• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PETANI KEDELAI DENGAN KEBIJAKAN TARIF OPTIMAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PETANI KEDELAI DENGAN KEBIJAKAN TARIF OPTIMAL"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PETANI KEDELAI DENGAN

KEBIJAKAN TARIF OPTIMAL

Sri Nuryanti dan Reni Kustiari

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani 70, Bogor. 16161

Abstract

The imbalance between production and consumption of soybean triggers import dependency. World market of soybean is concentrated in several developed countries which highly support their farmers. International market structure of soybean is oligopolistic. It causes high risk on instability of supply and price to importer countries, such as Indonesia. Tariff is one of the effective policies to protect domestic soybean farmers from import surge and price depression. By using cost structure data and macro parameters of soybean, partial equilibrium of domestic soybean market is analyzed. The aim of this analysis is to know farm’s profit at the current import duty of soybean, the optimum level of import duty (farming’s profit by 25 percent) and the impact of optimum tariff on domestic market equilibrium. The current 10 percent of level of import duty provides farm’s profit by 18.85 percent. The optimum import duty of soybean is 24.3 percent, however, it probably decreases social welfare by Rp. 121.5 billions.

Key words: import, tariff, farm’s profit, market equilibrium. Abstrak

Ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi kedelai nasional menjadi pemicu ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor. Kedelai di pasar dunia terkonsentrasi di beberapa negara maju yang memberi bantuan kepada petaninya. Struktur pasar internasional kedelai yang oligopolistik menyebabkan negara importir seperti Indonesia berisiko tinggi terhadap instabilitas pasokan dan harga kedelai impor. Indonesia perlu melindungi petani kedelai, salah satu cara adalah kebijakan tarif. Tarif merupakan mekanisme perlindungan pasar dari ancaman serbuan impor kedelai murah. Data struktur ongkos dan peubah makro ekonomi kedelai digunakan dalam analisa keseimbangan pasar domestik secara parsial. Tujuannya untuk mengetahui keuntungan usahatani kedelai pada tingkat tarif saat ini, tingkat tarif optimal pada kondisi keuntungan usahatani 25 persen, dan dampak penerapan tarif optimal terhadap keseimbangan pasar domestik. Keuntungan usahatani kedelai pada tingkat tarif impor 10 persen adalah 18,85 persen. Tingkat tarif impor optimal untuk kedelai adalah 24,3 persen yang akan meningkatkan keuntungan usahatani menjadi 25 persen. Secara agregat, peningkatan tarif impor kedelai justru akan mengakibatkan kehilangan kesejahteraan sosial sebesar Rp. 121,5 milyar.

Kata kunci : impor, tarif, keuntungan usahatani, keseimbangan pasar

PENDAHULUAN

Berkembangnya industri pangan dan pakan berbahan baku kedelai, disertai dengan pertumbuhan penduduk mengakibatkan per-mintaan kedelai di Indonesia meningkat tajam. Di lain pihak, produksi dalam negeri cenderung menurun, sehingga defisit kedelai terus me-ningkat. Hal ini membuat Indonesia makin ter-gantung pada kedelai impor.

Produksi dan ekspor kedelai dunia ter-konsentrasi pada sedikit negara maju. Dalam periode 2000-2006, Amerika Serikat (AS) me-megang kendali produksi dan ekspor dengan pangsa 49,2 persen dan 50,9 persen dari total

dunia. Sekitar 49,3 persen impor kedelai Indo-nesia pun berasal dari AS (Tabel Lampiran 1). Struktur pasar internasional kedelai le-bih mendekati pasar oligopoli, sehingga negara importir seperti Indonesia akan berisiko tinggi terhadap instabilitas pasokan dan harga kede-lai impor. Hal itu menjadi amat penting mana-kala dikaitkan dengan peran kedelai sebagai salah satu pangan penting sumber protein un-tuk masyarakat Indonesia. Kalaupun Indonesia mengimpor kedelai, yang harus dihindari ada-lah ketergantungan impor yang terlalu besar pada satu negara, seperti AS. Karena AS se-ring menggunakan instrumen impor untuk menekan negara yang tidak sejalan terhadap politik dan kepentingannya.

