Tantangan Pembangunan KPH Dalam
Aspek Organsasi dan tenurial
TIM PUSPIJAK
OUTLINE
I. Pendahuluan
II. Isu Permasalahan di KPH
III. Hasil Penelitian
A. Organisasi KPH
B. Permasalahan Tenurial
IV. Penutup
ORGANISASI
TENURIAL
Institusi pengelola kawasan (KPH)PENDAHULUAN
Progres KPH
ISU PERMASALAHAN DI BEBERAPA KPH
No Aspek KPH Way Terusan KPH Dampelas Tinombo KPH Batu Tegi A Permasalahan
1 Kebijakan pemanfaatan hutan tdk sesuai fungsinya tumpang tindih dgn
Transmigrasi .
Dinamika perpu yang cepat
mobilisasi sumb dana lambat
Perbedaan persepsi antar Kab
HL mrpk cost center, dan kurang kontribusinya dlm PAD
2 Kelembagaan struktur organisasi belum sempurna belum ada aturan
pendukung organisasi
Keterbatasan SDM baik dalam jumlah maupun kualifikasi lemahnya kapasitas
kelembagaan
Melibatkan sektor lain shg perlu koordinasi intensif
3 Sosial/Lingkungan Belum ada sapras Tingkat ketergan masy
terhadap hutan tinggi. Land tenure Perambah hutan
Konflik kepent antar pihak
Keberadaan kebun masyarakat
B Persepsi stakeholder tentang pembangunan KPH
Program KPH yang dibangun oleh pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi laju kerusakan hutan, dapat membantu pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan yang lebih terencana dan terarah hingga ke unit wilayah terkecil. Keberadaan hutan baik sebagai fungsi produksi (kayu/non kayu) maupun sebagai fungsi lindung/penyangga kehidupan bagi masyarakat sekitar hutan dan masyarakat pada umumnya harus dipertahankan. Diharapkan melalui KPHP ini konflik yang terjadi terutama dalam hal penguasaan lahan dapat diatasi, disamping itu kebijakan yang dikeluarkan oleh pusat hendaknya memperhatikan kondisi wilayah dan biofisik serta kesiapan daerah (SDM, pendanaan).
HASIL PENELITIAN
A. ORGANISASI KPH
B. TENURIAL
• Struktur organisasi
memiliki kesamaan
dalam pembagian
kerja, wewenang,
rentang kendali dan
departemenisasi.
Tetapi terdapat perbedaan dalam pengelompokkan ”jenis/nama departemenisasi”.
• Kesamaan design
organisasi KPH ini
dapat dikelompokkan
pada karakteristik
”struktur organisasi
fungsional”.
• Kelebihan :
• Sesuai untuk lingkungan yang stabil.
• Dapat mencapai efisiensi pada setiap
bidang/bagian.
• Sesuai untuk organisasi kecil hingga sedang.
• Mampu mencapai sasaran fungsi.
Kelemahan :
Respon organisasi terhadap perubahan lingkungan agak lambat (misal : perubahan kebijakan).Pengambilan keputusan menumpuk pada top management.Pandangan terhadap sasaran organisasi agak terbatas, karena masing-masing bagian terfokus pada bagiannya saja
UPTD
KPH
A. ORGANISASI : KONDISI KPH SAAT INI
Organisasi belum mengacu pada aspek operasional managemen
• Arahan pusat masih global
Respon & Pemahaman daerah minim
• Kesiapan daerah kurang : infrastruktur, kewenangan dan pendanaan
Bentuk KPH : Profit center/cost center ??
Keterbatasan bentuk UPTD (anggaran, SDM,ketidaksesuaian
struktur organisasi dan pelaksanaan kegiatan mengacu pada
Dishut
Implementasi Permendagri 61 tahun 2010
KPH Berbentuk SKPD
Skor KPH
Banjar 87
Skor KPH
Lalan 92
Skor > 70
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan perubahan
organisasi dari UPTD menjadi SKPD
Eksternal Internal Politik/hukum Sosbud Organisasi lain
terkait
Tujuan organisasi, Visi dan misi
Struktur organisasi Kepemim pinan Sumberdaya fisik Pendanaan 1. PP6/2007 j0 PP3/2008 2. Permendagri 61/2010 3. PP 41/2007 Perubahan tata nilai masyarakat Interaksi dgn organisasi lain Hutan lestari, ekonomi berkelanjutan Hirarki, SDM Kesamaan persepsi Kelengkapan sarpras Bentuk masih UPTD Kepentingan politik dan ekonomi daerah Kehutanan urusan pilihan, berdasarkan pertimbangan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah. Masalah tenurial baik masyarakat atau pemegang IUPHHK Sinkronisasi kegiatan KPH dengan UPT pusat, pemda, pemegang ijin, masyarakat Belum operasional sepenuhnya, baru persiapan dlm organisasi UPTD Keterbatasan kewenangan dalam pengelolaan kawasan (Dinas hanya sbg regulator) Terbatas-nya SDM yang profesional Masih ditemukan perbedaan persepsi Ketergantungan pada pusat msh cukup tinggi dlm pengadaan sarpras, karena keterbatasan daerah dalam pendanaan Untuk menjadi KPH mandiri masih membutuhkan waktu yang lama. Dengan satker sendiri maka KPH lebih leluasa mengelola pendanaan (dibanding UPTD)
Tantangan pembangunan KPH menjadi SKPD
Permasalahan dalam transisi UPTD KPH menjadi SKPD
baru adalah : Pembahasan oleh DPRD tentang
pembentukan lembaga lain (KPH) tergantung
kebijakan politis daerah, urusan kehutanan sebagai
pilihan.
