• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA BATIK LASEM PASCA PENETAPAN UNESCO TENTANG BATIK TAHUN 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POLA BATIK LASEM PASCA PENETAPAN UNESCO TENTANG BATIK TAHUN 2009"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

POLA BATIK LASEM

PASCA PENETAPAN UNESCO TENTANG BATIK

TAHUN 2009

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi sebagian Persyaratan

Guna melengkapi Gelar Sarjana Seni Rupa Jurusan Kriya Seni/Tekstil Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh Astaufi Herpi Perdana

C0905004

JURUSAN KRIYA SENI/TEKSTIL FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)

PERSETUJUAN Skripsi Berjudul

POLA BATIK LASEM PASCA PENETAPAN UNESCO TENTANG BATIK TAHUN 2009

Dipersiapkan dan disusun oleh: ASTAUFI HERPI PERDANA

NIM. C0905004

Telah disetujui oleh pembimbing Tugas Akhir Universitas Sebelas Maret Surakarta untuk di uji

Surakarta, 19 September 2012, Pembimbing I

Ratna Endah Santoso, S. Sn, M. Sn. NIP. 197610112003122001

Pembimbing II

Dra. Tiwi Bina Affanti, M. Sn. NIP. 195907091986012001

Mengetahui,

Ketua Jurusan Kriya Seni atau Tekstil

(3)

PENGESAHAN

(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “POLA BATIK LASEM PASCA PENETAPAN UNESCO TENTANG BATIK TAHUN 2009” ini beserta isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila di kemudian hari ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak yang lain terhadap keaslian karya saya ini.

Surakarta, 23 September 2012, Yang membuat pernyataan,

(5)

ABSTRAKSI

Batik Lasem sangat terkenal karena cirinya sebagai batik Pesisir yang indah dengan pewarnaan yang berani, dan Kota Lasem merupakan Sentra Batik Tulis yang pernah terkenal dan menjadi salah satu kota penting penghasil batik tulis di Pesisir Utara Jawa. Sejak ditetapkan sebagai daftar budaya tak benda warisan manusia Representative List of Intangible Cultural Heritage oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) tahun 2009 dan jenis batik yang ditetapkan sebagai World Heritage adalah batik tulis dan bukan batik Printing. Kemudian banyak perkembangan yang terjadi pada batik. Dengan semakin banyaknya permintaan pasar, maka semakin banyak juga perubahan motif yang terjadi pada batik tulis Lasem untuk memenuhi tuntutan pasar. Muncul beberapa permasalahan yaitu bagaimanakah perkembangan pola dan makna estetis yang terkandung di dalam Batik Tulis Lasem Pasca Penetapan UNESCO tentang Batik tahun 2009. Berdasarkan permasalahan yang diteliti, maka bentuk penelitian yang dipakai adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Metode pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Sumber data yang dikumpulkan adalah data kualitatif. Untuk menjamin validitas data, dengan menggunakan teknik trianggulasi data. Secara garis besar batik lasem dapat dibedakan menjadi dua, yaitu batik dengan selera cina yang oleh umum dinamakan batik Laseman dan batik selera pribumi yang sering disebut batik rakyat yang kemudian di pilah lagi menjadi dua golongan besar masing-masing jenis pola tersebut. Penggolongan tersebut adalah golongan Geometris dan Non geometris. Batik Lasem saat ini memiliki berbagai macam perubahan dari mulai bentuk pola, motif, dan warna yang sudah tidak lagi sesuai pola pakem Batik Lasem. Secara struktural pola batik Lasem tersebut disusun dengan susunan geometris (Lereng dan Ceplok) dan non geometris (Semenan dan Buketan). Struktur susunan motif seringkali dilakukan tidak dengan sistem pengulangan pola kecuali pada pola Lereng dan Ceplokan. Corak yang terjadi pada batik Lasem merupakan mimesis dari kehidupan masyarakat Lasem itu sendiri. Bentuk-bentuk motifnya yang dulu memiliki makna filosofi yang mendalam, sekarang sudah berubah karena persaingan pasar yang begitu ketat. Penamaan batik Lasem yang dulu sesuai dengan warna yang diterapkan, sekarang berubah sesuai jenis motif yang ada didalamnya.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur pada hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkat dan karunia-Nya, penulis dapat melaksanakan Tugas Akhir dan menyelesaikan penulisan Skripsi untuk memenuhi persyaratan guna mencapai derajat Sarjana Program Studi Kriya Seni.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

Drs. Riyadi Santosa, M. Ed, Ph. D. Selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan banyak fasilitas baik tempat maupun peralatan serta perlengkapan dalam proses maupun pelaksanaan ujian Tugas Akhir Skripsi.

Dra. Tiwi Bina Affanti, M. Sn. Selaku Ketua Jurusan Studi Kriya Seni dan Pembimbing II yang selalu sabar sepenuh hati telah mengijinkan dan menyetujui penulis menempuh Ujian Tugas Akhir Skripsi..

Ratna Endah Santoso, S. Sn, M. Sn. Selaku pembimbing I yang selalu membimbing, memberi dukungan, dan mengarahkan dengan sepenuh hati sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini.

(7)

Ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

H. Santosa Doellah, selaku Pemilik Perusahaan Batik Danar Hadi dan salah satu pakar Batik di Indonesia yang telah meluangkan waktu dan tenaga dalam memberikan bantuan materi dan pengarahan serta bimbingan dari awal proses proses penelitian hingga ujian Tugas Akhir Skripsi.

Sigit Witjaksono, selaku Pemilik Rumah Produksi Kerajinan Batik Laseman yang memberikan pengalaman serta nasehat.

Prof. Dr. Wiliam Cant. M. Hum, selaku Pemerhati dan Peneliti Etnis Cina IPI yang telah memberikan kontirbusi besar dalam penelitian ini hingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi..

H. Umy Jazilah Salim, selaku Ketua Deskaranasda Rembang yang memberi perijinan selama penelitian.

Jeng Ida, selaku Pemilik Sentra Batik Lasem dan pengurus paguyuban pengusaha Batik di kota Lasem yang telah meluangkan waltu dan tenaga dalam proses penelitian Tugas Akhir Skripsi..

Rekan-rekan wartawan dan pendukung penelitian, petugas perpustakaan serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih pula kepada beberapa nara sumber yang telah memberikan dukungan sepenuh hati dan informasi untuk melengkapi Tugas Akhir Skripsi. diantaranya :

(8)

Didik Bambang Wahyudi, M. Kar.

Terima kasih juga kepada bapak, ibuku tercinta serta kakak, adik dan calon pendamping hidupku yang telah memberikan dukungan moril maupun materiil yang sangat berarti bagi penulis. Ucapan terima kasih penyaji sampaikan juga kepada teman-teman antara lain Imam, Beni, Bagus, Wahid, Ronald, Andreas, Bani, Veni, Paulus, Dhanis, Isna, Usman, Widyantoro, Bangun, Puput, Novia, Niken, Sigit, serta teman-teman lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Dalam penulisan Tugas Akhir Skripsi ini penulis menyadari bahwa masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun selalu penulis harapkan.

Surakarta, 23 September 2012,

(9)

MOTTO

“Kebenaran meninggikan derajat Bangsa, tetapi dosa adalah noda Bangsa”

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

HALAMAN PERNYATAAN iv

ABSTRAKSI v

KATA PENGANTAR vi

MOTTO ix

DAFTAR ISI x

DAFTAR BAGAN xiv

DAFTAR GAMBAR xv

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Perumusan Masalah 3

C. Tujuan Penelitian 3

D. Manfaat Penelitian 3

E. Sistematika Penulisan 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA 5

A. Tinjauan Pustaka 5

B. Akulturasi Budaya di Dalam Batik Tulis Lasem 7

1. Faktor Internal 8

(11)

b. Pengaruh Budaya Lokal Pesisir Utara 9

2. Faktor Eksternal 9

a. Pengaruh Cina 9

b. Pengaruh Belanda 11

C. Perkembangan Budaya di Dalam Industri Batik Tulis Lasem 12

1. Periode Rintisan (1157-1349) 13

2. Periode Pengaruh Budaya Majapahit (1350-1500) 13 3. Periode Pengaruh Budaya Cina (1500-1799) 13 4. Periode Awal Industrialisasi Batik Lasem (1800-1890) 13 5. Periode Pengaruh Budaya Belanda (1901-1941) 14

6. Periode Stagnasi (1942-1945) 14

7. Periode Pengaruh Budaya Lokal (1946-1950) 14 8. Periode Revitalisasi Industri I (1951-1970) 15 9. Periode Kemerosotan Industri (1970-2004) 15 10.Periode Revitalisasi Industri II (2004-2012) 15

D. Motif Batik Lasem 16

1. Batik Lasem Selera Rakyat (Pribumi) 19

2. Batik Lasem Selera Cina (Laseman) 19

a. Motif Fauna Cina dan Motif Jawa 20

b. Motif Flora Cina dan Motif Jawa 21

(12)

F. Kerangka Teoritis 29

BAB III METODE PENELITIAN 31

A. Jenis Penelitian 31

B. Lokasi Penelitian 31

C. Teknik Pengammbilan Sampel 31

D. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data 32

1. Sumber Data 32

a. Informan atau Nara Sumber 32

b.Tempat dan Aktifitas Pembatikan 33

c. Karya Batik 34

d.Dokumen atau Arsip 34

2. Teknik Pengumpulan Data 34

a. Teknik Wawancara 35

b.Teknik Observasi 35

c. Teknik Pengkajian Dokumen atau Arsip 36

E. Validitas Data 36

F. Teknik Analisis Data 37

BAB IV POLA DAN MOTIF BATIK LASEM 39

A. Situasi Batik Lasem Pasca Penetapan UNESCO tahun 2009 39 B. Pola Batik Lasem Pasca Penetapan UNESCO tahun 2009 48

1. Batik Tulis Lasem Pola Selera Rakyat 49

2. Batik Tulis Lasem Pola Selera Cina 51

(13)

