• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGATURAN KOMPONEN DAN TAHAPAN PENCAPAIAN HIDUP LAYAK GUNA MEWUJUDKAN UPAH LAYAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGATURAN KOMPONEN DAN TAHAPAN PENCAPAIAN HIDUP LAYAK GUNA MEWUJUDKAN UPAH LAYAK"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGATURAN KOMPONEN DAN TAHAPAN PENCAPAIAN HIDUP LAYAK GUNA

MEWUJUDKAN UPAH LAYAK

(Jurnal Ilmiah)

Oleh

BERIYA TANGKARI UTAMA

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGATURAN KOMPONEN DAN TAHAPAN PENCAPAIAN HIDUP LAYAK GUNA

MEWUJUDKAN UPAH LAYAK

Oleh

Beriya Tangkari Utama, Dr. H.S. Tisnanta, S.H., M.H., Sri Sulastuti, S.H., M.Hum.

Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung Jalan Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung, 35145

Email : tangkariberiya@gmail.com

Upah merupakan tujuan utama dari seorang pekerja untuk melakukan pekerjaan, oleh karena itu pemerintah turut serta dalam menangani masalah pengupahan melalui berbagai kebijakan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: bagaimana pencapaian kebutuhan hidup layak dalam penetapan upah minimum provinsi dan apakah upah minimum provinsi telah mencapai kebutuhan hidup layak dalam mewujudkan upah layak bagi pekerja/buruh.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder dengan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Data yang telah diolah dianalisis dengan cara analisis deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah mengeluarkan berbagai macam kebijakan guna mewujudkan upah layak yaitu UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, Permenakertrans Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum dan Permenaker Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak. Penetapan upah minimum dilakukan oleh Gubernur pada setiap tahun dengan memperhatikan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi. Upah Minimum Provinsi (UMP) yang diarahkan pada pencapaian KHL sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan belum sepenuhnya dapat terwujud. Salah satu penyebabnya yaitu belum ada ketentuan yang mengatur mengenai perbedaan pemberian upah antara pekerja lajang dan tidak lajang yang jelas kebutuhannya berbeda. Pemerintah sebaiknya melakukan perubahan atau revisi kebijakan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan pengupahan yang berorientasi pada terwujudnya upah layak untuk kesejahteraan pekerja/buruh tanpa menghambat keberlangsungan perusahaan dan proses produksi.

(3)

ABSTRACT

THE GOVERNMENT POLICY IN THE MANAGEMENT OF COMPONENTS AND STAGES OF DECENT LIVING STANDARD TO

ACCOMPLISH DECENT WAGES

By

Beriya Tangkari Utama, Dr. H.S. Tisnanta, S.H., M.H., Sri Sulastuti, S.H., M.Hum.

Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung Jalan Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung, 35145

Email : tangkariberiya@gmail.com

Wages are the main objective of a worker to perform the job, therefore the government takes control in handling wage issues through various policies set forth in the legislation. The problems in this study are formulated as follows: how do the decent living needs are achieved in establishing the provincial minimum wage? and, has the provincial minimum wage reached the needs of decent living in accomplishing decent wages for workers/laborers?

This study is a normative law research. The data used was from secondary data with primary, secondary, and tertiary legal materials. The data that have been processed were analyzed using descriptive analysis.

The results showed that the Government has issued various policies to accomplish decent wage, namely Law no. 13/2003 concerning Manpower, Government Regulation Number 78/2015 concerning Wages, Permenakertrans (the regulation of the minister of labor and transmigration) Number 7/2013 on Minimum Wage and Permenaker Number 21/2016 on Decent Living Needs. The determination of the minimum wage shall be made by the Governor on an annual basis by evaluating the productivity and economic growth. The Provincial Minimum Wages which directed to achieve the decent living needs as stipulated in the legislation have not been fully achieved. Among the causes was the absence of provision that regulates the difference of wages between single and married workers since the living needs must be different. The government should make changes or revisions to policies set forth in the legislation related to wage oriented for the accomplishment of decent wages for the welfare of workers without impeding the sustainability of the company and the production process.

