NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN
STRES KERJA PADA TELLER DAN
CUSTOMER SERVICE BANK
Oleh:
ROY JULIARDHANA TEKAD WAHYONO
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2009
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN STRES KERJA PADA TELLER DAN CUSTOMER SERVICE BANK
Telah Disetujui Pada Tanggal
____________________________
Dosen Pembimbing Utama
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN STRES KERJA PADA
TELLER DAN CUSTOMER SERVICE BANK
Roy Juliardhana Tekad Wahyono
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan stres kerja pada teller dan customer service bank. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan stres kerja pada teller dan customer service bank. Semakin tinggi kecerdasan emosi, semakin rendah stres kerja. Sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosi, semakin tinggi stres kerja.
Subjek dalam penelitian ini adalah teller dan customer service bank. Sebanyak 45 teller dan customer service, terdiri dari 18 teller dan 27 customer service memiliki usia, masa kerja, latar belakang pendidikan yang bervariasi, terlibat dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan angket yang dibuat oleh peneliti. Angket yang digunakan terdiri atas bagian biodata dan dua buah skala pengukuran, yaitu: Skala Stres Kerja dan Skala Kecerdasan Emosi. Skala Stres Kerja berjumlah 23 aitem mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Robbins (2006) dan Skala Kecerdasan Emosi berjumlah 48 aitem mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Goleman (1999).
Hasil analisis data penelitian dengan komputer menggunakan program SPSS 12.0 for Windows, menunjukkan koefisien korelasi secara umum (R) sebesar -0,620 dengan koefisien determinasi (R Square) sebesar 0,384. Lebih lanjut ditemukan korelasi product moment Pearson sebesar -0,620 dengan p = 0,000 (p<0,05) pada uji satu ekor. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis diterima. Berdasarkan hasil analisis tambahan analisis regresi variabel kecerdasan emosi, aspek pengaturan diri memiliki pengaruh paling besar terhadap stres kerja, yaitu 36,7%. Artinya, melalui aspek percaya diri, sebenarnya tingkat stres kerja sudah dapat diprediksi.
Pengantar
Stres kerja banyak diteliti karena perubahan zaman menuju era globalisasi dan perkembangan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) menimbulkan persaingan yang semakin tajam dalam dunia kerja. Persaingan yang terjadi menuntut setiap individu untuk menciptakan dan meningkatkan keunggulan kompetitif. Sejalan dengan itu, Wiyono (2006) dalam penelitiannya mengenai pengaruh tipe kepribadian A dan peran terhadap stres kerja manajer madya memandang bahwa persaingan yang terjadi memaksa perusahaan melakukan usaha peningkatan mutu dan menciptakan keunggulan kompetitif yang bisa menjamin keberlangsungan hidup sumber daya manusia dan perkembangan perusahaan. Hal ini dikarenakan sumber daya manusia yang berkualitas merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam sebuah organisasi yang berorientasi profit maupun non profit.
Sumber daya manusia yang berkualitas bukan hanya memiliki intelektualitas tinggi semata melainkan juga memiliki kemampuan untuk bekerja dengan orang lain dan mengelola diri sendiri untuk beradaptasi dengan tuntutan dan permasalahan kerja yang muncul, namun pada kenyataannya sering terjadi ketegangan dengan tuntutan tersebut sehingga menyebabkan stres kerja. Menurut Kreitner dan Kinicki (2005) stres kerja tidak dapat dihindari, namun stres kerja dapat dikurangi dan dikelola. Stres kerja apabila dikelola dengan baik dapat menjadi pendorong dan meningkatkan intensitas kerja, sedangkan apabila tidak dikelola dengan baik stres kerja akan menimbulkan permasalahan yang berdampak negatif bagi individu dan perusahaan. Selye (Kreitner dan Kinicki,
2005) membedakan antara eustress yakni stres yang positif atau stres yang menghasilkan suatu hasil yang positif dan distress yakni kekuatan destruktif atau stres negatif yang sering menimbulkan masalah fisik maupun mental.
