• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kekambuhan Pasien Gangguan Jiwa di RSJP Soeroyo H.A. Gani,S.Pd,SKM.S.Kep.M.Kes

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kekambuhan Pasien Gangguan Jiwa di RSJP Soeroyo H.A. Gani,S.Pd,SKM.S.Kep.M.Kes"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

1 Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kekambuhan Pasien Gangguan Jiwa

Di Poliklinik RSJP . Prof.Dr.Soeroyo Magelang H.A.Gani,S.Pd.SKM.S.Kep.M.Kes.

ABSTRAK

Latar belakang : Krisis multi dimensi yang terjadi di Indonesia berpengaruh pada peningkatan kekambuhan penderita gangguan jiwa. Hal ini dapat dilihat dari 470 pasien yang dirawat di RSJP.Prof. Dr. Soeroyo Magelang pada awal tahun 2014 terdapat 396 orang pasien (84,2%) pernah dirawat di rumah sakit jiwa atau mengalami kekambuhan.Untuk mencegah terus berkembangnya masalah tersebut maka dibutuhkan dukungan keluarga, karena kekambuhan pasien gangguan jiwa selain dipengaruhi oleh kualitas pelayanan kesehatan juga dipengaruhi oleh kerja sama yang positif antara petugas, klien dan keluarga.

Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mencari adanya hubungan antara dukungan keluarga dengan kekambuhan pasien ganguan jiwa di poliklinik RSJP.Prof.Dr.Soeroyo Magelang..

Metode : Jenis penelitian ini menggunakan desain studi korelasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah keluarga pasien gangguan jiwa yang mengantar klien untuk berobat jalan/control ke poliklinik RSJP. Prof.Dr.Soeroyo Magelang. Jumlah sampel 78 pasang sampel. Pengambilan sampel dengan tehnik porpusive sample. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner dukungan keluarga dan kuesioner observasi kekambuhan. Analisis yang digunakan uji non parametric.

Hasil : terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dan kekambuhan pasien gangguan jiwa. Dengan nilai Correlation Coefficien -.177 dengan tingkat signifikasi 0.027.

Kesimpulan : Terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dan kekambuhan pasien gangguan jiwa. Hubungan bersifat negatif yang berarti semakin tinggi dukungan keluarga maka semakin rendah tingkat kekambuhan pasien .

(2)

1 A. PENDAHULUAN.

Krisis multi dimensi telah mengakibatkan tekanan yang berat pada sebagian masyarakat umumnya dan Indonesia pada khususnya, masyarakat yang mengalami krisis tidak saja akan mengalami fisik berupa gangguan gizi, terserang berbagai penyakit infeksi tetapi juga dapat mengalami gangguan mental psikiatri, yang pada akhirnya dapat menurunkan produktivitas kerja , kualitas hidupsecara nasional, negara telah dan akan kehilangan satu generasi sehat yang akan meneruskan perjuangan dan cita-cita bangsa (Rasmun, 2001).

Sebagai gambaran menurut survey Epidemiologist Cathement Areas (ECA) di Amerika Serikat yakni studi epidemiologi psikiatri yang terkenal dan terpercaya menunjukkan sekitar 20% orang dewasa mengalami gangguan jiwa yang terdiagnosis setiap tahun, sementara itu 32% dari orang dewasa pernah mengalami gangguan jiwa pada suatu saat dalam hidupnya, di Indonesia berdasarkan hasil Survey Kesehatan Mental Rumah Tangga yang dilakukan di 11 kota oleh Jaringan Epidemiologi Psikiatri Indonesia tahun 1995 mendapatkan 185 per 1000 penduduk rumah tangga dewasa memperlihatkan gejala gangguan jiwa dan

membutuhkan pelayanan kesehatan jiwa (Susanto, 2001)

Pengobatan psikiatri saat ini telah mampu meminimalisasi disfungsi pada gangguan jiwa, sistem pelayanan kesehatan untuk pasien gangguan jiwa di Indonesia juga sudah lebih baik, kedua faktor positif ini tidak akan bermanfaat jika pasien dan keluarga tidak memanfaatkannya dengan optimal (Dharmady, 2001). Sebagian besar kegagalan pengobatan dan perawatan gangguan jiwa disebabkan oleh rendahnya dukungan dan kepedulian keluarga (68% dari 303 pasien dirawat inap di RSJP.Prof.Dr.Soeroyo Magelang per September 2009 tidak dipedulikan keluarganya), hal tersebut ditandai dengan rendahnya pengetahuan tentang tanda-tanda dari kelainan jiwa dan cara penanggulangannya (Lisdarwati, 1999).

Menurut Keliat et al. (2006) ekspresi emosi merupakan sikap keluarga terhadap penderita gangguan jiwa yang ditunjukkan baik secara verbal maupun nonverbal yang berisi komentar kritis, seperti memarahi, mengkritik, mencela, menghina dan keterlibatan emosional yang berlebihan, seperti terlalu melindungi, mengatur, atau membatasi. Ekspresi emosi seperti ini dapat meningkatkan resiko kekambuhan pada penderita gangguan jiwa dan akan menambah disability bagi penderitanya sehingga akan menjadi beban keluarga.

(3)

dekat dengan klien, efektifitas suatu pengobatan dan keberhasilan perawatan di rumah sakit selain dipengaruhi oleh kualitas pelayanan kesehatan, sikap serta ketrampilan petugasnya juga dipengaruhi oleh lingkungan, sikap dan pola hidup pasien dan keluarganya. Selain itu juga dipengaruhi oleh kerjasama yang positif antara petugas kesehatan dan keluarganya. Apabila pasien dan

keluarganya mempunyai

pengetahuan tentang cara-cara penyembuhan dan pencegahan penyakit serta mampu berpartisipasi secara positif sejak awal dirawat dirumah sakit hingga perawatan di rumah maka hal ini dapat membantu penyembuhan dan mencegah kekambuhan pasien yang bersangkutan (Depkes RI, 1999). Pentingnya dukungan keluarga dalam perawatan klien gangguan jiwa dapat dipandang dari berbagai segi : 1) Keluarga merupakan tempat individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan institusi pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku. 2) Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem maka gangguan yang terjadi pada satu anggota keluarga dapat mempengaruhi seluruh sistem. 3) Berbagai pelayanan kesehatan jiwa bukan klien seumur hidup tetapi hanya fasilitas pembantu klien dan

