• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KAJIAN FLOKULASI C. VULGARIS MENGGUNAKAN FLOKULAN BERBASIS SELULOSA DAN PANDANGAN EKONOMI TERKAIT FLOKULASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI KAJIAN FLOKULASI C. VULGARIS MENGGUNAKAN FLOKULAN BERBASIS SELULOSA DAN PANDANGAN EKONOMI TERKAIT FLOKULASI"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

206

STUDI KAJIAN FLOKULASI C. VULGARIS MENGGUNAKAN FLOKULAN BERBASIS SELULOSA DAN PANDANGAN EKONOMI TERKAIT FLOKULASI

NINA JULIANA ROBERTA TURNIP INSTITUT TEKNOLOGI DEL

nina.turnip@del.ac.id

ABSTRACT

The aim of this study is to provide directions regarding the potential of cellulose-based natural materials as cationic biopolymer flocculants and to provide an economic view regarding flocculation. The conclusion from the study is that the source of cellulose is abundant in nature. However, the limitations of cellulose’s utilization require modifications of the surface. The production of cationic cellulose flocculants must pay attention to the value of the degree of substitution (DS) because it will affect the solubility properties of cellulose which shows whether or not it is easy to use in solution for the flocculation process. In addition, chemical understanding of the structure of cellulose is important to make modifications according to the needs. From an economic point of view, flocculation is still a superior choice in terms of energy consumption, especially in large volumes. However, it is important to add the study of operational costs related to flocculants, including raw materials for flocculant production, ease of production of flocculants, dosage and costs of flocculants.

Keywords : Microalgae, Flocculation, Cellulose, Cationic Biopolymer, Economic Perspective

PENDAHULUAN

Mikroalga telah lama menjadi perhatian banyak praktisi di bidang akademik dan industri. Hal ini disebabkan potensi mikroalga yang sangat luas. Bahkan akhir-akhir ini, mikroalga juga telah ditelusuri pemanfaatannya sebagai sumber bahan baku terbarukan dalam produksi biofuel. Biofuel yang bersumber dari minyak mikroalga mempunyai keunggulan secara ekonomi dan ekologi dibandingkan minyak dari nabati. Pertumbuhan mikroalga yang dapat dilakukan di lokasi manapun termasuk pada perairan dengan berbagai salinitas dan komposisi kimia dapat dikondisikan untuk menghasilkan produk dengan spesifikasi tinggi melalui fotosintesis. Residu biomassa mikroalga pun rendah akan lignin namun kaya akan protein, sehingga dapat digunakan dalam produksi pakan ataupun suplemen nutrisi lainnya (Barros, 2015). Di samping itu, pemanfaatan mikroalga dalam bioremediasi air limbah dan penyerapan karbon dioksida menjadi peranan pengaplikasian pada lingkungan. Mikroalga juga memiliki kemampuan tumbuh dalam air limbah dengan mencerna nutrisi sekaligus kandungan logam di dalamnya (Barros, 2015). Chlorella vulgaris (C. vulgaris) sebagai salah satu mikroalga yang paling sering dibudidayakan untuk dikembangkan potensinya. Chlorella mempunyai potensi akumulasi lipid lebih dari 20% serta nilai nutrisinya yang tinggi. Mikroalga jenis ini dapat ditemukan hampir di seluruh habitat (Mohammady, 2015). Adapun budidaya C. vulgaris menyangkut dua aspek yang perlu diperhatikan yaitu (1). faktor eksternal seperti temperatur, intensitas cahaya, pH, aerasi, dan agitasi, (2). seleksi nutrien yang sesuai (Wong, 2017). Karbon, nitrogen, dan fosfor berperan sebagai nutrien utama dalam pertumbuhan mikroalga. Di sisi lain seperti silika, kalsium, magnesium, kalium, besi, mangan, sulfur, kobalt, copper, dan zinc menjadi mikronutrien primer yang juga dibutuhkan mikroalga (Christenson, 2011). Karbon (C) tersedia terbatas, namun karbon dioksida (CO2) yang berada di atmosferik dapat dimanfaatkan sebagai substrat karbon anorganik (Matter, 2019; Christenson, 2011). Nitrogen (N) dan fosfor (P) menjadi dua nutrien yang harus dipasok dengan rasio rerata 8 hingga 45. Hal tersebut harus disesuaikan juga dengan rasio antara air dan mikroalga untuk mencegah keterbatasan N dan P. Menurut Departemen Energi pada Program Spesies Akuatik, defisiensi nitrogen dapat membentuk kondisi stress sehingga produksi lipid dalam sel dapat meningkat, namun peningkatan ini diimbangi dengan laju pertumbuhan yang lebih lambat (Christenson, 2011). Selain pasokan nutrien, transfer gas dan pertukarannya, kontrol lingkungan, radiasi aktif cahaya, ketersediaan lahan dan air, serta pemanenan menjadi tantangan dalam