Stres kerja oleh para pelaku perilaku organisasi telah dinyatakan sebagai penyebab dari berbagai masalah fisik, mental bahkan output organisasi. Schultz (2006) menjelaskan bahwa penelitian pada lebih dari 960.000 pekerja di USA dan Swedia menunjukkan bahwa pekerja dengan stres tinggi memiliki kecenderungan mengalami penyakit jantung empat kali lebih besar dibandingkan pekerja dengan tingkat stres rendah. Hal tersebut sejalan dengan penjelasan Robbins (2006) bahwa stres kerja dapat mengakibatkan tekanan darah tinggi, penyakit jantung, kecemasan, mudah marah, gelisah, gangguan tidur, dan mengakibatkan produktivitas kerja menurun. Stres kerja dapat terjadi pada berbagai jenis pekerjaan terutama yang memiliki tuntutan pekerjaan tinggi. Salah satu pekerjaan yang memiliki tuntutan pekerjaan tinggi adalah teller dan customer service bank.
Teller dan customer service dalam dunia perbankan memiliki peran yang
sangat penting pada sebuah bank, karena teller dan customer service merupakan bagian dari front liner yang bertugas melayani nasabah. Banyak bank yang bersaing untuk memberikan pelayanan yang memuaskan bagi nasabahnya. Sebuah situs internet www.monster.com/carieradvice menjelaskan bahwa teller dan
customer service menjadi ikon suatu bank, karena apabila mampu memberikan
pelayanan yang memuaskan bagi nasabahnya maka bank tersebut akan mendapat kepercayaan dari masyarakat.
Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 25 September 2008 dengan salah seorang manajer bank milik pemerintah yang berlokasi di Purwokerto, diperoleh informasi bahwa customer service bertugas melayani nasabah yang membutuhkan informasi mengenai produk bank dan mengatasi pengaduan keluhan atau komplain. Selain itu, customer service juga bertugas melayani nasabah dalam membuka atau menutup rekening sehingga dapat menciptakan hubungan positif dan suasana bisnis yang kondusif serta memberikan kepuasan pada nasabah. Berbeda dengan customer service, tugas dari seorang teller adalah melayani nasabah yang hendak melakukan pembayaran maupun penarikan uang dan setoran. Secara umum pekerjaan teller dimulai dengan melakukan persiapan pelayanan sebelum bank dibuka, setelah itu dilanjutkan dengan melayani nasabah yang datang ketika bank sudah mulai beroperasi. Selesai melayani nasabah, kemudian teller membuat laporan transaksi serta verifikasi nota atau slip transaksi dan diakhiri dengan pengecekan akhir.
Seorang teller dalam melayani banyaknya nasabah yang datang dituntut untuk mampu memberikan pelayanan prima, yakni ramah, cepat dan teliti namun tetap berorientasi pada kepuasan nasabah. Hal ini dimaksudkan agar semua nasabah dapat terlayani dengan baik dan teller terhindar dari masalah “selisih”, yaitu jumlah uang dalam pembukuan ternyata berbeda dengan jumlah uang yang sebenarnya. Masalah “selisih” terjadi karena teller kurang teliti dalam menghitung uang, jika terjadi “selisih” maka teller harus melakukan perhitungan kembali dari awal dan apabila jumlah uang tetap kurang setelah dilakukan perhitungan kembali maka teller harus mengganti uang tersebut.
Tuntutan pekerjaan tersebut dapat menimbulkan tekanan bagi teller dan
customer service sehingga dimungkinkan mengakibatkan stres kerja. Menurut
Ismail dan Zaidi (2002), stres kerja yang terjadi pada karyawan bank akan mempengaruhi keamanan dan kesehatan bank. Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 25 September 2008 dengan beberapa orang teller dan customer service sebuah bank yang berlokasi di Purwokerto, diketahui bahwa beberapa teller pernah merasa pusing, jantung berdebar, kelelahan dan kecemasan serta mengalami masalah tidur setelah bekerja. Sebagian customer service mengaku walaupun mereka mampu bertahan pada tuntutan perkerjaan namun mereka merasa tekanan pekerjaan terkadang berpengaruh pada kehidupan diluar pekerjaan. Gejala-gejala tersebut menurut Robbins (2006) merupakan gejala stres kerja yang terbagi dalam 3 kategori, yaitu: gejala fisik, psikologis dan perilaku.