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Tenaga kerja yang sudah melakukan sebuah pekerjaan berhak untuk mendapatkan upah guna memenuhi kebutuhan

hidupnya. Upah adalah hak

pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian, kesepakatan dan

perundang-undangan, termasuk

tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerja dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

Upah telah menjadi hak bagi pekerja/buruh yang harus diberikan oleh pemberi kerja, sebab pada dasarnya upah merupakan imbalan prestasi yang dibayarkan oleh majikan kepada pekerja/buruh atas pekerjaan yang telah dilakukan.1 Upah memegang peranan yang penting dan merupakan suatu tujuan utama dari seorang pekerja melakukan pekerjaan pada orang atau badan hukum lain, karena itulah pemerintah turut serta dalam menangani masalah pengupahan ini melalui berbagai kebijakan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.2

1

Abdul Rachmat Budiono, Hukum Perburuhan Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 1997, hlm. 36

2

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenaga-kerjaan Indonesia, (Jakarta:Rajawali Pers), 2012, hlm. 158

Perihal besaran upah yang harus dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh didasarkan pada upah minimum yang menjadi salah satu kebijakan pengupahan dari pemerintah dan ditetapkan melalui mekanisme sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh Gubernur sebagai jaring pengaman.3 Upah minimum sebagaimana dimaksud di atas diarahkan kepada pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL)4 dengan prinsip bahwa pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Sejalan dengan era otonomi daerah manifestasi kebijakan upah minimum yang ditetapkan pemerintah adalah Upah Minimum Provinsi (UMP).5

Adanya realitas yang menunjukkan bahwa masih terdapat pekerja/buruh di Indonesia yang berpenghasilan rendah, dan minimnya perlindungan terhadap para pekerja/buruh agar tidak menjadi korban sikap opportunis pengusaha,

telah mendorong pemerintah

memandang perlu diberlakukannya kebijakan penerapan upah minimum. Jika penetapan upah didasarkan pada mekanisme pasar, maka dapat dipastikan pekerja/buruh akan memperoleh upah yang sangat rendah, karena melimpahnya tenaga kerja di Indonesia. Kebijaksanaan penentuan upah minimum dimaksudkan untuk menjamin penghasilan pekerja/buruh,

3

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum

4

Pengertian KHL menurut Permenaker Nomor 21 Tahun 2016 pada Pasal 1 Ayat 1 adalah standar kebutuhan seorang pekerja atau buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1 bulan.

5Ibid

(5)

meningkatkan produktivitas pekerja/

buruh serta mengembangkan

perusahaan dengan cara-cara yang lebih efisien.6

Situasi empiris menunjukkan telah terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan pemberian upah bagi pekerja/buruh. Hal tersebut ditunjukkan dengan situasi bahwa tidak semua perusahaan membayarkan upah pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa pekerja/buruh melakukan aksi demonstrasi terhadap pengusaha dikarenakan upah tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Berdasarkan berita yang dirilis dari detikfinance, masih terdapat beberapa daerah provinsi di Indonesia yang menetapkan UMP dibawah besaran KHL, daerah-daerah provinsi tersebut antara lain, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat. UMP terendah tahun ditempati oleh Maluku Utara dengan

UMP Rp 1.577.617 dengan nominal KHL Rp 2.333.166. Kemudian Provinsi Gorontalo menetapkan UMP Rp 1.600.000 dengan nominal KHL Rp 1.864.379. Posisi terakhir diduduki oleh Provinsi Papua Barat dengan UMP Rp 2.015.000 dengan nominal KHL Rp 2.255.113.

Merujuk pada situasi dan kondisi diatas salah satu tuntutan pekerja/buruh yang

6

Suparjan dan Hempri Suyatno, Kebijakan Upah Minimum, (Yogyakarta:Universitas Gajah Mada), 2002, hlm. 299

sangat urgen adalah mengenai kenaikan upah minimum sebesar 30 persen dan revisi komponen dan jenis KHL dari 60 komponen dan jenis KHL menjadi 84 komponen dan jenis KHL. Menurut Sekretaris Jenderal KSPI Muhammad Rusdi mengatakan bahwa jumlah komponen KHL yang berjumlah 60 item masih jauh dari kebutuhan riil pekerja lajang, masih ada 24 kebutuhan pekerja lajang yang belum masuk, dispenser, perlengkapan P3k, keset kaki, hanger dan horden, perlengkapan makan (mangkok, meja dan kursi makan).7

