• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KOMPARATIF HISAB GERHANA BULAN DALAM KITAB AL-KHULASHAH AL-WAFIYYAH DAN EPHEMERIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI KOMPARATIF HISAB GERHANA BULAN DALAM KITAB AL-KHULASHAH AL-WAFIYYAH DAN EPHEMERIS"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

i

S K R I P S I

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S.1)

Dalam Ilmu Syari’ah

Oleh :

WAHYU FITRIA

NIM : 0 7 2 1 1 1 0 8 2

KONSENTRASI ILMU FALAK

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

S E M A R A N G

(2)
(3)
(4)

iv

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.

Semarang, 13 Juni 2011 Deklarator

Wahyu Fitria

(5)

v

dijadikan ajang observasi dan kajian ilmiah masyarakat, akan tetapi sangat sedikit yang melakukannya, karena tidak banyak orang yang mengetahui perhitungan tentang gerhana, sehingga tidak tahu kapan gerhana itu terjadi.

Untuk mengetahui kapan gerhana bulan ini terjadi, ulama menggolongkan atas hisab ‘urfi (istilahi) dan hisab haqiqi (haqiqi bi al-taqrib, haqiqi bi al-tahqiq dan kontemporer). Ilmu hisab tersebut ada yang tertuang dalam bentuk buku, software dan kitab. Salah satu ilmu hisab yang tertuang dalam kitab adalah kitab

al-Khulashah al-Wafiyyah yang tergolong hisab haqiqi bi al-tahqiq. Meskipun

tergolong kitab haqiqi bi al-tahqiq, semua bentuk hisab dimunculkan dalam kitab

al-khulashah al-wafiyyah, mulai dari hisab 'urfi, hisab haqiqi bi al-taqrib dan

hisab haqiqi bi al-tahqiq. Dalam menghitung terjadinya gerhana bulan, kitab ini ada yang datanya diambil dari data logaritma. Kitab yang dibuat pada tahun 1930-an ini sampai sekar1930-ang masih digunak1930-an, bahk1930-an menjadi bah1930-an rujuk1930-an dibeberapa lembaga keilmuan falak. Berangkat dari sinilah penulis mencoba menelaah bagaimanakah metode yang digunakan oleh kitab Khulashah

al-Wafiyyah dan ephemeris serta bagaimana dasar hukum hisab gerhana bulan yang

digunakan kitab al-Khulashah al-Wafiyyah dan ephemeris.

Untuk mempermudah penyelesaian skripsi ini, penulis menggunakan metode Library research (penelitian kepustakaan). Sumber data primernya yaitu data yang diperoleh dari kitab al-Khulashah al-Wafiyyah, sedangkan data sekundernya adalah seluruh dokumen, buku-buku dan juga hasil wawancara yang berkaitan dengan obyek penelitian. Data-data tersebut dianalisis dengan cara pendekatan Kualitatif yaitu berupa metode content analisis atau analisis isi. Selain itu penulis juga menggunakan analisis komparatif, dalam hal ini akan penulis komparasikan hisab kitab al-Khulashah al-Wafiyyah dengan hisab kontemporer.

Menurut penulis, metode hisab kitab al-Khulashah al-Wafiyyah jika dibandingkan dengan hisab kontemporer, maka hasilnya masih di bawah hisab kontemporer, karena data-data yang di gunakan hisab kontemporer lebih valid dan lebih akurat, dan dalam pengambilan datanyapun sudah menggunakan tabel yang sudah diprogram dalam komputer. Metode dan data yang berbeda menyebabkan adanya hasil yang berbeda pula. Bahkan seorang hasib yang melakukan perhitungan manual akan menghasilkan perhitungan yang berbeda dengan hasib lainnya yang menghitung secara manual juga. Selain itu dalam setiap hisab tentunya terdapat kelemahan-kelemahan dan kelebihan-kelebihan yang dimiliki. Dan dasar yang digunakan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah yang menjelaskan bahwa gerhana terjadi bukan karena kematian atau hidupnya seseorang. Karena gerhana merupakan salah satu tanda keEsaan Allah yang diperlihatkan pada ummat manusia.

(6)

vi







































“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. janganlah bersujud kapada matahari dan jangan

pula kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang Menciptakannya, jika kamu hanya menyembah kapada-Nya”.1

(QS. Fushshilat: 37)

1 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Bandung: Syaamil Cipta

(7)

vii

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

Bapak dan Ibu tercinta

(Daryadi dan Hartik Sri Wahyuni)

yang telah membesarkan dan mendidikku dengan penuh kasih sayang. Terima kasih atas pengorbanan, nasehat dan doa yang tiada

hentinya kalian berikan kepadaku selama ini.

Adik-adikku tersayang (Risca Wulandari (bul-bul), Evi Yulianingsih (si-centil), Ahmad Abdul Ghani, Ahmad Jauhari Amsar) dan seluruh keluarga besarku tercinta, dukungan serta doa kalian, semoga Allah

(8)

viii

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta ‘inayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Studi Analisis Hisab Gerhana Bulan

dalam Kitab Al-Khulashah Al-Wafiyyah, dengan baik tanpa banyak kendala

yang berarti. Shalawat serta salam senantiasa penulis sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabat-sahabatnya dan para pengikutnya yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang seperti sekarang ini.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih payah penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari usaha dan bantuan, pertolongan serta do’a dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, penulis sampaikan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga, atas segala do’a, perhatian, pengorbanan, nasehat dan curahan kasih sayangnya yang tidak dapat penulis ungkapkan dalam untaian kata-kata.

2. Kementerian Agama RI PD. Pontren, yang telah memberi kesempatan mendapat Beasiswa Santri berprestrasi selama penulis menempuh pendidikan S1 di IAIN Walisongo Semarang .

3. DR. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dan Muhyiddin, M.Ag (Dekan sebelumnya), beserta Pembantu-pembantu Dekan, yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menulis skripsi dan memberikan fasilitas belajar selama belajar di IAIN Walisongo Semarang.

4. Muhammad Saifullah, M. Ag selaku pembimbing I, atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan dengan sabar dan tulus ikhlas.

(9)

ix

Sulaeman, M.H. (Kaprodi sebelumnya) beserta segenap pengelola Prodi Konsentrasi Ilmu Falak, yang selalu memberikan kasih sayang dan telah bersusah payah memberikan arahan dan bimbingan sepenuhnya kepada penulis dan teman-teman KIF lainnya selama belajar di Semarang, serta dosen-dosen dan karyawan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, atas segala didikan, bantuan dan kerjasamanya.

7. Drs Slamet Hambali, selaku Kyai penulis yang telah memberi pemahaman tentang Ilmu Falak.

8. Drs Anshori (ahli waris Zubair Umar al-Jaelany) atas wawancaranya dan semua data serta informasinya yang diberikan kepada penulis.

9. Kyai Siradj Khudlari dan H. Ahmad Izzuddin, M. Ag selaku Pengasuh Pondok Pesantren Daarun Najaah di mana penulis tinggal selama kuliah di IAIN Walisongo Semarang, atas do’a, motivasi, nasehat dan bimbingan yang diberikan kepada penulis.

10. Keluarga Besar Ponpes Darul Ulum Jombang, Abah Kholil, para Ustadz/ Ustadzah atas segala motivasi dan ilmu yang diberikan.

11. Teman-teman CSS MoRA IAIN Walisongo Semarang khususnya teman-teman angkatan 2007, Genk Star tercinta (Yoyo, Usro, Anop, Jadul, Ibor, Mahyo, Niez, Entong, Katrok, Mbah Uti, Saroful, Bekong, Ada Ben, Nyonyon, Ipeh, Opil, Aro, Ifa, Mbah Anshor, Gus Kriwil, Iyan, Oji, Jay ndut, Gus Faqih, Ncep, Yosi, Sule, Hasan, Remon).

12. Gus Sayful Mujab, S.H.I, M.S.I., dan Ahmad Fadholi S.H.I atas segala bantuan dan pengarahannya, Purwanto (angkatan 08), Chanif (angkatan 08), masrurah (angkatan 08), dan seluruh teman yang meminjamkan notebooknya dalam rangka penulisan skripsi ini dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan, trima kasih untuk semuanya.

(10)

x

risma, mas yan, mas ndon, mas astro dan mas troy.

15. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan kepada penulis selama studi di Prodi Ilmu Falak Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.

16. Dan yang terakhir adalah kepada seorang kekasih terkasih yang cintanya selalu bersemi dan selalu setia mendampingi, menghibur dan menjadi spirit dengan kekuatan cinta dan kasih sayang juga kesetiaan atas terselesainya skripsi ini.

Atas semua kebaikannya, penulis hanya mampu berdo’a semoga Allah membalas semua kebaikan kalian dengan balasan yang lebih baik.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Semua itu karena keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya. Amin.

