• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN STILISTIKA DALAM SERAT TRIPAMA KARYA KGPAA MANGKUNEGARA IV Oleh: Mila Indah Rahmawati C

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN STILISTIKA DALAM SERAT TRIPAMA KARYA KGPAA MANGKUNEGARA IV Oleh: Mila Indah Rahmawati C"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

KAJIAN STILISTIKA DALAM SERAT TRIPAMA KARYA KGPAA MANGKUNEGARA IV

Oleh:

Mila Indah Rahmawati C0112038

Pembimbing I : Dra. Dyah Padmaningsih, M. Hum.

Pembimbing II : Drs. Sujono, M. Hum.

Abstrak : Penelitian ini menjelaskan tentang pemanfaatan bunyi,

penanda morfologi dan diksi, serta gaya bahasa dalam Sêrat

Tripama karya KGPAA Mangkunegara IV. Teori yang digunakan

dalam penelitian ini adalah teori tentang stilistika, bunyi bahasa,

Sêrat Tripama, aspek bunyi, aspek penanda morfologi dan diksi,

serta gaya bahasa. Sumber data dalam penelitian ini berasal dari

Sêrat Tripama karya KGPAA Mangkunegara IV yang diadaptasi

dari halaman sebuah buku elektronik berjudul "Buku Sêrat

Tripama" oleh Dimas Hendri. Metode analisis data yakni metode

distribusional dan metode padan. Hasil penelitian ini adalah (1) bunyi bahasa yang mencakup asonansi, aliterasi atau, dan

purwakanthi lumaksita, (2) penanda morfologi meliputi afiksasi dan

reduplikasi, serta diksi, (3) gaya bahasa yaitu simile, epilet, anastrof, hiperbola, eponim, metonimia, dan inuendo.

Kata kunci: Tembang Dhandhanggula, Sêrat Tripama, stilistika. Abstract : The problems that discussed in this research are: (1) how

aspects of the sounds of language use in Sêrat Tripama, the aspects of morphological markers an diction, and language style use in Sêrat Tripama by KGPAA Mangkunegara IV. The theory uses in this research are sounds of language theory, Sêrat Tripama, morpohological markers and diction, and language style. Source of the data in this study is derived from Sêrat Tripama by KGPAA Mangkunegara IV matched from electronic book with the title "Buku Sêrat Tripama" by Dimas Hendri. The method of collecting the data in this study uses refer method, with advanced technique which is record technique. Meanwhile, the data analysis employs the distributional and equivalent method. The method of presenting the data analysis result uses formal and informal methods. The results of the research are: (1) utilization of the sounds of language in Sêrat Tripama include assonance, alliteration, and purwakanthi lumaksita, (2) aspects of morphological markers and reduplication, (3) the use of the language style in Sêrat Tripama include anastrophe, hyperbole, simile, eponymous, epaulet, metonymy, and innuendo.

(2)

commit to user

1. PENDAHULUAN

Bahasa dalam sebuah karya sastra berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari dan bahasa pada karya ilmiah. Bahasa karya sastra merupakan hasil ide atau kreativitas pengarang yang membutuhkan pemiran yang mendalam, sedangkan bahasa dalam kehidupan sehari-hari terjadi secara spontan atau refleks yang bersifat praktis, mudah dimengerti, dan tidak mementingkan struktur karena lebih menekankan unsur komunikatif. Bahasa pada karya ilmiah bersifat denotatif, lebih terstruktur, langsung diarahkan ke objek sasaran, menghindarkan unsur estetis, fungsi mediasi dan emosionalitas. Bahasa karya sastra mengutamakan unsur estetis, fungsi mediasi dan emosionalitas. Perbedaan tersebut tergantung dalam proses seleksi, memanipulasi, mengombinasikan kata-kata (Nyoman Kutha Ratna, 2009: 14-15).

Têmbang merupakan salah satu bentuk karya sastra sebagai hasil penuangan ide atau gagasan yang dimanifestasikan ke dalam bahasa dan memiliki makna filosofis bagi kehidupan manusia. Têmbang -têmbang Jawa tersebut memiliki nilai-nilai ajaran yang adiluhung, sehingga tidak heran jika sering diabadikan dalam karya sastra yang berupa sêrat. Sêrat tersebut lazimnya menggunakan ragam bahasa yang berbeda dari bahasa pada umumnya. Bahasa yang digunakan dalam

sêrat cenderung menggunakan ragam bahasa literer dan memiliki nilai estetis. Sêrat

banyak ditemukan aspek bunyi (asonansi, aliterasi, dan purwakanthi lumaksita), aspek morfologi dan diksi, dan penggunaan gaya bahasa yang memiliki makna konotatif.

Hal tersebut menimbulkan suatu permasalahan dalam hal penggunaan bahasa. Masalah-masalah yang timbul dalam penggunaan bahasa sangatlah kompleks, dan di setiap masalah kebahasaan dapat dikaji dari sudut pandang yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini akan mengkaji penggunaan bahasa dalam Sêrat

Tripama.

Berikut adalah unsur stilistika yang ditemukan dalam têmbang

Dhandhanggula Sêrat Tripama.

(1) yogyanira kang para prajurit (ST/B1/L1)

‘seyogyanya para prajurit’

Pada data (1) di atas terdapat asonansi/ purwakanthi guru swara atau pengulangan huruf vokal /a/ yang terdapat dalam kata yogyanira ‘seyogyanya’ pada suku kata ketiga dari belakang (anteapaenultima); kang ‘yang’ pada suku kata pertama; prajurit ‘prajurit’ pada suku kata pertama. Adapun asonansi/ purwakanthi

guru swara atau perulangan bunyi huruf /O/ terdapat dalam kata yogyanira

‘seyogyanya’ pada suku kata terakhir; dan dalam kata para ‘para’ pada suku kata pertama dan suku kata terakhir. Di samping itu, asonansi /a/ dtemukan pada kata

para yaitu pada suku kata pertama dan suku kata terakhir (ultima). Dengan adanya

asonansi/ purwakanthi guru swara /O/ dan /a/ tersebut membuat lirik pada contoh data (1) menjadi lebih merdu.

(2) liré lêlabuhan tri prakawis (ST/B2/L1)

‘arti jasa bakti yang tiga macam’

Pada data (2) di atas terdapat aliterasi/ purwakanthi guru sastra yang berupa konsonan /r/, yaitu dalam kata liré ‘arti’ pada suku kata terakhir; tri ‘tiga’ pada suku kata pertama; dan dalam kata prakawis ‘macam’ pada suku kata pertama. Adanya

(3)

commit to user

aliterasi/ purwakanthi guru sastra tersebut membuat lirik têmbang menjadi lebih indah dan juga untuk mempertegas makna têmbang.

Selain purwakanthi guru swara dan purwakanthi guru sastra juga ditemukan purwakanthi lumaksita atau purwakanthi basa. Adapun contoh penggunan data yang mengandung Purwakanthi Lumaksita sebagai berikut.

(3) guna bisa saniskarèng karya (ST/B2/L2)

‘memiliki kepandaian dan kemampuan dalam segala pekerjaan’

Data (3) menunjukkan adanya pemanfaatan purwakanthi lumaksita yang berupa perulangan suku kata kar pada kata saniskarèng ‘dalam segala’ dan pada kata karya ‘pekerjaan’. Perulangan suku kata kar pada kedua kata tersebut memberikan kesan estetis dalam pelafalannya, sehingga kedua kata tersebut terasa merdu.

Sêrat Tripama merupakan karya sastra yang diciptakan oleh salah satu raja

pujangga Mangkunegaran, yaitu Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV. Sêrat Tripama berisi tentang ajaran keprajuritan yang ditujukan bagi prajurit Mangkunegaran pada masa itu. Sêrat tersebut berbentuk têmbang

Dhandhanggula yang berjumlah tujuh bait. Karena bentuk Sêrat Tripama berupa

têmbang, maka menjadi suatu kelaziman jika bahasa yang digunakan adalah bahasa yang mengandung ragam bahasa literer dan tidak mudah dipahami oleh orang awam pada umumnya. Pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya pemanfaatan aspek penanda morfologis ragam literer, pemanfaatan diksi, dan pemanfaatan gaya bahasa yang digunakan dalam Sêrat Tripama.

Pemanfaatan aspek penanda morfologis ragam literer berupa penambahan imbuhan yang meliputi prefiks, sufiks, infiks, sufiks, dan simulfiks. Kesan arkhais dan indah karena adanya diksi yang meliputi sinonimi, antonimi, protesis, têmbung

plutan, têmbung garba, têmbung camboran, têmbung saroja, dan penggunaan

bahasa Jawa Kuna/ Sanskerta. Berikut akan diuraikan beberapa contoh pemanfaatan diksi dalam Sêrat Tripama.

(4) yogyanira kang para prajurit (ST/B1/L1)

‘seyogyanya para prajurit’

Data (4) menunjukkan pemanfaatan aspek penanda morfologis yang berupa akhiran atau sufiks {-ira}. Pemanfaatan sufiks {-ira} tersebut masih termasuk rumpun bahasa Jawa Kuna, sehingga kata yang dilekati sufiks tersebut terkesan lebih arkhais.

(5) binudi dadi unggulê (ST/B2/L3)

‘diusahakan menjadi yang unggul’

Imbuhan yang berupa infiks {-in-} pada kata binudi ‘diusahakan’ merupakan salah satu contoh pemanfaatan aspek penanda morfologis ragam literer. Infiks {-in-} pada konteks data (5) di atas terasa lebih indah dibandingkan dengan afiks lain yang berarti sama, misalnya prefiks {di-}.

