DISKUSI KELOMPOK
SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA SESUAI ANALISIS DARI
SUDUT PANDANG POLITIK
KELOMPOK 2 ANGGOTA 1. ANNISA NURHALIZA 2. DARMAWARI RIDHO
3. FITRI AISYAH NUR ALIMAH 4. ISTIQOMAH
5. MUCHTAR SANI
6. NUR RAMADHAN FIRAS AHMAD 7. NURFADHILLA RAHMADHANI 8. SEPTIAN ADJI PRATAMA
Pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh sosial budaya, ekonomi, politik dan geografi. Alasannya sebenarnya sederhana, karena setiap kebijakan dan fenomena yang terjadi akan berpengaruh terhadap kehidupan kita, salah satunya pendidikan. Kita bisa melihat bagaimana krisis ekonomi pada tahun 1998 berimbas kepada sektor kehidupan kita, baik dari sisi kehidupan maupun kualitas kehidupan kita.
Dari sisi politik, politik dan partai politik sangat berperan dalam segala sektor publik. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Karim Suryadi (2010) dalam orasi ilmiahnya “inovasi nilai dan fungsi komunikasi partai politik bagi penguatan civil literacy”. Beliau menegaskan bahwa betapa pun masih banyak masalah melilit kehidupan partai, namun sulit menggantikan partai dalam sistem politik modern. Kita bisa melihat keputusan apapun akan berorientasi kepada politik, termasuk dalam bidang pendidikan. Kebijakan kurikulum baru yang terus berganti dan bertranformasi ke dalam bentuk dan nama baru terus bermunculan.
Yang terbaru adalah kurikulum 2013. Masalah yang muncul dalam implementasinya adalah tatkala sebahagian guru belum sempat memahami dengan benar kurikulum lama, kurikulum baru sudah diperkenalkan (jarjani Usman, Serambi Indonesia 18/12/12). Sehingga kita sering mendengar pameo yang menyebutkan “ganti menteri, ganti kurikulum”. Proses “kejar-mengejar” target sering terjadi dalam sistem pendidikan kita yang dipengaruhi oleh sistem perpolitikan di Indonesia.
UUD 1945 telah menjamin hak warga negaranya di dalam mendapatkan pendidikan sebagai upaya mebangun bangsa. Jaminan tersebut tercermin di dalam Pasal 28 C ayat 1 UUD 1945. Dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa: “setiap orang berhak mengembangkan pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat ilmu pengetahuan dan tekhnologi, seni, dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
Selain itu di Pasal 31 ayat 1 sampai dengan ayat 5 UUD 1945 dijelaskan: 1. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur didalam undang-undang.
4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Sebagai penyelenggara negara, pemeritah berkewajiban menyediakan layanan pendidikan secara bebas biaya untuk semua warga negara usia sekolah. Ketentuan bebas biaya ini berlaku untuk pendidikan dengan standar pelayanan minimum. Bila warga negara menghendaki pendidikan di atas standar pelayanan minimum, maka biaya pendidikan ditanggung sendiri oleh warga negara yang bersangkutan.
Layanan pendidikan minimum yang bebas biaya diselenggarakan oleh sekolah negeri. Sedangkan layanan pendidikan yang di atas standar pelayanan minimum lazimnya diselenggarakan oleh swasta.
Permasalahan yang timbul di seputar pendidikan Islam setelah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 diberlakukan tentang instansi yang berwenang mengelolanya. Selama ini pendidikan Islam terutama kelembagaan madrasah secara full dan otonom berada di bawah pengelolaan Kementerian Agama, seperti yang telah diuraikan terdahulu. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 salah satu bidang yang tidak diotonomikan adalah agama, sedangkan pendidikan termasuk bagian yang diotonomikan.