Semarang, 13 Juni 2011 Penulis,

Wahyu Fitria

(11)

xi

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN DEKLARASI ... iv

HALAMAN ABSTRAK ... v

HALAMAN MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

HALAMAN KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 14 C. Tujuan Penelitian ... 15 D. Telaah Pustaka ... 15 E. Metode Penelitian ... 17 F. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II HISAB RUKYAH GERHANA BULAN A. Pengertian Gerhana Bulan... 20

B. Macam-macam Gerhana Bulan ... 30

C. Dasar Hukum Gerhana Bulan ... 36

D. Obyek Pembahasan Gerhana Bulan ... 39

E. Sejarah Gerhana Bulan ... 44

BAB III METODE HISAB GERHANA BULAN DALAM KITAB AL-KHULASHAH AL-WAFIYYAH DAN EPHEMERIS A. Biografi Intelektual Zubair Umar al-Jaelany ... 49

(12)

xii

D. Sejarah Ephemeris ... 68 E. Konsep Hisab Gerhana Bulan dalam Ephemeris ... 74

BAB IV ANALISIS METODE HISAB GERHANA BULAN DALAM

KITAB AL-KHULASHAH AL-WAFIYYAH DAN

EPHEMERIS

A. Analisis terhadap metode hisab gerhana bulan dalam

kitab al-Khulasah al-Wafiyah dan Ephemeris ... 80 B. Analisis Dasar Hukum hisab gerhana bulan yang

digunakan dalam kitab al-Khulasah al-Wafiyah dan

Ephemeris ... 96 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 104 B. Saran-Saran ... 105 C. Penutup ... 106 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

(13)

1

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

Fenomena gerhana sudah sering didengar, bahkan fenomena ini sering dibicarakan dan kehadirannya dikaitkan dengan pertanda zaman atau pertanda sesuatu yang menyeramkan. Akibatnya bila melakukan sesuatu yang dianggap tidak biasa ketika fenomena ini terjadi, akan mendapat musibah yang besar.1

Gerhana merupakan padanan kata eclipse (dalam bahasa inggris) atau

ekleipsis (dalam bahasa yunani) atau eklipsis (dalam bahasa latin).2 Sedangkan dalam bahasa arab dikenal dengan istilah kusuf atau khusuf 3. Pada dasarnya

istilah kusuf dan khusuf dapat digunakan untuk menyebut gerhana matahari atau gerhana bulan. Hanya saja, kata kusuf lebih dikenal untuk menyebut gerhana matahari, sedangkan kata khusuf untuk gerhana bulan.4

Kusuf berarti menutupi, menggambarkan adanya fenomena alam

bahwa (dilihat dari bumi) bulan menutupi matahari, sehingga terjadi gerhana matahari. Sedangkan khusuf berarti memasuki, menggambarkan fenomena alam bahwa bulan memasuki bayangan bumi, hingga terjadi gerhana bulan.5

Zaman dahulu gerhana merupakan fenomena alam yang ditakuti oleh masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari penamaan gerhana dengan kata eclipse (gerhana) yang berasal dari bahasa yunani Ekleipsis (peninggalan), yang

1

Kementrian Agama RI, Islam Untuk Disiplin Astronomi, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000, hlm 76.

2 Ibid.

3 Abis Bisri, et al, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progresif, Cet ke 1, 1999, hlm 84. 4

Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2008, Cet ke 3, hlm 187.

(14)

menunjukkan betapa orang-orang zaman dahulu takut terhadap fenomena ini, yaitu sewaktu matahari ataupun bulan lenyap dari pandangan mata, tampak benda langit itu sungguh-sungguh meninggalkan manusia. Mereka menyangka fenomena gerhana merupakan tanda-tanda kurang baik atau bencana.6 Zaman Rasulullah SAW pun fenomena gerhana ini diyakini masyarakat sebagai suatu pertanda akan lahir atau meninggalnya seseorang. Namun keyakinan ini dibantah oleh hadits yang diriwayatkan Bukhari yang berbunyi:

لاق غبصأ اٌثذح : لاق بُّ يبا يًربخأ : يع َيبأ يع َثذح نساقلا يب يوحرلا ذبع يعّروع يًربخأ نلسّ َيلع للها ٔلص يبٌلا يع ربخي ىاك ًَأ اوٌِع للها يضر روع يبا : ىافسخي لا روقلاّ سوشلا ىإ اْلصف اوُْوتيأ ر ارإف للها ثايا يه ىاتيا اوٌِكل ّ َتايحل لاّ ذحأ ثْول ( ٓراخبلا ٍاّر )

Artinya: “Asbagh telah bercerita kepada kami bahwasanya ia berkata: Ibnu

Wahab telah bercerita kepada-ku, ia berkata: telah bercerita kepada-ku Umar dari Abdur Rahman bin Qasim bahwa ia telah bercerita kepada-nya dari ayah-nya. Dari Ibnu Umar r.a, bahwasanya Umar mendapat berita dari Nabi SAW: sesungguhnya matahari dan bulan tidak mengalami gerhana karena kematian atau hidupnya seseorang, tapi keduanya merupakan tanda diantara tanda-tanda kebesaran Allah. Jika kalian melihat keduanya (gerhana), maka shalatlah.”

Hadits di atas dapat dimengerti bahwasanya terjadinya gerhana bukan karena kematian atau hidupnya seseorang, melainkan sebagai salah satu tanda kebesaran Allah, sehingga bisa direnungkan kembali tanda keMahabesaran-Nya sebagai penguasa dan pemelihara langit yang tak pernah lengah.

6

Disampaikan oleh Shofiyulloh pada waktu “Kajian Ilmiah Falakiyah” para ahli hisab PWNU Jawa Timur di P.P. As-Sunniyyah Kencong Jember yang dilaksanakan tanggal 29 - 31 Agustus 2003. Dan bisa di akses di http://lubanghitam.com// (di akses tanggal 7 maret 2010).

7

Imam Abi „Abdillah Muhammad bin Ismail ibnu Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardazabah al Bukhari al Ja‟fii, “Shahih Bukhari”, Juz 1, Beirut, Libanon: Daar Kitab al-„alamiyyah, t.t, hlm 316.

(15)

Berbeda dengan zaman modern sekarang, fenomena gerhana tidak lagi ditakuti manusia, malah dijadikan sebagai ajang observasi dan kajian ilmiah, hal ini disebabkan fenomena gerhana dapat dijelaskan dengan sempurna dan logis sebagai suatu fenomena langit yang mana semua benda langit berada di sekitar Matahari dan di terangi olehnya, masing-masing mempunyai bayangan yang menjulur ke dalam ruang angkasa, menjauhi matahari.8

Secara umum, fenomena gerhana adalah suatu peristiwa jatuhnya bayangan benda langit ke benda langit lainnya, yang kadangkala benda langit tersebut menutupi seluruh piringan matahari, sehingga benda langit yang kejatuhan bayangan benda langit lainnya, tidak bisa menerima sinar matahari sama sekali. Dan kadangkala benda langit tersebut menutupi sebagian piringan matahari, sehingga benda langit yang kejatuhan bayangan benda langit lainnya, hanya bisa menerima sebagian sinar matahari.9

Dalam ilmu falak, gerhana hanyalah merupakan kejadian terhalangnya sinar matahari oleh bulan yang akan sampai ke permukaan bumi (gerhana matahari). Atau terhalangnya sinar matahari oleh bumi yang akan sampai ke permukaan bulan pada saat bulan purnama (gerhana Bulan). Semua ini memang merupakan kebesaran dan kehendak Tuhan semesta.10

Ilmu astronomi, mengartikan fenomena gerhana dengan tertutupnya arah pandangan pengamat ke benda langit oleh benda langit lainnya yang

8

Shofiyulloh, Loc. Cit.

9

Shofiyulloh, Loc. Cit.

10

Badan Hisab dan Rukyat Dep. Agama, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981, hlm 20.

(16)

lebih dekat dengan pengamat.11 Menurut Cecep Nurwendaya / Widya Sawitar, fenomena gerhana adalah peristiwa yang sangat wajar dan biasa terjadi. Hal ini dilihat dari sifat Bulan yang mengedari Bumi, sementara Bumi mengedari Matahari. Bumi dan Bulan sama-sama tidak memancarkan cahaya sendiri, hanya mendapat cahaya utamanya dari Matahari. Dengan demikian, akan dimengerti kalau Bumi dan Bulan memiliki bayang, baik bayang-bayang utama yang disebut umbra12 maupun bayang-bayang samar atau

penumbra13. Jadi dapat dimaklumi juga apabila permukaan Bumi terkena bayang-bayang Bulan, terjadilah gerhana Matahari, Atau sebaliknya, jika Bulan memasuki bayang-bayang Bumi, maka akan terjadi gerhana Bulan.14

Dalam kehidupan nyata, masalah gerhana ini jarang dibahas, tidak seperti halnya masalah penentuan awal bulan kamariyah, pelurusan arah kiblat dan sebagainya yang sering mendapat perhatian khusus. Padahal ketika terjadi gerhana juga terdapat unsur ibadah. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah yang berbunyi:

َيلع للها ٔلص للها لْسر ىأ تشئاع يع َيبأ يع ةّرع يب ماشع يعلاكلاه يع تولسه يب للها ذبع اٌثذح لاق نلسّ : َتايحل لاّ ذحأ ثْول ىافسخٌيلا للها ثايا يه ىاتيا روقلاّ سوشلا ىإ , اْعداف كلر نتيأر ارإف اْقذصتّ اْلصّ اّربكّ للها ( ٓراخبلا ٍاّر )

11 Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak (Metode Hisab-Rukyat dan Solusi Permasalahannya),

Semarang: Komala Grafika, 2006, hlm 79

12 Umbra adalah sebutan umum bagi daerah tergelap suatu bayangan yang sama sekali

tidak mendapat sumber cahaya.