(6) tur iku warna diyu (ST/B3/L4)

‘meskipun itu berwujud raksasa’

Data (6) menunjukkan adanya diksi yang berupa pemanfaatan bahasa Jawa Kuna atau bahasa Sanskerta. Kata diyu ‘raksasa’ merupakan kata yang berasal dari bahasa Jawa Kuna yang berarti raksasa. Pemilihan kata diyu dalam konteks kalimat tersebut menjadikan tuturan lebih arkhais, sehingga menimbulkan kesan keindahan.

(7) katri mangka sudarsanèng Jawi (ST/B7/L1)

(4)

commit to user

Kata sudarsanèng ‘teladan bagi’ pada data (7) di atas merupakan diksi yang berupa têmbung garba, yaitu gabungan dua kata yang mengalami persandian di dalamnya. Kata sudarsanêng ‘teladan bagi’ berasal dari kata sudarsana ‘teladan’ dan kata ing ‘di’. Pertemuan vokal /O/ pada akhir kata sudarsana dengan vokal /i/ pada awal kata ing ‘di’ menjadikan kedua kata tersebut mengalami persandian, sehingga menjadi vokal /è/. Adanya pemanfaatan têmbung garba tersebut berfungsi untuk menjadikan tuturan lebih indah, dan juga untuk memenuhi konvensi tembang yang berupa jumlah guru wilangan pada setiap barisnya.

Selain pemanfaatan bunyi bahasa dan pemanfaatan aspek penanda morfologis serta diksi, dalam penelitian ini juga ditemukan adanya pemanfaatan gaya bahasa. Aspek gaya bahasa dalam Sêrat Tripama meliputi gaya bahasa simile, epilet, anastrof, eponim, hiperbola, metonimia, dan inuendo. Pemanfaatan gaya bahasa dalam Sêrat Tripama betujuan untuk memberikan kesan yang tidak lazim atau arkhais sehingga bahasa yang digunakan di dalamnya tidak monoton dan memiliki fungsi keestetisan suatu tembang. Adapun contoh penggunaan gaya bahasa dalam Sêrat Tripama adalah sebagai berikut.

(8) duk bantu prang Manggada nagri (ST/B2/L5)

‘ketika berperag membantu negeri Manggada’

Frasa Manggada nagri ‘negeri Manggada’ pada data di atas merupakan salah satu contoh pemanfaatan gaya bahasa yang berupa gaya bahasa anastrof. Gaya bahasa anastrof merupakan pemanfaatan gaya bahasa dengan cara pembalikan susunan kata. Pembalikan kata Manggada nagri ‘negeri Manggada’ seperti yang ditunjukkan oleh data (8) bertujuan untuk memenuhi konvensi sastra yang berupa jatuhnya guru lagu /i/ pada têmbang dhandhanggula, yakni di akhir kalimat pada baris ke lima.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti akan mengkaji Sêrat Tripama dengan kajian stilistika. Alasan pemilihan topik penelitian ini yaitu peneliti ingin mengetahui dan mengkaji: (1) aspek-aspek penanda bunyi yang terkait dengan fungsi pemanfaatan purwakanthi guru swara /O/, /a/, /i/, dan /u/, (2) aspek penanda morfologis ragam literer dan diksi yang arkhais, dan (3) aspek pemanfaatan gaya bahasa yang berkaitan dengan keprajuritan dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA Mangkunegara IV.

2. LANDASAN TEORI

Panuti Sudjiman dalam bukunya yang berjudul Bunga Rampai Stilistika (1993), menjelaskan bahwa makna dari stilistika yaitu mengkaji ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra. Secara singkat stilistika mengkaji fungsi puitika suatu bahasa. Menurut Sudjiman, stilistika menjembatani analisis bahasa dan sastra (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2009: 42). Stilistika berkaitan dengan medium utama, yaitu bahasa, keindahan berkaitan dengan hasil akhir dari kemampuan medium itu sendiri dalam menampilkan kekhasannya (Nyoman Kutha Ratna, 2009: 253). Stilistika sebagai ilmu pengetahuan mengenai gaya bahasa, maka sumber penelitiannya adalah semua jenis komunikasi yang menggunakan bahasa, baik lisan maupun tulisan (Nyoman Kutha Ratna, 2009: 13).

Stilistika adalah ilmu tentang gaya (style). Gaya (style) adalah cara penggunaan sistem tanda yang mengandung ide, gagasan, dan nilai keindahan tertentu (Aminuddin, 1995: 31 dalam Untari, 2014: 11). Gaya tersebut menjadi ciri khas pengarang dalam menciptakan karangannya. Sutejo (2010: 4-5 dalam

(5)

commit to user

Puspitasari: 11) style merupakan gaya bahasa termasuk di dalamnya pilihan gaya pengekspresian seorang pengarang untuk menuangkan sesuatu yang dimaksudkan yang bersifat individu atau kolektif. Kasnadi dan Sutejo (2010: 82 dalam Puspitasari: 12) mengelompokkan fokus perhatian teori stilistika pada bunyi, kata, kalimat yang digunakan oleh pengarang dalam menciptakan karya sastra. Bunyi-bunyi dalam karya sastra meliputi pola rima dan irama, kata meliputi pemilihan kata atau diksi, sedangkan kalimat meliputi kalimat pendek, kalimat yang kompleks, kalimat pasif, kalimat aktif, kalimat interogatif, kalimat yang ritmis dan puitis.

3. METODE PENELITIAN

Penelitian “Kajian Stilistika dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA Mangkunegara IV” adalah penelitan deskriptif kualitatif. Deskriptif adalah penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret: paparan seperti nyatanya (Sudaryanto, 1993: 62). Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud memahami tentang fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2010: 6 dalam Puspitasari, 2014: 37). Jadi, penelitian deskriptif kualitatif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan data-data kebahasaan yang berupa kata-kata, bukan angka atau statistik. Dalam penelitian ini, data-data kebahasaan meliputi aspek-aspek penanda bunyi, aspek penanda morfologis dan diksi, dan aspek gaya bahasa dalam Sêrat Tripama.

Data dalam penelitian ini berupa data tulis yang meliputi semua satuan bahasa (fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat) yang terdapat pada teks têmbang Dhandhanggula bait 1-7 dalam Sêrat Tripama, yang di dalamnya terdapat aspek bunyi, aspek penanda morfologis dan diksi, serta gaya bahasa. Sumber data dalam penelitian ini berasal dari Sêrat Tripama karya Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV yang berisi teks têmbang Dhandhanggula yang dikutip dari laman buku elektronik oleh Dimas Hendri. Alasan pemilihan sumber data dari laman buku elektronik oleh Dimas Hendri dikarenakan sumber data Sêrat

Tripama yang berbentuk têmbang dhandhanggula dalam laman buku elektronik

tersebut lebih bisa dipahami dan lebih familiar dibandingkan dari sumber lain. Alat penelitian pada penelitan ini meliputi alat utama dan alat bantu. Alat utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, artinya ketentuan sikap peneliti mampu menggapai dan menilai makna dari berbagai interaksi (Sutopo, 2002: 35-36). Dengan ketajaman intuisi kebahasaan/ lingual peneliti mampu membagi data secara baik menjadi beberapa unsur (Sudaryanto, 1993: 31-32). Dengan intuisi lingual peneliti bisa bekerja secara serta merta mengahayati terhadap bahasa yang diteliti secara utuh (Edi Subroto, 1990: 23). Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bolpoin, kertas catatan, dan alat elektronik yang berupa komputer jinjing, telepon genggam, dan mesin cetak (printer).

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode simak, dengan cara menyimak data-data yang diperlukan untuk penelitian. Data-data yang disimak tersebut berupa fonem, morfem, kata, frasa, klausa, dan kalimat yang

(6)

commit to user

berupa teks têmbang Dhandhanggula bait 1-7 dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA Mangkunegara IV. Di dalam metode simak, teknik yang digunakan adalah teknik dasar dan teknik lanjutan. Adapun teknik dasar yang digunakan adalah teknik pustaka. Teknik pustaka yaitu pengumpulan data berdasarkan sumber-sumber tertulis yang mencerminkan pemakaian bahasa sinkronis (Edi Subroto, 1992: 45). Teknik pustaka adalah mempergunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data. Teknik lanjutannya yaitu teknik catat, dengan cara mencatat beberapa bentuk yang relevan dilakukan dalam penelitian antara lain mengenai aspek bunyi, diksi atau pilihan kata, dan aspek gaya bahasanya. Teknik catat yaitu pencatatan data kebahasaan yang relevan dilakukan dengan transkripsi tertentu menurut kepentingan (Edi Subroto, 1992: 42). Setelah data berhasil disimak secara cermat, tepat, dan teliti kemudian dilakukan pencatatan dan diklasifikasikan. Pengklasifikasian atau pengelompokan tersebut didasarkan atas karakteristik yang sama mengenai aspek bunyi, aspek penanda morfologis ragam literer dan diksi, serta gaya bahasa yang terdapat dalam têmbang Dhandhanggula Sêrat Tripama.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode distribusional dan metode padan. Metode distribusional adalah metode analisis data yang alat penentunya merupakan bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 15). Metode ini digunakan untuk menganalisis aspek bunyi, aspek penanda morfologis ragam literer, dan aspek diksi atau pilihan kata yang terdapat dalam têmbang Dhandhanggula pada Sêrat Tripama. Teknik yang digunakan adalah teknik interpretasi, yaitu dengan cara menginterpretasi atau menafsirkan data yang disesuaikan dengan pemahaman dalam berpikir berdasarkan satuan lingual yang ada. Contoh penerapan metode distribusional sebagai berikut. (9) tur iku warna diyu (ST/B3/L4)

‘dan itu berwujud raksasa’

Dalam data di atas terdapat kosakata bahasa Jawa Kuna, yaitu kata diyu ‘raksasa’. Kosakata tersebut digunakan untuk memenuhi konvensi sastra têmbang

Dhandhanggula pada baris keempat, yaitu vokal terakhir berbunyi /u/. Di samping

itu, penggunaan kata diyu yang merupakan serapan dari bahasa Jawa Kuna tersebut memberi kesan estetik dalam karya sastra daripada kata buta, raseksa, ataupun

raseksi yang memiliki arti yang sama.