C. Kajian Estetika Pola Batik Lasem 55

1. Wujud atau Rupa (appearance) 55

2. Bobot atau Isi (substance) 55

3. Penampilan atau Penyajian (presentation) 55

a. Batik Selera Rakyat 59

1) Batik Golongan Geometris 59

2) Batik Golongan Non Geometris 63

b. Batik Selera Cina atau Laseman 66

1) Batik Golongan Geometris 66

2) Batik Golongan Non Geometris 70

c. Batik Pola Lainnya 74

1) Batik Pola Kontemporer 74

2) Batik Pola Pesisiran 76

BAB V PENUTUP 81

A. Kesimpulan 81

B. Saran 82

DAFTAR PUSTAKA 84

MEDIA SURAT KABAR 85

MEDIA INTERNET BROWSING 85

DAFTAR WAWANCARA 86

(14)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Kerangka Pikir 30

Bagan 2. Teknik Analisis Data 38

Bagan 3. Pendekatan Estetika A. A. M. Djelantik 58

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Batik Pola Bang-Biru dan Bang-bangan 19

Gambar 2. Batik Pola Liong dan Burung Hong 21

Gambar 3. Batik Pola Kendoro-Kendiri 21

Gambar 4. Batik Pola Banji 22

Gambar 5. Pola Sekar Jagad, karya Sigit Witjaksono 49 Gambar 6. Pola Tiga Negri, karya Sigit Witjaksono 49

Gambar 7. Pola Krecak Peksi, karya Jeng Ida 50

Gambar 8. Pola Sekar Krecak, karya Jeng Ida 50

Gambar 9. Pola Lerek Latohan, karya Sigit Witjaksono 50 Gambar 10. Pola Sekar Aseman, karya Sigit Witjaksono 50

Gambar 11. Pola Lerek Aseman, karya Jeng Ida 50

Gambar 12. Pola Lerek Puspa, karya Jeng Ida 50

Gambar 13. Pola Lok Can, karya Jeng Ida 51

Gambar 14. Pola Lerek Sisik Naga, karya Jeng Ida 51 Gambar 15. Pola Banji Tambal, karya Sigit Witjaksono 52

Gambar 16. Pola Terate, karya Sigit Witjaksono 52

Gambar 17. Pola Naga, karya Sigit Witjaksono 52

Gambar 18. Pola Tok Wi, karya Sigit Witjaksono 52

Gambar 19. Pola Bambu, karya Sigit Witjaksono 52

(16)

Gambar 22. Pola Latohan, karya Sigit Witjaksono 53 Gambar 23. Pola Sekar Gunung Ringgit, karya Jeng Ida 53

Gambar 24. Pola Banji Kawung, karya Jeng Ida 53

Gambar 25. Pola Bledak Sarimbit, karya Sigit Witjaksono 54 Gambar 26. Pola Selo Karang, karya Sigit Witjaksono 54 Gambar 27. Pola Nice Umbrella, karya Sigit Witjaksono 54

Gambar 28. Pola Romantic Birds, karya Jeng Ida 54

Gambar 29. Batik Pola Lerek Blarakan 59

Gambar 30. Pola dasar Lerek Blarakan 60

Gambar 31. Detail Pola Lerek Blarakan 61

Gambar 32. Pola Sekar Aseman 63

Gambar 33. Detail Motif Sekar Aseman 64

Gambar 34. Batik Pola Bola Dunia 66

Gambar 35. Pola Dasar Bola Dunia 67

Gambar 36. Detail Pola Bola Dunia 68

Gambar 37. Batik Pola Kupu-kupu Beruang 71

Gambar 38. Detail Pola Kupu-kupu Beruang 72

Gambar 39. Batik Pola Sekar Sarimbit 74

Gambar 40. Detail Pola Sekar Sarimbit 75

Gambar 41. Batik Pola Iwak-iwakan 77

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Lasem adalah sentra batik tulis yang pernah terkenal dan menjad i sala h satu ko ta p enting penghasil batik tulis di Pesisir Utara Jawa. Batik tulis Lasem begitu terkenal pada pertengahan abad ke-19 hingga tahun 1970-an sampai produ knya dip erdagangkan ke luar Negeri. Situ asi berubah sejak lebih dari 30 tahun terakhir. Batik tulis Lasem tid ak lagi menjadi primadona bersama dengan Batik dari Cirebo n, Pekalongan, Solo, Yogyakarta, dan Banyu mas. Seb elum tahun 2005, ada ratusan pembatik Tulis di Lasem. Setelah tahun 2005 tinggal delapan pengusaha, (Ferd yanto , 2005 : 7). Pengaruh batik Cina tersebut dapat disaksikan pada pola-pola batik tulis Lasem baik motif mau pun warnanya. Be ntuk p ola batik tulis Lasem dilihat dari motifnya terjadi karena adanya akulturasi budaya Jawa yang muncul di Keraton (Parang atau Lerek), Pesisir, Belanda (Vorsch Landen), Cina (Hong dan Banji), dan Ind ia (Sembagi).

(18)

mengu sik hubungan bilateral kedua Negara. Pemerintah tidak tinggal diam, berawal pada tiga September 2008 dengan proses nominasi batik Indonesia yang akan yang akan didaftarkan ke dalam jajaran daftar bud aya tak benda warisan manusia atau Rep resentative List of Intangib le Cultural Heritage oleh UNESCO (United Nations Edu ca tional, Scientific, and Cultural Organization), kemudian pada sembilan Januari 2009 nominasi tersebut diterima oleh UNESCO, dan akhirnya pada dua Oktober 2009 secara resmi diakui oleh UNESCO dalam sidang ke empat antar-pemerintah d i Abu Dhab i. Sejak diakui sebagai warisa n budaya tak benda oleh UNESCO, batik Indonesia makin populer. Setiap hari bisa dilihat kau m tua, muda hingga anak-anak mengenakan batik dan sud ah tidak lagi hanya menjadi busana yang dikenakan pada upacara tertentu (Antara news).

(19)

B. Perumusan Masalah.

1. Bagaimanakah Pola Batik Tulis Lasem Pasca Penetap an UNESCO tentang Batik tahun 2009?

2. Bagaimana makna estetis yang terkandung di dalam Pola Batik Tulis Lasem pada masa Pasca Penetapan UNESCO tentang Batik tahun 2 009? C. Tujuan Penelitian.

1. Mengetahui Pola Batik Tulis Lasem yang mu ncul Pasca Penetapan UNESCO tentang Batik tahun 2009 .

2. Mengetahui makna estetis yang terkandu ng di dalam Pola Batik Tulis Lasem

D. Manfaat Penelitian.

1. Lembaga.

a. Diharapka n adanya p enelitian ini d apat memb erikan su mb anga n pengetahuan baru yang b ermanfaat bagi p erkembangan ilmu di kampus Universitas Sebelas Maret, khususnya J uru san Kriya Tekstil. b. Diharapka n dengan penelitian ini dap at menambah pengetahuan bagi

mahasiswa Universitas Sebelas Maret, khususnya bagi mahasiswa Jurusan Kriya Tekstil tentang perkembangan M otif Batik Lasem P asca Penetap an UNESCO tentang Batik tahun 2009.

2. Masyarakat.

(20)

b. Diharapka n dengan adanya tulisan ini membuat masyarakat menjadi tertarik dan mengenal Batik Lasem Pasca Penetap an UNESCO tentang Batik tahun 2009.

3. Penulis.

c. M ampu memberikan pengetahuan p ada penulis terhadap Motif Batik

Lasem Pasca Penetapan UNESCO tentang Batik tahun 2009.

a. M ampu memberikan pengalaman dan p engetahuan yang lebih dalam bidang p ertekstilan khusun ya mengenai Batik Lasem .

E. Sistematika Penulisan.

Laporan penelitian ini di susu n dan d ibagi menjad i beberapa bab sebagai berikut:

Bab I. Pendahuluan, pada b ab ini berisi uraian tentang latar b elakang masalah, perumusan masalah, tu juan penelitian, manfaaat peniltian.

Bab . II. Kajian p ustaka, p ada bab ini memb ahas tenta ng informasi dan data Batik Lasem mu lai dari sejarah, Motif, perkembangan Motif.

Bab III. Metod e penelitian, pada bab ini b erisi tentang jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber d an teknik pengu mpulan data, validitas data, d an teknik anilisis data.

Bab IV. Pengumpulan data d an anilisis data, pada bab ini memaparka n semua hasil penlitian ob servasi, wawancara, dan visual tentang p erkembanga n Motif Batik Lasem Pasca Penetapan UNESCO tentang Batik tahun 2009.

(21)

BAB II Kajian Pustaka

A. Tinjauan Pustaka.

Cukup banyak tulisan tentang batik berupa hasil penelitian, disertasi, thesis ataupun literatur, namun sejauh ini belum ditemui tulisan yang membahas secara khusus tentang Motif Batik Lasem Pasca Penetapan UNESCO Tahun 2009.

Sebuah buku yang ditulis oleh Sewan Susanto (1980) dengan judul “Seni Kerajinan Batik Indonesia,” memaparkan tentang penggolongan batik menjadi dua golongan yaitu geometris dan non geometris.

Djoemena (1990) dalam bukunya ungkapan sehelai Batik “Its Mystery and Meaning,” memaparkan secara garis besar batik tulis Lasem dibedakan menjadi dua jenis, yaitu batik selera rakyat atau pribumi, dan batik selera Cina yang oleh umum dinamakan batik Laseman.

