• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI EKSTRAKSI PEMBULUH RETINA DENGAN METODE MATCHED FILTER DAN FIRST-ORDER DERIVATIVE OF GAUSSIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI EKSTRAKSI PEMBULUH RETINA DENGAN METODE MATCHED FILTER DAN FIRST-ORDER DERIVATIVE OF GAUSSIAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

IMPLEMENTASI EKSTRAKSI PEMBULUH RETINA DENGAN METODE MATCHED

FILTER DAN FIRST-ORDER DERIVATIVE OF GAUSSIAN

Firda Nur Safira1, Handayani Tjandrasa2, Arya Yudhi Wijaya3 Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Informasi

Institut Teknologi Sepuluh Nopember

email : [email protected], [email protected], [email protected]

ABSTRAKSI

Ekstraksi pembuluh darah secara otomatis pada citra retina merupakan langkah penting dalam diagnosis penyakit dengan bantuan komputer. Citra retina memberikan informasi terhadap perubahan patologis yang disebabkan oleh penyakit dan sebagai penanda awal dari gejala penyakit sistem indera penglihatan tertentu. Pendeteksian dini terhadap gejala-gejala penderita merupakan hal penting karena dapat diketahui perawatan yang bersesuaian. Karakteristik dari pembuluh darah pada retina membantu untuk menggolongkan tingkat keparahan penyakit ini, disamping juga dapat dijadikan sebagai petunjuk dalam pengobatan.

Dalam tugas akhir ini metode matched Filter dan first-order derivative of Gaussian digunakan untuk melakukan ekstraksi pembuluh retina pada citra fundus mata berwarna. Pada awalnya citra green channel difilter menggunakan Matched Filter. Kemudian citra green channel ini difilter menggunakan First-Order Derivative of Gaussian Filter. Selanjutnya dilakukan threshold pada citra response terhadap Matched Filter, dimana level dari threshold ini telah disesuaikan dengan citra response terhadap First-Order Derivative of Gaussian Filter sehingga didapatkan citra keluaran yang merupakan citra yang hanya berisi pembuluh darah.

Hasil eksperimen berdasarkan citra fundus mata berwarna yang tersedia, yaitu STARE dan DRIVE yang masing-masing terdiri dari 20 citra retina. Dengan menggunakan dua dataset ini, didapatkan akurasi sebesar 95,2% untuk STARE dan 93,7% untuk DRIVE masing-masing pada 10 kali percobaan. Metode ini terbukti mampu mengekstraksi pembuluh darah pada citra fundus mata berwarna dengan baik dan meminimalisir kesalahan deteksi yang ada pada metode Matched Filter.

Kata Kunci: Ekstraksi pembuluh darah retina, Matched filter, Deteksi pembuluh, Deteksi garis.

1 Pendahuluan

Mata adalah salah satu indera tubuh manusia yang sangat kompleks dan berfungsi untuk penglihatan. Meskipun fungsinya bagi kehidupan manusia sangat penting, namun seringkali kurang terperhatikan. Hal ini menyebabkan banyak penyakit dan gangguan yang menyerang mata. Pada saat ini, jumlah penyakit mata lebih dari 200. Sebagian menimpa kaum berusia 40 tahun keatas. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Eye Disease Prevalence Research Group diperkirakan pada tahun 2020 jumlah penderita penyakit mata akan mencapai 55.000.000 jiwa.

Retina merupakan lapisan saraf yang melapisi bagian belakang mata, menangkap cahaya, dan menciptakan impuls yang berjalan melalui saraf optik ke otak. Identifikasi dari beberapa bagian anatomi retina merupakan persyaratan dari diagnosa awal beberapa penyakit retina [1]. Identifikasi ini dapat menggunakan citra retina. Citra retina memperlihatkan tampak dalam dari mata sehingga dapat membantu pengamatan terhadap penyakit yang terdapat pada mata. Pada beberapa penyakit, ketidaknormalan yang terjadi dapat dilihat pada pembuluh darah yang terdapat pada citra retina. Pendeteksian awal dapat dilakukan dengan melihat pembuluh darah yang membesar, percabangan yang tidak normal pada pembuluh darah, dan sebagainya. Untuk mencari

(2)

2 pembuluh darah retina dari citra retina dapat dilakukan dengan ekstraksi pembuluh darah retina. Ekstraksi terhadap pembuluh darah retina dengan menggunakan citra retina dapat menyediakan sebuah pemetaan dari pembuluh darah di retina yang dapat memudahkan penilaian karakteristik pembuluh darah tersebut.

Pendeteksian manual terhadap pembuluh darah ini sulit dilakukan karena penampakan dari pembuluh darah pada citra retina cukup kompleks dan muncul dalam kontras yang rendah. Oleh sebab itu, sebuah pengukuran manual akan sangat melelahkan dan dibutuhkan metode pendeteksian otomatis yang handal.

Ekstraksi pembuluh darah secara otomatis pada citra retina merupakan langkah penting dalam diagnosis dan pengobatan penyakit dengan bantuan komputer untuk penyakit diabetic retinopathy [2-9], hypertension [10], glaucoma[11], arteriosclerosis dan retinal artery occlusion, obesity [12], dan lain-lain.

Ekstraksi pembuluh pada dasarnya merupakan permasalahan untuk mendeteksi tepi dan telah banyak metode yang diajukan, misalnya metode filtering, mathematical morphology, trace, machine-learning dan lain-lain. Di antara berbagai macam metode ekstraksi, matched filter merupakan metode yang representatif, sederhana, dan efektif. Kekurangan dari metode matched filter adalah metode ini tidak hanya mengekstraksi pembuluh, tetapi juga mengekstraksi non pembuluh.

Dalam Tugas Akhir ini penulis mengimplementasikan ekstraksi pembuluh darah retina pada citra fundus mata berwarna menggunakan metode matched filter dan first-order derivative of Gaussian. Kontribusi utama dari Tugas Akhir ini adalah menemukan pembuluh darah retina pada citra fundus mata berwarna dengan menggunakan proses ekstraksi. Proses ini menggunakan metode matched filter dan first-order derivative of Gaussian untuk menyempurnakan hasil deteksi pembuluh yang dilakukan metode matched filter. Metode ini mendapatkan hasil deteksi pembuluh yang hasilnya sebanding dengan metode lain yang kompleksitasnya lebih tinggi daripada matched filter. Selain itu metode ini sangat baik digunakan untuk citra pathological retina.

2 Tinjauan Pustaka 2.1 Citra

Citra dapat didefinisikan sebagai fungsi dua dimensi, f(x,y), x dan y merupakan koordinat spasial dan f pada koordinat (x,y) merupakan intensity atau gray level citra pada titik tersebut. Ketika x,y dan f bernilai diskrit citra disebut disebut citra digital. Citra digital merupakan citra yang dihasilkan melalui proses digitalisasi terhadap citra kontinu. Sehingga pengolahan citra digital merujuk pada pemrosesan citra digital dengan digital computer. Pengolahan citra digital mencakup proses yang input dan output-nya adalah citra dan juga proses yang mengekstrak atribut dari citra sampai dengan pengenalan objek.