13 Penumbra adalah sebutan umum daerah bayangan yang tidak sepenuhnya gelap.

14

Disampaikan oleh Cecep Nurwendaya/Widya Sawitar pada waktu pelatihan Gerhana Bulan Sebagian di Planetarium dan Observatorium Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Provinsi DKI Jakarta yang bertepatan pada hari kamis – jum‟at yang bertepatan tanggal 7-8 September 2006, dan juga bisa diakses di www.dikmentidki.go.id (tanggal akses, 7 maret 2010).

(17)

Artinya: “Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Musallamah dari

Malikan dari „Isyam bin Urwah dari ayahnya „Isyam dari „Aisyah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya matahari dan bulan merupakan salah satu tanda dari beberapa tanda kebesaran Allah, dan tidak mengalami gerhana karena kematian atau hidupnya seseorang, maka apabila kamu melihat keduanya (gerhana matahari dan bulan) hendaklah berdo‟a kepada Allah, bertakbir, melaksanakan shalat dan bersedekah.”

Hadits tersebut menjelaskan bahwasanya ketika terjadi gerhana, baik gerhana matahari maupun gerhana bulan, Rasulullah SAW menganjurkan kepada kita untuk melaksanakan shalat gerhana, memperbanyak do‟a, memperbanyak takbir dan memperbanyak shadaqah. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya fenomena gerhana ini, karena dengan adanya fenomena ini dapat meningkatkan ketaqwaan kepada sang Maha Pencipta.

Dilihat dari kaca mata fiqh hisab rukyah, dalam persoalan gerhana, khususnya gerhana bulan, tidak tampak adanya sekat atau persoalan yang terjadi antara madzhab hisab dan madzhab rukyah, walaupun pada dasarnya kedua madzhab tersebut juga ada dalam persoalan gerhana matahari dan gerhana bulan. Madzhab hisab yang disimbolkan mereka dengan memakai cara menghitung (kapan) terjadi gerhana, dan madzhab rukyah yang disimbolkan oleh mereka yang menyatakan terjadi gerhana dengan langsung melihatnya.16

Gerhana Bulan mulai terjadi ketika bulan memasuki penumbra dan berakhir ketika bulan meninggalkan penumbra. Namun, terjadi sedikit penggelapan yang berarti sampai bulan memasuki umbra.17 Artinya gerhana

16 Ahmad Izzuddin, Loc. cit. 17

Berdnard S. Cayne dkk, Ilmu Pengetahuan Populer, Edisi 13, Jakarta: CV Prima Printing, 2005, hlm 144.

(18)

bulan ini terjadi pada saat istiqbal (oposisi),18 yakni sekitar tanggal 14, 15, 16 (pada saat bulan purnama) dalam bulan kamariyah. Lihat gambar 1:

Gambar 1: Gerhana Bulan

Jika kita memperhatikan piringan bulan yang memasuki bayangan inti bumi (seperti gambar di atas), maka gerhana bulan terdiri dari empat macam, yaitu gerhana Bulan Total, gerhana Bulan Sebagian, gerhana Bulan Penumbra Total dan gerhana Bulan Penumbra Sebagian.19

Gerhana Bulan Total terjadi manakala posisi bumi-bulan-matahari terletak pada satu garis lurus, sehingga seluruh piringan bulan berada di dalam bayangan inti bumi atau Umbra bumi. Inilah saat fase gerhana maksimum gerhana, maksimum durasi terjadi gerhana Bulan Total bisa mencapai lebih dari 1 jam 47 menit. Sedangkan gerhana Bulan Sebagian terjadi manakala

18 Istiqbal artinya berhadapan, yaitu suatu fenomena saat matahari dan bulan sedang

berhadap-hadapan, sehingga antara keduanya memiliki selisih bujur astronomi sebesar 180˚. Pada saat ini pula bulan berada pada phase purnama. Dalam ilmu astronomi istiqbal ini dikenal dengan oposisi. Lihat Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005, hlm 38.

19

Disampaikan pada Diklat Hisab Rukyah Tingkat lanjut di Lingkungan Depertemen Agama Provensi Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta, oleh Ahmad Izzuddin, yang diselenggarakan oleh Kementrian Agama RI Balai Pendidikan Dan Pelatihan Keagamaan Semarang, hari Kamis-Senin, 29 Oktober – 9 November 2009 di MAJT Semarang.

(19)

posisi bumi-bulan-matahari tidak pada satu garis lurus, sehingga hanya sebagian piringan bulan saja yang memasuki bayangan inti bumi dan sebagian lagi berada dalam bayangan tambahan / Penumbra Bumi pada saat fase maksimumnya.

Pada gerhana bulan jenis ke- 3 ini, seluruh bulan masuk ke dalam penumbra pada saat fase maksimumnya. Tetapi tidak ada bagian bulan yang masuk ke umbra atau tidak tertutupi oleh penumbra. Pada kasus seperti ini, gerhana Bulannya kita namakan gerhana Bulan Penumbral Total. Dan gerhana Bulan jenis terakhir ini, jika hanya sebagian saja dari bulan yang memasuki

penumbra, maka gerhana Bulan tersebut dinamakan gerhana Bulan Penumbra

Sebagian. Gerhana Bulan Penumbra biasanya tidak terlalu menarik bagi pengamat. Karena pada gerhana Bulan jenis ini, penampakan gerhana hampir-hampir tidak bisa dibedakan dengan saat bulan purnama biasa.

Jadi fenomena gerhana bulan ini, bisa diibaratkan jatuhnya bayangan bumi kepermukaan bulan pada saat matahari dan bulan berhadapan dalam satu garis lurus. Keadaan seperti ini menjadikan sinar matahari tidak dapat menerobos ke bulan karena terhalang bumi.20 Akibatnya bulan tidak dapat memantulkan sinar matahari ke bumi, sebab seperti yang kita tahu bahwa bulan tidak bercahaya tapi hanya memancarkan sinar.

Kendati pada zaman sekarang fenomena ini menjadi ajang observasi dan kajian ilmiah masyarakat, akan tetapi sangat sedikit yang melakukannya,

20 Abdul Karim, Mengenal Ilmu Falak, Semarang Timur: Intra Pustaka Utama, Cet ke 1,

(20)

karena tidak banyak orang yang mengetahui perhitungan tentang gerhana, sehingga mereka tidak tahu kapan gerhana terjadi.

Perhitungan tentang Gerhana Bulan sudah dikenal sejak zaman Babilonia. Hingga sekarang, perhitungan tersebut semakin berkembang, bahkan sudah dapat menghitung detik-detik terjadi dan berakhirnya Gerhana Bulan. Sebagaimana yang diketahui, Ilmu hisab merupakan ilmu yang berkembang terus menerus dari zaman ke zaman. Ini menandakan bahwa tingkat keakurasian dan kecermatan hasil perhitungannya akan semakin tinggi. Aliran-aliran hisab di Indonesia jika ditinjau dari segi sistem perhitungannya dan tingkat keakurasiannya dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yakni:21

1. Hisab „urfi

Hisab „urfi hanya didasarkan kepada kaidah-kaidah umum dari gerak atau perjalanan bulan mengelilingi Bumi dalam satu bulan sinodis, yakni satu masa dari ijtima‟ / konjungsi yang satu ke konjungsi lainnya. Hisab ini dinamakan hisab „urfi karena kegiatan perhitungannya didasarkan pada kaidah-kaidah yang bersifat tradisional, yaitu hanya didasarkan pada garis-garis besarnya saja. Sistem perhitungan hisab urfi ini senantiasa menggunakan bilangan tetap yang tidak pernah berubah. Oleh karena itu, terkadang hasil perhitungannya berbeda dengan hasil dari perhitungan hisab haqiqi.

(21)

2. Hisab haqiqi

Hisab haqiqi adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Sejarah hisab haqiqi dapat dirunut dari sejarah hisab haqiqi bi al-taqrib, karena dalam konteks Indonesia hisab haqiqi dapat dikelompokkan menjadi tiga generasi, yaitu hisab haqiqi bi al-taqrib dan hisab haqiqi bi al-tahqiq dan hisab haqiqi kontemporer.22

a. Hisab haqiqi bi al-taqrib

Hisab haqiqi bi al-taqrib, sesuai dengan julukannya, hasilnya baru mendekati kebenaran, dan sistemnya sangat sederhana. Hisab haqiqi bi al-taqrib ini dapat dihitung dan diselesaikan tanpa kalkulator dan komputer, karena sistem perhitungannya kebanyakan hanya menambah dan mengurangi belum menggunakan rumus-rumus segitiga bola. Hisab haqiqi bi al-taqrib adalah hisab yang datanya bersumber dari data yang telah disusun dan telah dikumpulkan oleh Ulugh Beyk As-Syamarqand (w.1420M). Data ini merupakan hasil pengamatannya yang didasarkan pada teori Geosentris (bumi sebagai pusat peredaran benda-benda langit).

