A. Implementasi Program
Suatu kebijaksanaan baik berupa UU, PP, Keppres, Inpres maupun instruksi menteri, belum akan menimbulkan akibat tertentu dalam masyarakat sebelum keputusan itu dilaksanakan. Karena implementasi kebijakan bukanlah sekedar menyangkut mekanisme penjabaran keputusan politik kedalam prosedur-prosedur rutin melalui saluran birokrasi, tetapi implementasi menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh manfaat dari kebijaksanaan itu, sehingga implementasi itu penting. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Udoji dalam Wahab (2004) bahwa :
The execution of policies is as important if not more important than policy-making. Policies will remain dreams on blueprint in file jackets unless they are implemented (Pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan).
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa implementasi merupakan masalah dasar dalam pembangunan, baik itu dalam bentuk program maupun dalam bentuk proyek-proyek secara nyata. Menurut Wojowasito dalam kamus Inggris-Indonesia, Indonesia Inggris menyatakan bahwa implementasi berasal dari kata "implementation" yang berarti pelaksanaan perjanjian, hal menepati janji, dan hal melengkapi perkakas (Wojowasito, 2006). Sementara itu Van Meter merumuskan proses implementasi ini sebagai :
Those actions by public or private individuals (or Groups) that are directed at the achievement of objectives set forth inprior decisons (Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan (Van Meter dalam Wahab, 2004).
Dari pengertian di atas, pelaksanaan atau implementasi berarti melaksanakan apa yang telah ditetapkan, digariskan sebelumnya dalam suatu perencanaan. Dengan kata lain pelaksanaan berarti "action" atau tindakan nyata atas rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Westra (1982) mendefinisikan program sebagai, “Seperangkat aktivitas yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan atau sejumlah tujuan dan maksud dari suatu rencana pembangunan yang spesifik”. Sedangkan Djamaluddin (1977) memberikan pengertian program adalah :
Jenis rencana yang pada dasarnya sudah menggambarkan rencana yang konkrit. Konkritnya rencana itu disebabkan karena didalamnya telah tercantum bukan saja tujuannya, kebijaksanaan dan prosedur atau aturan-aturan akan tetapi disertai pula dengan budget atau anggaran. Dengan demikian program itu merupakan pula usaha untuk mengefektifkan rangkaian tindakan yang harus dilaksanakan menurut bidang tertentu. Dari beberapa pengertian diatas maka pada dasarnya program adalah suatu jenis rencana yang berisikan rangkaian aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu. Suatu program akan mendukung implementasi apabila didukung oleh beberapa aspek. Suatu program yang baik menurut I. Nyoman Beratha dalam Westra (1982) harus memenuhi syarat-syarat tertentu, dimana setiap program tersebut harus memuat tentang :
1. Tujuan yang dirumuskan dengan jelas.
2. Penentuan dari peralatan terbaik untuk mencapai tujuan tersebut.
3. Suatu kerangka kebijakan yang konsisten dan atau proyek yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan seefektif mungkin.
4. Pengukuran dengan ongkos-ongkos yang diperkirakan dibandingkan dengan keuntungan.
Proyek merupakan operasional dari program, berisi kegiatan-kegiatan yang diusahakan melalui penyediaan sumber dana, manusia dan peralatan atau barang (Nyoman Beratha dalam Westra, 1982). Sedangkan implementasi program adalah suatu usaha untuk merealisir pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu rencana dan kebijaksanaan yang telah digariskan terlebih dahulu, yang meliputi penggunaan macam-macam sumber daya dalam suatu pola yang sudah ditetapkan. Untuk mencapai tujuan itu implementasi ini harus berjalan secara efektif. Wojowasito dalam kamus Inggris-Indonesia, Indonesia Inggris menyatakan bahwa efektif berasal dari kata "effective". Batasan efektivitas yang terdapat dalam Ensiklopedi Administrasi, adalah " keadaan yang menunjukkan adanya derajat pencapaian tujuan yang telah ditentukan".
Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan
sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya (Siagian, 2001). Efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya. Efektif tidaknya suatu program tidak hanya dipandang dari hasil akhirnya saja, tetapi juga seberapa jauh tujuan operasionalnya dapat dicapai. Dengan kata lain tujuan operasionalnya akan mempengaruhi tujuan akhir yang akan diwujudkan (Siagian, 2001), sehingga efektivitas implementasi program adalah keberhasilan proses pelaksanaan semua rencana program untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
Menurut Syukur (1988), implementasi program akan berjalan efektif apabila didalam proses implementasi program tersebut terdapat 3 (tiga) unsur pendukung yang penting, yaitu (1) Adanya program (kebijaksanaan) yang akan dilaksanakan; (2) Target Group, yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran yang diharapkan akan menerima manfaat dari program tersebut, perubahan atau peningkatan; (3) Unsur Pelaksana (Implementator) baik organisasi, atau perorangan yang bertanggungjawab dalam pengelolaan, pelaksanaan, dan pengawasan proses implementasi tersebut.
