• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis PER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis PER"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

41

PERAN DAN PENGALAMAN LABORATORIUM REGIONAL

VETERINER DALAM MENANGGULANGI

PENYAKIT ZOONOSIS

ISEP SULAIMAN dan BAGOES POERMADJAJA

Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta

PENDAHULUAN

Menurut WHO penyakit zoonosis didefinisikan sebagai penyakit atau infeksi yang secara alamiah dapat ditularkan diantara hewan vertebrata dan manusia. Beberapa penyakit zoonosis penting di Indonesia antara lain anthrax, rabies, toxoplasmosis, salmonellosis, brucellosis, avian influenza, dll.

Kejadian-kejadian penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis di Indonesia selalu menimbulkan keresahan di masyarakat, terutama apabila penyakit tersebut telah memakan korban manusia seperti kasus rabies, anthrax dan yang terakhir kasus Avian influenza di Tangerang beberapa waktu lalu.

Kebijakan pengendalian dan pemberantasan penyakit zoonosis di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengendalian dan pemberantasan Penyakit Hewan Menular (PHM) secara keseluruhan. Sesuai dengan perubahan paradigma kesehatan hewan bahwa pembinaan kesehatan hewan tidak cukup dipandang dari pendekatan penyakit (animal diseases approach) tetapi lebih luas lagi yaitu pendekatan kesehatan hewan secara menyeluruh (animal health approach). Perubahan pendekatan tersebut memberikan konsekuensi bahwa orientasi kegiatan kesehatan hewan tidak bisa hanya ditinjau dari aspek produksi atau ekonomi semata, akan tetapi perlu orientasi yang lebih bertumpu kepada aspek kesehatan dan kesejahteraan manusia sebagai sasaran akhir. Karenanya bidang kesehatan hewan harus dipandang dari berbagai aspek antara lain sebagai bagian dari pembangunan pertanian melalui pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat, bagian dari kesehatan masyarakat melalui pencegahan penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia (zoonosis) dan bagian dari kesehatan lingkungan melalui kelestarian hewan dan lingkungannya. Oleh karena itu

pencegahan, pengendalian dan pemberantasan PHM yang bersifat zoonosis menjadi sangat penting.

Keberhasilan pengendalian dan pemberantasan penyakit zoonosis di jajaran Departemen Pertanian tentunya tergantung dari beberapa faktor antara lain kecepatan dan ketepatan deteksi dini dan peneguhan diagnosis. Sehingga dalam hal ini peran Laboratorium Kesehatan hewan menjadi sangat penting dan mutlak diperlukan. Disamping itu kerja sama lintas sektoral diperlukan dalam hal ini antara Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan seperti yang telah terjalin selama ini.

LABORATORIUM KESEHATAN HEWAN (LABKESWAN)

Berdasarkan tingkat kemampuan teknis dan kelengkapan sarana pendukung termasuk peralatan diagnosa, Laboratorium Kesehatan Hewan dibawah di Indonesia diklasifikasikan menjadi 3 tipe yaitu Labkeswan Tipe A yaitu Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional (BPPV) dan Balai Besar Veteriner (BBVet) yang merupakan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Peternakan. Di Indonesia terdapat 7 (tujuh) Laboratorium Kesehatan Hewan Regional yaitu: BPPV Regional I Medan, BPPV Regional II Bukittinggi, BPPV Regional III Bandar Lampung, Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta, BPPV Regional V Banjarbaru, BPPV Regional VI Denpasar dan Balai Besar Veteriner Maros. Sedangkan Labkeswan Tipe B berkedudukan di Propinsi dan Labkeswan Tipe C berkedudukan di Kabupaten/Kota.

(2)

Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

42

penyakit zoonosis penting. Pengujian-pengujian yang secara umum mampu dilakukan oleh Labkeswan tipe A antara lain: Isolasi dan identifikasi beberapa bakteri atau virus penyebab PHM, Pemeriksaan Patologi Anatomi serta histopatologi, Pengujian serologi sederhana maupun komplek seperti uji aglutinasi cepat, HA/HI, CFT, Elisa, Penerapan teknis diagnosa berbasis biologi molekular seperti: PCR.