Salah satu tantangan adalah bagaimana meyakinkan
DPRD untuk membentuk organisasi KPH yang disertai
komitmen daerah, kebijakan politis daerah yang
mendukung dan naskah akademik yang komprehensif
(kerjasama dengan universitas dan instansi terkait).
Apabila organisasi diharapkan untuk dapat membiayai
organisasi sendiri, perlu upaya yang kuat mengingat
tingkat relasinya yang cukup rendah dan terikat
dengan peraturan yang cukup rigid.
Proses Pembentukan SKPD KPH
Usulan Pembentukan SKPD Baru
Penentuan kelayakan (periksa draft) Biro Organisasi & Hukum
Pembahasan oleh DPRD
Dishut melengkapi berkas dengan referensi/dasar
hukum dan naskah akademik
Penentuan kelayakan (periksa draft kembali) Studi Banding (DPRD)
LAYAK PENGESAHAN PERDA TIDAK LAYAK
B. Tenurial dan KPH
•
KPH adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok
dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan
lestari.
•
Tenurial : sistem tentang hak-hak dan kelembagaan yang
menata, mengatur dan mengelola akses dan penggunaan
lahan. Karakteristik tenurial berkaitan sebagai penyebab
permasalahan konflik lahan, diantaranya berhubungan
dengan tata-kelola (governance) dan kepastian lahan
•
Ridell (1987) dalam Ichwandi (2003) memaknai sistem tenurial
sebagai sekumpulan atau serangkaian hak-hak, “
tenure
system is a bundle of rights
”. Pada setiap sistem tenurial,
masing-masing hak sekurang-kurangnya mengandung 3
komponen, yaitu subyek hak, obyek hak, dan jenis haknya
KONFLIK TENURIAL
Pemerintah
Swasta
Masyarakat
Konflik Sumberdaya hutan
Konflik sumberdaya hutan/alam
atl penjarahan, pencurian kayu
dan hasil hutan lainnya
Konflik sosial/etnis, antara
pendatang dan penduduk asli.
Konflik lahan karena tumpang tindih
penggunaan lahan, penyerobotan
Sengketa dan perladangan liar.
Land Tenure Di Kawasan KPHL Di Kabupaten
Lampung Selatan
Pemukiman dan kebun masyarakat di KPHL Batu serampok
Kondisi Tenurial Desa Neglasari, Kec
Ketibung (KPHL Batu Serampok)
• Merupakan kawasan hutan lindung
• 1142 ha, penduduk 3923 jiwa
• Desa Pemekaran 1958 dari desa Karang Naja
• Pembukakan hutan pertama 1958
• Sejak 1960 masy sudah membayar PBB
• Total PBB = Rp 18 juta,- (2010)
• Kondisi Areal : pemukiman penduduk dan lahan garapan usaha kebun (sawit 30
%, karet 10 %, cokelat 15 %, ternak
• Terdapat Usaha Tambang Batu Pasir (PT. SORENTO). Batu Andesit
• Jenis pohon yg disukai masyarakat : medang, sengon, jati, waru, mindi, bayur,
mahoni, acasia, duren, bungur. Jenis asli : Merbau
Land Tenure Di Kawasan KPHL Di Kabupaten
Lampung Selatan
Pasar trasional dan Alfamart di KPHP Way Pisang
Desa Sripendowo, Kec Ketapang
Kondisi Tenurial Desa Seripendowo,
Kec Ketapang : KPHP Way Pisang
• Kawasan Hutan 540 ha, dibuka 1973
• 1976 termasuk desa Karang Tengah, 1991 berdiri desa
Seripendowo (SK Gubernur 1990an)
• Penduduk 2952 jiwa, masy lokal
• 75 % berupa kebun sawit
• Batas2 masih dipelihara
• Berupa pemukiman dan pasar
• Masy bayar PBB sejak lama, 1054 SPt senilai Rp 12,8 juta,-
(2010)
DASAR
HUKUM DAN PERATURAN TTG KAWASAN
HUTAN
• UNDANG-UNDANG NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG
KEHUTANAN ---- Kawasan Hutan (Produksi, Lindung,
Konservasi), sebelumnya UU No 5 tahun 1967
• UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1994 TENTANG
KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI --- Fungsi
Kawasan Konservasi
Alternatif Solusi
Pendekatan dengan mengembangkan program HTR, HKm,
Hutan Desa, dan program kolaboratif masyarakat lainnya
yang dapat mengembalikan fungsi kawasan hutan sebagai
penyangga kehidupan, pola usaha dan teknik pengelolaan
lahannya harus merupakan pola dan tehnik tenaman
campuran seperti agroforestry dan sylvopasture.
