82
KLASIFIKASI POLA TEKSTUR PADA MOTIF BATIK PESISIR DENGAN ALGORITMA
BACKPROPAGASI
Novita Kurnia Ningrum1, Defri Kurniawan2, Septian Enggar Sukmana3
Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Dian Nuswantoro Semarang Jl. Nakula I No. 5-11 Semarang Telp. (024) 3517261
E-mail : [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Wilayah pesisir pantai pulau Jawa yang meliputi kota Brebes, Cirebon, Pekalongan, Lasem dan Madura memiliki pola motif batik yang beragam. berdasarkan polanya motif batik pesisir dapat dibedakan menjadi batik geometrid an non geometri. Klasifikasi motif batik pesisir digunalan algoritma bakpropagasi dengan menentukan nilai learning rate dan momentum pada saat training data. Data inputan yang digunakan berupa ciri statistik yang diperoleh dari pembentukan nilai GLCM. Ciri statistik yang digunakan antara lain mean, standar deviasi, curtosis, skewness dan enteropy. Sedangkan learning rate terbaik diperoleh pada angka 0,5 dan momentum 1,0 pada motif batik geometri. Sedangkan pada motif batik non geometri learning rate terbaik diperoleh pada angka 0,5 dan momentum 1,0. Jumlah neurons yang digunakan pada training kedua motif tersebut mempengaruhi nilai epoch (jumlah iterasi) dan error yang dihasilkan.
Keyword: learning rate, momentum, glcm, backprogation, motif batik pesisir
I. PENDAHULUAN
Berdasarkan bidang seni rupa, batik termasuk dalam karya lukis dua dimensi dimana kain yang menjadi media lukisnya. UNESCO telah mengakui batik sebagai karya seni asli warisan budaya masyarakat Indonesia pada tahun 2009 [1]. Di Pulau Jawa batik berkembang pesat di wilayah pesisir utara Pulau Jawa atau biasa disebut batik pesisir dan lingkungan kraton Yogyakarta dan Solo atau biasa disebut batik pedalaman. Batik pesisir berkembang pesat di kota sepanjang pesisr utara pulau Jawa, meliputi Brebes, Cirebon, Pekalongan, Lasem dan Madura.
Secara garis besar berdasarkan pola motif terdapat motif geometri, motif non geometri dan motif campuran.
Motif batik memiliki empat elemen dasar di dalamnya, yaitu garis, tekstur, warna dan bidang [2]. Dengan pengolahan citra motif pada batik
dapat dianalisa untuk kemudian diklasifikasikan berdasarkan empat elemen yang dimilikinya. Dengan adanya klasifikasi akan membantu identifikasi karakter pada objek citra yang tersimpan dalam database, sehingga dapat meminimalkan kesalahan memasukkan objek pada kelompok yang berbeda [3].
83 Dengan demikian maka batik sebagai warisan
budaya Indonesia dapat dilestarikan tidak hanya dalam bentuk fisik melainkan juga dalam bentuk digital. Sehingga motif batik yang sudah pernah ada tidak hilang dan selanjutnya dapat dikembangkan menjadi motif batik baru.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pada pengolahan citra, tahapan ekstraksi fitur diperlukan untuk memudahkan analisa citra pada proses selanjutnya. Ekstraksi fitur batik diambil berdasarkan tekstur pola pada motifnya. Setiap pola memiliki ciri spesifik yang dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok pola geometri dan pola non geometri. Untuk mendapatkan nilai dari ciri spesifik, dapat dilakukan perhitungan jarak dan sudut antar piksel yang berdekatan dengan pada matriks piksel motif batik. Kemungkinan atau probability piksel bertetanggaan yang sama akan dikelompokkan pada kelompok yang sama metode ini termasuk dalam Gray Level Co-occurrance Matrix (GLCM) [4].