Adapun metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya di luar, terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Metode padan diterapkan untuk menganalisis pemanfaatan aspek pilihan kata dan aspek gaya bahasa. Penerapan metode padan di dalam data sebagai berikut.

Metode penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini digai ke dalam dua metode, yaitu metode penyajian informal dan metode penyajian formal. Metode penyajian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya; sedangkan penyajian formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang. Tanda yang dimaksud di antaranya tanda dua garis miring sejajar (/ /), tanda tambah (+), tanda sama dengan (=), tanda kurung runcing ke kanan (>), tanda kurung biasa (( )), dan tanda kurung kurawal ({ }). Adapun lambang yang dimaksud di antaranya lambang huruf sebagai singkatan nama (Sudaryanto, 1993: 145).

(7)

commit to user

4. HASIL PEMBAHASAN

Analisis data merupakan hal yang paling pokok dalam sebuah penelitian. Dalam tahap ini peneliti akan menganalisis data hasil penelitian menjadi suatu informasi yang dapat digunakan untuk mengambil kesimpulan. Hasil dari analisis penelitian ini meliputi: pemanfaatan aspek-aspek bunyi bahasa, aspek penanda morfologis dan diksi, serta penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam Sêrat

Tripama berupa tembang dhandhanggula bait 1-7, karya Kangjeng Gusti Pangeran

Adipati Arya Mangkunegara IV.

A. Pemanfaatan Aspek Bunyi dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA Mangkunegara IV

1. Asonansi/ Purwakanthi Guru Swara

Asonansi/ purwakanthi guru swara merupakan perulangan bunyi vokal yang sama yang terdapat pada sebuah larik atau baris. Dalam penelitian ini ditemukan asonansi/ purwakanthi guru swara /O/, /a/, /i/, dan /u/. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1.1.Asonansi/ Purwakanthi Guru Swara /O/

Perulangan bunyi vokal /O/ (a jêjêg) dalam Sêrat Tripama karya Mangkunegara IV ini sangat mendominasi di antara bunyi vokal lainnya. Variasi bunyi vokal /O/ terdapat di: suku kata pertama, suku kata kedua dari belakang (paenultima), suku kata ketiga dari belakang (antepaneultima), dan suku kata terakhir (ultima). Adapun uraian penggunaan asonansi /O/ adalah sebagai berikut. (10) yogyanira kang para prajurit (ST/B1/L1)

‘seyogyanya para prajurit’

Penggunaan asonansi /O/ dengan realisasi yang berbeda pada data tersebut menegaskan suatu harapan kepada para prajurit. Pada kata yogyanira ‘seyogyanya’, bunyi vokal /O/ terbuka terdapat pada suku kata terakhir (ultima). Penggunaan bunyi vokal /O/ terbuka ditemukan pada kata para ‘para’, yang berealisasi di suku kata pertama dan suku kata terakhir (ultima). Adanya asonansi /O/ terbuka pada data di atas menimbulkan variasi bunyi yang ritmis dan berselang-seling, yakni pada kata pertama berasonansi /O/, kata kedua berasonansi /a/, kata ketiga berasonansi /O/, dan kata keempat berasonansi /a/ sehingga tuturan menjadi lebih indah.

1.2. Asonansi/ Purwakanthi Guru Swara /a/

Perulangan bunyi vokal /a/ (a miring) dalam Sêrat Tripama karya Mangkunegara IV ini sangat mendominasi di antara bunyi vokal lainnya. Variasi bunyi vokal /a/ dalam Sêrat Tripama terdapat di: awal kata atau suku kata pertama, suku kata kedua dari belakang (paenultima), suku kata ketiga dari belakang (antepaneultima), dan suku kata terakhir (ultima).

(11) yogyanira kang para prajurit (ST/B1/L1)

‘seyogyanya para prajurit’

Penggunaan asonansi /a/ dengan realisasi yang berbeda pada data tersebut menunjukkan vokal /a/ yang bersifat terbuka dan ringan. Pada kata yogyanira ‘seyogyanya’ bunyi vokal /a/ terbuka berealisasi di suku kata ketiga dari belakang (paenultima). Kata kang ‘kepada’ menunjukkan adanya bunyi vokal /a/ tertutup dan kata prajurit ‘prajurit’ menunjukkan adanya bunyi vokal /a/ terbuka yang masing-masing berealisasi di suku kata pertama. Asonansi /a/ dimanfaatkan pengarang

(8)

commit to user

untuk memberikan kesan bahwa tuturan di atas menghasilkan bunyi yang ritmis pada setiap katanya.

1.3. Asonansi/ Purwakanthi Guru Swara /i/

Pemakaian asonansi /i/ pada Sêrat Tripama dapat dijumpai di suku kata pertama, suku kata kedua dari belakang (paenultima), suku kata ketiga dari belakang (antepaenultima), dan di suku kata terakhir (ultima).

(12) binudi dadi unggulé (ST/B2/L3)

‘diusahakan menjadi yang unggul’

Data di atas menunjukkan adanya asonansi vokal /i/ terbuka yang berealisasi di suku kata pertama dan di suku kata terakhir (ultima) yakni pada kata binudi ‘diusahakan’, sedangkan pada kata dadi ‘menjadi’ asonansi /i/ berealisasi di suku kata terakhir (ultima). Pemanfaatan vokal /i/ pada tuturan binudi dadi unggulé ‘diusahakan menjadi yang unggul’ menunjukkan adanya kepaduan dalam setiap lirik katanya.

2. Aliterasi/ Purwakanthi Guru Sastra

Menurut Padmosoekotjo (1955: 18), aliterasi atau purwakanthi guru swara adalah bentuk perulangan konsonan yang sama pada setiap baris atau lariknya. Realisasi perulangan kosonan atau aliterasi dimanfaatkan untuk memberikan fungsi keindahan (Nurgiyantoro, 2014: 156). Aliterasi dalam tembang dhandhanggula

Sêrat Tripama akan dijelaskan sebagai berikut.

2.1. Aliterasi/ Purwakanthi Guru Sastra /d/

Bunyi /d/ merupakan konsonan apiko-dental, yaitu konsonan yang dihasilkan oleh ujung lidah sebagai artikulator dan daerah antar gigi (dents) sebagai titik artikulasi. Pemanfaatan aliterasi konsonan /d/ dapat dilihat pada data berikut. (13) binudi dadi unggulé (ST/B2/L3)

‘diusahakan menjadi yang unggul’

Data tersebut menunjukkan perulangan konsonan /d/ yang diikuti dengan bunyi vokal /i/ terbuka di suku kata terakhir pada kata binudi ‘diusahakan’ dan pada kata dadi ‘menjadi’. Adapun konsonan /d/ yang diikuti bunyi vokal /a/ terbuka terdapat pada kata dadi ‘menjadi’ di suku kata pertama. Pemanfaatan bunyi /d/ memberikan kemerduan bunyi pada tuturan tersebut.

2.1. Aliterasi/ Purwakanthi Guru Sastra /k/

Bunyi /k/ sebagai konsonan hambat letup dorso-velar atau konsonan keras tak bersuara menciptakan ritmis pada kata satu dengan kata berikutnya. Bunyi /k/ juga memberi pengaruh terhadap pembaca bahwa suasana yang dihadirkan pengarang melalui sebuah kata merupakan suatu perintah atau tugas yang amat berat.

(14) Kumbakarna kinèn mangsah jurit (ST/B4/L1) ‘Kumbakarna diperintah maju berperang’

Perulangan konsonan /k/ pada data di atas berealisasi di suku kata pertama, yakni pada kata Kumbakarna ‘Kumbakarna’ merupakan kata yang menerangkan subjek, dan pada kata kinèn ‘diperintah’ merupakan kata yang menerangkan kata kerja (verba) pasif. Adapun konsonan /k/ yang berealisasi di tengah suku kata juga pada kata Kumbakarna ‘Kumbakarna‘merupakan kata yang menerangkan subjek. Konsonan /k/ pada tuturan di atas dimanfaatkan pengarang untuk memperoleh lirik yang ritmis.

(9)

commit to user

2.2. Aliterasi/ Purwakanthi Guru Sastra /l/

Perulangan bunyi konsonan /l/ sebagai konsonan likuida (lateral), yaitu konsonan yang dihasilkan denan menaikkan lidah ke langit-langit sehina udara terpaksa diaduk dan dikeluarkan melalui kedua sisi lidah. Data yang mengandung aliterasi /l/ dalam Sêrat Tripama adalah sebagai berikut.

(15) lire lêlabuhan tri prakawis (ST/B1/L1) ‘arti jasa yang tiga macam itu’

Perulangan konsonan /l/ pada data di atas terletak di suku kata pertama yaitu pada kata lire ‘arti’. Adapun pada kata lêlabuhan ‘jasa’ terletak di suku kata pertama dan suku kata ketiga dari belakang (antepaenultima). Variasi letak aliterasi /l/ yang berdekatan tersebut menciptakan kepaduan bunyi.