(2)

Negara maju tetap memberi bantuan pada petaninya, terutama kelompok OECD. Petani kedelai di negara OECD memperoleh 30 persen dari total pendapatan usahatani kedelai dari bantuan pemerintah. Berbagai bentuk bantuan, mulai dari dukungan harga, pemba-yaran berdasarkan produksi atau luas usaha, atau berdasarkan penggunaan input dan se-bagainya. Oleh karena itu, harga kedelai di pasar dunia tidak menggambarkan tingkat efisiensi. Harga kedelai di pasar telah terdis-torsi oleh berbagai subsidi. Adalah bijaksana, apabila Indonesia melindungi petani kedelai dengan berbagai cara. Salah satu yang terbaik adalah melalui kebijakan tarif pada tingkat yang wajar, yaitu mendekati tarif yang disepakati dalam AoA-WTO (27 persen).

Indonesia juga harus memiliki mekanis-me untuk mekanis-melindungi diri dalam waktu semekanis-men- semen-tara dari ancaman serbuan impor kedelai mu-rah dari luar negeri. Perlindungan itu haruslah sederhana dan fleksibel. Diharapkan SSM dapat dipakai oleh Indonesia, apabila nantinya disepakati (Husein Sawit et al., 2006). Menurut Swastika et al. (2007) hambatan impor yang paling sederhana dan mudah dilakukan adalah peningkatan tarif. Oleh karena itu, masalah efektivitas penerapan tarif menjadi amat pen-ting. Infrastruktur dan SDM haruslah disiapkan sedemikian rupa, sehingga perlindungan mela-lui tarif menjadi pengaruhtif, bukan sebagai sumber pencari rente, seperti selama ini. Kare-na kita tidak mungkin kembali ke perlindungan industri dalam negeri dengan cara-cara primitif, seperti pelarangan impor. Kita harus mampu melaksanakan perlindungan melalui kebijakan tarif.

Sesuai aturan WTO dimana tiap nega-ra diperkenankan menenega-rapkan applied tariff maksimal sama dengan bound tariff dalam Schedule yang didaftarkan. Namun dengan pertimbangan antara lain daya beli masyarakat Indonesia, maka tahun 1998 Pemerintah Indo-nesia menerapkan tarif impor jauh di bawah bound tariff (0 – 5%), termasuk kedelai. Oleh karena itu, analisa ini dilakukan untuk mengeta-hui besaran keuntungan usahatani kedelai de-ngan tingkat tarif impor terkini dan menghitung tingkat tarif impor kedelai pada tingkat keun-tungan optimal. Definisi optimal berdasarkan asumsi keuntungan usahatani 35 persen. Se-lain itu akan dikaji dampak kenaikkan tarif impor kedelai.

MATERI DAN METODE Materi

Analisis dampak tarif terhadap keseim-bangan pasar domestik dilakukan dengan menggunakan peubah-peubah, antara lain har-ga produsen, perdahar-ganhar-gan besar, konsumen, harga dunia, produksi, dan permintaan impor. Data yang digunakan adalah data sekunder diperoleh dari publikasi maupun dokumentasi berbagai instansi di dalam dan luar negeri. Instansi-instansi tersebut antara lain FAO, BPS, Bulog, dan Departemen Pertanian.

Metode

Analisis dilakukan pada tingkat usaha-tani dan makro. Analisis mikro dengan meng-gunakan data I-O diturunkan dari data struktur ongkos rata-rata Indonesia 2006. Penerapan tarif impor akan meningkatkan harga eceran di pasar domestik. Melalui proses transmisi har-ga, peningkatan harga eceran di pasar domes-tik akan ditransmisikan ke harga jual di tingkat petani. Dengan kerangka analisis seperti ini dapat ditentukan tingkat harga jual tertentu di pasar domestik, sehingga dapat memberi pe-ningkatan keuntungan bersih di tingkat petani.

Analisis tingkat makro menggunakan “partial welfare analysis” untuk memahami dampak penerapan tarif optimal terhadap harga komoditas di pasar domestik, produksi, permin-taan, penawaran dan impor, serta dampaknya terhadap kesejahteraaan produsen, konsumen dan penerimaan pemerintah (Gambar 1).

Analisis makro untuk memahami dam-pak perubahan tarif terhadap keseimbangan pasar domestik dilakukan dengan mengguna-kan asumsi (1) Indonesia adalah negara kecil (small economy) dan (2) Nilai tukar yang di-gunakan adalah sebesar Rp 9.100/US$.

