• Tidak ada hasil yang ditemukan

Otonomi Daerah dan HAM ASIAN 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Otonomi Daerah dan HAM ASIAN 2014"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Otonomi Daerah dan Potensi Kebijakan Publik yang Berdimensi

Pelanggaran HAM di Sumatera Barat

1

Oleh: Afriva Khaidir, Azwar Ananda, Heni Muchtar, Akmal

2

==============================================================

Makalah Dipresentasikan dalam Simposium IV Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara

(AsIAN) di Universitas Udayana, Denpasar 18-19 September 2014

Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada daerah otonom baik di tingkat propinsi, kabupaten/kota bahkan sampai ke desa untuk mengatur dan meregulasi masyarakatnya melalui berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Regulasi atau kebijakan publik yang dicita -citakan haruslah memenuhi kepastian hukum, rasa keadilan masyarakat, dan adanya asas kemanfaatan. Perkembangan kontruksi hukum kebijakan publik diharuskan memperhatikan hukum yang berlaku secara vertikal dan horizontal serta instrumen hak asasi manusia yang ada. Kebijakan publik yang mengesampingkan rasa keadilan justru akan menimbulkan keadaan chaotik dalam masyarakat, sebaliknya keadilan tanpa didasari kepastian hukum akan menghilangkan nurani keadilan kemanusiaan dan esensi dari the rule of law itu sendiri. Penelitin ini adalah mengidentifikasi dan mengembangan model kebijakan publik yang tidak melanggar hak asasi manusia dalam era otonomi daerah di 3 kabupaten di prop. Sumatera Barat, yaitu Padang Pariaman, 50 Kota, Pesisir Selatan dan propinsi sendiri. Formulasi kebijakan publik harus sesuai dengan UU No.32 tahun2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga tidak terjadi penyimpangan penyusunan Perda dari ketentuan yang berlaku, dan dapat diterima oleh masyarakat luas., Sosialisasi rancangan peraturan daerah (Perda) sebelum menjadi Perda dalam rangka pemajuan kesejahteraan dan keamanan masyarakat merupakan tuntutan masyarakat sesuai dengan amat hukum itu sendiri. Kewajiban pemerintah untuk mendidik dan mengkomunikasikan tentang Perda, yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakatnya. Penelitian menemukan sebagian kebijakan publikyang dilahirkan ditentang masyarakat secara luas, seperti masalah Perdatentang Pemerintahan Nagari dan PerdaMaksiat tertentu, telah mengundang protes keras masyarakat melalui demonstrasi ke pihak regulator. Sebagian besar masyarakat tidak mengetahui Perda yang mengatur hak dan kewajibannya, secara mendadak mengikat mereka, masyarakat menilai Perda bertentangan dengan kepatutan dan rasa keadilan, bahkan tidak mengindahkan asas dan sikronisasi hukum baik secara vertikal dan horizontal, terindikasi bertentangan dengan instrumen HAM nasional dan internasional. Penelitian ini dengan pendekatan yuridis normatif untuk melihat dasar berpijak formal dengan pamahaman pada inventarisasi, asas-asas hukum dan taraf sinkronisasi yang termuat dalam berbagai produk hukum dan kebijakan yang telah dihasilkan oleh pemerintah daerah apakah berdemensi adanya pelanggaran HAM Tahap berikutnya dilakukan analisis dengan pendekatan yuridis empiris, yaitu melihat bagaimana hukum bertemu dengan aspek kehidupan dan budaya masyarakat ser ta pemerintah. Pada akhirnya data inventarisasi dan analisis digunakan untuk mengetahui tentang pengembangan model strategi penyusunan kebijakan publik (baik Perda maupun Perna) dalam era otonomi daerah di Sumatera Barat yang tidak melangar HAM,

Latar Belakang

Kebijakan publik (public policy)diperingkat daerah memiliki berbagai bentuk. Jika merujuk kepada pasal 7 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ia terdiri dari Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kota/Kabupaten. Jika merujuk kepada definisi kebijakan publik menurut Robert Eyestone dalam Winarno (2007:17) secara luas

kebijakan publik dapat bermakna ”hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya” atau Thomas R. Dye menyatakan ”kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan”. Menurut Amir Santoso (1993:20) mengindentifikasi ada pemikiran yang menyatakan bahwa kebijakan publik adalah terdiri dari serangkaian proses yang terdiri dari perumusan, implementasi dan evaluasi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan (implementor) untuk mencapai tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut. Dalam kaitan inilah regulasi merupakan sebuah produk kebijakan publik. Jika level kebijakan dibagi atas makro, mezzo dan mikro, maka di peringkat mikro kebijakan publik di daerah tidak hanya berupa peraturan daerah yang merupakan keputusan politik, tetapi juga termasuk peraturan gubernur, peraturan bupati, peraturan walikota, peraturan kepala desa dan seterusnya. Bahkan jika peraturan bernuansa regulatif (regerend), keputusan yang berupa desicive (beschikking) juga merupakan kebijakan publik karena akan berdampak kepada publik pada ruang lingkup yang terbatas.

