Sutjipto – Ridwan:
Galeri dengan lukisan yang memikat hati
Galeri lukisan selalu dikemas dalam nuansa yang tenang, hangat dan unik. Galeri yang membuat pengunjung yang berada didalamnya terbius akan keindahan‐keindahan lukisan. Selayaknya sebuah galeri lukisan kedua pasangan cagub dan cawagub ini berbagi peran untuk menampilkan sebuah karya seni yang memikat.
Galeri lukisan yang mampu memikat hati pengunjungnya dihasilkan dari perpaduan yang manis antara pelukis dan kuratornya, keduanya seakan tanpa disadari membagi perannya dengan tujuan yang sama. Karena kehadiran pelukis yang berperan untuk menyajikan ide‐ide imajinatifnya dalam goresan‐goresan kuas untuk menjadikannya sebuah lukisan, dan kehadiran promotor yang berperan untuk menempatkan konteks‐konteks lukisan tersebut dalam ruang pemahaman sosial, politik dan budaya secara lebih luas dan progresif. Terlebih lagi, peran keduanya ini memiliki tujuan yang sama, memiliki galeri lukisan yang ramai pengunjung dengan karya‐karya seni berkualitas didalamnya Selayaknya hubungan antara pelukis dan kuratornya dalam sebuah galeri lukisan, dapat digunakan untuk menggambarkan perpaduan antara Sutjipto dan Ridwan Hisjam. Sutjipto dapat diibaratkan sebagai seorang pelukis yang bertugas untuk mengisi galeri tersebut. Diperlukan ide‐ide yang unik untuk mengisi galeri tersebut, dan Sutjipto adalah individu yang tepat untuk itu. Harmonisnya lingkungan sekitar dirasakan sebagai energi tersendiri baginya, “… waktu kecil itu rasanya dimanjakan oleh orang di seluruh lingkungan desa”, kata Sutjipto dengan berbinar‐binar. Ungkapannya tentang masyarakat desa yang guyub, relasi‐relasi personal yang kuat merupakan dunia yang ideal bagi Sutjipto, yang memberinya energi untuk menciptakan ide‐ide imajinatif. Seakan berbagi peran dengan Sutjipto, Ridwan Hisjam dapat diibaratkan sebagai sang kurator dalam galeri tersebut. Nalurinya sebagai pengusaha mengharuskannya
untuk peka terhadap peluang‐peluang yang ada di depannya. Bagi Ridwan dengan mengoptimalisasikan setiap potensi dapat digunakan untuk mengatasi masalah. Hal ini nampak dari keputusannya untuk membangun perumahan ketika jaman Menpera Akbar Tandjung, saat itu dia melihat peluang untuk menciptakan perumahan sederhana, dan pada akhirnya dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan atas perumahan. Layaknya seorang kurator, Ridwan tahu betul bagaimana menempatkan gagasan‐ gagasan yang diciptakan oleh Sutjipto dari kejeliannya membaca peluang.
Seorang pelukis ketika memutuskan untuk memulai melukis dan apa yang akan dilukisnya lebih didasari oleh pertimbangan akan nilai‐nilai yang diyakininya. Begitu pula dengan dengan Sutjipto, selayaknya seorang pelukis dalam setiap keputusan yang diambilnya Sutjipto lebih mengedepankan nilai‐nilai yang diyakininya, contohnya ketika dia memilih untuk tetap berkiprah di PNI walaupun harus mengorbankan pekerjaannya. Sedangkan Ridwan, dalam setiap pengambilan keputusannya lebih mengedepankan alasan‐alasan yang bersifat rasional. Selain itu, keputusan yang diambil bersifat spontan sesuai dengan situasi yang dihadapi. Ini merupakan ciri khas seorang kurator yang selalu menggunakan pertimbangan tepat guna dalam setiap kali mengemas sebuah galeri. Perpaduan keduanya akan nampak ketika dihadapkan pada tuntutan untuk menghasilkan sebuah karya lukisan, disatu sisi pelukis lebih menikmati proses yang berpijak pada nilai‐nilai diyakininya, dilain pihak sang kurator lebih mempertimbangkan sisi efisiensi dan produktivitas. Bagi kurator, kesetiaan akan nilai‐nilai sebagai sesuatu yang memberatkan dan membuatnya kehilangan kelincahan mengoptimalkan peluang. Galeri lukisan yang dihasilkan keduanya, akan dapat menjangkau berbagai segmentasi pasar. Tanpa mengurangi keunikan dan idealisme dari sang pelukis, sang kurator dengan cerdik menempatkan karya‐karya yang dihasilkan pelukisnya, sehingga dapat dinikmati oleh banyak orang.