B. Usaha Garam Rakyat
Garam adalah suatu kumpulan senyawa kimia dengan bagian terbesar terdiri dari natrium klorida (NaCl) dengan pengotor terdiri dari kalsium sulfat (gips) – CaSO4, Magnesium sulfat (MgSO4), Magnesium klorida (MgCl2), dan lain-lain
(Depperindag, 2006). Apabila air laut diuapkan maka akan dihasilkan kristal garam, yang biasa disebut garam krosok. Oleh karena itu garam dapur hasil penguapan air laut yang belum dimurnikan banyak mengandung zat-zat pengotor seperti Ca2+, Mg2+, Al3+, Fe3+, SO4-, I- dan Br- (Depperindag, 2006). Untuk
meningkatkan mutu garam dapat dilakukan dengan cara kristalisasi bertingkat, rekristalisasi, dan pencucian garam. Cara lain untuk meningkatkan kualitas garam adalah pemurnian dengan penambahan bahan pengikat pengotor. Tanpa adanya proses pemurnian, maka garam dapur yang dihasilkan melalui penguapan air laut masih bercampur dengan senyawa lain yang terlarut, seperti MgCl2, MgSO4,
Garam dihasilkan dengan cara menguapkan air laut dalam petak-petak di pinggir pantai. Lahan pembuatan garam dibuat berpetak-petak secara bertingkat, sehingga dengan gaya gravitasi air dapat mengalir ke hilir kapan saja dikehendaki. Setiap liter air laut yang diuapkan sampai kering mengandung 7 mineral (CaSO4,
KCl, MgSO4, MgCl2, NaBr, NaCl, dan air) dengan berat total 1.025,68 g. Setelah
dikristalkan pada proses selanjutnya akan diperoleh garam dengan kepekatan 16,7528,50
Be setara dengan 23,3576 g. Untuk menghasilkan garam dapur hanya akan diperoleh 40,97% dari jumlah bahan baku air laut semula (Burhanuddin, 2001).
Daerah potensial penghasil garam mempunyai persyaratan sebagai berikut : (1) memiliki ketersediaan bahan baku garam (air laut) yang sangat cukup, bersih dan tidak tercemar air tawar; (2) memiliki iklim kemarau yang cukup panjang (minimal 45 bulan), dengan curah hujan relatif kecil (1.0001.400 mm/tahun); (3) memiliki dataran rendah dengan tingkat kemiringan kecil dan permeabilitas (kebocoran) tanah yang rendah; mempunyai suhu udara tinggi dan penyinaran matahari yang cukup, tidak tertutup mendung/berkabut (Bakosurtanal, 2010).
Pembuatan garam di Indonesia 70% dilakukan oleh rakyat dilahan garam yang relatif sempit (0,53 Ha) dengan teknologi pengolahan dan peralatan sederhana. Proses Pembuatan garam rakyat dimulai dari proses penampungan air laut/bozeem yang berfungsi untuk tempat persediaan air laut dan mengendapkan kotoran fisik air laut, setelah itu dilakukan proses pemekatan (dengan menguapkan airnya) dan pemisahan garamnya (dengan kristalisasi). Bila seluruh zat yang terkandung diendapkan/dikristalkan akan terdiri dari campuran bermacam-macam zat yang terkandung, tidak hanya Natrium Klorida yang terbentuk tetapi juga beberapa zat yang tidak diinginkan ikut terbawa (impurities). Proses kristalisasi dengan cara menguapkan seluruh air garam yang dimasukkan meja kristal menjadi kering disebut kristalisasi total (Rachman dan Imran, 2011). Sistem pembentukan kristal garam rakyat secara tradisional dilakukan diatas tanah lahan, setelah 5-10 hari kristal garam diambil dari atas tanah. Sistem ini dikenal dengan sistem “madurese”, karena dilakukan oleh petambak garam rakyat di pulau Madura yang sejak jaman kolonial Belanda