Sistem hisab haqiqi bi al-taqrib ini dapat dijumpai dalam kitab

As-Sulam an-Naiyyirain karya Manshur Battawiy, Fatkhur-Rauf Mannan karya Abdul Djalil Kudus, dan dalam kitab Khulashah al-Wafiyyah karya Zubair Umar al-Jaelany. Dalam kitab As-Sulam an-Naiyyirain dan kitab Fatkhur-Rauf Mannan, sistem haqiqi bi

22

Disampaikan pada Seminar sehari oleh Drs Slamet Hambali, yang diselenggarakan oleh Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo semarang, hari Sabtu, 7 Nopember 2009 di Kampus IAIN Walisongo Semarang.

(22)

taqrib sudah final, sedangkan dalam kitab al-Khulashah al-Wafiyyah, sistem haqiqi bi al-taqrib belum final, baru proses awal yang harus dilalui untuk melakukan hisab haqiqi bi al-tahqiq.

b. Hisab haqiqi bi al-tahqiq

Hisab haqiqi bi al-tahqiq, merupakan lanjutan dari hisab haqiqi bi al-taqrib. Dalam hisab haqiqi bi al-tahqiq proses perhitungannya mendetail, dengan menggunakan rumus-rumus segitiga bola. Hisab haqiqi bi al-tahqiq adalah hisab yang metode perhitungannya berdasarkan data astronomis yang diolah dengan spherical

trigonometri (ilmu ukur segi tiga bola) dengan koreksi-koreksi gerak

Bulan maupun Matahari yang sangat teliti. Dalam menyelesaikan perhitungannya digunakan alat-alat perhitungan misalnya kalkulator ataupun komputer. Salah satu kitab yang membahas perhitungan gerhana Bulan yang sudah menggunakan sistem ini adalah Nurul

Anwar karya Noor Ahmad Jepara dan al-Khulashah al-Wafiyyah karya

Zubair Umar al-Jaelany Salatiga. Meskipun kitab-kitab tersebut perhitungannya termasuk sistem hisab haqiqi bi al-tahqiq , akan tetapi pada dasarnya sistem hisab yang ada pada kitab-kitab falak tergolong klasik. Karena metode perhitungannya hanya terbatas pada pemikiran pengarang dari kitab tersebut. Sedangkan dalam segi astronomi, ilmu hisab terus berkembang tanpa ada keterbatasan.

(23)

c. Hisab haqiqi kontemporer

Hisab haqiqi kontemporer, adalah sebagaimana sistem hisab haqiqi bi al-tahqiq yang diprogram dalam komputer yang sudah disesuaikan dengan perkembangan ataupun temuan-temuan baru. Dan sistem hisab ini adalah sistem hisab yang paling menonjol dan banyak digunakan oleh ahli falak sekarang ini. Hisab kontemporer sendiri tertuang dalam beberapa model. Ada yang berbentuk data yang disajikan dalam bentuk tabel seperti Astronomical Almanac dan Ephemeris. Sedangkan yang lain dalam sebuah program komputer seperti mawaqiit karya Ing Khafid.

Dari sistem perhitungan yang dijabarkan di atas, jika dilihat dari definisi kedua metode hisab diatas, maka metode hisab haqiqi kontemporer yang sudah cukup akurat untuk digunakan. Dimana metode tersebut dilakukan dengan sangat cermat, banyak proses yang harus dilalui, rumus-rumus yang dipergunakan lebih banyak menggunakan rumus-rumus segitiga bola. Dengan demikian akan dapat menghasilkan data yang valid untuk diterapkan, terutama dalam hal penentuan gerhana Bulan.

Akan tetapi terdapat kitab yang tergolong hisab haqiqi bi al-tahqiq yang dibuat pada tahun 1930-an yang sampai sekarang masih digunakan, bahkan menjadi bahan rujukan dibeberapa lembaga keilmuan falak, dan hasil perhitungannyapun hampir mendekati hasil perhitungan hisab haqiqi kontemporer, yakni kitab Khulashah Wafiyyah karya Zubair Umar al-Jaelany, yang mana hisabnya hanya sebatas pemikiran penulis saja.

(24)

Kitab al-Khulashah al-Wafiyyah adalah sebuah kitab yang disusun oleh Zubair Umar al-Jaelany (salah seorang mantan Rektor IAIN Walisongo Semarang) berkisar pada tahun 1930-1935 M. Beliau menyusun kitab ini di Makkah al-Mukarramah. Selama berada di Makkah, Beliau berguru kepada Syaikh Umar Hamdan.23 Oleh karena itu data-data astronomis dalam kitab

al-khulashah al-wafiyyah menggunakan acuan tahun hijriyah menggunakan

markaz Makkah al-Mukaramah, sehingga dalam melakukan perhitungan harus berhati-hati. Sebab di masa sekarang, pada umumnya waktu atau jam yang dipakai adalah menggunakan acuan GreenWich, sebagaimana waktu yang dianut ephemeris dengan sistem WIB, WITA dan WIT yang masing-masing dengan Green Wich berselisih 7 jam, 8 jam dan 9 jam.

Zubair, yang mempunyai nama lengkap Zubair Umar Al-Jaelany, lahir di Pandangan kecamatan Pandangan Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur, 16 September 1908 M (Rabu Pahing, bertepatan 19 Sya'ban 1326 H / 1838 Jawa). Dan wafat di Salatiga pada tanggal 10 Desember 1990 M atau 24 Jumadil ‟Ula 1411 H. Menurut Ahmad Izzuddin,24 beliau adalah seorang Ulama' juga akademisi yang terkenal sebagai pakar ilmu falak dengan karya monumentalnya kitab "Al-Khulashah al-Wafiyyah” yang termasuk dalam kategori haqiqi bi al-tahqiq. Akan tetapi, meskipun tergolong kitab haqiqi bi tahqiq, semua bentuk hisab dimunculkan dalam kitab khulashah

23 Ahmad Syifa'ul Anam, Studi Tentang Hisab Awal Bulan Qomariyah Dalam Kitab

al-Khulashah al-Wafiyyah Dengan Metode Haqiqi bit tahqiq, Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, 1997, hlm 49.

24 Ahmad Izzuddin, Zubair Umar al-Jaelany dalam Sejarah Pemikiran Hisab Rukyah di

(25)

wafiyyah, mulai dari hisab 'urfi,25 kemudian hisab haqiqi bi al-taqrib lalu dilanjutkan kepada hisab haqiqi bi al-tahqiq.

Zubair Umar Al-Jaelany menyusun kitab ini karena terpicu oleh sebuah kasus perselisihan tentang kapan terjadinya gerhana bulan di masyarakat. Oleh karena itu, Zubair Umar Al-Jaelany merasa terpanggil untuk menyusun sebuah kitab yang nantinya dapat dijadikan pegangan dalam perhitungan gerhana Bulan dan lain-lain.26

Dalam kitab ini dijelaskan bahwasanya gerhana Bulan hanya terjadi ketika posisi istiqbal, yaitu pada saat bulan berada pada garis edar matahari atau dekat dengan matahari, dimana bumi terletak diantara keduanya sehingga bayangan bumi yang jatuh ke bulan menghadap ke matahari baik total ataupun sebagian, sehingga cahaya matahari tidak sampai pada bulan. Dengan demikian bulan dalam keadaan gelap sebagaimana aslinya, itulah yang disebut gerhana Bulan.27

Ephemeris adalah hisab yang data-datanya sudah didasarkan pada peredaran matahari dan bulan setiap jam. Data yang berbentuk tabel tersebut merupakan data yang sudah di oleh sesuai dengan rumus matematika modern. Sehingga hasilnyapun akurat jika dibanding dengan hisab haqiqi lainnya. Hisab inilah yang bayak digunakan oleh kebanyakan ahli falak di Indonesia. Dalam perhitungan gerhana bulanpun, hasil hisabnya tepat dengan kejadian saat terjadinya gerhana bulan. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:

25 Hisab 'Urfi dalam al-khulashah al-wafiyyah diberi istilah hisab istilahi. 26

Ahmad Syifa'ul Anam, Loc. Cit.

27 Zubair Umar al-Jaelany, al-Khulashah al-Wafiyah, Surakarta: Melati, 1935, hlm

(26)

Tabel perbandingan hisab antara kitab Al-Khulashah al-Wafiyyah dan Ephemeris

No Model Hisab Perbandingan

Al-Khulashah

al-Wafiyyah Ephemeris

1 Waktu Istiqbal (14 September 1932 M/13 Jumadil ‟Ula 1351 H) Jam WIB 12 j 41m 58 d 14 j 02 m 49.44 d 2 Mulai Gerhana (15 September 1932 M/14 Jumadil ‟Ula 1351 H) Jam WIB 02j 32m 23d 02j 25m 31.38d 3 Selesai Gerhana (15 September 1932 M/14 Jumadil ‟Ula 1351 H)

Jam WIB 06j 01m 11d 05j 48m 7.5d

Berangkat dari latar belakang diatas, penulis dengan segenap kemampuan yang ada tertarik untuk mengulas lebih lanjut dan mengupas secara tuntas mengenai hisab gerhana bulan dalam kitab al-Khulashah al-Wafiyyah karya Zubair Umar al-Jaelany. Studi tersebut penulis angkat dalam skripsi yang berjudul: “Studi Komparatif Hisab Gerhana Bulan dalam Kitab Al-Khulashah Al-Wafiyyah dan Ephemeris.”

