam jangka waktu yang relatif cepat sehingga mempunyai pengaruh perubahan volume yang besar karena pengaruh air. Sifat inilah yang membuat tanah lempung sering dilakukan proses stabilisasi agar sifat tersebut diperbaiki sehingga dapat meningkatkan daya dukung tanah tersebut.

Secara umum stabilisasi dapat dibagi menjadi dua metode yakni metode stabilisasi secara mekanis dan stabilisasi secara kimiawi. Stabilisasi secara mekanis dapat diartikan sebagai metode stabilisasi dengan cara mencampurkan tanah dasar dengan tanah lain yang berada disekitar lokasi (agar lebih ekonomis). Hal ini dimaksudkan agar dari tanah tersebut didapat tanah bergradasi baik (well graded) sehingga tanah dasar yang dipakai telah memenuhi persyaratan yang diinginkan. Sedangkan metode stabilisasi secara kimiawi adalah stabilisasi dengan cara melakukan pencampuran bahan tambah atau bahan kimia pada tanah.

Stabilisator yang sering digunakan yakni semen, kapur, abu sekam padi, abu cangkak sawit, fly ash, bitumen dan bahan-bahan lainnya. Namun stabilisasi tanah juga dapat dilakukan diluar dari metode di atas yakni diantaranya dengan cara menggunakan lapisan tambah pada tanah (misalnya geogrid atau geotekstil), melakukan pemadatan dan pemampatan di lapangan serta dapat juga dengan melakukan memompaan air tanah sehingga air tanah mengalami penurunan.

(32)

II.4. Stabilitas Lereng

II.4.1. Teori Stabilitas Lereng

Sebuah permukaan tanah yang terbuka yang berdiri membentuk sudut tertentu terhadap horisontal disebut sebuah lereng tanpa perkuatan. Lereng dapat terjadi secara ilmiah atau buatan manusia. Jika tanah tidak horisontal, suatu komponen gravitasi akan cenderung untuk menggerakkan tanah ke bawah. Jika komponen gravitasi cukup besar maka kegagalan lereng akan terjadi, yakni massa tanah dapat meluncur jatuh. Gaya yang meluncurkan mempengaruhi ketahanan dari kuat geser tanah sepanjang permukaan keruntuhan.

Seorang engineer sering diminta untuk membuat perhitungan untuk memeriksa keamanan dari lereng alamiah, lereng galian, dan lereng timbunan. Pemeriksaan ini termasuk menentukan kekuatan geser yang terbangun sepanjang permukaan keruntuhan dan membedakannya dengan kekuatan geser tanah. Proses ini disebut analisa stabilitas lereng. Permukaan keruntuhan itu biasanya adalah permukaan kritis yang memiliki faktor keamanan minimum.

Analisa stabilitas lereng adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Evaluasi variabel-variabel seperti stratifikasi tanah dan parameter-parameter tanahnya bisa menjadi suatu pekerjaan yang berat. Rembesan pada lereng dan pemilihan suatu permukaan gelincir potensial menambah kompleksitas dari pemasalahan ini.

Pengertian tanah longsor sebagai respon dari pada yang merupakan faktor utama dalam proses geomorfologi akan terjadi di mana saja di atas permukaan bumi, terutama permukaan relief pegunungan yang berlereng terjal, maupun permukaan lereng bawah laut. Tanah longsor didefinisikan sebagai tanah batuan

(33)

atau tanah di atas lereng permukan yang bergerak kearah bawah lereng bumi disebabkan oleh gravitasi/gaya berat.

Didaerah yang beriklim tropis termasuk Indonesia, air hujan yang jatuh ke atas permukaan tanah memicu gerakan material yang ada diatas permukaan lereng. Material berupa tanah atau campuran tanah dan rombakan batuan akan bergerak kearah bawah lereng dengan cara air meresap kedalam celah pori batuan atau tanah, sehingga menambah beban material permukaan lereng dan menekan material tanah dan bongkah-bongkah perombakan batuan, selanjutnya memicu lepas dan bergeraknya material bersama-sama dengan air.

II.4.2. Upaya Stabilisasi Lereng

Ada beberapa upaya dalam pengendalian kelongsoran pada suatu lereng, diantaranya adalah :

1. Mengurangi beban di puncak lereng • Pemangkasan lereng

• Pemotongan lereng atau cut biasanya digabungkan dengan pengisian pengurugan atau fill di kaki lereng.

2. Menambah beban di kaki lereng

• Menanam tanaman keras (biasanya pertumbuhannya cukup lama).

