• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRITIK TERHADAP SISTEM PENDIDIKAN NASION

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KRITIK TERHADAP SISTEM PENDIDIKAN NASION"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

Sistem Pendidikan Nasional diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003

yaitu undang undang yang mengatur masalah pendidikan di Indonesia. Jenjang

pendidikan formal diatur sedemikian rupa dengan harapan agar tujuan Negara yang

terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV dapat tercapai yaitu dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa.

Menurut Darmaningtyas, Edi Subkhan dalam bukunya yang berjudulManipulasi

Kebijakan Pendidikan menyatakan bahwa kebijakan pendidikan di Indonesia telah

lama menjadi sasaran kritik dari berbagai kalangan. Kritik yang diungkapkan, antara

lain, menyangkut visi pendidikan yang tidak jelas sampai pada implementasi yang

problematik. Sorotan lain ialah seputar akses dan pemerataan pendidikan. Kritik

seakan tak kunjung habis dari masa ke masa. Sistem pendidikan memang banyak

kontroversi. Wajarlah bila di kalangan masyarakat terus muncul kritik. Kritik yang

muncul secara bertubi-tubi karena pendidikan sangatlah penting bagi bangsa dan

merupakan fondasi awal dalam pengetahuan sekaligus bekal karakter bagi

anak-anak.

Dalam tulisan ini akan dipaparkan tentang kritikan-kritikan terhadap sistem

pendidikan nasional yang meliputi : a) pemerataan pendidikan versus peningkatan

kualitas pendidikan, b) sistem pendidikan yang mendorong urbanisasi, c)

penyeragaman pendidikan, d) pemberlakuan kurikulum nasional, dan e ) ujian

nasional.

II. KRITIK TERHADAP SISTEM PENDIDIKAN

A. Pemerataan Pendidikan Versus Peningkatan Kualitas Pendidikan

Pemerintah telah mencanangkan Wajib Belajar 9 tahun yang mewajibkan seluruh

rakyat Indonesia utnuk bersekolah serendah-rendahnya lulus SMP. Pemerintah

(2)

berbagai bantuan dalam rangka pemerataan pendidikan bagi rakyat Indonesia.

Ketika kita melihat kenyataan bahwa pemerataan pendidikan belum menjangkau

seluruh rakyat Indonesia masih dan banyak kasus anak-anak usia sekolah yang

tidak bersekolah karena berbagai macam alasan, khususnya yang menyangkut

masalah ekonomi keluarga yang sangat rendah. Pemerintah tidak memiliki

kemampuan untuk mewajibkan mereka untuk bersekolah.

Pemerataan pendidikan selalu tidak sejalan dengan peningkatan kualitas

pendidikan, maka pemerintah selalu akan mengalami kesulitan apabila ingin

mencapai keduanya sekaligus. Jika pemerataan yang ditekankan maka akan

terjadi kesenjangan dalam kualitas pendidikan demikian pula sebaliknya.

Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan pemerintah berusaha dengan

membentuk sekolah-sekolah unggulan yang dinamakan Sekolah Standar

Nasional( SSN) dan Sekolah Bertaraf Internasional ( SBI ). Namun usaha

pemerintah ini sarat dengan kritikan. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)

dianggap menggiring pendidikan Indonesia bersifat kapitalistis. Hal ini dibuktikan

dengan adanya biaya operasional yang membutuhkan biaya sangat besar

sehingga sekolah masih harus memungut biaya pendidikan yang relative mahal

dari orangtua siswa. Di sisi lain SBI dituding menimbulkan ketidak adilan bagi

anak-anak bangsa yang seharusnya memiliki hak dan kesempatan yang sama.

Anak-anak dari keluaraga yang secara ekonomi kurang, akan kehilangan akses

masuk ke sekolah SBI meskipun memilki prestasi yang baik.