Ekstraksi fitur motif batik dengan metode Gray Level Co-occurrance Matrix (GLCM) oleh Yaltha menunjukkan bahwa GLCM memiliki performa baik (Rullist, Irawan, & Osmond). Pada pengujian jarak (distance) dan arah (orientation) dihasilkan data yang akurat pada jarak piksel ke-2 dan arah pada sudut 45°. Penelitian lain oleh Anita, untuk identifikasi citra batik pada proses ekstraksi digunakan ekstraksi ciri dengan menghitung ciri GLCM yang meliputi nilai kontras (contrast), homogenitas (homogenity), Energi (energy) dan korelasi (korelation). Selanjutnya menggunakan backpropagation untuk mengklasifikasi motif batik berdasarkan pola geometrinya (Kasim & Harjoko, 2014).
Algoritma backpropagation termasuk dalam algortima pembelajaran jaringan saraf tiruan atau neural netwoks yang dipopulerkan oleh oleh Rumehalt dan Mc Celland [7]. Sistem kerja backpropagation mengadopsi sistm kerja saraf pada manusia. Metode pembelajaran (learning) yang diadopsi backpropagation termasuk dalam supervised learning. Nilai yang diberikan pada input neurons merupakan pengetahuan yang dijadikan acuan untuk dipetakan ke dalam
kelompok yang diinginkan yang sudah ditentukan di output neurons.
Learning process akan terus dilakukan selama kondisi yang diinginkan belum terpenuhi, hingga mencapai nilai error yang paling kecil. Oleh karenanya backpropagation sesuai untuk mengklasifikasi pola yang kompleks [Puspitaningrum, D. 2006, Pengantar Jaringan Saraf Tiruan. Penerbit Andi. Yogyakarta]. Klasifikasi batik dengan backpropagation berhasil memberikan nilai akurasi 100% untuk mengklasifikasi motif geometri dan 91,9% untuk motif batik non geometri [6].
III. METODE PENELITIAN
Tahapan pada penelitian ini meliputi akuisisi citra, pra pengolahan citra, ekstraksi fitur dengan metode grey level co-occurance matrix dan selanjutnya klasifikasi fitur dengan melakukan data training dan data testing dengan jaringan saraf tiruan backpropagation algorithm.
A. Akuisisi citra
Pengumpulan data citra digital motif batik pesisir dan disimpan dalam format file extention jpeg. B. Pra Pengolahan Citra
Dilakukan cropping untuk menyamakan ukuran citra dengan resolusi 8 x 8 pixel. Kemudian greyscalling dengan merubah citra RGB ke
bentuk greyscale.
Gambar 1. Grayscaling citra motif batik
C. Ekstraksi Fitur
84 dinyatakan dalam °. Intensitas kejadian kesamaan
piksel yang berdekatan pada jarak dan arah yang sudah ditentukan akan membentuk fungsi matriks kookurensi. Selanjutnya menentukan ciri citra berdasarkan jumlah dari kookurensi piksel dengan jarak d=1 dan sudut Ɵ (0°, 45°, 90° dan 135°) yang memiliki kemiripan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 2. Hubungan antara sudut antara dua piksel yang bertetangga pada tetangga [7]
Gambar 3. Pembentukan GLCM dengan d=1, Ɵ= 0°
Gambar 3 menunjukkan kejadian munculnya kesamaan piksel dengan jarak piksel =1 dan sudut 0°. Pertama matriks baru dibuat dengan elemen 0 dan dimensi sebesar nilai maksimal pada matriks asal, yaitu 8. Kemudian terjadi perulangan dari indeks (1,1) pada matrik 0 sampai indek (8.8), dimana setiap perulangan dilakukan pengecekan. Semisal indeks (1,1) dicek dengan nilai [1 1] dan muncul 1 kali, maka nilai indeks (1,1) adalah 1. Kemudian pada indeks (1,2) dicek sengan nilai [1 2] dan hasilnya muncul 2 kali maka nilai indeks (1,2) adalah 2. Munculnya nilai indeks yang menunjukkan kesamaan nilai piksel inilah yang disebut sebagai co-occurancy.