2.3. Aliterasi/ Purwakanthi Guru Sastra /n/

Perulangan bunyi konsonan /n/ sebagai konsonan nasal apiko-alveolar merupakan salah satu bentuk kreativitas Mangkunegara IV dalam memperindah lirik tembang dhandhanggula Sêrat Tripama. Letak aliterasi /n/ bervariasi, yaitu: di suku kata pertama, suku kata kedua dari belakang (paenultima), suku kata ketiga dari belakang (antepaenultima) dan suku kata terakhir (ultima).

(16) guna kaya puruné kang dènantêpi (ST/B1/L9)

‘pandai dan kemampuannya itulah yang ditekuni’

Kata guna ‘pandai’ dan kata puruné menunjukkan realisasi konsonan /n/ di suku kata terahir (ultima). Kata dènantêpi ‘ditekuninya’ menunjukkan realisasi konsonan /n/ di suku kata pertama dan suku kata ketiga dari belakang (antepaenultima). Realisasi konsonan /n/ tersebut menciptakan kepaduan dan keindahan bunyi antarkata.

2.4. Aliterasi/ Purwakanthi Guru Sastra /r/

Bunyi konsonan /r/ merupakan konsonan liquida getar. Pola aliterasi /r/ dalam Sêrat Tripama bervariatif. Adapun realisasi penggunaan bunyi /r/ yang dapat menciptakan kemerduan bunyi pada tembang dhandhanggula terdapat di: suku kata pertama, suku kata kedua dari belakang (paenultima), suku kata ketiga dari belakang (antepaenultima), dan di suku kata terakhir (ultima).

(17) guna bisa saniskarèng karya (ST/B2/L2)

‘pandai dalam segala pekerjaan’

Data di atas menunjukkan aliterasi /r/ terdapat pada suku kata pertama dan suku kata terakhir (ultima). Kata karya ‘pekerjaan’ terdapat konsonan /r/ yang berealisasi di suku kata pertama. Konsonan /r/ pada kata saniskarêng ‘dalam segala’ berealisasi di suku kata terakhir (ultima). Konsonan /r/ pada tuturan tersebut memberikan kesan ritmis dan kepaduan bunyi.

2.5. Aliterasi/ Purwakanthi Guru Sastra /s/

Bunyi /s/ termasuk konsonan geseran lamino-alveolar, yaitu konsonan keras tak bersuara dengan hambatan yang lebih panjang. Bunyi /s/ terjadi jika artikulator aktifnya ialah daun lidah, sedangkan artikulator pasifnya ialah gusi. Berikut perulangan bunyi /s/ dalam tembang dhandhanggula Sêrat Tripama. (18) guna bisa saniskarèng karya (ST/B2/L2)

‘pandai dan mampu dalam segala pekerjaan’

Data tersebut menunjukkan aliterasi /s/ pada kata bisa ‘bisa’ yang berealisasi sebagai ultima terbuka atau bukan penutup suku kata terakhir. Data

saniskarèng ‘dalam segala’ berealisasi di suku kata ketiga dari akhir

(10)

commit to user

Penggunaan aliterasi /s/ menimbulkan bunyi yang berirama dan menimbulkan kesan keindahan.

2.6. Aliterasi/ Purwakanthi Guru Sastra /t/

Bunyi konsonan /t/ merupakan konsonan hambat letup apiko-dental, yaitu konsonan keras tak bersuara. Bunyi konsonan /t/ berfungsi memberikan tekanan struktur ritmis pada sebuah kata. Berikut data yang memanfaatkan bunyi konsonan /t/.

(19) katur ratunipun (ST/B2/L7)

‘mempersembahkan kepada rajanya’

Data tersebut menunjukkan aliterasi /t/ yang berdistribusi di tengah kata. Data katur ‘dipersembahkan’ berealisasi sebagai ultima, karena konsonan /t/ terletak di akhir suku kata. Data ratunipun ‘rajanya’ merupakan antepaenultima, karena konsonan /t/ terletak di suku kata ketiga dari belakang. Penggunaan aliterasi /t/ tersebut bertujuan untuk mempertegas arti lirik tembang. Aliterasi /t/ tersebut juga menimbulkan kesan keindahan, karena setelah konsonan /t/ pada kedua kata di atas diikuti dengan bunyi vokal /u/.

2.7. Aliterasi/ Purwakanthi Guru Sastra /ng/ atau konsonan /n/ sanding /g/

Adanya variasi aliterasi /G/ pada setiap kata ataupun suku kata menonjolkan unsur estetis bunyi sengau.

(20) aprang tandhing lan ditya Ngalêngka aji (ST/B2/L10)

‘Perang tanding melawan raja raksasa Ngalêngka’

Data di atas menunjukkan variasi aliterasi /G/ yang berfungsi untuk memberikan irama bunyi sengau yang ritmis pada setiap katanya. Aliterasi /G/ pada kata aprang ‘perang’ dan kata tandhing ‘tanding’ terletak di suku kata terakhir (ultima) yang memiliki kedekatan makna kata, sedangkan aliterasi /G/ pada kata Ngalêngka ‘Ngalêngka’ terletak di suku kata pertama dan suku kata kedua dari belakang (paenultima) menegaskan bahwa perang terjadi di negeri Ngalêngka.

3. Purwakanthi Lumaksita/ Purwakanthi Basa

Purwakanthi lumaksita disebut juga purwakanthi basa, yaitu pengulangan

satuan lingual yang berupa suku kata, kata, frasa, klausa atau kalimat pada satuan lingual berikutnya. Contoh:

(21) guna bisa saniskarèng karya (ST/B2/L2)

‘pandai dalam segala hal pekerjaan’

Data tersebut menunjukkan adanya Purwakanthi Lumaksita yaitu berupa perulangan suku kata kar pada kata saniskarèng ‘segala hal’ dan pada kata karya ‘pekerjaan’. Perulangan suku kata kar menciptakan kesan ritmis dan berfungsi menimbulkan keindahan bunyi.

B. Pemanfaatan Aspek Penanda Morfologis dan Diksi dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA Mangkunegara IV

1. Morfologi Literer

Aspek penanda morofologis yang terdapat dalam Sêrat Tripama yaitu berupa afiksasi dan reduplikasi. Afiksasi tersebut meliputi prefiks (atêr-atêr), sufiks (panambang), infiks (sêsêlan), konfiks (imbuhan bêbarêngan rumakêt), dan simulfiks (imbuhan bêbarêngan rênggang). Reduplikasi dalam Sêrat Tripama berupa dwilingga. Adapun uraiannya sebagai berikut.

1.1. Afiksasi (Imbuhan) a. Prefiks/ Awalan (Atêr-atêr)

(11)

commit to user

Prefiks/ awalan dalam bahasa Jawa disebut sebagai atêr-atêr. Prefiks lazimnya berdistribusi di sebelah kiri atau di depan kata dasar. Adapun penulisan prefiks dirangkai dengan kata dasarnya. Prefiks yang ditemukan dalam Sêrat

Tripama meliputi prefiks {pi-}, prefiks {ka-}, dan prefiks {pra-}. Adapun

data-data yang menunjukkan penggunaan prefiks tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

(22) déné sira pikantuk (ST/B6/L5)

‘demikian ia mendapat

Kata pikantuk ‘mendapat’ berasal dari kata dasar antuk ‘dapat’, mendapat imbuhan berupa prefiks {pi-}. Munculnya konsonan /k/ di antara prefiks {pi-} dan kata dasar antuk ‘dapat’ berfungsi untuk mempermudah pengucapannya. Hadirnya imbuhan {pi-} pada kata pikantuk ‘mendapat’ tidak mengubah kelas katanya. (23) katri mangka sudarsanèng Jawi (ST/B7/L1)

‘ketiganya sebagai teladan orang Jawa’

Data tersebut menunjukkan penggunaan prefiks {ka-} pada kata katri ‘ketiga’. Prefiks {ka-} pada kata tersebut berfungsi sebagai penunjuk urutan bilangan, yakni menunjuk urutan bilangan yang ketiga.

(24) tan prabéda budi panduming dumadi (ST/B7/ L9)

‘tidaklah berbeda usaha menurut takdrinya sebagai makhluk’

Data tersebut menunjukkan adanya prefiks {pra-} yang melekat pada kata

béda ‘beda’, sehingga menjadi kata prabéda ‘berbeda’. Prefiks {pra-} tersebut

berfungsi sebagai penegas kata dasar. b. Sufiks/ Akhiran (Panambang)

Sufiks/akhiran dalam bahasa Jawa disebut dengan panambang, yaitu imbuhan yang berada di belakang kata dasar. Penulisan sufiks/ akhiran (panambang) harus dirangkai dengan kata dasarnya. Berikut akan diuraikan sufiks/ akhiran (panambang) yang terdapat dalam Sêrat Tripama, yaitu sufiks {-ira}, sufiks {-ipun}, sufiks {-nya}, dan sufiks {-ing}.

(25) yogyanira kang para prajurit (ST/B1/L1)

‘seyogyanya para rajurit’

Kata yogyanira ‘seyogyanya’ pada data di atas berasal dari kata dasar yogya ‘harus’ yang memilki vokal akhir /a/ terbuka. Kata yogya mendapatkan sufiks ira, sehingga menjadi yogyanira ‘seyogyanya’. Timbulnya konsonan /n/ pada kata

yogyanira ‘seyogyanya’ berfungsi sebagai pelancar bunyi untuk memudahkan

dalam pengucapannya. Pemanfaatan sufiks {-ira} terkesan lebih indah dibandingkan dengan sufiks {-é}.