Santoesa Doellah (2002) dalam bukunya “Batik Pengaruh Jaman dan Lingkungan,” memaparkan tentang kesenian tradisi batik dan pengaruhnya terhadap masyarakat Indonesia.

Sebuah penelitian yang dilakukan Tiwi Bina Affanti (2009) dengan judul “Keberadaan Batik Kliwonan di Kabupaten Sragen Kemunculannya, dinamika Kehidupannya, dan Visual Pola Batiknya,” dalam tesisnya memaparkan mengenai pengklasifikasian pola-pola batik Kliwonan menjadi beberapa pola.

(22)

tentang fenomena yang terjadi pada kota Lasem mulai dari Kerajaan Majapahit, kedatangan Belanda, Jepang, dan Cina yang memberi pengruh besar terhadap kebudayaan di Lasem.

Soedarsono, dalam bukunya “Aspek Ritual dan Kreativitas Dalam Perkembangan Seni di Jawa” (2005), memaparkan perdagangan batik Lasem yang dilakukan oleh bangsa Portugal dan Belanda dari Nusantara hingga Mancanegara.

Jurnalistik yang dilakukan oleh Nias di dalam harian Kompas (2003), menuliskan tentang pengaruh Cina di dalam batik tulis Lasem dan perkembangan industri pada tahun 2003 yang terjadi pada batik tulis Lasem serta eksistensinya terhadap persaingan pasar.

Tien dalam bukunya, “Rich of Batik” (1997), menuliskan tentang ciri khas pewarnaan batik tulis Lasem yang begitu terkenal karena ciri khas warna merahnya yang tidak bisa ditiru oleh batik tulis daerah lain..

Melly. G. Dalam bukunya yang berjudul “Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia. Suatu masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa”, tahun 1878, memaparkan mengenai macam-macam motif batik tulis Lasem dan kehidupan masyarakat etnis Tiongha di Indonesia.

Rahayu di dalam jurnalistik pada harian Kompas (2009), menuliskan Penetapan UNESCO terhadap dan mengenai perkembangan yang terjadi pada industri batik di Indonesia.

(23)

UNESCO dilihat dari segi industri, pemasaran, dan tanggapan pemerintah terhadap batik Indonesia.

Soepardi dalam karya jurnalistiknya pada harian Kompas (2009), menuliskan data jumlah batik yang berkembang pada di Indonesia, dan mengenai perkembangan industri yang terjadi pada batik Indonesia.

Karya jurnalis Hartono pada harian Kompas (2011), menuliskan munculnya kegiatan-kegiatan masyarakat dalam melestarikan batik setelah dikukuhkan oleh UNESCO 2009, dan mengenai antusias masyarakat terhadap perkembangan batik Indonesia.

Tulisan-tulisan yang terkait tentang batik Lasem di atas, ternyata tidak ditemukan adanya pembahasan tentang pola dan motif batik Lasem Pasca Penetapan UNESCO tahun 2009. Dengan demikian penelitian ini cukup otentik untuk dilaksanakan. B. Akulturasi Budaya di Dalam Batik Tulis Lasem.

(24)

1. Faktor Internal.

Pengaruh budaya Keraton dan pengaruh lokal Pesisiran masyarakat Lasem merupakan faktor internal yang seringkali tercermin ke dalam batik tulis Lasem. Penjelasannya sebagai berikut:

a. Pengaruh Keraton.

Buku SeratBadra Santri Babad Tanah Lasem” menceritakan, pada awal abad ke-14, kota kecil Lasem merupakan salah satu kekuasaan Kerajaan Majapahit yang ada di Jawa Timur (Mpu Santri, 1401:377). Pada tahun 1351, Lasem diperintah oleh Ratu Dewi Indu yang berperan sebagai Adipati (Perdana menteri bagi wilayah yang bersangkutan) di bawah Kerajaan Majapahit. Suaminya Radjasa Wardhana merupakan seorang saudagar besar yang terkenal yang pada saat itu mempunyai relasi dagang yang meliputi wilayah di Asia Tenggara. Dewi Indu meninggal pada tahun 1382, dan jasadnya dibakar di Gunung Argopuro di sebelah timur Kuil Ganapati (Keberadaan Kuil tersebut belum ditemukan). Suaminya Radjasa Wardhana meninggal setahun kemudian dan dibakar pada tempat yang sama. Kekuasaan di Lasem diambil alih oleh anak mereka yang bernama Badra Wardhana. Kerajaan ini telah ada di Indonesia sejak abad ke-13 sampai abad ke-15 dan mulai runtuh ketika Islam datang ke Indonesia.

(25)

meletakkan kapalnya di sepanjang Pantai Bonang (sekarang menjadi Binangun), adalah salah seorang anggota dari rombongan Laksamana Cheng Ho yang bepergian dari China ke Asia Tenggara pada masa Dinasti Ming.

b. Pengaruh Budaya Lokal Pesisir Utara.

Lasem terletak di Pesisir Pantai Utara Jawa, pengaruh Pesisiran terlihat jelas di dalam motif batik tulis Lasem. Sebagai contoh Motif Latohan atau Rumput Laut, Motif Iwak atau Ikan.

Secara teknis pewarnaan batik tulis Lasem memiliki seperti umumnya penampilan batik Pesisiran dengan banyak warna merah, biru, dan hijau (Tien, 1997:144). Hal tersebut merupakan suatu pengaruh masyarakat Lasem dengan ciri khas Pesisiran pada umumnya. Dengan pewarnaan khas Pesisiran, tentu saja memiliki dampak pada motif dan corak yang ada di dalam pola batik tulis Lasem.

2. Faktor Eksternal.

Faktor eksternal merupakan pengaruh dari budaya asing yang ada di dalam motif batik tulis Lasem. Akulturasi dengan budaya asing terjadi karena disebabkan oleh dua hal, yang pertama adalah hubungan dagang dimana bangsa Cina melakukan pelayaran antar Benua yang bertujuan untuk melakukan perdagangan. Kemudian, yang kedua adalah penjajahan yang terjadi di Indonesia oleh bangsa Eropa yaitu negara Belanda, yang memiliki tujuan untuk merampas kekayaan alam yang tidak lain adalah rempah-rempah. Untuk lebih jelasnya, sebagai berikut:

a. Pengaruh Cina.

(26)

menyebutkan Penemuan keramik Cina di Caruban Lasem, mengindikasikan bahwa paling tidak antara abad VIII-X Masehi pengaruh budaya Cina sudah terdapat pada masyarakat Lasem Hal ini berarti pertama, sudah adanya penduduk etnis Cina bermukim di Lasem, dan kedua, sudah adanya perdagangan barang-barang buatan Cina di Lasem.

Buku tersebut juga menuliskan tentang keberadaan Batik Cina di Lasem bermula dari kedatangan Laksamana Cheng Ho pada tahun 1413 Masehi. Anak buah Cheng Ho bernama Bi Nang Un turut menetap di Lasem bersama istrinya, Na Li Ni. Bi Nang Un adalah anak buah kapal Dhang Puhawang Tzeng Ho dari Negara Tiong Hwa, setelah melihat keindahan alam Jawa, memilih menetap di Bonang bersama dengan istrinya Na Li Ni. Berawal dari keterampilan tangan Na Li Ni kemudian tercipta berbagai kain batik yang menjadi cikal-bakal keberadaan batik tulis Lasem.

(27)

kejayaan batik tulis Lasem terjadi pada abad ke-19. Pada masa itu, hampir setiap orang keturunan Tionghoa menjadi pengusaha batik. Tempat produksi terletak di rumah mereka dan merekrut penduduk sekitar untuk menjadi pengrajin (Mpu santri, 1401:579-677).

Pengrajin batik semakin kreatif menciptakan Motif-motif baru. Mereka merespon situasi yang terjadi. Misalnya, ketika Daendels memperkerjakan rakyat untuk membuat jalan raya, terciptalah motif Krecak, atau Watu Pecah. Namun, masa kejayaan tersebut mulai pudar di era 1950-an. Karena kondisi politik yang tidak berpihak pada etnis Tionghoa membuat banyak pengusaha batik gulung tikar.

b. Pengaruh Belanda.

Menurut Soedarsono, dalam bukunya “Aspek Ritual dan Kreativitas Dalam Perkembangan Seni di Jawa”, tahun 2005. Pada tahun 1519, para pedagang bangsa Portugal telah menjadikan batik tulis Lasem sebagai dagangan mereka Hal ini berarti menandakan bahwa, pada saat itu batik Tulis Lasem sudah dijual ke berbagai pelosok Nusantara, baik ke barat sampai Aceh, atau ke timur sampai ke Ambon. Batik tersebut dibeli dari Jawa Tengah (Surakarta, Ngayogyakarta, Lasem) dijual lagi ke nusantara atau ke Manca Negara. Tahun 1603, para pedagang Belanda kemudian mengikuti jejak para pedagang Portugal, menyebarluaskan dagangan batik Jawa Tengah ke berbagai daerah di dalam maupun di luar Nusantara. Sehingga pada abad 17 dan abad 18, busana batik (Sinjang atau kain panjang) buatan Jawa Tengah telah banyak tersebar di daerah Aceh maupun kepulauan Maluku (2005:47-70).

(28)

kejadian-kejadian pada masa penjajahan Belanda (1596-1945) ke dalam batik tulis Lasem. Motif batik tulis Lasem merupakan sebuah gambaran mengenai kehidupan realita yang terjadi di Lasem.