(2)

207

pengimplementasian sistem mikroalga terintegrasi pada skala besar. Transfer dan pertukaran gas yang tidak terakomodasi dengan tepat dapat menyebabkan biakan mikroalga terbatas akan suplai karbon dan akan membentuk inhibitor akibat oksigen yang terbentuk dari fotosintesis. Begitupun penyampaian cahaya yang buruk menjadi resistansi tercapainya kepadatan kultur. Kebutuhan akan lahan dan ketersediaan air serta kontrol lingkungan melibatkan biaya tambahan dalam proses produksi skala besar (Christenson, 2011). Dan di langkah akhir, pemanenan menjadi tantangan lainnya yang perlu disesuaikan untuk memperoleh produk akhir spesifik dari biomassa. Pemanenan mencakup pengoperasian secara biologis, kimiawi, mekanis, ataupun dengan bantuan listrik. Masing-masing hal tersebut memiliki kelebihan serta kekurangan, dan secara umum tidak ada teknik tunggal terbaik dalam pemanenan (Branyikova, 2018). Pilihan teknik pemanenan yang efektif harus ideal bagi mikroalga dan mampu memperoleh biomassa yang dapat diproses lebih lanjut, yang tidak beracun atau mencemari hasil panen (Barros, 2015). Pertimbangan lainnya yaitu biaya proses pemanenan mikroalga. Biaya ini bersifat spesifik dan bervariasi bergantung dari mikroalga yang dipanen (ukuran dan muatan permukaan), teknik pemanenan yang digunakan, dan kepadatan sel. Flokulasi dianggap sebagai teknik pemanenan yang menjanjikan secara substansial antara keseimbangan energi dan ekonomi panen (Branyikova, 2018). Flokulasi merupakan unit destabilisasi suspensi akibat penambahan bahan flokulan sehingga diperoleh agregasi partikel (flok). Dalam pengaplikasian flokulasi pada mikroalga, flok biomassa menjadi produk akhir yang terpisah dari cairan. Parameter keberhasilan flokulasi dipengaruhi oleh sifat permukaan sel, konsentrasi sel, pH lingkungan, kekuatan ionik, jenis serta dosis flokulan, serta pengadukan untuk meningkatkan intensitas tumbukan. Sifat flokulan adalah murah, tidak beracun, efektif pada dosis rendah, serta bersifat terbarukan dan berkelanjutan (Branyikova, 2018). Polimer kationik seperti ko-polimer poliakriliamid umumnya digunakan sebagai zat bantu yang ditambahkan di akhir proses pembuatan kertas untuk meningkatkan retensi partikel-partikel kecil (mirip flokulasi) untuk membentuk paper web, namun zat ini tidak bersifat biodegradasi (He, 2016). Penelitian terkait penggunaan pati alami juga telah dilakukan sebelum penggunaan polimer kationik sintetik (Ghernaout, 2012). Pati alami dapat disintetis menjadi flokulan kationik. Khachan (2014) telah melakukan studi penelitian terkait sintetis flokulan pati kationik sebagai alternatif polimer sintetik dalam proses dewatering tubes. Efek flokulasi menggunakan flokulan pati kationik dievaluasi melalui jar test. Beberapa bahan alam mulai ditelusuri potensinya bahkan telah dikembangkan kegunaannya sebagai flokulan seperti kitosan, biji moringa, dan polimer karbohidrat lainnya. Bahan alam lainnya yang melimpah seperti selulosa menjadi potensi menarik untuk ditelusuri dalam penggunaannya sebagai flokulan. Tujuan dari kajian adalah memberikan arah terkait potensi bahan alam berbasis selulosa sebagai flokulan polimer kationik dalam proses pemanenan mikroalga (Chlorella) dan pandangan ekonomi terkait flokulasi.