Dengan adanya tuntutan tersebut maka telah terjadi ketimpangan antara kebijakan atau regulasi dengan keadaan yang senyatanya, sehingga keadilan penerapan dan pemberian upah belum dirasakan oleh pekerja/buruh, sedangkan upah menjadi aspek yang penting bagi pekerja/buruh guna

memperoleh kehidupan dan

penghidupan yang layak untuk kesejahteraan secara personal dan bagi keluarga. Mengacu pada ketentuan Pasal 88 Ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa setiap pekerja/ buruh berhak memperoleh

penghasilan yang memenuhi

penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan. Untuk mencapai

(6)

substansi kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh ialah upah minimum. Komponen Hidup Layak terdiri dari komponen-komponen yang merupakan jenis-jenis kebutuhan dasar bagi pekerja/buruh yang dapat memenuhi penghidupan yang layak bagi pekerja/buruh. Arah pencapaian UMP terhadap KHL serta komponen dan jenis KHL tersebut telah diatur secara teknis dalam Permenaker No. 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak sebagai perubahan dari Permenakertrans No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 89 Ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003.

Menilik kepada tuntutan pekerja/buruh agar upah minimum dinaikkan sebesar 30 persen dan komponen dan jenis KHL direvisi agar menjadi 84 komponen dan jenis KHL, maka perlu dilakukan tinjauan terhadap Permenaker No. 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak karena dirasa telah terjadi perbedaan antara regulasi dengan realitas di masyarakat pekerja/buruh.

Upah layak harus diperoleh

pekerja/buruh sebab telah menjadi amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan agar kesejahteraan pekerja/buruh dapat tercapai melalui kebijakan pengupahan yang adil.

Berdasarkan uraian di atas, dirasakan penting untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang kebutuhan hidup layak dalam penetapan upah minimum yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka penulis mengkajinya melalui penelitian dan judul yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah “Kebijakan Pemerintah Dalam Pengaturan Komponen Dan Tahapan Pencapaian Hidup Layak Guna Mewujudkan Upah Layak”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang menggambarkan permasalahan di atas, perlu dilakukan identifikasi terhadap permasalahan sebagaimana dimaksud melalui perumusan masalah berikut ini : 1. Bagaimana pencapaian Kebutuhan

Hidup Layak (KHL) dalam

penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) ?

2. Apakah Upah Minimum Provinsi telah mencapai Kebutuhan Hidup Layak dalam mewujudkan upah layak bagi pekerja/buruh?

BAB III

METODE PENELITIAN

2.1 Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan normatif. Pendekatan normatif yaitu pendekatan mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan prilaku setiap orang. Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif tertulis bentukan lembaga perundang-undangan, kodifikasi, Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan seterusnya dan norma hukum tertulis buatan pihak-pihak yang berkepentingan (kontrak, dokumen hukum, laporan hukum, catata hukum, dan Rancangan Undang-Undang).

2.2 Prosedur Pengumpulan Data

(7)

Hidup Layak (KHL). Studi dokumen adalah pengkajian informasi tertulis

mengenai hukum yang tidak

dipublikasikan secara umum, tetapi boleh diketahui oleh pihak tertentu dalam rangka kajian hukum.8

2.3 Analisis Data

Data yang telah diolah dianalisis dengan

menggunakan cara deskriptif

maksudnya adalah analisis data yang dilakukan dengan menjabarkan secara rinci kenyataan atau keadaan atas suatu objek dalam bentuk kalimat guna memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap permasalahan yang diajukan sehingga memudahkan untuk ditarik kesimpulan.

BAB III PEMBAHASAN

3.1.Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak dalam penetapan Upah Minimum Provinsi

Dalam hukum positif di Indonesia terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kebutuhan hidup layak dalam penetapan upah minimum provinsi. Instrumen hukum tersebut antara lain UUD 1945, UU Nomor 13 Tahun 2003, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 dan Permenaker Nomor 21 Tahun 2016. Setelah dilakukan pengkajian terhadap berbagai peraturan tersebut maka dapat dinyatakan materi hukum yang berkaitan dengan kebutuhan hidup layak dalam penetapan upah minimum adalah pengaturan kebutuhan hidup layak, mekanisme proses penetapan upah minimum berdasarkan standar KHL, dan komponen dan jenis KHL. Secara

8

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 83

lengkap materi hukum tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Pengaturan mengenai Kebutuhan Hidup Layak

Pengaturan mengenai KHL secara tegas telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tepatnya pada Pasal 27 Ayat 2 yaitu “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Selanjutnya, pada Pasal 28 D Ayat 2 mengatur bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Kemudian mengacu Pasal 89 Ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak diatur dengan Keputusan Menteri. Pengaturan komponen dan pelaksaan tahapan pencapaian KHL sebelumnya diatur dalam Permenkertrans Nomor

PER.17/MEN/VIII/2015 tentang

Komponen dan Pelaksaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.