Stres kerja terjadi karena adanya tuntutan lingkungan pekerjaan yang melampaui kemampuan seseorang. Menurut Dale dan Staudohar (Sutanto dan Djohan, 2006) stres kerja adalah suatu tekanan yang dirasakan oleh seseorang yang mempengaruhi emosi, proses pikiran dan kondisi fisik. Tekanan ini disebabkan oleh lingkungan pekerjaan individu tersebut berada. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Leka, dkk (2003) bahwa stres kerja merupakan respon individu saat dihadapkan pada tuntutan dan tekanan pekerjaan yang tidak sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki serta kemampuan mengatasi tantangan.
Stres kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Kreitner dan Kinicki (2005) menyebutkan bahwa faktor yang menimbulkan stres disebut stressor dan
terdapat empat jenis utama stressor, yaitu faktor individual, faktor kelompok, faktor organisasional, dan faktor ekstraorganisasional. Faktor individual merupakan faktor yang berkaitan lansung dengan tugas-tugas individu, meliputi: tuntutan pekerjaan, konflik peran, ambiguitas peran, beban kerja, dan hubungan dengan supervisor. Faktor kelompok merupakan faktor stres yang disebabkan dinamika kelompok, meliputi: perilaku manajerial, perbedaan status dan konflik dalam kelompok. Faktor organisasional, meliputi: kebudayaan, struktur, teknologi, dan pengenalan perubahan dalam kondisi kerja. Faktor ekstraorganisasional merupakan faktor stres yang berasal di luar organisasi, meliputi: keluarga, ekonomi, waktu yang berubah, dan polusi. Menurut Robbins (2006) faktor yang mempengaruhi stres kerja adalah lingkungan, organisasional, dan individual. Faktor Organisasional meliputi: tuntutan tugas, tuntutan peran, tuntutan antar individu, struktur organisasi, dan kepemimpinan organisasi.
Stres merupakan hal yang berbeda bagi individu yang berbeda. Tiap individu belum tentu mengalami stres terhadap suatu stressor yang sama, hal tersebut disebabkan karena beberapa perbedaan individual. Salah satu perbedaan individual yang diduga mempengaruhi stres kerja adalah emosi. Emosi memegang peranan penting sehingga perlu dikelola dengan baik karena dapat menimbulkan hal-hal positif. Individu yang mampu mengelola emosi dengan baik akan dapat meningkatkan prestasi dan produktifitas kerja, hal ini identik dengan kecerdasan emosi. Menurut Goleman (2005), kecerdasan emosi adalah kecakapan emosi yang meliputi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri dan memiliki daya tahan ketika menghadapi rintangan, mampu mengendalikan impuls dan tidak cepat
merasa puas, mampu mengatur suasana hati dan mengelola kecemasan agar tidak mengganggu kemampuan berpikir, mampu berempati serta berharap.
Sejalan dengan goleman, Cooper dan Sawaf (2000) menjelaskan bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengakui dan menghargai perasaan pada diri sendiri dan orang lain, menanggapinya dengan tepat, menerapkan emosi secara efektif dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari, kemampuan untuk mencari potensi unik diri, mengaktifkan gagasan dan nilai-nilai seseorang, mengubahnya dari apa yang dipikirkan menjadi apa yang dilakukan. Berdasarkan definisi tersebut, maka kecerdasan emosi ini sangat mempengaruhi seseorang dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari termasuk pekerjaan. Ditambahkan oleh Goleman (1999) bahwa orang bekerja kini dinilai tidak hanya didasarkan pada tingkat kepandaian dan pengalaman, tetapi juga berdasarkan seberapa baik orang mengelola diri sendiri dan berhubungan dengan orang lain.
