• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Membaca Cepat

7. Definisi Membaca Cepat

Bloomfield dan Barnhart (1961) mengemukakan bahwa membaca tidak melibatkan apa-apa selain korelasi kesan bunyi dengan citra visual yang berkesesuaian. Secara berbeda, Bennette (1997) menyatakan bahwa membaca adalah proses visual - visi adalah proses simbolis melihat aitem atau simbol dan menerjemahkannya menjadi sebuah gagasan atau gambar. Gambar diproses menjadi konsep dan dimensi keseluruhan pemikiran.

Ahuja dan Ahuja (2007) mengemukakan bahwa membaca merupakan suatu keterampilan kompleks yang melibatkan serangkaian keterampilan yang lebih kecil lainnya. Dengan kata lain, proses membaca adalah proses ganda, meliputi proses penglihatan dan proses tanggapan. Sebagai proses penglihatan, membaca bergantung pada kemampuan melihat simbol-simbol. Proses membaca merentang dari yang paling sederhana, yaitu men-dekode kata-kata hingga perluasan dan pengembangan interpretatif di luar pesan penulis berangkat dari latar belakang pengalaman pembaca. Pen-dekode-an adalah proses mengubah simbol-simbol visual ke dalam pola-pola auditori, sedangkan perluasan dan pengembangan interpretatif melibatkan membaca kritis atau terkadang kreatif. Ternyata membaca bukanlah suatu kemampuan tunggal. Membaca juga menggabungkan banyak komponen kecil yang jika dipadukan bersama memungkinkan membaca

(2)

berlangsung. Membaca adalah sekelompok keterampilan yang memasukkan di dalamnya keterampilan pengenalan kata, kosakata, membaca untuk menemukan makna utuh, membaca untuk mencari gagasan pokok, memahami informasi faktual spesifik, mengikuti petunjuk, pengajaran dan arahan.

Smith dan Dechant (1961) berpendapat bahwa, untuk mendiskusikan perihal kecepatan membaca, sudah seharusnya kecepatan memahami bahan bacaan dimasukkan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Nurhadi (1987) mendefinisikan membaca cepat sebagai membaca yang mengutamakan kecepatan dengan tidak mengabaikan pemahaman. Dua aspek yang menjadi kunci dalam definisi tersebut adalah kecepatan yang memadai dan persentase pemahaman yang tinggi. Hal senada juga dikemukakan oleh Soedarso (2010) bahwa dalam membaca cepat terkandung di dalamnya pemahaman yang cepat pula. Bahkan pemahaman inilah yang menjadi pangkal tolak pembahasan, bukan kecepatannya.

Berdasarkan beberapa definisi dan penjelasan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa membaca cepat adalah membaca dengan kecepatan yang memadai sesuai dengan tujuan membaca sehingga diperoleh persentase pemahaman yang tinggi.

8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Membaca

Dechant (1973) berpendapat bahwa kecepatan membaca akan selalu bergantung pada tujuan, kecerdasan, pengalaman, pengetahuan pembaca dan tingkat kesulitan bahan bacaan. Kecepatan selalu bergantung pada motivasi,

(3)

keadaan psikologis dan fisik pembaca, penguasaan keterampilan dasar membaca, dan format bahan bacaan.

Secara spesifik, faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan membaca dan pemahaman bacaan dikemukakan oleh Shores (dalam Ahuja dan Ahuja, 2007), antara lain: ukuran huruf, model huruf, kehitaman dan ketajaman cetakan, mutu dan sifat kertas, ukuran halaman, organisasi bahan, banyaknya ruang kosong, jenis dan penempatan ilustrasi (gambar/foto), judul dan sub judul, kejelasan tulisan, bidang pengetahuan, kompleksitas gagasan, gaya menulis pengarang, jenis tulisan (puisi, narasi, atau deskriptif/paparan), kepribadian penulis, perasaan pembaca (mengantuk, waspada, tenang, gelisah), kemampuan mental pembaca, keterampilan membaca, lingkungan tempat membaca, latar pengalaman membaca, tujuan dan minat pada bidang atau ranah karya bahan yang sedang dibaca, dan keakrabannya dengan kekhasan gaya pengarang dan pengalimatannya.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi membaca cepat adalah sebagai berikut:

a. Tujuan membaca b. Kecerdasan

c. Latar belakang pengalaman dan pengetahuan pembaca d. Kondisi psikologis pembaca saat membaca

e. Kondisi fisik pembaca saat membaca f. Penguasaan keterampilan dasar membaca

(4)

g. Format bahan bacaan, meliputi ukuran huruf, model huruf, tingkat kehitaman, ukuran kertas, organisasi bahan, banyaknya ruang kosong, jenis dan penempatan ilustrasi (gambar/foto), judul dan sub judul

h. Tingkat kesulitan bahan bacaan, meliputi kompleksitas gagasan bahan bacaan, jenis bahan bacaan, dan gaya penulisan pengarang

i. Lingkungan tempat membaca.

9. Tingkatan Kecepatan Membaca

Bond dan Tinker (1967) menyatakan bahwa:

“Definisi kecepatan membaca harus diredefinisikan sebagai kecepatan memahami bahan-bahan tercetak dan tertulis.”

Menurut Hafner dan Jolly (1972), angka kecepatan membaca yang efisien adalah kecepatan wajar maksimum yang dapat diterapkan oleh pembaca untuk mendapatkan makna yang diharapkan dari kandungan bacaan. Hafner dan Jolly selanjutnya menjelaskan bahwa kata wajar (tidak dipaksakan) didefinisikan sebagai peringatan bahwa ketika seorang pembaca terlalu mementingkan pada mekanika, maka ia tidak mungkin tiba pada makna. Definisi itu menyiratkan bahwa kecepatan membaca efisien setiap pembaca kemungkinan berbeda.

Nurhadi (1987) membagi kecepatan membaca menjadi tiga tingkatan, yaitu:

a. Rendah : 175-250 kata per menit

b. Sedang atau cukup memadai : 250-350 kata per menit

(5)

Kecepatan membaca yang memadai untuk setiap jenjang pendidikan berbeda-beda. Kecepatan membaca siswa kelas akhir sekolah dasar atau siswa setingkat sekolah lanjutan tingkat pertama dianggap memadai bila berkisar sekitar 200 kata per menit. Siswa sekolah lanjutan atas dianggap memiliki kecepatan membaca yang memadai bila mampu membaca sekitar 250 kata per menit. Untuk mahasiswa sekitar 325 kata per menit, sedangkan mahasiswa pascasarjana dan program doktor sekitar 400 kata per menit. Bagi orang dewasa (tidak bersekolah), kecepatan itu bisa turun kembali dan dianggap memadai pada kecepatan 200 kata per menit. Kecepatan membaca tersebut harus diikuti oleh tingkat pemahaman terhadap bacaan 50% atau 40-60% (Nurhadi, 1987).

