TUJUAN HUKUM ISLAM
(MAQASIDUS SYARI’AH)MAKALAH
Dibuat dalam rangka memenuhi Tugas Mata Kuliah filsafat hukum islam
Dosen
Akhmad Farroh Hasan,M.Si
Oleh KELOMPOK 5
Ali nahrowi : 13220214 Ahmad muzakki : 13220223 Hayat : 13220118
Sofiatun Darojat : 13220205
JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH FAKULTAS SYARIAH UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
KATA PENGANTAR
ميحرلا نمحرلا ل مسب
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya lah kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Tujuan Hukum Islam atau dikenal dengan Maqasidus Syari’ah Dalam Pembentukan Hukum islam.
Makalah ini diajukan guna memenuhi Tugas Mata Kuliah filsafat hukum islam, dengan dosen pembimbing Bapak Ahmad farroh asan,M.Si.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi khususnya bagi kami,dan umumnya bagi mahasiswa dan bermanfaat untuk pengembanngan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Malang, 25 September 2014
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI...ii
BAB I PENDAHULUAN...1
A. Latar Belakang...1
B. Rumusan Masalah...1
C. Tujuan...1
BAB II PEMBAHASAAN...2
A. Pengertian Maqashid al Syari’ah...2
B. Urgensi Maqashid al Syari’ah...4
C. Istilah – istilah yang berkaitan dengan Maqashid al Syariah...4
1. Al-Hikmah (ةمكحلا)...4
2. Al-'illat ((ةلعلا...5
3. Al-ma'na (ىنعملا)...5
D. Metode Penetapan Maqashid al Syari’ah...5
E. Klasifikasi Maqashid al Syariah...7
1. Maqasid Syari'...7
2. Maqashid al Mukallaf (hamba)...10
BAB III SIMPULAN...11
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW adalah sebagai sumber utama hukum Islam yang bersifat wajib, atau mutlaq di percayai dan di anut oleh seorang muslim, selain menunjukkan hukum dengan bunyi bahasanya juga dengan ruh tasryi’ atau Maqasid Syari’at.
Melalui Maqasidus Syari’ah inilah ayat-ayat dan hadits-hadits hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan–permasalahan yang secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh al-Quran dan Sunnah. Pengembangan ini dengan menggunakan metode istimbat seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan ‘urf yang juga disebut sebagai dalil.
Maqasid Syaria’ah yang ditujukkan melalui hukum-hukum Islam dan ditetapkan berdasarkan nash-nash agama adalah maslahat hakiki. Maslahat ini mengacu terhadap pemeliharaan terhadap lima hal: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kehidupan dunia ditegakkan atas lima pilar tersebut, tanpa terpeliharanya kelima hal ini tidak akan tercapai kehidupan manusia yang luhur secara sempurna.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Dari Tujuan Hukum Islam Atau Maqasidus Syari’ah?
2. Bagaimana Urgensi Maqasidus Syari’ah Dalam Proses Terjadinya Hukum? 3. Bagaimana Metode Penetapan Maqasidus Syari’ah?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Definisi tujuan hukum islam atau Maqasidus Syari’ah. 2. Untuk Mengetahui Peranan Penting Maqaqsidus Syari’ah Dalam Proses
Terjadinya Hukum
BAB II
Maqashid secara bahasa adalah jamak dari maqshad, dan maqsad mashdar mimi
dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada-yaqshidu-qashdan-wamaksadan, al qashdu dan al maqshadu artinya sama, beberapa arti alqashdu adalah: ali’timad: berpegah teguh, al amma: condong, mendatangi sesuatu dan menuju.