• Membuat dinding penahan (bisa dilakukan dalam waktu yang relatif cepat berupa dinding penahan atau retaining wall )

(34)

• Membuat ‘bronjong’, yaitu batu-batu bentuk menyudut diikat dengan kawat dengan bentuk angular atau menyudut lebih kuat dan tahan lama dibandingkan dengan bentuk bulat.

3. Mencegah lereng jenuh dengan airtanah atau mengurangi kenaikan kadar air • Membuat beberapa penyaliran air (dari bambu atau pipa paralon) di

kemiringan lereng dekat ke kaki lereng yang berguna supaya muka air tanah yang naik di dalam tubuh lereng akan mengalir ke luar sehingga muka air tanah turun

• Menanam vegetasi dengan daun lebar di puncak-puncak lereng sehingga evapotranspirasi meningkat. Air hujan yang jatuh akan masuk ke tubuh lereng (infiltrasi).

• Peliputan rerumputan. Cara yang sama untuk mengurangi pemasukan atau infiltrasi air hujan ke tubuh lereng, selain itu peliputan rerumputan jika disertai dengan desain drainase juga akan mengendalikan run-off.

4. Mengendalikan air permukaan

• Membuat desain drainase yang memadai sehingga air permukaan dari puncak-puncak lereng dapat mengalir lancar dan infiltrasi berkurang. • Penanaman vegetasi dan peliputan rerumputan juga mengurangi air larian

(35)

II.4.3. Klasifikasi Tanah Longsor

Tanah longsor yang disesuaikan dengan dasar klasifikasi yang dipergunakan masing-masing ahli, berikut ini dijelaskan nama-nama kelas gerakan tanah yang umum dipakai (Ritter, 1986) :

1. Tanah Longsor tipe jatuhan (‘falls’)

Tanah longsor tipe ini, material batuan atau tanah atau campuran kedua-duanya bergerak dengan cara jatuh bebas karena gaya beratnya sendiri. Proses tanah longsor semacam ini umumnya terjadi pada lereng terjal , bisa dalam bentuk bongkah individual batuan berukuran besar atau dalam bentuk guguran fragmen bongkah bercampur dengan bongkah-bongkah yang berukuran lebih kecil.

2. Tanah Longsor tipe robohan (‘toples’)

Gerakan massa tipe robohan hampir serupa dengan tanah longsor tipe falls, pada tipe topples ini gerakannya dimulai dengan bagian paling atas dari bongkah lepas dari batuan dari batuan induknya karena adanya cela retakan pemisah, bongkah terdorong kedepan hingga tidak dapat menahan bebannya sendiri.

3. Tanah Longsor tipe gelincir (‘slides’)

Tanah longsor tipe gelincir adalah tanah longsor batuan atau tanah atau campuran keduanya yang bergerak melalui bidang gelincir tertentu yang bertindak sebagai bidang diskontinuitas berupa bidang perlapisan batuan atau bidang patahan, bidang kekar, bidang batas pelapukan. Jika bidang-bidang diskontinuitas tersebut sejajar dengan bidang perlapisan, maka semakin besar peluang terjadinya tanah longsor.

(36)

II.4.4. Perhitungan Faktor Keamanan Lereng

Faktor Keamanan (FS) lereng tanah dapat dihitung dengan berbagai metode. Faktor Keamanan (FS) adalah nilai banding antara gaya yang menahan dan gaya yang menggerakkan. Data-data yang diperlukan dalam perhitungan nilai faktor keamanan suatu lereng adalah :

a. Data lereng (terutama diperlukan untuk membuat penampang lereng.) • Sudut kemiringan lereng

• Tinggi lereng atau panjang lereng dari kaki lereng ke puncak lereng. b. Data mekanika tanah

• Sudut geser dalam (Ø) • Berat isi tanah (ɣ) • Kohesi (c)

• Kadar air tanah (w)

Perumusan dalam perhitungan suatu faktor keamanan (FS) suatu lereng adalah :

𝐹𝑆 = 𝜏𝑓 𝜏𝑑

Dimana : FS = Faktor Keamanan

𝜏𝑓 = Tegangan geser rata-rata tanah

𝜏𝑑 = Tegangan geser yang terjadi di sepanjang bidang runtuh

(37)

𝜏𝑓 = 𝑐′+ 𝜎′tan ∅′ dan 𝜏𝑑 = 𝑐′𝑑+ 𝜎′𝑑tan ∅′𝑑

Sehingga diperoleh persamaan baru yakni :