Gambar 4. Algoritma Pembentukan Ciri Statistik GLCM
D. Klasifikasi
Backpropagation mengadopsi algoritma pembelajaran supervised learning dimana proses pembelajaran dilakukan pada saat data training. Data input pada input neurons dijadikan sebagai data training yang akan dilanjutkan ke output neurons sebagai data output. Setiap jaringan diberi bobot, jika nilai output belum sesuai dengan nilai yang diharapkan maka akan terjadi perbaikan bobot dan dipropagasi balik menyebar ke jaringan neuron sebelumnya. Iterasi terjadi hingga mencapai nilai error yang paling rendah. Berikut ini langkah kerja backpropagation: 1. Tahap 0: Inisiasi penimbang untuk pemberian
nilai bobot (w);
2. Tahap 1: mengulang tahap 2 sampai 9 hingga terpenuhi kondisi iterasi yang diinginkan;
Mulai
Citra grayscale
Grayscale level piksel
Menentukan nilai jarak d dan sudut
Terbentuk grey level cooccurance matriks (GLCM)
Menghitung ciri statistic piksel terdekat
d=1; 0°, 45°, 90° dan 135°)
Jumlah kookurensi piksel berdekatan pada jarak d=1
Nilai ciri statistik
Selesai
85 3. Tahap 2: mengulang langkah 3 sampai 8 untuk
tiap pasangan data training
Feedforward
4. Tahap 3: setiap unit masukan (Xi, i=1,2,…,n,)
pada input neurons mendapapat sinyal dan diteruskan ke unit-unit berikutnya – pada hidden layer neurons;
5. Tahap 4: setiap unit pada hidden layer neurons dikalikan dengan bobot dan dijumlahkanfaktor penimbang kemudian ditambahkan dengan nilai biasnya;
∑ ( )
(3.1)
Membangkitkan aktifasi dengan fuungsi sigmoid:
(3.2)
jika Zj = f (z_in j) maka,
(3.3)
Selanjutnya sinyal dikirim ke unit keluaran (output neurons) ;
6. Tahap 5: setiap unit output (Yk, k=1,2,…,m) dikalikan lagi dengan faktor penimbang dan dijumlahkan
∑ (3.4)
Kembali ung fungsi aktifasi
yk= f (y_ink) (3.5)
Backpropagasi dan perbaikan nilai error
7. Tahap 6: Setiap unit output (Yk, k=1,2,…,m) menerima pola target sesuai nilai masukan pada waktu data training dan menghitung nilai error
(3.6)
Karena menggunakan fungsi aktifasi sigmoid, maka:
( ) ( ) ( )
yk = (1 – yk) (3.7)
menghitung faktor penimbang untuk nilai
(3.8)
menghitung perbaikan koreksi,
(3.9)
Dan menggunakan nilai pada semua layer sebelumnya
8. Tahap 7: setiap nilai penimbang yang menghubungkan unit output dan unit hidden layer (Z j, j=1,..p) dikalikan delta dan dijumlahkan sebagai masukan pada unit layer berikutnya,
∑ ( )
(3.10)
Kemudian dikalikan dengan turunan fungsi aktifasi untuk nntuk menentukan nilai error,
( ) ( ) (3.11)
Menghitung perbaikan penimbang untuk memperbaiki
(3.12)
Menghitung perbaikan bias untuk memperbaiki Voj
(3.13)
Memperbaiki penimbang dan bias
9. Perbaikan bias dan penimbang (j=0..,p) pada setiap unit output (Yk,,k=1,..,m)
(3.14)
Memperbaiki bias dan penimbang (j=0,…,n) pada unit hiden layer (Zj, j=1,,..,p)
(3.15)
10. Uji iterasi
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
86 standart deviation, skewness, kurtosis, entrophy.
Adapun nilai yang dihasilkan sebagai berikut:
Table 1. Hasil pembentukan nilai GLCM pada motif batik batik geometri
Citra Mean
Table 2. Hasil pembentukan nilai GLCM pada motif batik non geometri
Lima ciri tersebut kemudian dijadikan nilai masukan pada klasifikasi. Untuk fase training mengggunakan 70% data training yang terdiri dari dan fase testing menggunakan 30% data testing.