10. Cara Mengukur Kecepatan Membaca

Kecepatan membaca biasanya diukur dengan berapa banyak kata atau yang terbaca setiap menitnya, dengan pemahaman rata-rata 50%, atau dengan kata lain berkisar antara 40% sampai 60%. Pada taraf pemahaman sekian, kecepatan membaca dianggap memadai (Nurhadi, 1987).

Menurut Nurhadi (1987), cara mengukur kecepatan membaca adalah sebagai berikut:

a. Mencatat waktu mulai membaca (jam …, menit …, detik ….).

b. Menandai di mana awal membaca (lebih mudah bila dimulai dari judul bacaan).

(6)

d. Menandai di mana akhir membaca (pada kalimat akhir, jika bacaannya pendek).

e. Mencatat waktu berakhirnya membaca (jam …, menit …, detik …). f. Menghitung berapa waktu yang diperlukan (dalam detik).

g. Menghitung jumlah kata dalam teks yang dibaca (termasuk tanda baca). h. Mengalikan jumlah kata dengan bilangan 60 (1 menit = 60 detik). Hasil

perkalian merupakan jumlah total kata.

i. Membagi hasil perkalian dengan jumlah waktu yang diperlukan untuk membaca. Hasilnya adalah “jumlah kata per menit”.

Bila digambarkan proses di atas adalah seperti di bawah ini: a. Saat akhir membaca : jam …, menit …, detik …

Saat mulai membaca : jam …, menit …, detik … Waktu yang diperlukan : ……… detik b. Jumlah kata x 60 menit = jumlah total kata

Jumlah total kata : waktu yang diperlukan = jumlah kata per menit.

Secara lebih sederhana, Soedarso (2010) mengemukakan rumus untuk mengukur kecepatan membaca sebagai berikut:

Jumlah kata yang dibaca x 60 = jumlah kata per menit (kpm) Jumlah detik untuk membaca

11. Fleksibelitas Kecepatan Membaca

Fleksibelitas dalam membaca adalah keterampilan membaca setiap bahan bacaan tidak dengan cara yang sama (Ahuja & Ahuja, 2007). Kecepatan membaca sangat tergantung pada bahan dan tujuan membaca, dan sejauh mana keakraban

(7)

dengan bahan tersebut. Kecepatan membaca harus seiring dengan kecepatan memahami bahan bacaan (Soedarso, 2010).

Temuan riset memperlihatkan bahwa kebanyakan pembaca tidak memiliki fleksibelitas dalam membaca. Harris (dalam Ahuja & Ahuja, 2007) melaporkan bahwa kebanyakan pembaca tidak fleksibel dalam kecepatan membaca. Kebanyakan pembaca cenderung mempertahankan satu pendekatan karakteristik dan menggunakan satu kecepatan yang relatif tetap untuk setiap jenis bahan bacaan. McDonald (dalam Ahuja & Ahuja, 2007) meneliti lebih dari 8.000 pembaca tingkat sekolah dasar, lanjutan, perguruan tinggi dan orang dewasa. Dia menemukan bahwa lebih dari 90% dari mereka cenderung mempertahankan pendekatan karakteristik dan relatif tidak mengubah kecepatan membaca mereka untuk semua jenis bacaan yang diujicobakan, kendatipun ada perbedaan tujuan dan variasi tingkat kesulitannya, serta gaya dan isi bacaan.

12. Hambatan Membaca Cepat

Ahuja dan Ahuja (2007) mengemukakan, ada beberapa penghalang membaca cepat yang mempengaruhi efisiensi membaca. Penghalang-penghalang itu antara lain vokalisasi, gerakan bibir, berbicara atau mendengar dalam hati, goyangan kepala, tunjuk jari, membaca kata per kata, analisis kata, pemblokan mata, mundur ke belakang dan membaca ulang. Tingkat kesulitan bahan bacaan dan kekurangan motivasi. Tingkat kesulitan bahan bacaan dan kekurangan motivasi di pihak pembaca juga mempengaruhi efisiensi membaca.

(8)

Soedarso (2010) mengemukakan ada enam penghambat seseorang untuk membaca cepat, yaitu:

a. Vokalisasi

Vokalisasi atau membaca dengan bersuara berarti mengucapkan kata demi kata dengan lengkap. Hal ini memperlambat membaca. Menggumam, sekalipun dengan mulut terkatup dan suara tidak terdengar, termasuk membaca dengan bersuara.

Cara mengidentifikasi vokalisasi yaitu dengan meletakkan tangan di leher saat membaca. Apabila terasa getaran di jakun, hal tersebut berarti membaca dengan bersuara atau vokalisasi. Adapun cara untuk menghilangkan kebiasaan ini adalah dengan meniup atau membentuk bibir seperti bersiul saat membaca sembari meletakkan tangan di leher untuk memastikan tidak ada getaran di jakun.

b. Gerakan bibir

Orang dewasa ada yang meneruskan kebiasaan di waktu kecil, yaitu mengucapkan kata demi kata apa yang dibaca dengan menggerakkan bibir. Menggerakkan bibir atau komat-kamit sewaktu membaca, sekalipun tidak mengeluarkan suara, sama lambatnya dengan membaca bersuara. Kecepatan membaca bersuara ataupun dengan gerakan bibir hanya seperempat dari kecepatan membaca secara diam. Dengan menggerakkan bibir, seseorang lebih sering regresi (kembali ke belakang), sebab ketika mata dapat dengan cepat bergerak maju, suara masih di belakang.

(9)

Cara menghilangkan kebiasaan membaca dengan gerakan bibir, berikut merupakan beberapa alternatif pilihan cara mengatasinya:

1) Merapatkan bibir kuat-kuat, tekankan lidah ke langit-langit mulut. 2) Mengunyah permen karet.

3) Menggunakan pensil atau sesuatu yang lain yang cukup ringan, lalu dijepit dengan kedua bibir (bukan gigi), usahakan agar pensil tidak bergerak. 4) Mengucapkan berulang-ulang, “satu, dua, tiga.”