𝐹𝑆 = 𝑐′𝑐′+ 𝜎′tan ∅′

𝑑+ 𝜎′𝑑tan ∅′𝑑

Faktor keamanan yang diperhitungkan juga ditinjau dari faktor keamanan kohesi (𝐹𝑐′) dan faktor keamanan friksi (𝐹∅′). Persamaan untuk mendapatkan nilai dari faktor keamanan kohesi (𝐹𝑐′) dan faktor keamanan friksi (𝐹∅′) adalah :

𝐹𝑐′= 𝑐′𝑑𝑐′ dan 𝐹∅′= tan ∅′𝑑tan ∅′

Membandingkan nilai 𝐹𝑐′ dan 𝐹∅′ , sehingga diperoleh : 𝑐′

𝑐′𝑑 =

tan ∅′ tan ∅′𝑑

Maka 𝐹𝑆 = 𝐹𝑐′ = 𝐹∅′

Faktor keamanan suatu lereng dapat dilihat dari Tabel 2.5 yang dibuat sesuai dengan besar kestabilan suatu lereng.

Tabel 2.5. Nilai Faktor Keamanan Untuk Perancangan Lereng (Sosrodarsono , 2003)

Faktor Keamanan ( FS ) Keadaan Lereng

FS < 1,00 Lereng dalam kondisi tidak mantap (lereng labil) 1,00 < FS < 1,20 Lereng dalam kondisi kemantapan diragukan 1,30 < FS < 1,40 Lereng dalam kondisi memuaskan

(38)

Dalam perhitungan perhitungan nilai faktor keamanan suatu lereng dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya dengan metode grafik. Menurut Taylor (1937), perhitungan faktor keamanan dapat dilakukan dengan menghitung resultan gaya dari faktor keamanan kohesi (𝐹𝑐′) dan faktor keamanan friksi (𝐹∅′). Angka stabilitas (m) diperoleh dari plot antara nilai sudut geser dalam tanah dengan sudut kemiringan lereng yang ditinjau, atau dengan menggunakan rumusan berupa :

𝑚 =𝛾𝐻𝑐 dimana : m = angka stabilitas

c = kohesi tanah (kg/cm²) ɣ = berat isi tanah (g/cm3) H = tinggi lereng (m)

Gambar 2.8 menunjukkan grafik hubungan antara angka stabilitas dengan sudut kemiringan lereng (Ø > 0).

Dengan menggunakan metode Taylor, Singh (1970) juga member grafik unutk menentukan angka-angka keamanan (FS) untuk bermacam-macam kemiringan lereng. Grafik tersebut ditunjukkan dalam Gambar 2.9.

(39)

Gambar 2.8. Grafik Hubungan antara Angka Stabilitas dengan Sudut Kemiringan Lereng (Ø > 0)

(40)

Gambar

Gambar 2.1 Diagram Fase Tanah
Tabel 2.1 Berat Jenis Tanah  Macam Tanah  Berat Jenis
Tabel 2.2 Derajat Kejenuhan dan Kondisi Tanah  Keadaan Tanah   Derajat Kejenuhan
Gambar 2.2. Batas-batas Atterberg
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hidayat minangka pengarang kang produktip. Karya- karyane wis akeh sing kapacak ing kalawarti Jawa lan medhia cetak kang nggunakake basa Jawa kayata kalawarti

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis yang telah penulis lakukan, maka dapat disimpulkan bahwa SD Negeri 1 Grantung telah berusaha dengan baik dalam

Nilai rerata indikator ini adalah 2,3 yang termasuk dalam kriteria kurang; (3) Keaktifan dan perhatian siswa pada saat guru menyampaikan materi, pada pratindakan untuk

Resolusi yang rendah pada penggunaan ADC disebabkan salah satunya adalah tidak tercapainya rentang skala penuh baik pada masukan (input) dan keluaran (output).. Rentang

Pada dasarnya pengujian toksisitas bertujuan untuk menilai efek racun terhadap organisme, menganalisis secara obyektif resiko yang dihadapi akibat adanya racun di lingkungan.

Pemikiran Gramsci yang demikian itu, dalam penelitian ini akan digunakan untuk membedah hegemoni kuasa media massa di Jawa Barat, yakni Harian Umum Pikiran

Dua segitiga akan kongruen jika dua sudut pada segitiga pertama sama besar dengan dua sudut yang bersesuaian pada segitiga kedua, dan sisi yang merupakan kaki persekutuan kedua sudut

Dari table tersebut dapat dijelaskan bahwa secara bersama-sama, ke 5 variable independen (yaitu: kualitas dosen (X1), metode perkuliahan (X2), kondisi dan suasana ruang kuliah