Untuk kasus di propinsi lampung, dimana kawasan hutan pada umumnya
sudah lama diokupasi oleh masyarakat bahkan sudah terbentuknya ratusan
desa definitive didalam kawasan hutan, maka diperlukan adanya program
untuk membentuk “Konsep Desa Hutan”. Karena konsep Desa Hutan ini
merupakan desa yang terbentuk karena tekanan penduduk dan inisiatif
PEMDA Kabupaten Lampung Selatan yang didasarkan pada PERDA.
FORTAM
Metode Tahapan Kegiatan Data an informasi IInformasi Luaran/sasaran Penelitian
Desk study Deskripsi
Pemilihan areal study (lokasi) SK Menhut, SK Gubernur, SK
Bupati Wilayah konflik tenurial
Konsultasi
wawancara Sejarah penggunaan dan pemanfaatan kawasan oleh : pemegang ijin, masyarakat
Laporan :
Ditplan, BUK, PHKA Risalah penggunaan kawasan
Dokumentasi Pengumpulan data dan informasi
Analisis perkembangan penggunaan dan pemanfataan kawasan
Dokumen
Perusahaan, Dinas Kehutanan, Dinas Perindag, BPN Produksi Kelembagaan Tenaga kerja Pembiayaan 1 2 3 4 5 6 Survey lapangan
wawancara Analisis sebab akibat land tenure
Statistik Kehutanan Perusahaan Dishut
Desa/ Tokoh masyarakat LSM
Kondisi kawasan, pemanfaatan lahan oleh masyarakat/ perusahaan, Perda
Survey lap. Diskusi (FGD) Wawancara
Studi perkembangan kondisi lahan di lapangan (desa/dukuh)
Monografi desa, dokumentasi lapangan, dokumen BPN, Peraturan terkait, tingkat konflik tenurial (strata 1, 2,3,4)
Okupasi (pertambangan, perkebunan, pemukiman), Desa definitive, kebun, usaha lain dalam kawasan FGD
Rumusan Kebijakan
Pilihan alternative pemanfaatan dan penggunanaan kawasan kedepan
Sasaran pilihan Kebijakan Konsep Desa Hutan Penyelesaian/saran konflik lahan HTR, HKM, Hutan Desa
PENUTUP
Bentuk organisasi KPH saat ini adalah UPTD Dinas Kehutanan, yang mempunyai keterbatasan dalam anggaran, kewenangan pelaksanaan kegiatan, SDM baik kuantitas maupun kualitas dan ketidaksesuaian struktur organisasi dengan peraturan
terkait. Struktur organisasi yang memadai untuk pengelolaan hutan lestari harus disesuaikan dengan PP 3 tahun 2008 dan NSPK organisasi KPH(P6/2010).
Permendagri No 61 tahun 2010 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi di
Daerah, menyatakan bahwa organisasi KPHP dan KPHL merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Peluang SKPD yang memungkinkan adalah Lembaga Teknis
Daerah (LTD) dan “Lembaga lain”.
KPH tidak dapat berbentuk Lembaga Teknis Daerah apabila skor besaran organisasi ( PP41/2007) sudah menunjukkan nilai yang maksimal. Namun demikian KPH dapat
berbentuk “Lembaga Lain” sesuai pasal 45 pada PP41/2007 melalui beberapa tahapan proses pembentukan SKPD baru di daerah.
Kebijakan politis daerah dan urusan kehutanan sebagai pilihan merupakan tantangan bagi pemerintah daerah untuk mencapai transformasi kelembagaan KPH dari bentuk
UPTD menjadi SKPD. Sehingga diperlukan adanya komitmen daerah untuk mendukung pembentukan organisasi KPH dari UPTD menjadi SKPD sebagai evaluasi
PENUTUP
Masalah tenurial di lokasi penelitian KPH di Lampung Selatan sudah berlangsung sejak lama dengan didudukinya kawasan hutan oleh pemukiman serta fasum,
fasos dan pusat perbelanjaan dalam bentuk desa definitive. Hal ini terjadi karena tidak koordinasi antara kementerian Kehutanan sebagai penguasan kawasan dengan pihak penerbit sertifikasi tanah. Permasalahan tenurial sampai
saat ini masih berlangsung.
Untuk mengatasi permasalahan kawasan hutan di wilayah propinsi Lampung diperlukan kebijakan yang dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat lokal. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan dalam jangka pendek oleh Kementerian Kehutanan adalah : dengan menjadikan lahan kawasan hutan menjadi lahan garapan dengan program HTR, HKM atau Hutan Desa dengan pendekatan agroforestry dan silvopasture (khusus untuk kawasan hutan produksi yang telah ada pemukiman dan peternakan) serta melakukan tata
batas ulang kawasan
Khusus untuk kawasan yang sudah diokupasi masyarakat berupa desa definitive, diperlukan adanya rekonstruksi konsep “Desa Hutan”.