ditetapkan sebagai daerah penghasil Garam. Proses produksi garam rakyat dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Garam produksi PT garam lebih bermutu dibanding garam rakyat karena PT Garam mempunyai luas areal produksi garam yang luas. Semakin jauh aliran air laut ke lahan pergaraman, maka tingkat konsentrasi menjadi tinggi. Proses aliran yang panjang juga dilakukan agar unsur-unsur yang tidak diinginkan dalam garam seperti oksidasi besi, magnesium sulfat, magnesium klorida dapat dikurangi, sehingga hanya tersisa unsur NaCl (Natrium Chlorida) yang dibutuhkan dalam garam. Sirkulasi air garam ini akan berujung pada tempat penampungan yang bernama air tua. Air tua ini mengandung konsentrat garam yang tinggi, yaitu 290Be. Apabila konsentrat melebihi dari standar yang ditetapkan, maka akan muncul Magnesium Sulfat, atau yang lebih populer disebut Garam Inggris. Air laut tua kemudian diuapkan, sehingga menjadi kristal-kristal garam. Metode untuk mendapatkan hasil garam Natrium Klorida dengan kemurnian tinggi yang dilaksanakan PT Garam disebut metode kristalisasi bertingkat. Kristalisasi komponen garam oleh PT Garam diatur pada tempat-tempat yang berlainan secara berturut-turut sehingga dapat membentuk komponen garam yang relatif lebih murni. Sistem pembentukan kristal garam yang dilakukan diatas lantai garam yang terbuat sebelumnya selama 30 hari berikut 10 hari waktu pemungutan kristal garam. Sistem ini dikenal dengan sistem portugese, yang digunakan portugis untuk membuat garam di pulau Madura (Rachman dan Imran, 2011). Proses produksi garam PT Garam dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.1 Proses produksi Garam Rakyat (Deperindag, 2006)
3,50Be 5100Be
± 150Be Air Laut Bak Penampungan
Air Laut Areal Penguapan (Peminihan/Evaporasi) Pompa Saluran Air Areal Penampungan Air Tua Areal Kristalisasi Penirisan (Penjemuran) 19200 Be
Gambar 2.2 Proses produksi Garam PT Garam (Deperindag, 2006)
Walaupun potensi lahan pergaraman di Indonesia sekitar 34 ribu Ha, namun Indonesia selalu mengimpor garam untuk memenuhi kebutuhan garam nasional, bahkan garam untuk konsumsi yang dapat dipenuhi produksi garam nasional, tidak lagi dapat dipenuhi sejak tahun 1998, karena adanya banyak persoalan yang dihadapi petambak garam rakyat, baik yang berhubungan dengan produksi dan pemasaran, kebijakan pemerintah maupun permasalahan yang dihadapinya dalam
Air Laut (dipompa)
Bak Penampungan Air Laut (Pengendapan Partikel/Lumpur)
Kolam Pengendapan Air Laut (Penambahan CO2)
Kolam Pengendapan Air Laut II (Penambahan Asam Oksalat)
Kolam Kristalisasi Garam I
Kolam Kristalisasi Garam II
Dibuang Salinitas 35 0/00 atau 3–3,50Be 5–100Be ± 150Be ± 200Be ± 28 0Be > 290Be Waduk/Bozem (serapan) Peminihan I (Penguapan + Endapan S, O, Ca dan K) Peminihan II (Penguapan + Endapan Mg) NaCl 95% NaCl 98% Bittern (Senyawa Mg) Air garam > 290Be
Kolam Penampungan Air Tua ± 250Be Waduk/Bozem
kehidupan sehari-hari seperti :
1. Proses produksi garam rakyat kebanyakan hanya tergantung pada alam (air laut dan cuaca) dengan pengalaman bertambak garam dengan teknologi terbatas. 2. Kurangnya modal petambak garam, dimana pendapatan petambak garam
hanya diterima setiap musim panen garam, sedangkan kebutuhan hidup harus dipenuhi setiap hari. Proses berproduksi garam rakyat mulai dari persiapan lahan, mengalirkan air laut sampai menjadi garam memerlukan waktu 40 hari. Pengeluaran-pengeluaran besar yang tidak dapat ditunggu sampai panen tiba, misalnya kematian dan pesta perkawinan mengakibatkan petambak garam harus menjual produknya ketika masih dalam proses kristalisasi partikel-partikel garam, yang mengakibatkan harga jual garam yang diterima petambak menjadi rendah.