2.2 Hubungan Antar Piksel

Terdapat beberapa jenis hubungan antar piksel, diantaranya ketetanggaan dan konektivitas. Sebuah piksel p pada koordinat (x,y) memiliki empat tetangga, yaitu tetangga yang berada pada arah horizontal dan vertikal. Keempat tetangga tersebut memiliki koordinat (x+1, y), (x-1, y), (x, y+1), dan (x, y-1). Piksel-piksel tersebut disebut sebut sebagai 4-neighbors dari p, yang dinotasikan dengan N4(p). Selain tetangga pada arah horizontal dan vertikal, terdapat empat tetangga piksel p pada arah diagonal. Koordinat piksel tetangga tersebut adalah (x+1), y+1), (x+1, y-1), (x-1, y+1), dan (x-1, y-1). Piksel-piksel tersebut dinotasikan dengan ND(p). ND(p) bersama dengan 4-neighbors disebut sebagai 8-neighbors dari p, dan dinotasikan dengan N8(p).

Konektivitas antar piksel merupakan konsep dasar yang menyederhanakan definisi berbagai konsep dasar citra digital, seperti region dan boundary. Dua piksel dikatakan memiliki konektivitas bila kedua piksel tersebut bertetangga dan derajat keabuannya memenuhi kriteria kesamaan tertentu. Pada citra biner, dua piksel dikatakan memiliki konektivitas bila bertetangga dan memiliki nilai yang sama [13].

2.3 Histogram

Histogram pada citra bertindak sebagai representasi grafis dari distribusi intensitas pada citra digital. Histogram merepresentasikan jumlah

(3)

3 piksel untuk setiap nilai intensitas. Dengan melihat histogram citra seorang pengamat secara sekilas bisa menilai keseluruhan distribusi intensitas pada citra tersebut.

Sumbu horizontal pada histogram merepresentasikan nilai intensitas sedangkan sumbu vertikal pada histogram merepresentasikan jumlah piksel pada nilai intensitas tersebut. Daerah gelap direpresentasikan di sumbu horizontal sebelah kiri dan daerah yang terang direpresentasikan pada sumbu horizontal sebelah kanan. Jadi, semakin ke kanan intensitas semakin terang. Jika terdapat histogram yang datanya mengumpul di kiri berarti gambar tersebut sangat gelap sedangkan bila datanya cenderung mengumpul di kanan berarti gambar tersebut sangat terang. Sumbu vertikal mereprsentasikan ukuran daerah setiap intensitas karena informasi yang terdapat dalam histogram merupakan representasi distribusi intensitas piksel, maka dengan menganalisis histogram bisa didapatkan puncak atau lembah dari histogram citra tersebut. Informasi tersebut kemudian dapat digunakan untuk menentukan nilai threshold, sehingga histogram citra dapat digunakan untuk thresholding. Selain itu dapat dimanfaatkan untuk proses deteksi tepi dan segmentasi citra

2.4 Segmentasi Citra

Segmentasi membagi citra menjadi objek atau daerah yang dipilih. Sampai seberapa jauh pembagian dalam citra tersebut tergantung pada permasalahan yang ingin diselesaikan. Ketika objek yang ingin disegmentasi telah terisolasi, segmentasi harus dihentikan. Hal ini dilakukan karena tidak ada gunanya untuk melakukan segmentasi melebihi tingkat kedetailan yang seharusnya dibutuhkan untuk mengidentifikasi elemen tersebut.

Sementasi citra merupakan salah satu pekerjaan yang paling sulit dalam pengolahan citra. Akurasi dari segmentasi menentukan kesuksesan atau kegagalan prosedur analisa yang terkomputerisasi. Oleh karena itu, sangat penting untuk meningkatkan akurasi segmentasi. Secara umum algoritma dalam segmentasi citra berdasar pada dua properti dasar dari nilai intensitas, yaitu diskontinuitas dan similaritas. Pendekatan pada kategori yang pertama adalah dengan membagi

citra berdasarkan pada perubahan intensitas yang tajam, seperti tepi pada citra. Sedangkan pendekatan pada kategori yang kedua berdasarkan pada pembagian citra menjadi daerah yang mirip berdasarkan pada sekumpulan kriteria yang telah didefinisikan sebelumnya. Beberapa contoh metode pada kategori ini adalah thresholding, region growing dan region splitting, serta merging. 2.5 Konvolusi Citra

Konvolusi merupakan perkalian antara dua fungsi, yaitu f dan g. Terdapat dua operasi konvolusi, yakni untuk fungsi malar dan fungsi diskrit. Untuk fungsi malar h(x,y) didefinisikan pada persaman

𝑕 𝑥, 𝑦 = 𝑓 𝑥, 𝑦 ∗ 𝑔 𝑥, 𝑦 (1) = 𝑓 𝑎, 𝑏 𝑔 𝑥 − 𝑎 𝑦 − 𝑏 𝑑𝑎𝑑𝑏 ∙−∞

Konvolusi dengan fungsi inilah yang banyak digunakan pada pengolahan citra digital. Namun fungsi ini sulit diimpelementasikan menggunakan komputer karena komputer hanya dapat melakukan perhitungan pada data diskrit. Untuk itulah dibentuk operasi konvolusi h(x,y) untuk fungsi diskrit seperti pada persamaan

𝑕 𝑥, 𝑦 = 𝑓(𝑥, 𝑦) ∗ 𝑔 𝑥, 𝑦 (2) = 𝑓 𝑎, 𝑏 𝑔 𝑥 − 𝑎 𝑦 − 𝑏 ,

𝑏=−∞

𝑎=−∞

pada citra biasanya dinotasikan dengan persamaan 𝑂 𝑥, 𝑦 = 𝐼 𝑥, 𝑦 ∗ 𝐹, (3)

dimana I(x,y) merupakan citra yang direpresentasikan dengan matriks m x n (𝑜 ≤ 𝑥 < 𝑚 dan 𝑜 ≤ 𝑦 < 𝑛), F merupakan kernel/filter/mask/window/template.

Operasi ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Memilih ukuran kernel yang berupa bilangan ganjil.

2. Menempatkan kernel pada piksel yang dimulai dari kiri atas dan selalu beroperasi pada ukuran area ketetanggaan yang sama.

3. Mengalikan elemen-elemen pada kernel yang merupakan koefisien konvolusi

(4)

4 dengan elemen yang bersesuaian pada piksel-piksel tetangga pada citra.

4. Menjumlahkan seluruh hasil perkalian dan kemudian nilai keluaran yang berupa nilai tunggal ini disimpan di dalam lokasi piksel baru, yaitu pusat dari ketetanggaan aslinya.

5. Memindahkan kernel satu piksel ke kanan, melakukan kembali perkalian dan penjumlahan elemen seperti langkah 3 dan 4, dan bergerak satu piksel ke kanan sampai baris diselesaikan kemudian pindah ke baris dibawahnya. Pemindahan kernel ini dilakukan terus-menerus hingga selesai.

2.6 Thresholding Citra

Thresholding adalah proses mengubah citra berderajat keabuan menjadi citra biner atau hitam putih sehingga dapat diketahui daerah mana yang termasuk objek dan background dari citra secara jelas. Citra hasil thresholding biasanya digunakan lebih lanjut untuk proses pengenalan objek serta ekstraksi fitur. Cara untuk mengekstrak objek dari background adalah dengan memilih nilai threshold T yang memisahkan dua mode tersebut. Kemudian untuk sembarang titik (x,y) yang memenuhi f(x,y) > T disebut titik objek, selain itu disebut titik background. Kesuksesan metode ini bergantung pada seberapa bagus teknik partisi histogram.