keluarga mengembangkan

kemampuan dalam mencegah terjadinya masalah, menanggulangi

berbagai masalah dan

mempertahankan keadaan adaptif. 4) Beberapa penelitian menyebabkan bahwa salah satu penyebab

kambuhnya gangguan jiwa adalah keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku klien dirumah. Pasien jiwa sering mengalami kekambuhan. Hal ini disebabkan karena pengobatan yang terhenti dan peran serta keluarga dalam merawat penderita gangguan jiwa. Pernyataan diatas menunjukan bahwa keluarga berperan penting dalam proses terjadinya kekambuhan. Fenomena ini dapat dilihat dari banyaknya pasien gangguan jiwa yang sudah sembuh dan dipulangkan untuk perawatan di rumah kembali lagi atau terjadi kekambuhan, hasil survey yang dilakukan oleh peneliti pada bulan Desember 2014, terdapat data selam 3 bulan yaitu dari bulan September sampai dengan November didapat data di RSJP. Prof.Dr. Soeroyo Magelang pada 470 orang pasien yang dirawat, terdapat 396 orang pasien (84,2%) pernah dirawat di RSJ atau mengalami kekambuhan, bahkan sebanyak 88 orang pasien (18,7%) mengalami kekambuhan 2-3 kali dalam satu tahun.Wawancara yang dilakukan peneliti dengan 12 keluarga yang salah satu anggota keluarganya pernah menjalani rawat inap dan datang ke rumah sakit untuk menjalani rawat inap kembali didapatkan hasil bahwa 12 klien mengalami kekambuhan karena kurang pengawasan dan perhatian dari keluarga. Berdasarkan pada pernyataan tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan dukungan keluarga dengan kekambuhan pada pasien gangguan jiwa dengan judul penelitian

“Hubungan Dukungan Keluarga

(4)

Gangguan Jiwa Di Poliklinik RSJP. Prof. Dr. Soeroyo Magelang”.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang tersebut di atas maka dirumuskan masalah

penelitian “Apakah ada hubungan

antara dukungan keluarga dengan kekambuhan pada pasien gangguan jiwa di Polilklinik RSJP.Prof.Dr.

Soeroyo Magelang ?” C. TUJUAN PENELITIAN

Secara Umum adalah diketahuinya hubungan dukungan keluarga dengan kekambuhan pada pasien gangguan jiwa di Poliklinik.RSJP. Prof.Dr.Soeroyo Magelang. Sedangkan secara khusus adalah diketahuinya dukungan yang dilakukan keluarga pasien gangguan jiwa, diketahuinya kekambuhan penderita gangguan jiwa dan teridentifikasinya hubungan dukungan keluarga dengan kekambuhan.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi Institusi Rumah Sakit Jiwa Pusat Prof.Dr. Soeroyo Magelang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada Rumah Sakit Jiwa Pusat Prof.Dr. Soeroyo Magelang selaku pemberi pelayanan kesehatan dalam upaya meningkatkan dukungan keluarga terhadap klien gangguan jiwa.

2. Bagi Profesi Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi ilmu pengetahuan, khususnya disiplin ilmu keperawatan jiwa. Juga dapat memberikan sumbangan bagi kemajuan riset keperawatan khususnya dibidang keperawatan jiwa.

3. Bagi Keluarga Klien Gangguan Jiwa

Bagi keluarga klien gangguan jiwa hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai fakta ilmiah bahwa dukungan keluarga sangat diperlukan dalam mencegah kekambuhan penderita gangguan jiwa.

4. Bagi para peneliti lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi awal penelitian lanjutan tentang dukungan keluarga atau kekambuhan klien jiwa.

E. Konsep Gangguan Jiwa. a. Pengertian gangguan jiwa

Nainggolan (2003) menyatakan bahwa gangguan jiwa adalah perubahan perilaku, pikiran, dan perasaan yang mana perubahan mengakibatkan perubahan dan hambatan fungsi psikososial si penderita. Menurut

American Psychyatric

Association, seperti yang ditulis Boyd dan Nihart (1998), gangguan jiwa sebagai perilaku yang khas secara klinik sebagai sindrom psikologis atau gambaran yang terjadi pada individu yang dihubungkan dengan adanya distress (gejala yang menyakitkan) atau ketidakmampuan salah satu atau lebih fungsi penting tubuh dengan peningkatan resiko yang khas pada perilaku bunuh diri. b. Penyebab gangguan jiwa

(5)

mengendalikan rasa marah, mampu bersosialisasi, dan mampu mengatasi kesulitan. Penyebab gangguan jiwa secara pasti belum diketahui, namun beberapa faktor penting yang mempengaruhi timbulnya gangguan jiwa, yaitu faktor keturunan (genetik), lingkungan dan situasi kehidupan sosial serta fisiko, misalnya trauma otak, penyakit infeksi otak gangguan peredaran darah otak (stroke), tumor otak, gizi buruk, pengaruh zat psikoaktif seperti narkotika, ganja, ekstasi, shabu, alkhohol (Depkes, 2003).

c. Pengolongan gangguan jiwa Menurut Widya (2006) secara sederhana gangguan jiwa digolongkan dalam beberapa jenis antara lain : gangguan jiwa ringan, gangguan kepribadian, penyalahgunaan obat dan gangguan jiwa berat (psikosis). Sedangkan gangguan jiwa berat terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu: gangguan mental organik dan gangguan psikosis fungsional seperti: schizophrenia dan gangguan psikosis lainnya (Widya, 2006). Menurut Isaac (2005) schizophrenia merupakan sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu termasuk berpikir dan berkomunikasi, menerima, mengintepretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi, dan perilaku dengan sikap yang dapat diterima secara sosial. Schizophrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan

interpersonal serta kesulitan dalam memecahkan masalah (Stuart, 2007). Gangguan schizophrenia merupakan gangguan jiwa yang berlangsung menahun, sering kambuh dan kondisi kejiwaan penderita semakin lama semakin merosot.