Algoritma backpropagasi menggunakan konsep learning/training dengan tujuan agar input yang diinisialisasi pada input layer menghasilkan output yang sesuai atau yang diinginkan. Oleh karena itu dibutuhkan nilai lerning rate yang mana nilai learning rate berkisar antara 0,1 – 1,0. Selain itu dibuttuhkan adanya fungsi aktifasi,untuk menentukan nilai output suatu
neuron sesuai dengan proses yang dilakukan terhadap input. Dalam hal ini fungsi aktifasi yang
digunakan olrh algoritma backpropagasi adalah binary sigmoid function yang memiliki range antara 0 hingga 1.
Tabel bawah ini menunjukkan hubungan learning rate dan momentum dengan jumlah neurons untuk menghasilkan nilai net error minimum.
rate Momentum Iterasi
Net dan momentum 0,1 pada motif geometri
87
25 1.0 0.1 9325 0.19467
Table 4. Training data dengan learning rate 1,0 dan momentum 0.1 pada motif geometri
Berdasarkan tabel 2 nilai net error paling kecil
Motif Non Geometri
Jumlah neuron
Learning
rate Momentum Iterasi
Net
Table 5. Training data dengan learning rate 1,0 dan momentum 0.1 pada motif non geometri
Jumlah neurons yang digunakan dalam
backpropagation mempengaruhi
learning/training, jumlah neurons terlalu sedikit menghasilkan net error yang kurang akurat dan jumlah neurons terlalu banyak menyebabkan fase learning/training tidak stabil. Jumlah data yang digunakan juga mempengaruhi seberapa banyak neurons yang akan melakukan training.
J.umlah nilai bobot tidak lagi berubah (stabil) maka iterasi akan dihentikan. Grafik pada gambar 5 dan gambar 6 menunjukkan epoch (jumlah iterasi) yang dicapai pada trainingvalidation dan testing pada motif geometri dan non geometri. Epoch pada motif batik geometri menunjukkan hasil terbaik di titik 4 demikian pula untuk validasi. Sedangkan epoch untuk motif non geometri stabil pada titik 6.
Gambar 5. Grafik titk epoch terbaik motif geometri
88 Gambar 5.Grafik hasil klasifikasi motif batik geometri
Gambar 6. Grafik hasil klasifikasi motif batik non geometri
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uji coba di atas maka kesimpulan yang diperoleh adalah ekstraksi fitur GLCM dengan pencarian ciri statistik pada penelitian ini menghasilkan lima ciri statistik yaitu means, standart deviasion, skewness, kurtosis dan enterophy. Dimana lima ciri terbut dapat dianalisa sebagai nilai input pada klasifikasi dengan algoritma backpropagasi. Nilai learning rate mempengaruhi laju pada proses training. selain itu jumlah neurons yang digunakan menyesuaikan sengan jumlah data yang
ditraining. Jumlah neurons yang terlalu banyak atau terlalu sedikit mengakibatkan iterasi semakin lama dan menjadi tidak stabil. Klasifikasi dengan backpropagation algorithm menghasilkan akurasi terbaik pada jumlah neurons 12, learning rate 0,5 dan momentum 0,1 untuk motif batik geometri sedangkan motif batik non geometri akurasi terbaik pada jumlah neurons 20, learning rate 0,5 dan momentum 0,1 Nilai ciri statistk yang diperoleh pada penelitian ini masih terlalu generate sehingga membutuhkan proses yang lama untuk mendapatkan nilai akurasi terbaik pada klasifikasi.
VI. DAFTAR PUSTAKA
[1] Batik, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan, Katalog Batik Nasional, Yogyakarta: Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, 1997.
[2] A. M. Arymurthy, "Cbirs pada Aplikasi Warisan Budaya," 2011.
[3] V. S. Moertini and B. Sitohang, "Algorithms of Clustering and Classifying Batik Images Based on Color, Contrast and Motif," ITB J Eng Sci, vol. vol. 37 no. 2, p. pp. 141–160, 2005.
[4] R. Albregtsen , Statistical Texture Measurer Computed from Gary Level Co-Occurrence Matrices, Oslo, 2008.
[5] Y. Rullist, B. Irawan and A. B. Osmond, "Aplikasi Identifikasi Motif Batik Menggunakan Ekstraksi Fitur Gary Level Co-Occurrence Matrix Berbasis Anroid".
89