Seperti seorang kurator yang berusaha untuk memperkenalkan sebuah karya, maka dia akan menggunakan pendekatan yang persuasif, mengajak orang untuk berkenalan, membuka pembicaraan menurutnya sebagai cara yang digunakan untuk menarik pengunjung galerinya, terutama dengan perpaduan gaya bicaranya yang
energik, membuat Sutjipto sebagai pelukis merasa yakin bahwa pasangannya mampu mengkomunikasikan apa yang menjadi ide atau gagasannya. Selayaknya seorang pelukis di sebuah galeri dia lebih terkesan bekerja di balik layar, dan sang kurator sebagai orang yang bertugas menarik pengunjung untuk menikmati galerinya, begitulah pembagian peran keduanya untuk membuat galerinya ramai didatangi pengunjung.
Tidak hanya sekedar menerima karya lukisan dari pelukis begitu saja, Kurator akan mendorong dan terus memotivasi sang pelukis untuk menghasilkan karya‐karya yang terbaik. Selain itu, dirinya terkadang juga memberikan saran atas karya seperti apa yang akan diciptakan, hal ini bukan karena kurator ingin mencampuri porsi dan wewenang pelukis, akan tetapi lebih mengarah pada saran atas pertimbangan‐ pertimbangan praktis terhadap sebuah karya, contohnya tren pasar yang berkembang, segmentasi pasar yang akan dibidik dari galerinya nanti, dan hal ini dapat digunakan pertimbangan bagi pelukis disamping nilai‐nilai yang tetap dipegang teguh pelukis tersebut.
Hal ini akan nampak bagi Sutjipto dan Ridwan ketika menghadapi sebuah perbedaan pendapat. Sutjipto mengangankan sebuah situasi harmonis dimana segala sesuatu bisa berjalan sesuai dengan nilai‐nilai yang diyakininya. Perbedaan pendapat akan dihadapinya berdasar nilai‐nilai tersebut. Sebaliknya, Ridwan lebih senang membicarakan perbedaan tersebut panjang lebar disertai alasan‐alasan praktis tentang pendapatnya. Bagi Sutjipto alasan praktis ini tidak selamanya bisa diterima, tetapi dengan pendekatan yang cerdas, alasan ini akan tampak sesuai dengan nilai‐nilai sang pelukis. Seperti seorang pelukis yang menerima saran dari kuratornya dan mengakomodir ke dalam lukisannya, tanpa harus kehilangan taste dari lukisannya. Ketika harus dihadapkan pada kerja tim, kedua pasangan ini akan memberikan warnanya masing‐masing dalam tim tersebut. Sutjipto memberi warna yang imajinatif, kaya akan gagasan‐gagasan yang orisinal. Dengan pendekatannya ramah dan hangat, warna yang ditampilkannya akan menginspirasi orang lain untuk bertindak atau melakukan sesuatu yang berarti.
Sedangkan Ridwan Hisjam menyajikan warna yang berbeda. Sebagai individu yang penuh dengan semangat dan pandai melihat peluang‐peluang di sekitarnya, Ridwan mengkomunikasikan setiap peluang itu sebagai harapan. Dimana ada harapan pasti ada semangat. Warna yang diberikannya kepada tim adalah pengobar semangat atas peluang yang ada.
Hubungan keuda perean ini sangatlah erat dan saling melengkapi. Sebagai seorang konseptor pelukis memiliki visi ke depan pada setiap karya‐karyanya, sedangkan kurator selalu berada disamping pelukis untuk memberi semangat bahwa ada peluang di depan mata untuk menyajikan sebuah karya, dan menjadikannya sebagai karya yang memberi nilai guna secara praktis.