Standar analisis parsial digunakan un-tuk menghitung pengaruh kesejahteraan yang terkait dengan konsumen, produsen dan peme-rintah. Diasumsikan bahwa pemerintah perlu meningkatkan tarif dari t0 ke t1. Peningkatan

tarif akan mengakibatkan inefisiensi ekonomi (deadweight loss) yang lebih besar, yang ditun-jukkan area (d+f+i+k), dibandingkan area (c+g) jika pemerintah memberlakukan tarif sebesar t0. Inefisiensi yang lebih besar ini karena

konsumen harus membayar harga yang lebih tinggi dan harus menanggung biaya ekonomi

(3)

yang lebih besar, yaitu area (h+i+j+k). Seba-liknya, produsen mengalami peningkatan kese-jahteraan sebesar area (h) dan pemerintah area (j-d-f) akibat peningkatan tarif dari t0 ke t1.

Penerimaan dari tarif turun karena penurunan jumlah barang yang diimpor sebagai dampak dari kenaikan produksi dalam negeri akibat peningkatan harga di tingkat petani. Pengaruh dari peningkatan tarif impor dirangkum dalam Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh Peningkatan Tarif terhadap Tingkat Kesejahteraan

Surplus Tarif t0 Tarif t1 Perubahan Konsumen h+i+j+k+l l -(h+i+j+k)

Produsen a+b a+b+h H

Pemerintah D+e+f e+j j-d-f

Kesejahteraan neto

-(d+f+i+k)

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi

Kedelai, perkembangan produksinya dapat dibagi dalam dua periode besar, yaitu pertumbuhan yang menurun dan stagnant.

Per-tumbuhan menurun terjadi selama 1990-2000. Produksi rata-rata mencapai 1,4 juta ton dan menurun sebesar 3,6 persen/tahun. Produksi stagnant terjadi pada 2001-2006, produksi menurun drastis dari periode sebelumnya dan bergerak lambat pada angka 742 ton. Pertum-buhan produksi pun demikian rendah, hanya 0,4 persen/tahun. Pertumbuhan produksi tidak sejalan dengan gencarnya program bangkit kedelai. Persentase produksi terhadap kedelai dunia mengecil (Tabel 2). Ini mengindikasikan ada penghambat produksi kedelai dalam negeri yang belum terpecahkan.

Konsumsi Kedelai

Konsumsi kedelai per kapita per tahun mengalami fluktuasi. Pada tahun 2003 terjadi penurunan 2 persen dari tahun sebelumnya. Selanjutnya konsumsi meningkat, rata-rata 6,3 persen/tahun, sehingga pada tahun 2006 men-capai 8,31 kg/kapita/tahun. Kondisi konsumsi ini kontradiktif dengan produksi. Pada satu sisi produksi demikian rendah, pada sisi lain kon-sumsi tumbuh meningkat sebesar 4,3 persen/ tahun. Indikasi peningkatan ketergantungan impor telah muncul dengan perbedaan fenome-na pertumbuhan produksi dan konsumsi kede-lai domestik.

Gambar 1. Ilustrasi Dampak Peningkatan Tarif Impor S l Pww+t11 Pw+t0 Pw i h j k b a c d e f g D Q QS0 QS1 Qd1 Qd0

(4)

Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 1999 – 2006 Tahun Konsumsi kg/kapita/th Pertumbuhan (%) 1999 5,7 2002 7,1 2003 6,93 -2 2004 7,22 4 2005 7,78 8 2006 8,31 7 Rata-rata pertumbuhan/th 6,29

Sumber: Neraca Bahan Makanan, BPS.

Ekspor dan Impor

Produksi kedelai domestik tidak sepe-sat pertumbuhan konsumsi kedelai. Pemenu-han konsumsi lebih banyak berasal dari kedelai impor. Selain harga kedelai impor lebih murah keberlanjutan pasokan kedelai impor lebih ter-jamin dibanding kedelai nasional. Setiap tahun-nya rata-rata Indonesia mengimpor kedelai sebanyak 2,3 juta ton (1996-2005). Separuh diantaranya impor kedelai berasal dari negara maju. Amerika Serikat bahkan mendominasi ekspor kedelai ke Indonesia, mencapai hampir 50 persen dari total impor kedelai Indonesia setiap tahunnya (Husein Sawit et al., 2006).

Volume dan nilai impor kedelai masing-masing tumbuh sebesar 8,4 dan 7,9 persen/ tahun (1996-2006). Volume ekspor dari

1999-2005 tumbuh rendah, 1,7 persen/tahun. Namun nilai ekspor tumbuh tinggi, 8 persen/tahun (Ta-bel 4). Ini menunjukkan kedelai yang diekspor adalah produk olahan, sehingga mengalami peningkatan nilai tambah tinggi.