Metode thresholding secara umum

dibagi menjadi dua, yaitu Thresholding global

dan Thresholding adaptif. Thresholding global

dilakukan dengan mempartisi histogram dengan menggunakan sebuah threshold (batas ambang) global T, yang berlaku untuk seluruh bagian pada citra.Thresholding dikatakan global jika nilai threshold T hanya bergantung pada f(x,y), yang melambangkan tingkat keabuan pada titik (x,y) dalam suatu citra. Thresholding adaptif dilakukan dengan membagi citra menggunakan beberapa sub citra. Lalu pada setiap sub citra, segmentasi dilakukan dengan menggunakan threshold yang berbeda.

2.7 Operator Sobel

Operator Sobel adalah algoritma untuk mendeteksi tepi pada citra. Deteksi tepi pada dasarnya adalah untuk membedakan objek yang terdapat pada citra dengan background. Deteksi tepi mendeteksi perubahan yang tajam dalam brightness citra. Sebagiam besar metode deteksi tepi bekerja dengan asumsi bahwa tepi ditemukan ketika terdapat diskontinuitas pada intensitas. Terdapat banyak metode untuk melakukan deteksi tepi, namun secara garis besar ada dua metode untuk melakukan deteksi ini, yaitu Gradient dan Laplacian. Operator Sobel menggunakan pengetahuan bahwa sebuah tepi pada citra akan ditemukan ketika nilai gradiennya melebihi threshold. Gradien citra adalah perubahan intensitas atau warna pada sebuah citra. Operator Sobel menghitung perkiraan gradien citra dari setiap piksel dengan melakukan konvolusi citra terhadap pasangan filter 3x3. Filter ini mengestimasi gradien di arah horizontal (x) dan vertikal (y), kemudian besarnya gradien dihitung dengan menjumlahkan 2 gradien ini. Gambar 1(a) memperlihatkan filter x dan Gambar 1(b) memperlihatkan filter y. Sobel Detector sangat sensitif terhadap noise pada citra. Besarnya gradien dihitung menggunakan persamaan

𝐺 = 𝐺𝑥2+ 𝐺𝑦2 ∙ (4) -1 0 +1 -2 0 +2 -1 0 +1 +1 +2 +1 0 0 0 -1 -2 -1 (a) (b)

Gambar 1 Mask Sobel ; (a) Filter x; (b) Filter y;

2.8 Matched Filter

Matched filter adalah salah satu algoritma template matching yang digunakan untuk mendeteksi pembuluh darah pada citra retina dan aplikasi lain yang serupa. matched filter menggunakan properti spasial dari objek untuk dikenali. Ide dari matched filter ini sendiri muncul diawali dengan pengambilan sejumlah contoh dari

(5)

5 percabangan permbuluh darah mata. Kemudian profil tingkat keabuan dari contoh ini didekati dengan bentuk kurva Gaussian. Matched filter dirancang berdasarkan sejumlah properti dari pembuluh darah [15], yaitu:

 Pembuluh dapat didekati sebagai segmen anti-paralel

 Pembuluh memiliki reflektansi yang lebih rendah dibandingkan permukaan retina lain, sehingga pembuluh muncul relatif lebih gelap dibandingkan dengan background.

Semakin menjauhi optic disk, ukuran pembuluh semakin mengecil. Ukuran pembuluh terdapat pada rentang 2-10 piksel.

 Profil intensitas bervariasi dengan jumlah yang kecil dari pembuluh ke pembuluh.

Profil intensitas memiliki bentuk Gaussian Oleh karena itu, filter berbentuk Gaussian dapat digunakan untuk mendeteksi pembuluh. matched filter adalah zero-mean Gaussian filter didefinisikan pada persamaan

𝑓 𝑥, 𝑦 = 1

2𝜋𝑠𝑒𝑥𝑝 − 𝑥2

2𝑠2 − 𝑚 (5) 𝑥 ≤ 𝑡 ∙ 𝑠 , 𝑦 ≤ 𝐿/2 ,

dimana s merepresentasikan skala dari filter ini. Nilai 𝑚 = −𝑡𝑠𝑡𝑠 2𝜋𝑠1 𝑒𝑥𝑝 −𝑥

2

2𝑠2 𝑑𝑥 / 2𝑡𝑠 digunakan untuk menormalisasi nilai rata-rata dari filter menjadi 0 sehingga smooth background dapat dihapus setelah proses filter dilakukan. L adalah panjang dari neighborhood sepanjang sumbu y untuk menghilangkan noise. t bernilai konstan dan biasanya diset 3 karena lebih dari 99% area dari kurva Gaussian berada pada rentang [-3s,3s]. Parameter L dipilih berdasarkan s. Ketika s kecil, maka L relatif bernilai kecil dan sebaliknya.

𝑓 𝑥, 𝑦 akan dirotasi dengan sudut 𝜃 untuk mendeteksi pembuluh di orientasi yang berbeda. Rotasi 𝑓 𝑥, 𝑦 dengan sudut 𝜃 dapat dilihat pada persamaan

𝑓𝜃 𝑥, 𝑦 = 𝑓(𝑥, 𝑦)

𝑥= 𝑥 cos 𝜃 + 𝑦 sin 𝜃 ∙ (6) 𝑦= 𝑦 cos 𝜃 − 𝑥 sin 𝜃

2D Matched Filter mendeteksi segmen pembuluh darah melalui konvolusi citra dengan kernel Matched Filter yang telah dirotasi dan kemudian dilakukan penyimpanan bagi yang memiliki respon maksimal. Kemudian dilakukan threshold dari hasil konvolusi ini untuk memperoleh sebuah segmentasi biner dari segmen pembuluh darah. 2.9 First-Order Derivative of Gaussian

First-Order Derivative of Gaussian Filter merupakan turunan pertama dari Matched Filter. Ide penggunaan dari First-Order Derivative of Gaussian adalah percabangan pembuluh akan memiliki respon kuat positif terhadap Matched Filter tetapi respon terhadap First-Order Derivative of Gaussian Filter adalah anti-simetrik. Pada non pembuluh juga akan memiliki respon kuat positif terhadap Matched Filter tetapi respon terhadap First-Order Derivative of Gaussian Filter adalah positif dan simetrik. Oleh karena itu dapat digunakan untuk membedakan pembuluh dan non pembuluh yang kemudian meminimalisir munculnya non pembuluh pada citra. First-Order Derivative of Gaussian Filter didefinisikan pada persamaan 𝑔 𝑥, 𝑦 = − 𝑥 2𝜋𝑠3𝑒𝑥𝑝 − 𝑥2 2𝑠2 (7) 𝑥 ≤ 𝑡 ∙ 𝑠, 𝑦 ≤ 𝐿/2 ,

dimana s merepresentasikan skala dari filter ini. L adalah panjang dari neighborhood sepanjang sumbu y untuk menghilangkan noise. Nilai t bernilai konstan dan biasanya diset 3 karena lebih dari 99% area dari kurva Gaussian berada pada rentang [-3s,3s]. Parameter L dipilih berdasarkan s. Ketika s kecil, maka L relatif bernilai kecil dan sebaliknya.

𝑔 𝑥, 𝑦 akan dirotasi dengan sudut 𝜃 untuk mendeteksi pembuluh di orientasi yang berbeda. Rotasi 𝑓 𝑥, 𝑦 dengan sudut 𝜃 dapat dilihat pada persamaan

𝑔𝜃 𝑥, 𝑦 = 𝑔(𝑥, 𝑦)

𝑥= 𝑥 cos 𝜃 + 𝑦 sin 𝜃 ∙ (8) 𝑦= 𝑦 cos 𝜃 − 𝑥 sin 𝜃

(6)

6 2.10 Operasi Morfologi

Salah satu penerapan morfologi adalah dalam pengekstrakan komponen citra yang berguna dalam representasi dan deskripsi bentuk. Dalam morphology sekumpulan refleksi dan translasi dilakukan berdasarkan structuring element (SE). Structuring element merupakan suatu set kecil atau subimage yang digunakan untuk memeriksa citra yang sedang dipelajari propertinya. Structuring element biasanya direpresentasikan dengan matriks 0 dan 1, namun terkadang hanya ditampilkan yang bernilai 1 saja. Pada bagian berikut ini dijelaskan mengenai beberapa operasi dasar dalam morphology. Operasi – operasi tersebut antara lain dilasi, erosi, opening, closing.