Sedangkan Labkeswan Tipe B pada umumnya memiliki kemampuan melakukan pengujian secara serologis seperti aglutinasi cepat, uji HA/HI, CFT dan Elisa. Isolasi dan Identifikasi bekteri dan virus serta pemeriksaan hispatologi belum dilakukan.

Sehubungan keterbatasan sarana, prasarana dan SDM maka Labkeswan Tipe C umumnya hanya melakukan pengujian-pengujian sederhana seperti identifikasi telur cacing, pemeriksaan parasit darah dan ektoparasit.

Untuk menjawab era pasar bebas dimana persyaratan teknis merupakan hal yang mendapatkan perhatian utama dalam perdagangan internasional, maka hasil uji laboratorium merupakan salah satu hal yang perlu dijamin mutunya dan dapat diakui secara global. Oleh karenanya laboratorium Kesehatan Hewan di dorong untuk memperoleh status akreditasi berdasarkan SNI 19-17025-2000 antara lain: BPPV Regional II Bukittinggi, BPPV Regional III Bandar Lampung, Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta, BPPV Regional V Banjarbaru, dan BPPV Regional VI Denpasar. Sedangkan Labkeswan Tipe B yang telah memperoleh status akreditasi adalah Balai Kesehatan Hewan dan Ikan, Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan, Prop. DKI Jakarta.

PERAN LABKESWAN DALAM PENGENDALIAN DAN

PEMBERANTASAN PHM TERMASUK PENYAKIT ZOONOSIS

Peran Labkeswan dalam pengendalian dan pemberantasan PHM termasuk penyakit zoonosis adalah sesuai dengan Tugas dan Fungsi pokok Labkeswan yang antara lain: Pelaksanaan peneguhan diagnosa, Pelaksanaan penyidikan penyakit hewan secara epidemiologik veteriner termasuk melakukan

surveilans dan monitoring penyakit hewan serta melakukan analisa resiko, Pusat informasi kesehatan hewan regional, Pelaksanaan pengujian dan sertifikasi produk asal hewan (food borne disease dan zoonosis), Pemberian saran teknis penanggulangan dan penolakan penyakit hewan, Penyebaran informasi kesehatan hewan, dan Pengamanan hewan dan produk asal hewan.

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Labkeswan selalu melakukan koordinasi dengan Dinas Peternakan atau Dinas yang membidangi fungsi peternakan baik di Propinsi maupun di Kabupaten/Kota. Disamping itu koordinasi juga dilakukan dengan Dinas Kesehatan di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/kota khususnya dalam penanganan penyakit-penyakit zoonosis.

Peran Dinas Peternakan dalam penanganan, pengendalian PHM sangat penting terutama dalam mendukung Sistem Kewaspadaan dini yang merupakan bagian dari Sistem Kesehatan Hewan Nasional, pelaporan yang cepat dan akurat tentang kejadian kasus penyakit merupakan salah satu kunci keberhasilan pengendalian PHM. Profesionalitas petugas dinas dalam mengelola laporan kasus sangat diperlukan dan berawal dari laporan tersebut kemudian sampai kepada Labkeswan.

Labkeswan sebagai institusi peneguh diagnosa akan segera menindaklanjuti laporan kejadian kasus dengan melakukan penggalian data termasuk pengambilan sampel dari hewan mati/sakit.

Labkeswan juga ikut berperan aktif dalam pembelajaran masyarakat melalui sosialisasi dalam upaya meningkatkan pemahaman kepada masyarakat tentang bahaya PHM dan penyakit zoonosis serta upaya penanggulangannya dengan bekerjasama seluruh instansi dan pihak lain terkait termasuk pemuka masyarakat/agama, LSM, keder desa melalui berbagai cara seperti percetakan brosur, leaflet, spanduk, sosialisasi melalui berbagai media (elektronik dan cetak) serta pertemuan-pertemuan informal.

(3)

Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

43

SITUASI BEBERAPA PENYAKIT ZOONOSIS DI JAWA

Sampai saat ini beberapa penyakit zoonosis yang masih merupakan masalah serius dan menyebabkan keresahan masyarakat antara lain: anthrax, rabies, dan avian influenza serta penyakit zoonosis lainnya.