Namun, pada perkembangannya

peraturan menteri tersebut diubah dengan Permenkertrans Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Point penting perubahan regulasi tersebut salah satunya adalah penyempurnaan KHL dari 46 komponen menjadi 60 komponen.

(8)

tentang Kebutuhan Hidup Layak Pasal 1 Angka 1 adalah standar kebutuhan seseorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam 1 (satu) bulan. Menurut pendapat penulis, kebutuhan hidup layak merupakan tolak ukur utama dalam menentukan upah minimum pekerja/buruh.

Upah minimum merupakan suatu batasan yang diberikan oleh Pemerintah kepada pengusaha untuk memberikan upah kepada pekerja/buruh, sehingga

dengan adanya upah minimum

pengusaha tidak dapat semena-mena dalam menentukan upah pekerja/buruh. Upah minimum tersebut digunakan sebagai penentu apakah seorang pekerja/buruh sudah mendapatkan hidup yang layak atau sebaliknya, dalam hal ini Pemerintah harus benar-benar turut andil dalam membuat kebijakan mengenai kebutuhan hidup layak yang bertujuan untuk menentukan upah minimum. Pemerintah harus memperhatikan apakah kebutuhan hidup layak pekerja/buruh sudah benar-benar dapat terpenuhi selama satu bulan, mengingat masih banyak terdapat perbedaan dalam menentukan upah minimum disetiap daerah.

2. Mekanisme Proses Penetapan Upah Minimum berdasarkan Standar KHL

Berdasarkan penjelasan dari pasal-pasal tersebut, menurut pendapat penulis hal ini dapat menyebabkan KHL hanya berperan pada tahun kelima setelah adanya perubahan jumlah komponen KHL dan kualitas KHL itu sendiri. Di empat tahun tersebut penetapan upah minimum tidak dipengaruhi oleh nilai KHL tetapi hanya ditentukan oleh inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, Dewan Pengupahan Provinsi/ Kabupaten/ Kota akan kehilangan fungsi nya untuk berperan

serta secara langsung dalam menentukan komponen dan jenis kebutuhan hidup layak. Hal ini dikarenakan penting untuk melakukan survey langsung kepada pekerja/buruh di lapangan mengingat bahwa data BPS adalah data sekunder berupa data olahan, sedangkan data survey langsung ke pekerja/buruh yang merupakan data primer. Dengan demikian, Pemerintah akan mengetahui secara menyeluruh mengenai komponen dan jenis kebutuhan hidup layak yang sangat dibutuhkan oleh pekerja/buruh.

3. Komponen dan Jenis Kebutuhan Hidup Layak

Didalam Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012 pada Pasal 2 yang menjelaskan bahwa KHL terdiri dari komponen dan jenis kebutuhan

sebagaimana tercantum dalam

Lampiran I Peraturan Menteri ini, dan telah dijelaskan juga di dalam ketentuan Permenaker Nomor 21 Tahun 2016

bahwa komponen KHL tidak

mengalami perubahan. Ketentuan ini tertuang pada bagian penutup dari Permenaker Nomor 21 Tahun 2016 yang menjelaskan bahwa pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan selain Pasal 2 dan Lampiran I Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Kesimpulan yang dapat diambil dari pemaparan diatas bahwa Permenaker Nomor 21 Tahun 2016 tidak merevisi ketentuan Pasal 2 dan Lampiran I pada Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012.

(9)

Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. sepatu, rak piring portable plastic, sabun cuci piring (colek) 500 gr per bulan, gayung plastik ukuran sedang, sisir, ballpoint/pensil, cermin 30 x 50 cm.