B. RUMUSAN MASALAH

Dengan berdasar pada uraian latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan disini pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian berikutnya. Adapun permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana metode hisab gerhana bulan menurut Zubair Umar al-Jaelany dalam kitab al-Khulashah al-Wafiyyah dan Ephemeris?

2. Bagaimana dasar hukum hisab gerhana Bulan yang digunakan Zubair Umar al-Jaelany dalam kitab al-Khulashah al-Wafiyyah dan Ephemeris?

(27)

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui metode perhitungan yang dipergunakan oleh Zubair Umar al-Jaelany dan ephemeris dalam menentukan gerhana Bulan sehingga mempunyai karakteristik tersendiri dari metode hisab yang lainnya.

2. Untuk mengetahui dasar hukum hisab gerhana bulan yang digunakan Zubair Umar al-Jaelany dan ephemeris sehingga menambah pengetahuan tentang hukum ketika terjadi gerhana bulan.

D. TELAAH PUSTAKA

Sejauh penelusuran yang penulis lakukan, belum ditemukan tulisan secara khusus dan mendetail yang membahas perhitungan gerhana Bulan menurut Zubair Umar al-Jaelany. Walaupun demikian, namun terdapat tulisan-tulisan yang berhubungan dengan masalah gerhana.

Di Indonesia, permasalahan gerhana memang tidak fenomenal seperti permasalahan penentuan awal bulan kamariyah yang sering timbul perbedaan antara golongan yang satu dengan golongan yang lain. Permasalahan dalam meluruskan arah kiblat (yang sekarang sedang marak karena adanya fatwa MUI yang mengeluarkan fatwa tentang arah kiblat, dimana arah kiblat cukup menghadap ke arah barat). Oleh karena itu sangat sedikit sekali sosok yang menulis atau meneliti masalah tentang gerhana.

(28)

Kitab al-khulashah al-wafiyyah sebelumnya sudah dibahas oleh Ahmad Syifa'ul Anam dalam bentuk skripsi, skripsi tersebut berjudul Studi Tentang

Hisab Awal Bulan Qomariyah Dalam Kitab al-Khulashah al-Wafiyyah Dengan Metode Haqiqi bi al-tahqiq. Inti dari pembahasan dalam skripsi

tersebut adalah menguak kebenaran klasifikasi dan kategori hisab haqiqi bi al-tahqiq dalam kitab al-khulashah al-wafiyyah.

Perbedaan skiripsi Ahmad Syifa'ul Anam dengan yang peneliti ajukan terletak pada pembahasannya, yaitu pembahasan yang penulis ajukan adalah mengenai hisab gerhana Bulan. Sedangkan skripsi Ahmad Syifa'ul Anam membahas mengenai hisab awal bulan kamariyah.

Kemudian terdapat penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Izzuddin yang berjudul Zubair Umar al-Jaelany dalam Sejarah Pemikiran Hisab

Rukyah di Indonesia. Dalam penelitiannya ini, Ahmad Izzuddin menguak

pemikiran Zubair Umar al-Jaelany tentang ilmu hisab dan posisi serta pengaruh pemikiran Zubair Umar al-Jaelany dalam belantara sejarah pemikiran hisab rukyah di Indonesia. Yang dilakukan dengan penelusuran

tarihiyah (historisitas) dalam kancah jaringan ulama yang beliau lakukan

dalam kemasan penelitian.

Selain karya-karya tersebut, penulis juga menelaah kumpulan materi pelatihan tentang gerhana bulan baik yang penulis ikuti sendiri maupun dari sumber-sumber yang terkait.

(29)

E. METODE PENELITIAN

Dalam penelitian berikutnya, metode yang akan penulis pakai adalah sebagai berikut:

 Jenis Penelitian

Dilihat dari karakteristik masalahnya berdasarkan kategori fungsionalnya untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka metode yang penulis gunakan adalah metode Library

research (penelitian kepustakaan) yakni penulis melakukan analisis

terhadap sumber data, yaitu kitab al-Khulashah al-Wafiyyah sebagai data primer, dan buku lain yang berkaitan dengan masalah gerhana serta wawancara terhadap orang dekat (ahli waris).

 Metode Pengumpulan Data dan Sumber Data

Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka metode yang penulis gunakan adalah metode dokumentasi28 dan wawancara29.

Sumber data yang digunakan ada dua, yaitu data primer dan data sekunder. Dalam hal ini data primer30 adalah data yang diperoleh dari kitab al-Khulashah al-Wafiyyah, sedangkan data sekundernya31 adalah

28 Studi dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung diajukan kepada

subjek penelitian, namun melalui dokumen. Dokumen yang digunakan dapat berupa buku harian, surat pribadi, laporan notulen rapat, dan dokumen lainnya. Lihat Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Bogor: Ghalia Indonesia, Cet ke 1, 2002, hlm 87.

29 Wawancara atau interview adalah teknik pengumpulan data dengan mengajukan

pertanyaan langsung oleh pewawancara kepada responden dan jawaban-jawabannya dicacat atau direkam. Ibid, hlm 85.

30 Data primer adalah data yang diperileh atau dikumpulkan langsung di lapangan oleh

orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya. Ibid, hlm 82.

31

Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sember-sumber yang telah ada. Ibid.

(30)

seluruh dokumen, buku-buku dan juga hasil wawancara yang berkaitan dengan obyek penelitian.

 Metode Analisis Data

Dilihat dari pendekatan analisisnya, jenis penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian Kualitatif.32 Metode ini penulis gunakan dikarenakan data yang akan dianalisis berupa data yang didapat dengan cara pendekatan Kualitatif.

Dalam menganalisis data-data, setelah data terkumpul, metode yang digunakan oleh penulis untuk menganalisis data-data yang telah diperoleh tersebut adalah metode content analisis atau yang lebih dikenal dengan istilah "analisis isi" yang dalam hal ini adalah penentuan gerhana bulan yang tertuang dalam kitab al-Khulashah al-Wafiyyah.

Selain itu penulis juga menggunakan analisis komparatif, dalam hal ini penulis akan mengkomparasikan metode yang terdapat dalam kitab

al-Khulashah al-Wafiyyah dengan metode ephemeris. Analisis ini diperlukan

untuk mengetahui perbedaan selisih antara dua metode tersebut.

Analisis ini diperlukan untuk menguji apakah metode hisab yang

tertuang dalam kitab al-Khulashah al-Wafiyyah sesuai dengan kebenaran ilmiah astronomi modern. Sehingga pemikiran Zubair Umar

al-Jaelany dalam menentukan gerhana Bulan dapat digunakan sebagai pedoman dalam menentukan gerhana Bulan.

32 Analisis Kualitatif pada dasarnya lebih menekankan pada proses dekuktif dan induktif

serta pada analisis terhadap dinamika antar fenomena yang diamati, dengan menggunakan logika ilmiah. Lihat Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet ke 5, 2004, hlm 5.

(31)

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Secara garis besar, penulisan penelitian ini terdiri atas lima bab, dan didalam setiap babnya terdapat sub-sub pembahasan, yaitu:

Bab pertama adalah pendahuluan, dalam bab ini akan dijelaskan beberapa hal yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua, merupakan kajian terhadap diskursus hisab rukyah gerhana bulan, meliputi meliputi pengertian gerhana Bulan, macam-macam gerhana Bulan, dasar hukum gerhana bulan, Objek pembahasan gerhana bulan, Sejarah gerhana bulan.

Bab ketiga, akan memotret metode hisab gerhana bulan dalam kitab

al-khulashah al-wafiyyah dan ephemeris, bab ini akan membahas Biografi

Intelektual Zubair Umar Jaelany, Gambaran Umum tentang Kitab

Khulashah Wafiyyah, Konsep Hisab Gerhana Bulan dalam Kitab al-Khulashah al-Wafiyyah, Sejarah Ephemeris, Konsep Hisab Gerhana Bulan

dalam Ephemeris.

Bab keempat, Analisis metode Hisab Gerhana Bulan dalam Kitab

al-Khulashah al-Wafiyyah dan ephemeris. Bab ini merupakan pokok dari

pembahasan penulisan penelitian yang penulis lakukan yakni meliputi Analisis terhadap metode hisab gerhana bulan dalam kitab Khulashah

al-Wafiyyah dan ephemeris, serta analisis dasar hukum hisab gerhana bulan

(32)

Bab kelima, merupakan penutup, akan dilakukan penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, saran untuk perbaikan selanjutnya, dan penutup.

(33)

21

Pada dasarnya penyebutan untuk gerhana Matahari dan gerhana Bulan sama. Gerhana dalam bahasa inggris eclipse.1 Istilah ini digunakan secara

umum, baik gerhana Matahari maupun gerhana Bulan. Namun dalam penyebutannya, terdapat dua istilah, yaitu eclipse of the sun untuk gerhana Matahari, dan eclipse of the moon untuk gerhana Bulan.2 Selain itu ada juga yang menggunakan solar eclipse untuk gerhana Matahari, dan lunar eclipse untuk gerhana Bulan.3

Sedangkan dalam bahasa arab dikenal dengan istilah kusuf atau

khusuf.4

Pada dasarnya istilah kusuf dan khusuf dapat digunakan untuk

menyebut gerhana Matahari atau gerhana Bulan. Hanya saja, kata kusuf lebih dikenal untuk menyebut gerhana Matahari, sedangkan kata khusuf untuk gerhana Bulan.5

Diantara istilah-istilah tersebut, istilah arablah yang paling mendekati pada pengertian sebenarnya. Yaitu kata kusuf dan khusuf yang pada dasarnya bisa digunakan untuk menyebut kedua jenis gerhana tersebut. Kusuf berarti

menutupi, menggambarkan adanya fenomena alam bahwa (dilihat dari bumi)

1

John M. Echols, An Indonesian-English Dictionary, Hassan Shadily, “Kamus Indonesia-Inggris”, edisi ketiga, Jakarta: PT Garmedia Pustaka Utama, 2003, Cet ke 9, hlm 187.