3. Ketergantungan impor garam karena mutu yang lebih baik dan harga yang lebih murah, menjadikan petambak garam enggan untuk melaksanakan produksi karena kalah bersaing. Pemerintah berupaya melindungi produsen skala kecil melalui Peraturan Menteri Perdagangan No.44/M-DAG/per/10/2007 yang mengatur tentang larangan impor selama musim panen garam di Indonesia yang pada tahun 2011 ditetapkan pada bulan Agustus-Nopember, dan kewajiban bagi industri untuk membeli minimal 50% kebutuhannya dari garam rakyat sebelum melakukan impor tidak berjalan efektif. Bulan Juli 2011 yang merupakan batas akhir impor garam di Indonesia masih dilanggar, banyak kapal pengangkut garam impor siap bongkar pelabuhan pada bulan Agustus 2011. Importir garam beralasan garam yang masuk merupakan garam impor yang diijinkan pada bulan Juli 2011 hanya belum masuk dan dipasarkan. Dengan membanjirnya garam impor dengan mutu lebih bagus dengan harga Rp. 450,-/kg menjadikan petambak garam tidak pernah menikmati harga dasar garam yang mengatur pembelian garam rakyat Rp. 750,- untuk garam mutu 1 (satu), Rp. 550,- untuk garam mutu 2 (dua) dan Rp. 350,- untuk garam mutu 3 (tiga).
4. Mutu garam rakyat yang tidak sesuai SNI dengan kandungan NaCL minimal 97%, sehingga pabrik garam tidak bersedia membeli garam rakyat dengan harga sesuai ketentuan pemerintah. Ketidakmampuan petambak, karena luas
lahan produksi yang kecil, menyebabkan petambak hanya dapat berproduksi secara sederhana (kristalisasi total). Rendahnya mutu garam rakyat juga dikarenakan minimnya infrastruktur yang menyebabkan salah satunya ketidaklancaran air laut ke tambak-tambak garam akibat pendangkalan di saluran utama. Teknologi usaha garam yang belum memadai, proses produksi sejak tahap pemasukan bahan baku air laut sehingga proses pengemasan belum mencapai kualitas yang diharapkan sehingga garam yang dihasilkan petambak garam masih berupa garam krosok atau garam kasar yang belum layak konsumsi.
Di Indonesia walaupun merupakan negara kepulauan, tetapi pusat pembuatan garam terkonsentrasi di Jawa dan Madura yaitu di Jawa seluas 10.231 Ha (Jawa Barat 1.159 Ha, Jawa Tengah 2.168 Ha, Jawa Timur 6.904 Ha) dan Madura 15.347 Ha (Sumenep 10.067 ha, Pemekasan 3.075 Ha, Sampang 2.205 Ha). Luas areal yang dikelola oleh PT Garam hanya 5.116 Ha yang seluruhnya berada di pulau Madura yaitu di Sumenep 3.163 Ha, Pemekasan 907 Ha dan di Sampang 1.046 Ha. Lokasi lainnya, yaitu di NTB 1.155 Ha, Sulawesi Selatan 2.040 Ha, Sumatera dan lain-lain 1.885 Ha, sehingga luas areal penggaraman seluruhnya sebesar 30.658 Ha dimana 25.542 Ha dikelola secara tradisional oleh rakyat. Areal garam yang dikelola oleh PT. Garam produksinya dapat mencapai 80 ton/Ha/tahun, sedangkan garam rakyat kurang 60 ton/Ha/tahun (Depperindag, 2006).
Garam proanalisis dan garam farmasi, mempunyai kandungan NaCl > 99%, garam konsumsi mempunyai kandungan NaCl > 94% dan garam untuk pengawetan memiliki kandungan NaCl > 90%. Semakin besar kandungan NaCl-nya, akan semakin kompleks dan rumit proses produksi dan pemurniannya. Garam rakyat yang diproduksi pada 25.542 ha atau sekitar 83,31% dari luas areal pergaraman nasional. Garam rakyat yang pada umumnya dibuat dengan metode total kristalisasi, harus diolah kembali untuk dijadikan garam konsumsi maupun untuk garam industri, karena berkadar NaCl kurang dari 90% dan banyak mengandung pengotor. Garam dapat dimurnikan dengan teknik pencucian dengan menggunakan brine untuk menghilangkan zat pengotor, hanya saja semakin sedikit kandungan NaCl-nya, akan semakin rumit dan mahal biaya pemurniannya.
C. Swasembada Garam Nasional
Untuk mencapai swasembada garam nasional telah dibentuk tim swasembada garam nasional dibawah koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian yang beranggotakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag). Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian selaku koordinator tim bertanggungjawab pada 2 (dua) hal, yaitu menentukan arah pengembangan garam nasional dan mensinergikan kebijakan dan program lintas sektorat dalam pengembangan garam nasional.