SBI yang menerapkan manajemen ISO dituding sebagai orientasi ke kapitalisme

pendidikan. Sebagaimana yang terdapat dalam Rencana Strategis Pembangunan

Pendidikan 2005-2009, RSBI bisa dicapai melalui sertifikasi ISO. Jadi,

sekolah-sekolah yang mencapai taraf internasional tersebut harus memperoleh sertifikat

ISO. Ketentuan tersebut jelas akan mengantarkan manjemen pendidikan sebagai

layaknya sebuah perusahaan (korporasi). Hal itu terjadi karena ISO pada

dasarnya adalah standar kinerja dunia industri neoliberalisme, yang ketika

digunakan sebagai acuan standar untuk menilai sebuah institusi pendidikan

(3)

B. Sistem Pendidikan Yang Mendorong Urbanisasi

Hal ini jelas terlihat, rata-rata di tingkat desa hanya ada jenjang SekolahDasar

dan sejenisnya dan tidak ada jenjang pendidikan untuk SekolahMenegah

Pertama yang dapat menampung anak-anak yang inginmelanjutkan sekolah di

desanya. Begitupun di tingkat kecamatan atau kota kabupaten barulah ada SMP

atau SMA dan SMK, Perguruan Tinggi adakota provinsi . Jadi, memang ada

sistem yang mengarahkan orang ke kota dan jarang yang kembali lagi ke desa

nya setelah sampai sekolah di kota. Impilikasi dari sistem tersebut adalah

tergerusnya nilai-nilai budaya lokal (kearifan lokal).

C. Penyeragaman Pendidikan

Kecenderungan pemerintah untuk selalu melakukan penyeragaman tentu tidak

sesuai dengan prinsip demokrasi dan keberagaman di dunia pendidikan.

Pada sistem pendidikan formal dari Taman Kanak-Kanak sampai

pada Pendidikan Tinggi maka akan ditemukan kejanggalan-kejanggalan, mulai

dari adanya penyeragaman bentuk “kurikulum”. bentuk penyeragaman yang lain seperti seragam sekolah dan buku pelajaran .

Rakyat Indonesia memang sengaja diseragamkan agar outputnya sama yakni

agar menjadi yakni menjadi buruh dari para kaum pemodal/pengusaha. Inilah

kemudian yang kita kenal dengan istilah link and match di mana pemerintah

dalam hal ini sebagai penyedia tenaga kerja dan kaum pemodal sebagai pembuat

lapangan kerja

D. Pembakuan Kurikulum

Sejak awal kemerdekaan, kurikulum pendidikan berubah hampir setiap dekade,

seperti kurikulum 1968, 1975, 1984, dan terakhir 1994. Tetapi, pasca reformasi

1998, muncul wacana baru Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang menurut

rencana mau diterapkan mulai tahun 2004, tetapi sampai pada awal Februari

2006 ketika muncul lagi kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, status

(4)

konsistenan dan ketidak jelasan visi merupakan masalah yang sering terjadi di

Indonesia. Kurikulum yang diterapkan yang berubah-ubah

tergantung Menteri Pendidikan yang sedang menjabat, jika ada pergantian

jabatan Menteri Pendidikan biasanya kurikulum pendidikanpun kemungkinan

besar akan berubah (sebagai contoh, kurikulum berbasis kompetensi-KBK,

kurikulum tingkat satuan pendidikan-KTSP. Selain berbagai persoalan tersebut,

masih ada problem yang tak kalah penting, yaitu gonta-ganti kurikulum. Jadi,

belum ada kurikulum baku. Rembuk nasional pendidikan dan kebudayaan yang

melibatkan instansi-instansi yang terkait belum mampu menetapkan kurikulum

pendidikan yang baku. Dari sisi simbolis dan jargon, kurikulum pendidikan

nasional memang berbeda dan sudah menjadi tradisi tersendiri jika setiap ganti

menteri muncul program baru. Padahal, jika ditelisik lebih jauh, sebenarnya

substansi kurikulum baru tersebut telah ada dalam konsep pendidikan nasional

sebelumnya. Dengan desain tersebut, kompetensi yang ingin dicapai peserta

didik dijadikan alasan. Padahal, sistem pendidikan kita hanyalah diarahkan untuk

melayani pasar yang sangat jauh dari kepentingan kualitas dan kebutuhan

masyarakat.