2

Oxford, Oxford Learner‟s Pocket Dictionary, New York: Oxford University Press, 2003, hlm 137.

` 3 Soetjipto dkk, Islam dan Ilmu Pengetahuan tentang Gerhana, Yogyakarta: LPPM IAIN Sunan Kalijaga, 1983, hlm 1.

4 Abis Bisri, et al, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progresif, Cet ke 1, 1999, hlm 84. 5 Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka,

(34)

bulan menutupi matahari, sehingga terjadi gerhana matahari. Sedangkan

khusuf berarti memasuki, menggambarkan fenomena alam bahwa bulan

memasuki bayangan bumi, hingga terjadi gerhana bulan.6

Kusuf menurut bahasa berarti berubah menjadi hitam. Dikatakan

ّناح تفسك , artinya keadaannya telah berubah, ّٓجٔ فسك , artinya wajahnya berubah, dan سًشنا فسك , artinya matahari menjadi gelap dan hilang pancaran sinarnya.7 Sedangkan khusuf menurut bahasa berarti kekurangan. Dikatakan افٕسخ فسخي ٌاكًنا فسخ , artinya tempat tersebut menghilang di bumi. Kata ini diambil dari kalimat رًقنا فسخ , artinya bulan telah menghilang cahayanya.

Jadi, kata kusuf dan khusuf bagi matahari dan bulan bermakna perubahan dan berkurangnya sinar keduanya. Kedua kalimat ini memiliki arti yang sama dan keduanya digunakan pada hadits-hadits shahih, sedangkan al-Qur‟an8

menggunakan kata khusuf untuk bulan.

Sedangkan makna kusuf dan khusuf menurut istilah adalah terhalanginya seluruh atau sebagian sinar matahari atau bulan dikarenakan suatu sebab alamiah. Yaitu Allah menakut-nakuti hamba-Nya dengannya. Atas dasar inilah, kata kusuf dan khusuf adalah sinonim, yaitu memiliki arti yang sama. Maka dikatakan تفسخ ٔ سًشنا تفسك , artinya matahari berkurang

6

Ibid.

7

Ahmad bin Ali Ibnu Hajar al-Asqalanii, Fathul Baari, Juz II, Beirut: Daar al-Fikr, t.t. hlm 526.

8 Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni, Juz II,

(35)

cahayanya dan menjadi gelap (mengalami gerhana) dan فسخٔ رًقنا فسك , artinya bulan berkurang cahayanya dan menjadi gelap (mengalami gerhana).9

Ada juga yang mengatakan bahwa kata kusuf ditujukan untuk matahari. Sedangkan kata khusuf ditujukan untuk bulan. Pernyataan itu mungkin berlaku jika kedua kalimat tersebut berkumpul sehingga dikatakanlah kusuf (matahari) dan khusuf (bulan). Namun apabila kata-kata itu terpisah satu sama lain, maka keduanya memiliki makna yang sama dan memiliki beberapa padanan dalam bahasa arab. Oleh karena itu, para ulama„ masih memperselisihkan makna kata kusuf dan khusuf, apakah keduanya masih sinonim atau tidak?

Ibnu Atsir mengatakan penyebutan kusuf dan khusuf untuk matahari dan bulan telah berkali-kali dijumpai dalam hadits. Sekelompok ulama„ meriwayatkan keduanya dengan huruf kaf. Sekelompok ulama„ lain meriwayatkan keduanya dengan huruf kha„. Sekelompok ulama„ yang lain lagi meriwayatkan untuk matahari dengan menggunakan huruf kaf dan untuk bulan dengan menggunakan huruf kha„. Meskipun demikian, mereka semua meriwayatkan bahwa keduanya merupakan salah satu tanda kebesaran Allah yang muncul bukan karena kematian atau hidupnya seseorang. Adapun pendapat yang lebih banyak dalam tinjauan bahasa adalah kata kusuf diperuntukkan untuk matahari dan kata khusuf diperuntukkan untuk bulan. Dikatakan تفسكَأ للها آفسكٔ سًشنا تفسك , artinya matahari berubah menjadi gelap (mengalami gerhana), yaitu Allah membuat cahayanya redup sehingga

9

Sa‟id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Shalatul Mu‟min, Ahmad Yunus et, “ Ensiklopedi Shalat Menurut al-Qur‟an dan as-Sunnah, Jilid III, Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi‟I, Cet ke 1, 2007, hlm 2.

(36)

menjadi gelap (gerhana). Dan فسخَأ للها ّفسخٔرًقنا فسخ , artinya bulan menghilang atau berkurang sinarnya (mengalami gerhana), yakni Allah membuat sinarnya berkurang sehingga hilang cahayanya (mengalami gerhana).10

Ibnu Atsir juga berkata: sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian ataupun hidupnya seseorang. Sebenarnya yang lebih dikenal dalam penerapan bahasa adalah penggunaan kata kusuf untuk matahari. Adapun penyebutan kata khusuf secara mutlak, umumnya ditujukan untuk bulan karena ia berjenis kelamin mudzakar, sementara asy-syamsi (matahari) berjenis kelamin muannats. Dalam hadits ada yang menyebutkan ٌإ

ٌافسكُي لا رًقنأ سًشنا , artinya sesungguhnya matahari dan bulan tidak mengalami gerhana. Sementara itu alasan penggunaan kata khusuf untuk matahari adalah karena adanya persamaan makna antara kata khusuf dan

kusuf, yaitu hilangnya sinar keduanya sehingga keduanya menjadi gelap.11

Al-fairuzabadi juga mengatakan افٕسخ فسخي ٌاكًنا فسخ , artinya tempat tersebut menghilang di bumi, sedangkan رًقنا فسخ artinya bulan mengalami gerhana. Ia juga sepakat kata kusuf untuk matahari dan kata khusuf untuk bulan. Atau bisa juga kata khusuf digunakan untuk menunjukkan arti hilangnya sebagian dari keduanya, sedangkan kata kusuf untuk hilangnya keseluruhan dari keduanya.12

10 ibid. 11

ibid.

12

Imam Majduddin Muhammad bin Ya‟kub bin Muhammad bin Ibrahim al-Fairuzabadi asy-Syairazi asy-Syafi‟I, Al-Qaamus al-Muhid, Juz III, Beirut: Daar al-Kitab al-„Ilmiyah, Cet ke 1, 1995, hlm: 178.

(37)

Selain itu Imam Nawawi juga berkata: dikatakan رًقنأ سًشنا تفسك dengan mem-fat hah-kan huruf kaf dan افسك dengan men-dhammah-kan huruf

kaaf. افسخَا ٔ افسخٔ افسخٔ افسكَإ kesemuanya memiliki makna yang sama.

Dikatakan سًشنا فسك dengan huruf kaf dan رًقنا فسخ dengan huruf kha„. Al-Aqdhi „Iyah pun meriwayatkan sebaliknya dari sebagian ahli bahasa dan orang-orang terdahulu, namun ini adalah bathil dan tidak bisa diterima berdasarkan firman Allah SWT:







Artinya: “Dan apabila bulan Telah hilang cahayanya,”

Jumhur ulama„ dan yang lainnya berpendapat bahwa kata khusuf dan kusuf dipergunakan untuk makna hilangnya seluruh sinar matahari dan bulan, juga untuk arti hilangnya sebagian dari sinar keduanya. Al-Laits bin Sa‟ad berkata: kata khusuf digunakan untuk arti hilangnya seluruh sinar, sedangkan kata

kusuf dipakai untuk makna hilangnya sebagian sinar. Dikatakan pula: kata khusuf artinya hilangnya warna keduanya, sedangkan kata kusuf artinya

perubahan warna.14

Sedangkan penggunaan yang paling masyhur oleh para ahli fiqh adalah kata kusuf untuk matahari dan kata khusuf untuk bulan. Dari beberapa pernyataan diatas, tidak diragukan lagi bahwa penunjukan kata kusuf dan

khusuf menurut bahasa berbeda, karena kata kusuf berarti berubah menjadi

hitam (gelap), sedangkan khusuf berarti kekurangan atau kehinaan. Maka

13

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2005, hlm 577.