Menurut “Serat Badra Santri Babad Tanah Lasem”, Berkembangnya batik tulis Lasem tidak terlepas dari posisi strategis daerah Lasem yang dahulu dikenal sebagai salah satu daerah penting di Utara Pulau Jawa. Lasem memiliki pelabuhan besar yang telah digunakan sebagai tempat transaksi antar pedagang dari berbagai tempat pada masa Kerajaan Majapahit dan menjadi salah satu pelabuhan besar Kerajaan Majapahit di samping Juwana dan Tuban. Posisi strategis pelabuhan Lasem tersebut masih diakui dan terus dimanfaatkan sampai akhir masa pendudukan Jepang. Pada daerah Caruban, Lasem sudah merupakan sebuah tempat pemukiman pada masa Majapahit dan transisi ke periode Kerajaan Mataram Islam abad XIV-XVII Masehi (Mpu santri, 1401:788).

C. Perkembangan Budaya di Dalam Industri Batik Tulis Lasem.

Buku Serat Badra Santi (Babad Tanah Lasem) yang ditulis pada tahun 1401 menjelaskan bahwa kota Lasem pernah disinggahi salah seorang nahkoda kapal dari rombongan Laksamana Ceng Ho. Puteri Na Li Ni, istri Bi Nang Un anak buah Ceng Ho, merupakan salah seorang perintis dunia perbatikan Lasem. Tradisi itu kini diwarisi oleh pengrajin Batik di Rembang khususnya Lasem, Pancur, dan Pamotan (Mpu santri, 1401: 377-379).

(29)

1. Periode rintisan (1157-1349).

Pada awal abad 14, Lasem merupakan daerah dibawah naungan kekuasaan Kerajaan Majapahit. Merupakan periode dimana batik mulai diperkenalkan kepada masyarakat Lasem oleh pihak Kerajaan.

2. Periode pengaruh budaya Majapahit (1350-1500).

Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Budha di Indonesia. Pada periode ini penyebaran agama Hindu-Budha mulai merambah ke dalam seni dan budaya termasuk batik.

3. Periode pengaruh budaya Cina (1500-1799).

Pada periode ini, ada seorang saudagar dari Cina yang meletakkan kapalnya di sepanjang Pantai Bonang bernama Laksamana Ceng Ho bersama anak buahnya bernama Bi Nang Un, dan turut menetap di Lasem bersama istrinya Na Li Ni, yang memiliki tujuan untuk berdagang. Na Li Ni yang memiliki keahlian di bidang melukis dan kesusastraan sangat tertarik pada batik dan mulai mengembangkan kerajinan batik. Pada tahun 1596, bangsa Belanda datang dan menjajah Indonesia. Dalam perang melawan Belanda, Laksamana Ceng Ho ikut andil berperang melawan Belanda dengan mendatangkan armada laut dari Cina.

4. Periode awal industrialisasi Batik Lasem (1800-1890).

(30)

industri batik di daerah Lasem. Pada tahun 1877, Laksamana Ceng Ho melakukan kunjungan ke India dengan membawa batik tulis Lasem sebagai cinderamata untuk saudagar di India. Setelah itu, saudagar tersebut tertarik dengan keunikan Batik Tulis Lasem, kemudian datang untuk membuka industri di Lasem dan bekerja sama dengan Kerajaan Majapahit dan laksamana Ceng Ho. Berawal dari industri kain, bangsa India mulai memberikan pengaruh agama di Kerajaan Majapahit.

5. Periode pengaruh budaya Be landa (1901-1941).

Batik tulis Lasem mengalami kejayaan dan menjadi primadona pada periode ini. Penjajah Belanda mulai memberikan konstribusi kapal dagang terhadap budaya di daerah jajahannya.

6. Periode stagnasi (1942-1945).

Pada tahun 1942. Jepang datang ke Indonesia dan melakukan penjajahan. Periode ini penjajah Jepang menghancurkan semua industri di Lasem dan semua daerah jajahan Jepang harus membuat perkebunan rempah-rempah dan pertambangan. Tahun 1945, Jepang meninggalkan Indonesia dan proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Setelah Indonesia merdeka, masyarakat Lasem yang menjadi budak kemudian kembali lagi membuka industri Batik.

7. Periode pengaruh budaya lokal (1946-1950).

(31)

Utara Jawa, sehingga pengaruh budaya Pesisir terlihat jelas di dalam motif batik tulis Lasem.

8. Periode revitalisasi industri I (1951-1970).

Pada periode ini, industri batik tulis Lasem mulai melakukan kebangkitan secara menyeluruh di daerah Lasem. Karena para pengusaha kembali lagi memproduksi Batik Lasem.

9. Periode kemerosotan industri (1970-2004).

Tahun 1970, Indonesia mulai melakukan kerja sama perdagangan dengan Negara asing yang menyebabkan kenaikan harga bahan baku batik tulis Lasem, dan timbul kesenjangan sosial dimana bangsa pendatang tidak boleh ikut dalam dunia politik. Pada tahun 1997, terjadi krisis moneter dimana hal ini membuat banyak pengusaha batik tulis Lasemyang gulung tikar. 10.Periode revitalisasi industri II (2004-2012).

Tahun 2004, batik tulis Lasem mulai bangkit kembali. Tahun 2008, terjadi polemik dengan diakuinya batik sebagai budaya Negara Malaysia, yang kemudian memicu industri batik tulis Lasemuntuk semakin bersinar dan batik menjadi fenomenal.

(32)

semua usaha Batik tutup. Daerah Pekalongan lahir corak Hokokai, tetapi di Lasem tak tampak pengaruh Jepang (Jeng ida, 2008:15-17).

Setelah itu, batik tulis Lasem mengalami keterlambatan untuk bangkit kembali, karena pemakai kain batik tinggal para perempuan Tionghoa lanjut usia, sementara pasar yang dulu sampai ke Sumatera Barat (motif Lokcan) dan Suriname berubah selera. Pemilik usaha batik tulis Lasemjuga berubah. Tahun 1990-an semua usaha batik milik keturunan Tionghoa, setelah krisis ekonomi tahun 1998, muncul pengusaha batik suku Jawa. Tahun 2004, ada 14 pengusaha Tionghoa dan 4 Jawa. Tahun 2009, dari 32 pengusaha batik di Lasem, kira-kira dua pertiganya suku Jawa.

D. Motif Batik Lasem.

(33)

monochrome yang biasa digunakan untuk membuat garis pembatas, seperti garis-garis tegak lurus, adalah termasuk dalam unsur-unsur desain (UNIMED, 2009:17)

Sedangkan Adi Irwanto di dalam bukunya “Motif dan Pola” menuliskan, Pada awalnya garis-garis semacam ini telah ada dengan berbagai variasinya. Misalnya : garis putus-putus, garis patah, garis zig-zag, garis berlika-liku, dan sebagainya. Kemudian pada dekade berikutnya muncul berbagai macam bentuk motif yang berasal dari garis saja. Kita beranggapan bahwa garis pembatas adalah garis yang sederhana, namun apabila garis-garis tersebut disusun secara berulang-ulang dan berurutan akan menjadi sebuah desain yang sudah jadi. Selain dari pada itu ada upaya untuk membuat susunan motif naturalis dengan cara meniru alam atau alam sebagai sumber inspirasinya. Yang dalam pembuataanya tidak harus sama persis seperti yang ada di alam melainkan sudah melalui proses stelisasi secara kreatif dan inovatif. Gubahan unsur alam ini biasanya di ambil dari bentuk pohon, buah-buahan, tumbuh-tumbuhan, awan, dan lain sebagainya (2007:37).

(34)

ayam yang konon tidak dapat ditiru oleh pembatik dari daerah lain. Kekhasan lain batik tulis Lasem terletak pada coraknya yang merupakan gabungan pengaruh budaya Tionghoa, budaya lokal masyarakat Pesisir Utara Jawa Tengah serta budaya Keraton Solo dan Yogyakarta. Konon para pedagang Tionghoa perantauan yang datang ke Lasem memberi pengaruh terhadap corak batik di daerah ini. Bahkan banyak pedagang ini yang kemudian beralih menjadi pengusaha batik di Kota Lasem (Nias, 2003:7).

(35)

Hastini Ari dalam bukunya “Batik Laseman”, memaparkan bahwa pada zaman Kerajaan Majapahit, kota Lasem merupakan salah satu dari tiga kota pelabuhan terbesar, batik tulis Lasem mempunyai ciri khas multikultural Jawa-Tionghoa yang kental, berarti batik tulis Lasem memiliki pesona tampak pada warna-warni yang cerah serta motifnya yang khas (2009:8).

Pembagian motif sebagai berikut:

1. Batik Lasem Selera Rakyat (Pribumi).

Batik Rakyat adalah batik Sogan dengan tata warna merah biru dan hijau yang dibuat di daerah Kauman dan Suditan. Batik Sogan disebut dengan Kendoro Kendiri. Terdapat juga daerah pembatik lain yaitu Baganan, yang mempunyai ragam hias khas yang disebut Tutul. Sejumlah motif dan warna batik tulis Lasem mengingatkan pada batik daerah Indramayu, Jambi, Cirebon dan Madura, tentu saja tidak mengherankan karena ramainya hubungan dagang antar daerah tersebut dahulu. Ragam hias Solo-Yogya seperti Kawung dan Parang juga terdapat baik pada batik rakyat maupun batik tulis Lasem, meskipun tidak terlihat utuh.

(36)

Gambar 1. Batik Pola Bang-Biru dan Bang-bangan.