E. Pro Dan Kontra Ujian Nasional

Pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia telah dimulai sejak tahun 2004 silam,

sebagai bagian dari rencana jangka panjang pemerintah meningkatkan kualitas

pendidikan nasional. Hal ini dapat dijumpai dalam Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Nomor 1 Tahun 2005 tentang Ujian Nasional (UN) pasal 3 yang berbunyi : “Ujian Nasional bertujuan untuk mengukur dan menilai kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi peserta didik pada mata pelajaran yang ditentukan, dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan.” (Permendiknas 2005. Pada awal pelaksanaannya mata pelajaran yang diujikan bersifat umum meliputi

bahasa Indonesia, matematika dan bahasa Inggris. Namun pada tahun 2009

jumlah mata pelajaran yang diujikan meningkat menjadi enam mata pelajaran

yang disesuaikan dengan penjurusan siswa (kelas Bahasa, IPA dan IPS). Begitu

pun standar nilai rata-rata ditingkatkan secara bertahap dari tahun ke tahun, mulai

dari 4.1 hingga sekarang rata-rata 5.5. Jika pada awalnya UN hanya

(5)

dan bahkan SD. Berdasarkan definisi awalnya UN merupakan ujian tertulis yang

menjadi salahsatu faktor penentu kelulusan siswa. Sampai di sini tidak ada

masalah dan telah menjadi suatu keharusan dalam sistem pendidikan modern.

Permasalahan muncul ketika UN diberlakukan secara nasional dan menjadi

satu-satunya faktor yang menentukan kelulusan siswa bersangkutan. Dalam

argumennya pemerintah menekankan bahwa UN perlu terus dijalankan untuk

meningkatkan kualitas SDM Indonesia agar tidak semakin tertinggal dari

negara-negara lainnya, dan untuk kepentingan pemetaan pendidikan. Dalam catatan

pemerintah juga disebutkan bahwa dari tahun ke tahun telah terjadi peningkatan

jumlah kelulusan siswa, dan betapa ternyata UN juga terbukti telah meningkatkan

semangat belajar siswa dan kualifikasi guru bersangkutan. Sementara itu di sisi

lain, kalangan intelektual dan tokoh pendidikan nasional kerap mengkritisi

kebijakan standarisasi UN. Kritik lainnya menyangkut efek domino negatif dari

diberlakukannya standarisasi UN secara nasional, seperti: ditekannya kreativitas

guru dan sekolah, terpinggirkannya ilmu akhlaq dan budaya, tersitanya waktu

luang siswa untuk kegiatan mandiri sebagai akibat dari fokus siswa dan pihak

sekolah terhadap UN semata.Tentunya ketika kita membahas masalah kemajuan

sebuah peradaban maka tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan yang

berlaku pada saat itu. Mulyadhi Kartanegara dan Azyumardi Azra, dalam

bukunya menekankan berkali-kali bahwa pendidikan adalah faktor kunci

kemajuan sebuah peradaban. Secara umum sistem pendidikan yang berlaku

pada masa itu dapat dibagi menjadi dua, pendidikan formal dan informal.

Beberapa Kritik Tentang Ujian Nasional Standarisasi UN dan meningkatnya nilai

minimal kelulusan siswa tidak bisa dipungkiri telah meningkatkan motivasi belajar

dan focus para siswa. Namun sayangnya hanya pada mata pelajaran yang

diujikan. Hal ini berarti terpinggirkannya mata pelajaran non UN seperti

pendidikan akhlaq dan budaya. Begitu pun metode mengajar guru terpaku pada

kurikulum nasional dengan hanya memberi sedikit ruang gerak bagi kreativitas

guru bersangkutan. Fakta ini jelas memprihatinkan mengingat , kreativitas guru

telah menjadi faktor yang amat penting.guru bukan sekadar berperan sebagai

pengajar di depan kelas, namun terutama sebagai inspirator bagi siswa untuk

(6)

Bimbingan Belajar menjamur dan semakin diburu para siswa namun sayangnya

lembaga Bimbingan Belajar yang marak tesebut hanya lembaga yang sekadar

mengajarkan tips dan trik UN, atau lembaga pendukung lembaga formal/sekolah.

