• Tidak ada hasil yang ditemukan

UUD NRI Th. 1945 UU No 1 Th 1974 tentang Perkawinan Pasal 28 B ayat 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "UUD NRI Th. 1945 UU No 1 Th 1974 tentang Perkawinan Pasal 28 B ayat 1"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

127

BAB IV

IMPLIKASI YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Tinjauan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono mantan Menteri Sekretaris Negara di era Soeharto memicu konflik keluarga antara dirinya dengan keluarga almarhum Moerdiono. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam perkara tersebut pemohon mengajukan uji materil terhadap :

UUD NRI Th. 1945 UU No 1 Th 1974 tentang

Perkawinan Pasal 28 B ayat 1

“ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan

melalui perkawinan yang sah “

Pasal 2 ayat 2

“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku “

Pasal 28 B ayat 2

“ Setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi “

Pasal 43 ayat 1

“Anak yang dilahirkan di luar

perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya

dan keluarga ibunya “

Pasal 28 D ayat 1

“ Setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan

hukum “

(2)

Mahkamah Konstitusi memberikan keputusan mengabulkan sebagian permohonan para pemohon. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan tidak dikabulkan sebab perkawinan yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib administrasi. Pencatatan secara administratif yang dilakukan Negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara tertib dan efisien. Artinya dengan dimilikinya bukti otentik akta perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal 55 Undang-Undang perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan adanya akta otentik sebagai bukti.1

Terkait hal tersebut, Kompilasi Hukum IslamK juga memberikan pendekatan pengertian “anak diluar nikah” diuraikan pendekatan berdasarkan terminology yang tertera didalam kitab fiqh, yang dipadukan dengan ketentuan yang mengatur tentang status anak yang tertera dalam Pasal- Pasal UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Hubungan suami isteri yang tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan seksual antara dua orang yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang telah ditentukan. Selain itu, hubungan suami isteri yang tidak sah tersebut dapat terjadi atas dasar suka sama suka ataupun karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang yang

sudah menikah ataupun belum menikah. Meskipun istilah “anak zina”

merupakan istilah yang populer dan melekat dalam kehidupan masyarakat, namun Kompilasi Hukum Islam tidak mengadopsi istilah tersebut untuk dijadikan sebagai istilah khusus didalamnya. Hal tersebut bertujuan agar

“anak” sebagai hasil hubungan zina, tidak dijadikan sasaran hukuman sosial,

celaan masyarakat dan lain sebagainya, dengan menyandangkan dosa besar (berzina) ibu kandungnya dan ayah alami (genetik) anak tersebut kepada dirinya, sekaligus untuk menunjukan identitas islam tidak mengenal adanya dosa warisan.2 Untuk lebih mendekatkan makna yang demikian, Pasal 44

1

http://fhukum.unpatti.ac.id/htn-han/379-konsekuensi-putusan-mahkamah-konstitusi-tentang-status-anak-di-luar-perkawinan diakses 17 November 2016

2

(3)

ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 hanya bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan kelahiran anak itu akibat dari perbuatan zina tersebut. Dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyai

makna “anak zina” sebagaimana defenisi yang dikemukakan oleh Hasanayn diatas, adalah “anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah”

sebagaimana yang terdapat pada Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya

mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya” .Semakna dengan ketentuan tersebut, Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam menyatakan :

“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”

Berdasarkan defenisi dan pendekatan makna “anak zina” di atas, maka yang dimaksudkan dengan “anak zina” dalam pembahasan ini adalah anak

yang janin/pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang dilahirkan diluar perkawinan, sebagai akibat dari perbuatan

zina.Pendekatan istilah “anak zina” sebagai “anak yang lahir di luar perkawinan yang sah”berbeda dengan pengertian anak zina yang dikenal

dalam Hukum Perdata umum, sebab dalam perdata umum, istilah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan dua orang, laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, dimana salah seorang atau keduanya terikat tali perkawinan dengan orang lain. Karena itu anak diluar nikah yang dimaksud dalam hukum perdata umum adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan diluar perkawinan dan istilah lain yang tidak diartikan sebagai anak zina. Perbedaan anak zina dengan anak luar kawin menurut Hukum Perdata adalah:

1. Apabila orang tua anak tersebut salah satu atau keduanya masih terikat dengan perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak, maka anak tersebut adalah anak zina.

2. Apabila orang tua anak tersebut tidak terikat perkawinan lain (jejaka,perawan,duda,janda) mereka melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak, maka anak tersebut adalah anak luar kawin. Dengan demikian sejalan dengan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang rumusannya sama dengan Pasal 100 KHI, adalah: “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya

dan keluarga ibunya”

Yang termasuk anak yang lahir di luar perkawinan adalah :

1. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamilinya.

(4)

3. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang di li‟an (diingkari) oleh suaminya.

4. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah orang (salah sangka) disangka suaminya ternyata bukan.

5. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat pernikahan yang diharamkan seperti menikah dengan saudara kandung atau sepersusuan.

Terkait dengan pemeliharaan anak, Kompilasi Hukum Islam menyebutkan pasal-pasal sebagai berikut:

Pasal 98

Ayat (1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”.3

Dalam pasal diatas batas seorang anak dikatakan dewasa adalah sudah berusia 21 tahun, yaitu anak yang normal dan tidak memiliki cacat fisik maupun mental. Artinya seorang ayah berkewajiban memberikan nafkah dan perlindungan hingga batas usia tersebut diatas. Ayat (2),”Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di

luar Pengadilan”.Ayat (3),” Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang

kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban trsebut apabila kedua

orang tuanya tidak mampu.”

Adapun terkait dengan perkawinan yang dilakukan di bawah tangan dihadapan tokoh agama. Meski secara agama perkawinan tersebut sah, namun menurut hukum Indonesia perkawinan tersebut tidak sah karena tidak dicatatkan. Akibatnya, anak-anak yang dilahirkan dari hasil nikah siri status hukumnya sama dengan anak luar kawin yakni hanya punya hubungan hukum dengan ibunya. Jadi, anak yang lahir dari kawin siri secara hukum negara tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya. Hal tersebut antara lain akan terlihat dari akta kelahiran si anak.4

Dalam akta kelahiran anak yang lahir dari perkawinan siri tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak bernama siapa, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu (menyebut nama ibu saja, tidak menyebut nama ayah si anak, seperti disebutkan dalam Pasal 55:5

Ayat (1):

“ Catatan peristiwa penting merupakan data pribadi penduduk”.