Galeri dengan pengunjungnya
Ramai atau sepinya pengunjung dari sebuah galeri lukisan ditentukan oleh bagaimana kedua orang ini memainkan perannya. Sang pelukis menumpahkan semua imajinasinya dalam kain kanvas sehingga bisa menciptakan karya‐karya memikat yang membuat pengunjung dapat menikmati keindahannya. Sementara promotor galeri dengan pesona dan kelihaiannya dalam berinteraksi dengan orang lain mampu memikat pengunjung untuk datang dan merasa nyaman di galeri mereka.
Keduanya dapat membuat galeri ramai, jika keduanya dapat bekerja sama secara sinergis. Sang promotor bisa melihat sisi unik lukisan karya sang pelukis. Sisi unik tersebut dikemas dan ditampilkan kepada publik dengan cara yang menarik dan spektakuler. Upaya menjadikan jenis lukisan sang pelukis menjadi sebuah pusat perhatian dan sumber inspirasi bagi orang banyak. Sang promotor bekerja mencapai target dengan tetap memperhatikan sisi intimasi dan romantik pelukis. Upaya‐upaya mendengarkan, membangun kepercayaan dan relasi yang nyaman menjadi kunci dasarnya.
Sementara, sang pelukis bisa konsentrasi dalam berkarya. Menciptakan lukisan‐ lukisan yang memikat. Menikmati seluruh proses penciptaan lukisan krayanya dengan penuh dan utuh. Tapi perlu tetap membuka ruang‐ruang komunikasi dengan orang‐
orang di luar orang‐orang dekatnya, terutama dengan promotor sebagai rekan yang akan bekerja dengannya. Gambaran besar lukisannya dikomunikasikan panjang lebar agar pasangannya mengerti benar lukisannya. Ketika paham, sang promotor akan lebih mudah menarik pengunjung ke galeri. Sang pelukis juga perlu lebih terbuka dan mendengarkan sang promotor. Bagaimanapun, kecermatan sang promotor membaca situasi adalah sisi yang patut dihargai.
Sosok Sutjipto dan Ridwan adalah individu yang memiliki cara pandang yang unik pada lingkungan di sekitar mereka. Keduanya terbuka akan ide baru, mereka cenderung mudah menerima atau gagasan‐gagasan yang belum bisa dibuktikan atau dirasakan. Informasi‐informasi abstrak tersebut akan mereka olah untuk menjadi suatu konsep‐ konsep baru. Tetapi mereka juga harus tetap awas pada kondisi dan perubahan nyata yang terjadi di lingkungan mereka. Mereka juga harus memperhatikan detil‐detil dari kondisi yang dihadapi agar tidak terjebak pada sebuah gambaran atau ide yang sifatnya belum konkrit.
Sebagaimana dalam setiap hubungan, banyak tantangan yang harus dihadapi oleh kedua peran ini untuk bisa menampilkan suatu kolaborasi yang apik. Apa yang mendasari mereka dalam mengambil sebuah keputusan, bagaimana cara mereka mengutarakan pendapat dan maksud masing, bisa menjadi sebuah “nada sumbang” dalam untaian nada yang berupaya mereka rangkai.
Si pelukis bisa terlalu berkutat dengan idealisme nilai‐nilai yang diyakininya dan terkadang mengacuhkan harapan masyarakat luas. Sepenuhnya memperhatikan imajinasi‐imajinasi yang tergambarkan dalam bayangannya. Pelukis kemudian dapat kehilangan koneksi dengan kenyataan di dunia luar. Selain itu, keyakinan akan nilai‐nilai idealisme yang kuat terkadang menjadi penghalang komunikasinya dengan sang kurator.
Di lain pihak, sang promotor lebih mendasarkan keputusan‐keputusan yang dia buat berdasarkan logika dan sarionalitas. Ini dilakukannya untuk mencari dan memanfaatkan peluang‐peluang yang ada. Kerangka berpikir ini bisa membuatnya terlalu mendikte pelukis dalam berkarya, menyebabkan rekannnya menjadi tidak
nyaman dan justru kehilangan produktivitasnya dalam menciptakan suatu karya atau gagasan. Promotor yang tidak memberikan celah bagi pelukisnya untuk berimajinasi membuat karya yang dihasilkan pun asal‐asalan, cenderung mengikuti pasar dan tidak memiliki “taste” yang khas.