d. Tanda dan gejala gangguan jiwa Boyd dan Nihart (1998) menyatakan bahwa pasien gangguan jiwa menunjukan adanya ketrampilan pemeliharaan diri yang kurang, gangguan hubungan interpersonal meliputi perkembangan seksual dan hubungan dengan teman terganggu, ketrampilan sosial terganggu, tidak mampu mengatur

rumah, tidak mampu

menggunakan waktu luang serta sumber dimasyarakat, ketrampilan kerja kurang. Pada tahap dini gangguan jiwa ditandai dengan adanya perubahan sinar muka, mimik muka atau ekspresi wajah, sikap dan cara berbicara, pengendalian emosi menurun, hubungan interpersonal menurun atau memburuk, prestasi sekolah menurun, banyak keluhan fisik dan adanya perubahan kemampuan dalam perawatan diri (seperti: makan, mandi, berpakaian, berdandan dan tidur dan toileting (Widya, 2006). e. Dampak gangguan jiwa kronis

(6)

Klien dengan gangguan jiwa kronis tidak mampu melakukan fungsi dasar secara mandiri, misalnya kebersihan diri, penampilan dan sosialisasi, pasien seperti ini tentu akan ditolak oleh keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu perlu mengikuti program

latihan “ perawatan diri” yang

disebut programrehabilitasi untuk mempelajari dan mengembangkan ketrampilan hidup sendiri.

2. Hubungan interpersonal

Klien yang lama dirawat di rumah sakit jiwa digambarkan sebagai klien yang apatis, menarik diri, terisolasi dari teman-teman dan keluarga serta memiliki ketrampilan interpersonal yang minimal. Keadaan ini merupakan proses adaptasi klien terhadap kehidupan lingkungan yang kaku dan stimulus yang kurang. 3. Sumber Koping

Isolasi sosial, kurangnya sistem pendukung, dan adanya gangguan fungsi pada klienmenyebabkan kurangnya kesempatan menggunakan koping untuk menghadapi stress. Akibatnya koping klien akan melemah dan tidak ada penambahan koping baru sehingga klien tidak dapat berespon secara adaftif dalam menghadapi stress dan mudah masuk dalam keadaan krisis. 4. Kebutuhan terapi yang lama Klien disebut gangguan jiwa

kronis jika ia dirawat dirumah sakit satu periode selama enam bulan terus menerus dalam lima tahun, dua kali atau lebih

dirawat di rumah sakit dalam satu tahun. Faktor yang membantu klien tetap di masyarakat (keluarga) adalah pengobatan dan program aftercare.

5. Harga diri rendah

Klien gangguan jiwa kronis mempunyai harga diri yang rendah khususnya dalam identitas dan perilaku. Klien menganggap dirinya tidak mampu mengatasi kekurangan, tidak ingin melakukan sesuatu untuk menghindari kegagalan dan tidak berani mencapai sukses.

6. Motivasi

Klien gangguan jiwa kronis mempunyai pengalaman gagal yang berulang. Ia tidak dapat memenuhi harapannya sendiri maupun harapan teman, keluarga ataupun masyarakat. Ia memandang suatu pengalaman baru sebagai sumber kegagalan bukan kesempatan untuk sukses. Keadaan ini tidak memotivasi klien untuk mencoba pengalaman baru dan membuat klien semakin kronis. Situasi ini akan bertambah berat jika lingkungan mengucilkan pasien. 7. Kekuatan

Kekuatan adalah kemampuan, ketrampilan atau interes yang dimiliki dan pernah digunakan klien pada waktu yang lalu. Kekuatan yang pernah dimiliki klien perlu distimulasi kembali untuk meningkatkan fungsi semaksimal mungkin.

f. Penatalaksanaan

(7)

Menurut Team Penyusun Pedoman Penanganan Pasien Jiwa RSJ Ernaldi Bahar Palembang (1999) Pengobatan dan perawatan pasien gangguan jiwa didasarkan pada empat tahap penanganan, sebagai berikut :

a. Tahap penanganan kritis b. Tahap penanganan akut c. Penanganan pemeliharaan. d. Tahap penanganan

peningkatan kesehatan. 2. After care

Setelah pasien gangguan jiwa sembuh dan pulang dari rumah sakit, pasien jiwa masih memerlukan perawatan lanjutan dirumah atau disebut juga after care. Menurut Tomb (2004) hal-hal yang perlu dilakukan dalam kegitan after care meliputi : a. Kunjungan pada pasien

sesering mungkin untuk memantau pengobatan pasien dan untuk mendeteksi deteriorasi dini (misal setiap minggu atau bulan) tergantung pada penyakit dan reabilitas pasien.

b. Berkomunikasi dengan pasien binaan dengan jelas dan tidak

ambigu. Bertindak

berorientasi pada fakta dan tujuan. Bantu pasien dalam hal-hal nyata (misal mengatur kehidupan, mengatur pekerjaan). Bantu pasien menghindari stres yang berkelebihan.

c. Membicarakan tentang pengobatan pasien (misal, kebutuhan terhadap obat, perasaan pasien tentang penggunaan obat).

d. Belajar tentang kekuatan dan kelemahan pasien. Ajarkan

pasien untuk

mengidentifikasi

dekompensasi yang

mengancam.

e. Evaluasi keluarga. Keluarga berkontribusi terhadap dekompensasi pada pasien. Pertimbangan terapi keluarga sangat berguna, anggota

keluarga sering

membutuhkan dukungan dan pengertian terhadap diri mereka.

2. Kekambuhan

a. Pengertian kekambuhan Kekambuhan adalah munculnya kembali gejala dan tanda gangguan meskipun pasien menjalani pengobatan, akibat adanya faktor-faktor lain seperti sakit fisik, stressor psikososial, atau penggunaan obat secara bersamaan yang dapat mengurangi efek dari obat tersebut (Boyd & Nihart, 1998). Gangguan jiwa

berat merupakan

(8)

juga bisa menentukan prognosa, kalau dukungan keluarga pada pasien baik kesembuhan pasien akan cepat, perawatan di rumah sakit sebenarnya cukup dengan 10 – 20 hari saja, yang terpenting adalah perawatan di rumah dan berobat jalan, disini peran keluarga sangat penting untuk kesembuhan seorang pasien yang mengalami gangguan jiwa.