3

Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 ayat (1)

4

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4576/mendapatkan-akta-kelahiran-tanpa-surat-kawin diakses tanggal 31 Juli 2016

5

(5)

Ayat (2):

“Catatan peristiwa penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Anak lahir di luar kawin, yang dicatat adalah mengenai nama anak, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu; dan

b. Pengangkatan anak, yang dicatat adalah mengenai nama ibu dan bapak kandung.

Persyaratan untuk membuat akta kelahiran untuk anak luar kawin adalah sebagai berikut:6

1. Surat kelahiran dari Dokter/Bidan/Penolong Kelahiran; 2. Nama dan Identitas saksi kelahiran;

3. Kartu Tanda Penduduk Ibu; 4. Kartu Keluarga Ibu

Tata cara memperoleh (kutipan) akta kelahiran untuk anak luar kawin adalah sama saja dengan cara memperoleh akta kelahiran pada umumnya. Di dalam akta kelahiran akan tercantum nama ibu saja, tidak tercantum nama ayah dari anak luar kawin tersebut.

Tata caranya, apabila pencatatan hendak dilakukan di tempat domisili Anda, Anda harus mengisi Formulir Surat Keterangan Kelahiran dengan menunjukkan persyaratan-persyaratan sebagaimana diuraikan di atas kepada Petugas Registrasi di kantor Desa atau Kelurahan. Formulir tersebut ditandatangani oleh Anda dan diketahui oleh Kepala Desa atau Lurah. Kepala Desa atau Lurah yang akan melanjutkan formulir tersebut ke Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Instansi Pelaksana untuk diterbitkan Kutipan Akta Kelahiran7.

Apabila pencatatan hendak dilakukan di luar tempat domisili Anda, Anda mengisi Formulir Surat Keterangan Kelahiran dengan menyerahkan surat kelahiran dari dokter, bidan atau penolong kelahiran dan menunjukkan KTP Anda kepada Instansi Pelaksana. Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi pelaksana mencatat dalam Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran8

Instansi Pelaksana biasanya adalah Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten atau Kotamadya setempat9.

6

Perpres No. 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, Pasal 52 ayat [1]

7

Perpres No. 25 Tahun 2008 Tentang Tentang Persyaratan dan Tata Cara

Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, Pasal 53.

8

Perpres No. 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran dan Pencatatan Sipil, pasal 54

9

(6)

KHI dengan jelas memaparkan bahwa status anak disebutkan dalam Pasal 99:

Anak yang sah adalah :10

a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;

b. Hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.

Oleh karea itu anak yang sah adalah anak yang terlahir dan diakui dalam pernikahan yang sah bak secara agama maupun secara hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:

“ Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”.

Pasal ini mengisyaratkan bahwa pernikahan yang sah harus memiliki akta nikah yang dibuat oleh petugas pencatat nikah, artinya bukti sebuah pernikaha yang diakui adalah adanya akta nikah. Kemudian dalam Pasal 100 KUH Perdata menyebutkan:

“Adanya suatu perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan cara lain daripada dengan akta pelaksanaan perkawinan itu yang didaftarkan dalam daftar-daftar Catatan Sipil, kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam pasal-pasal

berikut”, adanya suatu perkawinan hanya bisa dibuktikan dengan akta perkawinan atau akta nikah yang dicatat dalam register. Bahkan ditegaskan, akta perkawinan atau akta nikah merupakan satu-satunya alat bukti perkawinan. Dengan perkataan lain, perkawinan yang dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama Kecamatan akan diterbitkan Akta Nikah atau Buku Nikah merupakan unsur konstitutif.

Kompilasi Hukum Islam memberikan rumusan tentang perkawinan yang sah dan ketentuan untuk tertibnya perkawinan. Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:11

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU no 1 tahun1974 tentang perkawinan.

Sedangkan Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bebrapa rumusan diantaranya:12

1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat;

2. Pencatatanperkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

Hal ini Selanjutnya dipertegas dengan Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:

10

Kompilasi Hukum Islam, Pasal 99 ayat (1) dan (2)

11

Kompilasi Hukum Islam Pasal 4

12

(7)

1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah;

2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum. 13

Dalam Pasal 7 menyebutkan bahwa:

1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akat Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama;

3. Itsbat (penguatan) nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian b. Hilangnya Akta Nikah

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 4. Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau

isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Itsbat nikah yang dilaksanak oleh Pengadilan Agama karena pertimbangan mashlahah bagi umat Islam.

Itsbat nikah sangat bermanfaat bagi umat Islam untuk mengurus dan mendapatkan hak-haknya yang berupa surat-surat atau dokumen pribadi yang dibutuhkan dari instansi yang berwenang serta memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum terhadap masing-masing pasangan suami istri. Dalam hubungannya dengan hal di atas, dewasa ini permohonan itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama dengan berbagai alasan, pada umumnya perkawinan yang dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengadilan Agama selama ini menerima, memeriksa dan memberikan penetapan permohonan itsbat nikah terhadap perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 kecuali untuk kepentingan mengurus perceraian, karena akta nikah hilang, dan sebagainya menyimpang dari ketentuan perundang-undangan14. Namun oleh karena itsbat nikah sangat dibutuhkan oleh

13

http://www.nu.or.id/post/read/38146/kepastian-hukum-quotitsbat-nikahquot-terhadap-status-perkawinan-anak-dan-harta-perkawinan di akses 03 Agustus 2016

14

(8)

masyarakat, maka hakim Pengadilan Agama melakukan “ijtihad” dengan

menyimpangi tersebut, kemudian mengabulkan permohonan itsbat nikah berdasarkan ketentuan Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:15

1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

3. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

a. Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya Akta Nikah;

c. Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;

d. Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974 4. Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau

isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

Apabila perkawinan yang dimohonkan untuk diitsbatkan itu tidak ada halangan perkawinan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka Pengadilan Agama akan mengabulkan permohonan itsbat nikah meskipun perkawinan itu dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Padahal, Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak termasuk dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang disebutkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu, penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama tersebut, tidak lebih hanya sebagai kebijakan untuk mengisi kekosongan hukum yang mengatur tentang itsbat nikah terhadap perkawinan yang dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kemudian terkait pemeliharaan anak ( hadhanah) menjadi kewajiban orang tua (terutama ibu) dan menjadi pilihan anak-anak.16

Hal terkait dengan status anak adalah perlindungan menurut Wahbah Az Zuhaili menyebutkan tentang pengertian hadhahan, menurut beliau hadhahan adalah berasal dari kata al Hidn atau Al Janb, artinya di samping.

Secara istilah:

15

Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 Ayat (3) huruf e

16

Amiur Nuruddin dan Azhari Tarigan, Hukum Perdata Islam, Studi Kritis Perkembangan

(9)

ِِى

pendidikan dan penjagaan”.