Mikroalga C. Vulgaris

Chlorella adalah mikroalga hijau dengan sumber klorofil terkaya (klorofil a dan klorofil b) yang termasuk dalam family Chlorellaceae dan bersifat uniseluler. Ukuran sel sebesar 2-8 mikron dan tidak memiliki flagella. Salah satu spesies Chlorella yang banyak diteliti adalah Chlorella vulgaris. Komposisi Chlorella antaralain protein, lemak, polisakarida, klorofil, serta vitamin dan mineral. Protein yang terkandung sebesar 60% asam amino esensial yang berberat molekul rendah. Sebagian besar lemak yang dikandung Chlorella adalah asam oleat, palmitat, dan linolenat dengan produktivitas kandungan lemak berbeda-beda (Rani, 2018). Umumnya berat lemak diperoleh hingga 20% dari berat kering biomassa (Blinova, 2015). Glukosa kompleks dengan kombinasi galaktosa, manosa, ramnosa, N-asetilglukosamid, dan N-asetilgalaktosamin juga ditemukan pada Chlorella dan bersifat imunostimulan. Chlorella juga kaya akan sumber vitamin dan mineral, dalam jumlah makro yaitu alfa-karoten, beta-karoten, vitamin B1, B2, B3, B5, B6, E dan K, sedangkan asam folik, biotin, inositol, kolin, dan vitamin B12 dalam jumlah minor (Rani, 2018). Mohammady (2015) mengkaji terkait potensi Chlorella sebagai sumber bahan baku biodiesel. Chlorella dibudidayakan di bawah pengaruh musim panas pada wilayah Mediterania yaitu di bulan Juli hingga September yang bertemperatur 241C dengan parameter yang divariasikan yaitu konsentrasi, pH, salinitas, serta nitrat. Budidaya Chlorella dilakukan pada Flat Panel Photobioreactor (FPP) dengan dimensi 100 cm x 50 cm x 5 cm. Kandungan lemak total rerata diperoleh sebesar 20% dari berat kering sel dan sebagian besarnya adalah asam lemak jenuh sebesar 61% dan terdiri dari asam palmitat (C16:0) dan stearat (C18:0). Dua jenis asam lemak tersebut akan memberikan bilangan setana dan stabilitas oksidatif yang baik untuk kualitas biodiesel. Di akhir, Mohammady menyimpulkan bahwa perlu dilakukan studi lebih lanjut terkait evaluasi ekonomi pada budidaya skala besar dan proses biorefinerasi minyaknya. Namun hasil yang telah diperoleh patut mempertimbangkan Chlorella sebagai bahan baku produksi biodiesel dalam ketahanan energi. Penelitian lainnya oleh Mallick (2012) yaitu mengoptimasi perolehan lemak dengan membatasi empat variabel krusial

(3)

208

yaitu konsentrasi nitrat (N), fosfat (P), besi (Fe) dan waktu inkubasi. Kultivasi dilakukan melalui dua tahapan yaitu tahap pertama untuk memperoleh densitas sel yang tinggi dilanjutkan tahap kedua sebagai langkah optimasi untuk perolehan lemak. Defisiensi N dilakukan dengan mensubstitusi KNO3 pada media dengan KCl. Defisiensi P dengan mensubstitusi garam mineral Na2HPO4.H2O dan KH2PO4 dengan Na2SO4 dan KCl, sedangkan Fe melalui substitusi FeSO4.H2O dengan Na2SO4. Pada hari ke-7, peningkatan berat lemak yang diperoleh adalah 42,4% dan 40,8% berturut-turut untuk defisiensi N dan P, sedangkan defisiensi Fe dari konsentrasi mula-mula sebesar 0,006 hingga 0,003 g/L di hari ke-12 memberikan berat lemak sebesar 38,9%. Adanya defisiensi N pada batasan tertentu menyebabkan konsumsi NADPH berkurang sehingga menghalangi jalur sintesis asam amino dan menyebabkan akumulasi NADPH berlebih di sel. Keterbatasan P juga meningkatkan daya reduksi sehingga meningkatkan akumulasi lemak pada sel, dan beberapa jalur metabolisme dapat dimodifikasi saat konsentrasi Fe dalam media berubah.

Teknik Flokulasi Dan Flokulan

Mikroalga memiliki muatan permukaan negatif yang dapat memberikan suspensi sel stabil dalam media kultur (Vandamme, 2015). Melalui interaksi flokulan dengan muatan permukaan negatif pada sel yang kemudian dilanjutkan dengan langkah sedimentasi sederhana, dapat memberikan solusi dalam pemanenan dalam volum kultur yang besar. Flokulasi segera terjadi setelah proses destabilisasi dengan melakukan pencampuran cepat antara flokulan dan kultur sel. Flokulan harus memiliki muatan permukaan positif yang disebut sebagai flokulan kationik sehingga proses destabilisasi dapat terjadi.