5) Membuat gerakan bibir bersiul, tetapi tanpa suara. c. Gerakan kepala

Sewaktu kanak-kanak, penglihatan sukar menguasai seluruh penampang bacaan. Akibatnya adalah menggerakkan kepala dari kiri ke kanan untuk dapat membaca baris-baris bacaan secara lengkap. Setelah dewasa, penglihatan telah mampu secara optimal, sehingga seharusnya cukup mata saja yang bergerak. Cara menghilangkan kebiasaan menggerakkan kepala, berikut merupakan beberapa alternatif pilihan cara mengatasinya:

1) Meletakkan telunjuk jari ke pipi dan menyandarkan siku tangan ke meja selama membaca, apabila terasa tangan terdesak oleh gerakan kepala, sadarlah dan hentikan gerakan tersebut.

2) Tangan memegang dagu seperti membelai-belai jenggot dan apabila kepala bergerak, sadarlah dan hentikan gerakan tersebut.

3) Meletakkan ujung telunjuk jari di hidung, bila kepala bergerak akan segera disadari dan hentikan gerakan tersebut.

(10)

d. Menunjuk dengan jari

Sewaktu baru belajar membaca, individu harus mengucapkan kata demi kata yang dibaca dengan bantuan jari atau pensil yang menunjuk kata demi kata tersebut. Hal ini untuk memastikan bahwa tidak ada kata yang terlewati. Oleh karena cara tersebut dipraktikkan terus-menerus dan tidak ada yang memberikan petunjuk lebih lanjut bahwa hal tersebut tidak perlu lagi dilakukan apabila telah pandai membaca, akhirnya cara itu menjadi kebiasaan dan dilakukan sampai dewasa.

Cara membaca menunjuk dengan jari atau benda lain sangat menghambat, sebab gerakan tangan lebih lambat daripada gerakan mata. Kebiasaan tersebut dapat dihilangkan dengan cara yang mudah sebagai berikut:

1) Kedua tangan memegang buku yang dibaca. 2) Memasukkan tangan ke saku selama membaca. e. Regresi

Selama membaca, mata bergerak ke kanan untuk menangkap kata-kata yang terletak berikutnya. Akan tetapi, mata sering bergerak kembali ke belakang untuk membaca ulang suatu kata atau beberapa kata sebelumnya. Kebiasaan selalu kembali (regresi) ke belakang untuk melihat kata atau beberapa kata yang baru dibaca merupakan hambatan yang serius dalam membaca.

Keinginan untuk melihat ke belakang antara lain terdorong karena kurang percaya diri, merasa kurang tepat menangkap arti, merasa kehilangan sesuatu, atau salah membaca sebuah kata. Kebiasaan regresi disebabkan melamun. Secara mental individu mengerjakan hal lain di tempat lain sementara

(11)

membaca. Regresi dapat dikurangi dengan melaksanakan hal-hal sebagai berikut:

1) menanamkan kepercayaan diri. Tidak berusaha mengerti setiap kata atau kalimat di paragraf dan tidak terpaku pada detail. Terus membaca, tidak mengikuti godaan untuk kembali ke belakang.

2) menghadapi bahan bacaan. Tetap memperhatikan bahan bacaan yang dibaca.

3) meneruskan membaca sampai akhir kalimat. Apa yang dipikir tertinggal akan muncul kembali. Terus membaca, seiring membaca selanjutnya individu akan menemukan apa yang dipikirnya hilang. Kemampuan otak dan mata jauh melampaui perkiraan. Oleh karena itu, terus paksakan membaca. Dengan demikian, individu akan mengganti kebiasaan lama dengan yang baru.

f. Subvokalisasi

Subvokalisasi atau melafalkan dalam batin/pikiran kata-kata yang dibaca juga dilakukan oleh pembaca yang kecepatannya telah tinggi. Subvokalisasi juga menghambat karena individu menjadi lebih memperhatikan bagaimana melafalkan secara benar daripada berusaha memahami ide yang dikandung dalam kata-kata yang dibaca.

Menghilangkan sama sekali cara membaca dengan melafalkan dalam batin apa yang dibaca memang tidak mungkin, tetapi masih dapat diusahakan dengan cara melebarkan jangkauan mata sehingga satu fiksasi (pandangan mata) dapat

(12)

menangkap beberapa kata sekaligus dan langsung menyerap idenya daripada melafalkannya.

B. Pemahaman Bacaan

7. Definisi Pemahaman Bacaan

Sebelum 1915, ketika membaca ditekankan pada aspek lisan, pelajaran membaca tidak memiliki sisi pemahaman. Istilah pemahaman jarang ditemukan dalam literatur. Pengajaran membaca pada 1915 sampai 1925 ditekankan pada pengenalan kata. Ketika seorang anak telah belajar dan mampu melafalkan dengan baik kata-kata, maka tujuan membaca dianggap telah tercapai. Selama tahun-tahun terakhir abad ke 19, Romanes (dalam Ahuja dan Ahuja, 2007) menyatakan istilah pemahaman dengan “kekuatan asimilasi”. Gray (dalam Ahuja dan Ahuja, 2007) menggunakan istilah “kualitas membaca” untuk menunjukkan makna pemahaman.

Yoakam (dalam Ahuja dan Ahuja, 2007) menggambarkan pemahaman bacaan sebagai memahami materi bacaan yang melibatkan asosiasi yang benar antara makna dan simbol kata, penilaian konteks makna yang diduga ada, pemilihan makna yang benar, organisasi gagasan ketika materi bacaan dibaca, penyimpanan gagasan dan pemakaiannya dalam berbagai aktivitas sekarang atau mendatang.

(13)

Definisi Macmillan (dalam Ahuja dan Ahuja, 2007) boleh jadi lebih tepat dan jelas. Ia mendefinisikan pemahaman bacaan sebagai memahami apa yang tertulis di dalam, di antara dan di luar baris-baris tulisan atau dengan kata lain penafsiran cerdas, yang meliputi:

a. membaca untuk mendapatkan gagasan-gagasan utama; b. membaca untuk mendapatkan detail-detail penting;

c. membaca untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan spesifik;

d. membaca untuk mengikuti urutan logis dan pengembangan gagasan; e. membaca untuk menerapkan apa yang dibaca;

f. membaca untuk menemukan deduksi dan implikasi; dan g. membaca untuk menilai.

Secara singkat, Snow (2002) mendefinisikan pemahaman bacaan sebagai proses simultan menyarikan dan mengkonstruksi makna melalui interaksi dan keterlibatan dengan bahasa tertulis.

Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa pemahaman bacaan adalah proses simultan menyarikan dan mengkonstruksi makna dari materi bacaan meliputi asosiasi yang benar antara makna dan simbol kata, penilaian konteks makna yang diduga ada, pemilihan makna yang benar, dan organisasi gagasan ketika materi bacaan dibaca, yang semua hal tersebut digunakan untuk mendapatkan gagasan-gagasan utama, mendapatkan detail-detail penting, menjawab pertanyaan-pertanyaan spesifik, mengikuti urutan logis dan pengembangan gagasan, menerapkan apa yang dibaca, menemukan deduksi dan implikasi, dan membaca untuk menilai.

(14)

8. Elemen Pemahaman Bacaan

Pemahaman bacaan terdiri dari tiga elemen, yaitu the reader (pembaca), the

text (teks atau bahan bacaan) dan the activity or purpose for reading (aktifitas atau

tujuan membaca) (Snow, 2002). a. The Reader (Pembaca)

Untuk memahami, pembaca harus memiliki berbagai kapasitas dan kemampuan. Kapasitas dan kemampuan tersebut meliputi kapasitas kognitif (misalnya, perhatian, memori, kemampuan analitis kritis, penelusuran, kemampuan visualisasi), motivasi (tujuan membaca, minat terhadap konten/isi yang sedang dibaca, self efficacy sebagai pembaca), dan berbagai jenis pengetahuan (kosakata, pengetahuan mengenai topik dan domain/bidang, pengetahuan tentang wacana dan linguistik, pengetahuan tentang strategi pemahaman spesifik).

Kapasitas kognitif, motivasi, kapasitas bahasa dan pengetahuan dasar yang disebut dalam berbagai tindakan pemahaman bacaan bergantung pada teks yang digunakan dan aktivitas spesifik di mana seorang pembaca terlibat. b. The Text (Teks atau Bahan Bacaan)

Fitur teks memiliki dampak yang besar terhadap pemahaman. Pemahaman tidak terjadi hanya dengan penggalian makna secara sederhana dari teks. Selama membaca, pembaca mengkonstruksi representasi yang berbeda dari teks yang mana penting bagi pemahaman. Representasi tersebut meliputi,

(15)

merepresentasikan makna), dan representasi dari mental model yang terdapat dalam teks.

Perkembangan komputer dan teks elektronik telah membawa para ahli untuk memperluas definisi teks untuk memasukkan teks elektronik dan dokumen multimedia di samping cetakan konvensional.

Teks bisa sulit atau mudah, tergantung pada faktor-faktor yang melekat dalam teks, pada hubungan antara teks dan pengetahuan dan kemampuan pembaca, dan pada kegiatan yang pembaca terlibat.

c. The Activity or Purpose for Reading (Aktifitas atau Tujuan Membaca)

Membaca dilakukan untuk suatu tujuan. Suatu kegiatan membaca melibatkan satu atau lebih tujuan, beberapa operasi untuk mengolah teks, dan konsekuensi melakukan kegiatan membaca tersebut. Sebelum membaca, pembaca memiliki tujuan yang berasal dari dalam diri maupun luar. Tujuan dipengaruhi oleh variabel motivasi, meliputi minat dan prior knowledge.

Aktifitas membaca meliputi satu atau lebih tujuan atau tugas, beberapa operasi untuk memproses teks, dan hasil dari melakukan kegiatan, semua yang terjadi dalam beberapa konteks tertentu. Tujuan awal membaca dapat berubah selama membaca. Hal ini berarti, selama membaca, pembaca mungkin menghadapi berbagai informasi yang menimbulkan pertanyaan baru dan membuat tujuan awal tidak cukup atau tidak relevan lagi. Mengolah teks melibatkan pengkodean teks, tingkat pengolahan linguistik dan semantik yang lebih tinggi, dan self monitoring untuk pemahaman, yang semuanya tergantung pada kemampuan pembaca menghadapi berbagai fitur teks.

(16)

Akhirnya, konsekuensi dari membaca adalah bagian dari kegiatan tersebut. Beberapa kegiatan membaca menyebabkan peningkatan pengetahuan yang dimiliki oleh pembaca. Konsekuensi lain dari kegiatan membaca adalah mengetahui bagaimana melakukan sesuatu. Aplikasi dari konsekuensi-konsekuensi tersebut sering berhubungan dengan tujuan pembaca. Pengetahuan, aplikasi, dan keterlibatan merupakan konsekuensi langsung dari kegiatan membaca.

9. Unit Pemahaman

Burns, Roe dan Ross (1984) menyatakan bahwa unit-unit dasar pemahaman dalam membaca adalah kata, kalimat, paragraf, dan whole selection.

a. Kata

Kosakata harus dibangun dari kata-kata yang telah dipahami. Perkembangan kosakata merupakan perkembangan skemata. Untuk memahami sesuatu, individu harus memanggil skemata yang telah dimiliki. Oleh karena itu, perkembangan kosakata merupakan komponen penting keterampilan pemahaman.

b. Kalimat

Individu mungkin menemukan kalimat kompleks yang sulit dipahami untuk itu individu harus menemukan cara untuk menemukan maknanya. Penelitian telah menunjukkan bahwa instruksi yang sistematis dalam pemahaman kalimat meningkatkan pemahaman membaca. Pendekatan lain menyatakan bahwa

(17)

untuk menemukan bagian penting dari kalimat adalah dengan menuliskannya dalam format telegram.

c. Paragraf

Paragraf merupakan kelompok kalimat yang menyajikan suatu fungsi keterangan dalam suatu bagian. Paragraf dibangun oleh suatu ide utama atau topik. Memahami fungsi, organisasi umum, dan hubungan antar kalimat dalam suatu paragraf merupakan hal yang penting dalam pemahaman membaca. d. Whole Selection

Keseluruhan bagian terdiri dari kata, kalimat, dan paragraf. Pemahaman keseluruhan bagian tergantung pada pemahaman unit-unit yang lebih kecil.