Sedangkan syari’ah secara bahasa berarti: tempat menuju ke sumber air
(ءاملا ةبِراَشلا ُدِرْوَم
).22. Pengertian Secara Istilah
Secara istilah terdapat beberapa pengertian yang disebutkan oleh para ulama dalam literature mereka diantaranya adalah :
Ibnu al-Qayyim Al Jauziyah
Menegaskan bahawa syariah itu berdasarkan kepada hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia baik di dunia maupun di akhirat. Perubahan hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk menjamin syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada manusia.3
Al Izz bin Abdul Salam
1 Lihat Qamus Al Muhith 2/327, Mu’jam Maqayiis Al Lughaat 5/95, Al Mishbah al Munir 2/692, Muhtarus sihhah hal. 536, Tahdziib Asmaa Al Lughaat 2/92
2 Lihat kitab As shihah karangan Az Zuhri 3/1236
3 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tahun 1996
Berpendapat syariat itu semuanya mengandung nilai maslahah yang bertujuan menolak kejahatan atau menarik kebaikan.4
Al Khadimi
Berpendapat maqashid sebagai prinsip islam yang lima yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.5
Ibnu Asyur
Beliau berpendapat bahwa maqashid adalah segala pengertian yang dapat dilihat pada hukum-hukum yang disyariatkan, baik secara keseluruhan atau sebagian, menurut beliau maqashid terbagi menjadi dua yaitu; maqashid umum dan maqashid khusus.maqashid umum dapat dilihat dari hukum-hukum yang melibatkan semua individu secara umum, sedangkan maqashid khusus cara yanag dilakukan oleh syariah untuk merealisasikan kepentingan umum melalui tindakan seseorang.6
Ibnul Arabi dan Al Qadhi ‘Iyadh
Menyebutkan berhukum untuk menghidarkan kemudharatan adalah wajib, dengan tidak membebani seseorang.7
As Syatibi
Beliau tidak mengemukakan definisi secara spesifik tentang maqashid syariah disebabkan karena masyarakat umum sudah memahaminya baik langsung maupun tidak langsung.8
Dr. Wahbah Zuhaily
Menyebutkan Maqashid syariah adalah sejumlah makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh syara’ dalam semua atau sebagian besar kasus hukumnya. Atau ia adalah tujuan dari syari’at, atau rahasia di balik pencanangan tiap-tiap hukum oleh Syar’i (pemegang otoritas syari’at, Allah dan Rasul-Nya.9
4 Al-Izz bin Abdul Salam, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam, Beirut, Dar al-Ma'rifah, tt. Jil 1
Hal .9
5 Nuruddin Mukhtar al-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqasidi,Qatar , tahun 1998 hal.50
6 Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Amman: Dâr al-Nafâ’is,
tahun 2001, hlm. 190-194.
7Ibid 4 8Ibid 4
B. Urgensi Maqashid al Syari’ah
Maqashid syariah memiliki peranan yang penting dalam proses terjadinya hukum, oleh karena itulah Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az Zuhaili, menyebutkan dalam kitabnya maqashid syariah, ada beberapa faidah maqashid al syariah yang bisa dipetik diantaranya:
a. Maqashid syariah dapat membantu mengetahui hukum-hukum yang bersifat umum ( kulliyah) maupun parsial ( juz’iyyah )
b. Membantu memahami nushsus syar’i secara benar dalam tataran praktek. c. Membatasi makna lafadz yang dimaksud ( madlul al alfadz ) secara benar,
karena nash-nash yang berkaitan dengan hukum sangat variatif baik lafadz maupun maknanya. Maqashid al syari’ah berperan dalam membatasi makna yang dimaksud.
d. Kembali ke maqashid al syari’ah ketika tidak terdapat dalil yang pasti dalam Al qur’an dan sunnah pada masalah-masalah yang baru ( kontemporer ), sehingga para mujtahid merujuk ke maqashid al syari’ah dalam istimbath hukum setelah mengkombinasikan dengan qiyas, ijtihan, istihsan, istislah dll. e. Maqashid al syari’ah membantu mujtahid untuk mentarjih sebuah hukum
yang terkait dengan ( perbuatan manusia) af’al mukallafin sehingga menghasilkan hukum yang sesuai dengan kondisi masyarakat.10
C. Istilah – istilah yang berkaitan dengan Maqashid al Syariah 1. Al-Hikmah (ةمكحلا)
Ibn Rusyd menyifatkan maqasid sebagai hikmah dari pensyariatan hukum.
Al-hikmah memiliki arti yang sama dengan maqasid. Istilah al-hikmah lebih kerap digunakan oleh fuqaha.Contohnya Ibn Farhun berkata:"Dan adapun hikmah qadha ialah mengurangi kekacauan, menolak bala bencana, mencegah orang zalim, membantu yang dizalimi, memutuskan pertikaian, menyuruh yang ma'ruf dan mencegah kemungkaran".11
10Lihat kitab Maqashid al Syariah al islamiyah, Prof.Dr. Muhammad Musthafa Az Zyhaily 1/9 maktabah syamilah
11Muhammad bin Farhun, Tabsirah al-Hukkam, Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah, Mesir, 1301H
2. Al-'illat ةلعلا))
Sebagian ulama yang menganggap bahwa maqasid itu ialah 'illat-''illat
yang terkandung di dalam pensyariatan hukum. Al-Ilat ialah sifat zahir yang ada pada hukum syara.12
Sifat yang ada pada sesuatu hukum itu seolah-olah menggambarkan
maqasid syara.Ini menjadikan al-'illat dan maqasid membawa pengertian yang sama. Atau dengan kata lain, maqasid sesuatu hukum dapat difahami daripada kefahaman terhadap 'illatnya.Istilah ini lebih banyak digunakan di dalam bidang tafsir ayat dan hadits yang berkaitan dengan hukum-hukum syara'.13
3. Al-ma'na (ىنعملا)
Dari segi penggunaannya, istilah al-ma'na adalah sinonim kepada maqasid kecuali al-ma'na lebih popular digunakan oleh fuqaha terdahulu seperti al-Syatibi, al- Ghazali dan al-Tabari.