3.2.Pencapaian Upah Minimum Provinsi terhadap Kebutuhan

Hidup Layak dalam

mewujudkan upah layak bagi pekerja/buruh di Indonesia

Setiap orang pada hakekatnya membutuhkan pekerjaan (bekerja), hal tersebut dimaknai bahwa setiap orang berhak untuk mengaktualisasikan diri melalui sarana pekerjaan sehingga seseorang yang bersangkutan merasa memiliki hidup yang lebih bermakna bagi diri dia sendiri, orang lain, dan lingkungannya. Hal yang lebih mendasar daripada aktualisasi diri yaitu seseorang bekerja untuk memperoleh upah atas pekerjaan yang dilakukan,

dalam rangka mewujudkan

kesejahteraan secara personal dan keluarga guna mencapai taraf hidup yang baik. Pekerja/buruh dalam Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan diartikan setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa hanya tenaga kerja yang sudah bekerja yang dapat disebut pekerja/buruh.9

Pada dasarnya pula upah merupakan bagian penting dari suatu hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Ditinjau dari segi yuridis

9

Lalu husni,Pengantar Hukum ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers), 2012, Hlm 30

hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh bersifat timbal balik karena masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dan dilaksanakan sesuai dengan perjanjian dan peraturan perundang-undangan.10 Setelah dilakukan pengkajian terhadap berbagai peraturan maka dapat dinyatakan materi hukum yang berkaitan dengan pencapaian upah minimum provinsi terhadap kebutuhan hidup layak dalam mewujudkan upah layak bagi pekerja/ buruh di Indonesia adalah mengenai pertumbuhan upah minimum provinisi dan kebutuhan hidup layak serta kelayakan upah minimum provinsi terhadap pekerja/ buruh. Secara lengkap materi hukum tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pertumbuhan Upah Minimum Provinsi dan Kebutuhan Hidup Layak

Pengukuran akan kemajuan sebuah perekonomian memerlukan alat ukur yang tepat, berupa alat pengukur pertumbuhan ekonomi antara lain yaitu Produk Domestik Bruto (PDB) atau ditingkat regional disebut dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yaitu jumlah barang atau jasa

yang dihasilkan oleh suatu

perekonomian dalam jangka waktu satu tahun dan dinyatakan dalam harga pasar.11 Penetapan upah minimum yang diatur dalam Permenaker Nomor 21 Tahun 2016 tidak lagi mempertimbang-kan mengenai PDRB, melainmempertimbang-kan hanya berfokus kepada PDB saja. Namun, hal tersebut tidak berarti kita harus melupakan mengenai PDRB. Mengulas

10

Dikutip dari Jurnal Hukum Tri Budiyono,

Problematika Posisi Buruh Pada Perusahaan Pailit, (Semarang: Fakultas Hukum Undip), 2013, Hlm 417

11

Todaro, Michael,P, dan Stephen C, Smith,

(10)

sejenak mengenai PDB dan PDRB dalam dinamika pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk menggambarkan bagaimana pengaruh PDB ataupun PDRB sebagai factor pertimbangan penetapan upah minimum.

Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi jika jumlah produksi barang dan jasanya meningkat. Angka yang digunakan untuk menaksir perubahan output adalah nilai moneternya (uang) yang tercermin dalam nilai PDB.12 Berdasarkan uraian data tabel diatas, dapat diamati bahwa penurunan perekonomian global akibat krisis ekonomi yang terjadi di tahun 2010 tidak berdampak signifikan terhadap perekonomian di Indonesia jika dikomparasikan dengan dampak yang dialami Negara lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu Negara dengan perfoma pertumbuhan PDB tertinggi di seluruh dunia pada tahun 2010 (berada di posisi 3 diantara kelompok Negara-negara G-20).13

Pertama, perekonomian Jawa Tengah yang diukur berdasarkan besaran PDRB atas dasar harga berlaku pada triwulan III tahun 2014 mencapai Rp. 179.199,1 milyar, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan 2000 adalah Rp. 60.004,3 milyar. PDRB Jawa Tengah pada triwulan III tahun 2014 dibandingkan triwulan yang sama pada tahun 2013 mengalami pertumbuhan sebesar 5,4 Persen. Kedua, Provinsi DKI Jakarta secara total pada triwulan ke III tahun 2014 pertumbuhan ekonomi yang

12

Wisna Sarsi, Pengaruh tingkat upah dan pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat partisipasi angkatan kerja di Provinsi Riau, (Riau: Fakultas Ekonomi), 2014, Hlm 6 13

http://www.indonesia-investments.com/- id/keuangan/angka-ekonomi-makro/produk-domestik-bruto-indonesia/item253

diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan 2000 menunjukkan

pertumbuhan sebesar 1,86%

dibandingkan pada triwulan ke II tahun 2014, dan sebesar 6,02% dibandingkan pada triwulan ke III tahun 2013. Dengan demikian secara kumulatif PDRB Provinsi DKI Jakarta tahun 2014 mengalami pertumbuhan sebesar 6,03% dibandingkan tahun 2013.14

Ketiga, Provinsi Jawa Timur turut mengalami pertumbuhan nilai PDRB yang meningkat. Perekonomian Jawa Timur diukur berdasarkan besaran PDRB atas dasar harga berlaku pada Triwulan II tahun 2014 sebesar Rp. 328,40 triliun. Jika diperbandingkan, triwulan III tahun 2014 dengan triwulan yang sama pada tahun 2013, mengalami pertumbuhan 5,91%.