2.10.1 Dilasi dan Erosi

Dilasi adalah operasi yang membuat objek dalam citra biner menjadi lebih “tebal”. Penebalan ini dikontrol oleh structuring element. Sedangkan erosi merupakan operasi yang membuat objek menjadi lebih “tipis” atau “menyusut”. Penipisan pada erosi juga dikontrol oleh structuring element seperti pada proses dilasi. Secara matematis, proses dilasi A oleh B, dengan A adalah citra yang akan didilasi dan B adalah structuring element, dapat dinotasikan sebagai berikut :

𝐴 ⊕ 𝐵 = 𝑧 (𝐵) ∩ 𝐴 ≠⊘ , 𝑧 (9) sedangkan proses erosi A oleh B dapat dinotasikan sebagai berikut :

𝐴 ⊖ 𝐵 = 𝑧 (𝐵)𝑧∩ 𝐴𝑐 ≠⊘} ∙ (10)

Secara grafis proses dilasi seperti proses mentranslasikan structuring element ke seluruh piksel pada citra dan kemudian diperiksa dimana saja piksel yang overlap dengan piksel yang bernilai 1. Lalu piksel citra hasil dilasi bernilai 1 pada setiap lokasi structuring element overlap minimal satu piksel bernilai 1 pada citra asli. Erosi secara grafis dapat digambarkan sebagai proses translasi structuring element ke seluruh citra dan kemudian dilakukan pengecekan utnuk melihat lokasi structuring element cocok sepenuhnya dengan foreground dari citra. Citra keluaran bernilai 1 pada setiap lokasi structuring element

overlap piksel bernilai 1 saja pada citra asli atau dengan kata lain tidak overlap dengan background citra.

2.10.2 Opening dan Closing

Morphological opening merupakan erosi yang diikuti dengan dilasi. Morphological opening A oleh B, dengan A adalah citra yang akan di-opening dan B adalah structuring element, dapat dinotasikan sebagai A ◦ B

𝐴 ∘ 𝐵 = 𝐴 ⊖ 𝐵 ⊕ 𝐵 ∙ (11)

Persamaan di atas secara sederhana dapat diinterpretasikan A ◦ B adalah gabungan dari seluruh translasi dari B yang pas sepenuhnya dengan A. Morphological opening menghapus daerah yang tidak mengandung structuring element, memperhalus kontur objek, memutus koneksi tipis, dan menghapus tonjolan tipis. Morphological closing merupakan kebalikan dari morphological opening. Jika pada opening, operasi yang dilakukan adalah erosi yang diikuti dengan dilasi, maka pada closing, operasi yang dilakukan adalah dilasi yang

diikuti dengan erosi. Morphological closing A oleh B dapat dinotasikan dengan A • B

𝐴 ∙ 𝐵 = 𝐴 ⊕ 𝐵 ⊝ 𝐵 ∙ (12) Seperti halnya pada opening, closing juga cenderung menghaluskan kontur pada objek. Perbedaannya adalah closing biasanya menyambung objek yang terputus dan mengisi lubang yang lebih kecil dari structuring element. 2.11 Perhitungan Akurasi, TPR, dan FPR

Deteksi akurasi dari metode Matched Filter dan First-Order Derivative of Gaussian didefinisikan sebagai perbandingan dari jumlah total piksel yang terklasifikasi dengan benar dengan jumlah piksel di dalam field of view (FOV) [16]. Deteksi Akurasi dapat dilihat pada persamaan

Akurasi = 𝑇𝑃+𝑇𝑁

𝑆 , (13)

dimana TP = True Positive, TN = True Negative, S = Jumlah piksel di dalam FOV.

(7)

7 True Positive Ratio (TPR) didefinisikan sebagai perbandingan dari jumlah piksel yang terklasifikasi sebagai pembuluh dengan benar dengan total piksel pembuluh di dalam FOV ground truth [16]. TPR dapat dilihat pada persamaan

TPR = 𝑆𝑃𝑇𝑃

𝑔 , (14) dimana TP = True Positive, SPg = Jumlah piksel pembuluh di dalam FOV ground truth.

False Positive Ratio (FPR) didefinisikan sebagai perbandingan dari jumlah piksel non pembuluh yang terklasifikasi sebagai pembuluh di dalam FOV dengan jumlah piksel non pembuluh di dalam FOV ground truth [16]. FPR dapat dilihat pada persamaan

FPR = 𝑆𝑁𝐹𝑃

𝑔 , (15) dimana FP = False Positive, SNg = Jumlah piksel non pembuluh di dalam FOV ground truth. Dari hasil perhitungan ini akan dikalikan dengan 100 yang kemudian didapatkan hasil akurasi dengan rentang antara 0% sampai 100%.

3 Metodologi dan Implementasi

Keseluruhan tahapan dalam ekstraksi citra dengan metode matched filter dan first-order derivative of Gaussian akan digambarkan pada diagram alir pada Gambar 2. Secara umum ekstraksi pembuluh darah retina pada citra fundus mata berwarna menggunakan metode matched filter dan first-order derivative of Gaussian ini terdiri dari berbagai langkah dalam proses ekstraksi. Pada awalnya citra inputan diubah menjadi citra biner dengan mengambil bagian green channel karena informasi pembuluh terbanyak terdapat pada bagian ini. Kemudian citra ini difilter menggunakan matched filter dan first-order derivative of Gaussian filter. Citra hasil dari filtering menggunakan First-Order Derivative of Gaussian Filter ini selanjutnya difilter lagi dengan mean filter untuk mendapatkan local mean yang berupa daerah lokal dari non pembuluh. Selanjutnya citra hasil filtering dengan mean filter dinormalisasi, kemudian dilakukan proses perhitungan nilai mean dari citra response terhadap

matched filter, perhitungan nilai threshold reference, perhitungan threshold, dan proses thresholding terhadap citra response matched filter sehingga didapatkan citra keluaran yang diinginkan. Citra keluaran yang diinginkan dalam hal ini adalah pembuluh darah retina. Selanjutnya dilakukan proses penghapusan pinggiran. Hasil akhir dari sistem ini berupa citra yang telah diekstraksi.

MULAI

Pemilihan Komponen Citra Green Channel Proses filtering dengan Matched Filter Proses filtering dengan First-Order Derivative of Gaussian Filter Input : Citra Fundus Retina Proses filtering dengan Mean Filter Perhitungan Nilai Mean Perhitungan Nilai Threshold Reference Perhitungan Nilai Threshold Proses Thresholding Normalisasi Citra Citra response Matched Filter Menghilangkan Pinggiran Output : Citra dengan peta Pembuluh Selesai

Gambar 2 Diagram Alir Model Sistem Secara

Umum

3.1 Pemilihan Komponen Citra Green Channel

Dalam proses pemilihan komponen citra green channel, citra masukan awalnya berupa citra fundus mata RGB. Selanjutnya komponen warna dari citra masukan hanya akan diambil komponen

(8)

8 green saja, sedangkan komponen lain yang terdapat pada citra akan dihilangkan.