KKP bertanggungjawab pencapaian swasembada garam untuk keperluan konsumsi dengan melaksanakan intensifikasi dan revitalisasi lahan produktif, peningkatan produksi dan mutu garam rakyat, pemberdayaan petambak garam, inovasi teknologi produksi dan mutu garam. Kemenperin bertanggung jawab pencapaian swasembada garam untuk industri melalui kegiatan peningkatan mutu garam untuk industri, pemenuhan kebutuhan garam untuk industri CAP dan non CAP, dan pengembangan garam industri dengan inovasi teknologi industri. Kemendag bertanggungjawab pada 2 (dua) hal, yaitu (1) Kebijakan pentarifan dan harga garam melalui penetapan harga dasar garam, kebijakan ini dipandang perlu karena selama ini garam konsumsi dalam negeri, tidak dapat bersaing dengan garam konsumsi impor karena petambak garam di negara pengekspor diberi subsidi oleh pemerintahnya (India dan Cina); (2) Kebijakan penentuan impor garam terutama untuk kebutuhan industri dengan mempertimbangkan keberadaan garam produksi nasional dan menjamin kecukupan garam untuk kebutuhan nasional.
Selain Kementerian yang tergabung dalam tim swasembada garam nasional, Kementerian lain ikut mendukung upaya pencapaian swasembada garam nasional sesuai tugas pokok dan fungsinya. Kementerian Keuangan mempunyai 3 (tiga) tugas pokok berkaitan dengan pencapaian swasembada garam, yaitu (1) mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan swasembada garam; (2) memfasilitasi permodalan usaha; (3) Melaksanakan pengawasan tataniaga garam impor bersama-sama dengan Kementerian Perdagangan. Tugas Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) terkait swasembada garam ada
2 (dua) hal, yaitu (1) Bersama dengan KKP melakukan pemberdayaan usaha garam rakyat melalui pendekatan keorganisasian, disini kerjasama kelompok diantara petambak garam diharapkan dapat membentuk skala ekonomi usaha lebih besar yang berpeluang untuk berkembang; (2) Menciptakan iklim usaha yang mampu memotivasi berkembangnya Koperasi petambak garam ataupun organisasi kelompok kerja baru yang lain.
Kemendagri dan Pemda mempunyai 4 (empat) tugas pokok berkaitan swasembada garam, yaitu : (1) Melalui Pemda melakukan fasilitasi kemungkinan pembukaan lahan garam baru di daerah tersebut (Rencana Tata Ruang Wilayah dan Perijinan); (2) Memberikan dukungan pengamanan terhadap usaha garam rakyat dari kemungkinan terjadinya pencemaran air laut sebagai sumber bahan baku; (3) Memberikan dukungan berupa peningkatan prasarana dan sarana dasar secara kuantitas dan mutu bagi kegiatan pegaraman rakyat; (4) Melakukan pembinaan administrasi dan statistik usaha garam rakyat oleh Kepala Desa dan Camat setempat. Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Perindustrian melakukan pengawasan garam konsumsi dipasar memenuhi mutu garam berdasarkan SNI 01-3556-2000 (minimal 30 mg/Kg).
D. Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat
Menurut Kusnadi (2009) pemberdayaan masyarakat nelayan diartikan sebagai usaha-usaha sadar yang bersifat terencana, sistematik dan berkesinambungan untuk membangun kemandirian sosial, ekonomi, dan politik masyarakat nelayan dengan mengelola potensi sumber daya yang dimiliki untuk mencapai kesejahteraan sosial yang bersifat berkelanjutan.
Diperlukan prasyarat/kondisi dan proses yang sistemik didalam pemberdayaan ekonomi rakyat terutama yang tergolong masyarakat miskin, seperti masyarakat pesisir. Prasyarat/kondisi yang dimaksudkan adalah (1) adanya kondisi pemberdayaan; (2) memberikan kesempatan agar masyarakat semakin berdaya; (3) perlindungan agar keberdayaan dapat berkembang; (4) meningkatkan kemampuan agar semakin berdaya, dan (5) fungsi pemerintah. Sedangkan proses pemberdayaan masyarakat miskin dapat dilakukan secara bertahap melalui 3 (tiga) fase, yaitu (1) fase inisial, dimana pemerintah yang paling dominan dan rakyat
bersifat pasif; (2) fase partisipatoris, dimana proses pemberdayaan berasal dari pemerintah bersama masyarakat; dan (3) fase emansipatoris, masyarakat sudah dapat menemukan kekuatan dirinya sehingga dapat melakukan pembaharuan-pembaharuan dalam mengaktualisasikan dirinya (Soetomo, 2011).
Pada tahun 2009 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengimplemetasikan program pemberdayaan yang merupakan integrasi pemberdayaan pada masing-masing unit eselon satu dalam wadah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM Mandiri-KP). PNPM Mandiri-KP adalah program pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dan pendapatan serta penumbuhan wirausaha kelautan dan perikanan.