Uraian data mengenai pertumbuhan

ekonomi yang ditinjau dari

pertumbuhan nilai PDB skala nasional dan PDRB di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan kecendrungan pertumbuhan PDB dan PDRB dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, meskipun kekuatan peningkatan yang terjadi fluktuatif. Meski demikian, kondisi perekonomian secara global maupun regional di Indonesia dinilai positif serta dapat membawa pengaruh baik di dalam pasar tenaga kerja yang dapat membuka peluang yang baik bagi

pemerintah untuk menetapkan

kebijakan UMP bagi pekerja/buruh yang mampu mengarahkan pada tercapainya KHL. Akan tetapi, terdapat situasi yang dapat dijadikan pertimbangan bahwa meningkatnya

PDB atau PDRB maka akan

meningkatkan jumlah tenaga kerja.

Menurut penulis, peningkatan jumlah tenaga kerja akan berdampak pada

14

(11)

kebijakan pengupahan oleh pemerintah serta beban upah yang harus ditanggung oleh pengusaha (perusahaan). Konsekuensi logis bagi pengusaha dalam melaksanakan kewajiban upah pekerja/buruh yaitu beban pembayaran (pengeluaran) bagi pengusaha akan semakin besar, selain itu permintaan dan penawaran upah antara pengusaha dengan pekerja/buruh akan menjadi kompleks yang berdampak pada perselisihan kepentingan antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Pemerintah sebagai pihak yang netral bertindak sebagai penengah dalam hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan berperan sebagai pembuat kebijakan yang akomodatif dan adil sehingga kepentingan-kepentingan antara pengusaha dengan pekerja/buruh dapat sama-sama terpenuhi.

Aspek KHL sebagai salah satu dasar penetapan UMP di Indonesia secara

aksional telah menimbulkan

disharmonis terhadap hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Tuntutan pekerja/buruh mengenai kenaikan upah dan penambahan komponen KHL, pada akhirnya mendorong pemerintah untuk mengkaji kebijakan pengupahan agar dapat

mewujudkan upah layak bagi

pekerja/buruh. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai perubahan

formulasi arah kebijakan

ketenagakerjaan terutama yang berkaitan dengan pengupahan dimana salah satu bentuk dari kebijakan tersebut adalah kebijakan penentuan

upah minimum yang awalnya

didasarkan pada Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), setelah itu diubah kembali dengan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM, dan saat ini acuan untuk penentuan upah minimum

didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL).15

Berdasarkan pernyataan tersebut terlihat jelas bahwa kenaikan atau pertumbuhan UMP tahun 2016-2017 sebagian lebih atau di atas 10 persen dengan UMP di tahun sebelumnya. Diberlakukannya Permenakertrans tersebut adalah untuk menyesuaikan kebijakan komponen KHL dengan kondisi di lapangan serta untuk menyempurnakan kebijakan KHL yang terdahulu. Seiring dengan meningkatnya taraf hidup serta dinamika perekonomian Negara yang dirasa semakin tinggi, pekerja/buruh pun bereaksi terhadap upah yang diperoleh. Komponen KHL yang

diasumsikan dapat mencukupi

kebutuhan dasar pekerja/ buruh pada kondisi riil di lapangan dirasa masih

jauh dari kehidupan layak

pekerja/buruh, sehingga pihak pekerja/buruh melakukan protes kepada pemerintah untuk merevisi kebijakan komponen KHL yang terurai dalam Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012. Setelah beberapa tahun kemudian, pada tanggal 27 Juni 2016 telah disahkan Permenaker Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak yang dinilai sebagai reinkarnasi dari Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012.