Banyak persoalan yang timbul di sekitar persoalan tersebut. Pertama, ada pendapat yang menginginkan agar pendidikan agama dan keagamaan tetap berada di bawah naungan Kementerian Agama, untuk menjaga kemurnian visi dan misi pendidikan agama dengan anggaran biaya pemerintah pusat. Kedua, ada pemikiran yang menginginkan bahwa pendidikan agama dan keagamaan berada di bawah naungan Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Pendidikan, agar pendidikan agama dan pendidikan keagamaan lebih berkembang.
Ketiga, adanya keinginan mencari konvergensi di antara keduanya, yaitu kebijakan tetap berada di tangan Kementerian Agama, teknis operasional berada di tangan Pemerintah Daerah/Dinas Pendidikan.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, Berdasarkan pemetaan paradigma ideologi pendidikan menurut Henry Giroux dan Aronowitz.
Menurut Henry Giroux dan Aronowitz, Pendidikan bagi salah satu aliran liberal yakni ‘structural functionalisme’ justu dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan norma dan nilai masyarakat. Pendidikan justru dimaksudkan sebagai media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai nilai tata susila keyakinan dan nilai nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi secara baik.
Hal ini tercermin dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 1 yakni, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Begitu pula yang tercantum dalam Pasal 3 yang berbunyi, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Hal ini sesuai dengan filsafat Barat tentang model manusia universal yakni model manusia Amerika dan Eropa. Model tipe ideal mereka adalah manusia “rationalis liberal”, seperti: pertama bahwa semua manusia memiliki potensi sama dalam intelektual, kedua baik tatanan alam maupun norma sosial dapat ditangkap oleh akal. Ketiga adalah “individualis” yakni adanya angapan bahwa manusia adalah atomistic dan otonom (mandiri) (Bay,1988).
Serta pendidikan harus membuat individu menjadi agresif dan rasional. Hal ini juga sesuai dengan anjuran Positivisme sebagai suatu aliran filsafat berakar pada tradisi ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme and generalisasi, melalui metode determinasi, ‘fixed law’ atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973). Positivisme berasumsi bahwa penjelasan tungal dianggap ‘appropriate’ untuk semua fenomena.
Dengan agenda liberal seperti itu, maka tidak memungkinkan bagi pendidikan untuk menciptakan ruang (space) bagi sistem pendidikan untuk secara kritis mempertanyakan tentang, pertama struktur ekonomi, politik, ideology, gender, lingkungan serta hak-hak azazi mansuia dan kaitannya dengan posisi pendidikan. Kedua pendidikan untuk menyadari relasi pengetahuan sebagai kekuasaan (knowledge/power relation) menjadi bagian dari masalah demokratisasi. Tanpa mempertanyakan hal itu, tidak saja pendidikan gagal untuk menjawab akar permasalahan masyarakat tetapi justru melanggengkannya karena merupakan bagian pendukung dari kelas, penindasan dan dominasi.
Pendidikan dalam kontek itu tidaklah mentransformasi struktur dan sistem dominasi, tetapi sekedar menciptakan agar sistem yang ada berjalan baik. Dengan kata lain pendidikan justru menjadi bagian dari masalah dan gagal menjadi solusi. Kuatnya pengaruh filasafat positivisme dalam pendidikan dalam kenyataannya mempengaruhi pandangan pendidikan terhadap masyarakat.
KESIMPULAN
Politik dan partai politik sangat berperan dalam segala sektor publik terutama pada sistem pendidikan di indonesia. Kita bisa melihat keputusan apapun akan berorientasi kepada politik, termasuk dalam bidang pendidikan. Kebijakan kurikulum baru yang terus berganti dan bertranformasi ke dalam bentuk dan nama baru terus bermunculan. Masalah yang muncul dalam implementasinya adalah tatkala sebahagian guru belum sempat memahami dengan benar kurikulum lama, kurikulum baru sudah diperkenalkan. Sehingga kita sering mendengar pameo yang menyebutkan “ganti menteri, ganti kurikulum”. Proses “kejar-mengejar” target sering terjadi dalam sistem pendidikan kita yang dipengaruhi oleh sistem perpolitikan di Indonesia.