Terkait pemilihan wilayah pengasuhan, diberikan kewenangan bagi pemerintah (sulthan). Akan tetapi kaum wanita memiliki kasih sayang yang lebih kepada anak kecil, lebih sabar dalam proses pendidikan, serta lebih cenderung dekat dengan anak-anak. Ketika sudah baligh, maka kewenangan pengasuhan, anak diberikan kebebasan untuk memilih, namun ayah lebih diutamakan karena lebih memiliki kemampuan perlindungan dari pada kaum wanita.18

Dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam perihal pemeliharaan anak disebutkan dalam pasal-pasal diantaranya:

Pasal 98:

1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak bercacat secara fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

2. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.

3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

Jika terjadi perceraian dalam pernikahan tersebut maka, sedangkan anak masih kecil, secara jelas Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan:19

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayah.

Kemudian terkait harta yan dimiliki oleh anak yang belum dewasa, maka pihak yang memelihara anak tersebut berkewajiban:20

1. Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampunan dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikan kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau sesuatu kenyataan yang tidak dapat dihindari lagi.

17

Wahbah Az Zuhaili, Al Fikhul Islami Wa Adillatuhu, Jilid X h. 7295

18

Wahbah Az Zuhaili, Al Fikhul Islami Wa Adillatuhu, Jilid X h. 7296

19

Kompilasi Hukum Islam Pasal 105

20

(10)

2. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).

Pasal-pasal tersebut diatas sangat jelas, bahwa Kompilasi Hukum Islam menegaskan kewajiban untuk pengasuhan adalah kewajiban material dan non material. Karena dua hal tersebut tak dapat dipisahkan, berikutnya pasal tersebut menunjukkan pembagian tugas antara ayah dan ibu, kendatipun mereka sudah bercerai.21 Sedangkan dalam perkara perwalian KHI mengatur dalam pasal berikut:22

1. Perwalian hanya terhadap anak yang belum mecapai usia 21 tahun atau belum pernah melangsungkan pernikahan.

2. Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya. 3. Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan perwalian, maka

pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.

4. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, jujur dan berkelakuan baik atau badan hukum.

B. Tinjauan Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa terkait dengan anak zina, yang sebelumnya dikenal dengan anak luar kawin. Adapun dengan istilah nikah di bawah tangan, Majelis Ulama Indonesia memberikan rekomendasi dalam fatwanya: 23

Pertama : Ketentuan Umum

Nikah Di Bawah Tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan

yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fikih, namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan”.

Kedua : Ketentuan Hukum

1. Pernikahan Di bawah Tangan hukumnya sah karena telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat madharrat.

2. Pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak mudharat.

Terkait dengan anak zina, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwanya Nomor 11 Tahun 2012, secara umum dengan beberapa pertimbangan diantaranya:24

21

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Study

Kritis Perkembangan Hukum Islam dari fikih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI, h. 303

22

Kompilasi Hukum Islam Pasal 107

23

Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. X Tahun 2012

24

(11)

a. Bahwa dalam Islam, anak terlahir dalam kondisi suci dan tidak membawa dosa turunan, sekalipun ia terlahir sebagai hasil zina

b. Bahwa dalam realitas di masyarakat, anak hasil zina seringkali terlantar karena laki-laki yang menyebabkan kelahirannya tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, serta seringkali anak dianggap sebagai anak haram dan terdiskriminasi karena dalam akte kelahiran hanya dinisbatkan kepada ibu.

c. Bahwa terhadap masalah tersebut, Mahkamah Konsitusi dengan pertimbangan memberikan perlindungan kepada anak dan memberikan hukuman atas laki-laki yang menyebabkan kelahirannya untuk bertanggung jawab, menetapkan putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang pada intinya mengatur kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya

d. Bahwa terhadap putusan tersebut, muncul pertanyaan dari masyarakat mengenai kedudukan anak hasil zina, terutama terkait dengan hubungan nasab, waris, dan wali nikah dari anak hasil zina dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya menurut hukum Islam.

Didalam Al Qur‟an Allah menegaskan tentang pelarangan zina, seperti

disebutkan dalam ayat:

“Dan janganlah kamu mendekati zina, karena zina itu suatu perbuatan keji, dan jalan yang buruk”. ( QS. Al Isrâ [17]: 32)

Imam At Thabari menafsirkan mengapa zina sebagai seburuk-buruknya jalan dalma tafsirnya: perintah-Nya, ia juga jalan terburuk menuju neraka jahannam”

Makna zina secara bahasa adalah seperti yang disebutkan oleh Ibnu Manzur adalah:

25

(12)

َِم

Sedangkan secara istilah, menurut Ibnu Nujaim, zina adalah hubungan badan, sebelum resmi menjadi milik atau subhat.27

Sedangkan menurut kalangan Syafiiyah, yang dinamakan zina adalah:

ِِإ

“Zina adalah masuknya kemaluan atau sebagiannya langsung asli jelas, tidak menyebar dengan kemaluan wanita yang haram bukan pula syubhat dan dilakukan dengan nafsu yang wajib mendapatkan hukuman pidana (had).

Hukum anak zina dan anak karena li‟an memiliki kesamaan dalam beberapa sisi diantaranya yaitu:29

1. Anak zina nasabnya ke ibu secara mutlak bukan ke ayahnya. begitupula

anak li‟an, tidak tetap nasab anak ke ayahnya.

2. Hak waris anak zina dan anak lian terputus karena nasab mereka terputus juga.30

Namun demikian, selain memiliki persamaan, ternyata anak zina dan anak lian memiliki perbedaan dalam beberapa hal berikut yaitu:

1. Anak lian terputus nasabnya oleh ayah sang pelaku lian yang tidak mengakui keberadaanya, sedangkan anak zina terputus nasabnya sejak ia dilahirkan karena anak zina.

2. Jika ada yang menuduh anak li‟an sebagai anak zina, dan tuduhan itu salah, maka si penuduh mendapat hukuman seperti hukuman pelaku

(Libanon: Dar Ma‟rifah, 1418) h. 186 29

Ahmad Muhammad Majid dalam Jurnal Ahkam Walad Az Zina Fi Al Fikh Al

Islami, Universitas Najâh Al Islami, Palestina, No. 3 Maret Tahun 2008 h. 29

30

Ibnu Qudâmah, Al Mughi, Jilid IX (Kairo: Maktabah Al Qâhirah,1388) h.122

31Qazaf

(13)

Terkait dengan nasab anak yang terlahir karena zina, anak tersebut nasabnya kepada ibu dan bukan kepada bapaknya, diantara ulama yang berpendapat demikian adalah:

1. Ibnu Nujaim mengatakan bahwa anak yang terlahir dari zina, seperti disebutkan dalam pendapatnya:

“Anak zina nasabnya mengikuti ibunya, karena yakin dari pihaknya oleh karena itulah nasabnya tetap sebagai anak zina”.