(a) (b)

Gambar 1 (a). Kultur Sel Mikroalga Sebelum Destabilisasi Dan (b). Endapan Biomassa Setelah Destabilisasi

Aspek flokulasi lainnya selain sifat permukaan sel dan pH adalah tipe dan dosis flokulan, serta pencampuran dan pengadukan yang dapat menambah intensitas tumbukan. Tipe spesies mikroalga juga berperan dalam proses flokulasi, semakin kecil ukuran sel akan berbanding terbalik dengan luas permukaan spesifiknya sehingga memerlukan dosis flokulan yang lebih tinggi (Branyikova, 2018). Aspek-aspek tersebut saling terhubung dan perlu dikaji lebih lanjut untuk memberikan hasil efisiensi flokulasi yang tinggi. Lebih lanjut, flokulan yang dipakai, diharapkan dapat didaur ulang, berasal dari sumber berkelanjutan dan terbarukan, toksisitas rendah, biaya material rendah, dan dapat diproduksi secara besar-besaran. Flok yang terjadi secara spontan akibat usia kultur ataupun dengan pengubahan pH kultur disebut auto-flokulasi. Kondisi pH di atas 9 memberikan perubahan muatan permukaan akibat sekresi dari pelindung ekstraseluler, sedangkan dalam kondisi asam terjadi disosiasi gugus karboksil dan amina pada dinding sel mikroalga sehingga muatan permukaan berubah. Pelepasan EOM (extracellular organic matter) dari sel berperan dalam flokulasi diri sel dengan mengubah muatan permukaan menjadi netral. Pelepasan EOM seiring dengan usia kultur bergantung pada jenis mikroalga, tahap pertumbuhan sel, dan durasi kultur. Auto-flokulasi tidak memerlukan flokulan dan umumnya media dapat didaur ulang, namun prosesnya berjalan sangat lambat sekitar 4 hari hingga diperoleh sedimen biomassa. Hal ini disebabkan karena ukuran sel mikroalga yang kecil dan ringan. Oleh karena itu, untuk mempersingkat perolehan sedimen biomassa umumnya ditambahkan flokulan untuk membentuk flok yang lebih berat. Flokulasi kimiawi menggunakan flokulan anorganik konvensional seperti pemakaian besi sulfat, besi klorida, atau alumunium sulfat, telah banyak dilakukan, namun flokulan anorganik ini memerlukan dosis tinggi dan bersifat mencemari hasil panen (Matter, 2019). Selain karakteristik dosis yang tinggi dan pencemaran hasil panen, keterbatasan lain dari flokulan anorganik adalah sensitif pH tinggi dan efisiensi yang rendah untuk partikel yang halus

(4)

209

(berukuran sangat kecil) (Zhen, 2019). Flokulan anorganik berbasis besi yang berukuran nano dilaporkan mampu dan efisien dalam proses flokulasi yang diikuti dengan pemisahan secara magnetis, namun memiliki stabilitas kimia yang lemah untuk pemanenan mikroalga (Vandamme, 2015). Selain penggunaan flokulan anorganik, flokulan organik polimer berbasis akrilamida dan turunannya juga dipakai dalam flokulasi kimiawi. Poliakrilamida memiliki aktivitas reaksi yang tinggi, kelarutan yang baik dalam air, dan murah. Namun penggunaannya dianggap bersifat karsinogen bagi lingkungan (Zhen, 2019). Beberapa peneliti telah mengembangkan dan mengkaji penggunaan flokulan alami untuk menggantikan penggunaan flokulan anorganik. Flokulan berbahan biopolimer alam dinilai lebih aman untuk produk biomassa. Kitosan (poli D-glukosamin) merupakan biopolimer kationik alami yang efisien namun harganya relatif mahal. Alternatif lainnya selain kitosan adalah pati kationik yang bertindak sebagai flokulan pada kisaran pH lebih luas dibandingkan kitosan. Pati kationik dapat dibuat dari bahan berbahan dasar pati melalui derivatisasi dengan gugus ammonium kuatener (Branyikova, 2018). Biopolimer lainnya dapat dibuat dari biji tanaman Moringa dan Cassia menjadi tepung dan dikembangkan manfaatnya sebagai flokulan. Biji tanaman Moringa pernah diinvestigasi sebagai agen flokulasi Chlorella vulgaris oleh Teixeira (2012). Biji Moringa dijadikan tepung melalui tahapan mekanis. Tercatat bahwa tepung biji Moringa dapat mencapai aktivitas flokulan yang sebanding dengan alumunium sulfat. Efisiensi flokulasi alumunium sulfat sebesar 72% untuk Chlorella vulgaris pada konsentrasi 2 mg/L dengan waktu sedimentasi 10 menit, sedangkan tepung biji Moringa pada konsentrasi 8 mg/L mencapai efisiensi flokulasi 80% dengan waktu sedimentasi 30 menit. Meskipun dosis tepung biji Moringa empat kali lebih tinggi dibandingkan alumunium sulfat, namun biji Moringa bersifat non toksik, tidak menimbulkan korosi pada proses penyimpanan dan flokulasi, serta memberikan volum sludge yang jauh lebih rendah. Teixeira (2017) melaporkan hasil evaluasinya terkait efisiensi flokulasi Chlorella vulgaris menggunakan cake dan ekstrak biji Moringa. Cake diperoleh dari hasil pengepresan biji Moringa, sedangkan extract dari proses ekstraksi tepung dan cake biji Moringa pada media air garam (saline extract). Penggunaan ekstrak menjadi salah satu cara menghemat flokulan sekaligus memungkinkan daur ulang pemakaiannya. Teixeira (2017) menduga peptida terlibat dalam efek flokulasi sel. Bukti lebih lanjut terkait hadirnya peptida adalah efisiensi flokulasi menurun saat dilakukan pemanasan pada ekstrak. Lainnya adalah studi pemakaian tepung biji Cassia sebagai flokulan. Tepung biji Cassia adalah biopolimer tipe polisakarida dari endosperm spesies tumbuhan polongan. Terlebih dahulu, tepung biji Cassia dimodifikasi melalui skema yang dilaporkan oleh Banerjee (2014) untuk menciptakan sifat kationiknya. Dosis pemakaian tepung Cassia kationik untuk pemanenan Chlorella sebesar 35 mg/L dengan waktu sedimentasi 30 menit. Mekanisme flokulasi terjadi melalui ikatan bridging antar muatan permukaan negatif sel yang mengandung gugus COO- dan muatan positif Cassia karboksilasi membentuk jaringan struktural sehingga flok yang besar dan berat tercipta.