Anthrax

Situasi penyakit anthrax di daerah-daerah endemis di Jawa relatif terkendali kecuali di Kabupaten Bogor yang cenderung muncul setiap tahun dan terakhir tahun 2004 dengan menimbulkan kematian pada manusia. Selain itu anthrax pernah terjadi di Kabupaten Sleman, D.I Yogyakarta pada tahun 2003.

Dalam upaya antisipasi terulangnya wabah maka setiap tahun Labkeswan dalam hal BBVet Wates mengadakan kegiatan surveilans dan monitoring penyakit anthrax di daerah-daerah yang secara historis endemis anthrax seperti di Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Sleman D.I Yogyakarta. Monitoring antibodi pasca vaksinasi juga dilakukan untuk melihat sampai sejauh mana keberhasilan program vaksinasi masal yang diterapkan di daerah endemis anthrax. Dalam hal ini BBVet Wates bekerja sama dengan Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor.

Rabies

Rabies adalah penyakit zoonosis paling tua di dunia dan upaya pengendalian dan pemeberantasan penyakit tersebut di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1978 dengan ditanda tanganinya Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri. Sampai dengan akhir tahun tahun 2004 sebenarnya pulau Jawa sudah dinyatakan bebas dari penyakit rabies setelah diterbitkannya Keputusan Menteri Pertanian No.566/Kpts/PD.640/10/2004 tentang Pernyataan Propinsi DKI Jakarta, Banten dan

Jawa Barat bebas dari Penyakit Anjing Gila (Rabies). Sedangkan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta telah lebih dulu dinyatakan bebas rabies sejak tahun 1997. Tetapi pada bulan Pebruari 2005, ternyata

rabies kembali muncul di Kabupaten Garut, Jawa Barat sehingga status bebas rabies tidak dapat dipertahankan di Pulau Jawa.

Kegiatan surveilans dan monitoring secara rutin dilakukan oleh BBvet Wates bersama Instansi terkait baik di Propinsi maupun di Kabupaten/Kota terutama di beberapa Kabupaten di Propinsi Jawa Barat seperti: Kabupaten Sukabumi, Kota Sukabumi, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut.

Disamping surveilans dan monitoring, BBVet Wates ikut berperan dalam Tim Koordinasi (TIKOR) rabies dan melakukan pemantauan ke propinsi/kabupaten tertular untuk meningkatkan koordinasi antar instansi terkait dan mengevaluasi perkembangan pelaksanaan program pengendalian dan pemberantasan rabies. Pertemuan koordinasi dilaksanakan secara periodikm di semua tingkat (pusat, propinsi, kabupaten/kota sampai kecamatan).

Avian Influenza

Sebagaimana diketahui bahwa pengendalian dan pemberantasan wabah penyakit avian influenza (AI) di indonesia bertumpu pada 9 strategi Pananggulangan avian influenza sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan Nomor 17/Kpts/PD.640/F/02.04 tanggal 4 Februari 2004 tentang Pedoman Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan AI.

(4)

Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

44

terhadap penularan AI seperti petugas kandang, peternak dan para praktisi kesehatan hewan.

Berdasarkan data BBVet sampai akhir tahun 2004, penyebaran AI telah mencapai 36 Kabupaten/Kota di Jawa dan telah membawa korban puluhan unggas mati atau dimusnahkan dan sampai sejauh ini sejak terjadinya wabah AI pada tahun 2003, kasus kematian pada manusia ‘hanya’ terjadi di Serpong, Tangerang tersebut.. Meskipun demikian sumber atau asal penularan sampai sejauh ini tidak dapat ditelusuri dan Departemen Kesehatan secara resmi telah menghentikan penyidikan sumber penularan tersebut. Satu kasus pada manusia juga terjadi di Sulawesi Selatan dimana dari hasil pengujian serologis di dapat titer antibodi tinggi terhadap AI meskipun yang bersangkutan tidak menampakkan gejala klinis apapun.