3. Keluarga

a. Pengertian keluarga Menurut Effendy (1998) keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari dua orang atau lebih karena adanya ikatan perkawinan dan pertalian darah, hidup dalam satu rumah tangga, dibawah asuhan seorang kepala rumah tangga, setiap anggota mempunyai peran masing-masing, serta

menciptakan dan

mempertahankan kebudayaan. b. Fungsi keluarga

Menurut

Goldenberg & Goldenberg, seperti yang ditulis oleh Shives (1998) berpendapat bahwa fungsi keluarga dalam perawatan kesehatan meliputi: kemampuan

mengkomunikasikan gagasan dan perasan, menyusun pedoman dalam menentukan

pembagian tugas keluarga, saling berinteraksi, melindungi antara anggota keluarga, anggota keluarga saling berpartisipasi untuk menolong anggota keluarga yang sakit. c. Dukungan keluarga dalam pencegahan mekanisme intrinsik pada peningkatan kesehatan : perawatan diri, bantuan bersama (dukungan sosial), dan peningkatan

lingkungan. Perlunya peran serta sosial telah diakui di banyak bidang kehidupan mulai dari perawatan kesehatan fisik sampai pada perawatan kesehatan mental, pasien menerima peran serta emosional dari orang lain yang membantu mereka mengatasi hambatan

atau belajar

(9)

penyembuhannya memerlukan bantuan dari orang lain, mereka tidak dapat berobat sendiri atau datang ke rumah sakit, demikian pula berobat jalan untuk pasien gangguan jiwa memerlukan kesabaran dari keluarga termasuk telaten dalam perawatan dirumah. 2. Keluarga sebagai sistim pendukung

Menurut Sudiyanto, yang ditulis ulang oleh Suwarto (2003) bahwa keluarga dan lingkugan yang harmonis dapat berperan sebagai penangkal problem emosional atau stress para remaja sebaliknya keluarga yang retak, patologi dan penuh intrik atau konflik dapat berlaku sebagai stressor bagi remaja oleh karena itu sangat diperlukan

keharmonisan keluarga dan lingkungan sehingga dapat menangkal resiko negatif pada kesehatan remaja.Dukungan keluarga sangat membantu dalam memecahkan konflik yang terjadi pada

pasien, dan

bekerjasama dengan anggota keluarga yang lain dalam mengurangi stress, memeriksa adanya ketidakfungsian komunikasi dalam keluarga dan mengenal secara dini anggota

keluarga yang

menunjukan gejala gangguan jiwa serta mengembangkan

interaksi dan

komunikasi dengan pasien gangguan jiwa sangat diperlukan (Rawlins & Heacock, 1988)

3) Bentuk Dukungan keluarga dalam mencegah

(10)

F. Kerangka teori penelitian

Gambar 2.1 Kerangka teori penelitian Klien Gangguan Jiwa

Faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan :

1. Sakit fisik yang diderita 2. Stresor psikososial

3. Penggunaan obat yang bersamaan yang menggurangi efek dari obat jiwa.

Kekambuhan Dampak internal

1. Disfungsi aktivitas sehari hari

2. Disfungsi hubungan inter personal 3. Harga diri

rendah

4. Motivasi kurang 5. Isolasi diri 6. Kekutan kurang Dampak ekternal 1.Kebutuhan terapi lama

2.Mekanisme koping keluarga

Dukungan Keluarga: 1. Menciptakan lingkungan yang

kondusif

2. Menjalin komunikasi yang efektif 3. Konsultasi dengan psikiater atau

perawat

4. Dilibatkan dalam perawatan diri 5. Pengawasan dan pengobatan secara

teratur

(11)

G. Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2.2 Kerangka konsep penelitian 3. Hubungan Antar Variabel

Variabel Prediktor Variabel Kriterior

Variabel Moderator

Gambar 2.3 Hubungan antar variabel Keterangan :

Garis tebal : yang diteliti Garis putus-putus : yang tidak diteliti

Faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan :

1. Sakit fisik yang diderita 2. Stresor psikososial

3. Penggunaan obat yang bersamaan yang mengurangi efek obat psikiatri

Dukungan keluarga

Klien gangguan jiwa

Kekambuhan klien gangguan jiwa

Dukungan keluarga

Kekambuhan klien gangguan jiwa

1.Sakit fisik yang diderita 2.Stresor psikososial 3.Penggunaan obat yang

(12)

H. HIPOTESIS PENELITIAN

Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kekambuhan pasien gangguan jiwa di poliklinik RSJP.Prof.Dr.Soeroyo Magelang.

I

. METODE PENELITIAN. 1. Jenis Penelitian.

Jenis penelitian ini menggunakan desain penelitian studi korelasional yaitu mengkaji hubungan mengacu pada kecenderungan bahwa variasi suatu variable diikuti oleh variable yang lain ( Nursalam, 2003).Pendekatan yang digunakan adalah cross sectional. 2. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian (Arikunto, 2002). Populasi penelitian ini adalah klien gangguan jiwa beserta salah seorang anggota keluarganya yang datang untuk mengantar klien berobat/kontrol di Poliklinik RSJP.Prof.Dr.Soeroyo Magelang. Menurut data catatan rekam

medik Poliklinik

RSJP.Prof.Dr.Soeroyo Magelang tiap hari rata-rata ada 22 pasien yang yang berobat/kontrol. Sedangkan dari 22 pasien perhari yang memenuhi kriteria inklusi kira-kira 12-13 orang perhari. Jadi populasi penelitian dalam satu bulan kira - kira 350 orang klien dan 350 orang anggota keluarga klien yang mewakili keluarganya. 3. Sampel

Sampel pada penelitian ini dipilih secara purposive sampling yaitu pengambilan sampel dengan menggunakan kriteria inklusi yang sudah dibuat sebelumnya oleh peneliti (Hidayat, 2003).

Berdasarkan pada pertimbangan peneliti, kriteria inklusi yang penulis rumuskan antara lain: a. Inklusi

1) Salah seorang anggota keluarga klien gangguan jiwa yang mengantar klien yang pernah menjalani rawat inap lebih dari satu kali untuk kontrol.

2) Salah seorang anggota keluarga klien gangguan jiwa yang tinggal serumah dan kesehariannya hidup bersama dengan klien. 3) Salah seorang anggota

keluarga klien gangguan jiwa yang mengantar klien untuk kontrol antara tanggal, 11 Februari s/d 7 Maret 2015.

b). Eksklusi

1) Salah seorang anggota keluarga klien gangguan jiwa yang datang untuk mengantar pasien berobat jalan tetapi pasien belum pernah menjalani rawat inap.