Flokulan Berbasis Selulosa

Selulosa merupakan polimer alam yang melimpah, ketersediaannya murah, dapat terurai secara hayati, dan dapat dibaharui. Sifat fisik selulosa yang menarik dan reaktivitas kimianya menjadi perhatian untuk dikembangkan. Menurut Debashish (2009), penelitian beberapa tahun terakhir telah melakukan modifikasi serat selulosa untuk meningkatkan fungsionalitas dan cakupan penggunaannya. Pemahaman terhadap struktur selulosa dapat menjadi langkah awal dalam mengendalikan modifikasinya. Struktur molekul selulosa berasal dari unit β-D-anhidroglukopiranosa yang saling terkait secara kovalen melalui fungsi asetal antara gugus atom karbon C4 dan atom karbon C1, yang disebut sebagai ikatan β-1,4-glikosidik. Stabilitas kimia molekul selulosa dipengaruhi oleh ikatan β-1,4-glikosidik yang mengalami serangan hidrolitik. Selain sifat fisik dan reaktivitas kimia, struktur makromolekul dari serat selulosa juga mempengaruhi kimiawi molekul selulosa (Debashish, 2009). Struktur makromolekul selulosa menunjukkan polimer yang berantai linier dengan sejumlah besar gugus hidroksil. Gugus hidroksil (-OH) berperan dalam reaksi dan tersubstitusi akibat reaksi. Hubungan β-glukosa pada C1-O-C4 menciptakan linearitas struktur untuk menghasilkan unit selobiosa. Fakta bahwa selulosa memiliki energi kohesif yang tinggi untuk gugus hidroksilnya membentuk jaringan ikatan hidrogen yang luas antara rantai dan di dalam rantai, menjadikan selulosa supramolekul (Debashish, 2009). Selulosa merupakan salah satu flokulan polimer amfoter yang mengandung grup kation dan anion. Kinerja flokulasi dari polimer amfoter berkaitan dengan dua mekanisme utama. Pertama, netralisasi muatan negatif partikel dengan muatan positif pada gugus polimer amfoter. Kedua, bridging intermolekular antar muatan negatif gugus polimer amfoter dengan muatan positif rantai polimer lainnya. Melalui mekanisme tersebut, partikel akan terkumpul dan ditingkatkan agregasinya oleh polimer amfoter sehingga tercipta flok (Kono, 2014). Ali (2013) memodifikasi bahan selulosa pada batang kapas melalui reaksi karboksimetilasi sehingga menghasilkan carboxymethyl cellulose (CMC).

(5)