2. Batik Lasem Selera Cina (Laseman).

Nian. S. Djoemena di dalam bukunya “Ungkapan Sehelai Batik Its Mistery and Meaning” , membedakan batik tulis Lasem menjadi dua jenis, yaitu batik dengan selera Cina dan batik selera Pribumi. Batik Lasem selera Cina memiliki tata warna yang mengingatkan pada Dinasti Ming; merah, biru, merah-biru, dan merah-biru-hijau di atas warna putih porselin. Batik selera Cina juga disebut batik Laseman. Pemberian nama pada batik Lasem pada umumnya berdasarkan tata warna dan bukan dari ragam hias, karena alasan ini maka muncul beberapa istilah nama untuk batik Lasem yaitu; Bang-bangan yang memiliki warna latar putih (Ecru) dan ragam hias merah atau sebaliknya, Kelengan memiliki warna latar putih (Ecru) dan ragam hias biru atau sebaliknya, Bang biru memiliki warna latar putih (Ecru) dan ragam hias merah atau biru, dan yang terakhir Bang biru ijo memiliki wrna latar putih (Ecru) dan ragam hias merah, biru, hijau (Djoemena, 1990:71-72).

(37)

Gulungan Surat. Motif Tionghoa berpadu dengan motif Jawa yang umum terdapat dalam batik khas Jogjakarta dan Solo, seperti Parang, Lereng, Kawung, dan Udan Riris. Warna dominan batik Lasem adalah Merah, Biru, Sogan, Hijau, Ungu, Hitam, Krem, dan Putih. Warna-warna ini adalah juga pengaruh dari silang budaya. Warna merah dalam batik Lasem adalah pengaruh dari budaya Tionghoa. Beberapa jenis batik tulis Lasem Motif Cina, diantaranya:

a. Motif Fauna Cina dan Motif Jawa.

Contoh Motif Fauna Cina : Motif burung Phoenix yang dikenal sebagai Hong, Naga (Liong), Kilin, Ayam Hutan, Ikan Emas, Kijang, Kelelawar, Kupu-kupu, Kura-kura, Ular, Udang, dan Kepiting. Motif Fauna Cina ini sering berkolaborasi dengan motif batik Jawa, seperti Parang, Udan Riris, dan Kawung.

Gambar 2. Batik Pola Liong dan Burung Hong.

b. Motif Flora Cina dan Motif Jawa.

(38)

Gambar 3. Batik Pola Kendoro-Kendiri.

c. Motif Cina Selain Flora-Fauna dan Motif Batik Jawa.

Contoh motif lain (non Flora-fauna Cina) adalah Kipas, Banji, Delapan Dewa (Pat Sian), Dewa Bulan, Koin (Uang Kepeng).

Gambar 4. Batik Pola Banji.

d. Motif Kombinasi Cina dan Motif Batik Jawa.

(39)

Adanya keempat jenis kategori motif batik tulis Lasem tersebut, memberikan kebebasan kepada para pembatik Lasem dalam berkreasi. Mereka tidak terpaku pada Pola Motif baku (Pakem). Hal terpenting, improvisasi dan kreativitas pembatik Lasem selalu tertantang untuk membuat Batik yang bermotif unik dan khas, sehingga bernilai estetik yang tinggi. Batik tulis Lasem motif burung Phoenix atau sering juga disebut burung Hong merupakan salah satu motif yang terkenal karena berupa stylisasi Motif burung Phoenix (Prabowo, 2007:37).

Dituliskan juga bahwa batik tulis Lasem merupakan seni batik Tulis gaya Pesisiran yang kaya warna dan memiliki ciri multikultural, sebagai akibat akulturasi banyak budaya, khususnya budaya Cina dan budaya Jawa. Dalam batik Lasem mudah dikenali perpaduan warna dan motif hasil silang budaya. Misalnya, motif Fauna khas Cina (burung Hong atau Phoenix, Kilin, Liong atau Naga, dan Ikan Mas) atau motif Flora (Bunga Seruni, Delima, Magnolia, dan Peoni) dikombinasikan dengan motif geometris khas batik Pedalaman seperti Parang, Kawung, dan Jereng. Silang budaya dalam bentuk kombinasi warna, misal pada batik Tiga Negeri yang merupakan kombinasi warna khas merah marun (pengaruh budaya Cina), biru (pengaruh budaya Belanda atau Eropa) dan Sogan (pengaruh budaya Jawa).

E. Situasi Batik Pasca Penetapan UNESCO Tentang Batik Tahun 2009.

(40)

itu karena jenis batik Printing juga diproduksi di beberapa negara lain. (http//:vivanews/budaya/batik).

Batik sudah menjadi warisan budaya yang diakui UNESCO. Ada hasil yang cukup signifikan dengan penetapan tersebut. Tetapi ada tantangan yang menghadang para pengajin batik (Rahayu, 2009:17). Setelah penetapan UNESCO, berbagai kalangan mulai menaruh perhatian lebih terhadap batik. Beberapa Event pameran ramai digelar. Orang dari sejumlah daerah juga berburu batik hingga ke Lasem. Bahkan ada yang menjadi agen penjualan di Jakarta, Bogor hingga Papua.

Tantangan perkembangan batik ke depan adalah melonjaknya bahan baku kain. Setahun ini, harga kain mori sebagai bahan utama batik terus mengalami kenaikan. Untuk kain katun jenis prima yang semula harga per yard hanya Rp 5.400, naik menjadi Rp 6.400. Jenis primis dari Rp 8.750 menjadi Rp 9.250. Jenis kereta kencana, dari Rp 14.864 menjadi Rp 16.486. Kenaikan bahan utama batik mencapai 10 persen. Kenaikan kain mori ini dikarenakan bahan baku kain dari negara penghasil kapas seperti India sudah dikontrak Cina (Widji, 2009:7)

Masyarakat sendiri juga sudah membentuk organisasi berupa Paguyuban Pencinta Batik yang selalu menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam mempertahankan batik. Dengan demikian, batik bisa berkembang di Pekalongan dan sekitarnya. Untuk upaya melestarikan batik, tidak hanya dibebankan pada pemerintah saja, tetapi juga masyarakat dan pengrajin itu sendiri, sehingga batik tetap berkembang di Pekalongan. (Wibowo, 2009:7)

(41)

Pakem Kerajaan, tetapi yang dikembangkan adalah motif yang memiliki nilai bisnis tinggi. Pada prinsipnya, pengrajin Pekalongan hanya memproduksi sesuai dengan selera masyarakat. Batik yang dibuat masyarakat Pekalongan berbeda dengan daerah lain. Adapun ciri-ciri batik Pekalongan, adalah memiliki warna yang mencolok, dan motifnya kontemporer (mengikuti perkembangan zaman). Karena berkembang kekinian, maka para pengrajin berusaha bisa membatik dengan motif apa pun. Motif Belanda, Jepang, Cina, Jawa atau motif dari dalam Negeri seperti batik Papua, batik Banyumasan, Cirebon, batik Yogya, dan batik Solo, semuanya bisa dibuat di Pekalongan. Agar batik tetap lestari, maka semua pihak harus ikut berperan dalam melestarikan budaya batik. Kenyataannya perkembangan batik juga akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat mengingat industri batik bisa menyerap tenaga kerja (Fatchurohman, 2009:10).

Pendirian Museum batik sudah dilakukan di Pekalongan. Penerapan muatan lokal batik mulai dari SD, SMP, bahkan membuka Jurusan Batik di SMK Negeri Tiga Pekalongan dan dilanjutkan dengan pembukaan Jurusan Batik di Politeknik Pusmanu Pekalongan. Kemudian juga dilakukannya kegiatan tahunan berupa Pekan Batik Nusantara dan berbagai kegiatan yang mendorong makin dikenalnya batik di tingkat Nasional maupun Internasional (Noor, 2009:7).

(42)

Batik Tulis Bakaran dulunya dipasarkan keliling dari pasar ke pasar di seputaran Bumi Minta Tani. Seiring perkembangannya, warisan budaya leluhur itu mampu menembus berbagai kalangan hingga menaikkan produksinya (Nias, 2008:3-5).

Kebijakan Pemkab Pati memberi dorongan tersendiri bagi geliat perkembangan batik tulis Bakaran. Dengan diwajibkannya Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemkab Pati diwajibkan mengenakan pakaian batik dua kali sepekan, menjadi angin segar bagi perkembangannya. Pergerakan usaha batik tulis yang tersentral di Kecamatan Juwana, khususnya Desa Bakaran Wetan dan Bakaran Kulon, setelah sekian lama tidak banyak berubah. Meskipun terangkat dengan pasar PNS, minim sekali pengrajin yang mau bergelut dengan Canthing.

(43)

Adapun 13 motif lainnya yang masih dalam proses pemeriksaan lebih lanjut dari pihak terkait antara lain, Manggaran, Adas Gempal, Bregat Ireng, Kedele Kecer, Merak Ngigel, Magel Ati, Blebak Urang, Blebak Lung, Nam Tikar, Truntum, Blebak

Duri, Ungker Cantel, dan Puspo Baskoro (Pramanti, 2010:5-7).

Kota Solo, yang memiliki puluhan Home Industry batik. Kawasan industri batik, terletak di Kampung Batik Laweyan pada Kota Bengawan yang paling terkenal sejak abad ke-18. Kampung Batik Laweyan merupakan sentra industri batik tertua di Indonesia memiliki runtutan sejarah yang panjang. Sejak tahun 1900-an, terdapat ratusan industri rumah tangga di Kampung Batik Laweyan yang bertahan dari masa ke masa. Hingga saat ini, tersisa 70 hingga 80 industri batik rumahan yang masih bertahan di terpa krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia pada tahun 1998 dan di tengah terpaan industri batik Printing yang lebih digemari masyarakat karena harganya yang murah. Pada masa itu, Usaha Kecil Menengah (UKM) semakin berkembang dan pembatik menghilang karena ketidakberdayaan ekonomi.