Kebijakan publik yang dicita-citakan adalah kebijakan yang memenuhi unsur kepastian hukum, rasa keadilan masyarakat, dan adanya kemanfaatan. Perkembangan kontruksi hukum kebijakan harus memperhatikan hukum yang berlaku secara vertikal dan horizontal serta instrumen HAM yang ada. Begitupun juga halnya dengan nilai keadilan yang dipancarkan, Daniel Webster

1

Makalah adalah bagian dari Penelitian Strategis Nasional, SImlitabmas Dikti Kemdikbud tahun 2014

2

(2)

mengatakan :”justice is the great interest of man on earth” (keadilan merupakan kepentingan yang besar bagi kehidupan manusia di dunia). Selanjutnya O.C Kaligis (2007) mengatakan bahwa tanpa keadilan akan timbul keresahan dalam masyarakat. Hukum dengan mengesampingkan rasa keadilan justru akan menimbulkan chaos hukum, sebaliknya keadilan tanpa didasari kepastian hukum akan menghilangkan nurani keadilan kemanusiaan dan Rule of Law itu sendiri.

Unsur keadilan yang dikemukakan Sabini dalam Rahayu (2007) menyatakan bahwa bahwa unsur penerapan keadilan terdiri dari keadilan substansial dan keadilan prosedural. Sedangkan asas manfaat menurut aliran utilitarianisme atau utilitisme bahwa tujuan hukum satu-satunya adalah untuk mencapai kemanfaatan. Hukum yang baik adalah hukum yang membawa kemanfaatan bagi manusia. Kemanfatan dapat diartikan kebahagian (happyness). Baik buruknya suatu hukum apakah hukum itu memberikan kebahagian atau tidak bagi manusia. Jeremy Benthan menjelaskan bahwa hukum sudah dapat dikatagorikan baik apabila mampu memberikan kebagian kepada bagian terbesar dari masyarakat (the greatest happines for the greatest number of people)

Penelitian ini terdiri dari 2 tahapan. Tahapan pertama yang dilaksanakan tahun 2014 bertujuan untuk mengidentifikasi sementara tahapan kedua yang akan dilaksanakan tahun 2015 akan dimaksudkan untuk mengembangkan model Perdasebagai kebijakan publik yang tidak melanggar hak asasi manusia dan kemanfaatan dalam era otonomi daerah di 3 (tiga) kabupaten di provinsi Sumatera Barat dan provinsi. Kondisi ini amatlah diperlukan sesuai dengan amanat dari pasal 138 UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengharuskan dipertimbangkannya asas pengayoman, kemanusiaaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, dan keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Formulasi kebijakan yang mendasarkan kepada asas-asas tersebut menghindarkan kepada terjadinya penyimpangan penyusunan Perda dari ketentuan yang berlaku, dan dapat diterima oleh masyarakat luas.Penelitian dilaksanakan dengan kerjasama bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia perwakilan Sumatera Barat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi Sumatera Barat

Sosialisasi rancangan kebijakan sebelum menjadi Perda dalam rangka pemajuan kesejahteraan dan keamanan masyarakat merupakan tuntutan masyarakat sesuai dengan amat hukum itu sendiri. Menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk mendidik dan mengkomunikasikan tentang Perdayang disesuaikan dengan perkembangan masyarakatnya. Dengan demikian kebijakan publik dalam konteks pembangunan pada hakekatnya adalah bagian dari proses pembangunan manusia seutuhnya. Hal tersebut mengedepankan adanya saling keterkaitan antara kebebasan dan persamaan dengan pelaksanaan pembangunan, namun dalam perjalanannya dapat dilihat dan dirasakan bersama ditemukan jurang yang memisahkan antara praktek pembangunan dengan kerangka normatifnya, atau terjadi kesenjangan antara tujuan yang dirumuskan dengan sasaran mengoperasionalkan tercapainya tujuan tersebut.