PNPM Mandiri-KP tahun 2011 mempunyai 2 (dua) komponen program untuk mengentaskan kemiskinan melalui peningkatan kemampuan dan pendapatan masyarakat serta penumbuhan wirausaha kelautan dan perikanan, yaitu Program Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (PB) Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (Ditjen PT) dan Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (Ditjen P2HP) dan Program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Ditjen KP3K). PUMP merupakan program pemberdayaan bagi peningkatan kesejahteraan dan kesempatan kerja bagi masyarakat nelayan, pembudidaya serta pengolah dan pemasar ikan. Struktur pengorganisasian PNPM Mandiri-KP 2011 dapat dilihat pada Gambar 2.3.
PUGAR adalah kegiatan pemberdayaan yang difokuskan pada peningkatan kesempatan kerja dan kesejahteraan bagi petambak garam dalam rangka mencapai Swasembada Garam Nasional melalui prinsip bottom-up, artinya masyarakat sendiri yang merencanakan kegiatan, melaksanakan dan melakukan monitoring dan evaluasi sesuai dengan mekanisme yang ditentukan. Melalui PUGAR, masyarakat didorong untuk melaksanakan usaha garam, sehingga target produksi untuk memenuhi kebutuhan garam konsumsi iuntuk nasional akan dapat dicapai.
Gambar 2.3 Organisasi PNPM Mandiri-KP 2011 (KKP, 2011b)
Dalam kegiatan pergaraman, terdapat 4 (empat) isu strategik yang menjadi dasar perhatian dalam pelaksanaan Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat, yaitu : (1) isu kelembagaan yang mengakibatkan lemahnya posisi tawar para petambak garam rakyat; (2) isu permodalan yang menyebabkan para petambak garam rakyat masih belum optimal dalam mengakses sumber permodalan baik dari bank maupun non bank sehingga para petambak garam rakyat terjerat pada bakul, tengkulak dan juragan; (3) isu regulasi yang menyebabkan lemahnya keberpihakan dan proteksi pemerintah pada sektor garam rakyat, sehingga usaha garam rakyat menjadi tidak prospektif dan marketable; dan (4) isu tata niaga garam rakyat yang sangat liberalistik dengan tidak adanya penetapan standar kualitas dan harga dasar garam rakyat, sehingga terjadi penyimpangan harga yang sangat tinggi di tingkat produsen petambak garam dan pelaku pasar, serta terjadinya penguasaan kartel perdagangan garam di tingkat lokal.
Upaya-upaya yang dilakukan dalam mengatasi isu strategik tersebut dilakukan melalui 4 (empat) kegiatan PUGAR, yaitu (1) Pemetaan Wilayah Tambak; (2) Peningkatan Kapasitas Petambak Garam; (3) Fasilitasi Kemitraan dalam Usaha Garam Rakyat; (4) Penyaluran Bantuan Langsung Masyarakat. Dalam implementasi program PUGAR tahun 2011 dikelola oleh organisasi yang
PNPM Mandiri-KP Tahun 2011 Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) Ditjen Perikanan Budidaya Pembudidaya Ditjen Perikanan Tangkap Nelayan Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Pengolah dan Pemasar Hasil Perikanan Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR)
Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Petambak Garam Sasaran
Penanggung- jawab
melibatkan beberapa pemangku kepentingan dengan susunan, tugas dan fungsi seperti termuat pada Gambar 2.4
Gambar 2.4 Kelembagaan PUGAR (KKP, 2011b)
Ket : TNP2K = Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan TKPK = Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
= Garis Komando = Garis Koordinasi
Pemerintah pusat adalah KKP yang bertindak sebagai penanggungjawab dan pembina program di tingkat nasional. Penanggung jawab kegiatan PUGAR adalah Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (Dirjen KP3K) dengan penanggung jawab teknis Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pengembangan Usaha. Untuk melaksanakan PUGAR maka dibentuk Tim Kelompok Kerja (POKJA) PUGAR yang ditetapkan dengan Keputusan Dirjen KP3K yang mempunyai 5 (lima) tugas, yaitu (1) Menyusun rencana kebijakan; (2) Menyusun Pedoman Teknis PUGAR; (3) Melakukan koordinasi perencanaan
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
DITJEN KP3K
(KOORDINATOR POKJA PUGAR)
DINAS PROPINSI
DINAS KABUPATEN/KOTA
TENAGA PENDAMPING
KELOMPOK USAHA GARAM RAKYAT (KUGAR) TIM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KABUPATEN/K TKPK PROPINSI TKPK KABUPATEN/KOTA TNP2K KOPERASI
TIM PENGENDALI PUSAT (KOORDINATOR PNPM MANDIRI-KP)
dan pelaksanaan dengan Kementerian/ Lembaga terkait termasuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K); (4) Melakukan sosialisasi, pelatihan Tenaga Pendamping, lokakarya, supervisi, monitoring, evaluasi dan pengendalian kegiatan; dan (5) Melakukan verifikasi usulan Kabupaten/Kota calon lokasi dan penerima PUGAR tahun 2012.