D. Metode Penetapan Maqashid al Syari’ah
Ibnu Asyûr berpendapat bahwa sesuatu bisa dinyatakan secara spesifik sebagai tujuan dari syari’at melalui tiga cara penetapan yaitu:14
Pertama, penelusuran (istiqra’) terhadap hukum-hukum syari’at yang telah diketahui ‘illat-nya secara tekstual, atau melalui penggalian ‘illat melalui penalaran.
Kedua, dalil-dalil Al-Qur’an yang lugas sisi penunjukan tekstualnya dan secara tegas menentukan tujuan tertentu di balik pensyari’atan sebuah kasus hukum.
Ketiga, sunnah mutawatirah.
Menurut Asy-Syathibi, ada tiga bentuk pemikiran mengenai bagaimana cara mengetahui tujuan dari syari’at (maqashid syari’ah)
Pertama, bahwa maqashid syari’ah tidak bisa diketahui kecuali dukungan
nash sharih yang menjelaskannya. Kesimpulan akhir dari pemikiran ini hanyalah mengarahkan nash atas sisi dhahir-nya saja. Ini adalah metode Madzhab
12Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami, Dar al-Fikr, Dimasyq, 1986, jil.1, hal 646 13al-Raisuni, opcit,
14 Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Amman: Dâr al-Nafâ’is,
Dhahiriyah yang hanya memandang makna dhahir dari nash untuk menentukan
maqashid syari’ah.
Kedua: klaim bahwa maqashid syari’ah bukanlah apa yang tersurat atau tersirat dalam nash, namun hal lain di balik itu. Ini diberlakukan pada seluruh hukum syari’at, hingga tak tersisa sedikitpun sisi dhahir dari nash yang dapat dijadikan pegangan. Klaim ini hakikatnya adalah pembatalan syari’at, sebagaimana yang dikemukakan kalangan madzhab Bathiniyyah.
Ketiga, maqashid syari’ah bisa diketahui melalui dua pendekatan di atas secara moderat dan sinergis, yakni dengan berpedoman pada sisi dhahir tanpa mengesampingkan makna atau hikmah tersembunyi di balik itu, atau sebaliknya, dengan menggali makna atau hikmah di balik pensyari’atan sebuah hukum tanpa bertentangan dengan sisi dhahir nash. Dan, inilah yang dijadikan pijakan oleh manyoritas ulama’.
Karenanya, Asy-Syathibi memberikan kesimpulan bahwa maqashid syari’ah bisa diketahui dengan tiga cara yaitu:
Pertama, cukup mengetahui dalil perintah atau larangan yang secara jelas, bahwa tujuan yang dikehendaki adalah kepatuhan dengan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan.
Kedua; dengan memandang ‘illat-’illat dari perintah atau larangan, seperti pensyari’atan nikah yang bertujuan untuk memelihara keturunan.
Ketiga, bahwa dalam penerapan hukum syari’at, Syari’ memiliki tujuan pokok (maqashid ashliyyah) dan tujuan pelengkap (maqashid tabi’ah), adakalanya tertera secara eksplisit, tersirat secara implisit, ataupun didapatkan dari hasil penelusuran (istiqra’) terhadap nash. Sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap maqashid yang tidak tertera dalam nash namun tidak bertentangan dengan ketentuan di atas, adalah termasuk dalam maqashid al syariah.15
E. Klasifikasi Maqashid al Syariah
Maqasid al Syariah berdasarkan tujuannya terbagi dua :16
15Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Allakhmy As Syatiby, Kitab Al Muwafaqoot,
1. Maqasid Syari'
Yaitu maqasid yang diletakkan oleh Allah dalam mensyariatkan hukum. Tujuannya adalah ( jalbil masholih wa daf’il madhorroh) menarik kebaikan dan menolak kejahatan di dunia dan di akhirat. Menurut as-Syatibi, Maqasid Syari' terbagi empat bagian :17
a. Tujuan Syari' (Allah) menciptakan Syariat .
b. Tujuan Syari' (Allah) menciptakan Syariat untuk difahami. c. Tujuan Syari' (Allah) menjadikan Syariat untuk dipraktikkan. d. Tujuan Syari' (Allah) meletakkan mukallaf di bawah hukum Syara’.