3.1 Proses Filtering dengan Matched Filter

Dalam tahap ini, akan dilakukan proses filtering pada citra green channel dengan matched filter. Tujuan dari proses ini adalah untuk mendapatkan citra response terhadap matched filter. Pada awalnya dibuat matched filter kernel seperti pada persamaan (5) yang kemudian kernel ini dirotasi dengan sudut 𝜃 seperti pada persamaan (6). Selanjutnya citra green channel akan dikonvolusi dengan matched filter kernel ini untuk mendapatkan citra response. Proses filtering ditunjukkan pada persamaan

𝑓1= 𝑖𝑚 ∗ 𝑓𝜃 𝑥, 𝑦 , (16) dimana f1 merupakan citra hasil proses filtering

dengan matched filter. Citra ini merupakan citra response terhadap matched filter yang menyimpan respon maksimal dari hasil filtering. Im merupakan citra green channel dan 𝑓𝜃 𝑥, 𝑦 merupakan matched filter kernel yang dirotasi dengan berbagai orientasi.

3.2 Proses Filtering dengan First-Order Derivative of Gaussian

Dalam tahap ini, akan dilakukan proses filtering pada citra green channel dengan first-order derivative of Gaussian filter. Tujuan dari proses ini adalah untuk mendapatkan citra response terhadap first-order derivative of Gaussian filter. Pada awalnya dibuat first-order derivative of Gaussian kernel seperti pada persamaan (7) yang kemudian kernel ini dirotasi dengan sudut 𝜃 seperti pada persamaan (8). Selanjutnya citra green channel akan dikonvolusi dengan first-order derivative of Gaussian kernel ini untuk mendapatkan citra response. Proses filtering ditunjukkan pada persamaan

𝑓2= 𝑖𝑚 ∗ 𝑔𝜃 𝑥, 𝑦 , (17) dimana f2 merupakan citra hasil proses filtering

dengan first-order derivative of Gaussian filter. Citra ini merupakan citra response terhadap

first-order derivative of Gaussian filter yang nantinya akan dilakukan perhitungan local mean untuk menyesuaikan nilai threshold dalam mendeteksi munculnya pembuluh maupun non pembuluh. Im merupakan citra green channel dan 𝑔𝜃 𝑥, 𝑦 merupakan first-order derivative of Gaussian kernel yang dirotasi dengan berbagai orientasi.

3.3 Proses Filtering Citra Response First-Order Derivative of Gaussian dengan Mean Filter

Tahap selanjutnya adalah proses filtering citra response first-order derivative of Gaussian dengan mean filter. Tujuan dari proses ini adalah untuk mendapatkan local mean yang merupakan daerah lokal dari non pembuluh. Daerah ini yang nantinya akan diminimalisir keberadaannya. Proses ini ditunjukkan pada persamaan

𝑓3 = 𝑓2∗ 𝑊 , (18) dimana f3 merupakan citra hasil proses filtering

citra response first-order derivative of Gaussian dengan mean filter. Citra ini merupakan citra local mean. F2 merupakan merupakan citra response

terhadap first-order derivative of Gaussian filter. W adalah sebuah filter w x w yang semua elemennya adalah 𝒘𝟏𝟐 .

3.4 Proses Normalisasi Citra Local Mean Dalam tahap ini, citra hasil filtering dengan mean filter dinormalisasi. Normalisasi yang dimaksud disini adalah setiap elemen dari citra berada pada rentang [0-1]. Proses ini ditunjukkan pada persamaan

𝑓4= 𝑓 , 3 (19)

dimana f4 merupakan citra hasil proses normalisasi

dari citra response first-order derivative of Gaussian dengan mean filter. Citra ini disebut citra local mean yang sudah dinormalisasi.

3.5 Proses Perhitungan Nilai Mean dari Citra Response Matched Filter

(9)

9 Dalam tahap ini, dilakukan perhitungan nilai mean dari Citra response matched filter. Proses ini ditunjukkan pada persamaan

𝑓5 = 𝑓1∗ 𝑊 , (20) dimana f5 merupakan nilai mean dari citra response

matched filter. F1 merupakan merupakan citra

response matched filter. W adalah sebuah filter w x w yang semua elemennya adalah 𝑤12 .

3.6 Perhitungan Nilai Threshold Reference

Dalam tahap ini, dilakukan perhitungan nilai threshold reference. Proses perhitungan nilai dari threshold reference dapat dilihat pada persamaan

𝑓6= 𝑐 ∗ 𝑓5 , (21) dimana f6 merupakan nilai dari threshold reference.

C merupakan nilai constant dan f5 merupakan nilai

mean dari citra response terhadap matched filter.

3.7 Perhitungan Threshold

Dalam tahap ini, dilakukan perhitungan threshold yang akan digunakan dalam proses thresholding terhadap citra response matched filter. Threshold ini merupakan threshold yang levelnya telah disesuaikan dengan citra response terhadap first-order derivative of Gaussian. Proses perhitungan threshold dapat dilihat pada persamaan

𝑓7= 1 + 𝑓4 ∙ 𝑓6 , (22)

dimana f7 merupakan nilai dari threshold. F4

merupakan citra hasil proses normalisasi dari citra response first-order derivative of Gaussian dengan mean filter. F6 merupakan nilai dari threshold

reference.

3.8 Proses Thresholding terhadap Citra Response Matched Filter

Dalam tahap ini, citra response terhadap matched filter akan dithreshold dengan nilai threshold yang levelnya telah disesuaikan dengan citra response terhadap first-order derivative of Gaussian. Tujuan dari proses ini adalah untuk memisahkan struktur pembuluh dengan non pembuluh. Proses thresholding dapat dilihat pada persamaan

𝑓8= 1 𝑓1 𝑥, 𝑦 ≥ 𝑓7 𝑥, 𝑦 𝑓8= 0 𝑓1 𝑥, 𝑦 < 𝑓7 𝑥, 𝑦 , (23) dimana f8 merupakan peta pembuluh akhir. F1

merupakan citra response terhadap matched filter. F7 merupakan nilai dari threshold.

3.9 Menghilangkan Pinggiran

Dalam tahap ini, dilakukan proses untuk menghilangkan pinggiran citra. Pada awalnya, citra masukan diubah menjadi citra red channel. Dalam proses pengubahan menjadi citra red channel, citra masukan awalnya berupa citra fundus mata RGB. Selanjutnya komponen warna dari citra masukan hanya akan diambil komponen red saja, sedangkan komponen lain yang terdapat pada citra akan dihilangkan. Kemudian dilakukan deteksi tepi pada citra dengan menggunakan operator Sobel seperti pada persamaan (4). Setelah tepi didapatkan, kemudian dilakukan penebalan tepi dengan proses dilasi. Proses dilasi ini menggunakan structuring element berbentuk disk dengan radius yang disesuaikan dengan citra. Tepi yang telah menebal kemudian diubah warnanya menjadi 0 agar warna tepi ini sama seperti warna background. Dengan demikian pinggiran pada citra telah hilang dan hanya terdapat pembuluh yang telah diekstraksi pada citra.

4 Uji Coba dan Evaluasi 4.1 Data Masukan

Data yang digunakan pada uji coba ini adalah citra STARE [17] dan citra DRIVE [18] yang merupakan citra fundus mata berwarna berupa citra RGB. Citra yang akan digunakan ada dua puluh buah. Citra STARE [17] berukuran 605 x 700 piksel dan citra DRIVE [18] berukuran 584 x 565 piksel.