Mengingat tuntutan pekerjaan seorang teller dan customer service bank yang tinggi, maka kecerdasan emosi memiliki peran yang sangat penting untuk membantu teller dan customer service bank dalam menghadapi tuntutan pekerjaan. Teller dan customer service bank yang memiliki kecerdasan emosi diharapkan akan memiliki daya tahan yang baik dan manajemen stres, sehingga tidak menggangu kemampuan berpikir saat menjalankan tuntutan pekerjaan dan saat dihadapkan pada permasalahan pekerjaan. Sejalan dengan itu, Goleman (2005) menjelaskan bahwa dengan kecerdasan emosi maka seseorang akan
mampu memotivasi diri sendiri dan bertahan untuk menghadapi tekanan serta mengatur suasana hati agar tidak melumpuhkan kemampuan berpikir.
Seorang teller dan customer service bank yang tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri dan memiliki daya tahan yang baik ketika dihadapkan pada tuntutan pekerjaan serta permasalahan kerja dimungkinkan mengalami stres kerja. Teller yang memiliki kecerdasan emosi diharapkan akan memiliki daya tahan dan mampu menjalankan tuntutan untuk dapat melayani nasabah dengan cepat dan teliti namun tetap berorientasi pada kepuasan pelanggan, ketika melayani nasabah dalam jumlah banyak. Jika terjadi masalah “selisih”, teller yang memiliki kecerdasan emosio baik diharapkan akan mampu mengatur suasana hati dan mengelola kecemasan agar tidak mengganggu kemampuan berpikirnya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sedangkan
customer service yang memiliki kecerdasan emosi diharapkan akan mampu
mengendalikan diri dan mengatur suasana hati saat melayani keluhan nasabah.
Teller dan customer service bank yang tidak memiliki kecerdasan emosi baik akan
merasa tertekan dan cemas karena tidak mampu mengelola kecemasan serta mengatur suasana hati, sehingga dimungkinkan stres kerjanya tinggi.
Cooper dan Sawaf (2000) menjelaskan salah satu aspek dari kecerdasan emosi adalah alkimia emosi yaitu kemampuan kreatif yang mengalir bersama masalah-masalah dan tekanan-tekanan tanpa larut di dalamnya. Seseorang yang mengalami stres akan dihadapkan pada masalah yang harus dihadapinya. Kemampuan inilah yang dapat mengendalikan stres. Teller dan customer service bank yang memiliki kemampuan ini diharapkan akan mampu menjalani tugasnya dengan baik karena
alkimia emosi ini membuat teller dan customer service bank mampu mengalir bersama tuntutan pekerjaan tanpa larut dalam tekanan yang diberikan tuntutan pekerjaan tersebut. Saat dihadapkan pada banyaknya nasabah yang datang, apabila
teller dan customer service bank memiliki kemampuan ini maka akan mampu
mencari solusi sehingga dapat berpikir dan bertindak sesuai yang diharapkan untuk menangani masalahnya. Sebaliknya, teller dan customer service bank yang tidak memiliki kemampuan ini dimungkinkan akan mengalami stres kerja yang tinggi karena larut dalam masalah dan tekanan.
Kecerdasan emosi yang dimiliki seorang teller dan customer service bank diharapkan mampu mengurangi stres kerja yang mungkin muncul dikarenakan tingginya tuntutan pekerjaan seorang teller dan customer service bank. Kecerdasan emosi yang dimiliki seorang teller dan customer service bank akan mampu memotivasi diri dan bertahan untuk menghadapi tekanan serta mengatur suasana hati agar tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, sehingga dapat mengurangi stres kerja yang mungkin muncul. Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini ingin mengetahui apakah ada hubungan kecerdasan emosi dengan stres kerja pada teller dan customer service bank?