2) Klien yang tidak mempunyai keluarga yang diantar oleh orang lain atau petugas.

(13)

menurut Notoatmodjo (2002). Karena populasi di bawah 10.000, maka penentuan besar sampel dihitung menggunakan rumus:

Perhitungan Sampel

(Notoatmodjo, 2002) Keterangan : N : Besar Populasi n : Besar sampel

d : Penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan yaitu sebesar 10% atau 0,1 dengan hasil perhitungan adalah : 78 responden.

Lokasi dari penelitian ini adalah ruang Poliklinik RSJP.Prof.Dr. Soeroyo Magelang. Penelitian dilaksanakan mulai tanggal 11 Februari s/d 7 Maret 2015. J. VARIABEL PENELITIAN Dukungan keluarga

terhadap penderita gangguan jiwa merupakan Variabel independen dalam rencana penelitian ini, yaitu variabel yang menentukan atau mempengaruhi variabel terikat. Sedangkan kekambuhan pasien gangguan jiwa merupakan variabel dependen atau variabel terikat.

K. DEFINISI OPERASIONAL. 1. Dukungan keluarga adalah

sikap, tindakan, dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Keluarga terdiri atas

suami istri, anak dan di Indonesia meluas mencakup saudara dari kedua pihak. Variabel ini diukur dengan menggunakan dengan kuesioner yang dibuat oleh peneliti berisi 20 item pertanyaan berbentuk skala likert (Skor 0 = tidak pernah, Skor 1 = kadang-kadang, skor 2 = sering, Skor 3 = selalu).Adapun jenis skala pengukuran yang digunakan adalah Ordinal. Dikatakan dukungan keluarga rendah apabila skor antara 1 – 21, dikatakan dukungan keluarga sedang apabila skor 22 – 47, dan dikatakan dukungan keluarga tinggi apabila skor 48 – 60.

(14)

gejala namun hanya timbul kadang – kadang, gejala sedang berarti sering timbul gejala, gejala berat berarti gejala muncul terus- menerus/konsisten. Skala ukur yang digunakan adalah Skala ukur Ordinal., dikatakan terjadi kekambuhan ringan apabila Skor 1-18, Skor 19 – 41 dikatakan kekambuhan sedang, Skor 42 – 51 dikatakan kekambuhan berat. L. TEHNIK PENGUMPULAN

DAN ANALISIS DATA 1. Pengolahan Data

Pengolahan data pada penelitian ini dilaksanakan dengan tahap-tahap Editing,

Coding, Tabulating dan Entery data.

2. Analisa data

Analisis dilakukan secara Univariate dan bivariate, untuk bivariat menggunakan uji statistic Korelasi Non Product Moment.

N. HASIL PENELITIAN

Data yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan peneliti mulai tanggal 11 Februari 2015 sampai 7 Maret 2015 di Poliklinik RSJP.Prof. Dr.Soeroyo Magelang terhadap 78 orang responden keluarga klien gangguan jiwa dan 78 klien gangguan jiwa , disajikan dalam bentuk Tabel meliputi :

1. Karakteristik Responden

Tabel-1 Distribusi Karakteristik Responden Keluarga klien gangguan jiwa Di PoliklinikRSJP.Prof. Dr.Soeroyo Magelang Tanggal 11 Februari 201-

07 Maret 2015.

Variabel Jumlah Persen / % Jenis kelamin

Laki – laki Perempuan

47

31

60.3 39.7 Jumlah 78 100.0 Umur 20 – 30 tahun 31 - 40 tahun 41 – 50 tahun 51 – 60 tahun 61 tahun keatas 11

15

34

10

8

14.1 19.2 43.6 12.8 10.3 Jumlah 78 100.0 Pendidikan SD SLTP SLTA PT 27

24

19

8

(15)

Hubungan dengan penderita

Orang tua Anak Saudara

38

22

18

48.7 28.2 23.1 Jumlah 78 100.0 Menurut data diatas , jumlah responden terbanyak menurut jenis kelamin adalah laki-laki yaitu 47 orang (60,3%). Distribusi menurut umur jumlah responden terbanyak usia antara 41 – 50 tahun sebanyak 34 orang (43,6%). Distribusi menurut pendidikan, responden dengan pendidikan SD menempati angka tertinggi yaitu 27 orang (34,6%). Distribusi menurut hubungan responden dengan penderita jumlah responden terbanyak adalah orang tua klien yaitu 38 orang (48,7%). Tabel-2 Distribusi Karakteristik Responden klien Gangguan Jiwa di Poliklinik RSJP.Prof.Dr.Soeroyo Magelang Tahun 2015. Variabel Jumlah N Persen / % Umur 15 – 24 tahun 25 – 34 tahun 35 – 44 tahun 45 – 54 tahun 55 tahun keatas 32

24

11

8

3

41.0 30.8 14.1 10.3 3.8 Jumlah 78 100.0 Jenis kelamin Laki – laki Perempuan 46

32

59.9 40.1 Jumlah 78 100.0 Pendidikan SD SLTP SLTA PT 34

25

16

3

(16)

Frekuensi opname 2 x opname 3 x opname 4 x opname 5 x opname keatas

38

26

3

11

48.7 33.4 3.8 14.1 Jumlah 78 100.0 Menurut tabel diatas, jumlah responden terbanyak menurut umur adalah usia antara 15 – 24 tahun yaitu 32 orang (41.0%) dan paling sedikit usia 55 tahun keatas yaitu3 orang (3.8%). Distribusi menurut jenis kelamin, responden laki – laki mempunyai jumlah lebih banyak yaitu 46 orang (59.9%) dibanding perempuan sebanyak 32 orang (40.1%). Tabel-2 diatas menunjukan bahwa distribusi responden klien menurut pendidikan terbanyak diduduki oleh tingkat pendidikan SD yaitu 34 orang (43.6%) dan paling sedikit PT yaitu 3 orang (3.8%). Sedangkan distribusi responden pasien menurut frekuensi opname klien terbanyak yaitu 48.7% adalah penderita yang opname ke 2 kali. 2. Tingkat Dukungan Keluarga Klien Gangguan Jiwa Tabel-3 Tingkat Dukungan Responden Keluarga klien Gangguan Jiwa Di Poliklinik RSJP.Prof.Dr.Soeroyo Magelang Tahun 2015 TINGKAT DUKUNGAN FREKUENSI PROSENTASE Rendah Sedang Tinggi 23

40

15

29.5 51.3 19.2 Jumlah 78 100.0

Tabel-3 diatas menunjukan bahwa tingkat dukungan keluarga terbanyak pada tingkat dukungan sedang yaitu 40 orang responden (51.3%).