(26) lêlabuhanipun (ST/B1/L7)

‘jasa-jasanya’

Pemanfaatan sufiks {-ipun} pada data tersebut ditunjukkan oleh kata

lêlabuhanipun ‘jasa-jasanya’ yang berasal dari kata dasar lêlabuhan+ipun. Sufiks

{-ipun} merupakan imbuhan yang memiliki ragam krama. Kata lêlabuhan ‘jasa-jasa’ memiliki kata dasar yang berakhiran konsonan, sehingga dalam penulisan sufiks {-ipun} ditulis tetap. Penggunaan sufiks {-ipun} memberikan kesan lebih halus dibandingkan dengan penggunaan sufiks {-é}.

(27) dènnya darbé atur (ST/B3/L7)

‘dia memiliki permintaan’

Data di atas menunjukkan adanya pemanfatan sufiks {-nya} pada kata

(12)

commit to user

persona ketiga tunggal, sehingga penulisannya harus dirangkai dengan kata dasar yang melekat di sebelah kirinya.

(28) manggala golonganing prang (ST/B5/L8)

‘panglima di dalam golongan perang’

Kata golonganing ‘golongannya’ pada data di atas berasal dari kata dasar golongan+ing. Data tersebut menunjukkan pemanfaatan sufiks {-ing}. Kata

golonganing ‘di dalam golongan’ memiliki kata dasar yang huruf akhirnya berupa

konsonan, sehingga penulisan sufiks {-ing} tidak mengalami perubahan. c. Infiks/ Sisipan (sêsêlan)

Infiks/ sisipan dalam bahasa Jawa disebut dengan sêsêlan. Infiks merupakan imbuhan yang terdapat di tengah kata dasar. Dalam Sêrat Tripama ditemukan afiksasi berupa infiks atau sêsêlan {in-} dan (um-}. Berikut uraian terkait data-data yang menunjukkan infiks {in-} dan {um-).

(29) kang ginêlung tri prakara (ST/B1/L8)

‘yang dimuat dalam tiga hal’

Pemanfatan infiks atau sêsêlan {-in-} pada data di atas terdapat pada kata

ginêlung ‘dimuat’. Kata ginêlung ‘dimuat’ berasal dari kata dasar gêlung ‘muat’

yang mendapat infiks {in-}. Pemanfaatan infiks {-in-} dalam tuturan di atas terasa lebih indah jika dibandingkan dengan prefiks {di-}.

(30) Tan prabêda budi panduming dumadi (ST/B7/L9)

‘tidaklah berbeda usaha menurut takdrinya sebagai makhluk’

Adapun data tersebut menunjukkan adanya pemanfaatan infiks {um-} pada kata dumadi ‘makhluk’. Penggunaan infiks {um-} tersebut memberikan kesan arkhais pada kata dasarnya.

d. Konfiks/ Imbuhan secara Serentak (Imbuhan Bêbarêngan Rumakêt)

Konfiks dalam bahasa Jawa disebut dengan imbuhan bêbarêngan rumakêt. Konfiks merupakan suatu proses afiksasi yang menggabungkan antara prefiks (atêr-atêr) dan sufiks (panambang) pada kata dasar secara serentak. Konfiks yang terdapat dalam Sêrat Tripama yaitu {dèn-i}, {in-ké}, dan {ka-an}. Berikut uraiannya.

(31) guna kaya puruné kang dènantêpi (ST/B1/L9)

‘pandai dan kemampuannya itulah yang ditekuni’

Data di atas menunjukkan simulfiks, yaitu kata dènantêpi ‘ditekuni’ mengalami proses afiksasi yaitu dèn-i + antêp => dènantêpi. Pemanfaatan simulfiks {dèn-i} lebih menonjolkan aspek keindahan dan arkhais dalam suatu karya sastra dibandingkan dengan simulfiks {di-i}.

(32) bratayuda ingadêgkên sénapati (ST/B5/L9)

‘diangkat sebagai senapati di perang baratayuda’

Konfiks {in- -aké} yakni pada kata ingadêgkên ‘diangkat’. Prefiks {-in-} dan sufiks {-aké} bergabung secara serentak. Adapun sufiks {-akên} berasal dari sufiks {-akê} yang beragam ngoko, namun sufiks tersebut disesuaikan dengan konteks tuturan yang lebih halus, sehingga mengalami perubahan menjadi sufiks

{-akên}. Data ingadêgkên ‘diangkat’ mengalami pengurangan suara /a/ di tengah

kata.

e. Simulfiks/ Imbuhan secara Bertahap (Imbuhan Bêbarêngan Rênggang)

Simulfiks dalam bahasa Jawa disebut dengan imbuhan bêbarêngan rênggang. Simulfiks merupakan suatu proses afiksasi yang menggabungkan antara prefiks (atêr-atêr) dan sufiks (panambang) pada kata dasar secara bertahap. Simulfiks yang

(13)

commit to user

terdapat dalam Sêrat Tripama yaitu {sa- -ipun}, {ka-né}, dan {in-aké}. Berikut uraiannya.

(33) kaya sayêktinipun (ST/B2/L4)

‘seperti kenyatannya’

Simulfiks {sa- -ipun} pada kata sayêktinipun ‘kenyatannya’ data tersebut mengalami proses afiksasi sebagai berikut: sa + yêkti + ipun. Kata dasar yêkti ‘nyata’ lebih dahulu bergabung dengan prefiks {sa-} sehingga menjadi kata sayêkti ‘kenyataan’. Selanjutnya, kata sayêkti ‘kenyataan’ mengalami penggabungan dengan sufiks {-ipun} sehingga menjadi kata sayêktinipun ‘kenyatannya’. Kata

yêkti merupakan kata dasar yang memiliki vokal akhir /i/, sehingga jika diberi sufiks

{-ipun} penulisannya menjadi {-nipun} yang berfungsi untuk membantu mempermudah dalam pelafalannya.

(34) nglungguhi kasatriyané (ST/B4/L3)

‘menduduki sifat ksatriannya’

Data di atas menunjukkan adanya proses afiksasi yang berupa simulfiks pada kata ka + satriya + né => kasatriyané. Kata kasatriyané ‘ksatriaannya’ berasal dari kata dasar satriya ‘satria’, yang mendapat imbuhan berupa prefiks {ka-} menjadi kasatria ‘ksatria’. Selanjutnya, kata kasatria ‘ksatria’ mendapatkan imbuhan lagi berupa sufiks {-né} sehingga menjadi kasatriyané ‘ksatriaannya’. Adanya imbuhan {ka-né} secara bertahap pada kata tersebut tidak mengubah kelas kata.

(35) minungsuhkên kadangé pribadi (ST/B6/L1)

‘berlawankan saudaranya sendiri’

Data di atas menunjukkan imbuhan yang berupa simulfiks {in- -aké}, yaitu gabungan antara infiks {-in-} dan sukfiks {-aké} atau sama dengan {di- -aké}. Kata

minungsuhkên ‘berlawankan’ berasal dari kata dasar mungsuh ‘musuh’, yang

mendapatkan infiks {-in-} menjadi kata minungsuh ‘berlawankan’. Setelah itu, kata

minungsuh ‘berlawankan’ mendapatkan imbuhan yang berupa sufiks {-aké} yang

beragam ngoko, menjadi kata minungsuhaké ‘berlawankan’. Untuk mendapatkan unsur keindahan dan makna yang lebih sopan, maka selanjutnya sufiks {-aké} yang beragam ngoko tersebut diubah dengan sufiks yang beragam krama, yaitu sufiks

{-akén}. Data minungsuhkên ‘berlawankan’ juga mengalami pengurangan vokal /a/

di tengah kata (sinkop), yakni dari kata minungsuhakên menjadi kata minungsuhkên.

1.2. Reduplikasi

a. Dwilingga Wutuh

Dwilingga wutuh merupakan perulangan kata yang sama pada kata

selanjutnya, bisa dengan menambahkan atau mengurangi salah satu vokal atau konsonan.

(36) kinarya gul-agul (ST/B5/L7)

‘yang dijadikan andalan’

Data di atas menunjukkan pemanfaatan dwilingga wutuh, yaitu berupa pengulangan kata agul ‘andalan’ yang diulang menjadi gul-agul ‘andalan’. Kata

gul-agul ‘andalan’ pada dasarnya berasal dari kata agul-agul ‘andalan’ yang

berkelas kata sebagai kata benda. Kata gul-agul ‘andalan’ mengalami pelesapan vokal /a/ di bagian awal kata. Pelesapan tersebut bertujuan untuk memenuhi konvensi sastra berupa jumlah guru wilangan pada baris ke tujuh yang berjumlah enam suku kata. Pengulangan kata gul-agul ‘andalan’ menimbulkan kesan indah.

(14)

commit to user

2. Diksi

Diksi merupakan pemilihan kosakata yang dinilai tidak lazim dan memiliki kesan keindahan atau arkhais dalam sebuah karya sastra. Pemilihan kosakata atu diksi dalam sebuah karya sastra sangat diperlukan, karena diksi juga bisa dijadikan sebagai salah satu parameter dalam menilai suatu karya sastra, baik atau tidaknya mutu karya sastra tersebut. Pemanfaatan diksi meliputi sinonimi, antonimi,

protesis, têmbung plutan, têmbung garba, penggunaan bahasa Jawa krama, dan

penggunaan bahasa Jawa Kuna/ Sanskêrta. 2.1.Sinonimi

Sinonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang sama; atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain (Sumarlam 2013: 61). Berikut sinonimi yang ditemukan dalam data.