Pemerintah Daerah adalah Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi dan Kabupaten Kota yang menangani Program PUGAR. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi sebagai representasi KKP di daerah bertugas (1) Melakukan koordinasi, pembinaan, pendampingan, sosialisasi, monitoring dan evaluasi PUGAR di wilayahnya; (2) Melakukan komunikasi dengan instansi terkait termasuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) tingkat provinsi; dan (3) Mengusulkan Kabupaten/Kota di wilayahnya sebagai calon penerima PUGAR tahun berikutnya berdasarkan hasil evaluasi dan ketentuan yang berlaku. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota sebagai penanggungjawab operasional program mempunyai 4 (empat) tugas, yaitu (1) Menyeleksi dan menetapkan lokasi sasaran, kelompok masyarakat sasaran, Konsultan Pelaksana, Tim Pemberdayaan Masyarakat, dan Tenaga Pendamping; (2) Melakukan sosialisasi, publikasi, monitoring, evaluasi dan pelaporan; (3) Melakukan koordinasi dengan instansi terkait dan TKPKD Kabupaten/Kota; dan (4) Mengajukan usulan proposal kegiatan PUGAR tahun berikutnya kepada Dirjen KP3K melalui Kepala Dinas Propinsi.
Tim Pemberdayaan Masyarakat dibentuk dan ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Tim ini terdiri dari 5 (lima) orang, dengan Ketua berasal dari unsur dinas kelautan dan perikanan Kabupaten/Kota dengan anggota terdiri dari unsur dinas perindustrian dan/atau perdagangan, dinas koperasi, Koperasi LEPP-M3/koperasi pesisir/koperasi perikanan dan tokoh masyarakat. Tim Pemberdayaan Masyarakat bertugas untuk (1) Melakukan identifikasi, seleksi dan verifikasi terhadap calon lokasi sasaran dan calon penerima BLM, calon lokasi, dan Rencana Usaha Bersama (RUB) KUGAR mengacu pada kriteria pedoman teknis PUGAR; dan (2) Mengusulkan calon lokasi sasaran (nama Kecamatan dan Desa) dan calon penerima BLM dan
besarnya nilai BLM kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota berdasarkan hasil verifikasi.
Koperasi berperan sebagai penyangga hasil produksi garam rakyat ditetapkan oleh dinas kelautan dan perikanan Kabupaten/Kota setelah mendapatkan rekomendasi dari dinas yang membidangi urusan koperasi. Tugas koperasi dalam implementasi PUGAR adalah (1) Menyediakan sarana produksi dan permodalan bagi KUGAR; (2) Membeli garam hasil produksi KUGAR dengan harga yang sesuai; dan (3) Memfasilitasi kegiatan penanganan pasca panen, antara lain pengolahan garam, pengemasan dan pemasaran.
Tenaga Pendamping PUGAR di tingkat Kabupaten/Kota terdiri atas 2 (dua) orang, yaitu (1) Tenaga Pendamping Kelembagaan dan (2) Tenaga Pendamping Teknis Pergaraman. Tenaga Pendamping PUGAR tidak diperkenankan berasal dari Pegawai Negeri Sipil (PNS)/Penyuluh Perikanan/Penyuluh Perikanan Tenaga Kontrak (PPTK)/terikat kontrak kerja dengan Institusi lain.
Sebelum melaksanakan tugasnya, Tenaga Pendamping Kabupaten/Kota diberikan pelatihan teknis dan kelembagaan oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPSDM-KP). Tugas Tenaga Pendamping meliputi (1) Membuat rencana pendampingan kegiatan PUGAR; (2) Mendampingi KUGAR menyusun RUB; (3) Mempersiapkan KUGAR dalam rangka peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok dan penguatan kapasitas SDM petambak garam; (4) Mendampingi KUGAR dan memberikan rekomendasi kepada Bank dalam proses pencairan dana BLM dan penyusunan laporan hasil pemanfaatan BLM; (5) Membantu tugas Tim Pemberdayaan Masyarakat; (6) Melakukan pendampingan teknis produksi garam hingga penjualan hasil kepada koperasi; dan (7) Menyusun laporan tertulis perkembangan pelaksanaan kegiatan pendampingan setiap bulan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada dinas kelautan dan perikanan provinsi dan Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K).