3. Tingkat Kekambuhan Klien Gangguan Jiwa

(17)

TINGKAT KEKAMBUHAN

FREKUENSI PROSENTASE

Ringan Sedang Berat

16 50 12

20.5 64.1 15.4 Total 78 100.0

Menurut Tabel-4 diatas tingkat kekambuhan klien tertinggi adalah kekambuhan dalam tingkat sedang yaitu 50 orang penderita (61.4%).

1. Statistik Responden Dukungan Keluarga Dan Kekambuhan Klien gangguan Jiwa

Tabel-5 Statistik Responden Dukungan Keluarga Dan Kekambuhan Penderita Gangguan Jiwa Di Poliklinik RSJP.Prof.Dr.Soeroyo Magelang Tahun 2015.

DUKUNGAN KEKAMBUHAN

Mean 32.67 28.23

Median 31.00 26.50

Mode 17 42

Std. Deviation 13.269 10.525

(18)

2. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kekambuhan Klien Gangguan Jiwa

Tabel-5 Hubungan dukungan keluarga dengan kekambuhan pasien gangguan jiwa di poliklinik RSJP.Prof.Dr.Soeroyo Magelang tahun 2015.

DUKUNGAN

KEKAMBUHAN

DUKUNGAN Correlation Coefficient

Sig. (2-tailed)

N

1.000

.

78

-.177*

.027

78

KEKABUHAN Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N -.177*

.027

78

1.000 . 78

Tabel-6 diatas menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara dukungan keluarga dan kekambuhanklien gangguan jiwa yang datang untuk berobat dengan nilai Correlation Coefficient -.117* . Nilai ini bersifat negatif artinya apabila dukungan keluarga tinggi maka kekambuhan klien dalam keadaan sebaliknya atau dalam keadaan rendah. Nilai signifikansi 0.027 ini berarti hubungan yang terjadi bersifat signifikan karena nilai 0.027 lebih kecil dari 0.05 sebagai nilai batas signifikasi.

O. PEMBAHASAN

Telah dilakukan penelitian terhadap 78 pasang responden yaitu keluarga yang mengantar klien gangguan jiwa berobat jalan/kontrol ke poliklinik RSJP.Prof.Dr.Soeroyo Magelang. Penelitian dilakukan antara tanggal 11 Februari 2015 sampai dengan 07 Maret 2015. Penelitian dilakukan dengan

pengisian kuesioner yang dilakukan oleh responden keluarga dengan

bimbingan dan observasi pada responden klien yang dilakukan oleh peneliti. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner dukungan keluarga untuk mengetahui tingkat dukungan keluarga dan koesioner observasi kekambuhan untuk mengetahui tingkat kekambuhan klien gangguan jiwa.

(19)

Hasil penelitian dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Karakteristik Responden. Dalam penelitian ini didapatkan 78 pasang responden yang terdiri dari :

a. Responden keluarga 47 orang laki-laki (60.3%) dan 25 orang perempuan (39.7%). Jumlah responden laki-laki lebih banyak dibanding dengan perempuan, hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa laki-laki yang keluarganya

menderita gangguan jiwa lebih bisa terbuka dalam

mengungkapkan permasalahan dari pada wanita (Dep kes, 2003). Menurut pengamatan peneliti jumlah laki-laki lebih banyak disebabkan karena keluarga lebih merasa aman apabila klien datang berobat ditemani laki-laki. Distribusi umur terbesar adalah antara 41

– 50 tahun ada 34 orang (43.6%). Usia 41 – 50 tahun memiliki jumlah rersponden terbesar dikarenakan responden keluarga dalam usia ini lebih memiliki kemampuan ekonomi yang mapan serta kepedulian terhadap klien gangguan jiwa. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan bahwa kemapanan ekonomi keluarga berpengaruh terhadap cara/perlakuan

keluarga terhadap penderita penyakit jiwa (Lisdarwati et al, 1999). Distribusi pendidikan responden keluarga meliputi SD 34.6%, SLTP 30.7%, SLTA 24.4%, PT 10.3%. hal ini sesuai dengan peryataan bahwa

penderita gangguan jiwa lebih banyak ditemukan pada

keluarga dengan pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah (Dep Kes RI, 1999). Menurut pengamatan peneliti rendahnya pendidikan keluarga berakibat pada sulitnya mendapat pekerjaan yang layak yang berimbas pada rendahnya pendapatan keluarga untuk memenuhi segala kebutuhan, hal ini merupakan pemicu utama stresor yang berakibat terjadinya gangguan jiwa . Distribusi menurut hubungan responden dengan penderita menunjukan bahwa responden orang tua menduduki tempat tertinggi yaitu 48.7%, sedangkan anak 28.2% dan saudara 23.1%, menurut pengamatan peneliti hal ini dikarenakan adanya rasa

tanggung jawab emosional yang kuat kepada anak dari pada seorang anak terhadap orang tua dan seorang saudara yang saudara menderita penyakit jiwa.