(10)

10 4.2 Uji Coba Perbandingan Hasil Akurasi, TPR, dan FPR dengan Nilai Skala Kernel yang Berbeda-beda

Pada skenario uji coba yang pertama ini akan dibandingkan nilai akurasi, TPR, dan FPR ekstraksi citra yang dihasilkan dari masing-masing citra dengan nilai skala kernel yang berbeda-beda. Uji coba pertama skenario ini akan diujikan pada citra im0077.ppm yang merupakan Gambar dari citra STARE [17]. Citra ini dapat dilihat pada Gambar 3. Pada skenario ini, nilai skala kernel akan diubah-ubah. Nilai skala kernel 10,5 untuk pembuluh tebal dan 4 untuk pembuluh tipis, nilai skala kernel 5 untuk pembuluh tebal dan 1,5 untuk pembuluh tipis, serta nilai skala kernel 1,5 untuk pembuluh tebal dan 1 untuk pembuluh tipis. Nilai-nilai ini ditentukan sebagai parameter Nilai-nilai skala kernel. Dari nilai-nilai skala kernel tersebut, akan diimplementasikan pada citra masukan

im0077.ppm yang merupakan Gambar dari citra

STARE [17]. Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 4, Gambar 5, Gambar 6, dan Tabel 1.

Gambar 3 Citra im0077.ppm Uji Coba I

(a) (b)

Gambar 4 Hasil uji coba I dengan nilai skala kernel 10,5 untuk pembuluh tebal dan 4 untuk pembuluh tipis; (a) citra green channel; (b) hasil ekstraksi

(a) (b)

Gambar 5 Hasil uji coba I dengan nilai skala kernel 5 untuk pembuluh tebal dan 1,5 untuk pembuluh tipis; (a) citra green channel; (b) hasil ekstraksi

(a) (b)

Gambar 6 Hasil uji coba I dengan nilai skala kernel 1.5 untuk pembuluh tebal dan 1 untuk pembuluh tipis; (a) citra green channel; (b) hasil ekstraksi

Tabel 1 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil ekstraksi citra pada uji coba I citra im0077.ppm

Uji coba lainnya dilakukan pada citra

19_test.tif yang merupakan Gambar dari citra

DRIVE [18]. Citra ini ditunjukkan pada Gambar 7. Hasilnya dapat dilihar pada Gambar 8, Gambar 9, Gambar 10, dan Tabel 2.

No Nilai skala kernel Nilai Akurasi (%) TPR (%) FPR (%) 1 (10,5 & 4,0) 90 78 9 2 (5,0 & 1,5) 92 83 6 3 (1,5 & 1,0) 95 79 3

(11)

11 Gambar 7 Citra masukan 19_test.tif uji coba I

(a) (b)

Gambar 8 Hasil uji coba I dengan nilai skala kernel 10,5 untuk pembuluh tebal dan 4 untuk pembuluh tipis; (a) citra green channel; (b) hasil ekstraksi

(a) (b)

Gambar 9 Hasil uji coba I dengan nilai skala kernel 5 untuk pembuluh tebal dan 1,5 untuk pembuluh tipis; (a) citra green channel; (b) hasil ekstraksi

(a) (b)

Gambar 10 Hasil uji coba I dengan nilai skala kernel 1,5 untuk pembuluh tebal dan

1 untuk pembuluh tipis; (a) citra green channel; (b) hasil ekstraksi Tabel 2 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil

ekstraksi citra pada uji coba I citra 19_test.tif

Hasil rata-rata akurasi, TPR, dan FPR dari masing-masing dataset dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil ekstraksi citra STARE pada uji coba I

No Nilai skala kernel Rata-rata Nilai Akurasi (%) Rata-rata Nilai TPR (%) Rata-rata Nilai FPR (%) 1 (10,5 & 4,0) 89,6 73,8 8,8 2 (5,0 & 1,5) 91,6 75,0 6,2 3 (1,5 & 1,0) 95,0 77,0 3,0

Tabel 4 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil ekstraksi citra DRIVE pada uji coba I

No Nilai skala kernel Rata-rata Nilai Akurasi (%) Rata-rata Nilai TPR (%) Rata-rata Nilai FPR (%) 1 (10,5 & 4,0) 88,4 55,0 6,8 2 (5,0 & 1,5) 92,8 67,4 3,6 3 (1,5 & 1,0) 93,8 64,2 1,6

Dari nilai akurasi, TPR, dan FPR hasil ekstraksi citra ditunjukkan bahwa pemilihan nilai skala kernel mempengaruhi nilai akurasi, TPR, dan FPR hasil ekstraksi citra. Apabila selisih nilai skala kernel antara pembuluh tebal dan pembuluh tipis besar, maka akan semakin sedikit pembuluh yang masuk dalam ekstraksi dan daerah non pembuluh yang juga memiliki respon maksimal terhadap filter akan terdeteksi, sehingga nilai akurasi mengecil, TPR mengecil, dan FPR membesar. Sebaliknya, apabila selisih nilai skala kernel antara

No Nilai skala kernel Nilai Akurasi (%) TPR (%) FPR (%) 1 (10,5 & 4,0) 89 60 7 2 (5,0 & 1,5) 94 73 3 3 (1,5 & 1,0) 95 71 1

(12)

12 pembuluh tebal dan pembuluh tipis kecil, maka akan semakin banyak pembuluh yang terdeteksi dan daerah non pembuluh yang menghilang sehingga nilai akurasi membesar, TPR membesar, dan FPR semakin mengecil. Dari hasil percobaan menunjukkan bahwa nilai skala kernel 1,5 untuk pembuluh tebal dan 1 untuk pembuluh tipis akan menghasilkan akurasi, TPR, dan FPR terbaik.

4.3 Uji Coba Perbandingan Hasil Akurasi, TPR, dan FPR dengan Nilai L yang Berbeda-beda

Pada skenario uji coba yang pertama ini akan dibandingkan nilai akurasi, TPR, dan FPR ekstraksi citra yang dihasilkan dari masing-masing citra dengan nilai L yang berbeda-beda. L adalah panjang dari neighborhood sepanjang sumbu y. Uji coba pertama skenario ini akan diujikan pada citra

im0163.ppm yang merupakan Gambar dari citra

STARE [6]. Citra ini dapat dilihat pada Gambar 11. Pada skenario ini, nilai L akan diubah-ubah Nilai L 1 untuk pembuluh tebal dan 9 untuk pembuluh tipis, nilai L 3 untuk pembuluh tebal dan 2 untuk pembuluh tipis, serta nilai L 9 untuk pembuluh tebal dan 5 untuk pembuluh tipis. Nilai-nilai ini ditentukan sebagai parameter Nilai-nilai L. Dari nilai-nilai L tersebut, akan diimplementasikan pada citra masukan im0163.ppm. yang merupakan Gambar dari citra STARE [6]. Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 12, Gambar 13, Gambar 14, dan Tabel 5.

Gambar 11 Citra masukan im0163.ppm uji coba II

Tabel 5 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil ekstraksi citra pada uji coba II citra im0163.ppm No Nilai L Nilai Akurasi (%) TPR (%) FPR (%) 1 (1 & 9) 87 67 10,0 2 (3 & 2) 96 80 3,0 3 (9 & 5) 96 80 2,0 (a) (b)

Gambar 12 Hasil uji coba II dengan nilai L 1 untuk pembuluh tebal dan 9 untuk pembuluh tipis; (a) citra green channel; (b) hasil ekstraksi

(a) (b)

Gambar 13 Hasil uji coba II dengan nilai L 3 untuk pembuluh tebal dan 2 untuk pembuluh tipis; (a) citra green channel; (b) hasil ekstraksi

(13)

13

(a) (b)

Gambar 14 Hasil uji coba II dengan nilai L 9 untuk pembuluh tebal dan 5 untuk pembuluh tipis; (a) citra green channel; (b) hasil ekstraksi

Uji coba lainnya dilakukan pada citra

15_test.tif yang merupakan Gambar dari citra

DRIVE [2]. Citra ini ditunjukkan pada Gambar 15. Hasilnya dapat dilihar pada Gambar 16, Gambar 17, Gambar 18, dan Tabel 6.