KUGAR adalah kelompok melaksanakan yang kegiatan PUGAR yang ditetapkan oleh Keputusan Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Pembentukan KUGAR adalah usaha menyatukan petambak garam dalam satu hamparan lokasi untuk bergabung dalam usaha produksi garam secara bersama, sehingga melalui
KUGAR, petambak akan mempunyai posisi tawar yang lebih baik, dan dapat memutuskan hubungan dengan tengkulak/pengepul. Hal ini dapat dilihat dalam Gambar 2.5
Gambar 2.5 Kelompok usaha Garam Rakyat (KKP, 2011b) Keterangan : P1, P2 dan P3 = Petambak Garam
Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) menurut pedoman pelaksanaan PUGAR (KKP, 2011b) adalah bantuan yang diberikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan kepada kelompok guna melindungi dari kemungkinan atau dampak resiko sosial, berupa barang untuk peningkatan usaha petambak garam. BLM diwujudkan dalam 2 (dua) bentuk, yaitu :
1. Peningkatan prasarana usaha garam rakyat melalui pembuatan/perbaikan saluran tambak, pembuatan/perbaikan galengan/tanggul, pembuatan/ perbaikan gudang sementara, pemadatan tanah, dan pembuatan meja jemur. 2. Peningkatan sarana usaha garam rakyat dengan pemberian pompa, kincir
angin, gerobak sorong, timbangan, bahan additif (garam solusi) dan peralatan tambak garam lain yang diusulkan petambak melalui kelompok. Bahan additif dan teknik tambak garam maduresee dalam PUGAR digunakan untuk meningkatkan mutu garam rakyat dan produktifitas garam rakyat
P1 P2 P3 KUGAR Penggarap Pengepul/ Tengkulak Koperasi/ Pedagang Besar PABRIK
menjadi 80 ton/Ha. Strategi pencapaian swasembada garam rakyat melalui PUGAR dapat dilihat dalam Gambar 2.6
Gambar 2.6 Alur PUGAR (KKP, 2011b)
Musyawarah Desa Penentuan Petambak Penetapan KUGAR Penyusunan RUB Verifikasi TPM PEMDA KP3K Penyaluran BLM Produksi Garam Swasembada Garam Pendamping Teknis Pendamping Kelembagaan KOPERASI SARANA PRASARANA
Program PUGAR Tahun 2011 mempunyai 4 (empat) tujuan, yaitu (1) Membentuk sentra-sentra usaha garam rakyat di lokasi sasaran; (2) Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan petambak garam rakyat dalam kelompok usaha garam rakyat; (3) Meningkatkan akses terhadap permodalan, pemasaran, informasi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi bagi Petambak garam rakyat; dan (4) Tercapainya target produksi garam konsumsi sebanyak 304.000 ton untuk mendukung Swasembada Garam Nasional.
Tercapainya tujuan PUGAR tahun 2011 dengan melihat pada 3 (tiga) indikator output PUGAR, yaitu (1) Terbentuknya 750 KUGAR; (2) Tersalurkannya Bantuan Langsung Masyarakat Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat Rp. 76.000.000.000,- (tujuh puluh enam miliar rupiah) sesuai dengan Rencana Usaha Bersama (RUB); dan (3) Tercapainya target produksi garam konsumsi sebanyak 304.000 ton. Selain indikator output, PUGAR juga memiliki indikator outcome sebagai tujuan PUGAR 2011, yaitu (1) Meningkatnya pendapatan kelompok usaha garam rakyat sebesar 15%; (2) Terwujudnya kelompok usaha garam rakyat menjadi anggota koperasi yang berbadan hukum di 40 unit koperasi sebagai sentra usaha garam rakyat; (3) Meningkatnya kapasitas petambak garam rakyat melalui pelatihan dan pendampingan sejumlah 750 kelompok; dan (4) Meningkatnya produktifitas tambak garam rakyat dari 60 ton/Ha menjadi 80 ton/Ha.
Di Desa Losarang, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, PUGAR diimplementasikan dengan melibatkan 170 orang petambak yang tergabung dalam 17 KUGAR. BLM yang disalurkan Rp. 850.000.000,- untuk perbaikan sarana dan prasarana usaha garam milik petambak sesuai dengan Rencana Usaha Bersama (RUB) yang sudah dibuat oleh KUGAR.
Dalam penyaluran BLM, pemilik lahan diberikan kesempatan untuk mendapatkan BLM dengan syarat menggarap lahan dan maksimal memiliki lahan 5 Ha dan tidak diperkenankan dana BLM untuk sewa lahan karena kurang efektif dalam pencapaian tujuan dan hanya untuk penunjang produksi.170 orang petambak penerima BLM sudah diverifikasi dan ditetapkan melalui SK Dirjen KP3K dan dipublikasikan di media cetak dan elektronik.