2. Menurut Abdul Barr, ia menyatakan:

ُِلا

“Ibu tersebut tidak boleh menolak pengakuan anak selamnaya, dan anak tersebut di nasabkan kepadanya dalam segala hal sebagai anak yang dilahirkan dari suaminya”.

3. Imam Nawawi juga berpendapat sebagai berikut:

َِولاَِل

“Anak dengan segala kondisinya tidak boleh diingkari oleh ibunya, akan tetapi diingkari dari ayahnya, dan walinya dinasabkan kepada ibunya”.34

4. Ibnu Hazm Al Andalusi juga berpendapat anak zina dinasabkan kepada ibunya:

Anak dinasabkan kepada wanita, jika ia berzina dan hamil, dan tidak di nasabkan kepada laki-laki (yangmenzinainya)”

Senada dengan hal tersebut diatas, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa terkait anak zina seperti yang sebutkan:

“Anak hasil zina tidak memiliki hubungan nasab, wali nikah, waris dan

nafaqah dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya, selain itu anak

32

Ibnu Nujaim, Al Bahr Ar Râ‟iq Syarh Kanz Daqâiq, Jilid IV ( tt.p: Dâr Al Kutub

Al Islâmiyah, tt) h. 251

33Ibnu „Abdul Barr,

(14)

hasil zina hanya memiliki hubungan nasab, waris dan nafaqah dengan ibunya

serta keluarga ibunya”.36

Berdasarkan fatwa MUI No 11 Tahun 2012 tersebutmenyebutkan antara lain bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Namun terkait dengan putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tentang status anak luar nikah ( nikah di bawah tangan) Majelis Ulama Indonesia,melalui KH. Maruf Amin menyebutkan: Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki konsekuensi yang sangat luas termasuk mengesahkan hubungan nasab, waris, wali, dan nafkah antara anak hasil zina dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya.37 Dimana, hal demikian tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. “Akibat nyata putusan Mahkamah Konstitusi , kedudukan anak hasil zina dijadikan sama dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah, baik dari segi kewajiban memperoleh nafkah dan terutama hak waris, jelaslah Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadikan lembaga perkawinan menjadi kurang relevan apalagi sekedar pencatatannya, mengingat penyamaan hak antara anak hasil zina dengan anak hasil perkawinan yang sah tersebut.” Selanjutnya beliau juga menyebutkan :

“Anak dari hasil zina, itu dari segi nasabnya tidak bisa dinisbahkan pada orang tuanya.Fatwa MUI ini justru meneguhkan perlindungan terhadap anak. Salah satunya, dengan mewajibkan lelaki yang mengakibatkan kelahiran anak untuk memenuhi kebutuhan anak. Selain itu, fatwa juga melindungi anak dari kerancuan nasab yaitu anak dari hasil zina tidak punya hubungan nasab, wali nikah dan waris,.”

Kesimpulan itu sebagai tanggapan MUI terhadap putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 yang diucapkan pada 17 Februari 2012. Pasal 433 ayat (1)

UU No. 1/1974 menjadi dibaca: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga

ayahnya”.Dikatakan Ma‟ruf, putusan MK tersebut memiliki konsekuensi yang sangat luas termasuk mengesahkan hubungan nasab, waris, wali, dan nafkah.

Akibat nyata putusan MK, kedudukan anak hasil zina dijadikan sama dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah, baik dari segi kewajiban memperoleh nafkah dan terutama hak waris,” katanya.

36

Fatwa MUI No 1 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina Dan

Perlakuan Terhadapnya. Hal 1

37

(15)

Ma‟ruf menambahkan, jelaslah putusan MK tersebut telah menjadikan

lembaga perkawinan menjadi kurang relevan apalagi sekadar pencatatannya, mengingat penyamaan hak antara anak hasil zina dengan anak hasil

perkawinan yang sah tersebut. “Hal ini kami nilai sangat menurunkan derajat

kesucian dan keluhuran lembaga perkawinan. Bahkan, pada tingkat ekstrem dapat muncul pendapat tidak dibutuhkan lagi lembaga perkawinan, karena orang tidak perlu harus menikah secara sah apabila dikaitkan dengan

perlindungan hukum anak,” tuturnya. Dikatakan, MUI sepakat bahwa anak

yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan, tetapi belum dicatatkan pada KUA maupun Kantor Catatan Sipil (seperti perkawinan di bawah tangan) harus dipersamakan dengan anak dalam ikatan perkawinan yang telah dicatat. Seiring dengan itu, MUI mendorong agar DPR bersama pemerintah segera dapat melakukan pembahasan terhadap RUU Hukum Material Perkawinan

yang saat ini telah berada di DPR. “MUI meyakini, apabila RUU ini dapat disetujui dengan berbagai penyempurnaan, insya Allah perlindungan hukum,

kedudukan hukum, dan hak anak akan jauh lebih baik,” katanya.

Sementara itu, dalam salah satu poin pendapat MUI, Ma‟ruf menuturkan,

putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 sepanjang memaknai pengertian

“hubungan perdata” antara anak hasil zina dengan laki-laki yang mengakibatkan kelahirannya dan keluarganya adalah juga hubungan nasab, waris, wali, dan nafaqah, maka putusan MK itu bertentangan dengan ajaran

Islam. Ma‟ruf mengatakan, untuk melindungi hak-hak anak hasil zina tidak

dilakukan dengan memberikan “hubungan perdata” kepada laki-laki yang

mengakibatkan kelahirannya. “Melainkan dengan menjatuhkan „ta‟zir

kepada laki-laki tersebut berupa kewajiban mencukupi kebutuhan hidup anak

tersebut atau memberikan harta setelah ia meninggal melalui „wasiat wajibah” 38

Hal tersebut juga seperti disebutkan oleh Abu Daud dalam mengomentari anak yang terlahir dari zina:

ِ ٍمْلَسِ ْنَعِ،ٌرِمَتْعُمِاَنَ ثَّدَحِ،َميِىاَرْ بِإُِنْبِ ُبوُقْعَ يِاَنَ ثَّدَح

ِ،ِدَّيََّّزلاِ ِبَِأِ َنْباِ ِنِْعَ ي

ِ َلاَقِ:َلاَقُِوَّنَأِ،ٍساَّبَعِِنْباِِنَعِ،ٍْيَ بُجِِنْبِِديِعَسِْنَعِ،اَنِباَحْصَأُِضْعَ بِ ِنَِثَّدَح