Melihat perkembangan serta situasi yang terjadi di masyarakat kabupaten/kota Sumatera Barat sebagian besar Perda yang dilahirkan ditentang masyarakat secara luas, seperti masalah Perda pemerintahan nagari dan Perdaanti-maksiat tertentu, telah mengundang protes keras masyarakat melalui demonstrasi ke pihak yang mewakili Negara (Kepala Daerah, DPRD, Komnas HAM Perwakilan Sumatera Barat). Ditemukan juga pada beberapa kasus sebagian besar masyarakat tidak mengetahui Perda yang mengatur hak dan kewajibannya, yang kemudian secara mendadak mengikat mereka, masyarakat menilai Perda bertentangan dengan kepatutan dan rasa keadilan, bahkan tidak mengindahkan asas dan sikronisasi hukum baik secara vertikal dan horizontal. Selanjutnya terindikasi bertentangan dengan instrumen HAM nasional dan internasional (Pusham UNP, 2009), (Komnas HAM Perwakilan, 2009), (Kanwil Hukum dan HAM Sumatera Barat, 2009). Selanjutnya diungkapkan bahwa Perda yang dikeluarkan pada dasarnya belum mencakup kepentingan pembangunan dalam arti seluas-luasnya. Pada saat ini pembangunan satu sama lain kurang saling berkaitan. seperti bidang pembangunan yang dirancang yang meliputi pembangunan ideologi/ABS-SBK, politik/pemerintahan, ekonomi, fasilitas pelayanan umum, pendidikan, kesehatan, perumahan, kesempatan kerja dan jaminan sosial dan seterusnya.

Metodologi dan Kajian Teoritik

Pembangunan hukum yang dirancang, seharusnya tidak terlepas dari kesadaran hukum masyarakat, rasa keadilan, manfaat dan kepastian hukum.Pembangunan pada hakekatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya, hal tersebut mengedepankan saling keterkaitan antara kebebasan dan persamaan disatu sisi dengan pelaksanaan pembangunan disisi lain. Namun demikian, dalam perjalanannya dapat dilihat dan dirasakan bersama jurang yang memisahkan antara praktek pembangunan dengan kerangka normatifnya, atau terjadi kesenjangan antara tujuan yang dirumuskan dengan sasaran mengoperasionalkan tercapainya tujuan tersebut.

(3)

Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui tentang pengembangan model strategi penyusunan kebijakan publikyang tidak melanggar HAM, Spesifikasi penelitian pada yuridis normatif lebih bersifat deskriptif terhadap hasil inventarisasi kebijakanPerda yang berkaitan dengan sitematika hukum, penemuan asas-asas hukum, dan taraf sinkronisasi peraturan perundang-undangan dalam penyusunan Perda. Dilakukan pengkajianPerda-Perda yang bermasalah seperti pelanggaran asas-asas hukum dan sikronisasi sesuai perundang-undangan dan instrumen HAM. Sedangkan pendekatan melalui focus group discussion (FGD) dimanfaatkan untuk mengetahui model penyusunan Perda yang tidak melanggar HAM.Penelitian dilakukan di 3 (tiga) kabupaten di provinsi Sumatera Barat, yaitu kabupaten Pesisir Selatan, kabupaten 50 Kota dan Kabupaten Padang Pariaman. Di samping itu dilakukan juga pengambilan data dan analisis di tingkat provinsi Sumatera Barat di Padang sebagai ibukotanya.

Sumber data primer dalam penelitian ini terutama menekankan kepada identifikasi pola penyusunan/formulasiPerda.Kemudian dilaksanakan wawancarayang dilakukan kepada tokoh masyarakat yang mewakili setiap kelompok kepentingan (interest group), atau tokoh-tokoh kunci yang mengetahui tingkat pelanggaran Perda di daerah penelitian, dengan jumlah yang ditetapkan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Sedangkan dari pihak pengambil kebijakan (decision makers)diambildari unsur legislatif, eksekutif dan yudikatif sesuai dengan kebutuhan penelitian dan akan ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian dan level kejenuhan data penelitian.

Pengambilan data menggunakan beberapa teknik sebagai upaya memperoleh data yang akurat dan triangulatif yaitu: 1) studi kepustakaan, 2) observasi, 3) survey kuesioner, 4) wawancara (interview), dan 5) diskusi kelompok terfokus (focus group discusion-FGD)

Institusi yang dibentuk untuk menjaga terakomodasinya penegakan dan perlinfungan Hak Asasi Manusia (HAM) di provinsi Sumatera Barat adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Perwakilan Sumatera Barat.Dalam tugas pokok dan fungsi yang dimiliki Komnas HAM Perwakilan Sumatera Barat sesuai dengan amanat UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dimplementasikan dengan Keputusan Komnas HAM No.14/Komnas HAM/IV/2006 tentang Fungsi, Tugas dan Wewenang Komnas HAM Perwakilan meliputi:

(1) melakukan fungsi pengkajian dan penelitian: (a) pengkajian dan penelitian peraturan perundang-undangan daerah yang akan diberlakukan atau yang telah berlaku di wilayah (b) studi pustaka, studi lapangan, dan studi banding dalam rangka peningkatan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM di wilayah kerjanya, (c) pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan, pemajuan dan penegakan HAM di wilayah kerjanya, (d) kerjasama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga atau pihak lain di wilayah kerjanya.

(2) Pelaksanaam fungsi penyuluhan, yaitu: (a) melakukan penyebarluasan wawasan mengenai HAM kepada masyarakat, (b) upaya peningkatan kesafdaran masyarakat tentang HAM melalui lembaga pendidikan formal, non formal, informal serta berbagai l;embaga lainnya.