2. Kelayakan UMP terhadap Pekerja/ Buruh

Pekerja/buruh dalam Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan diartikan setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa

15

(12)

hanya tenaga kerja yang sudah bekerja yang dapat disebut pekerja/buruh. 16

Upah minimum provinsi yang

ditetapkan baik yang diuraikan kepada

pencapaian KHL maupun yang

ditetapkan berdasarkan KHL

merupakan standar kebutuhan untuk seorang pekerja/buruh yang masih lajang (tanpa tanggungan), sehingga

benar-benar hanya merupakan

kebutuhan dasar yang relatif layak secara personal. Menurut Silaban (2012) yang dikutip dalam Tulus T.H. Tambunan menyatakan bahwa upah minimum yang didasarkan pada KHL yang ditujukan untuk pekerja/buruh lajang tidak relevan jika dikaitkan dengan upah layak. Sasaran KHL bagi pekerja/buruh lajang berperan sebagai jarring pengaman sosial, dimana konsep tersebut berbeda dengan konsep upah layak.17

Menurut analisa penulis, upah yang diberikan kepada pekerja/buruh yang tidak lajang tentu harus memiliki perbandingan yang berbeda dengan mempertimbangkan masa kerja, jumlah beban keluarga, hingga prestasi kerja. Namun, ketentuan tersebut belum diatur secara pasti dalam kebijakan pemerintah, meskipun terdapat perusahaan yang telah menetapkan skala upah tersendiri skala upah tersendiri bagi pekerja/buruh yang tidak lajang sesuai dengan kebutuhan riil pekerja/buruh. Implikasi yuridis dari hal tersebut ialah belum adanya kepastian hukum terkait dengan ketentuan pemberlakuan skala upah bagi pekerja/buruh yang tidak lajang.

16

Lalu husni, Pengantar Hukum

Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers), 2012, Hlm 30

17

Tulus T,H, Tambunan, Globalisasi dan Perdagangan Internasional, (Jakarta: Ghalia Indonesia), 2015, Hlm 268

Dengan demikian, agar dapat mewujudkan keadilan dan upah layak maka penerapan KHL sebagai dasar UMP tidak diberlakukan secara universal, dan perlu optimalisasi pemberlakuan skala upah bagi seluruh pekerja/buruh yang tidak lajang.

Komponen KHL sebagai pedoman terhadap penetapan UMP yang sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan. Akan tetapi, komponen KHL dari setiap rezim regulasi kebijakan pemerintah selalu memperoleh pertentangan dari pekerja/buruh. Tingginya tuntutan KHL oleh serikat pekerja yang menjadi dasar penetapan upah seringkali tidak diiringi dengan produktivitas pekerja/buruh itu sendiri. Kondisi tersebut yang sering menjadi persengketaan mengenai penetapan upah yang sesuai dan adil untuk kedua belah pihak yaitu pengusaha dan pekerja/buruh.

Pengusaha sebagai pihak pemberi kerja yang memiliki posisi lebih kuat memegang otoritas penuh terhadap keberlangsungan perusahaan termasuk dalam hal pengupahan, sehingga pengusaha pun sebaiknya dapat bersikap adil terhadap pekerja/buruh. Ketika perusahaan secara fundamental

dan financial mampu untuk

meningkatkan upah sesuai KHL, maka

prevalensi pengusaha agar

(13)

dan kebijakan tersebut mampu

mewujudkan upah layak bagi

pekerja/buruh sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kebijakan pengupahan di Indonesia.

BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Merujuk pada analisis yang diuraikan di dalam Bab Pembahasan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak sebagai peraturan teknis dari ketentuan Pasal 89 Ayat 2 UU Ketenagakerjaan memuat komponen dan jenis kebutuhan hidup layak yang

menjadi kebutuhan dasar

pekerja/buruh. Akan tetapi dalam praktiknya Permenaker Nomor 21 Tahun 2016 dinilai telah tidak relevan dengan kondisi riil pekerja/buruh dengan permasalahan yang mengerucut yaitu : 1) terkait dengan Kebutuhan Hidup Layak

hanya didasarkan pada

pekerja/buruh lajang yang tidak sesuai dengan konsep upah layak, 2) sistem penetapan nominal upah yang tidak menggunakan sistem proyeksi dan regresi sehingga nominal upah yang ditetapkan tidak relevan pada tahun riil, dan 3) Upah Minimum Provinsi (UMP) dianggap sebagai upah maksimum, sehingga kurang sesuai dengan kebutuhan riil pekerja/buruh.