ِ:َمَّلَسَوِِوْيَلَعُِاللهِىَّلَصَِِّللَّاِ ُلوُسَر

«

ِ ِفِِىَعاَسِْنَمِ،ِم َلْسِْلإاِ ِفَِِةاَعاَسُمِ َلَ

38

(16)

ِْدَقَ فِِةَّيِلِىاَْلْا

menceritakan kepada kami Mu‟tamir, dari Salim yaitu Ibnu Abi Ziyâd, Telah menceritakan kepada kami sebagian sahabat kami, dari Said bin Zubair dari ibnu Abbâs, ia berkata, Telah bersabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,” Tidak ada mengambil upah zina dalam Islam, barangsiapa berzina pada masa jahiliyah, maka islam tidak mengakui nasabnya, barangsiapa yang mengaku anak tanpa pengetahuannya( dari hasil di luar nikah yang sah) maka dia tidak mewarisi anak biologis dan tidak mendapatkan warisan darinya”.(HR. Abu Daud) sebagai tempat tidur bagi laki-laki.41

3. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalâni

ِِفلا

Al Firasy menurut orang Arab ungkapan tentang suami atau istri akan tetapi ungkapan tersebut diperuntukkan bagi istri.

Berdasarkan pengertian diatas mayoritas ulama menyebutkan tentang pengertian firasy adalah untuk wanita, artinya secara kalimat asal sudah menunjukkan bahwa anak zina nasabnya adalah kepada ibunya, bukan bapaknya. Hal ini juga diperkuat dengan hadits Nabi Muhammad tersebut

39

Abu Daud, Sunan Abu Daud, Jilid II (Beirut: Maktabah Ashriah, tt) h. 279 No. 2264

40

Al Jurjâni, At Ta‟rifat, (Beirut: Dar al Kutub Al Ilmiyah, 1403) h. 172

41

Ibnu Manzur, Lisan Al Arab, Jilid VI (Beirut: Lisan Al Arab, 1414 H) h. 327

42

(17)

diatas. Adapun terkait dengan pengakuan anak zina dan anak sumbang, KUH Perdata menyebutkan dalam Pasal 280:

“Dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu

dan bapak atau ibunya”.43

Sedangkan Pasal 272 menyebutkan:

“Anak di luar kawin, kecuali yang dilahirkan dari perzinaan atau penodaan

darah, disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari bapak dan ibu mereka, bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan.

C. Kedudukan dan Hak Anak dari Pernikahan yang tidak tercatat di Kantor Urusan Agama

Anak yang terlahir dari pernikahan yang tidak tercatat di KUA, memiliki hak-hak dasar sebagai manusia.

1. Hak perlindungan

Menurut Endang Kusuma Astuti, pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 tentangPerlindungan Anak disebutkan bahwa: “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Pada umumnya, upaya perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindunganlangsung dan tidak langsung, dan perlindungan yuridis dan non-yuridis.Upaya-upaya perlindungan secara langsung di antara-upaya perlindungan secaralangsung di antaranya meliputi: pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dandiselamatkan dari sesuatu yang membahayakannya, pencegahan dari segala sesuatuyang dapat merugikan atau mengorbankan anak, pengawasan, penjagaan terhadapgangguan dari dalam dirinya atau dari luar dirinya, pembinaan (mental, fisik,sosial), pemasyarakatan pendidikan formal dan informal, pengasuhan (asah, asih,asuh), pengganjaran (reward), pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.

Sedangkan, upaya perlindungan tidak langsung antara lain meliputi:pencegahan orang lain merugikan, mengorbankan kepentingan anak melalui suatuperaturan perundang-undangan, peningkatan pengertian yang tepat mengenaimanusia anak serta hak dan kewajiban, penyuluhan mengenai pembinaan anak dankeluarga, pengadaan sesuatu yang menguntungkan anak, pembinaan (mental, fisikdan sosial) para partisipan selain anak yang bersangkutan dalam pelaksanaanperlindungan anak, penindakan mereka yang

43

(18)

menghalangi usaha perlindungananak.44 Sebelum berbicara tentang Hak Perlindungan Anak, berarti berbicara tentang Hak-Hak Asasi manusia, karena manusia terlahir sama. Oleh karena itu di dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 disebutkan:

1. Bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh penciptaNya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya;

2. Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;

3. Bahwa selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

4. Bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.45

Sedangkan pasal yang khusus menyatakan tentang perlindungan anak secara khusus disebutkan, dalam Undang-Undang tersebut:46

Pasal 52

(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.

(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.

Pasal 53

(1) Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.

(2) Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan.

44

Endang Kusuma Astuti, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, dalam Jurnal Ilmiah

Inkoma, Volume 25, Nomor 1, Juni 2014

45

Undang-Undang RI No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

46

(19)

Pasal 54

Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pasal 55

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.

Pasal 56

(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.(2) Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan Undang-undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 57

(1) Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua.(3) Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya. Pasal 58

(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut (2) Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi..Pasal 59

(20)

(1) Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.(2) Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Pasal 61

Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya.

Pasal 62

Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya. Pasal 63

Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan.

Pasal 64

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya.

Pasal 65

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

Undang-Undang diatas merupakan Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, yang menyebutkan pasal tentang anak, nampaknya dibutuhkan Undang-Undang Perlindungan Anak secara khusus, yang kemudian dikeluarkan oleh pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002. Meskipun sudah ada produk hukum yang menyebutkan tentang perlindungan anak, namun dalam tataran pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak.47

Kemudian terkait dengan penyelenggara perlindungan anak, UU No. 23 tahun 2002, menyebutkan dalam hak-hak yang dilindungi oleh Undang-Undang adalah:48

a. Agama

47

Muhammad Taufik Makarao, Weny Bukamo dan Syaiful Azri, Hukum Perlindungan Anak

dan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014) h. 105

48

(21)

Pasal 42

(1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.

(2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya.

Pasal 43

(1) Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya.