Pada pandangan As-Syatibi, Allah menciptakan syariat dengan tujuan untuk merealisasikan maqasidnya untuk manusia yaitu untuk memberikan kebaikan
(maslahah) kepada mereka dan menolak keburukan (mafsadah) yang menimpa mereka. Menururtnya segala apa yang disyariatkan tidak terlepas dari maqasid al syariah. Tujuan syariat dibagi menjadi tiga kategori yaitu :18
a. Kepentingan Asas (al-Dharuriyyat)
Yaitu segala apa yang paling penting dalam kehidupan manusia, bagi tujuan kebaikan agama dan kehidupan di dunia dan akherat karena kehidupan manusia akan rusak di dunia atau di akhirat jika kepentingan asas ini tidak ada atau tidak dipenuhi.
Sehingga dalam syariat dikenal dengan al dharuriyaat al khamsah ( lima hal yang sangat penting ) diantaranya adalah :
1) Agama 2) Jiwa 3) Akal 4) Keturunan 5) Harta
16As Syatibi, al-Muwafaqat Fi Usul al-Syariah, Beirut ,Dar al-Ma'rifah, 1416H/1996M, jil: 2/321
Kelima hal diatas merupakan maslahah yang senantiasa di jaga oleh syariat meskipun dengan jalan yang berbeda-beda, sehingga yang di gulirkan oleh syariat meletakkan dua sendi dasar yaitu:
Mewujudkan dan melahirkan hukum (al ijaad )
Menjagan kesinambungannya ( al hifd ).19
1) Agama ( ( نيدلا
Syariat mewujudkan agama dengan syarat dan rukunnya dari mulai iman, syahadat dengan segala konsekwensinya, akidah yang mencakup keimanan atas hari kebangkitan, hisab dll. Dasar – dasar ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Selain itu syariat juga menjaga agama ini dengan mensyariatkan dakwah, kewajiban berjihad, amar makruf dan nahi mungkar.20
2) Jiwa ( سفنلا )
Syariat mewujudkannya dengan menikah, karenanya akan menyehatkan jiwa, memperbanyak keturunan dan generasi penerus. Disamping itu, syariat mewajibkan menjaga jiwa dengan mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak berbahaya bagi jiwa manusia. Begitupula ketika Allah mensyariatkan qishah yang tujuannya untuk menjaga jiwa manusia.21
3) Akal ( لقعلا )
Merupakan karunia Allah yang paling berharga, sehingga manusia diwajibkan menjaganya dengan tidak mengkonsumsi segala hal yang merusak akal manusia seperti narkoba dan khamar,
4) Keturunan ( بسنلا )
Disyariatkan menikah untuk memperbanyak keturunan, kemudian syariat menjaganya dengan menjauhi hal-hal yang dapat menjeerumuskan ke zina. Begitupula dengan diharamkannya menuduh wanita-wanita yang baik dengan tuduhan zina.22
19DR. Abdul Karim Zaidan, al Wajiz Fi Ushulil Fiqh, Penerbit Muasasah Ar Risaalah, Beirut
1427H/2006M cetakan ke 15
20Ibid
5) Harta ( لاملا )
Syariat membolehkan segala jenis muamalah yang sesuai dengan kaidah syariat, mewajibkan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup, lalu syariat menjaga harta dengan mengharamkan mencuri, menghikangkan harta orang lain dan menyerahkan harta kepada pihak yang tidak bisa bertanggungjawab atas harta tersebut.
b. Kebutuhan Biasa (al-Hajiyat)
Ia merupakan keperluan hidup untuk memudahkan kehidupan di dunia dan akhirat, tanpanya kehidupan manusia akan menjadi tidak sempurna dan mengalami kesempitan. Beberapa kebutuhan yang dibolehkan oleh syariat adalah:
Syariat membolehkan rukhsah dalah ibadah untuk memudahkan kesulitan yang terjadi dalam melaksanakan perintah.
Dalam muamalah, syariat membolehkan jaul beli yang merupakan pengecualian dari kaodah umum jual beli, seperti salam,ijarah, dan muzaraah.
Dalam masalah Uqubah ( hukuman), syariat membolehkan kaidah dar’ul huduud bi al syubuhaat ( menunda hudud karena tuduhan ) atau diyat atas keluarga terpidana sebagai keringanan banginya.23
c. Keperluan Mewah (al-Tahsiniyat)
Kondisi ini merupakan kondisi pelengkap hidup manusia, sehingga manusia merasakan kenyaman hidup.