(3) Pelaksanaan pemantauan, yaitu: (a) melakukan pengamatan pelaksanaan HAM di wilayah kerja dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut untuk disampaikan kepada Komnas HAM Pusat, (b) penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat diwilayah kerjanya nya yang berdasar lingkup dan sifatnya patut diduga terdapat pelanggran HAM, (c) pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan berhubungan dengan peristiwa yang diduga terdapat pelanggran HAM untuk diminta dan didengar keterangannya, (d) peninjauan tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu, (f) pemanggilan terdapat pihak yang terkait dengan peristiwa yang diduga terdapat pelanggran HAM yang terjadi diwilayah kerjanya untuk memeberi keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan, (g) pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan, (h) pemberian pendapat berdasarkan pesertujuan Ketua pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan di wiyah kerjanya, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran HAM dalam masalaha publik dan acara pemeriksaan oleh peradilan, dengan permintaan oleh hakim kepada para pihak.

(4) Pelaksanaan fungsi mediasi, yaitu: (a) melakukan Perdamaian para pihak yang bersengketa, (b) menyelesaikan sengketa yang terjadi melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli, (c) pemberian saran kepada para pihak yang bersengketa yang berada di wilayah kerjanya untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, (d) penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggran HAM kepada lembaga legislatif untuk ditindaklanjuti (Keputusan Komnas HAM NO.14/Komnas HAM/IV/2006).

Komnas HAM Perwakilan lebih memperhatikan aspek pengaduan, jika ada pengaduan baru dikaji sesuai dengan tuntutan masyarakat dan direkomendasi pada instansi terkait. Bentuk-bentuk pelanggaran HAM di Sumatera Barat. (a) Abuse of power

(4)

yang melarang perempuan keluar malam hari, Perda pemanfaatan tanah ulayat yang tidak dapat dikembalikan ke ulayat. Hal tersebut sebagai fungsi, tugas dan wewenang yang dimainkan Komnas HAM Perwakilan di Sumatera Barat.

Negara yang menganut sistem demokrasi tidak dapat dipisahkan dengan wacana penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).Negara demokratis wajib menjamin pelaksanaan hak-hak politik dan memberi jaminan terhadap keberlangsungan hidup setiap warganya.Pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan bernegara harus berimplikasi terhadap kesejahteraan warganya. Proses demokrasi yang dijalankan tidak hanya sebatas pada prosedural (demokrasi prosedural) tetapi dapat sampai pada substansi (demokrasi substansial) dari demokrasi dengan memberikan jaminan pasti terhadap HAM.

HAM merupakan klaim yang harus dipaksakan sebagai konsekuensi penanda kemanusiaan yang bersifat kodrati.Dalam definisinya yang esensial, HAM melekat pada manusia sebagai subjek pengemban hak semenjak manusia dapat dikategorikan sebagai manusia di dalam kandungan.Hak tersebut juga tidak dapat dicabut, dialihkan dan dibagi-bagi.Semenjak deklarasi Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada 10 Desember 1948 telah mengafirmasikan betapa penting dan fundamental terpenuhinya dua macam kebebasan bagi umat manusia, yaitu freedom of wants (hak-hak sipil dan politik) dan

freedom of needs (hak-hak ekonomi dan sosial). Akan tetapi realitasnya di lapangan, sejak berakhirnya Perang Dunia II, sebetulnya lebih banyak orang yang meninggal akibat malnutrisi, kelaparan, dan wabah penyakit ketimbang gabungan jumlah keseluruhan korban berbagai perang yang terjadi dan korban berbagai rezim represif yang secara sistematis melanggar hak-hak sipil dan politik warganya demi mempertahankan kekuasaan meraka. Namun pemenuhan hak EKOSOB baru menjadi perbincangan serius belakangan ini di dalam konteks wacana hak asasi manusia di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan hak pangan, pendidikan, dan perumahan.

Perbincangan mengenai HAM pada era modern ini tidak terlepas dari pandangan terhadap manusia terutama dari Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704).Dalam pandangan Hobbes, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus).Manusia menjadi makhluk yang penuh ambisi yang berkontestasi dengan manusia lainnya dalam melakukan akumulasi untuk kepuasan hidupnya.Dengan demikian, maka untuk menjamin terciptanya ketertiban diperlukan suatu organsasi lebih besar dari sistem sosial masyarakat yang dapat melakukan paksaan.Organisasi yang dianggap mampu melaksanakan paksaan itu adalah Negara.Demikian pula pandangan Locke, yang menganggap manusia adalah makhluk atau individu yang bebas melakukan atau tidak melakukan sesuatu berdasarkan keinginannya.Locke memandang kebebasan manusia itu dalam bentuk kesejajaran yang relasinya bersifat konstruktif.Makna relasi yang konstruktif itu dimanifestasikan dalam bentuk hukum yang diorganisir oleh badan yang berbentuk Negara.