10. Tingkatan Pemahaman

Burns dkk. (1984) menyatakan bahwa ada empat tingkatan pemahaman dan pembaca mampu memahami bacaan pada sejumlah tingkatan yang berbeda. Empat tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pemahaman Literal

Membaca pada tingkatan pemahaman literal meliputi memperoleh informasi dalam suatu bagian yang dinyatakan secara langsung. Pemahaman pada tingkatan ini merupakan prasyarat untuk tingkatan pemahaman yang lebih tinggi. Menemukan ide utama yang telah dinyatakan, detail-detail, sebab-akibat, dan runtutan (sequence) merupakan dasar pemahaman tingkat literal. Contoh keterampilan pemahaman pada tingkat ini meliputi kemampuan untuk mengikuti petunjuk dan kemampuan untuk menyatakan kembali suatu ide

(18)

dengan menggunakan kata-kata yang berbeda. Pemahaman pada tingkat literal didefinisikan sebagai pengertian secara eksplisit informasi yang dinyatakan dengan mengenyampingkan medium yang menghadirkannya. Contohnya, simbol-simbol bahasa lisan atau tulisan. Ini merupakan fokus utama pada tingkat pemahaman literal. Tujuan khusus dari pemahaman tingkat literal adalah sebagai berikut: (1) rinci; (2) runtut kejadian-kejadian; (3) ciri-ciri karakter; dan (4) hubungan sebab akibat.

b. Pemahaman Interpretatif

Pemahaman tingkat interpretatif didefinisikan sebagai pengertian dari pernyataan informasi yang dinyatakan secara implisit. Membaca interpretatif meliputi membaca antara baris atau menarik kesimpulan, merupakan proses memperoleh ide yang dinyatakan secara tidak langsung daripada yang dinyatakan secara langsung.

Keterampilan membaca interpretatif meliputi menyimpulkan ide utama dimana ide tersebut tidak secara langsung dinyatakan, menyimpulkan hubungan sebab-akibat yang tidak dinyatakan secara langsung, menyimpulkan keterangan atau penjelasan dari kata ganti, menyimpulkan keterangan atau penjelasan dari kata keterangan, menyimpulkan kata-kata yang diabaikan, mendeteksi mood, mendeteksi tujuan pengarang dalam menulis, dan menarik kesimpulan.

c. Pemahaman Kritis

Membaca kritis adalah mengevaluasi materi tertulis, membandingkan ide yang ditemukan dalam materi dengan standar-standar yang diketahui dan menarik kesimpulan mengenai keakuratan, ketepatan, dan waktu yang tepat. Pembaca

(19)

kritis pasti merupakan pembaca yang aktif, mempertanyakan, mencari fakta, dan menunda penilaian sampai mereka telah mempertimbangkan semua materi. Membaca kritis tergantung pada pemahaman literal dan interpretatif, dan memahami ide yang tidak dinyatakan secara langsung merupakan hal yang penting. Pemahaman pada tingkat kritikal dijelaskan sebagai pengertian dari informasi yang akan membuat seseorang mampu menentukan nilai tentang informasi yang diterimanya.

d. Pemahaman Kreatif

Membaca kreatif meliputi memahami materi melebihi yang disampaikan oleh pengarang. Hal ini menuntut pembaca untuk berpikir selama membaca, sama seperti membaca kritis, dan hal ini juga menuntut pembaca untuk menggunakan imajinasi mereka. Pemahaman tingkat kreatif melibatkan membuat respon secara personal terhadap pengertian yang kompleks dari penerimaan pesan. Personal response, didasari pada suatu pengertian penuh dari pesan yang diekspresikan, hal ini merupakan jantung dari pemahaman tingkat kreatif.

11. Faktor yang Mempengaruhi Pemahaman Bacaan

Nurhadi (1987) mengemukakan bahwa membaca merupakan proses yang kompleks dan rumit karena dalam proses membaca terlibat berbagai faktor internal dan eksternal pembaca. Faktor internal berupa intelegensi, minat, sikap, motivasi dan tujuan membaca. Faktor eksternal dalam bentuk sarana membaca,

(20)

tingkat kesulitan teks bacaan, faktor lingkungan, faktor latar belakang sosial ekonomi, kebiasaan dan tradisi membaca.

Membaca pada hakikatnya adalah proses berpikir. Dalam proses membaca terlibat aspek-aspek berpikir seperti mengingat, memahami, membeda-bedakan, membandingkan, menemukan, menganalisis, mengorganisasi, dan pada akhirnya menerapkan apa-apa yang terkandung dalam bacaan. Aspek-aspek tersebut melibatkan tipe-tipe berpikir divergen (induktif), berpikir konvergen (deduktif), dan tipe berpikir abstrak. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam membaca diperlukan kemampuan intelektual. Hasil dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan adanya korelasi yang tinggi antara minat terhadap bacaan dan kemampuan membacanya. Demikian pula penelitian hubungan antara tujuan membaca dan perubahan gerak mata pada waktu membaca. Dalam penelitian terlihat bahwa perubahan tujuan membaca berakibat terjadinya perubahan dalam gerak mata berlangsung. Di sini terbukti bahwa ada faktor tujuan membaca yang mempengaruhi proses membaca. Faktor eksternal penerangan atau pencahayaan yang kurang baik akan mempengaruhi hasil membaca. Demikian juga faktor sosial ekonomi dimana status sosial ekonomi yang tinggi cenderung dilimpahi kemudahan sarana membaca yang memadai, sehingga terbentuk tradisi atau kebiasaan membaca. Kebiasaan membaca ini yang akan mempengaruhi kemampuan dan latihan membaca. Kebiasaan membaca akan berpengaruh pada kecepatan dan keefektifan membaca seseorang. Faktor internal dan eksternal tersebut saling berhubungan membentuk semacam koordinasi untuk menunjang pemahaman bacaan (Nurhadi, 1987).

(21)

Secara spesifik, faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan membaca dan pemahaman bacaan dikemukakan oleh Shores (dalam Ahuja dan Ahuja, 2007), antara lain ukuran huruf, model huruf, kehitaman dan ketajaman cetakan, mutu dan sifat kertas, ukuran halaman, organisasi bahan, banyaknya ruang kosong, jenis dan penempatan ilustrasi (gambar/foto), judul dan sub judul, kejelasan tulisan, bidang pengetahuan, kompleksitas gagasan, gaya menulis pengarang, jenis tulisan (puisi, narasi, atau deskriptif/paparan), kepribadian penulis, perasaan pembaca (mengantuk, waspada, tenang, gelisah), kemampuan mental pembaca, keterampilan membaca, lingkungan tempat membaca, latar pengalaman membaca, tujuan dan minat pada bidang atau ranah karya bahan yang sedang dibaca, dan keakrabannya dengan kekhasan gaya pengarang dan pengalimatannya.

Teori Chomsky (dalam Matlin, 2005) tentang transformational grammar telah menimbulkan ketertarikan tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pemahaman kalimat. Para psikolog telah melakukan penelitian terhadap hal ini. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pemahaman terhadap kalimat adalah sebagai berikut:

a. Kata Negatif

Williams (dalam Matlin, 2005) mengemukakan bahwa kalimat yang memuat kata negatif, seperti tidak dan bukan, atau kata negatif yang tersirat (seperti ditolak), hampir selalu membutuhkan lebih banyak waktu pemrosesan dibandingkan kalimat afirmatif.