210

Sintesis CMC meliputi reaksi dengan sodium hidroksida (NaOH) dilanjutkan reaksi dengan asam monoklorasetat. CMC diaplikasikan sebagai flokulan untuk pengolahan limbah cair industri dengan variasi dosis 20-80 mg/L. Kapasitas adsorpsi teramati pada dosis MCC sebesar 70 mg/L dengan efisiensi penyisihan kekeruhan sebesar 63,7% dengan pH sampel sebesar 7. Efisiensi fokulasi akan berubah sesuai dengan komposisi air limbah. Kono (2015) melakukan produksi cellulose acetate (CA) melalui esterifikasi gugus hidroksil selulosa dan anhidrida asetat, dengan kehadiran asam asetat sebagai solven dan asam sulfat sebagai katalis. Sifat kelarutan dan viskositas dari CA, berkaitan dengan derajat substitusi (DS) yang dpat diukur menggunakan NMR Spektroskopi. Solubilitas CA dengan DS sebesar 2-2,5 dapat larut dalam aseton, dioksan, dan metil asetat (Fischer, 2008). Turunan selulosa lainnya yaitu quaternized cellulose (QCs) memiliki gugus ammonium tersier yang larut dalam air. Sifat kationik QCs berpotensi dalam proses flokulasi partikel koloid yang permukaannya bermuatan negatif. Sintesis QCs meliputi pelarutan selulosa pada larutan urea/NaOH dan direaksikan dengan EPTMAC (2,3-epoxypropyltrimethylammonium chloride) sebagai reagen eterifikasi. QCs diaplikasikan untuk flokulasi limbah zat warna. Mekanisme flokulasi melalui interaksi elektrostatis antara zat warna anionik dan rantai QCs kationik. QCs yang terproduksi memiliki nilai DS yaitu 0,56 (QCs-1), 0,84 (QCs-2), dan 1,33 (QCs-3). Kemampuan flokulasi meningkat dengan peningkatan dosis flokulan hingga nilai optimal. Masing-masing QCs mencapai dosis optimal berturut-turut 0,4; 0,3; dan 0,2 g/L. Hal ini menunjukkan bahwa nilai DS mempengaruhi flokulasi. QCs-3 dilakukan daur ulang dan digunakan kembali dalam proses flokulasi. Hasil yang diperoleh ialah tidak ada penurunan performa yang signifikan setelah lima kali siklus. Kemampuan daur ulang mendukung pengurangan biaya operasi (Kono, 2016). Beberapa tahun terakhir, aplikasi selulosa lainnya yaitu nanocrystal cellulose (CNCs) menjadi perhatian karena memiliki sifat terbarukan, mudah terdegradasi, densitas yang rendah, kekuatan tarik tinggi, dan luas permukaan tinggi. Luas permukaan yang tinggi dapat dimodifikasi untuk menciptakan situs aktif untuk flokulasi dan memungkinkan pembentukan flok pada konsentrasi rendah. Morantes (2019) melakukan evaluasi kapasitas flokulasi CNCs kationik dalam proses pengolahan air. CNCs dikationisasi dengan EPTMAC via hidrolisis alkali. Media dasar berupa CHPTAC (3-chloro-2-hydroxypropyltrimethylammonium chloride) diperlukan untuk aktivasi gugus hidroksil sekaligus pembelahan separuh dari gugus sulfat untuk membentuk gugus fungsi epoksi reaktif. Pada akhirnya, tercipta reaksi nukleofilik antara gugus alkali CNCs dengan gugus epoksi reaktif EPTMAC yang menghasilkan CNCs kationik. Hasil nilai DS optimal dari CNCs kationik adalah 0,23. CNCs kationik menawarkan stabilitas flokulasi pada pH 2-12. CNCs kationik mampu menurunkan kekeruhan sebesar 99,7% dengan dosis lebih rendah sebesar 2 ppm dibandingkan flokulan komersil. Lainnya adalah selulosa magnetik yang disintesis dengan kombinasi antara selulosa dan bubuk nanopartikel magnetik, yang ditambahkan glutaraldehida. Glutaraldehida sebagai agen pengikat silang polimer (crosslinking). Crosslinking merupakan teknik modifikasi permukaan untuk mengatasi kekurangan aplikasi selulosa. Penambahan 1,5 ml dari agen crosslinking memberikan penghilangan kekeruhan optimal sebesar 74,5% (Noor, 2018). Sintesis selulosa magnetik dibatasi oleh agen crosslinking yang tersedia.

Pandangan Ekonomi Terkait Flokulasi

Hingga saat ini, produksi mikroalga cenderung dinilai masih sangat mahal. Menurut Vandamme (2013), flokulasi menjadi bagian dari proses pemanenan yang diikuti dengan pengeringan biomassa. Penting bahwa saat flokulasi tercipta volum sludge mikroalga yang rendah. Selain itu, flok yang terbentuk juga harus memiliki laju sedimentasi yang tinggi. Teknologi flokulasi dengan terciptanya flok yang mengendap dengan cepat, maka akan membutuhkan unit pemanenan yang lebih kecil dan menurunkan biaya investasi. Meskipun teknik flokulasi menunjukkan konsumsi energi minimum dibandingkan teknik pemanenan lainnya, namun menciptakan biaya flokulan dan biaya tidak langsung yang mungkin memberikan dampak pada unit operasi lain (misal adanya kontaminasi). Fasaei (2018) menyatakan bahwa biaya pemanenan mencapai 3-15% dari biaya produksi biomassa mikroalga. Biaya pencampuran juga perlu dipertimbangkan saat proses flokulasi akan dilakukan pada skala komersial. Selanjutnya, alat komersil aplikatif dalam proses flokulasi disampaikan oleh Lee (2010) berupa baffled hydraulic flocculator (BHF). BHF dipertimbangkan karena memiliki konstruksi sederhana, perawatan yang rendah, tidak menyebabkan korsleting selama proses, dan yang paling penting adalah menyediakan efisiensi energi pencampuran.