14 Imam Abi Husain Muslim bin al-Hujjaaj al-Qusyairi An-Nasaburi, Shahih Muslim bi

(38)

sesuailah jika matahari dikatakan تفسك atau تفسخ sebab memang ia mengalami perubahan dan cahayanya bisa berkurang, demikian halnya dengan bulan. Namun hal itu tidak mengharuskan kata kusuf dan khusuf itu sinonim. Dikatakan bahwa penggunaan huruf kaf untuk permulaan, sedangkan penggunaan huruf kha„ untuk akhir (gerhana). Dikatakan pula bahwa penggunaan huruf kaf untuk arti hilangnya seluruh sinarnya, sedangkan penggunaan huruf kha„ untuk hilangnya sebagian sinarnya. Dikatakan juga bahwa penggunaan huruf kaf untuk hilangnya seluruh warnanya, sedangkan penggunaan huruf kha„ untuk perubahan warnanya.15

Ibnu Hajar juga berkata: dikatakan bahwa khusuf untuk keseluruhan, sedangkan kusuf untuk sebagian. Inilah yang lebih diunggulkan daripada pendapat ulama„ yang mengatakan bahwa khusuf untuk bulan, sedangkan

kusuf untuk matahari, karena penggunaan kha„ untuk matahari juga terdapat

didalam hadits shahih.16

Jadi menurut bahasa arab, menurut pendapat yang paling masyhur, kata khusuf diperuntukkan untuk gerhana bulan. Kata khusuf adalah bentuk mashdar dari kata ءيشنا فسخ , artinya sesuatu yang berkurang, yaitu khusus untuk hilangnya sinar bulan baik secara keseluruhan ataupun sebagian.

Jika dikaitkan dengan ilmu falak atau ilmu astronomi, gerhana bulan mempunyai arti tertutupnya sinar matahari oleh bumi sehingga bulan berada didalam bayang-bayang bumi. Gerhana bulan terjadi saat matahari, bumi dan bulan berada pada garis lurus dimana bulan terletak dibelakang bumi dan

15

Fathul Baari, Op. Cit, hlm 535.

16 Ahmad bin Ali Ibnu Hajar al-Asqalanii, Hadyus Saari, Beirut: Daar al-Fikr, t.t. hlm

(39)

bumi berada diantara matahari dan bulan. Berhubung dalam gerhana bulan, bulan berada dalam bayangan bumi, maka gerhana bulan terjadi dimalam hari, yaitu malam bulan purnama.17 Artinya gerhana bulan ini terjadi pada saat

istiqbal (oposisi), yakni sekitar tanggal 14, 15, 16 (pada saat bulan purnama)

dalam bulan kamariyah. Dan pada waktu itu bulan sedang dalam peredarannya dengan memotong bidang ekliptika.18

Muhammad Wardan mengatakan yang dimaksud Gerhana Bulan ialah ketika bulan bergerak mengelilingi bumi, masuk kedalam inti bayangan bumi, sehingga pada waktu itu bulan tidak menerima sinar matahari. Oleh karena itu, Gerhana Bulan terjadi ketika bulan pada saat istiqbal (oposisi).19 Sedangkan menurut Abdul Karim, Gerhana Bulan bisa diibaratkan jatuhnya bayangan bumi kepermukaan bulan pada saat matahari dan bulan berhadapan dalam satu garis lurus. Keadaan seperti ini menjadikan sinar matahari tidak dapat menerobos ke bulan karena terhalang bumi.20 Akibatnya bulan tidak dapat memantulkan sinar matahari ke bumi, sebab bulan tidak bercahaya tapi hanya memancarkan sinar. Menurut Janice Van Cleave, gerhana bulan terjadi ketika bayangan bumi jatuh di bulan dan menghalangi cahaya bulan.21

Zubair Umar al-Jaelany sendiri menjelaskan bahwa gerhana bulan hanya terjadi ketika posisi istiqbal, yaitu pada saat bulan berada pada garis

17

Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta: Perpustakaan Nasional, 2009, Cet ke 2, hlm 101.

18 Badan Hisab Dan Rukyah Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta:

Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981, hlm 146.

19

Muhammad Wardan, Kitab Falak dan Hisab, Yogyakarta: Toko Pandu, 1957, Cet ke 1, hlm 52-53.

20

Abdul Karim, Mengenal Ilmu Falak, Semarang Timur: Intra Pustaka Utama, Cet ke 1, 2006, hlm 28.

21 Janice Van Cleave, A+ Proyek-proyek Astronomi, Bandung: Pakar Raya, 2002, hlm

(40)

edar matahari atau dekat dengan matahari, dimana bumi terletak diantara keduanya sehingga bayangan bumi yang jatuh ke bulan yang menghadap ke matahari baik total ataupun sebagian, sehingga cahaya matahari tidak sampai pada bulan. Dengan demikian bulan dalam keadaan gelap sebagaimana aslinya, itulah yang disebut Gerhana Bulan.22

Gerhana Bulan ini hanya terjadi bila bujur astronominya berselisih 180˚ serta deklinasinya 0˚ atau mempunyai deklinasi yang harga mutlaknya hampir sama, meskipun berlawanan positif-negatifnya. Dalam astronomi gerhana bulan dimungkinkan terjadi bila bulan pada saat bulan purnama berada pada posisi 12˚ atau kurang dari titik simpul.23

Agar Gerhana Bulan terjadi, maka bulan harus berada pada bulan penuh dan bulan harus berada di dekat salah satu simpul orbitnya. Panjang umbra bumi kira 1.400.000 km dan jarak-rata-rata bulan dari bumi kira-kira 385.000 km. Oleh karena itu, ketika bulan masuk ke dalam kerucut bayangan sempurna, bulan ini berada jauh lebih dekat ke dasar kerucut daripada ke ujung kerucut itu. Deameter kerucut, tempat bulan melintas melaluinya, kira-kira 2 ½ kali deameter bulan.

Pada saat terjadi Gerhana Bulan, bumi akan membentuk 2 bayangan, yaitu bayangan yang paling luar yang disebut dengan bayangan Penumbra atau bayangan semu (bayangan ini tidak terlalu gelap) dan bayangan dalam yang disebut bayangan Umbra atau bayangan inti. Karena bentuk lingkaran matahari lebih besar dari pada lingkaran bumi, maka bayangan umbra bumi

22

Zubair Umar al-Jaelany, al-Khulashah al-Wafiyyah, Surakarta: Melati, 1935, hlm 139-140.

(41)

berbentuk kerucut. Sedangkan bentuk dari bayangan penumbra bumi juga berbentuk kerucut yang terpancung dengan puncaknya di bumi yang makin jauh bayangan ini semakin membesar sampai menghilang di ruang angkasa.

Pada bayangan penumbra hanya sebagian piringan matahari yang ditutupi oleh bumi, sedangkan pada bayangan umbra seluruh piringan matahari tertutup oleh bumi, sehingga ketika bulan melewati umbra, bulan akan terlihat gelap, karena cahaya matahari yang masuk ke bulan dihalang-halangi oleh bumi. Sedangkan jika bulan berada dalam penumbra, sebagian sumber cahaya masih akan terlihat. Gerhana bulan mulai terjadi ketika bulan memasuki penumbra dan berakhir ketika bulan meninggalkan penumbra. Namun terjadi sedikit penggelapan sampai bulan memasuki umbra.24

Meskipun gerhana bulan ini terjadi pada saat bulan purnama, akan tetapi gerhana bulan ini tidak terjadi setiap bulan. Hal ini dikarenakan orbit bulan mengelilingi bumi tidak sama dengan orbit bumi mengelilingi matahari. Orbit bulan tidak sebidang dengan orbit bumi, tetapi orbit bulan memotong orbit bumi dan membentuk sudut sebesar 5. (Lihat gambar 1). Dengan kemiringan bidang orbit bulan sebesar 5 terhadap bidang ekliptika, bulan dapat berada di atas atau di bawah daerah bayang-bayang bumi saat bulan purnama. Demikian halnya dengan bumi yang dapat berada di atas atau di bawah bayang-bayang bulan saat bulan baru.25 Jadi gerhana bulan hanya akan

24 Berdnard S. Cayne dkk, Ilmu Pengetahuan Populer, Edisi 13, Jakarta: CV Prima

Printing, 2005, hlm 143-144.

25 Adriana Wisni Ariasti dkk, Perjalanan Mengenal Astronomi, Bandung: Penerbit ITB,

(42)

terjadi jika bulan berada di dekat titik pertemuan orbit bulan dan bumi yang dinamakan titik simpul.

Gambar 1.

Bumi Bulan Orbit Bumi

Titik simpul 5 Jumlahnya titik simpul ada dua:

1. Titik simpul naik (Ascending Node), titik ini dilalui oleh bulan ketika bergerak dari selatan ekliptika menuju utara ekliptika.

2. Titik simpul turun (Descending Node), titik yang dilalui bulan ketika bergerak dari utara ekliptika menuju selatan ekliptika.

Jika suatu ketika terjadi bulan purnama, sedangkan pusat bayangan bumi terletak pada 10,9 dari titik simpul, maka gerhana bulan mungkin terjadi, akan tetapi gerhana bulan total hanya akan terjadi jika pusat bayangan bumi terletak 5,2 dari titik simpul.26

B. MACAM-MACAM GERHANA BULAN

Seperti yang kita tahu, jika memperhatikan piringan bulan yang memasuki bayangan bumi, maka gerhana bulan ada empat macam, yaitu gerhana bulan total, gerhana bulan sebagian, gerhana bulan penumbra total dan gerhana bulan penumbra sebagian.27

26 Disampaikan oleh Shofiyulloh pada waktu “Kajian Ilmiah Falakiyah” para ahli hisab

PWNU Jawa Timur di P.P. As-Sunniyyah Kencong Jember yang dilaksanakan tanggal 29 - 31 Agustus 2003. Dan bisa di akses di http://lubanghitam.com// (di akses tanggal 7 maret 2010).