Penyakit zoonosis lainnya

Beberapa penyakit zoonosis yang memerlukan perhatian kita bersama antara lain salmonellosis, toxoplasmosis, leptospirosis, dll. Salmonellosis terutama yang disebabkan oleh kuman Salmonella enteritidis termasuk penyakit zoonosis yang penting. Meskipun data kejadian infeksi S. enteritidis pada manusia di Indonesia masih minim tetapi kekawatiran akan infeksi oleh kuman ini sangat besar di dunia terbukti bahwa hampir semua negara di dunia mempersyaratkan bebas S. enteritidis

dalam perdagangan antar negara semua produk asal unggas. Untuk mengantisipasi perdagangan global tersebut maka labkeswan dituntut untuk mampu melakukan pengujian terhadap cemaran S. enteritidis dengan tingkat akurasi tinggi. Dalam rangka untuk mendapatkan hasil uji yang standard bagi labkeswan-labkeswan maka disusunlah Rencangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) tentang Pedoman Cara Uji Salmonella pullorum/gallinarum dan Salmonella enteritidis pada peternakan pembibitan ayam. Penyusunan RSNI ini dikoordinasikan oleh BBVet Wates yang kelak apabila telah diterima sebagai SNI (Standard Nasinal Indonesia) dapat digunakan sebagai metode standard oleh setiap Labkeswan di Indonesia.

Secara serologis toxoplasmosis selama tahun 2004 ditemukan pada beberapa spesies hewan: kambing, domba dan anjing di Kota Bandung, Kabupaten Kulon Progo, Bantul, dan Brebes. Sedangkan kasus leptospirosis selama tahun 2004 hanya ditemukan pada sapi bibit di Kabupaten Bandung. Pengujian leptospirosis dilakukan oleh Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor karena Balitvet merupakan satu-satunya laboratorium rujukan untuk pengujian penyakit tersebut.

KESIMPULAN

Pengendalian dan pemberantasan Penyakit Hewan Menular (PHM) terutama yang bersifat zoonosis harus diupayakan dengan sungguh-sungguh dalam rangka menciptakan rasa aman bagi masyarakat yang berhubungan dengan hewan maupun sebagai konsumen produk asal hewan. Laboratorium Kesehatan Hewan mempunyai kontribusi dan peran yang sangat penting dalam mendukung program pengendalian dan pemberantasan PHM dan zoonosis sehingga Labkeswan selalu dituntut untuk mampu meningkatkan kualitas hasil diagnosa dan kualitas analisis hasil surveilans. Disamping itu peran aktip pemerintah daerah dalam hal ini Dinas peternakan atau yang membidangi fungsi peternakan terutama dalam penerapan kebijakan atau peraturan yang berkaitan dengan kesmavet sangat diperlukan dalam upaya pengendalian dan pemberantasan penyakit zoonosis.

Keberhasilan pengendalian dan pemberantasan PHM dan zoonosis juga sangat tergantung dari terjalinnya kerjasama yang baik antara Labkeswan dan Dinas/instansi terkait termasuk dengan Balitvet sebagai laboratorium rujukan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

DIREKTORAT KESEHATAN HEWAN, DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKASI PETERNAKAN. 2003. Program Pemberantasan Penyakit Hewan Menular dan Pemanfaatan Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sesuai dengan hasil temuan penelitian (Awaludin, Umar, & Usman, 2016) menyebutkan skill membaca Al-Qur’an surah pendek sangat sesuai dengan menggunakan

Dalam memberikan kredit, Terdakwa Sang Ayu Raiyoni bersama- sama dengan Ni Nyoman Nilawati dan juga Ni Made Sutria tidak berpedoman pada Sistem dan Prosedur Perkreditan

Perusahaan “Pulau Teladan” adalah perusahaan yang bergerak di bidang konfeksi. Penelitian di perusahaan “Pulau Teladan” ini menitik beratkan pada produk pakaian

Campuran cairan larut adalah pencampuran sederhana fisik terdiri penggabungan dua atau lebih material hingga partikel, bagian, atau tetes masing- masing komponen

Pengertian pemanasan global dan perubahan iklim meliputi faktor-faktor penyebab terjadinya pemanasan global, efek rumah kaca, dampak lingkungan pemanasan global dan

dibina oleh Puri Mengwi untuk kepentingan pariwisata di puri tersebut juga berfungsi sebagai pengikat hubungan patron-client antara puri dengan masyarakat di

  In our opinion, the financial statements referred  to above present fairly, in all material respects,  the  financial  position  of  PT  Bumi  Siak 

Pada tahap ketiga, Transformation, DBA bekerjasama dengan data mining expert untuk men-transform preprocessed data menjadi transformed data yang siap untuk