(37) guna bisa saniskarèng karya (ST/B2/L2) ‘pandai dalam segala hal pekerjaan’

Data di atas menunjukkan adanya sinonimi kata dengan kata, yaitu pada kata guna ‘pandai’ dan pada kata bisa ‘pandai’. Kata guna merupakan salah satu kosa kata dalam bahasa Jawa Kuna atau bahasa Sanskerta yang berarti ‘pandai’. 2.2.Antonimi

Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan/ beroposisi dengan satuan lingual yang lain (Sumarlam, 2013: 62-63). Berikut data yang mengandung antonimi. (38) lan nolih yayah réna (ST/B4/L6)

‘dan mengangkat ayah ibunya’

Data di atas menunjukkan adanya antonimi hubungan yang sifatnya saling melengkapi, yaitu pada kata yayah ‘ayah’ dan réna ‘wong wadon’. Adapun kata

yayah di dalam konteks tuturan di atas berarti ‘ayah’ sebagai seorang laki-laki

dimungkinkan ada kehadirannya karena kehadiran kata lain yang menjadi oposisinya yaitu kata réna ‘wong wadon’ yang mengacu pada seorang ibu.

2.3.Protesis

Protesis adalah penambahan suara di awal kata. Penambahan suara tersebut

tidak mengubah arti dan makna kata (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2011: 20). Adapun pemanfaatan protesis dalam data sebagai berikut.

(39) aprang tandhing lan ditya Ngalêngka aji (ST/B2/L9) ‘perang tanding melawan raja raksasa Ngalêngka’

Data di atas menunjukkan pemanfaatan protesis atau penambahan bunyi di awal kata, yakni kata aprang ‘perang’ yang berasal dari kata pêrang ‘perang’ (yang telah mengalami penambahan menjadi aprang ‘perang’). Adanya protesis berfungsi untuk memenuhi jumlah guru wilangan pada baris kesembilan yang berjumlah dua belas suku kata.

2.4.Têmbung Plutan

Têmbung plutan yaitu berubahnya suara pada suatu kata, tanpa mengubah

makna kata (Padmosoekotjo, dalam Untari 2014: 21). Berikut têmbung plutan yang ditemukan pada data.

(40) kang ginêlung tri prakara (ST/B1/L8) ‘yang dimuat dalam tiga hal’

Data tersebut menunjukkan pemanfaatan têmbung plutan atau pengurangan bunyi di awal kata, yakni kata kang ‘yang’ berasal dari kata ingkang ‘yang’.

(15)

commit to user

Pengurangan buny di awal kata disebut dengan aferesis. Adanya têmbung plutan berfungsi untuk memenuhi jumlah guru wilangan pada baris ke delapan yang berjumlah delapan suku kata.

(41) satriya gung nagari Ngalêngka (ST/B3/L2)

‘satriya agung negeri Ngalêngka’

Data tersebut menunjukkan pemanfaatan aferesis atau pengurangan bunyi di awal kata, yakni kata gung ‘besar’ berasal dari kata agung ‘besar’. Adanya

aferesis berfungsi untuk memenuhi jumlah guru wilangan pada baris ke dua yang

berjumlah sepuluh suku kata.

(42) mring raka amrih raharja (ST/B3/L8) ‘kepada kakandanya agar selamat’

Kata mring ‘kepada’ berasal dari kata maring ‘kepada’. Kata tersebut mengalami pengurangan suara di tengah kata atau disebut dengan sinkop. Pengurangan suara pada data di atas berfungsi untuk memenuhi jumlah guru

wilangan pada baris ke delapan yang berjumlah delapan suku kata.

(43) Dasamuka tan kéguh ing atur yêkti (ST/B3/L9)

‘Dasamuka tak tergoyahkan oleh pendapat baik’

Kata tan ‘tidak’ pada data di atas merupakan têmbung plutan yang berupa

aferesis, karena kata tersebut berasal dari kata dasar datan ‘tidak’ dan mengalami

pengurangan suara di awal katanya. Pengurangan suara pada data di atas berfungsi untuk memenuhi jumlah guru wilangan pada baris ke sembilan yang berjumlah dua belas suku kata.

(44) duk bantu prang Manggada nagri (ST/B2/L5)

‘ketika membantu perang negeri Manggada’

Data tersebut menunjukkan pemanfaatan têmbung plutan, yakni kata prang ‘perang’ yang berasal dari kata pêrang ‘perang’ (yang telah mengalami elipsis menjadi prang ‘perang’). Adanya têmbung plutan yang berupa aferesis berfungsi untuk memenuhi jumlah guru wilangan pada baris kelima yang berjumlah sembilan suku kata.

2.5.Têmbung Garba

Têmbung garba atau kata gabung yaitu satuan lingual yang mengalami

persandian sebagai akibat dari penggabungan dua kata atau lebih. Persandian adalah timbulnya suara baru sebagai akibat dari bergabungnya dua satuan lingual. Berikut contoh têmbung garba yang terdapat pada data.

(45) guna bisa saniskarèng karya (ST/B2/L2)

‘pandai dalam segala pekerjaan’

Data di atas menunjukkan pemanfaatan têmbung garba yaitu kata saniskarèng ‘dalam segala’ yang berasal dari kata saniskara + ing. Adanya vokal /a/ dan vokal /i/ yang bersandingan pada kata saniskara+ing menyebabkan persandian dalam sehingga membentuk vokal /è/. Pemanfaatan têmbung garba pada tuturan di atas untuk menimbulkan kesan estetis suatu kata. Selain itu, pemanfaatan têmbung garba juga untuk memenuhi konvensi tembang

dhandhanggula berupa jumlah guru wilangan pada baris ke dua yang berjumlah

sepuluh suku kata.

(46) wus mukti anèng Ngalêngka (ST/B4/L8)

‘telah hidup nikmat di negeri Ngalêngka’

Data tersebut menunjukkan kata anèng ‘di’ yang berasal dari kata ana+ing. Seperti pada sebelumnya, adanya vokal /a/ dan vokal /i/ yang bersandingan pada

(16)

commit to user

kata ana+ing menyebabkan adanya persandian dalam, sehingga membentu vokal /è/. Pemanfaatan têmbung garba pada tuturan di atas untuk memenuhi konvensi sastra tembang dhandhanggula, yaitu berupa jumlah guru wilangan di baris ke delapan yang berjumlah delapan suku kata.

(47) marga dènnya arsa males sih (ST/B6/L5)

‘karena dengan demikian ia memperoleh jalan membalas cinta kasih’ Data di atas menunjukkan kata males sih ‘membalas cinta kasih’ yang berasal dari kata males + asih. Pemanfaatan têmbung garba pada tuturan di atas untuk memenuhi konvensi sastra tembang dhandhanggula, yaitu berupa jumlah

guru wilangan di baris ke lima yang berjumlah sembilan suku kata. Meskipun

sebagai têmbung garba, penulisan kata malês sih dipisah, dikarenakan adanya konsonan /s/ ganda yang berada di tengah kata tersebut. Pemisahan penulisan kata tersebut berfungsi untuk efektivitas kata.

(48) sumbaga wirotama (ST/B6/L10)

‘mahsyur sebagai perwira utama’

Data tersebut menunjukkan kata wirotama ‘perwira utama’ yang berasal dari kata wira + utama. Adanya vokal /a/ dan vokal /u/ yang bersandingan pada kata wira+utama menyebabkan adanya persandian dalam, sehingga membentu vokal /o/. Pemanfaatan têmbung garba pada tuturan di atas untuk memenuhi konvensi sastra tembang dhandhanggula, yaitu berupa jumlah guru wilangan di baris ke sepuluh yang berjumlah tujuh suku kata.

(49) katri mangka sudarsanéng Jawi (ST/B7/L1)

‘ketiganya sebagai teladan orang Jawa’

Data di atas menunjukkan kata sudarsanêng ‘teladan’ yang berasal dari kata sudarsana + ing. Adanya vokal /a/ dan vokal /i/ yang bersandingan pada kata

sudarsana+ing menyebabkan adanya persandian dalam, sehingga membentu vokal

/è/. Pemanfaatan têmbung garba pada tuturan di atas untuk memenuhi konvensi sastra tembang dhandhanggula, yaitu berupa jumlah guru wilangan di baris ke satu yang berjumlah sepuluh suku kata.

(50) pantês lamun sagung pra prawira (ST/B7/L2)

‘sepantasnyalah semua perwira’

Kata sagung yang berasal dari kata sa + agung. Bertemunya dua vokal /a/ di tengah kata menyebabkan terjadinya elipsis atau pelesapan salah satu vokal /a/. Penggabungan dua kata tersebut utamanya bertujuan untuk memenuhi jumlah guru

wilangan dalam setiap baris tembang, yaitu pada baris ke dua yang berjumlah

sepuluh suku kata.

(51) manawa tibèng nistha (ST/B7/L6)

‘jikalau jatuh dalam kehinaan’

Kata tibèng ‘jatuh dalam’ yang berasal dari kata tiba + ing. Adanya vokal /a/ dan vokal /i/ yang bersandingan pada kata tiba+ing menyebabkan adanya persandian dalam, sehingga membentu vokal /è/. Pemanfaatan têmbung garba pada tuturan di atas untuk memenuhi konvensi sastra tembang dhandhanggula, yaitu berupa jumlah guru wilangan di baris ke enam yang berjumlah tujuh suku kata. 2.6.Têmbung Camboran

Têmbung Camboran ialah dua kata atau lebih disambung menjadi satu,

adapun kata-katanya ada yang utuh dan ada juga yang sudah disingkat. (52) suryaputra narpati Ngawangga (ST/B5/L2)

(17)

commit to user

Kata suryaputra ‘suryaputra’ merupakan dua kata yang disingkat menjadi satu kata. Kata surya ‘surya’ pada kata di atas mengacu kepada Bathara Surya, dan kata putra ‘putra’ pada kata di atas berarti putra atau anak. Dengan demikian, kata suryaputra dimaknai sebagai seorang putra Bathara Surya yang mengacu kepada Adipati Karna.