Setiap tahunnya rata-rata Indonesia mengimpor kedelai sebanyak 2,3 juta ton (ter-masuk bungkil kedelai) selama periode 1996-2005. Separuh diantaranya impor kedelai ber-asal dari negara maju. Amerika Serikat bahkan mendominasi impor kedelai ke Indonesia, men-capai hampir 50 persen dari total impor kedelai Indonesia setiap tahunnya (Husein Sawit et al., 2006). Sementara impor kedelai Indonesia dari negara berkembang didominasi oleh tiga eksportir yaitu India, Brazilia, dan Argentina. Pertumbuhan impor kedelai dari negara maju dan negara berkembang setiap tahunnya, ma-sing-masing mencapai 8 persen dan 9 persen (Tabel Lampiran 2).

Harga

Harga kedelai dunia yang lebih rendah dari harga domestik merupakan faktor pendo-rong melajunya kedelai impor. Meskipun demi-kian di pasar domestik, harga kedelai bergerak positif. Harga produsen dan perdagangan besar masing-masing tumbuh sebesar 7,6 dan 6,5 persen/tahun (1998-2007). Laju pertumbu-han harga perdagangan besar yang berbeda karena besar selain dipengaruhi harga produ- Tabel 2. Perkembangan Produksi Kedelai Nasional dan Dunia Tahun 1990 – 2006

Produksi Kedelai (Ton) Tahun

Indonesia Dunia Persentase

1990 1.487.433 108.464.511 1,37 1991 1.555.453 103.320.158 1,51 1992 1.869.713 114.460.616 1,63 1993 1.708.530 115.176.710 1,48 1994 1.564.847 136.483.471 1,15 1995 1.680.010 126.997.618 1,32 1996 1.517.180 130.223.250 1,17 1997 1.356.891 144.418.185 0,94 1998 1.305.640 160.103.858 0,82 1999 1.382.848 157.796.852 0,88 2000 1.018.000 161.400.626 0,63 2001 826.932 177.923.563 0,46 2002 673.056 181.815.725 0,37 2003 671.600 187.514.812 0,36 2004 723.483 206.289.954 0,35 2005 808.353 214.909.669 0,38 2006 749.038 221.500.938 0,34 Pertumbuhan/th -6,55% 4,78% Sumber: BPS diolah

(5)

sen domestik juga dipengaruhi pertumbuhan harga internasional, yaitu 8,0 persen/tahun (Tabel 5). Pasar internasional kedelai selama periode 2000-2007 relatif stabil dalam hal pasokan, sebaliknya pasar domestik cenderung menurun.

Kenaikan harga di pasar domestik di-duga disebabkan oleh kelangkaan pasokan, baik dari produsen domestik dan impor. Terkait dengan fluktuasi pasokan di pasar domestik, maka peningkatan harga kedelai di tingkat konsumen relatif lebih cepat dibandingkan di tingkat pedagang besar. Oleh karena itu per-tumbuhan harga di tingkat konsumen lebih ting-gi dibandingkan pertumbuhan harga pedagang

besar, yaitu sebesar 5,8 persen/tahun (Tabel 5).

Struktur Ongkos

Menurut data struktur ongkos usaha-tani kedelai tahun 2006, dengan tarif bea masuk impor kedelai 10 persen (setara spesifik Rp 280,6/kg), petani kedelai domestik telah memperoleh keuntungan usahatani sekitar 18,85 persen (Tabel 6). Penentuan tingkat tarif impor kedelai yang optimal agar petani mendapatkan keuntungan layak dan tidak memberatkan konsumen, simulasi dilakukan dengan asumsi keuntungan usahatani 25 persen.