Baik pandangan Hobbes maupun Locke memiliki konsekuensi bahwa Negara perlu ada untuk menjaga agar seseorang tidak menjadi korban dari keberingasan manusia lain dan menjamin agar hubungan sosial berjalan dalam tujuan sosial yang disepakati bersama. Salah satu perbedaan pandangan mereka terletak pada sifat kontraktual antara negara dan masyarakat. Hobbes mengandaikan kontraktual masyarakat dengan negara itu sebagai mandat bebas dari masyarakat kepada Negara, sehingga Negara dapat melakukan apa saja untuk menjamin sistem sosial bertahan. Pandangan Negara kuat inilah yang menjadi akar dari otoritarianisme yang oleh Hobbes disebut sebagai Leviathan.Sedangkan Locke memandang hubungan kontraktual antara masyarakat dengan negara itu bersifat imperatif atau terbatas. Yaitu sebatas negara masih berfungsi untuk menjamin terpenuhinya hak-hak individu untuk melakukan atau tidak melakukan apa yang dikehendaki masyarakat. Bila negara lari dari kontraktualnya, maka Negara dapat diabaikan, dibubarkan atau dinegosiasikan ulang.

Hak-hak sipil dan hak EKOSOB merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling mendukung.Kerapnya terjadi pelanggran terhadap hak-hak sipil biasanya selalu diawali oleh pelanggaran terhadap hak-hak EKOSOB sesorang atau masyarakat.Sebagai contoh pembunuhan terhadap aktivis-aktivis gerakan di Indonesia, diawali dengan adanya penuntutan terhadap hak-hak EKOSOB yang dilanggar oleh negara.International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau sering disebut negative rights dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) atau positive rights

merupakan produk yang dilahirkan pada situasi dunia yang diliputi perang dingin, dan kedua Covenan ini tidak dilahirkan secara bersamaan, sehingga membawa dampak tersendiri dalam pelaksanaannya. ICCPR memuat tentang pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat represif negara, sedangkan ICESCR menuntut peran maksimal negara.

Di Indonesia, wacana akan HAM pada dasarnya bukan hal yang baru. Jika kita melihat sejarah konstitusi, maka akan kita temukan dasarnya-dasarnya. Pada mukadimah UUD 1945 dengan jelas mengatakan bahwa “kemudian daripada itu untuk

membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial....”. Hal ini berat bahwa founding fa ther kita telah menyadari akan pentingya HAM dalam pengelolaan negara.

(5)

pembungkaman akan tetapi hak-hak dasar seperti pangan, pekerjaan, pendidikan, kesehatan kesejahteraan merupakan sebuah hak yang harus dituntut.

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya – EKOSOB (International Convenant for Economic, Social and Cultural Rights) terdiri dari 31 Pasal, yang terdiri dari Mukadimah dan 5 Bagian. Mukadimah terdiri dari lima (5) Paragraf preambule yang seluruh isinya berbunyi sama dengan Mukadimah Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Namun perlu dicatat bahwa, paragraf preambuler ke-3 dari Kovenan ini (ICESCR) merupakan penegasan tentang keterkaitan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dengan hak-hak sipil dan politik.Paragraf preambuler ke-3 tersebut menyatakan:

“Mengakui bahwa sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, keadaan ideal dari manusia yang bebas

dari penikmatan kebebasan dari ketakutan dan kemiskinan, hanya dapat dicapai apabila diciptakan kondisi di mana semua orang dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, juga hak-hak sipil dan politiknya.”

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi kovenan Internasional tentang Hak-hak EKOSOB (International Covenant on Economic, social, and Cultural Right) pada Oktober 2005.Ratifikasi ini ditandai dengan terbitnya UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social and Cultural Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).Dengan demikian, negara wajib menghormati, melindungi dan memenuhi Hak-hak tersebut kepada warganya.Ada 143 negara yang meratifikasi kovenan tersebut, termasuk Indonesia.

Kovenan Hak EKOSOB ini terdiri dari beberapa bagian, yaitu:

1. Bagian pertama memuat hak setiap penduduk untuk menentukan nasib sendiri dalam hal status politik yang bebas serta pembangunan ekonomi, sosial dan budaya.

2. Bagian kedua memuat kewajiban negara untuk melakukan semua langkah yang diperlukan dengan berdasar pada sumber daya yang ada dalam mengimplementasikan Kovenan dengan cara-cara yang efektif, termasuk mengadopsi kebijakan yang diperlukan.