Metode Penelitian
Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah teller dan customer service PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Cabang Sleman DIY berjumlah 45 orang, yang terdiri
dari 18 teller dan 27 customer service. Tingkat pendidikan minimal SMA dan telah bekerja minimal tiga bulan.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode skala, dengan pertimbangan adanya kontrol ketat dari pihak bank yang menyangkut kerahasiaan bank dan kesibukan responden yang akan diteliti sehingga peneliti berusaha memberikan kemudahan dengan tidak menyita waktu responden. Skala ini terdiri dari lima alternatif jawaban yaitu, sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Skor jawaban
favorable berkisar 4 sampai dengan 1, sedangkan skor jawaban unfavorable
berkisar antara 1 sampai dengan 4. Pengumpulan data dilakukan satu kali untuk setiap subjek dengan cara membagikan skala kepada subjek penelitian.
Skala Stres Kerja
Skala stres kerja mencakup 23 aitem. Stres kerja diukur dengan menggunakan skala stres kerja yang disusun peneliti berdasarkan aspek-aspek stres kerja milik Robbins (2006), yaitu: aspek fisik, psikologis dan perilaku.
Stres kerja diketahui melalui skor yang diperoleh subjek setelah mengisi skala stres kerja. Subjek yang mendapatkan skor tinggi pada skala ini berarti memiliki stres kerja yang tinggi, namun jika subjek mendapatkan skor yang rendah berarti memiliki stres kerja yang rendah.
Skala Kecerdasan Emosi
Skala kecerdasan emosi mencakup 48 aitem. Kecerdasan emosi diukur dengan menggunakan skala kecerdasan emosi yang disusun peneliti berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosi milik Goleman (1999), yaitu: aspek-aspek kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan ketrampilan sosial.
Kecerdasan emosi diketahui melalui skor yang diperoleh subjek setelah mengisi skala kecerdasan emosi. Subjek yang mendapatkan skor tinggi pada skala ini berarti memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, namun jika subjek mendapatkan skor yang rendah pada skala ini berarti memiliki kecerdasan emosi yang rendah.
Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi
product moment Pearson. Teknik analisis ini digunakan karena penelitian ini
bertujuan mencari hubungan antara dua variabel yang berjenis interval, yaitu stres kerja sebagai variabel dependen dan kecerdasan emosi sebagai variabel
independen (Winarsunu, 2006). Analisis data dilakukan dengan bantuan komputer
Hasil Penelitian
Uji Asumsi Uji Normalitas
Hasil perhitungan statistik dengan bantuan program SPSS 12.0 for Windows, diperoleh informasi bahwa data yang berasal dari skala stres kerja memiliki KS-Z sebesar 1,119 dengan p = 0,164 (p > 0,05). Sedangkan data yang berasal dari skala kecerdasan emosi memiliki KS-Z sebesar 1,091 dengan p = 0,185 (p > 0,05). Hasil uji normalitas tersebut menunjukkan bahwa data kedua skala tersebut memiliki sebaran normal.
Uji Linieritas
Hasil perhitungan statistik dengan bantuan program SPSS 12.0 for Windows diperoleh informasi bahwa antara kecerdasan emosi dengan stres kerja memiliki koefisien F sebesar 49,389 dengan p = 0,000 (p < 0,05). Hal ini berarti hubungan antara kedua variabel memenuhi asumsi linieritas.
Uji Hipotesis
Uji hipotesis dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik korelasi
Product Moment Pearson, karena data penelitian dapat memenuhi asumsi
normalitas dan linieritas. Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa antara variabel kecerdasan emosi dengan stres kerja memiliki koefisien korelasi r sebesar -0,620 dengan p = 0,000 (p < 0,05) pada uji satu ekor. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan stres kerja. Artinya, semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin rendah stres kerja dan sebaliknya. Dengan demikian hipotesis penelitian yang diajukan dapat
diterima dan variabel kecerdasan emosi memiliki sumbangan sebesar 38,4% terhadap stres kerja, artinya 38,4% variabel stres kerja dapat dijelaskan oleh variabel kecerdasan emosi dan sisanya 61,6% dipengaruhi oleh faktor lain.