Tabel 4. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor dan Impor Kedelai Indonesia, 1996–2006

Impor Ekspor

Tahun

Volume (ton) Nilai (000 USD) Volume (ton) Nilai (000 USD)

1996 1.705.583 530.582 1997 1.532.112 518.860 1998 1.033.802 273.776 1999 2.227.321 475.158 7.596 3.606 2000 2.568.565 558.737 12.013 4.490 2001 2.728.358 611.140 21.987 5.808 2002 2.716.641 591.121 13.812 6.569 2003 2.773.668 706.753 13.474 6.018 2004 2.881.735 967.957 17.109 6.211 2005 2.982.986 801.779 8.276 6.080 2006 3.121.334 838.390 NA NA Pertumbuhan/th 8,42% 7,88% 1,70% 8,04% Sumber: BPS

Tabel 5. Perkembangan Harga Dalam Negeri Ditingkat Petani, Perdagangan Besar, dan Eceran dan Harga Internasional, Tahun 1998 – 2006

Harga dalam negeri (Rp/kg) Tahun

Produsen* Perdagangan

besar* Konsumen*

Soybean (US) CIF Rotterdam (US$/Ton) 1998 2.059,98 2.741,15 3.108,20 NA 1999 2.527,51 3.067,50 3.441,54 NA 2000 2.652,44 2.811,98 3.060,09 211,83 2001 2.918,84 3.029,37 3.485,02 195,83 2002 3.191,51 3.143,53 3.682,26 212,92 2003 3.277,85 3.226,18 3.793,96 264,00 2004 3.499,49 3.775,58 4.205,89 306,50 2005 3.783,70 4.218,20 4.628,88 274,40 2006 4.010,78 4.660,83 4.977,85 268,42 2007 4.457,14 4.789,29 5.123,21 386,20 Pertumbuhan (persen/th) 7,59% 6,46% 5,91% 7,97%

(6)

Berdasarkan pembahasan tarif impor optimal untuk pencapaian keuntungan usaha-tani 25 persen, tarif impor kedelai harus diubah dari 10 persen menjadi 24,3 persen. Kenaikan bea masuk kedelai yang mencapai lebih dari 100 persen tentunya akan berdampak pada keseimbangan pasar. Sebagai komoditas im-por, maka pasar yang terpengaruh pertama kali adalah perdagangan besar baru diikuti berikut-nya sampai tingkat eceran (konsumen).

Selain diperkirakan mampu menjamin keuntungan usahatani sebesar 25 persen, dari sisi keseimbangan pasar peningkatan tarif im-por kedelai akan berdampak pada produsen, permintaan, penawaran termasuk impor, dan kesejahteraan sosial (Tabel 7) seperti lazimnya pengaruh perubahan harga, maka akan men-ciptakan keseimbangan pasar baru. Harga per-dagangan besar akan naik sebesar kenaikan tarif spesifik (Rp 485,2), dari semula Rp 4.540/ kg menjadi Rp 5.025,2/kg atau naik 10,7 per-sen. Peningkatan persentase keuntungan me-nyebabkan harga di tingkat produsen naik 8,8 persen atau sebesar Rp 363/kg. Hal ini menye-babkan harga berubah dari Rp 4.116/kg men-jadi Rp 4.479/kg.

Kenaikan harga domestik karena ke-naikan harga lokal maupun impor menyebab-kan permintaan berkurang sebesar 8,2 persen. Permintaan kedelai turun dari 1,9 juta ton men-

Tabel 7. Hasil Analisis Dampak Kenaikan Tarif Im-por Kedelai

Efek Perubahan Tarif Besaran

Perubahan tarif (Rp/kg) 400,9

Perubahan harga wholesale (Rp/kg) 400,9

Harga wholesale pada t1 (Rp/kg) 4.940,9

Persen perubahan harga wholesale (%) 8,8

Persen perubahan harga produsen (%) 8,8

Perubahan harga produsen (Rp/kg) 363,0

Harga produsen pada t1(Rp/kg) 4.479,0

Efek terhadap permintaan (%) -8,2

Perubahan jumlah permintaan (000ton) -154,9

Permintaan pada t1(000ton) 1.724,7

Efek terhadap penawaran (%) 5,0

Perubahan jumlah penawaran (000ton) 37,3

Penawaran pada t1(000ton) 784,9

Jumlah impor pada t1(000ton) 939,8

Efek terhadap jumlah impor (000ton) -192,2

Efek terhadap surplus konsumen (juta Rp) -722.465,1 Efek terhadap surplus produsen (juta Rp) 278.193,0 Efek terhadap penerimaan pemerintah

(juta Rp) 322.808,0

Efek terhadap surplus bersih (juta Rp) -121.464,1

jadi 1,7 juta ton. Peningkatan harga kedelai lokal mendorong peningkatan penawaran do-mestik sebesar 5,0 persen. Atau meningkat 37,3 ribu ton menjadi 784,9 ribu ton dari sebelumnya 747,6 ribu ton. Kenaikan harga impor karena tarif menyebabkan impor turun Tabel 6. Struktur Ongkos Produksi Kedelai, Tahun 2006