(2) Perlindungan anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.

b. Kesehatan

Terkait dengan kesehatan, disebutkan dalam Pasal 44 hingga 47 yang mencakup tentang kesehatan, dan dukungan semua pihak terkait.

c. Pendidikan

Terkait dengan pendidikan disebutkan dalam pasal 48 hingga 50 yang mencakup tentang penyelenggara pendidikan, hak-hak sebagai anak didik dan perlindungan terhadap kekerasan di lembaga pendidikan. d. Sosial

Terkait dengan hak-hak sosial anak, disebutkan dalam Pasal 55 hingga 58 yang mencakup tentang hak-hak anak untuk bersosialisai dan berinteraksi dengan pihak lain, dan hak-hak mendapatkan perlindungan sosial.

e. Perlindungan khusus

Terkait dengan perlindungan khusus, disebutkan dalam Pasal 59 hingga 71, mencakup tentang perlindungan khusus disebutkan secara umum dalam pasal tersebut, salah satunya Pasal 59:

Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

(22)

Pemberantasan Tindak Pidana dan Perdagangan Orang ( TPPO) perlindungan tersebut mencakup perlindungan pemerintah terhadap tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriam, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan. Kemudian, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang terekploitasi.49

Kemudian terkait dengan pencegahan kasus kekerasan terhadap anak, negara kita memiliki sebuah Komisi Perlindungan Anak (KPAI).50 Komisi ini juga mengajak semua pihak untuk berperan serta aktif dalam mewujudkannya. Guna mencegah dan mengurangi tindak kekerasan terhadap anak, Komisi Perlindungan Anak Indoneaia (KPAI) mengajak tokoh dan

lembaga agama serta akademisi untuk berperan secara lebih besar. “Tokoh

agama dan akademisi adalah kelompok strategis yang dapat berperan membangun kesadaran tentang perlindungan anak serta menyosialisasikan

prinsip perlindungan anak di masyarakat. Para Kyai dan da‟i punya potensi

besar untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak anak. Potensi ini harus dioptimalkan”.51

2. Hak waris

Terkait dengan hak waris, anak yang terlahir dari pernikahan di bawah tangan. Jika kita cermati, di Indonesia belum menganut unifikasi hukum52. Oleh sebab itu yang berlaku dalam bidang waris adalah KUH Perdata, dan Kompilasi Hukum Islam khususnya bagi umat Islam.53

49

Undang-Undang No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana dan Perdagangan Orang ( TPPO) Pasal 1 dan 2

50

KPAI adalah lembaga independen Indonesia yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak. Keputusan Presiden Nomor 36/1990, 77/2003 dan 95/M/2004 merupakan dasar hukum pembentukan lembaga ini.Anggota KPAI pusat terdiri dari 9 orang, berupa 1 orang ketua, 2 wakil ketua, 1 sekretaris, dan 5 orang anggota.

51

http://www.kpai.go.id/berita/cegah-kekerasan-anak-kpai-optimalkan-peran-agamawan diakses pada 28 Juli 2016

52

Unifikasi hukum adalah suatu langkah penyeragaman hukum atau penyatuan suatu hukum untuk diberlakukan bagi seluruh bangsa disuatu wilayah negara tertentu sebagai hukum nasional di negara tersebut. Lawan kata dari Unifikasi hukum adalah deferensiasi hukum.

53

(23)

Berdasarkan KUH Perdata, seorang ahli waris harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam pasal 832 yaitu:54

“Menurut Undang-Undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami istri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini.

Bila keluarga sedarah dan suami istri yang hidup terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik negara, yang wajib melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut, sejauh harga harta peninggalan itu mencukupi untuk itu.”

Sedangkan Pasal 836 KUH Perdata menyebutkan:

“ Agar dapat bertindak sebagai ahli waris, seseorang harus sudah ada pada saat warisan itu dibuka dengan mengindahkan ketentuan Pasal 2 Undang-undang ini”.

Artinya pasal 836 ini menyalip ketentuan Pasal 2 KUHP yang menyebutkan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana si anak menghendakinya.55

Kompilasi Hukum Islam didalam Pasal 171 huruf a menyebutkan,” Yang

dimaksud dengan Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah56) pewaris, menentukan siapa-siap yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya

masing-masing”.57

Pasal ini mengatur tentang peralihan hak secara otomatis, dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Pasal ini menegaskan pula yang berhak menerima peralihan hak adalah para ahli waris yang berhak. Dalam Pasal 171c Kompilasi Hukum Islam disebutkan,”Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena

hukum untuk menjadi ahli waris”.58

Ketentuan pasal tersebut menjelaskan bahwa hak saling mewarisi itu hanya dapat terjadi jika antara ahli waris dan pewaris mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan. Hubungan darah biasa disebut dengan hubungan keturunan atau hubungan nasab, yaitu garis keturunan ke atas-bawah dan menyamping. Garis keturunan ke atas terdiri dari ayah, ibu dan

54

KUH Perdata Pasal 832 Bagian I Tentang Ketentuan-Ketentuan Umum Waris

55

H.M. Anshari, Kedudukan Anak Dalam Persepektif Hukum Islam dan Hukum Nasional, h.84

56

Tirkah adalah apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meniggal dunia yang dibenarkan oleh syariat untuk dipusakai oleh ahli waris.

57

Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171 a

58

(24)

seterusnya, sedangkan garis keturunan ke bawah adalah anak, cucu dan seterusnya ke bawah. Keturunan menyamping, adalah saudara dari ayah, ibu dan keturunnnya. Hubungan darah dianggap sah mempunyai hubungan waris jika anaka terlahir melalui perkawinan yang sah.

Undang-Undang perkawinan menyebutkan, perkawinan sah dan legal bila memenuhi norma agama sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan memenuhi norma hukum seperti disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Jika keduanya tidak terpenuhi maka perkawinan dianggap batal demi hukum begitu juga hukum warisnya.

Al Qur‟an menyebutkan:

ِِْيَ يَ ثْ نُْلاِِّظَحُِلْثِمِِرَكَّذلِلِْمُكِد َلَْوَأِ ِفَُِِّللَّاُِمُكيِصوُي

...

ءاَسِّنلاُِةروُس(

]

٤

[

ِ:

۷۷

(

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian) warisan untuk anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”59

(QS. An Nisâ [4]:11).

Untuk itu, dalam konteks negara kita, keberadaan sebuah perkawinan yang memenuhi norma agama dan norma hukumlah yang menyebabkan hukum waris itu bisa dilaksanan. Maka putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, tanggal 17 Februari 2012 meski dipandang rancu dan memperkeruh kedudukan anak yang terlahir di bawah tangan, dari kacamata hukum Islam.

Karena dalam hukum Islam anak luar kawin lebih dikenal dengan anak zina. Oleh karena itulah anak luar kawin tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya. meski dengan dilakukan tes DNA sekalipun. Menurut H.M Anshari, untuk menyikapi isi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut korelasinya dengan masalah waris, hakim dapat menggunakan asas

contralegem60, asalkan disertai argumentasi dan dilandasi dengan ketentuan hukum.61

59

Bagian laki dua kali bagian anak perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan dan tanggung jawab laki-laki-laki-laki pun demikian, seperti kewajiban membayar mahar saat hendak menikah atau kewajiban memberikan nafakah bagi keluarganya.