Uji Regresi
Uji regresi dilakukan untuk mengetahui aspek variabel bebas mana yang memiliki pengaruh paling besar terhadap variabel tergantung. Hasil perhitungan statistik dengan bantuan program SPSS 12.0 for Windows diperoleh informasi bahwa pada variabel Kecerdasan Emosi hanya aspek Pengaturan Diri yang memiliki pengaruh paling besar terhadap stres kerja, yaitu 36,7%. Artinya, melalui aspek percaya diri, sebenarnya tingkat stres kerja sudah dapat diprediksi.
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data melalui korelasi product moment Pearson pada penelitian ini, diperoleh adanya hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan stres kerja pada teller dan customer service bank. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosi teller dan customer service bank, maka semakin rendah stres kerjanya, dan semakin rendah kecerdasan emosi teller dan customer
service bank, maka semakin tinggi stres kerjanya. Korelasi antara kedua variabel
ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosi dapat digunakan untuk menekan munculnya stres kerja pada teller dan customer service bank. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Chiarrochi et al (Adeyemo & Ogunyemi, 2003) yang mengemukakan bahwa kecerdasan emosi dapat menjauhkan seseorang dari stres dan mengarahkan seseorang untuk dapat beradaptasi dengan lebih baik. Sejalan
dengan pendapat tersebut, penelitian Reuven Bar-On (Melianawati, dkk 2001) menjelaskan bahwa salah satu komponen dasar kecerdasan emosi adalah stress
management, sehingga dengan kecerdasan emosi akan mampu mengendalikan dan
meminimalkan stres kerja yang muncul.
Penelitian terhadap teller dan customer service bank ini menunjukkan bahwa subjek memiliki tingkat stres kerja yang rendah dan tingkat kecerdasan emosi yang tinggi. Selain itu dalam penelitian ini kecerdasan emosi memberikan sumbangan sebesar 38,4% terhadap stres kerja yang ditimbulkan, atau dengan kata lain 38,4% variabel stres kerja dapat dijelaskan oleh variabel kecerdasan emosi. Hasil tersebut juga menunjukkan ada faktor lain yang tidak diikut sertakan dalam penelitian ini sebesar 61,6%.
Menurut Goleman (1999), kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan untuk menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Goleman menunjukkan bahwa kecerdasan emosi sangat dibutuhkan dalam dunia kerja saat ini sekitar 75-96 persen, sedangkan peran IQ dalam keberhasilan dunia kerja hanya menempati posisi kedua sesudah kecerdasan emosi. Senada dengan Goleman, Cooper dan Sawaf (2000) menyebutkan bahwa faktor yang paling penting menentukan keberhasilan seseorang dalam bekerja adalah faktor kecerdasan emosi. Teller dan customer service bank yang memiliki kecerdasan emosi akan mampu mengelola emosi dan memotivasi diri saat dihadapkan pada
tuntutan pekerjaan, sehingga teller dan customer service bank akan memiliki daya tahan dan manajemen stres yang baik dalam mengahadapi tuntutan pekerjaan dan permasalahan kerja yang dihadapinya.
Cooper dan Sawaf (2000) menjelaskan salah satu aspek dari kecerdasan emosi adalah alkimia emosi yaitu kemampuan kreatif yang mengalir bersama masalah-masalah dan tekanan-tekanan tanpa larut di dalamnya. Seseorang yang mengalami stress akan dihadapkan pada masalah yang harus dihadapinya. Kemampuan inilah yang dapat mengendalikan stress. Pada teller dan customer service bank yang memiliki kemampuan ini maka saat dihadapkan pada tuntutan tugas, maka teller dan customer service tersebut akan mampu menjalani tugasnya dengan baik karena alkimia emosi ini membuat teller dan customer service bank mampu mengalir bersama tuntutan pekerjaan tanpa larut dalam tekanan yang diberikan tuntutan pekerjaan tersebut. Begitu juga saat dihadapkan pada situasi “selisih” dan keluhan nasabah, apabila teller dan customer service bank memiliki kemampuan ini maka teller dan customer service bank akan mampu mencari solusi sehingga mampu berpikir serta bertindak sesuai yang diharapkan untuk menangani masalahnya dan diharapkan dapat meminimalkan stres kerja.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ternyata aspek pengaturan diri pada variabel kecerdasan emosi mempunyai pengaruh paling besar dan dapat berfungsi sebagai prediktor bagi stres kerja pada teller dan customer service bank. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Cherniss (2000) yang menunjukkan bahwa kemampuan untuk mengelola emosi dalam mengatasi masalah adalah salah satu faktor penting kecerdasan emosi untuk menuju sukses.