Sekarang, industri batik Indonesia semakin menggeliat sejalan dengan penetapan batik Indonesia sebagai kekayaan budaya milik Negeri Khatulistiwa, di tambah dengan diundang-undangkannya Laweyan sebagai Cagar Budaya Borderless (tanpa batas) dan dibentuknya FPKBL yang bertujuan menyelamatkan lingkungan budaya termasuk batik didalamya, semakin memperkuat posisi Indonesia sebagai Negeri Batik (Fauzi, 2011:7-8).

(44)

terletak pada pewarnaannya, yang menyimbolkan sejarah masa lampau dari masing-masing batik yang menggambarkan kehidupan di daerah tersebut. Batik Indonesia dibedakan menjadi dua, yakni batik Vosch Laden dan batik Pesisir. Batik Solo atau disebut Vosch Laden bersifat natural dan dominan memakai warna gelap seperti cokelat, hitam, dan putih. Sedangkan Batik lain misalnya Batik Cirebon, memiliki warna yang lebih cerah dan mencolok, antara lain dengan menggunakan warna merah (Widhiarso, 2010:7-8).

Saat ini pengusaha batik mengejar pasar dan keinginan konsumen, sehingga wajar saja batik asli Solo memakai warna terang, dan sebaliknya. Sedangkan untuk membedakan antara batik dan bukan batik, caranya lebih mudah. Batik asli bahannya pasti dari serat alam, sehingga bahan pewarna bisa menyerap. Bisa dipastikan pada batik asli, sulit membedakan mana kain bagian depan dan mana kain bagian belakang (Putri, 2009:5).

Mengenai rencana pengumuman penetapan batik Indonesia dalam daftar representatif budaya tak benda warisan manusia mengungkapkan, motif batik semakin berkembang dengan adanya hasil karya desainer yang terus bertambah jumlahnya. Hingga kini terdapat sekitar 2.500 motif batik, dan itu yang baru terdaftar. Dengan berkembangnya produk desainer, motif atau ragam batik juga akan berkembang terus (Soepardi, 2009:8).

(45)

Pembuatan kain batik merupakan kerajinan tradisional di Jawa dan beberapa daerah lain secara turun temurun sejak beberapa abad lalu, dan terus menyebar ke berbagai daerah sebagai busana adat dan kelengkapan pokok tradisi. Apabila hal tersebut bisa direalisasikan secepatnya, pertumbuhan angka penjualan perajin batik baik Industri Kecil Menengah (IKM) dan Usaha Kecil Menengah (UKM) kian meningkat. Sampai sekarang, di provinsi ini ada 191 sentra IKM. Sementara di sektor batik dan bordir ada 5.926 unit. Secara total, penyerapan tenaga kerja di keduanya sekitar 21.000 pekerja (Hartono, 2011:4-7).

Cukup tingginya kepedulian pemerintah dalam memperjuangkan batik Indonesia ini tidak terlepas dari esensi kultural dan historis Batik Indonesia. Nilai budaya tak benda dari batik antara lain terkait dengan ritual pembuatan, ekspresi seni, simbolisme ragam hias, dan identitas budaya daerah. Batik dihasilkan dengan tangan melalui proses pemberian garis dan titik-titik dengan malam panas pada kain menggunakan Canthing tulis atau Canthing cap. Pola dan ragam batik tradisional dan modern memiliki simbolisme yang mendalam, di antaranya terkait dengan status sosial, komunitas daerah, alam dan juga perkembangan sejarah.

F. Kerangka Teoritis.

(46)

lepas dari kehidupan maritim mempengaruhi budaya di dalam batik tulis Lasemyang kemudian munculah batik Rakyat.

Sedangkan faktor eksternal antara lain hubungan dagang antar daerah dimana setiap daerah memiliki budaya masing-masing yang akhirnya memberi perubahan terhadap batik Lasem. Disamping itu ada pengaruh dari luar yaitu Cina pada saat itu memperluas hubungan antar negara. Dengan masuknya Cina ke Lasem tentu saja mempengaruhi batik tulis Lasem, kemudian pada saat itu juga penjajahan Bangsa Eropa sudah merambah ke dalam Nusantara dimana pada saat itu Belanda mencanangkan sistem kerja paksa pada masyarakat Lasem. Berawal dari Cina yang memberikan budaya oriental ke dalam motif batik tulis Lasem, lalu muncul batik Laseman.

(47)

(48)

BAB III

Metode Penelitian

A. Jenis Penelitian.

Berdasarkan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini, maka bentuk penelitian yang dipakai ad alah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Karena, jenis penelitian ini akan mampu menangkap berbagai informasi kualitatif dengan deskripsi teliti dan penuh nuansa, yang lebih berharga. Strategi yang digunakan adalah studi kasus, dan karena lokasi stu di ini terletak di satu kecamatan yang memiliki satu ko ta dengan kekhu susan tersendiri, yang merupakan unit analisis tersendiri, kemudian selanjutn ya akan disatukan dalam anilisis antar kasus untuk menemukan simpulan stud i secara lengkap . Selain itu, karena peneliti terjun dan menggali permasalahan di lapangan, maka jenis strategi penelitian ini b isa disebut sebagai studi kasus terp erancang.

B. Lokasi Penelitian.

Lokasi penelitian di Kabup aten Rembang, khusu sn ya kota Lasem. Pada kabupaten tersebut, terd ap at sentra batik Lasem yang terletak d i bekas kantor kecamatan Lasem, Jl. Ra ya Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang. Penelitia n dilakukan pada kurun waktu antara bulan April 2012 hingga Ju ni 2 012 denga n fokus pola-pola batik tulis Lasem beserta makna estetis yang terkandung did alamnya.

C. Teknik Pengambilan Sampel.

(49)

Pihak yang menjadi nara sumber d alam penelitian ini adalah para pengusaha dan pakar batik tulis Lasem yang sudah lama mendalami dan memiliki banyak pengalaman tentang batik tulis Lasem.

D. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data.

1. Sumb er Data.

Sumb er data yang dikumpulkan ad alah data kualitatif. Data yang digunakan b erasal dari nara sumb er, dokumen atau arsip , data visual karya b atik. Untuk lebih jelasnya seperti d i b awah ini:

a. Informan atau Nara Sumb er.

Info rman atau nara sumber yang akan diminati terdiri dari pengu saha dan p akar batik tulis Lasem yang terkait denga n permasalahan d an dipilih atas dasar rekomendasi dari nara su mber sebelumnya. Pemilihan nara sumber dengan menggunakan teknik purposive sampling hal ini dikarenakan nara su mber mengetahui secara mendalam dan dipercaya.

Nara sumb er utama dalam penelitian ini, sebagai berikut :

- H. Santosa Doellah, Pemilik perusahaan batik danar hadi dan salah satu pakar batik di Indonesia, beliau memiliki dedikasi, pengalam an, d an pengetahu an yang tinggi di dalam dunia perb atikan dan sudah mengenal tentang batik sekian lama. - Sigit W itjaksono , Pemilik Ru mah produksi kerajinan batik

(50)

- Prof. Dr. Wiliam Cant. M. Hum, pemerhati dan p eneliti etnis mengetahui perkembangan dan lokasi indu stri batik tulis Lasem.

- Jeng ida, Pemilik Sentra b atik lasem dan pengurus pagu yuban

pengu saha batik di kota Lasem.

- Cahyo Arjuna Wiwaha, M anajer rumah produksi kerjainan batik tulis Lasem. Beliau seseo rang yang dipercaya untuk mengurus doku men dan arsip tentang batik tulis Lasem. b. Tempat dan Aktivitas Pembatikan.

(51)

dan aktifitas pembatikan difokuskan p ada usaha batik Sentra Batik Lasem, dan Pad i Boloe. Alat yang d igunakan dalam melakuka n pengamatan ini adalah kamera.

c. Karya Batik.

Karya batik d isini b erupa kain hasil pembatikan yang masih b isa dilihat keberadaannya d i beberapa usaha p embatikan. Para pemb atik tidak menginventaris kain produksinya, sehingga ketika penelitian ini dilaku kan, tid ak bisa dijumpai wujud kain batik yang telah dibu at beb erapa tahu n yang lalu. Hanya ada beberapa kain batik Lawasan

yang disimp an untuk koleksi. Untuk keperluan p enelitian, b eberapa kain batik d ikumpu lkan, diseleksi dan diklasifikasi. Kain-kain batik tersebut kemud ian d i foto, untu k keperluan analisisnya.

d. Dokumen atau Arsip.

Dokumen dan Arsip adalah bahan tertulis yang mengenai peristiwa atau aktivitas pembatikan pada batik tulis Lasem. Serta catatan yang diperoleh dari berbagai pihak yang dap at menunjang penelitian ini, seperti dokumentasi berupa foto motif b atik tulis Lasem dan tulisan mengenai batik tulis Lasem.

2. Teknik Pengumpulan Data.

(52)

Metod e interaktif meliputi wawancara mend alam dan observasi, sed angkan metode no n-interaktif melipu ti observasi tak berperan, dan mencatat dokumen atau arsip.

Adapu n teknik pengu mpulan data sebagai berikut: a. Teknik Wawancara.

W awancara dilaku kan dengan info rman atau narasumber dengan topik wawancara sejarah, p erkembangan, d an makna estetis yang terkand ung d i dalam motif batik tulis Lasem dengan mengu naka n pendekatan interaktif, guna mengetahui data yang sesuai d engan permasalahan yang di angkat.

W awancara mendalam dimaksudkan dapat dilakukan pad a waktu d an konteks yang dianggap tepat, guna mendap atkan data yang dirinci juga mendalam serta dapat dila kukan berkali-kali sesuai denga n keperluan peneliti berka itan dengan kejelasan masalah yang sedang di gali.

b. Teknik Observasi.