(6)

211

KESIMPULAN DAN PERSPEKTIF MASA DEPAN

Dari hasil kajian, penulis menyimpulkan bahwa sumber selulosa melimpah selain dari tanaman kayu dan kapas, dapat juga diperoleh dari limbah pertanian ataupun limbah industri pengolahan hasil pertanian. Selain itu, potensi selulosa juga mulai dikembangkan sebagai flokulan pada pengolahan air limbah. Kesamaan sifat permukaan antara partikel limbah dan mikroalga yaitu bermuatan negatif, cocok untuk dilakukan flokulasi menggunakan flokulan bermuatan positif (kationik). Keterbatasan penggunaan selulosa mengharuskannya untuk dilakukan modifikasi pada permukaannya. Perlu langkah pemahaman kimia terhadap struktur selulosa untuk melakukan modifikasi yang sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, produksi flokulan selulosa kationik harus memperhatikan nilai dari derajat substitusi (DS). Nilai DS akan memengaruhi sifat kelarutan selulosa yang menunjukkan mudah atau tidak penggunaannya dalam larutan untuk proses flokulasi.

Dari segi ekonomi, flokulasi menjadi pilihan yang masih unggul dari segi konsumsi energi, terlebih lagi pada volum yang besar. Namun penting untuk menambahkan kajian biaya operasional terkait flokulan, antaralain bahan baku produksi flokulan, kemudahan produksi flokulan, dosis dan harga flokulan.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zeenat M., dkk. 2013. Polymeric Cellulose Derivative: Carboxymethyl-Cellulose As Useful Organic Flocculant Against Industrial Waste Waters. Advancements in Research and Technology, 2: 14-20.

Banerjee, Chiranjib, dkk. 2014. Study of Algal Biomass Harvesting Through Cationic Cassia Gum, A Natural Plant Based Biopolymer. Bioresource Tehcnology, 151: 6-11.

Barros, Ana I., dkk. 2015. Harvesting Techniques Applied to Microalgae: A Review. Renewable and Sustainable Energy Review, 41: 1489-1500.

Blinova, Lenka, Alica Bartosova, dan Kristina Gerulova. 2015. Cultivation of Microalgae (Chlorella vulgaris) For Biodiesel Production. Research Paper of Faculty of Materials Sci, and Technology in Trnava, 23, 36: 87-95.

Branyikova, Irena, dkk. 2018. Harvesting of Microalgae by Flocculation. Fermentation, 4, 93: 1-12.

Christenson, Logan dan Ronald Sims. 2011. Production and Harvesting of Microalgae for Wastewater Treatment, Biofuels, and Bioproducts. Biotechnology Advances Journal, 29: 686-702.

Debashish, Roy, Mona S., James T. Guthrie, dan Sebastien Perrier. 2009. Cellulose Modification by Polymer Grafting: A Review. Chemical Society Review, 38: 2046-2064.

Fasaei, F., dkk. 2018. Techno-economic Evaluation of Microalgae Harvesting and Dewatering Systems. Algal Research, 31: 347-362.

Fischer, Steffen, dkk. 2008. Properties and Applications of Cellulose Acetate. Macromol. Symp., 262: 89-96.

Ghernaout, Djamel dan Badiaa Ghernaout. 2012. Sweep Flocculation as A Second Form of Charge Neutralisation – A Review. Desalination and Water Treatment, 44: 15-28.

He, Ming., Cho, Byoung-Uk, Lee, Yong Kyu, dan Won, Jong Myoung. 2016. Utilizing Cellulose Nanofibril as an Eco-Friendly Flocculant for Filler Flocculation in Papermaking. BioResources, 11, 4: 10296-10313.

Khachan, M.M., S.K. Bhatia, R.A. Bader, D. Cetin, dan B.V. Ramarao. 2014. Cationic Starch Flocculants As An Alternative To Synthetic Polymers in Geotextile Tube Dewatering. Geosyntethic International 21, 2: 119-136.

(7)

212

Kono, Hiroyuki dan Ryo Kusumoto. 2014. Preparation, Structural Characterization, and Flocculation Ability of Amphoteric Cellulose. Reactive and Functional Polymers, 82: 111-119.

Kono, Hiroyuki, Hisaho Hashimoto, dan Yuuichi Shimizu. 2015. NMR Characterization of Cellulose Acetate: Chemical Shift Assignments, Substituent Effects, and Chemical Shift Additivity. Carbohydrate Polymers, 118: 91-100.