(22)

b. Bentuk Pasif

Chomsky (dalam Matlin, 2005) menunjukkan bahwa bentuk kalimat aktif dan kalimat pasif mungkin memiliki surface structure yang berbeda, meskipun memiliki deep structure yang sama. Transformasi dari bentuk aktif ke bentuk pasif membutuhkan tambahan kata.

c. Nested Structure (Struktur Bertingkat)

Struktur bertingkat adalah frase yang melekat di dalam kalimat lain. Pembaca mengalami "cost memory" ketika membaca kalimat yang memuat struktur bertingkat. Memory cost menjadi berlebihan jika suatu kalimat memuat lebih dari satu struktur bertingkat.

d. Ambiguitas

Kalimat menjadi lebih sulit untuk dipahami jika memuat kata yang ambigu atau memiliki struktur kalimat yang ambigu. Pembaca secara khusus berhenti lebih lama ketika mereka memproses kata yang ambigu. Rueckl (dalam Matlin, 2005) menyatakan bahwa pembaca dapat memahami kalimat yang ambigu, sama seperti pembaca dapat memahami kalimat negatif, kalimat yang menggunakan bentuk pasif, dan kalimat dengan struktur bertingkat yang kompleks. Meskipun demikian, pembaca merespon lebih cepat dan lebih akurat jika bahasa yang dihadapi lebih mudah.

(23)

Wainwright (2006) mengemukakan bahwa faktor terpenting yang bisa mempengaruhi pemahaman terhadap materi bacaan adalah sebagai berikut:

a. Kecepatan membaca

Kecepatan membaca jika melampaui batas-batas tertentu, bisa memberikan efek merugikan terhadap pemahaman. Batas-batas tersebut sangat bervariasi, tergantung orang dan waktunya.

b. Tujuan membaca

Tujuan berkaitan erat dengan motivasi dalam membaca dan minat terhadap materi bacaan. Menetapkan tujuan membaca dapat membantu meningkatkan motivasi dan minat membaca.

c. Sifat materi bacaan d. Tata letak materi bacaan e. Lingkungan tempat membaca

Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemahaman bacaan terbagi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Adapun faktor internal pembaca yang mempengaruhi pemahaman bacaan adalah sebagai berikut:

a. Intelegensi b. Tujuan membaca c. Kecepatan membaca d. Perasaan pembaca e. Keterampilan membaca

(24)

f. Latar pengalaman membaca

Adapun faktor eksternal pembaca yang mempengaruhi pemahaman bacaan adalah sebagai berikut:

a. Tingkat kesulitan teks bacaan b. Lingkungan

c. Latar belakang sosial ekonomi d. Format bahan bacaan

e. Gaya penulisan f. Jenis tulisan

6. Pengukuran Pemahaman bacaan

Ivor Davies (dalam Nurgiyantoro, 2001) mengemukakan bahwa Bloom membedakan keluaran belajar ke dalam tiga kategori atau biasa dikenal dengan ranah atau domain, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Taksonomi bloom untuk tugas membaca juga mencakup ketiga ranah tersebut. Tugas kognitif berupa aktivitas kognitif memahami bacaan secara tepat dan kritis, atau berupa kemampuan membaca. Tugas afektif berhubungan dengan sikap dan kemauan siswa untuk membaca, sedangkan tugas psikomotor berupa aktivitas fisik siswa sewaktu membaca (Nurgiyantoro, 2001).

Pemahaman bacaan yang merupakan ranah kognitif terdiri dari enam tingkatan dari yang sederhana ke yang lebih kompleks, dari aspek kognitif yang hanya menuntut aktivitas intelektual sederhana ke yang menuntut kerja intelektual tingkat tinggi. Keenam tingkatan yang dimaksud adalah ingatan, pemahaman,

(25)

penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Oleh karena itu, penilaian yang dilakukan untuk mengukur keberhasilannya juga mencakup enam tingkatan tersebut melalui tes kemampuan membaca. Tes kemampuan membaca dimaksudkan untuk mengukur kemampuan siswa memahami isi atau informasi yang terdapat dalam bacaan (Nurgiyantoro, 2001).

Bahan bacaan untuk tes kemampuan membaca hendaklah yang mengandung informasi yang menuntut untuk dipahami. Menurut Nurgiyantoro (2001), pemilihan wacana hendaknya dipertimbangkan dari segi:

a. Tingkat Kesulitan

Tingkat kesulitan wacana terutama ditentukan oleh kekompleksan kosa kata dan struktur. Secara umum, wacana yang baik untuk bahan tes kemampuan membaca adalah wacana yang tingkat kesulitannya sedang, atau sesuai dengan tingkat kemampuan individu yang dites.

Salah satu prosedur memperkirakan tingkat kesulitan wacana adalah dengan teknik cloze. Wacana yang akan diketahui tingkat kesulitannya, diteskan dalam bentuk cloze test. Jika rata-rata jawaban betul lebih dari 75%, wacana yang bersangkutan dinyatakan mudah. Sebaliknya, jika rata-rata betul kurang dari 20%, wacana tersebut tergolong sulit.

b. Isi Wacana

Bacaan yang baik adalah yang sesuai dengan tingkat perkembangan jiwa, minat, kebutuhan atau menarik perhatian siswa. Walaupun demikian, tidak mudah untuk mengoperasionalkan pengertian-pengertian abstrak tersebut. Tujuan kegiatan membaca, khususnya yang berkaitan dengan pemahaman

(26)

bacaan, adalah untuk memperluas dunia dan horizon individu. Di pihak lain, pemilihan isi wacana perlu selektif untuk menghindari bacaan yang bersifat kontra atau masih bersifat kontroversial.

c. Panjang Pendek Wacana

Wacana yang diteskan sebaiknya tidak terlalu panjang. d. Jenis atau Bentuk Wacana

Wacana yang digunakan sebagai bahan tes kemampuan membaca dapat berbentuk prosa, dialog, ataupun puisi. Pada umumnya, yang banyak dipergunakan adalah wacana yang berbentuk prosa.

Bentuk tes kemampuan membaca secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tes subjektif dan tes objektif. Bentuk tes yang pertama sering juga disebut tes bentuk esai. Tes objektif disebut juga sebagai tes jawaban singkat. Ada empat macam tes objektif, yaitu tes jawaban benar-salah (true-false), pilihan ganda (multiple choice), isian (completion), dan penjodohan (matching) (Nurgiyantoro, 2001).