Struktur ongkos dengan tarif impor 5 persen (kondisi 2006)

Struktur ongkos dengan tarif impor 22,3 persen (keuntungan 25 persen) Kedelai Volume (kg) Harga (Rp) Nilai (Rp) Persen (%) Volume (kg) Harga (Rp) Nilai (Rp) Persen (%) Penerimaan kotor 1.145 4.116 4.712.992 100 1.145 4.479 5.128.431 100 Benih 60 5.000 300.000 7 60 5.000 300.000 6 Pupuk Urea/Za 67 1.400 93.100 2 67 1.400 93.100 2 TSP/DAP 27 1.750 46.375 1 27 1.750 46.375 1 Lainnya(KCL) 149.000 3 149.000 3 Pestisida 165.000 4 165.000 3

Tenaga Kerja (HOK) 100 21.000 2.089.500 45 100 21.000 2.089.500 41

Sewa Lahan 600.000 13 600.000 12

Lainnya 135.000 3 135.000 3

Total Modal kerja 3.577.975 78 3.577.975 70

Biaya modal 268.348 6 268.348 5

Total biaya 3.846.323 84 3.846.323 75

Keuntungan 866.669 19 1.282.108 25

(7)

sebanyak 192,2 ribu ton, sehingga volume impor turun dari 1,1 juta ton menjadi 939,8 ribu ton. Kenaikan harga akan menurunkan kese-jahteraan konsumen, dicerminkan oleh turun-nya surplus konsumen sebesar Rp 722,5 milyar. Namun, kenaikan harga akan mengun-tungkan produsen, sehingga surplus produsen naik Rp 278,2 milyar. Karena tarif ditingkatkan, maka penerimaan pemerintah dari bea masuk impor naik. Penerimaan pemerintah akan naik sebesar Rp 322,8 milyar. Secara agregat per-ekonomian kedelai nasional akan memburuk. Ditunjukkan oleh defisit surplus total sebesar Rp 121,5 milyar/tahun, yaitu kesejahteraan yang hilang tidak dapat dinikmati masyarakat.

Berdasarkan perhitungan besaran ke-untungan usahatani optimal 25 persen, petani kedelai nasional harus mencapai harga jual Rp 4.479/kg. Kondisi ini sangat sulit, karena harga kedelai domestik menjadi tidak dapat bersaing dengan kedelai impor. Satu-satunya solusi untuk memberi insentif produksi kedelai do-mestik adalah jaminan harga jual kedelai de-ngan tingkat keuntude-ngan pasti. Berdasarkan asumsi harga pokok produksi Rp 3.359/kg, tarif bea masuk kedelai saat ini 10 persen, untuk memperoleh keuntungan usahatani 25 persen tarif bea masuk yang diterapkan (Most Favoured Nation, MFN) harus dinaikkan menja-di 24,3 persen (ad valorem) atau Rp 681,5/kg (specific tariff).

Tarif yang diikat untuk kedelai adalah 27 persen. Artinya masih ada peluang bagi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani kedelai dengan menjamin keuntungan usahatani 25 persen dengan menetapkan tarif impor baru sebesar 24,3 persen. Hal penting yang harus dipertimbangkan adalah beban konsumen kedelai di sektor hilir, yaitu sektor peternakan dan industri pakan ternak. Karena sebagian besar konsumen kedelai impor di dalam negeri adalah kedua sektor tersebut. Sementara untuk konsumsi rumah tangga (pangan) lebih banyak menggunakan kedelai produksi lokal. Penting untuk mensosialisa-sikan tarif impor MFN kedelai yang baru kepada semua stakeholder untuk mencapai nilai optimal yang disepakati. Kajian teknis dan matematis saja kurang bijaksana tanpa mem-pertimbangkan dampak positif/negatif bagi se-mua pihak yang berkepentingan di dalamnya.