3. Bagian Ketiga memuat jaminan hak-hak warga yaitu:

a. Hak atas pekerjaan

b. Hak mendapatkan program pelatihan

c. Hak mendapatkan kenyamanan dan kondisi kerja yang baik d. Hak membentuk serikat buruh

e. Hak menikmati jaminan sosial, termask asuransi sosial f. Hak menikmati perlindungan pada saat dan setelah melahirkan

g. Hak atas standar hidup yang layak termasuk pangan, sandang, dan perumahan h. Hak terbebas dari kelaparan

i. Hak menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tinggi j. Hak atas pendidikan, termasuk pendidikan dasar secara cuma-cuma

k. Hak untuk berperan serta dalam kehidupan budaya menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan aplikasinya

4. Bagian keempat memuat kewajiban negara untuk melaporkan kemajuan yang telah dicapai dalam pemenuhan hak-hak EKOSOB ke Sekretaris Jenderal PBB dan Dewan EKOSOB.

5. Bagian kelima memuat ratifikasi negara. Diantara banyak hak yang dimuat dalam Hak-hak EKOSOB, ada hak yang paling mendasar sebagai basis terpenuhinya Hak-hak EKOSOB, yakni Hak tas Pendidikan dan Kesehatan.

(6)

Dalam konteks sosialisasi strategi penyusunan kebijakan yang menjadi sasaran adalah bagaimana caranya agar kebijakan dalam pedoman proses penyusunannya dapat diterima masyarakat, dan mempunyai dampak terhadap perilaku manusia. Artinya dalam hal pokok kajian utama adalah bagaimana kebijakan dapat dipatuhi dan diikuti oleh masyarakat dan aparat pemerintah. Demi tercapainya tujuan tersebut diperlukan pemenuhan beberapa kondisi yang merupakan persyaratan agar hukum mempunyai dampak yang positif. Penelahaan hal ini di Indonesia sejauh ini kurang mendapat perhatian, sehingga penerapan peraturan perundang-undangan sering menelan biaya sosial (social cost) yang besar baik secara langsung maupun tidak yang mengakibatkan kewibawaan hukum.

Kondisi yang dimaksud adalah hukum harus dikomunikasikan. Komunikasi disini diartikan sebagai proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti tertentu. Komunikasi hukum lebih-lebih tertuju pada sikap atau perilaku yang berwujud pada tindakan nyata. Karena itu ia mengandung komponen kognitif, afektif dan konatif. Kognitif mengandung persepsi terhadap keadaan sekitarnya yang tercakup pengetahuan, afektif berhubungan dengan penilaian positif dan negatif serta konatif berkaitan dengan kecenrungan untuk bertindak atau tidak bertindak terhadap sesuatu (Soekanto, 1986).

Pengembangan strategi proses penyusunan Perda dilakukan melalui mekanisme sebagai berikut:

1)Diseminasi (penyebaran ) rancangan instrumen Perda untuk menumbuhkan kesadaran warga tentang Perda. Artinya melibatkan masyarakat secara aktif dalam penyusunan Perda

2) Promosi (pemajuan) Perda melalui pelatihan, penyuluhan, curah pendapat, dialog, dsb.

3) Pemenuhan Perda melalui perbaikan peraturan dan kondisi yang kondusif membangun berbagai sarana sosial dan melakukan aksi-aksi partisipasi masyarakat untuk membangun kesadaran hukum masyarakat dan pemerintah

4). Proteksi (perlindungan) Perda yaitu melalui penegakkan hukum dan advokasi.

Hukum merupakan suatu sistim dan memiliki tatanan, yaitu suatu kesatuan yang utuh tediri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain untuk mencapai tujuan. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsure-unsur yuriridis peraturan hukum atas hukum dan pengertian hukum (Sudikno M,1986).Dalam teori hukum murni dari Hans Kelsen dikatakan bahwa setiap kaedah-kaedah hukum merupakan suatu susunan dari kaidah-kaidah (stufenbau). Dipuncak menara stufenbau tersebut terdapat

“grundnorm” atau kaedah dasar (basic norm) dari suatu kaedah hukum nasional. Kaedah dasar merupakan dasar dari pandangan untuk menilai yang bersifat yuridis yang memungkinkan dalam kerangka tata kaedah hukum tersebut (Shad Brurv, dalam Akmal 2002). Diakomodasinya stufenbau theory di Indonesia dapat dilihat melalui UU No. 10 Tahun 2004 yang telah diperbaharui dengan UU No. 12 tahun 2011 tentangPembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Sedangkan asas-asas hukum yang dikemukakan The Liang Gee merupakan suatu dalil umum. Bellefroid menjelaskan asas hukum sebagai norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum umum ini merupakan penendapan hukum positif dalam suatu masyarakat (Sudikno M,1986). Disamping asas hukum juga dikenal asas perundang-undangan yaitu : (1) undang-undang tidak boleh berlaku surut, artinya undang-undang hanya boleh digunakan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang tersebut dan terjadi setelah undang-undang dinyatakan berlaku (asas legalitas), (2) Undang-undang yang oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferiori), (3) Undang-undang yang bersifat khusus, mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum, bila pembuatnya sama (lex special derogat legi generali), (4) undang-undang yang berlaku kemudian membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogat legi priori), (5) undang-undang tidak dapat diganggu gugat, dan (6) undang-undang merupakan sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat maupun individu secara spiritual maupun material dengan cara melaksanakannya.