Kono, Hiroyuki. 2016. Cationic Flocculants Derived from Native Cellulose: Preparation, Biodegradability, and Removal of Dyes in Aqueous Solution. Division of Applied Chemistry and Biochemistry, National College of Technology, Nishikioka. Mallick, Nirupama, Shovon Mandal, Amit Kumar Singh, Moumita Bishai, dan Achana Dash. 2012. Green Microalga Chlorella vulgaris As Potential Feedstock For Biodiesel. Journal of Chem Technol Biotechnol, 87: 137-145.

Matter, Ibrahim A., dkk. 2019. Flocculation Harvesting Techniques for Microalgae: A Review. Applied Sciences Journal, 9, 3069.

Mohammady, Nagwa G.E., dkk. 2015. Chlorella sp. As A Source of Biodiesel and By-products: An Integral Study of Med-Algae Project,; Part A. International Journal of TechnoChem Research, 1, 3: 144-151.

Morantes, Dana, Efren Munoz, Doron Kam, dan Oded Shoseyov. 2019. Highly Charged Cellulose Nanocrystals Applied as A Water Treatment Flocculant. Nanomaterial, 9, 272: 1-13.

Noor, Mohamed Hizam Mohamed, Norzita Ngadi, dan Wong S. Luing. 2018. Synthesis of Magnetic Cellulose as Flocculant for Pretreatment of Anaerobically Treated Palm Oil Mill Effluent. Chemical Engineering, 63: 589-594.

Rani, Komal, Dr. Nidhi Sandal, dan PK. Sahoo. 2018. A Comprehensive Review on Chlorella – Its Composition, Health Benefits, Market and Regulatory Scenerio. The Pharma Innovation Journal, 7, 7: 584-589.

Teixeira, C.M.L.L., Fabiana Vasconcelos Kirsten, dan Pedro Celco N. Teixeira. 2012. Evaluation of Moringa oleifera Seed Flour as a Flocculating Agent For Potential Biodiesel Producer Microalgae. J. Appl Phycol, 24: 557-563.

Teixeira, C.M.L.L. dan P.C.N. Teixeira. 2017. Evaluation of The Flocculation Efficiency of Chlorella vulgaris Mediated by Moringa oleifera Seed Under Different Forms: Flour, Seed Cake and Extracts of Flour and Cake. Brazilian Journal of Chemical Eng., 34, 1: 65-74.

Vandamme, D., Imogen Foubert, dan K. Muylaert. 2013. Flocculation as a Low-cost Method For Harvesting Microalgae for Bulk Biomass Production. Trends in Biotechnology, 31, 4: 233-239.

Vandamme, D., dkk. 2015. Highly Charged Cellulose-Based Nanocrystals As Flocculants for Harvesting Chlorella vulgaris. Journal of Bioresource Tehcnology, 194: 270-275.

Wong, Y.K., dkk. 2017. Growth Medium Screening for Chlorella vulgaris Growth and Lipid Production. Journal of Aquaculture and Marine Biology, 6 (1), 00143.

Zhen, Wang, H. Wenxiu, Y. Guihua, Yu. L., dan Liu S. 2019. Preparation of Cellulose-Base Amphoteric Flocculant and Its Application in The Treatment of Wastewater. Journal of Carbohydrate Polymers, 215: 179-188.

Gambar

Gambar 1 (a). Kultur Sel Mikroalga Sebelum Destabilisasi Dan (b). Endapan Biomassa Setelah Destabilisasi

Referensi

Dokumen terkait

Standar Operasi Prosedur Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan Republik Indonesia berisi ketentuan penyelenggaraan dan pengelolaan, peraturan dan tata

Pengujian record pada Zoneminder, ketika kondisi terang menghasilkan berkas video dengan ukuran 1MB dengan besaran FPS 25fps dan durasi selama 30 detik, sedangkan

Kokas yang berasal dari penyimpanan kokas (Coke Silo) dibawa ka pabrik anoda mentah menggunakan ban berjalan yang disebut belt conveyor dan bucket elevator. Selanjutnya

Yang nantinya sebagai acuan untuk memperoleh analisis yang objektif terhadap data-data dan informasi yang didapat seputar Peraturan Walikota Medan Nomor 34 Tahun 2010

Menurut Danaryanto (2005) konservasi tanah dan air adalah suatu upaya dalam melindungi dan memelihara keberadaan, kondisi dan lingkungan tanah dan air guna

Semakin banyak kopi yang dihasilkan dengan biaya yang rendah dan semakin tinggi harga jual kopi maka keuntungan yang diperoleh PTP Nusantara IX (Persero) Kebun Getas

Penelitian ini akan membangun suatu model Investment Group Decision Support System (IGDSS) dimana basis pengetahuannya dibangun berdasarkan preferensi yang berbeda dari