2.7.Têmbung Saroja

Têmbung saroja atêgês têmbung rangkêp. Maksudé: têmbung loro kang paḍa têgêsé utawa mèh paḍa têgês, dianggo bêbarêngan ‘têmbung saroja berarti

kata rangkap. Maksudnya: dua kata yang berarti sama atau hampir sama artinya, digunakan secara bersamaan’ (S. Padmosoekotjo, 1955: 25). Berikut têmbung

saroja yang terdapat pada data.

(53) guna bisa saniskarèng karya (ST/B2/L2) ‘memiliki kepandaian dalam segala pekerjaan’

Kata guna ‘pandai’ dan kata bisa ‘pandai’ memiliki arti yang sama yaitu ‘pandai’. Data di atas menunjukkan adanya penggunaan kata guna dan bisa secara bersisihan, yang bertujuan untuk menekankan atau menyangatkan suatu tuturan. Adanya têmbung saroja pada data di atas juga membuat makna tuturan lebih mendalam.

2.8.Penggunaan bahasa Jawa krama

Pada data juga ditemukan penggunaan bahasa Jawa krama untuk memperindah bunyi atau lirik tembang. Di sisi lain, penggunaan bahasa Jawa krama tersebut juga dimanfaatkan untuk memberikan kesan kehalusan lirik-liriknya. Berikut uraian data yang memanfaatkan penggunaan bahasa Jawa krama dalam

Sêrat Tripama.

(54) liré lêlabuhan tri prakawis (ST/B2/L1)

‘arti jasa bakti yang tiga macam’

Data tersebut menunjukkan adanya pemakaian bahasa Jawa krama, yaitu pada kata prakawis ‘macam’. Kata tersebut merupakan ragam krama dari kata

perkara ‘macam’. Penggunaan ragam krama pada tuturan di atas untuk memenuhi guru swara pada baris ke satu yang jatuh pada vokal /i/.

(55) suprandéné nggayuh utami (ST/B3/L5)

‘meskipun demikian berusaha mencapai keutamaan’

Data tersebut menunjukkan adanya pemakaian bahasa Jawa krama, yaitu pada kata suprandéné ‘meskipun’ dan kata utami ‘keutamaan’. Kata suprandéné ‘meskipun’ lebih memiliki nilai keindahan, sehingga digunakan dalam lirik tuturan di atas. Adapun kata utami ‘keutamaan’ tersebut merupakan ragam krama dari kata

utama ‘keutamaan’. Penggunaan ragam krama pada tuturan utami ‘keutamaan’

untuk memenuhi guru swara pada baris ke lima yang jatuh pada vokal /i/. 2.9.Penggunaan bahasa Jawa Kuna/ Sanskerta

Penggunaan bahasa Sanskerta dalam Sêrat Tripama berfungsi untuk menambah kesan arkhais lirik tembang, sehingga akan menimbulkan aspek keindahan di dalamnya. Berikut data-data yang menunjukkan adanya pemanfaatan bahasa Sanskerta.

(56) kang ginêlung tri prakara (ST/B1/L8)

‘yang termuat dalam tiga hal’

Data di atas menunjukkan adanya pemakaian bahasa Jawa Kuna atau Sanskerta, yaitu pada kata tri ‘tiga’. Kata tersebut dalam bahasa Jawa memiliki arti

(18)

commit to user

yang sama dengan kata telu ‘tiga’. Penggunaan ragam Jawa Kuna atau Sanskerta pada tuturan di atas untuk memberikan kesan literer dan arkhais bahasa karya sastra. (57) guna bisa saniskarèng karya (ST/B2/L2)

‘pandai dalam segala pekerjaan’

Data tersebut menunjukkan adanya pemakaian bahasa Jawa Kuna atau Sanskerta, yaitu pada kata karya ‘pekerjaan’. Kata tersebut dalam bahasa Jawa memiliki arti yang sama dengan kata gawé ‘pekerjaan’. Penggunaan ragam Jawa Kuna atau Sanskerta pada tuturan di atas untuk memberikan kesan literer bahasa karya sastra, sekaligus untuk memenuhi konvensi sastra berupa guru swara /a/ yang jatuh di akhir baris ke dua.

(58) aprang tandhing lan ditya Ngalêngka aji (ST/B2/L9)

‘perang tanding melawan raja raksasa Ngalêngka’

Data di atas menunjukkan adanya pemakaian bahasa Jawa Kuna atau Sanskerta, yaitu pada kata ditya ‘raksasa’. Kata tersebut dalam bahasa Jawa memiliki arti yang sama dengan kata buta ‘raksasa’ ataupun rasêksa ‘raksasa’. Penggunaan ragam Jawa Kuna atau Sanskerta pada tuturan di atas untuk memberikan kesan literer dan arkhais bahasa karya sastra. Kata ditya dipilih untuk memenuhi guru swara vokal a terbuka /O/ sehingga menimbulkan bunyi ritmis yang indah.

(59) tur iku warna diyu (ST/B3/L4)

‘padahal itu berwujud raksasa’

Data di atas menunjukkan adanya pemakaian bahasa Jawa Kuna atau Sanskerta, yaitu pada kata diyu ‘raksasa’. Kata tersebut dalam bahasa Jawa memiliki arti yang sama dengan kata buta ‘raksasa’ ataupun rasêksa ‘raksasa’. Penggunaan ragam Jawa Kuna atau Sanskerta berfungsi untuk memenuhi konvensi sastra tembang dhandhanggula berupa guru swara yang jatuh pada vokal /u/ di baris ke empat.

(60) mring raka amrih raharja (ST/B3/L8)

‘kepada kakandanya agar selamat’

Data tersebut menunjukkan adanya pemakaian bahasa Jawa Kuna atau Sanskerta, yaitu pada kata raka ‘kakak’ dan kata raharja ‘selamat’. Kata tersebut dalam bahasa Jawa memiliki arti yang sama dengan kata kakang ‘kakak’. Kata

raharja ‘selamat’ dalam bahasa Jawa memiliki arti yang sama dengan kata slamêt

‘selamat’ ataupun kata rahayu ‘selamat’. Penggunaan ragam Jawa Kuna atau Sanskerta pada tuturan raka ‘kakak’ untuk memberikan kesan literer dan arkhais bahasa karya sastra, sedangkan pada kata raharja ‘selamat’ berfungsi untuk memenuhi konvensi tembang dhandhanggula berupa guru swara yang jatuh pada vokal /O/ di baris ke delapan.

(61) dé mung mungsuh wanara (ST/B3/L10)

‘padahal hanya bermusuhkan kera’

Data di atas menunjukkan adanya pemakaian bahasa Jawa Kuna atau Sanskerta, yaitu pada kata wanara ‘kera’. Kata tersebut dalam bahasa Jawa memiliki arti yang sama dengan kata kêthèk ‘kera’. Penggunaan ragam Jawa Kuna atau Sanskerta pada tuturan wanara ‘kera’ memberikan kesan literer, dan berfungsi untuk memenuhi konvensi tembang dhandhanggula berupa guru swara yang jatuh pada vokal /a/ di baris ke sepuluh.

(19)

commit to user

C. Pemanfaatan Gaya Bahasa dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA Mangkunegara IV

Pemanfaatan gaya bahasa dalam sebuah karya sastra berfungsi untuk menambah nilai keindahan dan juga sebagai sarana untuk menyampaikan pesan atau makna oleh pengarang. Gaya bahasa yang ditemukan dalam SPWKM IV yaitu gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dan gaya bahasa yang secara konsep mengacu pada Gorys Keraf. Gaya bahasa dalam SPWKM akan diuraikan urut dari bait pertama sampai dengan bait ketujuh.

1. Simile

Pernyataan secara langsung atau yang disebut dengan gaya bahasa simile, lebih cenderung menggunakan kata bantu: bagaikan, seperti, sama, bak, laksana, dan sebagainya. Pemakian gaya bahasa simile dalam SPWKM IV ditandai dengan kata kadya. Berikut data yang menunjukkan pemakaian gaya bahasa simile. (62) kadya nguni caritané (ST/B1/L3)

‘seperti cerita pada masa dahulu’

Pemanfaatan kata kadya ‘seperti’ pada data tersebut menunjukkan adanya perbandingan prajurit seperti pada cerita masa dahulu, yaitu seyogyanya prajurit yang bisa menjadi andalan ratu atau raja.

2. Epilet

Epilet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri khusus dari seseorang atau sesuatu hal dengan keterangan berupa kalimat deskriptif. (63) sasrabau ing Maèspati (ST/B1/L5)

aran Patih Suwanda (ST/B1/L6) ‘sasrabau di Maèspati’

‘bernama Patih Suwanda’

Pada tuturan sasrabau ing Mèspati ‘Sasrabau di Maèspati’ dan aran Patih Suwanda ‘bernama Patih Suwanda’, keduanya sama-sama merupakan keterangan yang mendeskripsikan tentang seseorang, yaitu sasrabau di Maèspati mengacu kepada Patih Suwanda.