Harga kedelai impor pada saat ini sebesar Rp 2.806,4/kg (Desember 2007) masih

lebih rendah dibandingkan harga pokok pro-duksi kedelai lokal (Rp 3.359/kg). Tidak berlebi-han apabila Husein Sawit dan Rusastra (2005) pernah memprediksi impor kedelai Indonesia akan semakin besar pada tahun-tahun menda-tang karena kemudahan tataniaga impor be-rupa dihapusnya monopoli Bulog sebagai importir tunggal serta dibebaskannya bea ma-suk dan pajak pertambahan nilai (PPn kedelai). Selain itu, negara eksportir kedelai terbesar dunia, seperti AS juga menyediakan kredit ekspor dengan bunga subsidi, sehingga me-rangsang importir kedelai Indonesia untuk memanfaatkan fasilitas tersebut.

Keadaan ini harus dicari penyelesaian-nya, mengingat selain untuk konsumsi pangan, kedelai maupun bungkilnya banyak dimanfaat-kan sektor industri padimanfaat-kan ternak domestik. Ketergantungan impor kedelai akan menimbul-kan kerentanan sektor peternamenimbul-kan domestik dan dampak yang terkait akan lebih meresah-kan lagi, yaitu masalah pengangguran. Libera-lisasi perdagangan, revolusi transportasi, dan teknologi informasi menyebabkan sektor tana-man pangan mengalami proses globalisasi dan terintegrasi kuat dengan pasar global.

Fluktuasi harga produk pangan dan sa-rana produksi usahatani di pasar global akan ditransmisikan ke semua tingkat harga, terma-suk produsen lokal. Namun tidak semua sistem dan saluran pemasaran komoditas pangan di pasar domestik bersaing sempurna. Hal ini da-pat dilihat dari nilai elastisitas transmisi harga. Elastisitas transmisi harga di tingkat pedagang besar ke produsen lokal sebesar 0,99 (Tabel Lampiran 4) menunjukkan bahwa perubahan harga di tingkat petani relatif lebih kecil dibandingkan laju perubahan di tingkat peda-gang besar atau pun pelaku pemasaran beri-kutnya (eceran/konsumen).

Kesejahteraan sosial merupakan cer-minan dari pencapaian pembangunan ekonomi dalam bidang ketahanan pangan, pembangun-an perdesapembangun-an, dpembangun-an ketahpembangun-anpembangun-an ekonomi rumah tangga. Insentif usahatani dengan sendirinya akan menciptakan perbaikan ekonomi rumah tangga petani tersebut. Secara agregat ke-kuatan ekonomi perdesaan akan menyusun kekuatan guna mendorong pembangunan. Inti dari keberhasilan pembangunan persedaan se-tempat adalah terjaminnya ketahanan pangan baik di tingkat rumah tangga, perdesaan, sam-pai tingkat nasional. Ini menunjukkan bahwa

(8)

kebijakan makro agregat, dalam hal ini tarif bea masuk impor, berpengaruh besar pada kese-jahteraan mikro.

KESIMPULAN

Pada tingkat tarif impor saat ini sebe-sar 10 persen, keuntungan usahatani kedelai adalah 18,85 persen. Tarif impor optimal untuk kedelai adalah 24,3 persen. Tingkat tarif ini akan meningkatkan keuntungan usahatani kedelai menjadi 25 persen. Tarif impor kedelai optimal 24,3 persen masih di bawah tarif yang diikat yang terdaftar dalam Schedule Indonesia di WTO (Schedule XXI), sehingga masih mung-kin untuk diterapkan sebagai tarif MFN baru. Apabila kebijakan tarif impor optimal untuk kedelai diterapkan maka masyarakat Indonesia justru akan kehilangan surplus bersih/kesejah-teraan sosial sebesar Rp 121,5 milyar.

Kebijaksanaan tarif impor yang realis-tik, khususnya untuk komoditas kedelai dipan-dang sangat relevan untuk merangsang petani untuk tetap berproduksi. Namun kebijakan pro-teksi harga hanya akan pengaruh positif bila-mana ada potensi peningkatan produktivitas, dan respon harga yang cukup serta sistem pe-masaran yang efisien. Indonesia sepantasnya tetap memelihara dan pengembangkan pro-duksi pertanian disertai dukungan kebijaksana-an insentif ykebijaksana-ang memadai bagi petkebijaksana-ani, melalui peningkatan tarif bea masuk produk yang paritasnya dihasilkan petani domestik.

Selain itu, penting mempertimbangkan kelayakan operasional peningkatan tarif bea masuk kedelai impor untuk mencapai

keun-tungan usahatani 25 persen. Karena sistem pemasaran kedelai nasional yang tidak efisien, sasaran yang diharapkan tidak tercapai dan menguntungkan pihak di luar target yang tidak menjadi sasaran kebijakan. Karena pasar tidak mencerminkan kekuatannya.