Gambar 15 Citra masukan 15_test.tif uji coba II

(a) (b)

Gambar 16 Hasil uji coba II dengan nilai L 1 untuk pembuluh tebal dan 9 untuk pembuluh tipis; (a) citra green channel; (b) hasil ekstraksi

Hasil rata-rata akurasi, TPR, dan FPR dari masing-masing dataset dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8.

(a) (b)

Gambar 17 Hasil uji coba II dengan nilai L 3 untuk pembuluh tebal dan 2 untuk pembuluh tipis; (a) citra green channel; (b) hasil ekstraksi

(a) (b)

Gambar 18 Hasil uji coba II dengan nilai L 9 untuk pembuluh tebal dan 5 untuk pembuluh tipis; (a) citra green channel; (b) hasil ekstraksi

Tabel 6 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil ekstraksi citra pada uji coba II citra 15_test.tif No Nilai L Nilai Akurasi (%) TPR (%) FPR (%) 1 (1 & 9) 75 61 23,0 2 (3 & 2) 93 65 4,0 3 (9 & 5) 95 64 2,0

Tabel 7 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil ekstraksi citra STARE pada uji coba II

No Nilai L Rata-rata Nilai Akurasi (%) Rata-rata Nilai TPR (%) Rata-rata Nilai FPR (%) 1 (1 & 9) 87,4 65,0 9,6 2 (3 & 2) 94,8 76,0 3,0 3 (9 & 5) 95,4 76,2 2,2

(14)

14 Tabel 8 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil

ekstraksi citra DRIVE pada uji coba II

No Nilai L Rata-rata Nilai Akurasi (%) Rata-rata Nilai TPR (%) Rata-rata Nilai FPR (%) 1 (1 & 9) 77,2 64,2 20,8000 2 (3 & 2) 92,2 63,0 3,6000 3 (9 & 5) 93,6 62,8 2,0000

Dari nilai akurasi, TPR, dan FPR hasil ekstraksi citra ditunjukkan bahwa pemilihan nilai L mempengaruhi nilai akurasi, TPR, dan FPR hasil ekstraksi citra. Apabila nilai L yang digunakan untuk pembuluh tipis bernilai besar sedangkan nilai L yang digunakan untuk pembuluh tebal sangat kecil, maka akan semakin banyak pembuluh darah kecil dan garis non pembuluh yang masuk dalam ekstraksi, sehingga nilai akurasi mengecil, TPR baik, dan FPR membesar. Apabila nilai L yang digunakan antara pembuluh tebal dan pembuluh tipis tidak berbeda jauh masih terdapat cabang-cabang pembuluh darah kecil yang terekstraksi sehingga walaupun nilai akurasi dan TPR sudah cukup bagus, nilai FPR dapat membesar. Dari hasil percobaan menunjukkan bahwa nilai L 9 untuk pembuluh tebal dan 5 untuk pembuluh tipis akan menghasilkan akurasi, TPR, dan FPR terbaik.

5 Evaluasi

Dari hasil uji coba yang telah dilakukan, beberapa parameter yang digunakan selama uji coba memberikan pengaruh terhadap hasil proses ekstraksi pembuluh retina dengan metode matched filter dan first-order derivative of Gaussian pada citra fundus mata berwarna. Keterangan dari setiap pengaruh yang dihasilkan oleh parameter yang berbeda antara lain:

1. Nilai skala kernel

Nilai skala kernel yang digunakan dalam proses filtering citra memberikan pengaruh terhadap hasil akurasi, TPR, dan FPR ekstraksi citra. Jika selisih nilai skala kernel antara pembuluh tebal dan pembuluh tipis besar, maka akan semakin sedikit pembuluh yang masuk dalam ekstraksi. Selain itu selisih nilai yang besar ini juga berpengaruh terhadap

daerah non pembuluh. Daerah non pembuluh yang juga memiliki respon maksimal terhadap filter akan terdeteksi, sehingga nilai akurasi mengecil, TPR mengecil, dan FPR membesar. Sebaliknya, apabila selisih nilai skala kernel kecil, maka akan semakin banyak pembuluh yang terdeteksi dan daerah non pembuluh yang menghilang, sehingga nilai akurasi membesar, TPR membesar, dan FPR mengecil. Hal ini juga dapat dilihat dari hasil ekstraksi pembuluh darah. Apabila selisih nilai skala kernel antara pembuluh tebal dan pembuluh tipis besar maka akan banyak cabang-cabang pembuluh darah yang hilang dalam citra hasil ekstraksi. Selain itu daerah non pembuluh seperti optic disk atau macula dapat muncul pada citra. Apabila selisih nilai skala kernel antara pembuluh tebal dan pembuluh tipis kecil, maka banyak pembuluh darah yang sesuai dengan ground truth muncul pada citra.

2. Nilai L

Nilai L yang digunakan dalam proses filtering memberikan pengaruh terhadap hasil akurasi, TPR, dan FPR ekstraksi citra. L adalah panjang dari neighborhood sepanjang sumbu y. Apabila nilai L yang digunakan untuk pembuluh tipis bernilai besar sedangkan nilai L yang digunakan untuk pembuluh tebal sangat kecil, maka akan semakin banyak pembuluh darah tipis dan garis non pembuluh yang masuk dalam ekstraksi, sehingga nilai akurasi mengecil, TPR mengecil, dan FPR membesar. Apabila nilai L yang digunakan antara pembuluh tebal dan pembuluh tipis tidak berbeda jauh masih banyak cabang-cabang pembuluh darah kecil yang terekstraksi sehingga walaupun nilai akurasi dan TPR sudah cukup bagus, nilai FPR dapat membesar. Hal ini juga dapat dilihat dari hasil ekstraksi pembuluh darah. Apabila nilai L yang digunakan untuk pembuluh tipis bernilai besar sedangkan nilai L yang digunakan untuk pembuluh tebal sangat kecil, sangat banyak cabang-cabang kecil dari pembuluh darah yang muncul pada citra. Selain itu banyak garis non pembuluh darah terlihat pada citra. Apabila nilai L yang digunakan antara pembuluh tebal dan pembuluh tipis tidak berbeda jauh, pada citra masih terdapat noise berupa cabang-cabang pembuluh yang sangat kecil.

(15)

15 Dibutuhkan nilai L yang tepat (yang dalam hasil percobaan sistem ini untuk pembuluh tebal 9 dan pembuluh tipis 5) agar nilai akurasi dan TPR tinggi, tetapi nilai FPR rendah.

6 Kesimpulan

Berdasarkan hasil uji coba yang telah dilakukan, terdapat beberapa kesimpulan yang dapat diambil, yaitu:

1. Dengan melihat hasil uji coba terbukti bahwa algoritma ekstraksi pembuluh retina dengan metode matched filter dan first-order derivative of Gaussian ini dapat melakukan ekstraksi dengan baik citra fundus mata berwarna sehingga didapatkan hasil ekstraksi berupa pembuluh darah retina.