(20)

penderita gangguan jiwa wanita cenderung menyembunyikanya sehingga jarang penderita wanita yang datang untuk berobat. Distribusi menurut umur

menunjukan bahwa usia 15 – 24 tahun menduduki tempat yang paling tinggi yaitu 32 orang (41.0%), Hal ini sesuai dengan pendapat Kaplan dan Sadock (1997) bahwa gangguan yang sering terjadi pada dewasa muda dan remaja adalah ketidak mampuan memilih karir, mengembangkan tata nilai, atau menjalin hubungan erat. Rasa kohesif diri tak ada sehingga terjadi gangguan sosial dan pekerjaan. Hal ini merupakan pemicu gangguan jiwa. Distribusi menurut pendidikan responden observasi didapatkan data bahwa pendidikan SD menempati urutan tertinggi yaitu 34 orang (43.6%), hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa tinggi rendahnya

pendidikan/pengetahuan seorang penderita gangguan jiwa

berpengaruh terhadap cara pencegahan kekambuhan diri (Wahyudi, 2005). Menurut pengamatan peneliti pasien yang berpendidikan rendah lebih sulit menerima atau memahami pendidikan kesehatan yang diberikan oleh petugas kesehatan sehingga kekambuhan mudah terjadi. Distribusi menurut frekuensi opname menunjukan bahwa frekuensi opname yang ke 2 kali menempati urutan tertinggi yaitu 38 orang (48,7%), hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa kekambuhan pertama setelah pasien sembuh akan lebih mudah terjadi karena perbedaan adaptasi

di rumah sakit dan dilingkungan tempat tinggal yang jauh berbeda maka diperlukan dukungan keluarga untuk mengatasinya (Sukardi, 2002). Menurut peneliti kekambuhan yang ke 2 terjadi lebih disebabkan karena ketidaksiapan keluarga dalam memanipulasi lingkungan sehingga adaptasi pasien dengan lingkungan baru tidak maksimal. 2. Tingkat Dukungan Keluarga klien gangguan jiwa

Setelah dilakukan penelitian maka dapat diketahui tingkat dukungan responden keluarga. Menurut data yang ada dukungan keluarga sedang menempati urutan pertama yaitu 51. 3% kemudian dukungan keluarga Rendah 29,5%, dan yang terakhir dukungan keluarga tinggi yaitu 19,2%. Dari prosentase diatas dukungan yang dilakukan keluarga belum optimal, tetapi telah mengalami peningkatan. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan bahwa dukungan keluarga pada pasien gangguan jiwa rendah karena penderita gangguan jiwa dianggap menjadi aib bagi keluarga oleh karena itu keluarga cenderung bersikap mengucilkan dan menjauhi (Prima, 2002). Menurut pengamatan peneliti meningkatnya dukungan keluarga ini diakibatkan karena informasi tentang kasehatan jiwa yang lebih mudah didapat karena adanya program-program rumah sakit jiwa yang terintegerasi langsung

(21)

kesadaran keluarga secara rutin datang untuk mengantar dan menemani klien gangguan jiwa untuk periksa/kontrol.

3. Tingkat Kekambuhan Klien Penelitian yang telah dilakukan kepada klian menghasilkan data tentang tingkat kekambuhan klien gangguan jiwa sebagai berikut : kekambuhan ringan ada 20.5%, kekambuhan sedang 60.4% dan kekambuhan berat 15%. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan bahwa kecenderungan keluarga penderita gangguan jiwa membawa atau memerlukan pelayanan kesehatan apabila keadaan penderita gangguan jiwa telah memasuki keadaan parah hal ini disebabkan ketidaktahuan keluarga tentang pengobatan ganguan jiwa dan faktor ekonomi keluarga (Muhtar et al, 2002). Menurut pengamatan peneliti ketidaksesuaian ini disebabkan karena meningkatnya pengetahuan keluarga tentang pelayanan

kesehatan penyakit jiwa dan karena adanya bantuan berupa Asuransi Kesehatan dari

pemerintah untuk Klien gangguan jiwa dengan keadaan ekonomi lemah/rakyat miskin.

4. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kekambuhan Klien Gangguan Jiwa

Data yang diperoleh tentang dukungan responden keluarga dan kekambuhan responden observasi oleh peneliti kemudian

dikorelasikan atau dicari hubungannya karena keduanya merupakan data ordinal maka uji yang dilakukan dengan uji korelasi nonparametik Kendall Tau dan didapat hasil bahwa terjadi

hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan kekambuhan penderita gangguan jiwa. Korelasi itu bersifat negatif yang berarti semakin tinggi dukungan keluarga semakin rendah kekambuhan penderita gangguan jiwa. Hal ini dapat dilihat pada Tabel-6 (tabel korelasi dukungan keluarga dengan

kekambuhan penderita gangguan jiwa). Hubungan dukungan keluarga dan kekambuhan yang tersebut diatas diperkuat dengan pernyatan bahwa beberapa penelitian menunjukkan bahwa salah satu penyebab kambuhnya gangguan jiwa adalah keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku klien di rumah (Keliat, 1996). Menurut Ikaningtyas (2005) bahwa dukungan keluarga kepada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa akan mengakibatkan terjadinya

perbaikan kondisi pasien jiwa. Hal ini menjadi relevan karena dengan perbaikan kondisi penderita gangguan jiwa maka kekambuhan makin bisa dihindari.

P.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di poliklinik RSJP. Prof.Dr. Soeroyo Magelang pada tanggal 11 Februari 2015 – 07 Maret 2015 dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :

1. Adanya dukungan keluarga

(22)

berarti dukungan keluarga dalam tingkat dukungan sedang.

2.Adanya kekambuhan pasien gangguan jiwa di Poliklinik Rumah Sakit JiwaPusat Prof.Dr.Soeroyo Magelang. Kekambuhan pasien yang datang untuk berobat kontrol dalam taraf sedang, hal ini dibuktikan dengan nilai mean hasil penelitian

kekambuhan sebesar 28.23 yang berarti kekambuhan dalam tingkat sedang.

3. Adanya hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dan kekambuhan pasien gangguan jiwa di poliklnik Rumah Sakit Jiwa Pusat Prof Dr.Soeroyo Magelang. Hal tersebut dibuktikan dengan nilai signifikasi sebesar 0.027 dan nilai Correlation Coefficient sebesar -.177*. Hubungan yang terjadi bersifat negatif yang berarti bahwa semakin tinggi dukungan keluarga maka akan semakin rendah tingkat kekambuhan atau semakin rendah dukungan keluarga semakin tinggi tingkat kekambuhan pasien gangguan jiwa.

Q. SARAN.

Bertitik tolak dari kesimpulan yang didapatkan dari penelitian yang telah peneliti lakukan maka

disarankan kepada : 1. Rumah Sakit Jiwa Pusat Prof.Dr.Soeroyo Magelang.