60

Pada dasarnya hakim menerapkan hukum sesuai dengan aturan yang ada.Salah satu asas hukum acara ialah hakim dilarang menolak perkara, namun persoalan yang muncul bila suatu perkara hukum tidak memiliki aturan hukum.Disinilah hakim dituntut untuk mampu menciptakan hukum dengan cara menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Putusan hakim yang mengesampingkan peraturan yang ada inilah yang disebut

(25)

Namun demikian, meskipun anak yang terlahir di bawah tangan, tidak saling mewarisi dengan bapak biologisnya, tetapi dimungkinkan mendapat bagian dari harta warisan bapak biologisnya dengan jalan wasiat wajibah.62Berdasarkan KUHPerdata, anak luar kawin yang mendapat warisan adalah anak luar kawin yang telah diakui dan disahkan. Namun sejak adanya Putusan MK tersebut maka anak luar kawin diakui sebagai anak yang sah dan mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya. Kedudukan anak luar kawin terhadap warisan ayah biologisnya juga semakin kuat. Pasca putusan MK ini, anak luar kawin merasa berhak atas warisan ayahnya. Di ke depannya tentu akan timbul banyak gugatan ke pengadilan agama (Islam) dan pengadilan negeri (non-Islam) dari anak luar kawin. Putusan MK tersebut, UU No.8/2011 tentang Perubahan Atas UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (1) huruf a menegaskan bahwa salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sekalipun pasal 1917 BW jo. Pasal 21 AB menegaskan bahwa putusan pengadilan hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan tidak mengikat hakim lain yang akan memutus perkara yang serupa, namun ketentuan ini tidak dapat diberlakukan bagi putusan Mahkamah Konstitusi sebab substansi putusan MK tersebut bersifat umum yakni berupa pengujian suatu UU terhadap UUD, karena itu putusan MK tentang anak luar kawin (Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010) tersebut pada dasarnya mengikat semua warga negara. Namun karena Negara juga menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, maka putusan MK dimaksud harus dibaca spiritnya sebagai “Payung Hukum Untuk Perlindungan Terhadap Anak Dan Tidak Menyangkal Lembaga Perkawinan Yang Sah” sebagaimana diatur dalam UU N0. 1 Tahun 1974 jo. PP 9/1975 jo. INPRES No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Karena itu perlindungan terhadap anak diluar perkawinan harus dilaksanakan secara proporsional Hak Nafkah.63

61

H.M. Anshari, Kedudukan Anak Dalam Persepektif Hukum Islam dan Hukum

Nasional, h.84

62

Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli warisatau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya

suatu halangan syara‟, besarnya tidak boleh melebihi 1/3 dari jumlah harta warisan.

63

(26)

3. Hak Perwalian

Hukum nasional berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan tidak mengatur secara mendetail tenteng wali nikah:

Dalam pasal 2 ayat (1) disebutkan”

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing -masing agamanya dan kepercayaannya itu”.64

Dari pasal diatas tersirat bahwa Undang-Undang menyerahkan sepenuhnya kepada agama yang dianut oleh pihak-pihak terkait. Juga apa yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sepenuhnya menyerahkan kepada ketentuan agama orang tersebut65, yang menyebutkan:

Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.66

Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan tentag wali dalam sebuah pernikahan seperti tertera dalam pasal:

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.67

Juga disebutkan dalam Pasal 20:68

Wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim, dalam Pasal 23 menyebutkan:69

Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau enggan. Berdasarkan pasal-pasal diatas dapat kita pahami bahwa wali nikah merupakan rukun nikah, yang jika tidak ada maka hukum nikahnya tidak sah. Dalam pasal 21 Kompilasi Hukum Islam disebutkan tentang urutan-urutan wali nikah yaitu:70

Pasal 21

1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

64

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1979 Tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (1)

65

H.M. Anshari, Kedudukan Anak Dalam Persepektif Hukum Islam dan Hukum

Nasional, h.81

66

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 10 ayat (2)

67

Kompilasi Hukum Islam, Pasal 19

68

Kompilasi Hukum Islam, Pasal 20 ayat (2)

69

Kompilasi Hukum Islam, Pasal 23 ayat (1)

70

(27)

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayahdan seterusnya.

Kedua, kelompok kerabat saudara laki kandung atau saudara laki-laki seayah, danketurunan laki-laki-laki-laki ereka.

Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayahdan keturunan laki-laki mereka.

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunanlaki-laki mereka.

2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

3) Ababila dalamsatu kelompok sama derajat kekerabatan aka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah.

4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Kemudian terkait dengan siapa yang berhak untuk menjadi wali dalam kondisi keterbatasna fisik disebutkan dalam pasal 22:

“Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atauoleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi walibergeser kepada wali nikah yang lain menurit derajat berikutnya”.

Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa silsilah keturunan (nasab) anak yang lahir di luar nikah (bawah tangan) hanya dihubungkan dengan ibu yang melahirkannya dan keluarga ibu tersebut. Dan walinya adalah wali hakim.

Adapun yang dimaksud dengan wali menurut Muhammad Ibrahim At

“Wali adalah orang yang berkuasa menikahkan perempuan, yang paling berhak menikahkan anak perempuan adalah ayahnya, lalu

71

Muhammad bin Ibrâhîm At Tuwaijri, Mausu‟ah Al Fikh Al Islâmî,Jilid IV) T.tp:

(28)

orang yang diberi wasiat dalam nikah, lalu kakek dari ayah, lalu anak laki-laki, lalu saudara laki-lakinya, lalu pamannya, lalu saudara senasab yang terdekat, lalu hakim”.

Keterangan diatas menyebutkan hakim merupakan wali yang terakhir dalam urutan wali, saat tidak dijumpai lagi wali dari pihak keluarga wanita. Dan jika pernikahan tersebut dilakukan tanpa ada wali maka pernikahan tersebut tidak sah (fasid) 72. Begitu juga disebutkan oleh Syamsuddîn

Muhammad „Abdul Khâliq Al Manhâji, seraya menukil pendapatnya Imam

Mâlik tentang seorang wanita yang menikah tanpa wali, kemudian beliau berkata:

َِْلِ

ِِصَي

ِّْحِ

ُِحاَكِن

ِِبِ َّلَِإِاَه

َِوٍِِل

73

“Tidak sah nikahnya tanpa wali”.

Berdasarkan pasal 23 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:

“Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal74atau enggan.”

Dengan demikian jelaslah bahwa anak perempuan yang lahir di luar kawin, bapak biologisnya tetap tidak boleh menjadi wali saat anaknya menikah. Dalam kasus seperti itu maka harus menggunakan wali hakim.75 Adapun yang dimaksud dengan wali hakim dalam peraturan Menteri Agama Nomor 30 tahun 2005 Pasal 1 ayat (2) jo Peraturan Menteri Agama Nomor 11/2007 pasal 18 ayat (4) disebutkan:

“Wali hakim adalah kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali”.