Dalam observasi penelitian ini, peneliti hanya sebagai pengamat tanpa terlihat berperan ap apun, sehingga peneliti melakuka n observasi tak berperan, yaitu perilaku yang bergayutan dan kondisi lingkungan yang tersed ia di lokasi p enelitian dapat diamati secara formal maupun tidak fo rmal.

(53)

Lokasi , bend a, dan do kumentasi gambar terkait yang dimaksu d adalah perusahaan Batik Danar Had i dan Kota Sentra Industri Batik Tulis Lasem, karena lokasi tersebut merupakan tempat yang sesu ai u ntuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan d alam penelitian ini.

c. Teknik Pengkajian Dokumen atau Arsip.

Pengu mpulan data dengan teknik pengkajian do kumen dan arsip, membutuhkan bantuan dan kerja sama dengan dinas pariwisata, peru sahaan Batik Tulis di Lasem, Surakarta, dan lembaga-lembaga yang terkait. Dokumen atau arsip sangat diperlukan, karena mengara h pad a latar bela kang atau peristiwa yang ada keterkaitan dengan Pola Batik Lasem Pasca Penetapan UNESCO Tentang Batik Tahun 2009 .

Data d okumen yang d ip ero leh kemudian di olah sedemikian rupa u ntuk menguji kebenarannya baik secara eksternal (keaslian dokumen) maupun secara internal (keb enaran isi doku men atau pernyataan yang ada).

E. Validitas Data.

(54)

merupakan d ata asli dan tidak menjadi plagiat bagi p ihak yang akan melaku kan suatu tindakan yang meru gikan.

Trianggu lasi data yaitu mengumpulkan data yang sejenis dari beberap a sumber data yang berbeda misaln ya sumber d ata berup a informan, arsip, dan peristiwa. Dengan demikian data yang dip ero leh dari sumber yang satu teruji dengan data yang sama dari sumber yang berbeda.

F. Teknik Analisis Data.

Analisis interaktif d iterapkan untu k mengka ji d ata yang terutama berkaita n dengan permasala han yang di angkat, yaitu pertama mengenai Jenis Pola Batik Tulis Lasem yang berkembang pada Masa Pasca Penetapan UNESCO Tentang Batik tahun 2009.

(55)

Bagan 2. Teknik Analisis Data. Sumber d ata

Data 1

Data 2

Data 3 Analisis

interaktif

Analisis interpretatif

Dengan pendekatan estetika A. A.

M. Djelantik Data pengelompo kan batik tulis Lasem Pola 1 ,2,3,4,5

(56)

39 BAB IV

POLA DAN MOTIF BATIK LASEM

A. Situasi Batik Lasem Pasca Penetapan UNESCO Tentang Batik Tahun 2009.

Menurut sejarah industri batik Nusantara, kehadiran batik tulis Lasemsudah ada sejak berabad silam dan sempat menjadi komoditi ekspor di Asia, dengan prestasi tersebut juga turut mengharumkan nama kota Rembang di kancah Internasional. Pada awal permunculannya batik tulis Lasem disebut sebagai batik Encim, dalam pengertiannya adalah batik yang dipakai oleh wanita berusia lanjut keturunan Tionghoa. Dalam perjalanannya pengaruh Keraton juga ikut mewarnai corak, motif dan ragam batik tulis Lasem. Hal ini Terbukti dengan adanya motif Kawung dan sejarah batik Lasem Parang.

(57)

40

batik tulis Solo. Saat ini mencari batik tulis Lasem bisa mengalami kesulitan bagaikan mencari barang antik saja.

Sentra industri batik Lasem agak lesu mengingat pengusaha batik yang masih bertahan tinggal 12 orang saja. Pada masa kejayaan batik tulis Lasem, setiap masyarakat Lasem keturunan Tionghoa mengusahakan pembatikan dengan merekrut tenaga pembatik dari daerah desa sekitar Lasem, seperti Sarang dan Pamotan. Tenaga kerja tersebut melakukan pekerjaannya hanya sebagai sambilan saja, untuk mengisi waktu luang sembari menunggu musim panen dan musim tanam padi di sawah. Karena tenaga kerja yang direkut adalah petani desa sekitar Lasem, pada saat musim tanam dan panen padi mereka kembali pulang ke desa. Akibatnya tenaga pembatik berkurang dan dengan sendirinya proses produksi batik menjadi terganggu. Fakta yang lebih mengejutkan lagi, ternyata rata-rata anak pengusaha batik tulis Lasem lebih memilih bekerja sebagai pegawai kantor dan merantau keluar kota Lasem.

(58)

41

bertahan kemudian bangkit menjadi besar kembali seperti jaman dulu, mengingat generasi penerus para pengusaha batik tulis Lasem sudah tidak lagi tertarik untuk meneruskan usaha tersebut.

Batik tulis Lasem mempunyai ciri khas multikultural Jawa-Tionghoa yang kental. Tampak pada pesona warna-warni yang cerah serta motifnya yang khas, tradisi tersebut saat ini diwarisi oleh pengrajin batik di Rembang khususnya Lasem, Pancur, dan Pamotan. Motif khas Tionghoa itu bisa terlihat dalam gambar burung Hong, Kilin, Liong, Ikan mas, dan Ayam Hutan. Ada juga Motif bunga seperti Seruni, Delima, Magnolia, Peoni atau Sakura. Ciri khas motif Tionghoa lainnya bisa di lihat dalam motif geometris seperti Swastika, Banji, Bulan, Awan, Gunung, Mata Uang dan Gulungan Surat. Motif Tionghoa yang berpadu dengan motif Jawa pada umumnya terdapat di dalam batik khas Jogjakarta dan Solo, seperti Parang, Lereng, Kawung, dan Udan Riris. Warna dominan batik Lasem adalah merah, biru, sogan, hijau, ungu, hitam, krem, dan putih. Warna-warna ini adalah pengaruh dari silang budaya. Warna merah dalam batik Lasem adalah pengaruh dari budaya Tionghoa. Warna biru berasal dari pengaruh budaya Eropa (Belanda).

(59)

42

ungu berdasarkan selera pemesan. Tapi warna Merah dan Sogan terdapat di semua batik Tiga Negeri.

Sejak abad ke-19, pemasaran batik tulis Lasem sudah menembus seluruh pulau Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaka (termasuk Singapura dan Malaysia), Bali, Sulawesi, wilayah Asia Timur (Jepang), Suriname dan Eropa. Pengaruh penyebaran batik Lasem di zaman itu masih bisa dilihat di daerah Bali, Lombok, Sumbawa dan Sumatera Barat. Daerah Bali, kain batik tulis Lasem bermotif Lok Can dipakai sebagai selendang atau ikat pinggang pada berbagai upacara Agama. Daerah Lombok dan Sumbawa, batik tulis Lasem digunakan sebagai syal para pria. Sedangkan wanita di Sumatera barat menggunakan batik Lasem sebagai selendang. Budaya-budaya lokal tersebut pada gilirannya juga memberi pengaruh pada batik tulis Lasem, yang menginspirasi dimensi ukuran, motif, warna dan jenis kain menjadi lebih beragam.

(60)

43

orang. Tidak hanya masyarakat di Pulau Jawa yang menyukai batik tulis Lasem. Masyarakat di luar pulau Jawa, bahkan di luar negeri, terutama orang Belanda, Jepang, dan Amerika menyukai batik tulis Lasem.

Siti Romlah, seorang pengrajin batik tulis Lasem mengatakan, ”mungkin, tidak banyak orang yang tahu mengenai proses pembuatan batik tulis Lasem. Karena itu harga batik tulis Lasem cukup mahal, sebab proses pengerjaannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Membuat satu potong batik saja bisa menghabiskan waktu enam bulan sehingga wajar bila harga batik tulis Lasem ada yang mencapai tiga juta rupiah per potong. Harga umum Rp 75.00- per potong. Percaya atau tidak, ternyata pasar batik tulis Lasem mengalami pasang surut” (Wawancara, 7/03/2012).

(61)

44

Narasumber yang hadir dalam acara itu cukup berbobot, yaitu pemerhati dan peneliti budaya etnis Cina dari Institut Pluralisme Indonesia (IPI) Wiliam Cant, Musa dari Asosiasi Perancang Mode Pengusaha Indonesia (APMPI), dan Tamtana dari Asosiasi Mebel dan Perajin Indonesia (AMPI).

Wiliam Cant berpendapat, untuk bisa menggairahkan pasar batik tulis Lasem ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kita harus bisa melestarikan budaya, tujuannya adalah untuk menghasilkan produk batik tulis khas Lasem yang sudah memiliki nama. Untuk bisa memenuhi order, seorang pengusaha harus mempunyai cukup modal. Selain itu, pengusaha batik dituntut menguasai pemasaran dan mampu mencari peluang pasar. Dengan demikian, pengembangan ekonomi bisa lancar. Akan tetapi Musa yang berprofesi sebagai perancang mode berpendapat, sekarang sudah saatnya para pengusaha batik tulis Lasem melakukan kerja sama dengan para perancang mode (Wawancara, 17/03/2012).