27 Disampaikan pada Diklat Hisab Rukyah Tingkat lanjut di Lingkungan Depertemen

Agama Provensi Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta, oleh Ahmad Izzuddin, yang diselenggarakan

(43)

1. Gerhana Bulan Total

Gerhana bulan total terjadi manakala posisi bumi-bulan-matahari terletak pada satu garis lurus, sehingga seluruh piringan bulan berada di dalam bayangan inti bumi atau umbra bumi (lihat gambar 2) inilah saat fase gerhana maksimum. Maksimum durasi terjadi gerhana bulan total bisa mencapai lebih dari 1 jam 47 menit. Ketika terjadi gerhana bulan total, maka akan terjadi empat kontak, yaitu:28 kontak pertama adalah ketika piringan bulan mulai menyentuh masuk pada bayangan bumi, pada posisi inilah waktu mulai gerhana. Kontak kedua, ketika seluruh piringan bulan sudah memasuki bayangan bumi, pada posisi inilah waktu mulai total gerhana. Kontak ketiga, adalah ketika piringan bulan mulai menyentuh untuk keluar dari bayangan bumi, pada posisi inilah waktu akhir total gerhana. Kontak keempat, ketika seluruh piringan bulan sudah keluar dari bayangan bumi, pada posisi ini gerhana berakhir.

Akan tetapi, Perlu diketahui pada saat gerhana bulan total, meski bulan berada dalam umbra bumi, bulan tidak sepenuhnya gelap total karena sebagian cahaya masih bisa sampai kepermukaan bulan oleh refraksi atmosfir bumi.

oleh Departemen Agama RI Balai Pendidikan Dan Pelatihan Keagamaan Semarang, hari Kamis-Senin, 29 Oktober – 9 November 2009 di MAJT Semarang.

(44)

Gambar 2: Gerhana Bulan Total 2. Gerhana Bulan Sebagian (parsial)

Sedangkan gerhana bulan sebagian terjadi manakala posisi bumi-bulan-matahari tidak pada satu garis lurus, sehingga hanya sebagian piringan bulan saja yang memasuki bayangan inti bumi dan sebagian lagi berada dalam bayangan tambahan / penumbra Bumi pada saat fase maksimumnya (lihat gambar 3). Seperti yang terjadi pada hari Sabtu tanggal 26 Juni 2010. Pada saat itu bulan mulai masuk daerah penumbra bumi pada pukul 15: 15: 18 WIB, pada fase ini bulan tidak teramati karena posisinya belum terbit, bulan masih berada di bawah ufuk. Kemudian bulan mulai masuk penumbra bumi pada pukul 17: 16: 24 WIB, bulan masih tidak dapat dilihat karena masih di bawah ufuk. Bulan terbit berlangsung pada pukul 17: 26 WIB, pada sudut azimuth 114˚ 09‟ 28” atau 24˚ 09‟ 28” dari arah timur ke arah selatan, pada saat bulan terbit, saat itulah sedang berlangsung gerhana parsial. Tengah gerhana dengan 54 % permukaan bulan purnama menjadi gelap terhalang oleh umbra bumi yang berlangsung pukul 18: 38 WIB. Bulan mulai keluar dari pukul 20: 00

(45)

WIB, pada saat itu pula bulan memasuki daerah penumbra bumi. Bulan mulai meninggalkan daerah penumbra bumi pukul 21: 21 WIB.29

Gambar 3: Gerhana Bulan Sebagian (parsial) 3. Gerhana Bulan Penumbra Total

Pada gerhana bulan jenis ke- 3 ini, seluruh Bulan masuk ke dalam penumbra pada saat fase maksimumnya. Tetapi tidak ada bagian Bulan yang masuk ke umbra atau tidak tertutupi oleh penumbra (lihat gambar 4). Pada kasus seperti ini, gerhana bulannya kita namakan gerhana bulan penumbral total. Pada gerhana bulan jenis ini, bulan hanya melewati bayangan penumbra bumi dan hal ini hanya bisa dilihat apabila lebih dari setengah (0,5) piringan bulan masuk pada bayangan penumbra bumi, bahkan ada Astronom yang mengatakan bahwa gerhana penumbra hanya akan bisa dilihat apabila magnitudenya minimal 0,7.

29 Disampaikan pada Pengamatan Gerhana Bulan Parsial dan Penyuluhan Astronomi,

oleh Planetarium dan Observatorium Jakarta dalam hal ini disampaikan oleh Bapak Cecep Nurwendaya, yang diselenggarakan oleh Dinar Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, di SMA Muhammadiyah Prambanan dan Pelataran Candi Prambanan Yogyakarta, hari Jum‟at-Sabtu tanggal 25-26 Juni 2010.

(46)

Gambar 4: Gerhana Bulan Penumbra Total 4. Gerhana Bulan Penumbra Sebagian

Dan gerhana bulan jenis terakhir ini, jika hanya sebagian saja dari Bulan yang memasuki penumbra, maka gerhana bulan tersebut dinamakan gerhana bulan penumbra sebagian (lihat gambar 5). Gerhana bulan penumbra sebagian ini biasanya tidak terlalu menarik bagi pengamat. Karena pada gerhana bulan jenis ini, penampakan gerhana hampir-hampir tidak bisa dibedakan dengan saat bulan purnama biasa.

Gambar 5: Gerhana Bulan Penumbra Sebagian

Bumi beredar mengelilingi matahari dalam kurun waktu satu tahun. Bersamaan dengan itu bulan juga mengelilingi bumi selama 29 hari. Hal ini mengakibatkan kedudukan bumi dan bulan relatif terhadap matahari berubah

(47)

setiap saat. Dengan memperhatikan gerak dan kedudukan matahari, bumi dan bulan, maka dapat diramalkan gerhana bulan terjadi setiap tahun. Jika gerhana bulan dan gerhana matahari digabungkan dalam satu tahun kalender, maka akan terdapat maksimum 7 gerhana, dengan rincian sebagai berikut:30

1. 5 kali gerhana matahari dan 2 kali gerhana bulan. 2. 4 kali gerhana matahari dan 3 kali gerhana bulan.

Hanya saja gerhana-gerhana ini tidaklah seluruhnya dapat disaksikan di seluruh daerah. Untuk gerhana bulan lebih sering terlihat dibanding dengan gerhana matahari. Gerhana bulan lebih sering terlihat karena terjadi pada malam hari pada saat bulan berada dalam fase purnama. Dan daerah di bumi yang dapat menyaksikan gerhana bulan ini meliputi daerah yang sangat luas. Seluruh bagian malam atau separuh bumi dapat melihat gerhana bulan. Karena itu jarang orang yang mencatat data mengenai gerhana bulan ini. Gerhana bulan dapat dilihat dengan mata telanjang, karena cahaya bulan yang dipantulkan berasal dari cahaya matahari, maka tidaklah sekuat cahaya matahari itu sendiri.31

Sebenarnya gerhana bulan jarang terjadi jika dibandingkan dengan gerhana matahari. Umpama terjadi 8 gerhana, maka yang 5 adalah gerhana matahari dan yang 3 adalah gerhana bulan. Hanya saja orang-orang banyak beranggapan bahwa gerhana bulan lebih sering terjadi daripada gerhana matahari. Hal ini disebabkan karena gerhana bulan bisa dilihat hampir dari 2/3 permukaan bumi yang mengalami malam hari, sedangkan gerhana matahari

30

Soetjipto, Op Cit, hlm 24-25.

Gambar

Gambar 1: Gerhana Bulan
Tabel perbandingan hisab antara kitab Al-Khulashah al-Wafiyyah dan Ephemeris  No                   Model Hisab
Gambar 2: Gerhana Bulan Total  2.  Gerhana Bulan Sebagian (parsial)
Gambar 3: Gerhana Bulan Sebagian (parsial)  3.  Gerhana Bulan Penumbra Total
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2015 – Juni 2015, di lahan Desa Gentong, Kecamatan Krocok, Kabupaten Bondowoso dan di Laboratorium genetik Fakultas Sains dan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, peneliti menarik kesimpulan bahwa memang benar terjadi kesenjangan sosial di kelurahan Mampang, dengan berbagai pendapat yang

• Gaikindo mencatat penjualan kendaraan bermotor diIndonesia pada tahun 2019 menurun menjadi 1,03 juta unit dibandingkan dengan penjualan pada tahun 2018 yang sebesar 1,1 juta unit,..

Tugas akhir yang berjudul ”Kode Linier dari Graf Strongly Regular” ini diaju- kan sebagai salah satu syarat Sidang Sarjana Program Studi Matematika, Fakultas Matematika dan

Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai R adalah sebesar 0,856 atau 85,6% menunjukkan bahwa korelasi/hubungan antara persepsi konsumen dan keputusan pembelian adalah sangat

Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan

Sementara itu rata-rata lama menginap terendah kelompok bintang adalah hotel bintang 2 yang hanya mencapai 2,58 hari dengan rata-rata lama menginap tamu asing dan

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Tsai, et al (2005) yang meneliti tingkat komitmen kontinuan para pekerja yang masih bertahan (survivors) di beberapa perusahaan di