DAFTARPUSTAKA

Husein Sawit, M. dan I. W. Rusastra (2005), “Globalisasi dan Ketahanan Pangan di Indonesia”, Laporan akhir dari bagian laporan penelitian Road Map Mem-perkuat Kembali Ketahanan Pangan, LPEM UI, Jakarta.

Husein Sawit, M., Sjaiful Bachri, Sri Nuryanti, dan Frans B.M. Dabukke (2006), “Flek-sibelitas Penerapanan Special Safe-guard Mechanism (SSM) dan Kaji Ulang Kebijakan Domestik Support (DS) untuk Special Product (SP) Indonesia”, Laporan Hasil Penelitian, Pusat Analisa Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.

OECD (2005), “Producer and Consumer Support Estimates”, OECD Database 1986-2004, www.oecd.org/oecd pse full zip/.

Swastika, DKS, Sri Nuryanti, dan M. Husein Sawit (2007), ”Kedudukan Indonesia dalam Perdagangan Internasional Ke-delai”, dalam Kedelai Teknik Produksi dan Pengembangan, Edisi Sumarno et al., Puslitbang Tanaman Pangan, Balitbang Pertanian.

(9)

Tabel Lampiran 1. Total Impor Kedelai dan Negara Asal Impor, Tahun 1996-2005 Total Negara (Ton) (%) Pertumbuhan (%/Tahun) 1.Negara Maju 11.632.798 50,25 8,46 1.1.AS 11.404.496 1.2.Australia 2.701 1.3.Kanada 194.520 1.4.Selandia Baru 126 1.5.UE(15) 5.760 1.6.Jepang 12.686 1.7.Swiss 10.255 1.8.Lainnya 2.255 2.Negara Berkembang 11.517.973 49,75 8,93 2.1.China 91.851 2.2.India 4.621.567 2.3.Thailand 44.910 2.4.Viet Nam 13.484 2.5.Brazilia 3.017.728 2.6.Argentina 2.959.130 2.7.Lainnya 769.302 TOTAL 23.150.771 100,00 9,12

Sumber: Diolah dari data BPS, 1996-2005.

Tabel Lampiran 2. Pendugaan Persamaan Penawaran Kedelai

Peubah Parameter t-Hitung

Konstanta 1,9511 1,0843

Harga di tingkat petani 0,5660* 2,5749

R2 0,6885

Tabel Lampiran 3. Pendugaan Persamaan Permintaan Kedelai

Peubah Parameter t-Hitung

Konstanta 14,4644*** 4,4588

Harga di tingkat konsumen -0,9332** -2,3785

R2 0,4142

Tabel Lampiran 4. Pendugaan Persamaan Transmisi Harga dari Pedagang Besar ke Petani

Peubah Parameter t-Hitung

Konstanta -0,3644*** -0,2789

Harga di tingkat konsumen 0,9989*** 6,4505

Gambar

Tabel 1.  Pengaruh Peningkatan Tarif terhadap  Tingkat Kesejahteraan

Referensi

Dokumen terkait

Priklausomai nuo terpės pH, baltymai gali turėti suminį nulinį, teigiamą arba neigiamą krūvį.. Skirtingai nuo

kandungan P yang ada adalah signifi- kan. Rata-rata kandungan P yang paling tinggi dimiliki pupuk organik B yang kom- posisinya mengandung 75 % sampah buah. Ditambah dengan

Sistem ini dapat bekerja dengan akurat jika tag berada pada jarak maksimum 10 cm dari reader dan dapat memproses satu transaksi dalam waktu yang singkat dengan waktu proses

Naro č ito je opasno pove ć anje metabolizma vitamina D prouzrokovano barbituratima i fenitoinom koje kod pacijenata na dugotrajnoj terapiji ovim lekovima dovodi do

PENGEMBANGAN WEBSITE DENGAN FITUR PERAKITAN PC ONLINE MENGGUNAKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS..

Namun, setelah Presiden IDN-Global, Mohamad Al-Arief, bertemu Pak Azis pada tanggal 26 Agustus 2014 dimana IDN-Global menyerahkan rangkuman kajian perbandingan DK di 56 negara,

ABSTRAK: Indonesia merupakan negara yang multikultural, artinya negara yang memiliki keanekaragaman suku bangsa, agama, ras, dan golongan. Dengan menjadi negara yang