Asas-asas hukum tersebut bukan merupakan peraturan hukum yang dapat dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada didalamnya (Satjipto Rahardjo, 1986).Studi pedahuluan yang telah dilakukan yaitu pengkajian Perda-Perda pada tingkat provinsi yaitu kerjasama Tim Pusham UNP dengan Komnas HAM Perwakilan Sumatera Barat (2008) seperti Perda pemanfaatan tanah ulayat, dimana terdapat kontradiksi dengan ketentuan hukum Perdata adat Minangkabau.

Temuan dan Analisis

Hampir di 19 kabupaten/kota di Sumatera Barat terdapat kebijakan yang terindikasi adanya unsur melanggar HAM berdasar instrumen HAM yang telah diratifikasi Indonesia.Hal ini juga ditunjukan dengan banyaknya Perda yang dibatalkan Kementerian Dalam Negeri dan Kementrian Keuangan.Ditemukan bahwa berbagaiPerda Pemerintahan Nagari dan Perdaanti Maksiat sebagai Perda yang banyak mengundang konflik dan dipersoalkan oleh masyarakat pada lokasi penelitian.

(7)

Efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan Pemerinatah Daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keaneragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

Pasal 136 UU No. 32 tahun 2004 menyetakan bahwa Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD, Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembangunan, Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi termasuk instrumen HAM yang telah diratifikasi pemerintah RI dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah, Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan Perda berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah.

Selanjutnya pasal 137 menyatakan bahwa Perda dibentuk berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi: kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentukan yang tepat, kesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan hasilguna, kejelasan rumusan, dan keterbukaan. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda (pasal 139). Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada kepada pelanggara sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), Perda dapat memuat ancaman pidana atau denda sesuai dengan yang diatur dalam peraturan undangan lainnya (pasal 143). Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah, dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Perda dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (146).

Perda tentang Pemerintahan Nagari yang mengandung dimensi pelanggaran HAM yang diteliti yaitu Perda Kab.Padang Pariaman No. 02 tahun 2002, Perda Kab.Padang Pariaman No. 05 tahun 2009, dan Perda Kab.Pesisir Selatan No. 08 tahun 2007.Beberapa bentuk indikasi pelanggaran HAM yang berhubungan dengan hak ECOSOB ditemukan dalam substansi dan formulasi kebijakan yang diteliti.

Filosofi kehidupan social di Minangkabau yang diformulasikan dalam rumusan “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi

Kitabullah” yang dikenal sebagai ABS-SBK ternyata tidak menjadi rujukan utama dalam formulasi kebijakan pengaturan Pemerintahan Nagari. Hal ini merupakan sebuah ironi sosial, karena semangat yang ada dibalik kembalinya kepada pemerintahan Nagari yang berbasiskan adat sebenarnya adalah untuk mengembalikan tatanan social yang sempat tercerabut dalam rumusan UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dapat terak-tualisasikan.Beberapa aturan pelaksanaan konkrit belum dibuat dalam penataan Pemerintahan Nagari seperti penegakan hukum dalam perlindungan masyarakat.Hal ini memberikan indikasi terjadinya

violation by omission oleh Negara.Tidak adanya perlindungan terhadap masyarakat adat terhadap beberapa kecenderungan terkini yang mengancam hak-hak ulayat juga menjadi kecenderungan dalam rumusan kebijakan yang dihasilkan oleh daerah penelitian.

Rumusan kebijakan juga ditemukan belum memberikan perhatian dan perlindungan kepada beberapa komponen penting dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya lokal. Beberapa yang dapat diidentifikasikan adalah:

1. Perlindungan identittas budaya dan hak ulayat (pertanahan);

2. Pembinaan infrastruktur sosial dan politik lokal (politik, ketertiban dan keamanan);

3. Perlindungan tenaga kerja lokal, baik yang bekerja di lokasi setempat maupun di luar negeri (ketenagakerjaan); 4. Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah;

5. Pengembangan usaha dan bisnis yang tidak memberikan perlindungan dan keberpihakan kepada pasar tradisional, dan harmonisasi investasi dengan kepemilikan adat;

6. Kesederajatan dan komunalitas dalam akses kepada komoditas dan pangan; 7. Ketersediaan pemenuhan kebutuhan gizi (kasus busung lapar);

8. Pendidikan, agama dan perlindungan sosial bagi kelompok rentan.

Berbagai bentuk kasus penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), pelanggaran dengan pembiaran (violent by omission) dan pelanggaran dengan sengaja melakukan (violent by commission) diidentifikasi dalam perbagai produk kebijakan yang dihasilkkan dalam pelaksanaan otonomi daerah di daerah penelitian.