Tes pilihan ganda merupakan suatu bentuk tes yang paling banyak dipergunakan dalam dunia pendidikan. Tes pilihan ganda terdiri dari sebuah pernyataan atau kalimat yang belum lengkap yang kemudian diikuti oleh sejumlah pernyataan atau bentuk yang dapat untuk melengkapinya. Dari sejumlah “pelengkap” tersebut, hanya satu yang tepat sedang yang lain merupakan pengecoh (distractors) (Nurgiyantoro, 2001).

(27)

Tes bentuk pilihan ganda tepat sekali untuk mengukur hasil belajar aspek kognitif dalam tingkatan sederhana, seperti ingatan, pemahaman, dan penerapan. Untuk mengukur tingkatan yang lebih kompleks, tes bentuk pilihan ganda disusun secara bervariasi, misalnya tes yang berupa tinjauan kasus, analisis hubungan sebab-akibat, melengkapi berganda, dan membaca diagram atau tabel. Butir soal yang berupa melengkapi berganda, merupakan tingkat analisis. Butir soal yang berupa analisis hubungan sebab akibat menuntut siswa untuk menghubungkan dua hal, merupakan tingkatan sintesis. Butir soal yang berupa tinjauan kasus menuntut siswa untuk mampu menilai, merupakan tingkatan evaluasi (Nurgiyantoro, 2001).

Jawaban terhadap tes objektif bersifat pasti dan dikotomis, hanya ada satu kemungkinan jawaban yang benar. Cara menentukan skor dapat dilakukan dengan menggunakan dua rumus, yaitu rumus tanpa tebakan dan rumus dengan tebakan (Nurgiyantoro, 2001).

a. Rumus Tanpa Tebakan Rumus: S = R

Keterangan: S : skor

R : jawaban yang benar b. Rumus dengan Tebakan

Rumus: S = R x (W / n-1) Keterangan

S : Skor

(28)

W : Jawaban yang salah n : Jumlah alternatif jawaban

C. Pengaruh Pelatihan Membaca Cepat Terhadap Pemahaman Bacaan Stauffer (1969), meninjau banyak sekali deskripsi tentang proses membaca dan melaporkan bahwa hanya ada satu butir kesepakatan umum di kalangan para pakar bahwa pemahaman bacaan adalah syarat mutlak bagi proses membaca. Membaca adalah kecakapan memaknai dan menemukan arti. Proses pen-dekode-an (memaknai atau menemukpen-dekode-an arti) ini berfungsi sebagai alat atau sarpen-dekode-ana bagi proses mental ketika pembaca mencoba memperoleh makna dari bahan bacaan. Membaca melibatkan pemahaman tidak hanya pendekodean dan interpretasi tingkat harfiah dari simbol-simbol tertulis. Membaca efektif dan bertujuan selalu berarti membaca konseptual yang bekerja pada dua tingkat. Pertama adalah memecahkan kode (dekode), dan kedua adalah memahami sesuatu dengan tujuan dalam pikiran pembaca (Ahuja dan Ahuja, 2007).

Keterampilan membaca pemahaman amat diperlukan. Menurut para ahli pengajaran, teknik membaca cepat merupakan salah satu teknik pengajaran yang dapat membantu memahami teks yang dibaca dengan lebih cepat dan dapat mengurangi kesalahan (Nurhadi, 1987). Mickulecky dan Jeffries (dalam Marhamah, 2004) menyatakan bahwa kecepatan membaca mempengaruhi kerja otak dalam memproses informasi. Semakin tinggi kecepatan membaca, semakin cepat kerja otak dan semakin baik pula pemahaman bacaannya. Sebaliknya, semakin rendah kecepatan membaca, semakin banyak informasi yang harus

(29)

diolah, sehingga secara otomatis otak bekerja lebih lamban dalam memahami bacaan.

Program-program membaca cepat mempunyai tujuan memecahkan tempo membaca yang sudah menjadi kebiasaan. Kecepatan membaca dapat ditingkatkan daripada kecepatan yang dimiliki semula tanpa kehilangan pemahaman (Ahuja dan Ahuja, 2007).

Bukti yang pernah ada adalah apa yang dilakukan oleh John A. Broyson dari Universitas Florida. Ia melatih 111 orang untuk ditingkatkan kecepatan membacanya. Pada awal latihan, kecepatan membaca berkisar antara 115-210 kata per menit (sama dengan kecepatan yang memadai untuk anak sekolah dasar), tetapi tiga bulan kemudian, dengan latihan yang intensif, 52 orang mampu meningkatkan kecepatan membacanya menjadi 295-325 kata per menit atau dua sampai tiga kali lipat dari kecepatan awal (Nurhadi, 1987).

Norman Lewis dalam bukunya How to Read Better and Faster mengemukakan fakta yang terdapat dibeberapa kursus membaca cepat di Amerika: (1) Di Reading Clinic, Dartmouth College, peserta kursus pada umumnya mempunyai kecepatan membaca 230 kpm, dan pada pertengahan kursus telah mencapai 500 kpm. (2) University of Florida yang mengelola kursus membaca cepat dengan peserta yang beragam seperti guru, wartawan, pengacara, ibu rumah tangga melaporkan bahwa kecepatan rata-rata peserta adalah 115-210 kpm dan dalam dua minggu telah mencapai 325 kpm. (3) Di Purdue University, kecepatan rata-rata naik dari 245 kpm menjadi 470 kpm. Sementara Harry Shefter dari New York University dalam bukunya Faster Reading Selftaught mengatakan

(30)

bahwa pada umumnya orang dapat mencapai kecepatan membaca 350-500 kpm (Soedarso, 2010).

Spache (dalam Ahuja dan Ahuja, 2007) berpendapat bahwa pertumbuhan kecepatan yang nyata dan permanen dapat dilakukan dengan mengajarkan siswa bagaimana dan kapan harus membaca cepat dan dengan mengajar langsung membaca untuk menemukan gagasan, scanning untuk fakta-fakta tunggal tanpa harus membaca, dan skimming dengan hanya membaca tajuk, judul, topik atau kalimat rangkuman. Siswa memperoleh fleksibelitas membaca (yang merupakan tujuan pelatihan meningkatkan kecepatan membaca) hanya dengan belajar memvariasikan kecepatan dan teknik membaca berdasarkan tujuannya, kesulitan dan gaya bahan bacaan, dan keakrabannya dengan materi bacaan.