Seperti:
Menutup aurat, mengenakan pakaian yang baik, bersih dan bagus ketika memasuki masjid dan bertaqarrub kepada Allah dengan melaksanakan ibadah nafilah, shadaqah, shalat sunnah dll.
Dalam muamalah, dilarang boros ( israf ), jual beli diatas pembelian orang lain dll.
Dalam ‘adat, diajarkan cara makan dan minum yang baik Dalam uqubah, dilarang mutilasi dalam qishas dll.24
Yang menjadi asas kepada semua kepentingan tadi adalah kepentingan asas. Sedangkan kepentingan biasa ( al hajiyat ), sebagai pendukung saja.
Sementara keperluan mewah sebagai pendukung kepada kepentingan biasa. Kedudukan ini perlu diprioritaskan dalam menentukan hukum.
2. Maqashid al Mukallaf (hamba)
Merupakan tujuan syariat bagi hamba (mukallaf) dalam melakukan sesuatu perbuatan. Maqasid mukallaf berperanan menentukan sah atau batal sesuatu amalan. kaidah berperan dalam maqashid mukallaf adalah:25
Maqashid mukallaf hendaklah selaras dengan maqashid syariah itu sendiri. Sehingga bila ada yang ingin mencapai sesuatu yang lain dari maksud awal pensyariatannya, sesuatu itu dianggap telah menyalahi syariat.
Kategori maqasid berdasarkan korelasinya dengan hukum terbagi dua yaitu:
a. Maqasid umum (maqasid ammah)
Yaitu makashid yang diletakkan oleh syariat dalam menentukan semua atau sebagian besar hukum-hukumnya.
Contohnya menegakkan keadilan, menghasilkan kebaikan, menolak keburukan dan kemudharatan diantara manusia.26
b. Maqasid khusus (maqasid khassah)
Yaitu maqashid yang diletakkan oleh syariah dalam menentukan hukum-hukum tertentu. Contohnya hukum-hukum-hukum-hukum muamalat, munakahat, jinayat dan sebagainya.
25As Syatibi, al-Muwafaqat Fi Usul al-Syariah, Beirut ,Dar al-Ma'rifah, tahun 1416H/1996M 26Muhammad Uqlah, al-Islam Maqasiduhu wa Khasaisuhu, Maktabah al-Risalah al-Haditsah,
BAB III SIMPULAN
Setelah meneliti dan menelaah sumber-sumber yang terkait dengan maqashid syariah maka penulis dapat mengambil kesimpulan diantaranya:
1. Islam mengatur semua sisi kehidupan manusia baik yang berkaitan dengan individu maupun yang berkaitan dengan masyarakat luas dengan meletakkan dasar hukum dan pertimbangan-pertimbangan syariat.
2. Maqashid syariah menaungi keseluruhan hukum yang bersandar kepada tujuan-tujuan umum syariat.
3. Maqashid syariah mencakup aspek-aspek, dharuriyat, hajiat dan tahsiniyat.
4. Maqashid syariah berperan dalam mewujudkan hukum ( Iijad) dan menjaga kesinambungannya ( hifdz ).
5. Maqashid syariah menjaga lima hal utama yaitu: agama, jiwa, harta, keturunan dan kehormatan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim Zaidan, al-Madkhal li Dirasati al-Syariah al-Islamiyyah, Beirut, Muassasah al-Risalah, 1990M.
Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazâli, Al-Mustashfâ min ’Ilm al-Ushûl, Beirut, Dâr al-Fikr, tt.
Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Allakhmy As Syatiby, Kitab Al Muwafaqoot, Penerbit Dar Ibn Qayyim, tahun 2003M/1424H
Ahmad al-Raisuni, Nazariyyat al-Maqasid I'nda al-Imam al-Syatibi, Beirut Al Qur’an Al Karim
Al-Izz bin Abdul Salam, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam, Beirut, Dar al-Ma'rifah
Fairuz Abadi,Qamus Al Muhith 2/327,Muasasah Ar Risaalah, Beirut
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tahun 1996
Ibnu Faris, Mu’jam Maqayiis Al Lughaat, Iitihad al Kitab Al Arabiyyah, tahun 2002
Muhammad bin Farhun, Tabsirah al-Hukkam, Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah, Mesir, tahun 1301H.
Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Amman: Dâr al-Nafâ’is, tahun 2001
Muhammad Uqlah, al-Islam Maqasiduhu wa Khasaisuhu, Maktabah al-Risalah al Haditsah, 1991