Hal ini menjadikan waktu luang siswa bersangkutan untuk belajar secara mandiri

sesuai dengan minat dasarnya menjadi terkurangi. Tujuan pendidikan bukanlah

untuk sekadar memenuhi standar nilai semata (aspek kognitif), namun terutama

dalam pembentukan karakter siswa.

Kritik terhadap pelaksanaan UN, terutama pada ditetapkannya hasil UN sebagai

salah satu pertimbangan untuk penentuan kelulusan peserta didik dari program

dan/atau satuan pendidikan berdasarkan Permen No.74 dan 75 tentang Panduan

UN Tahun Pelajaran 2009-2010 SD dan SMP/SMA/SMK. H.A.R. Tilaar (2006)

menjelaskan bahwa Ujian Nasional bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional di mana guru adalah instansi pertama yang

berhak mengadakan penilaian atau evaluasi terhadap hasil belajar peserta

didiknya. Sementara Soedijarto (2008) menjelaskan bahwa UN hanya

menanyakan dimensi kognitif mata pelajaran, sehingga menjadikan peserta didik

tidak merasa perlu melakukan eksperimen di laboratorium, membaca novel,

latihan mengarang, dan tidak perlu melakukan secara terus-menerus dan

berdisiplin dalam berbagai kegiatan belajar yang hakikatnya diarahkan untuk

menanamkan nilai dan mengembangkan sikap.

Kritik terhadap pelaksanaan UN mencapai puncaknya pada pengaduan kepada

Mahkamah Agung dan diputuskan penolakan adanya Ujian Nasional pada

November 2009 lalu. Namun keputusan MA tersebut seakan hanya menjadi angin

lalu karena pada tahun 2010 UN masih tetap berjalan dengan formula dan

standar kelulusan seperti tahun sebelumnya.

Derasnya kritik terhadap pelaksanaan UN selama ini, tampaknya membuat

pemerintah lebih melunak dalam pelaksanaan UN tahun 2011. Menghadapi UN

tahun 2011, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) mengeluarkan dua

keputusan berupa permendiknas tentang kriteria kelulusan dan pelaksanaan ujian

sekolah dan ujian nasional. Poin penting yang terkandung

dalam Permendiknas tersebut adalah nilai kelulusan UN tidak semata-mata

ditentukan berdasarkan hasil UN, tetapi juga mengakomodasi nilai sekolah yang

(7)

Ujian Sekolah (US). Kelulusan UN ditentukan berdasarkan perolehan Nilai Akhir

(NA) yang merupakan gabungan antara nilai sekolah (pada mata pelajaran yang

di-ujinasional-kan dengan bobot 40%) dan nilai UN (dengan bobot 60%). Dengan

demikian, Rumusan UN 2011 yang ditawarkan pemerintah untuk nilai gabungan =

(0,6 x nilai UN) + (0,4 x nilai sekolah). Adapun rumus Nilai sekolah adalah: 0,6

Nilai Raport + 0,4 Ujian Sekolah). Nilai sekolah dihitung dari nilai rata-rata ujian

sekolah dan nilai rapor semester 3-5 untuk tiap mata pelajaran UN. Setelah

melalui penghitungan NA, peserta didik dinyatakan lulus UN apabila mencapai

rata-rata NA sebesar 5,5 dan tidak boleh ada nilai di bawah 4,0, serta atas dasar