Simpulan

Penataan kebijakan di tingkat daerah di Sumatera Barat masih belum mencapai taraf sinkronisasi vertical dengan berbagai peraturan perundang-undangan di tingkat nasional.Kebijakan nasional yang mengakomodasi HAM dalam berbagai Undang-Undang seperti UU HAM, UU Pemerintahan Daerah dan UU Ratifikasi Hak EKOSOB belum terimplementasi dengan kongkrit dalam kebijakan mezzo dan mikro di daerah.Di sisi lain kecenderungan pemerintah local untuk menunjukkan identitas

(8)

Dengan demikian, direkomendasikan perumusan kebijakan (formulasi) dan penerapan kebijakan (implementasi) di daerah penelitian seyogyanya memberikan perhatian kepada nilai-nilai dan komitmen kultural dan lokalitas yang pada gilirannya sekaligus merujuk kepada kebijakan nasional yang menjadi justitifikasi bagi perlindungan hak-hak masyarakat. Dengan akomodasi dari kedua kutub ini diharapkan perumusan kebijakan mendapatkan basis nilai dan utilitasnya sehingga memiliki kemampuan akomodatif untuk merangkum konten nilai universal dan local dan sekaligus efektif dalam memberikan dampak bagi kesejahteraan dan penerimaan masyarakat terhadap aspek regulatif dari kebijakan itu sendiri

Referensi

Akmal. 2002. Model Sosialisasi Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU No.39 Tahun 1999) Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Daerah Sumatera Barat. Hasil Penelitian HB X/1. Direktorat Pembinaan dan Penelitian Pada Masyarakat Dirjen Dikti Departemen Diknas RI:.Jakarta.

Budi Winarno. 2007. Kebijakan Publik: teori dan proses. Yogyakarta: Media Pressindo

Davidson, Scott. 1994. Hak Asasi Manusia. Sejarah, Teori, dan Praktek Dalam Pergaulan Internasional. Grafiti. Jakarta

Dardji Darmodiharjo Shidarta. 1996. Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum Indonesia.R. Grapindo Persada: Jakarta.

Gerhart (editor) “The Lawyer Treasury“ dalam O.C Kaligis. 2007. Kumpulan Kasus Menarik Jakarta.

Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Barat. 2009. Hasil Evaluasi Pelaksanaan RAN HAM 2009. Padang .

Komnas HAM Sumatera Barat.2009. Laporan Kegiatan Tahun 2009 Komnas HAM Sumbar. Padang

Lindblom, Charles E. 1968. The Policy-Making Process. New Jersey: Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs

Mertokusumo, Sudikno. 1986. Mengenal Hukum. Liberty. Yokyakarta.

Pusham UNP. 2009. Perda Kabupaten/Kota Yang Berdemensi Melangar HAM. Bahan Dialog Dengan Tim Penelitian Kanwil Hukum dan HAM Sumatera Barat. Padang

Rahardjo, Satjipto. 1986. Ilmu Hukum. Akumni: Bandung

Soekanto. 1986. Beberapa Cara & Mekanisme dalam Penyuluhan Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.

Soemitro, Roni Hanitijo. 1998. Metode Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Yustini Probowati Rahayu dalam buku “Dibalik Putusan Hakim (Kajian Psikologi Hukum Dalam Perkara Pidana. dalam Pusham Universitas Muhadiyah Malang (2007). Hasil Penelitian Transaksi Hukum dan Transaksi Ekonomi Dalam Putusan hakim

Undang-Undang Dasar 1945

UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

UU No. 12 tahun 2011 tentangPembentukan Peraturan Perundang-undangan

UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social and Cultural Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)

Referensi

Dokumen terkait

Lima metode yang dila- kukan oleh Yesus dalam penginjilan kiranya juga bisa dipakai oleh orang-orang percaya juga para gembala di masa kini untuk memberitakan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan dosis inokulum dan waktu ferementasi pada kulit pisang raja (Musa paradisiaca) terhadap perubahan

Kedua, kepada Ketua Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada Tim PPM Jurusan Pendidikan Teknik Elektronika

Ladhan olahraga dengan intensitas sedang yang dilakukan 3 kali seminggu selama 15-60 menit merupakan terapi efekuf untuk hipertensi ringan sampai sedang, dengan demikian,

Pengaruh struktur aktiva, Ukuran perusahaan, Tingkat Pertumbuhan, Profitabilitas, Risiko Bisnis terhadap Struktur Modal: studi empiris pada perusahaan sektor Pertambangan ynag

Menerapkan metode Framework Of Dynamic pada Customer Relationship Management untuk mengembangkan proses penjualan pada toko Outdoor Adventure Key (OAK).. Memudahkan

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 21 hurup f ”daerah Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya dengan semangat otonomi daerah untuk

Pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan identifikasi masalah pada instansi terkait, yaitu Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Provinsi Nusa Tenggara Barat yang akan