Harris (dalam Ahuja dan Ahuja, 2007) berpendapat bahwa kecepatan membaca yang relatif tak berubah mungkin karena “dibiasakan” atau kebiasaan, atau mungkin akibat dari pelatihan yang kurang tepat. Braam (dalam Ahuja dan Ahuja, 2007) dalam sebuah studi terhadap siswa sekolah menengah, menunjukkan bahwa fleksibelitas dapat diajarkan dalam perkuliahan musim panas selama enam pekan. Perbedaan antara kecepatan yang tertinggi dan yang terendah hanya 19 kata per menit sebelum pelatihan, dan setelah pelatihan menjadi 159 kata per menit.

Spache (dalam Ahuja dan Ahuja, 2007) dalam evaluasinya menyatakan bahwa perangkat pelatihan agaknya memberikan kontribusi pada peningkatan kecepatan membaca. Namun, dalam percobaan yang dikontrol dengan seksama, kontribusi ini acapkali terkait dengan keragaman guru dan motivasi karena ini

(31)

merupakan hasil intrinsik metodenya. Penelitian yang dilakukan oleh Freeburne dan Glock (dalam Ahuja dan Ahuja, 2007) menyarankan bahwa perbedaan guru lebih signifikan daripada perbedaan metode. Adapun Schick (dalam Ahuja dan Ahuja, 2007) menekankan bahwa perangkat pelatihan adalah membantu guru, bukan mengganti guru.

Tinker (dalam Ahuja dan Ahuja, 2007) memperoleh korelasi yang tinggi antara kecepatan dan pemahaman ketika pemahaman dan kecepatan dites untuk bahan bacaan yang sama. Ketika kecepatan sudah ditentukan pada satu tes dan pemahaman pada tes lainnya, dilaporkan bahwa korelasinya mendekati 0,30.

Perbedaan isi materi subjek bahan bacaan mempengaruhi hubungan antara kecepatan membaca dan pemahaman. Thurstone (dalam Ahuja dan Ahuja, 2007) mendapatkan korelasi antara kecepatan dan pemahaman sebesar 0,11 pada bahan bacaan fisika, 0,42 pada sastra, dan 0,44 pada ilmu sosial. Anderson dan Dearborn (dalam Ahuja dan Ahuja, 2007) menyimpulkan bahwa hubungan negatif terjadi antara kecepatan membaca dan pemahaman dalam bidang sains dan matematika.

Carlson (dalam Ahuja dan Ahuja, 2007) melaporkan temuan serupa. Carlson meyimpulkan bahwa korelasi antara kecepatan membaca dan pemahaman bacaan atas bahan-bahan bacaan yang sulit dapat diabaikan. Carlson menemukan bahwa, pada tingkat kecerdasan tinggi, para pembaca cepat ternyata paling baik dalam memahami bacaan, sedangkan pada tingkat kecerdasan rata-rata dan rendah, para pembaca lambat paling baik dalam memahami bahan bacaan.

(32)

Berdasarkan beberapa penelitian mengenai kecepatan dan pemahaman, Shores dan Husbands (dalam Ahuja dan Ahuja, 2007) menyimpulkan bahwa para pembaca cepat mencapai skor paling efisien hanya pada jenis-jenis bahan tertentu dan untuk tujuan tertentu pula. Pembaca cepat biasanya memahami lebih baik daripada pembaca lambat pada bahan-bahan yang mudah dan pada tes-tes standar kemampuan membaca. Pada studi terhadap anak-anak tingkat enam, peneliti tersebut tidak menemukan korelasi antara kecepatan membaca dan pemahaman bacaan ketika siswa-siswa membaca bahan-bahan bacaan ilmiah untuk memecahkan masalah, memperoleh gagasan utama, atau menyimpan serangkaian gagasan.

Stroud (dalam Farr, 1969) menyatakan bahwa kebanyakan studi terdahulu yang menghubungkan kecepatan membaca dengan pemahaman bacaan tidak valid karena didasarkan pada skor-skor pemahaman bacaan yang didapat dan dijabarkan dari tes-tes yang dibatasi waktu, dan, karena itu, skor pemahaman bacaan tersebut dipengaruhi oleh faktor kecepatan.

Studi Flanagan (dalam Ahuja dan Ahuja, 2007) menekankan pada masalah ini. Ia mengumpulkan dua skor untuk subjek-subjek pada tes pemahaman bacaan, level skor pemahaman didasarkan pada jumlah rata-rata soal pemahaman yang dijawab dengan benar pada empat skala 20 soal. Angka skor pemahaman adalah jumlah total soal-soal yang dijawab dengan benar pada ke-80 soal dikurangi suatu pembetulan untuk menebak. Flanagan menghitung korelasi positif 0,77 antara kedua skor ini, yang menunjukkan banyak sekali kesamaan ciri. Tetapi, ketika ia mengkorelasikan angka skor membaca (ditentukan oleh jumlah total soal yang

(33)

diselesaikan dalam suatu batas waktu) dengan level skor pemahaman, korelasinya hanya 0,17.

E. Hipotesa

Kerlinger (2002) menyatakan bahwa suatu hipotesa adalah pernyataan dugaan. Suatu hipotesa tentatif (sementara) mengenai hubungan atau relasi antara dua fenomena ataupun variabel atau lebih. Adapun hipotesa penelitian ini adalah: “ada pengaruh pelatihan membaca cepat terhadap pemahaman bacaan.”

Referensi

Dokumen terkait

Mahasiswa mampu melakukan cuci tangan yang benar sesuai dengan urutan prosedur.. Mahasiswa mampu menerapkan prosedur cuci tangan dalam

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan hasil belajar yang signifikan pada ranah kognitif antara siswa yang menggunakan metode pemecahan

dengan resolusi tinggi. Memungkinkan untuk mendapatkan berbagai signal dari satu lokasi yang sama. Hanya meneliti area yang sangat kecil dari sampel. Perlakuan awal dari sampel

Kami menilai baik atas ekspansi bisnis ASII ke bidang property sebagai  bentuk  diversifikasi  di  tengah  tren  melemahnya  lini  bisnis  pertambangan,  alat 

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan

Dengan mempertimbangkan pilihan-pilihan adaptasi yang dikembangkan PDAM dan pemangku kepentingan, IUWASH juga merekomendasikan untuk mempertimbangkan aksi-aksi adaptasi

Penegakan s Penegakan sanksi anksi pidana pidana pada pasal 157 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan pada pasal 157 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

Keempat jenis kesalahan tersebut adalah kesalahan pemakaian huruf sebanyak 76 (huruf kapital 71 dan huruf miring 5), kesalahan penulisan kata sebanyak 9, kesalahan penulisan