musyawarah dewan guru dengan memperhatikan nilai akhlak mulia. Ini artinya,

mata pelajaran tertentu, misalnya Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika,

dan IPA untuk jenjang pendidikan SMP, selain diujikan secara nasional juga

diujikan melalui ujiansekolah oleh satuan pendidikan masing-masing. Formula ini

jelas sangat berbeda dengan kriteria kelulusan tahun-tahun sebelumnya yang

menggunakan nilai UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan UN. Formula ini

juga menjawab keresahan beberapa kalangan ketika nasib kelulusan seorang

peserta didik hanya ditentukan berdasarkan perolehan hasil UN yang hanya

ditempuh dalam beberapa hari saja itu. Sedangkan, proses pendidikan yang

dilaksanakan peserta didik selama mengikuti aktivitas pembelajaran di tingkat

satuan pendidikan terabaikan sama sekali.

III. KESIMPULAN

Kritik terhadap sistem pendidikan di Indonesia, yang meliputi pemerataan

pendidikan, peningkatan kualitas pendidikan, penyeragaman pendidikan, kurikulum

dan ujian nasional sampai sekarang masih banyak disampaikan oleh para intelektual

maupun masyarakat yang peduli kepada pendidikan Indonesia. Namun masih ada

kritik –kritik yang lain seperti sertifikasi guru, pemerataan guru yang perlu disampaikan kepada pemerintah sebagai penentu kebijakan pendidikan agar

ditanggapi secara arif sehingga sistem pendidikan di Indonesia semakin hari

semakin maju dan dapat mencapai tujuan pendidikan nasional yang telah ditetapkan

(8)

Daftar Pustaka

Agus Salim, 2011,

http://agus1salim.blogspot.com/2011/02/ujian-nasional-indonesia.html diunduh tanggal 4 April 2012.

Ima,

http://www.ima-unhas.com/index.php/pendidikan/178-qkritik-sistem-pendidikan-di-indonesia-fenomena-pabrikasi-buruh-industriq.html, Diunduh

tanggal 4 april 2012.

Idris, Zaenudin, (2014), Guru Dalam Implementasi Kurikulum 2013, diambil dari

https://www.academia.edu/24362110/GURU_DALAM_IMPLEMENTASI_KURI

KULUM_2013, pada 15 April 2016, pukul 10:50.

Idris, Zaenudin, (2014), Uji Kompetensi Guru (Ukg) Dan Penilaian Kinerja Guru

(PKG), diambil dari

https://www.academia.edu/24361946/UJI_KOMPETENSI_GURU_UKG_DAN_

PENILAIAN_KINERJA_GURU_PKG, pada 15 April 2016, pukul 11:05.

Mudji Raharjo, http://mudjiarahardjo.uin

malang.ac.id/component/content/142.html?task=view diunduh tanggal 4 April

2012.

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/85020 Dunduh tanggal 4 APRIL

2012, diunduh tanggal 4 April 2012

http://edukasi.kompas.com/read/2009/09/03/12225010/Kritik.Pendidikan. Diunduh

Referensi

Dokumen terkait

(4) jenis dan tingkat teknologi yang digunakan di ketiga industri sudah sesuai dengan kompetensi mahasiswa praktikan dan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan,

• Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 20 tahun 2005 pasal 1 menyebutkan Ujian nasional adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta

Begitu pula yang tercantum dalam Pasal 3 yang berbunyi, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa

(16) Ujian Sekolah Berstandar Nasional yang selanjutnya disingkat USBN adalah kegiatan yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk mengukur kemampuan kompetensi peserta

Dalam undang-undang nomor 3 tahun 2005 tentang sistem kelohragaan nasional (2010:42) pasal 25 ayat ke 2 yang berbunyi : “pembinaan dan pengembangan olahraga

Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik pada beberapa mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu

Dalam Undang-undang RI No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab I Pasal 2 berbunyi: Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar dari pada kebudayaan

Dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan untuk penelitian selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pengetahuan tentang hasil ujian nasional