Sejalan dengan itu Anoraga (2005) menjelaskan bahwa ketidakmampuan mengatur diri untuk mengatasi keterbatasan dalam diri sendiri dapat menimbulkan gejala-gejala stress.
Goleman (1999) menjelaskan pengaturan diri merupakan kemampuan menangani perasaan agar dapat diungkap secara tepat. Kemampuan ini sering disebut sebagai kemampuan mengelola emosi. Teller dan customer service bank yang memiliki kemampuan ini akan mampu berpikir jernih, tetap fokus dan teguh dalam menghadapi tekanan, tidak cepat puas sebelum target tercapai, mampu menghibur diri sendiri, mampu bangkit kembali dari tekanan emosi dengan lebih cepat dan mudah beradaptasi dengan perubahan. Dengan kemampuan mengelola emosi dengan baik maka teller dan customer service bank akan mampu mengelola suasana hati sehingga stabil dalam memberikan pelayanan yang prima bagi nasabah. Selain itu dengan mengelola emosi akan membantu teller dan customer
service agar tidak merasa tertekan pada tuntutan kerjanya. Hal tersebut sejalan
dengan pendapat Cooper dan Sawaf (2000) yang menjelaskan bahwa kemampuan untuk mengelola emosi menjadikan seseorang dapat menyalurkan energi emosinya ke reaksi yang tepat dan konstruktif.
Penelitian Cooper dan Sawaf (2000) menjelaskan bahwa emosi memberi makna pada situasi-situasi dalam hidup dan merupakan suatu yang paling penting dalam keberadaan individu. Emosi harus dikelola dengan baik karena apabila emosi terlalu ditekan dapat menimbulkan kebosanan dan jika tidak dikendalikan dapat menjadi sumber penyakit, seperti depresi, cemas berlebihan, amarah yang meluap-luap, dan gangguan emosi yang berlebihan. Individu yang mampu
mengenali dan mengelola emosinya tidak akan mudah dikuasai serta larut dalam perasan sehingga mampu bertahan dan bangkit kembali saat dihadapkan pada tekanan emosi.
Secara keseluruhan, ada beberapa keterbatasan pada penelitian ini yang patut dikemukakan di sini agar penelitian yang akan datang menghasilkan informasi yang lebih kaya dan akurat. Pertama, proses pengambilan data dilakukan di 28 Kantor Unit dan 1 Kantor Cabang yang tersebar di seluruh wilayah Sleman sehingga pengambilan data dilakukan dengan mendatangi satu persatu Kantor Unit. Hal tersebut memerlukan banyak waktu, sehingga untuk penelitian selanjutnya perlu melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan pihak bank agar proses pengambilan data tidak menyita waktu yang cukup banyak. Kedua, penulis telah berusaha agar pengambilan data dapat dilakukan secara langsung namun dikarenakan kesibukan pekerjaan teller dan customer service bank yang tinggi ditambah dengan faktor kelelahan, maka pengambilan data dilakukan dengan dilakukan dengan menitipkan angket kepada Kepala Unit kemudian diserahkan kepada teller dan customer service untuk diisi dirumah. Proses pengambilan data pada penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan secara langsung.