4. Hak Nafkah

Terkait dengan masalah nafkah anak, ada beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan Indonesia, yaitu:76

Pasal 45 ayat (1):

“Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka

sebaik-baiknya”

72

Muhammad bin Ibrâhîm At Tuwaijri, Mausu‟ah Al Fikh Al Islâmî, h. 27

73

Syamsuddîn Muhammad Bin Ahmad bin Ali bin Abdul Khâliq, Al Manhâji Al

Qâhiri, Jauhar Al Uqûd Wa Muin Al Qudhât Wal Muqîin Wa As Syuhûd, Jilid II, ( Libanon:

Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 1417 H) h. 12

74Adlal

adalah seorang yang tidak diketahui keberadaannya

75

H.M. Anshari, Kedudukan Anak Dalam Persepektif Hukum Islam dan Hukum

Nasional, h.83

76

(29)

Pasal 45 Ayat (2):

“Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai

anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus

meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus”.

Dalam pasal 41 huruf b UU Perkawinan disebutkan:

“ Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa

ibu ikut memikul biaya tersebut”.

Ketentuan di atas pada dasarnya berlandaskan pada Pasal 2 UU Perkawinan, yaitu yang dimaksudkan adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Baik secara agama maupun secara hukum, artinya nafkah anak yang lahir di luar perkawinan tidak diatur dalam UU tersebut. Namun dalam bunyi pasal 43 ayat (1) secara implicit dapat dimengerti bahwa oleh karena anak itu hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu yang melahirkannya dan keluarga ibunya, maka segala biaya hidup anak sampai ia dewasa adalah kewajiban ibunya. Undang-Undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pun tidak mengatur masalah ini.

Putusan MK bersifat final, maka otomatis anak yang terlahir dari pernikahan di bawah tanganpun menjadi tanggung jawab bapak biologisnya. Dan hakim pun harus memutuskan sesuai dengan putusan tersebut.77

D. Tindak lanjut pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

1. Sebelum Adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010

Bunyi dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 mengatur kedudukan anak luar kawin dalam pasal 43, yaitu : 1. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya; 2. Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam peraturan Peraturan Pemerintah.Akibat hukum yang lain dari nikah siri terhadap anak adalah anak tidak dapat mengurus akta kelahiran. hal itu bisa dilihat dari permohonan akta kelahiran yang diajukan kepada kantor catatan sipil. Bila tidak dapat menunjukan akta nikah orangtua si anak tersebut, maka didalam akta kelahiran anak itu statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, tidak tertulis nama ayah kandungnya dan hanya tertulis ibu kandungnya saja. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercatatnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis

77

H.M. Anshari, Kedudukan Anak Dalam Persepektif Hukum Islam dan Hukum Nasional,

(30)

bagi si anak dan ibunya. Ketidak jelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya.Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah, biaya pendidikan, ataupun warisan dari ayahnya. Anak yang lahir diluar perkawinan atau sebagai akibat hubungan suami istri yang tidak sah, hanya mempunyai hubungan nasab, hak dan kewajiban nafkah serta hak dan hubungan kewarisan dengan ibunya serta keluarga ibu-nya saja, tidak dengan ayah/bapak alami (genetiknya), kecuali ayahnya tetap mau bertanggung jawab dan tetap mendasarkan hak dan kewajibannya menurut hukum islam.78

Terkait dengan pengakuan anak yang terlahir di bawah tangan (luar kawin) seorang bapak dimungkinkan mengakui anaknya menurut hukum, namun demikian pengakuan tersebut harus melalui persetujuan ibu si anak, sebagai mana diatur dalam pasal 284 KUH Perdata yang berbunyi:79

“Tiada pengakuan anak di luar kawin dapat diterima selama ibunya masih

hidup, meskipun ibu termasuk golongan Indonesia atau yang disamakan dengan golongan itu, bila ibu tidak menyetujui pengakuan itu.Bila anak demikian itu diakui setelah ibunya meninggal, pengakuan itu tidak mempunyai akibatlain daripada terhadap bapaknya.Dengan diakuinya seorang anak di luar kawin yang ibunya termasuk golongan Indonesia ataugolongan yang disamakan dengan itu, berakhirlah hubungan perdata yang berasal darihubungan keturunan yang alamiah, tanpa mengurangi akibat-akibat yang berhubungan denganpengakuan oleh ibu dalam hal-hal dia diberi wewenang untuk itukarena kemudian kawin dengan bapak”.

Ketentuan pasal 284 diatas menunjukkan bahwa pengakuan itu bisa dilakukan dengan melihat:

a. Ibunya masih hidup, artinya jika ibunya sudah meninggal maka tiada pengakuan tersebut

b. Berdasarkan persetujuan dari pihak ibu jika masih hidup.

Namun terkait dengan anak zina dan anak sumbang (incest) Pasal 283 KUH Perdata menyebutkan:80

“ Sekalian anak yang dibenihkan dalam zina, ataupun dalam sumbang, sekali -kali tidak boleh diakui, kecuali terhadap yang terakhir ini apa yang

ditemukan dalam pasal 273”.

78

Fitria Olivia, Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 2, Agustus 2014 137

79

KUH Perdata Pasal 284

80

Referensi

Dokumen terkait

Mengisi data dengan benar -NIM: {6701142021} -Password: {123} Aplikasi akan menampilkan halaman utama yang berisi daftar buku Aplikasi akan menampilkan halaman utama

Kontribusi penelitian ini adalah dalam pengembangan modul ekstensi pada qoe-monitor untuk mendukung estimasi nilai QoE layanan video menggunakan standard ITU-T G.1070, dan

Data mengenai keterlaksanaan proses pembelajaran problem posing diperoleh berdasarkan hasil observasi untuk setiap indikator yang dilakukan oleh guru dan siswa

alun perin liito-oravalle täysin sopimattomia, alueelle ei myöskään olisi tarvinnut tehdä rajaus- ta lisääntymis- ja levähdyspaikan suojelemiseksi. Avohakkuutapauksessa

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persen kondisi tutupan terumbu karang, Indeks mortalitas terumbu karang, kelimpahan ikan kepe-kepe dan hubungan persentase

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita DM dan hipertensi salah satunya adalah kegiatan Komunikasi Informasi dan Edukasi secara rutin

Tanaman Sutra Bombay poliploid memiliki jumlah kromosom 2n=4x=36, panjang dan lebar stomata yang lebih tinggi, kerapatan stomata yang lebih rendah, serta morfologi yang lebih besar

hasil pyrolysis pada temperatur 330 ºC dengan penambahan katalis memperlihatkan jenis komponen yang semakin banyak dengan senyawa yang dominan adalah senyawa