3. Anastrof

Anastrof atau yang juga disebut inversi adalah gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Adapun data dalam SPWKM IV yang menggunakan gaya bahasa anastrof adalah sebagai berikut. (64) duk bantu prang Manggada nagri (ST/B2/L5)

‘ketika membantu perang di negeri Manggada’

Data di atas menunjukkan adanya gaya bahasa anastrof atau inversi, yaitu dengan membalikkan susunan kata Manggada nagri ‘negeri Manggada’. Kata

Manggada ‘Manggada’ merupakan objek yang diterangkan sedangkan kata nagri

‘negeri’ merupakan kata yang menerangkan, sehingga susunannya menjadi DM (Diterangkan Menerangkan). Pemanfaatan gaya bahasa anastrof pada data tersebut untuk memenuhi konvensi sastra berupa jatuhnya guru swara atau guru lagu bervokal /i/ di akhir kalimat pada tembang dhandhanggula baris ke lima.

(65) aprang tandhing lan ditya Ngalêngka aji (ST/B2/L9)

‘perang tanding melawan raksasa negeri Ngalêngka’

Data di atas menunjukkan adanya gaya bahasa anastrof yaitu pada kata

Ngalêngka aji ‘negeri Ngalêngka’. Pemanfaatan gaya bahasa anastrof pada data ini

(20)

commit to user

sebagai kata yang diterangkan, dan kata aji ‘negeri’ sebagai kata yang menerangkan. Pembalikan susunan kata Ngalêngka aji ‘negeri Ngalêngka’ untuk memenuhi guru swara atau guru lagu di akhir baris pada tembang dhandhanggula baris ke sembilan yang akhir kalimatnya jatuh pada vokal /i/.

4. Hiperbol

Hiperbol adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Adapun penggunaan majas hiperbola yang terdapat di dalam tembang sebagai berikut.

(66) guna bisa saniskarèng karya (ST/B2/L2)

‘memiliki kepandaian dalam segala pekerjaan’

Pada data di atas terdapat majas hiperbola dalam kalimat guna bisa saniskarèng karya ‘memiliki kepandaian dalam segala pekerjaan’. Hal itu berlebihan, karena Patih Suwanda digambarkan sebagai seorang manusia yang menjadi prajurit atau Patih, dan tidak dapat dipungkiri bahwa manusia juga memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Begitu pun juga dengan Patih Suwanda, ia juga pasti memiliki kekurangan, sehingga kemungkinan kecil jika ia bisa melakukan segala hal pekerjaan.

5. Eponim

Eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Adapun penggunaan gaya bahasa eponim yang ditemukan di dalam teks pada bait 6 larik kedelapan dan kesembilan sebagai berikut.

(67) aprang ramé Karna mati jinêmparing (ST/B6/L9) sumbaga wirotama (ST/B6/L10)

‘dalam perang ramai Karna mati dipanah’ ‘mahsyur sebagai perwira utama’

Pada data di atas nama Karna dihubungkan dengan sifat keteladanannya, yaitu ia memiliki sifat sebagai wirotama atau perwira utama.

6. Metonimia

Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan sesuatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Adapun penggunaan gaya bahasa metonimia yang terdapat di dalam teks terdapat dalam bait 3 larik kedua dan ketiga sebagai berikut.

(68) satriya gung nagari Ngalengka (ST, P3, L2) sang Kumbakarna namané (ST, P3, L3) ‘satriya besar Negeri Alengka’

‘sang Kumbakarna namanya’

Pada data di atas terdapat penggunaan gaya bahasa yang berupa metonimia, yaitu satriya gung nagari Ngalengka ‘satriya besar Negeri Alengka’ mengacu kepada Sang Kumbakarna.

7. Inuendo

Gaya bahasa inuendo, yaitu gaya bahasa yang berupa sindiran. Adapun penggunaan gaya bahasa yang berupa inuendo terdapat pada bait satu, larik kesatu sampai dengan kesepuluh Sêrat Tripama.

(69) yogyanira kang para prajurit lamun bisa samya anuladha kadya nguni caritané

(21)

commit to user sasrabahu ing Maèspati

aran Patih Suwanda lêlabuhanipun

kang ginêlung tri prakara

guna kaya purunné kang dênantêpi nuhoni trah utama (ST/B1/L1-10) ‘seyogyanya para prajurit’

‘bila dapat semua meneladani’ ‘seperti masa dahulu’

‘andalan sang raja ‘sasrabahu di Maespati’ ‘bernama Patih Suwanda’ ‘jasa-jasanya’

‘yang dicerminkan dalam tiga hal’

‘pandai mampu dan berani yang ditekuninya’ ‘menepati sifat keturunan orang yang utama’

Pada data di atas dapat terdapat gaya inuendo, yaitu gaya bahasa yang berupa sindiran. Dalam teks di atas, KGPAA Mangkunegara IV secara tersirat menginginkan prajurit-prajuritnya untuk mencontoh keteladanan dari Patih Suwanda yang menjadi andalan sang Prabu. Seorang prajurit atau Patih seyogyanya memiliki sifat-sifat seperti Patih Suwanda, yaitu guna, kaya, dan purun. Hal itu pulalah yang seharusnya ditiru dan diteladani oleh prajurit-prajurit zaman sekarang, yang tidak sekadar berhak digaji, tetapi juga berkewajiban membela negaranya meskipun mempertaruhkan nyawa.

4. SIMPULAN DAN SARAN a. Simpulan

Berdasarkan penelitian dengan kajian stilistika dalam Sêrat Tripama, diperoleh simpulan sebagai berikut.

1. Terdapat tiga macam aspek bunyi yang ditemukan dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA Mangkunegara IV. Pertama, purwakanthi guru swara atau asonansi, yaitu perulangan bunyi vokal /O/, /a/, /i/, dan /u/. Kedua, purwakanthi guru

sastra atau aliterasi, yaitu perulangan konsonan /d/, /k/, /l/, /n/, /r/, /s/, /t/, /y/,

dan /G/. Ketiga, purwakanthi lumaksita atau purwakanthi basa yaitu perulangan suku kata mung yang berjumlah satu data, dan perulangan suku kata kar yang berjumlah satu data.

2. Terdapat sepuluh pemilihan kata yang terdapat dalam Sêrat Tripama Karya Mangkunegara IV yakni morfologi ragam literer bahasa Jawa yang meliputi afiksasi dan reduplikasi. Afiksasi ragam literer bahasa Jawa yang ditemukan berupa prefiks/ atêr-atêr {ka-}, {pi-}, dan {pra-}; infiks {-in-} dan {-um-}; sufiks {-ira}, {-ipun}, {-nya}, {-ing}, dan {-nta}; konfiks {dèn- -i}, {in- -aké}, dan {ka- -an}; simulfiks {sa- -ipun}, {ka- -né}, dan {in- -aké}. Adapun reduplikasi yang ditemukan yaitu dwilingga. Diksi meliputi: sinonimi, antonimi, protesis, têmbung plutan, têmbung garba, têmbung camboran,

têmbung saroja, penggunaan bahasa Jawa krama, dan penggunaan bahasa Jawa

(22)

commit to user

3. Terdapat tujuh gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, yaitu berupa gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Pemanfaatan gaya bahasa retoris meliputi: anastrof dan hiperbol. Adapun pemanfaatan gaya bahasa kiasan meliputi: simile, eponim, epilet, metonimia, dan inuendo.

b. Saran

Penelitian yang berjudul Kajian Stilistika dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA Mangkunegara IV ini direncanakan belum mengkaji posisi atau distribusi penanda lingual yang menyebabkan adanya pemenuhan stilistika. Dengan demikian kajian posisi atau distribusi penanda lingual untuk memenuhi stilistika tersebut bisa dilaksanakan dalam penelitian lebih lanjut yang merupakan pemantapan penelitian ini.

(23)

commit to user

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, 1995. Stilistika, Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.

Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.

Kasnadi dan Sutejo. 2010. Stilistika (Teori, Aplikasi, dan Alternatif

Pembelajarannya). Ponorogo: Spectrum Center Ponorogo.

Moleong, Lexy J. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Puspitasari, Erlyna. 2014. “Stilistika Syiir Berbahasa Jawa Pada Pengajian Akbar Bersama Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf”. SKRIPSI. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya (Cetakan I). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Subroto, D. Edi. 1992. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian

Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: SERI ILDEP.

Referensi

Dokumen terkait

(4) Dalam menjalankan fungsi penyelenggaraan sebagaimana dimaksud dalam pasal (2) ayat (3) Pengurus Lembaga Tingkat Pusat 0riter 0riteri kepada

Guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengamati beberapa permasalahan yang terkait dengan memahami istilah hadis, membaca salah satu hadis shahih riwayat

Tujuan penelitian ini adalah: Mendeskripsikan Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan (SMA/SMK) di Kabupaten Minahasa Tenggara berdasarkan 4 Standar Nasional

Sedangkan post-test diberikan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol di akhir penelitian untuk mengetahui kemampuan siswa dari kedua kelas dalam komunikasi

Karena itu tidak mengherankan banyak acara siaran di televisi.. yang jika diukur dari segi agama dan moral menjadi

“Saya pikir teman-teman non-Muslim merasa tidak nyaman jika kita terlalu sering pergi ke tempat istirahat untuk melakukan salat. Saya merasa tidak nyaman juga”. Selain itu,

ABDUR ROZAKI NANANG MIZWAR HASYIM..

banyak kecelakaan yang terjadi baik kecelakaan nuklir/radiasi dan/atau kecelakaan non-nuklir dapat atau berpotensi menimbulkan kedaruratan nuklir. Dalam Pasal 16 ayat 1