2. Nilai skala kernel yang digunakan dalam proses filtering mempengaruhi hasil akurasi, TPR, dan FPR ekstraksi citra dari proses algoritma ini. Semakin besar selisih nilai skala kernel antara pembuluh tebal dan tipis, maka semakin sedikit pembuluh yang terekstraksi dan semakin banyak daerah non pembuluh yang terdeteksi, sehingga nilai akurasi mengecil, TPR mengecil, dan FPR membesar. Apabila selisih nilai skala kernel antara pembuluh tebal dan pembuluh tipis kecil, maka banyak pembuluh darah yang sesuai dengan ground truth muncul pada citra. 3. Nilai L yang digunakan dalam proses

filtering mempengaruhi hasil akurasi, TPR, dan FPR ekstraksi citra dari proses algoritma ini. Apabila nilai L yang digunakan untuk pembuluh tipis bernilai besar sedangkan nilai L yang digunakan untuk pembuluh tebal sangat kecil, sangat banyak cabang-cabang kecil dari pembuluh darah dan garis non pembuluh darah yang terlihat pada citra. Apabila nilai L yang digunakan antara pembuluh tebal dan pembuluh tipis tidak berbeda jauh, pada citra masih terdapat noise berupa cabang-cabang pembuluh yang sangat kecil. Dibutuhkan beberapa kali percobaan untuk menghasilkan nilai L yang tepat sehingga

akan menghasilkan tingkat akurasi dan TPR yang tinggi juga tingkat FPR yang rendah.

Referensi

[1] Patton, N., Aslam, T.M., MacGillivray, T., Deary, I.J., Dhillon, B., Eikelboom, R.H., Yogesan, K., dan Constable, I.J. 2006. Retinal image analysis: concepts, applications and potential. Progress in

Retinal and Eye Research 25, 1:99-127.

[2] J.J. Staal, M.D. Abramoff, M. Niemeijer, M.A.Viergever, B. van Ginneken, Ridge based vessel segmentation in color images of the retina, IEEE Trans. Med. Imaging (2004) 501–509.

[3] J.V.B. Soares, J.J.G. Leandro, R.M. Cesar Jr., H.F. Jelinek, M.J. Cree, Retinal vessel segmentation using the 2-d gabor wavelet and supervised classification, IEEE Trans.

Med. Imaging 25 (2006) 1214–1222.

[4] M. Niemeijer, J.J. Staal, B. van Ginneken, M. Loog, M.D. Abramoff, Comparative study of retinal vessel segmentation methods on a new publicly available database, SPIE

Med. Imaging 5370 (2004) 648–656.

[5] M. Martı ́nez-Pe ́rez, A. Hughes, A. Stanton, S. Thom, A. Bharath, K. Parker, Scale-space analysis for the characterisation of retinal blood vessels, Med. Image Comput.

Computer-Assisted Intervention (1999)

90–97.

[6] A. Hoover, V. Kouznetsova, M. Goldbaum, Locating blood vessels in retinal images by piecewise threshold probing of a matched filter response, IEEE Trans. Med. Imaging 19 (3) (2000) 203–210.

[7] X. Jiang, D. Mojon, Adaptive local thresholding by verification based multithreshold probing with application to vessel detection in retinal images, IEEE

Trans. Pattern Anal. Mach. Intell. 25 (1)

(2003) 131–137.

[8] A.M. Mendonca, A. Campilho, Segmentation of retinal blood vessels by combining the detection of centerlines and

(16)

16 morphological reconstruction, IEEE Trans.

Med. Imaging 25 (9) (2006) 1200–1213.

[9] M.E. Martinez-Perez, A.D. Hughes, S.A. Thom, A.A. Bharath, K.H. Parker, Segmentation of blood vessels from red-free and fluorescein retinal images, Med. Image

Anal. 11 (1) (2007) 47–61.

[10] H. Leung, J.J. Wang, E. Rochtchina, T.Y. Wong, R. Klein, P. Mitchell, Impact of current and past blood pressure on retinal arteriolar diameter in older population, J.

Hypertens. (2003) 1543–1549.

[11] P. Mitchell, H. Leung, J.J. Wang, E. Rochtchina, A.J. Lee, T.Y. Wong, R. Klein, Retinal vessel diameter and open-angle glaucoma: the Blue Mountains eye study,

Ophthalmology (2005) 245–250.

[12] J.J. Wang, B. Taylor, T.Y. Wong, B. Chua, E. Rochtchina, R. Klein, P. Mitchell, Retinal vessel diameters and obesity: a population-based study in older persons, Obes. Res. (2006) 206–214.

[13] Gonzales, R.C., et al. 2004. Digital Image

Processing Using MATLAB 3rd edition.

United States of America : Prentice Hall. [14] Wikipedia. 2011. Image Histogram, <URL:

http://en.wikipedia.org/wiki/Image_histogra m diakses 2 Januari 2012>.

[15] S. Chaudhuri, S. Chatterjee, N. Katz, M. Nelson, M. Goldbaum, “Detection of blood vessels in retinal images using two-dimensional matched filters”, IEEE Trans.

Med. Imaging 8 (3) (1989) 263–269.

[16] B. Zhang, Lin Zhang, Lei Zhang, F. Karray, Retinal vessel extraction by matched filter with first-order derivative of gaussian,

Computers in Biology and Medicine 40

(2010) 438-445

[17] STARE Structured Analysis of The Retina.2000.STAREDatabase,<URL:http:// www.parl.clemson.edu/stare/probing/stare-images.tar diakses pada 15 Oktober 2011> [18] DRIVE Digital Retinal Image for Vessel

Extraction.2004.DriveDatabase,<URL:http: //www.isi.uu.nl/Research/Databases/DRIVE/ diakses pada 15 Oktober 2011>

Gambar

Gambar 1 Mask Sobel ; (a) Filter x; (b) Filter y;
Gambar  2  Diagram  Alir  Model  Sistem  Secara  Umum
Gambar 3 Citra im0077.ppm Uji Coba I
Gambar 8  Hasil  uji  coba  I  dengan  nilai  skala  kernel  10,5  untuk  pembuluh  tebal  dan  4 untuk pembuluh tipis; (a) citra green  channel; (b) hasil ekstraksi
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanan SOP Pemberian Izin Impor Sementara pada KPPBC Tipe Madya X, telah dilaksanakan dengan baik dimulai dari pemohon mengajuan permohonan kepada Kepala Kantor,

Farmasetika dasar adalah salah satu ilmu dasar dalam bidang farmasetika yang berkaitan dengan penyiapan, peracikan/pembuatan serta penyerahan obat terutama di

Sulawesi Barat Tahun 2016 Nomor 46) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Gubernur Sulawesi Barat Nomor 34 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur

Kriteria penulisan label mencakup (a) tulisan dengan huruf Latin atau Arab, (b) ditulis dengan bahasa Indonesia dengan huruf Latin atau Arab, (c) ditulis lengkap, jelas, mudah

Tabel 3 menunjukkan luas daun tanaman selada yang tertinggi dijumpai pada perlakuan media tanam tanah – pupuk kandang dengan dosis 200 kg Urea/ha, yang berbeda

Dampak yang terjadi pada guru setelah melak- sanakan lesson study adalah adanya peningkatan kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial dan kompetensi

[r]

Struktur pasar yang dihadapi oleh petani dan pedagang pengumpul mendekati oligopsoni, sedangkan pedagang grosir menghadapi struktur pasar yang mengarah ke bentuk pasar oligopoli