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan hasil, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan stres kerja pada
teller dan customer service bank. Semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin
rendah stres kerja pada teller dan customer service bank, dan sebaliknya. Teller dan customer service bank yang memiliki kecerdasan emosi yang baik akan memiliki daya tahan yang baik, motivasi dan manajemen stres saat menjalankan
tuntutan pekerjaan dan dihadapkan pada permasalahan pekerjaan, sehingga dapat meminimalkan stres kerja yang muncul.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan hasil, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan stres kerja pada
teller dan customer service bank. Semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin
rendah stres kerja pada teller dan customer service bank, dan sebaliknya. Teller dan customer service bank yang memiliki kecerdasan emosi yang baik akan memiliki daya tahan yang baik, motivasi dan manajemen stres saat menjalankan tuntutan pekerjaan dan dihadapkan pada permasalahan pekerjaan, sehingga dapat meminimalkan stres kerja yang muncul.
Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan hasil yang diperoleh, maka dengan ini penulis memiliki beberapa saran sebagai berikut :
Teller dan Customer Service bank
Teller dan Customer Service PT. BRI (Persero) Tbk memiliki tingkat stres
kerja yang rendah dan tingkat kecerdasan emosi yang tinggi, sehingga harus dipertahankan agar tingkat stres kerja tidak menjadi tinggi dan jika diperlukan dapat dilakukan pelatihan kecerdasan emosi.
Pihak Bank
Bagi pihak bank dapat melakukan pelatihan kecerdasan emosi kepada seluruh karyawan, karena penelitian ini telah membuktikan bahwa kecerdasan emosi yang baik akan mampu meminimalkan stres kerja.
Peneliti Selanjutnya
Bila ingin menggunakan teller dan customer service bank sebagai subjek penelitian, maka hendaknya peneliti selanjutnya melakukan persiapan administrasi jauh sebelum penelitan. Hal ini dimaksudkan karena proses pengurusan ijin penelitian di bank membutuhkan waktu yang cukup lama. Dalam proses pengambilan data hendaknya peneliti selanjutnya melakukan secara langsung bertemu dengan subjek penelitian sehingga data akan lebih akurat. Untuk itu peneliti selanjutnya diharapkan mampu mengatur waktu dan proses pengambilan data agar dapat bertemu langsung dengan subjek. Peneliti selanjutnya dapat menggunakan variabel bebas yang berbeda, seperti budaya organisasi, hardiness dan kesabaran. Selain itu peneliti selajutnya diharapkan juga menambahkan faktor-faktor lain yang menyebabkan stres kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Adeyemo, D. A. & Ogunyemi, B. 2003. Emotional Intelligence and Self Efficacy as Predictor of Occupational Stress Among Academic Staff in A Nigeria University. http://www.weleadinlearning.org/da05.htm.2/1/09
Anoraga, P. 2005. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.
Cherniss, C. 2002. Emotional Intelligence: What it is and Why it Matters. Annual Meeting of the Society for Industrial and Organizational Psychology. 15 April. New Orleans. http://www.einconsortium.org.2/1/09
Cooper, R. K. & Sawaf, A. 2000. Executive EQ : Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan Organisasi. Terjemahan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, D. 1999. Working With Emotional Inteligence: Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. ---. 2005. Kecerdasan Emosional: Mengapa EI Lebih Penting Dari Pada IQ.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ismail, A. G. & Zaidi, A. S. 2002. CAEL RATING: A Stress Test In Bank Monitoring. Gajah Mada International Journal of Business, 4, 315-326.
Kreitner, R. & Kinicki, A. 2005. Perilaku Organisasi: Organizational Behaviour. Edisi 5. Jakarta: Salemba Empat.
Leka, S., Griffiths, A., & Cox, T. 2003. Work Organisation & Stress: Systematic Problem Approaches for Employers, Managers, and Trade Union Representatives. http://www.who.int/oeh/index.html. 25/8/08
Melianawati, Prihanto, S., & Tjahjoanggoro, A. J. 2001. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Kinerja Karyawan. Anima, Indonesian Psychological Journal, 17, 57-62.
Robbins, S. P. 2006. Perilaku Organisasi. Edisi 10. Alih Bahasa Tim Indeks. Jakarta: PT Indeks kelompok Gramedia.
Identitas Peneliti
Nama: Roy Juliardhana
Alamat: Kaliurang Km 7,8 Banteng 3 Jogjakarta No Hp: 081804781892