(62)

45

Menurut kepercayaan Cina Pohon Bambu melambangkan kerukunan keluarga yang kuat. Selain itu beliau menjelaskan batik Lasem mempunyai dua corak khas yaitu : Latohan dan Watu Pecah. Motif Latohan terinspirasi dari tanaman Latoh (sejenis rumput laut) yang menjadi makanan khas masyarakat Lasem sedangkan motif Watu Pecah menggambarkan kejengkelan masyarakat Lasem sewaktu pembuatan jalan Daendeles yang memakan banyak korban. Hal senada juga diungkapkan oleh ibu H. Umy Jazilah Salim selaku ketua Dekranasda Rembang. Beliau mengatakan motif batik tulis Lasem banyak dipengaruhi oleh motif kebudayaan cina dengan motif burung Hong, dan Naga. Salah satu contohnya, mitologi Cina mengenal beberapa hewan legenda di kehidupan zaman dahulu, seperti burung Hong atau disebut juga burung Fenghuang. Feng sebutan untuk spesies jantan, sedangkan Huang sebutan untuk betina. Burung Hong menjadi hewan legendaris kedua setelah Naga. Biasanya, burung Hong disandingkan bersama Naga melambangkan keindahan dan keabadian. Legenda burung Hong juga dikenal di beberapa negara lain. Negara Mesir misalnya, dikenal dengan nama burung Phoenix. Dalam mitologi Mesir, burung Phoenix memiliki arti keabadian, lambang siklus kehidupan setelah mati dan simbol dari kebangkitan tubuh setelah mati (Wawancara, 15/04/2012).

(63)

46

burung Hong selalu terlihat berwibawa dan anggun di setiap goresan bentuknya. Orang Tionghoa percaya simbol kebahagiaan lekat dengan keberadaan burung Hong.

Mitos burung Hong sangat lekat dengan kehidupan warga Tionghoa. Burung Hong sering dijadikan sebagai hiasan pada dekorasi pernikahan, yang biasanya disandingkan bersama hewan Naga. Mereka percaya bahwa dalam mitologi Cina, jika burung Hong dipasangkan dengan Naga, dapat menjadi simbol hubungan mesra antara suami dan istri. Permaisuri Kaisar Cina dan putri-putri Istana pun turut menggunakan burung Hong sebagai Motif utama di pakaian untuk perayaan hari besar Cina. Batik motif Cina mempunyai daya tarik tersendiri. Goresan yang terlahir dari tangan pengrajin Tionghoa yang mengikuti budaya Jawa ini, hingga sekarang masih turun temurun diproduksi oleh warga keturunan Cina dan juga masyarakat pribumi Jawa. Kehadiran batik yang bermotif budaya Cina, banyak digandrungi pecinta batik Indonesia.

(64)

47

dan lanjutan. Melalui pelatihan tingkat dasar, pengrajin Batik dapat memiliki keahlian berkualitas. Pelatihan tingkat lanjutan ditujukan agar pengrajin tidak sekadar menghasilkan batik untuk dijual tetapi juga mempunyai nilai seni yang tinggi.

Peresmian Pelatihan Batik Tulis Lasem telah dilaksanakan pada Februari 2011. Bank swasta tersebut kemudian akan mengikutsertakan produk batik Lasem di pameran kerajinan khas Indonesia dalam skala Nasional maupun Internasional. Hal itu untuk mempermudah pemasaran batik Lasem. melihat kesulitan terbesar para pengrajin batik adalah tidak memiliki modal kerja yang mencukupi untuk membeli bahan baku batik. Akibatnya mereka hanya mengharapkan imbalan jasa dari pengusaha batik.

(65)

48

Sedangkan menurut Kepala Dinas Indakop dan UMKM bapak Drs. H. Waluyo M. M, pihaknya akan terus mengupayakan untuk melestarikan batik Lasem. Deprindakop dan UMKM bekerjasama dengan Dekranasda memfasilitasi para pengrajin untuk mengikuti event batik nasional, seperti event yang diselenggarakan oleh Yayasan Batik Indonesia (YBI) belum lama ini dan pameran yang diselenggarakan oleh UNESCO awal bulan Oktober. Waluyo juga menjelaskan pihaknya akan mengadakan pameran Batik Tulis Lasem setiap beberapa tahun sekali di kota–kota besar Indonesia (Wawancara, 20/04/2012).

B. Pola Batik Lasem Pasca Penetapan UNESCO Tentang Batik Tahun 2009. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa muncul pola baru batik tulis Lasem yang sudah tidak lagi mengikuti pola Pakem dari batik Lasem itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan mengikuti permintaan pasar ketika batik menjadi fenomenal setelah ditetapkan oleh UNESCO sebagai budaya tak benda warisan Indonesia pada tahun 2009 lalu.

(66)

49 1. Batik Tulis Lasem Selera Rakyat.

Batik pola selera rakyat merupakan batik rakyat yang menjadi bagian dari tradisi budaya masyarakat Lasem dan sudah menjadi ciri khas daerah Lasem, sehingga pada beberapa motif dan warna merupakan cerminan dari kondisi alam lingkungan sekitar sebagai simbol tradisi hingga sekarang. Bentuk motif mengadopsi dari alam lingkungan sekitar seperti flora (Latohan, Aseman, Puspa, Sekar Jagad, Tiga Negri) dan fauna seperti Peksi.

Warna yang diterapkan sangat bervariatif seperti merah, kuning, jingga, ungu biru, hijau, dan putih. Sebagian besar susunan struktur adalah non geometris, juga dijumpai pola Lawasan yang dibuat hanya untuk memenuhi pesanan saja, karena peminat pola Lawasan saat ini dikategorikan tidak ada. Maka kelanjutan untuk memproduksi batik tulis Lasem selera rakyat pola Lawasan tidak diwujudkan dan hanya sebagai koleksi saja. Maksud dari pola Lawasan adalah warna yang diterapkan merupakan warna pudar untuk memunculkan kesan batik yang sudah lama. Untuk golongan geometris menggunakan pengulangan pola pada pola Lerek, sedangkan untuk non geometris tidak menggunakan pengulangan pola.

Gambar 5. Pola Sekar Jagad, karya Sigit Witjak sono (Astau fi, 2012)

(67)

50 2.

Gambar 7. Pola Krecak Peksi, karya Jeng Ida (Astaufi, 2012)

Gambar 8. Pola Sekar Krecak, karya Jeng Ida (Astaufi, 2012)

Gambar 9. Pola Lerek Latohan, karya Sigit Witjak sono (Astau fi, 2012)

Gambar 10. Pola Sekar Aseman, karya Sigit Witjak sono (Astau fi, 2012)

Gambar 11. Pola Lerek Aseman, karya Jeng Ida (Astaufi, 2012)

(68)

51 2. Batik Tulis Lasem Selera Cina

Batik tulis Lasem Selera Cina adalah Batik yang memiliki pola hias dengan goresan motif Cina. Beberapa pola selera Cina tersebut, yaitu motif Lok Can, Sisik Naga, Banji Tambal, Terate, Tok Wi, Hong, dan lainnya. Motif selera Cina mengambil dari tradisi kepercayaan Cina yang banyak dikenal oleh masyarakat. Penggarapan polanya dengan mengubah dan menggabungkan motif dari yang satu dengan yang lainnya dan tidak menghilangkan ciri khas atau karakter dasarnya. Perpaduan pola dilakukan sesuai dengan keinginan pengrajinnya.

Pemberian nama disesuaikan dengan nama motif yang dipakai seperti Lerek Naga yang pada wujudnya pola Lerek sebagai latar dan pola Sisik Naga sebagai motif utama. Motif latar pada umumnya disebutkan pada bagian awal kalimat kemudian kalimat berikutnya adalah pola yang menjadi motif utama atau motif selingan. Sebagian besar susunan strukturnya adalah non geometris. Penerapan warna memakai variasi yang yang beragam seperti biru, krem, merah, hijau, jingga, dan putih.

Gambar 13. Pola Lok Can, karya Jeng Ida (Astau fi, 2012)

(69)

52

Gambar 15. Pola Banji Tambal, karya Sigit Witjak sono (Astau fi, 2012)

Gambar 16. Pola Terate, karya Sigit Witjak sono (Astau fi, 2012)

Gambar 17. Pola Naga, karya Sigit Witjak sono (Astau fi, 2012)

Gambar 18. Pola Tok Wi, karya Sigit Witjak sono (Astau fi, 2012)

Gambar 19. Pola Bambu, karya Sigit Witjak sono (Astau fi, 2012)

Gambar

Gambar 1. Batik Pola Bang-Biru dan Bang-bangan.
Gambar 2. Batik Pola Liong dan Burung Hong.
Gambar 3. Batik Pola Kendoro-Kendiri.
Gambar 5. Pola Sekar Jagad, karya Sigit
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sesuai dengan pendapat Boyd (1990) bahwa perairan yang diperuntukkan untuk kegiatan perikanan sebaiknya mengandung konsentrasi karbon-dioksida bebas tidak

FD Pemrakatsa PD Terkait.. 4 8 3 Paraf Hierarki Sekda JbirinPtml Kabag KuViim Paraf Koordinasi PD Pemrakarsa PD Terkait.. f-0 Pemrakarsa PD Terkait.. 0 0 0 Paraf HieraiV.)

Cardholer atau pemegang kartu adalah pihak yang menggunakan kartu kredit dalam kegiatan pembayaran, dimana pemegang kartu tersebut telah memenuhi prosedur atau

Laju rata-rata pertambahan panjang secara linier di kedalaman 9 meter, 6 meter, dan 3 meter selama empat bulan yaitu dari bulan agustus- november meningkat

Dari hasil penelitian menyimpulkan bahwa dengan adanya Traffic Lights atau APILL permasalahan lalu lintas yang terjadi di Simpang Tanjung Alam, Kabupaten Agam

Sebagai contoh pada hasil pengujian yang sudah dilakukan, hasil laju korosi dari air laut Kabupaten Lamongan adalah yang paling cepat didapatkan pada lama waktu perendaman

Pada penelitiannya selanjutnya diharapkan dapat menentukan pengaruh penambahan aditif PEG dengan berat molekul yang lain, diutamakan lebih rendah dari PEG 6000, dan

Value set (domain, kumpulan nilai) dari atribut masing-masing atribut simple dari sebuah tipe entity dihubungkan dengan himpunan nilai (atau domain nilai), yang menspesifikasi