Hendaknya rumah sakit jiwa sebagai tempat pelayanan kesehatan jiwa bagi masyarakat dapat meningkatkan

pelayanannya, khususnya dalam menyusun dan memprioritaskan program family gathering, home

visite dan kegiatan lain yang berhubungan dengan

pemberdayaan keluarga penderita gangguan jiwa.

2. Komunitas Keperawatan Hendaknya perawat sebagai fasilitator bagi rumah sakit dalam memberikan pendidikan kesehatan jiwa bagi penderita maupun keluarga selalu meningkatkan pengetahuan serta ketrampilan. 3. Bagi Keluarga Klien Gangguan Jiwa

Hendaknya keluarga klien gangguan jiwa dapat menyadari dan memahami bahwa dukungan keluarga sangat diperlukan dalam mencegah kekambuhan penderita gangguan jiwa dan meningkatkan dukungannya terhadap klien gangguan jiwa.

4. Para Peneliti Lain

Hendaknya melakukan penelitian secara berkelanjutan yang

berhubungan dengan keperawatan jiwa, khususnya dukungan

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktek, Edisi 5, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta. Boyd, M.A & Nihart,M.A. (1998).

Psychiatric nursing

contemporary pratice (9th), Philadelphia : Lippincot Raven Company.

Depkes. (2003). Buku Pedoman Kesehatan Jiwa, cetakan I, Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat.

Dharmady, A. (2001). Fakto-faktor yang mempengaruhi pasien skizofrenia dalam pemilihan jalur pelayanan kesehatan jiwa pertama kali dan keterlambatan kontak ke fasilitas pelayanan kesehatan jiwa,

Semarang:Konggres IDAJI Effendy, N. (1998). Dasar-dasar

keperawatan kesehatan masyarakat, Edisi 2, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Friedman, M.M (2001).

Keperawatan keluarga: teori dan praktek, Edisi 3, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Handoko, R. (2006). Statistik kesehatan : belajar mudah tehnik analisis data dalam

penelitian kesehatan, Edisi 1, Penerbit : Mitra cendikiaPress, yogyakarta

Hidayat, A.A. (2003). Riset Keperawatan dan Tehnik Penulisan Ilmiah, edisi 1. Salemba Medika, Jakarta. Isaac, A., (2005). Paduan Belajar

Keperawatan Kesehatan Jiwa & Psikiatrik (terjemahan). Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC

Johnson, B.S (1997). Psychiatric mental healt nursing adaptation and growth(2nd), Philadelphia : J.B.Lippincott Company. Kaplan I. H., Sadock P. B (1997),

Sinopsis Psikiatri Ilmu

Pengetahuan prilaku Psikiatri Klinis, edisi ke 7, Jilid 2, Binarupa Aksara, Jakarta Keliat, B.A. (1996). Peran serta

keluarga dalam perawatan klien gangguan jiwa, Edisi 2, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Keliat, B.A., Kobong, B.M., Suci, E.S., Hutagalung, E.A., Agiananda, F., Fausiah, F., Irmansyah, Sugiyanto, P.R., dan Gunawan, S., (2006). Menanti empati terhadap orang dengan gangguan jiwa. (Cetakan I). Jakarta: Pusat Kajian Bencana & Tindak Kekerasan

Departemen Psikiatri FKUI-RSCM.

(24)

keluarga untuk mempercepat penyembuhan pasienrawat inap di RSJ Palembang. Jurnal bina Diknakes, 32.

Nurgiyantoro, B. (2000). Statistik terapan untuk penelitian ilmu-ilmu Sosial, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Nursalam. (2003). Konsep & penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan, Edisi 1, Penerbit : Salemba Medika.

Rasmun, (2001). Keperawatan kesehatan mental psikiatri Terintegrasi dengan keluarga, Edisi 1. Penerbit : Sagung Seto, Jakarta

Rawlins, R.P & Heacock, P.E. (1998). Clinical manual of psychiatric nursing(1st), Toronto : The C.V Mosby Company. Shives,L.R. (1998), Basic consepts

of psychiatric-mental healt nursing(4th), Philadelphia : Lippincott Raven Publisher.

Stolte,K.M. (2004) Diagnosa

keperawatan sejahtera, Edisi 1, Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Stuart, G.W., (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa (terjemahan). Edisi 5. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC

Sukardi (2002). Hubungan dukungan keluarga terhadap frekuensi kekambuhan penderita skizoprenia. Karya Tulis FK. UGM. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan.

Tomb, D A. (2003). Buku Saku Psikiatri. Edisi 6, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Twonsend, M.C. (1998). Buku saku diagnosa keperawatan pada keperawatan psikiatri, Edisi 3, Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Gambar

Tabel-1 Distribusi Karakteristik  Responden Keluarga klien gangguan jiwa Di

Referensi

Dokumen terkait

Diagnosis pada pasien ini sudah sesuai dengan teori yang mana ditemukan tanda-tanda klinis tetanus yaitu trismus 2 cm, risus sardonikus, defans muscular, dan epistotonus,

Beberapa sub bahasan yang akan diuraikan dalam pembahasan ini adalah tinjauan Pendidikan Agama Islam, materi pokok Pendidikan Agama Islam, kurikulum PAI, serta PAI Penguatan

(PER)dalam usaha bank sebagai lembaga intermediary. Berdasarkan analisis peneliti, bahwa peneliti setuju dengan pernyataan informan, karena dengan adanya peraturan

dalam keterampilan teknik permainan bola voli melalui modifikasi permainan pada siswa kelas X SMA Negeri 2 Kampar pada siklus I rata-rata sebesar 67.2 termasuk

2 Pengaruh Intensitas Menonton Televisi dan Komunikasi Orang Tua-Anak Terhadap Kedisiplinan Anak dalam Mentaati Waktu Arista Fitriawanti (2010), dari Universitas

Sehubungan dengan pelelangan pekerjaan paket tersebut diatas, maka Pokja memerlukan klarifikasi dan verifikasi terhadap Dokumen Penawaran dan Kualifikasi saudara

(2012) Pengaruh Penerapan Corporate Governance terhadap Kinerja Kuangan X1=Kepemi likan Institusional X2=Ukuran Dewan Direksi X3=Aktivit as(rapat) Dewan Komisaris

· Pembuatan tabel distribusi frekuensi dapat dimulai dengan menyusun data mentah ke dalam urutan yang sistematis ( dari nilai terkecil ke nilai yang lebih besar atau