2. Upah Minimum Provinsi (UMP) diarahkan pada pencapaian KHL sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan belum sepenuhnya dapat terwujud, dalam arti UMP belum dapat mencapai KHL. Mencermati kondisi dimana pada setiap periode/tahun rata-rata pencapaian UMP terhadap KHL, masih berada di bawah 100 persen, meskipun terdapat Provinsi menetapkan UMP diatas KHL.

B. Saran

Merujuk pada simpulan di atas, sebagai upaya memberikan jalan keluar dari permasalahan yang dikaji maka diberikan saran sebagai berikut :

1. Bagi Pemerintah

a. Pemerintah harus bersikap netral serta menjunjung tinggi rasa keadilan dalam memberikan kebijakan dan menyelesaikan permasalahan upah di Indonesia.

b. Pemerintah melakukan

perubahan atau revisi kebijakan

yang dituangkan dalam

peraturan perundang-undangan terkait dengan pengupahan yang berorientasi pada terwujudnya upah layak untuk kesejahteraan

pekerja/buruh tanpa

menghambat keberlangsungan perusahaan dan proses produksi. 2. Bagi pekerja/buruh dan pengusaha

a. Seyogyanya dapat menjaga dan mempertahankan sinergi serta hubungan kerja yang baik dan sehat dengan mengedepankan

profesionalitas dan

produktivitas.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Hakim. Abdul. Reformasi Pengelolaan

dan Pertanggungjawaban

Keuangan Daerah. Yogyakarta:

Fakultas Ekonomi. 2006.

Husni. Lalu. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 2012.

Muhammad. Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2004.

Rachmat Budiono. Abdul. Hukum

Perburuhan Di Indonesia.

Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1997.

Suparjan dan Hempri Suyatno.

Kebijakan Upah Minimum.

Yogyakarta: Universitas Gajah Mada). 2002.

T.H. Tambunan. Tulus. Globalisasi dan

Perdagangan Internasional.

Jakarta: Ghalia Indonesia. 2015.

Todaro. Michael.P. dan Stephen C. Smith. Pembangunan Ekonomi Edisi Ke Sembilan. Jakarta : Erlangga. 2008.

Tesis M Sri Wahyudi Suliswanto.

Pengaruh Produk Domestik Bruto (PDB) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap Angka

Kemiskinan di Indonesia.

(Malang: Magister Ilmu Ekonomi Syariah Universitas Brawijaya). 2010.

Sumber lain

http://finance.detik.com/ekonomi- bisnis/3344610/upah-buruh-di- 34-provinsi-naik-mulai-1-januari-2017-ini-daftarnya

https://fspmi.or.id/buruh-desak- pemerintah-revisi-aturan-upah- minumum-jumlah-komponen-khl.html

http://www.indonesia-

investments.com/- id/keuangan/angka-ekonomi- makro/produk-domestik-bruto-indonesia/item253

https://sanwindayani.wordpress.com/20

14/04/04/sektor-sektor-perekonomian-indonesia/

https://jateng.bps.go.id/

https://jakarta.bps.go.id/

http://jatim.bps.go.id/

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 1 butir 24 Undang-undang No 23 Tentang Pemerintah daerah tahun 2014, berbunyi Kecamatan atau yang disebut dengan nama lain adalah bagian wilayah dari

Enam unit truk ya ng biasa digunakan untuk mengantar jemput karyawan kebun, membawa hasil panen dari kebun menuju gudang penyimpanan, dan digunakan untuk mengantar

( 1) SAP berbasis akrual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dinyatakan dalam bentuk PSAP Nomor 13 tentang Penyajian Laporan Keuangan Badan Layanan Umum

Kepala Suku Dinas Perhubungan dan Transportasi Jakarta Utara, Mirza Aryadi, mengatakan dengan diberlakukan sistem ini nantinya kendaraan dari arah Jl Pluit Utara Raya sudah

Prestasi belajar peserta didik sebelum diterapkan model STAD secara rata-rata kelas sebesar 66,20 berarti belum mencapai KKM yang telah ditentukan sebesar 75. Setelah

Pada proses fotokatalis digunakan TiO2 sebagai semikonduktor.[2] Pada penelitian sebelumnya, dibuktikan adanya peningkatan absorbsi yang kuat pada TiO2 yang telah

Dalam sebuah penelitian, aspek yang tidak boleh dilupakan adalah teknik pengumpulan data. Teknik dalam mengumpulkan data harus dipilih secara tepatagar pemecahan masalah